I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanasan global disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca GRK, khususnya karbon dioksida CO
2
, metana CH
4
dan nitrous oksida N
2
O di atmosfer. Konsentrasi masing-masing gas tersebut di atmosfer ditentukan oleh laju emisi dari berbagai aktivitas manusia. Secara umum
permasalahan pemanasan global merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem bumi dan menjadi isu lingkungan hidup global sejak tahun 1990-an
Soemarwoto, 1991; Duxbury dan Mosier, 1997; Murdiyarso, 2003a, 2003b, 2003c. Berdasarkan konsentrasinya, kontribusi masing-masing GRK CO
2
, CH
4
dan N
2
O terhadap pemanasan global berturut-turut sebesar 55, 15 dan 6. Berbagai sektor yang ditengarai berkontribusi terhadap peningkatan GRK
tersebut adalah sektor industri dan transportasi, kehutanan, pertanian, pengelolaan limbah Greene dan Salt, 1997.
Sektor pertanian mengemisikan GRK CH
4
, N
2
O dari kegiatan budidaya padi sawah, ternak ruminansia, pengelolaan pupuk, konversi lahan dan
pengelolaan limbah pertanian. Proses produksi pertanian di lahan on farm memberikan kontribusi penting dalam meningkatan konsentrasi CH
4
dan N
2
O di atmosfer baik dari kegiatan biogenik maupun antropogenik. Kegiatan biogenik
meliputi aktivitas organisme baik mikroba maupun tanaman dan kegiatan antropogenik menyangkut aspek pengelolaan dalam kegiatan budidaya pertanian
Greene dan Salt, 1997. Kemampuan CH
4
untuk meningkatkan suhu bumi sangat tinggi, karena kapasitas absorpsi infra merah per molekulnya 25 kali lebih besar dibanding CO
2
. Konsentrasinya di atmosfer mencapai 1720 ppbv dengan laju peningkatan
konsentrasi 10–20 ppbv per tahun Duxbury dan Mosier, 1997. Emisi CH
4
merupakan hasil resultante proses produksi dari sumber source dengan konsumsi dari rosot sink. Konsentrasi CH
4
di belahan utara khatulistiwa sekitar 100 ppbv lebih tinggi dibanding konsentrasi gas tersebut di belahan selatan
khatulistiwa, hal tersebut mengindikasikan bahwa di belahan utara source CH
4
lebih kuat dibandingkan dengan sinknya. Laju peningkatan konsentrasi CH
4
di atmosfer mengalami penurunan dari 20 ppbv per tahun pada tahun 1970-an dan
kini menjadi sekitar 10 ppbv per tahun. Alasan penurunan laju tersebut kurang
jelas apakah karena terjadi penurunan produksi atau peningkatan konsumsi melalui oksidasi CH
4
Duxbury dan Mosier, 1997. Estimasi emisi CH
4
mencapai 205 – 245 Tg CH
4
tahun
-1
yang berasal dari sektor pertanian yang terdiri dari ternak ruminan 80 Tg, padi sawah 60 – 100
Tg dan limbah ternak 25 Tg Duxbury dan Mosier, 1997. Hasil inventarisasi dari lima negara Asia Bangladesh, China, Mongolia, Filipina dan Thailand
mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sumber utama emisi CH
4
. Dari sektor pertanian tersebut dua sumber utama penghasil CH
4
adalah padi sawah dan peternakan Murdiyarso, 1996. Emisi CH
4
dari lahan padi sawah tersebut direvisi menjadi 20 Tg CH
4
per tahun Sass et al., 2002. Konsentrasi N
2
O pada dekade 1990-an sekitar 310 ppbv dengan laju peningkatan sebesar 0.6 – 0.9 ppbv tahun
-1
atau 0.25 tahun
-1
Whalen, 2000. Konsentrasi N
2
O di belahan utara khatulistiwa sekitar 0.75 ppbv lebih tinggi dibanding konsentrasi N
2
O di belahan selatan khatulistiwa, yang menunjukkan dominasi kekuatan produksi dibanding sinknya. Gas ini ditengarai bersifat
karsinogenik dan mengalami fotolysis berulang yang menyebabkan rusaknya lapisan ozon di stratosfer sehingga tidak mampu menyaring sinar ultra violet
yang masuk ke permukaan bumi. Efektivitas N
2
O dalam meningkatkan suhu bumi 300 kali dibanding CO
2
IPCC, 2001, hal ini berkenaan dengan lamanya waktu tinggal gas tersebut di atmosfer, N
2
O mempunyai waktu tinggal terlama yaitu 120 tahun. Semakin panjang waktu tinggal makin efektif pula pengaruhnya
terhadap kenaikan suhu. Indonesia dengan aktivitas pertanian yang sangat tinggi, tidak terlepas
dari permasalahan kontribusi terhadap emisi CH
4
dan N
2
O global. Alih guna lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, alih fungsi hutan menjadi lahan
pertanian yang lebih intensif serta perluasan lahan persawahan, berpotensi meningkatkan produksi CH
4
dan N
2
O dan mengurangi kapasitas sink Soemarwoto, 1991. Pengubahan kapasitas produksi dan rosot CH
4
dan N
2
O ini akan berpotensi meningkatkan emisi CH
4
dan N
2
O. Pengelolaan lahan yang bertujuan menurunkan emisi CH
4
dan N
2
O sangat diperlukan. Budidaya padi sawah merupakan sumber penting CH
4
dan N
2
O. Pemenuhan kebutuhan pangan yang bersumber beras sejalan dengan
peningkatan populasi penduduk dunia mendorong budidaya padi secara intensif maupun ekstensif dengan konsekuensi peningkatan produksi CH
4
dan N
2
O. Sistem budidaya padi memegang peran penting dalam mekanisme regulasi emisi
dan serapan CH
4
karena padi sawah bertindak selaku source dan sink CH
4
Rath et al., 1999, Wang dan Adachi, 1999; Wang et al., 1999; Kumaraswamy et al.,
2000; Wassmann dan Aulakh , 2000; Inubushi et al., 2002. Besarnya fluks CH
4
dan N
2
O dari tanah sawah dipengaruhi oleh bagaimana pengelolaan pada tanah tersebut. Setiap upaya peningkatan produktivitas padi sawah berpotensi
meningkatkan pula fluks CH
4
dan N
2
O dari lahan tersebut. Berdasarkan prediksi Husin 1994, pada tahun 2005 luas panen padi
sawah di Indonesia diperkirakan 10.28 juta hektar dengan total emisi CH
4
sebesar 4.6 Tg per tahun. Prediksi tersebut dilandaskan pada asumsi: faktor emisi CH
4
sebesar 0.31 g m
-2
hari
-1
, 80 padi dibudidayakan pada musim penghujan selama 5 bulan dan sisanya ditanam pada musim kemarau selama 4
bulan. Namun realisasinya pada tahun 2005 luas panen padi mencapai 11.6 juta hektar BPS, 2005 yang berarti meningkat 12.84 dibanding prediksi, dengan
asumsi yang sama diperkirakan emisi CH
4
mencapai 5.2 Tg per tahun. Untuk itu sangatlah perlu untuk senantiasa dikaji upaya-upaya pengurangan emisi CH
4
dari lahan sawah. Pada dasarnya CH
4
diproduksi oleh mikroba metanogen pada suasana anaerob dan tersedia senyawa organik yang mudah terdekomposisi. Pada lahan
sawah dengan suasana tanah anaerob dan eksudat akar yang mensuplai karbon mudah tersedia sebagai sumber energi mikroba, sangat menunjang aktivitas
tersebut. Pada tanah sawah secara alami terbentuk lapisan oksidatif yang tipis diikuti dengan lapisan reduktif yang tebal di bawah lapisan oksidatif. Pada lapisan
oksidatif, N
2
O dapat terbentuk sebagai hasil antara proses nitrifikasi yaitu oksidasi amonium oleh mikroba menjadi nitrit yang dioksidasi lanjut menjadi
nitrat. Nitrat pada lapisan oksidatif bersifat sangat mobil, dan bila mencapai lapisan reduktif akan mengalami denitrifikasi oleh mikroba menjadi N
2
O dan N
2
. Jadi secara alami produksi CH
4
dan N
2
O pada tanah sawah merupakan proses yang tak terhindarkan. Kapasitas sink CH
4
dan N
2
O pada tanah dipengaruhi oleh aktivitas mikroba. Oksidasi CH
4
oleh metanotrof dan reduksi N
2
O oleh mikroba yang memiliki N
2
O reduktase berpengaruh terhadap pelepasan dari tanah. Sehingga dapat disarikan bahwa emisi CH
4
dan N
2
O dari lahan pertanian berkaitan erat dengan perilaku mikroba tanah Hou et al., 2000a; H
űtsch et al., 1996; Inubushi et al., 1996; Ohta, 2005; Webster dan Hopkins, 1996.
Kerangka Pemikiran
Budidaya padi sawah di Indonesia melibatkan pengaturan pengelolaan air, penambahan bahan organik dan pemberian pupuk N. Pengelolaan air
bertujuan untuk meningkatkan produksi, efisiensi pemakaian air EPA serta pengendalian Eh tanah. Penambahan bahan organik sebagai upaya
mempertahankan produktivitas tanah akan meningkatkan populasi dan aktivitas mikroba melalui penyediaan karbon mudah tersedia, peningkatan persaingan
penggunaan oksigen O
2
dalam tanah dan berdampak terhadap penurunan Eh. Interaksi pengelolaan air dan penambahan bahan organik berpengaruh terhadap
pembentukan CH
4
. Pemberian pupuk N bertujuan meningkatkan produksi dan sangat terkait erat dengan permasalahan efisiensi pemupukan dan potensi
pencemaran terhadap lingkungan melalui pencucian nitrat dan denitrifikasi. Transformasi N pada tanah sawah melibatkan pembebasan N
2
O. Pengelolaan potensial redoks melalui pengelolaan air, ketersediaan
senyawa organik melalui pengelolaan bahan organik, ketersediaan nitrat melalui pengelolaan pupuk N dipandang cukup komprehensif sebagai dasar pengelolaan
emisi CH
4
dan N
2
O. Kajian tentang CH
4
dan N
2
O pada tanah sawah secara terpisah telah dilakukan oleh beberapa peneliti Husin, 1994; Nugroho et al.,
1994a, 1994b, 1996; Subadiyasa et al., 1997; Suratno et al., 1998. Namun kajian tentang mikroba yang berperan penting dalam emisi kedua GRK tersebut
masih sangat terbatas, di antaranya oleh Hou et al. 2000a. Pengkajian CH
4
dan N
2
O secara simultan bila dikaitkan sekaligus dengan dinamika mikroba menjadi semakin menarik dan sangat diperlukan dalam upaya mitigasi GRK. Pemahaman
inilah yang digunakan sebagai pijakan penyusunan penelitian ini dengan kerangka pemikiran yang disajikan pada Gambar 1.
Kedua gas CH
4
dan N
2
O berpengaruh terhadap pemanasan global, selain itu N
2
O juga menyebabkan kerusakan lapisan ozon pada stratosfer. Potensi pemanasan rumah kaca global warming potentialGWP dari kedua gas tersebut
secara simultan digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk menyusun teknik budidaya yang diharapkan mampu meminimalkan potensi dampak negatif
terhadap lingkungan. Kerangka pemikiran tersebut disusun untuk menjawab pertanyaan
penelitian: Mampukah kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N menurunkan fluks metana serta nitrous oksida tanpa menurunkan hasil
padi?
TEKNIK BUDIDAYA PADI SAWAH
Gambar 1.1. Hubungan sebab akibat antara teknik budidaya padi sawah dengan
fluks Metana CH
4
dan nitrous oksida N
2
O serta pemanasan global yang menjadi kerangka pemikiran penelitian ini.
Tujuan Penelitian dan Hipotesis
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari pengaruh sifat tanah dan tanaman terhadap fluks CH
4
pada tanah sawah dan bukan sawah sayuran, ubi jalar, bengkuang dan
jagung
PEMANASAN GLOBAL
Faktor Biotik: Populasi
Mikroba
Faktor Abiotik: - anaerob, aerob
pada rizosfer - komposisi amonium
nitrat - ketersediaan
substrat organik
BAHAN ORGANIK
PENGELOLAAN AIR
PUPUK N SOURCE DAN
SINK CH
4
DAN N
2
O FLUKS
N
2
O FLUKS
CH
4
2. Mempelajari pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk N lepas terkontrol terhadap populasi mikroba, fluks CH
4
dan N
2
O pada tanah sawah
3. Mendapatkan kombinasi perlakuan pengelolaan air, bahan organik serta pupuk N yang mampu menghasilkan fluks CH
4
dan N
2
O yang rendah tanpa penurunan hasil padi
4. Mempelajari pengaruh populasi mikroba terhadap fluks CH
4
dan N
2
O pada tanah sawah
5. Mengkaji keterkaitan antara fluks CH
4
dan N
2
O pada tanah sawah. Hipotesis Penelitian:
1. Sifat tanah dan jenis tanaman berpengaruh terhadap fluks CH
4
pada tanah sawah dan bukan sawah sayuran, ubi jalar, bengkuang dan
jagung 2. Populasi mikroba tanah dan fluks CH
4
dan N
2
O pada tanah sawah dipengaruhi oleh perlakuan pengelolaan air, bahan organik serta pupuk
nitrogen 3. Kombinasi perlakuan pengelolaan air macak-macak, pengembalian jerami
padi dan pemakaian pupuk lepas terkontrol menghasilkan fluks CH
4
dan N
2
O yang rendah tanpa penurunan bobot gabah 4. Peningkatan populasi mikroba tanah meningkatkan fluks CH4 dan N
2
O pada tanah sawah
5. Penurunan fluks CH
4
pada tanah sawah diikuti dengan peningkatan fluks N
2
O.
II.TINJAUAN PUSTAKA Emisi Metana dan Nitrous Oksida dari Tanah Pertanian
Metana CH
4
merupakan salah satu gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah dari sumber biotik Duxbury dan Mosier, 1997; Greene dan Salt,
1997
.
Gas tersebut diproduksi pada lingkungan anaerob oleh bakteri metanaogen Alexander, 1977; Asakawa dan Hayano, 1995.
Laju pembentukan CH
4
secara akumulatif ditentukan oleh keberadaan bahan dasar, populasi dan aktivitas mikroba pembentuk CH
4
metanogen dan lingkungannya. Metana mulai terbentuk pada potensial redoks -100 mV hingga -
200 mV Hou et al., 2000a. Intensitas dan kapasitas reduksi tanah dikendalikan oleh keberadaan substansi organik sebagai donor elektron, suhu, tingkat
kelembaban, jumlah aseptor elektron. Metana terbentuk baik melalui jalur asam asetat maupun H
2
-CO
2
, sehingga metanogen juga dipilah sebagai pengguna asetat dan pengguna H
2
-CO
2
Le Mer dan Roger, 2001. Metana yang dihasilkan sebagian besar akan diemisikan ke atmosfer baik
secara difusi melalui tanah maupun diemisikan oleh tanaman. Laju difusi CH
4
melalui tanah mengikuti kaidah Ficks dan dipengaruhi oleh turtoisitas tanah yang dikendalikan oleh tekstur serta porositas tanah yang secara praktis dapat dikelola
dengan pengelolaan air. Emisi melalui tanaman dipengaruhi oleh jenis tanaman, varietas serta stadia pertumbuhan tanaman Shalini-Singh et al., 1997.
Sebagian dari CH
4
yang dihasilkan dioksidasi oleh mikroba metanotrof yaitu mikroba pengoksidasi CH
4
sehingga mengurangi pelepasannya ke atmosfer. Aktivitas mikroba metanotrof tersebut menjadi kekuatan sink CH
4
oleh tanah H
űtsch et al., 1996; Watanabe et al., 1997. Emisi gas CH
4
terutama bersumber pada kegiatan antropogenik, hampir
70 CH
4
berasal dari sumber-sumber antropogenik dan sekitar 30 berasal dari sumber-sumber alami. Aktivitas pertanian menyumbangkan dua per tiga dari CH
4
asal sumber antropogenik. Produksi CH
4
berkaitan erat dengan aspek aktivitas mikroba yaitu aktivitas metanogen yang berlangsung pada ekosistem anaerob.
Variasi pelepasan CH
4
dari suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh macam budidaya tanaman, komunitas mikroba, sifat tanah serta interaksinya.
Mengetahui hubungan antara sifat tanah, sifat mikroba dan CH
4
pada budidaya berbagai macam tanaman sangatlah penting sebagai dasar untuk memahami
mekanisme yang terlibat dalam produksi CH
4
. Sementara ini kajian CH
4
dan mikroba pada berbagai macam pertanaman masih terbatas.
Sawah mampu berperan sebagai source sekaligus rosot sink CH
4
Kumaraswamy et al., 2000; Wasmann and Aulakh, 2000; Inubushi et al., 2002. Emisi CH
4
dari lahan sawah berkisar antara 4 hingga 20 mg m
-2
jam
-1
Husin et al., 1995, dan berdasarkan data tersebut diperkirakan faktor emisi CH
4
dari Indonesia adalah 13 mg m
-2
jam
-1
. Pada budidaya lahan kering, produksi CH
4
terbatas pada site-site anaerob dan kondisinya sangat menunjang pertumbuhan metanotrof sehingga
meningkatkan kapasitas serapan CH
4
. Serapan CH
4
sebesar 0.051 – 0.055 mg m
-2
jam
-1
pada pertanaman padi gogo dilaporkan oleh Zaenal 1997. Serapan CH
4
oleh hutan di Swedia mencapai 0.6 – 1.6 kg CH
4
ha
-1
tahun
-1
yang setara dengan 0.007 – 0.019 mg m
-2
jam
-1
Klemedtsson dan Klemedtsson, 1997. Ernawanto et al. 2003 melaporkan bahwa fluks CH
4
sistem penanaman padi “walik” jerami adalah 7.18 mg m
-2
jam
-1
dan sistim penanaman padi gogo rancah adalah 1.73 mg m
-2
jam
-1
. Sink CH
4
sebesar 0.05 mg m
-2
jam
-1
pada sistem pertanaman kedelai. Kisaran emisi CH
4
dari pertanaman tebu di Australia adalah 297 hingga 1005 g CH
4
-C ha
-1
, sementara kisaran konsumsinya 442 hingga 467 g CH
4
-C ha
-1
Weier, 1999. Fluks CH
4
dari empat macam tipe penggunaan tanah di Sumatra hutan tua, hutan habis tebang, dibakar setelah tebang dan perkebunan karet berkisar
antara -21.2 hingga 4.2 µg C m
-2
jam
-1
yang setara dengan -0.028 hingga 0.006 mg CH
4
m
-2
jam
-1
Ishizuka et al., 2002. Nilai fluks negatif menunjukkan sink dan berkorelasi positif dengan kandungan liat pada 0-10 cm. Nilai tersebut
mengalami peningkatan pada evaluasi berikutnya yaitu menjadi -1,27 hingga 1,18 mg C m
-2
hari
-1
yang setara dengan -0.071 hingga 0.066 mg CH
4
m
-2
jam
-1
pada macam penggunaan lahan yang lebih bervariasi yaitu hutan, kayu manis, karet, kelapa sawit dan alang-alang Ishizuka et al., 2005a. Fluks pada hutan
hujan tropis di Indonesia mencapai 0.79 ± 0.60 mg C m
-2
hari
-1
setara dengan 0.044 ± 0.033 mg CH
4
m
-2
jam
-1
Ishizuka et al., 2005b. Inubushi et al. 2003 melaporkan bahwa konversi hutan gambut sekunder
menjadi lahan sawah bertendensi meningkatkan emisi CH
4
tahunan, sementara perubahan penggunaan lahan dari hutan sekunder menjadi lahan kering
bertendensi menurunkan emisi CH
4
tahunan. Pengalihan fungsi lahan dari hutan lahan basah menjadi pertanaman sagu tidak berpengaruh terhadap emisi CH
4
k
k l
p m
a b
m
G
c b
s g
y t
l a
Inubushi e karakteristik
Peng kapasitas pe
lingkungan penetrasi ca
mikroba tan air, lapisan t
bajak dan mikrobiologi
Gambar 2.1 Pada
cahaya cuk bakteri fotos
secara haya ganggang b
Tepa yang dicirik
tersebut ber lapisan gena
aktivitas uta et al., 1998
k mikroba tan
Aspe
ggenangan p enyediaan h
mikro mau ahaya serta
ah untuk ak tanah teroks
lapisan su s. Secara sk
. Lingkunga a lapisan ge
kup tinggi. P sintesis, sej
ati baik yang iru hijau.
at di bawah kan oleh po
rvariasi anta angan air. P
ama melipu
L O
Fotik Oksidatif
Afotik Reduktif
8. Perbeda nah dan fluk
ek Mikrobio
pada tanah s hara oleh ta
upun makro status hara
ktif. Secara sidasi, lapisa
bsoil. Masin kematis prof
an makro ek enangan air
Pada daerah jumlah mikr
g bersifat hid h genangan
otensial red ara 2 hingga
ada lapisan uti: dekompo
Lapisan Tanah Oksidatif
Tanah Reduktif
Lapisan ba
an tipe pe ks CH
4
.
ologis pada
sawah meng anah. Hal te
o dalam ha a yang mem
umum profi an tanah tere
ng-masing fil tersebut d
osistem pad r, suasana
h tersebut a roba hetero
dup bebas m air dijumpa
doks positif a 20 mm ter
tersebut ak osisi bahan
h
Rizosfer ajak
enggunaan
Tanah Saw
gubah sifat k rsebut men
al redoks p mungkinkan
il tanah saw eduksi, tana
lapisan me isajikan pad
di sawah Ro lingkungan
aktivitas mik trof serta m
maupun yang ai lapisan ta
tinggi. Ket rgantung ke
ktivitas mikro n organik se
Bagian tan yang teren
Genanga r
Subsoil
lahan akan
wah
kimia, mikro gakibatkan
potensial, s kisaran berv
wah meliputi man padi se
empunyai k da gambar 2
oger et al., 1 aerob serta
kroba didom mikroba pem
g bersimbios anah yang
tebalan lapi larutan oksi
obiologis san ecara aerob
naman padi ndam
n air
n merubah
biologi dan perbedaan
sifat fisika, variasi dari
genangan erta lapisan
arakteristik .1.
993 a penetrasi
minasi oleh mfiksasi N
2
sis dengan teroksidasi
san tanah gen dalam
ngat tinggi, bik, fiksasi
hayati N
2
oleh ganggang, nitrifikasi oleh pengoksidasi amonium maupun nitrit, serta oksidasi metana.
Di bawah lapisan oksidasi dijumpai lapisan tanah tereduksi yang dicirikan oleh potensial redoks yang rendah hingga negatif. Aktivitas mikroba terutama
terkonsentrasi pada agregat yang mengandung debris organik. Aktivitas utama pada lapisan reduksi ini meliputi: dekomposisi bahan organik secara anaerob,
fiksasi hayati N
2
oleh mikroba heterotrof, denitrifikasi, reduksi mangan, reduksi besi, reduksi sulfat, pembentukan metana serta produksi H
2
. Dari sudut pandang mikrobiologis, tanaman padi menyediakan dua
lingkungan untuk pertumbuhan mikroba yaitu pada bagian tanaman yang tergenang maupun rizosfernya dan membentuk satuan ekologi dengan aktivitas
mikroba yang unik. Bagian pangkal tanaman yang tergenang dikoloni oleh bakteri efifit dan ganggang. Tanaman padi mempunyai kemampuan untuk
mentransportasikan oksigen dari bagian atas tanaman ke daerah perakaran, sehingga beberapa site dari rizosfer bersifat oksidatif dengan Eh yang cukup
tinggi. Rizosfer padi yang aktif memproduksi banyak eksudat sebagian di antaranya merupakan senyawa yang mudah terurai sehingga menjadi sumber
energi bagi mikroba. Kombinasi ketersediaan oksigen dan melimpahnya makanan pada rizosfer padi merupakan daya tarik bagi mikroba untuk tumbuh
aktif di rizosfer. Aktivitas utama pada rizosfer meliputi: asosiasi pemfiksasi hayati N
2
oleh mikroba heterotrof, nitrifikasi – denitrifikasi, serta reduksi sulfat. Lapisan bajak mempunyai permeabilitas yang rendah, ketahanan
mekanik yang tinggi serta kepadatan tanah yang tinggi. Lapisan ini menghambat perkolasi air maupun pencucian hara ke lapisan di bawahnya. Aktivitas
mikrobiologis pada lapisan tersebut dan peranannya dalam penyediaan hara bagi tanaman padi jarang dikaji.
Emisi Metana dan Nitrous Oksida dari Tanah Sawah
Padi sawah merupakan ekosistem buatan manusia yang sangat penting pada neraca CH
4
global, melalui perannya sebagai sumber sekaligus rosot CH
4
Inubushi et al., 2002, 2003; Kumaraswamy et al., 2000; Wang et al., 1999; Wasmann dan Aulakh, 2000.
Pembentukan CH
4
terjadi pada potensial redoks yang sangat rendah, dengan penggenangan yang terus menerus kondisi tersebut
menstimulir pembentukan CH
4
. Aktivitas penggenangan pada lahan sawah menyebabkan kondisi anaerob dan menstimulir populasi dan aktivitas bakteri
metanogen penghasil CH
4
. Ketersediaan substrat organik hasil dekomposisi bahan organik secara anaerob maupun hasil eksudasi akar mensuplai energi
bagi mikroba tersebut untuk memproduksi CH
4
. Intensifikasi padi sawah untuk pemenuhan kebutuhan makanan seiring dengan peningkatan populasi penduduk
Indonesia berpotensi meningkatkan kontribusinya dalam pelepasan CH
4
ke atmosfer. Pada tahun 2004, luas panen padi di Indonesia dilaporkan mencapai
sekitar 11.6 juta ha BPS, 2005. Nilai tersebut masih berpotensi meningkat pada tahun berikutnya.
Dinamika CH
4
pada lahan sawah mencakup proses produksi, oksidasi, emisi dan konsumsi Le Mer dan Roger, 2001. Emisi CH
4
pada lahan sawah terjadi melalui tiga cara yaitu ebulisi, difusi dan difusi melalui aerenkim tanaman.
Emisi CH
4
pada tanah sawah tadah hujan bervariasi antara 19 hingga 123 mg CH
4
m
-2
hari
-1
, sedangkan pada tanah sawah beririgasi berkisar antara 71 hingga 217 mg CH
4
m
-2
hari
-1
Setyanto et al., 2000. Data tersebut diperoleh dari pengamatan dari tahun 1993 hingga 1998 di Jakenan, Pati, Jawa Tengah.
Proses produksi gas rumah kaca tersebut dapat dikelola melalui pengelolaan air. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Husin 1994 di kebun
percobaan Sukamandi pada tanah Aeric Tropaqualf. Emisi CH
4
tertinggi terdapat pada perlakuan penggenangan kontinyu. Emisi CH
4
pada perlakuan penggenangan terputus dan macak-macak nyata lebih rendah dibanding pada
penggenangan kontinyu, sedangkan terhadap hasil saling tidak berbeda nyata. Implikasi praktisnya pengelolaan air dengan penggenangan terputus dan macak-
macak mampu mempertahankan produksi, menghemat air dan sekaligus menurunkan emisi CH
4
. Pengelolaan air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
budidaya padi. Kegiatan ini berkaitan erat dengan permasalahan efisiensi penggunaan air, pengendalian gulma, karakteristik tanah serta aktivitas mikroba
tanah. Pengaruh pengelolaan air terhadap emisi CH
4
di daerah tropis ditelaah oleh sejumlah penulis seperti Nugroho et al., 1994a; Husin et al., 1995, Rath et
al., 1999. Husin et al. 1995 melaporkan bahwa perlakuan pengelolaan air nyata berpengaruh terhadap variasi fluks CH
4
harian maupun musiman. Perlakuan pengelolaan air dengan cara intermiten mampu menekan sekitar 50 fluks CH
4
dan pengairan kondisi macak-macak mampu menurunkan fluks CH
4
hingga 70 dibandingkan perlakuan penggenangan secara kontinyu. Minamikawa dan Sakai
2005 memaparkan bahwa emisi CH
4
pada perlakuan drainase midseason,
intermitten dan Eh terkontrol menurunkan emisi berturut-turut sebesar 64, 26 dan 17 terhadap emisi CH
4
pada perlakuan penggenangan secara kontinyu. Dinamika emisi CH
4
dengan pengelolaan air pada tanaman tebu dilaporkan oleh Weier 1999. Peningkatan kadar air hingga jenuh
meningkatkan emisi gas rumah kaca tersebut. Namun pola ini tidak serta merta dapat diaplikasikan pada tanah sawah dengan karakter tanaman dan ekosistem
yang berbeda. Pengelolaan air akan mempengaruhi karakteristik tanah, aktivitas mikroba
dan akan berdampak terhadap fluks CH
4
. Namun informasi mendalam tentang mikroba tanah dan hubungannya dengan fluks CH
4
oleh pengelolaan air belum terlalu banyak. Memahami keterkaitan antara perilaku mikroba dengan fluks CH
4
sangatlah penting artinya untuk lebih memahami mekanisme yang terlibat dalam upaya mengurangi emisi CH
4
pada lahan pertanian termasuk pada tanah sawah. Pada budidaya padi sawah emisi CH
4
dan N
2
O tidak mungkin diabaikan, karena model pengelolaan air yang senantiasa melebihi kapasitas lapang akan
menstimulir proses dekomposisi secara anaerob. Secara alami dinamika pembentukan CH
4
dan N
2
O disajikan pada gambar 2.2. dan 2.3.
Gambar 2.2. Skema dinamika produksi dan emisi metana pada tanah sawah Wasmann dan Aulakh,2000
Difusi oksigen melalui tanaman
Emisi CH
4
melalui tanaman
Difusi CH
4
ke dalam akar
Produksi CH
4
Eksudat dan akar
lapuk
Difusi O
2
melalui akar
Air
Tanah
Oksidasi CH
4
pada rizosfer
Dengan adanya perlakuan penggenangan didapat gradasi lapisan pada profil tanahnya yaitu lapisan oksidatif yang tipis di bawah genangan air lalu diikuti
lapisan reduktif yang tebal di bawahnya. Apabila pupuk nitrogen diaplikasikan ke dalam lapisan reduktif, denitrifikasi bisa dihambat. Namun kebocoran sistem
berupa sebagian pupuk nitrogen berada di lapisan oksidatif segera ternitrifikasi menjadi nitrat yang mobil, kemudian nitrat yang mobil mencapai lapisan reduktif
dan mengalami denitrifikasi. Transformasi N melalui proses denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh pH, pada kondisi netral hasil akhir berupa N
2
sedangkan pada kondisi masam maupun denitrifikasi oleh denitrifier yang tidak mempunyai enzim
N
2
O reduktase akan mengemisikan N
2
O. Besarnya fluks CH
4
dan N
2
O dari tanah sawah dipengaruhi oleh teknik budidaya pada tanah tersebut. Perlakuan pembenaman bahan organik,
pengelolaan air dan pengelolaan pupuk nitrogen akan berinteraksi mempengaruhi besarnya emisi GRK tersebut.
Gambar 2.3. Transformasi nitrogen pada tanah sawah tergenang De Data, 1981
Mikroba
Pengaruh Bahan Organik terhadap Emisi Metana dan Nitrous Oksida
Pemberian bahan organik merupakan salah satu langkah pemeliharaan produktivitas tanah sawah. Pada tanah sawah praktek pembenaman tunggul dan
jerami segar yang diikuti dengan penggenangan merupakan fenomena yang umum terjadi. Kondisi tersebut akan menstimulir suasana reduktif dan
meningkatkan aktivitas mikroba metanogen dan denitrifier sehingga memacu dekomposisi secara anaerobik dan denitrifikasi yang membebaskan CH
4
dan N
2
O. Pembenaman bahan organik segar menyebabkan peningkatan fluks CH
4
baik pada tanah sawah maupun lahan kering dan berkontribusi secara nyata terhadap neraca CH
4
global Yang dan Chang, 1997; Rath et al., 1999; Wihardjaka, 2001.
Kondisi anaerob dan ketersediaan substansi organik mudah terdekomposisi sangat penting untuk proses produksi metana dalam tanah
Wasmann dan Aulakh, 2000. Tanah yang kaya kandungan substansi organik mudah terdekomposisi asetat, formiat, metanol, amin termetilasi dan
kandungan senyawa akseptor elektron NO
3 -
, Mn
4+
, Fe
3+
rendah mempunyai potensi produksi CH
4
yang tinggi. Praktek pembenaman jerami yang dilanjutkan dengan penggenangan
pada tanah sawah berpotensi meningkatkan emisi CH
4
. Kombinasi penggenangan dan pembenaman jerami yang mempunyai CN tinggi menstimulir
penurunan potensial redoks secara tajam hingga kurang dari -200 mV yang mendukung pembentukan CH
4
. Kombinasi penggenangan dan pembenaman jerami 1 ww meningkatkan populasi bakteri metanogen baik kelompok
pengguna asetat maupun penggunan H
2
-CO
2
Rath et al., 1999. Untuk mengurangi emisi CH
4
Wihardjaka 2001 menggunakan kompos sebagai pengganti bahan organik segar.
Penambahan bahan organik ditengarai meningkatkan emisi N
2
O dari tanah Arcara et al., 1999; Friedel et al., 1999; Mogge et al., 1999; Pidello et al.,
1996; Whalen, 2000. Pemberian bahan organik yang mempunyai kandungan karbon tinggi serta mudah termineralisasi seperti pupuk kandang diduga mampu
meningkatkan biomas mikroba sehingga meningkatkan emisi N
2
O dari tanah pertanian. Karbon yang mudah termineralisasi meliputi karbon larut dalam air
maupun asam lemak mudah menguap volatile fatty acid VFA serta karbon antron reaktif anthrone-reactive carbon.
Arcara et al. 1999 menyatakan bahwa penggunaan slury dari limbah ternak meningkatkan kehilangan N sebagai N
2
O, melalui emisi langsung dan denitrifikasi. Emisi N
2
O dari tanah dibedakan menjadi emisi dari denitrifikasi dan emisi langsung yang merupakan hasil samping nitrifikasi yang berlangsung pada
kondisi oksidasi kurang optimal. Kombinasi slury dengan pupuk urea pada takaran N yang sama yaitu sebesar 225 kg N ha
-1
membebaskan gas N
2
O paling tinggi dari tanah dibanding dengan perlakuan tunggal pupuk urea maupun
perlakuan slury. Intensitas dan besarnya emisi N
2
O dari tanah ditentukan oleh sejumlah faktor yaitu suhu, curah hujan yang berkenaan dengan kelembaban tanah,
kandungan karbon mudah termineralisasi yang berjumlah atom karbon rendah sebagai donor elektron pada proses reduksi. Slury mengandung asam-asam
organik, di antaranya termasuk asam lemak mudah menguap. Kombinasi asam lemak mudah menguap dan kandungan N mudah tersedia dari urea menciptakan
kondisi yang memicu pembebasan N
2
O. Kehilangan N
2
O terbesar terjadi pada bulan pertama fase pertumbuhan penanaman jagung.
Kehilangan N dalam bentuk N
2
O meningkat pada tanah yang dipupuk dengan pupuk organik. Dampak aplikasi slury sapi dalam jangka panjang mampu
menurunkan pH tanah dibanding perlakuan pupuk kandang. Penurunan pH tanah tersebut akan mempengaruhi sejumlah reaksi biokimia yang berdampak pada
biomas mikroba dan kandungan karbon organik tanah. Hal ini ditandai dengan lebih tingginya kandungan karbon organik tanah serta biomas mikroba pada
tanah yang dipupuk dengan pupuk kandang dibanding perlakuan slury. Tingginya biomas mikroba dan karbon organik tanah memicu emisi N
2
O, emisi pada perlakuan pupuk kandang meningkat 2 kali dibanding perlakuan yang lain yaitu
sebesar 4.9 kg N
2
O-N ha
-1
tahun
-1
melalui denitrifikasi dan emisi langsung sebesar 5.3 kg N
2
O-N ha
-1
tahun
-1
Mogge et al., 1999. Aplikasi slury dengan cara disemprotkan yang banyak dipraktekkan di
Amerika Serikat bagian Timur memberikan dampak peningkatan kehilangan N melalui emisi N
2
O. Pemberian slury mampu meningkatkan ketersediaan N dan kelembaban tanah, kombinasi faktor tersebut memacu reaksi reduksi nitrat.
Kehilangan N dalam bentuk N
2
O selama 8 hari sebesar 8.5 mg N
2
O-N m
-2
, nilai tersebut lebih rendah dibanding perlakuan Urea yang dikombinasikan dengan
glukose sebagai sumber karbon cepat tersedia yang mencapai 20.8 mg N
2
O-N m
-2
, diduga pada slury tersebut mengandung senyawa yang mempengaruhi
komunitas mikroba yang bekerja pada siklus N. Emisi N
2
O berkaitan erat dengan dosis N yang diberikan, pada penelitian tersebut digunakan 150 kg N ha
-1
. Hal yang perlu diwaspadai adalah akan terjadinya fluks N
2
O yang hebat oleh residu nitrat yang terakumulasi pada tanah tersebut potensial terdenitrifikasi dengan
meningkatnya kelembaban tanah Whalen, 2000. Secara umum penambahan bahan organik yang bertujuan
mempertahankan produktivitas tanah berpotensi meningkatkan emisi CH
4
dan N
2
O. Pengelolaan air dan pupuk nitrogen yang tepat diharapkan mampu meminimalkan pengaruh negatif tersebut sehingga didapatkan kemanfaatan
yang optimal.
Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Emisi Metana dan Nitrous Oksida
Emisi gas rumah kaca dari tanah ditentukan oleh laju produksi dan transportasi dalam hal ini difusi gas dari tanah ke atmosfer. Emisi CH
4
dihasilkan dari dekomposisi bahan organik secara anaerobik Wang dan Adachi, 1999;
Wang et al., 1999; Kumaraswamy et al., 2000. Emisi N
2
O dari dari tanah melalui peristiwa denitrifikasi, nitrifikasi Ishizuka et al., 2002; Inubushi et al.,
2003 dan emisi yang dimediasi oleh tanaman Chen et al., 1999; Hou et al., 2000a. Emisi N
2
O pada tanah sawah bervariasi menurut kedalaman lapisan bajaknya Müller et al., 1998; Röver et al., 1999
Wang dan Adachi 1999 menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan emisi CH
4
dari tanah tergenang yaitu suhu, tipe tanah, varietas padi dan praktek pertanian yang diterapkan. Sementara hasil studi Wang et al. 1999
di China mengelompokkan kemampuan tanah sawah memproduksi CH
4
berdasarkan redoks potensial dan kandungan bahan organik. Peningkatan emisi CH
4
oleh pembenaman jerami segar dibuktikan oleh Wihardjaka 2001 dan Rath et al. 1999. Terdapat hubungan yang erat antara kandungan CO
2
atmosfer dengan aktivitas metanogen. Bakteri metanogen mampu mempergunakan CO
2
atmosfer untuk memproduksi CH
4
. Hasil penelitian Wang dan Adachi 1999 menunjukkan peningkatan produksi CH
4
oleh peningkatan konsentrasi CO
2
atmosfer percobaan simulatif. Proses produksi dan oksidasi gas rumah kaca tersebut dapat dikelola
melalui pengelolaan air. Pembentukan CH
4
terjadi pada potensial redoks yang sangat rendah, dengan penggenangan yang terus menerus kondisi tersebut
mendukung suasana pembentukan CH
4
. Oksidasi CH
4
terjadi pada potensial
redoks yang lebih tinggi. Pengaturan potensial redoks melalui pengelolaan air yang meliputi tinggi genangan, lama penggenangan merupakan cara mengelola
produksi dan oksidasi CH
4
. Pengurangan pengairan melalui penggenangan terputus dan macak-macak mengemisikan CH
4
yang nyata lebih rendah dibanding penggenangan kontinyu Nugroho et al., 1994a; Husin, 1994;
Minamikawa dan Sakai, 2005. Tanah sawah yang senantiasa digenangi sedikit mengemisi N
2
O, peluang emisi terjadi melalui oksidasi amonium oleh rizosfer menjadi nitrat yang segera
tereduksi pada lapisan reduktif. Oksidasi reduksi berselang-seling yang terjadi pada tanah sawah memacu pembentukan N
2
O, siklus tersebut biasanya terjadi pada penggenangan dan pengeringan bergantian. Pada saat pengeringan terjadi
nitrifikasi, dan pada saat penggenangan kembali segera nitrat terdenitrifikasi. Periode tersebut senantiasa terjadi, misalnya selama pemupukan, menjelang
panen.
Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Suratno 1997 di kebun percobaan Darmaga pada tanah bertekstur liat dengan permeabilitas 0.86 cm jam
-1
. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluks N
2
O rata-rata berkisar antara – 17.56 hingga 131.56 µg N
2
O-N m
-2
jam
-1
. Nilai fluks negatif menunjukkan adanya rosot sink pada tanah sawah. Selama fase reproduktif, perlakuan penggenangan
kontinyu menghasilkan fluks N
2
O rata-rata secara nyata lebih kecil dibanding teknik penggenangan terputus, yaitu masing-masing sebesar 16.58 dan 26.34 µg
N
2
O-N m
-2
jam
-1
. Implikasi praktis dari penelitian tersebut adalah bagaimana
memperkecil peluang siklus oksidasi reduksi Suratno et al., 1998.
Dinamika emisi CH
4
dan N
2
O secara simultan dengan pengelolaan air pada tanaman tebu dilaporkan oleh Weier 1999. Peningkatan kadar air hingga
jenuh meningkatkan emisi kedua gas rumah kaca tersebut. Dinamika emisi CH
4
dan N
2
O berkaitan erat dengan potensial redoks dan aktivitas mikroba. Terlihat hubungan terbalik antara kedua gas tersebut, upaya mitigasi emisi CH
4
misalnya melalui drainase berindikasi meningkatkan emisi N
2
O. Pengelolaan air untuk pengelolaan potensial redoks -100 hingga +200 mV sangat diperlukan. Kisaran
tersebut cukup tinggi untuk menghambat pembentukan CH
4
dan cukup rendah untuk memacu produksi N
2
O Hou et al., 2000a. Dari perilaku fluks gas rumah kaca tersebut didapat pola yang berbeda
sebagai respon tindakan pengelolaan air pada padi sawah. Pada emisi CH
4
, penggenangan terus menerus meningkatkan emisinya, sedangkan pada N
2
O
penggenangan mampu menekan emisinya. Untuk itu perlu dicari kombinasi model, agar pengelolaan air mampu meningkatkan hasil padi, mengefisienkan
penggunaan air sekaligus langkah mitigasi emisi gas rumah kaca
.
Pengaruh Pupuk N Lepas Terkontrol terhadap Emisi Metana dan Nitrous Oksida
Peningkatan penggunaan pupuk nitrogen menyebabkan peningkatan emisi N
2
O. Nitrous oksida dibebaskan dari tanah melalui peristiwa denitrifikasi, nitrifikasi Arth dan Frenzel, 2000; Carnol dan Ineson, 1999; Chèneby et al.,
1998; Mogge et al., 1999; Inubushi et al., 2003 dan emisi yang dimediasi oleh tanaman Yu et al., 1997; Chang et al., 1998; Hou et al., 2000a.
Langkah awal mitigasi emisi CH
4
dan N
2
O adalah dengan menghambat kinerja bakteri nitrifikasi. Penghambatan ini diharapkan mampu mengatur
konversi amonium menjadi nitrat sehingga dari aspek praktis mampu meningkatkan efisiensi pemupukan, meningkatkan recovery pupuk dan menekan
kehilangan N baik melalui leaching maupun emisi N
2
O. Mempertahankan bentuk amonium mampu menghambat laju denitrifikasi
penyebab inefisiensi pemupukan N pada tanaman serta mampu meningkatkan recovery pemupukan N pada lahan budidaya Kpomblekou dan Killorn, 1996;
Rochester et al., 1996; Abbasi dan Adams, 2000; Mahmood et al., 2000. Penghambatan laju denitrifikasi mampu mereduksi emisi N
2
O dari tanah pertanian Saad et al., 1996; Inubushi et al., 1996 ; McTaggart et al., 1997;
Inubushi et al., 1999. Secara alami perilaku mikroba pengoksidasi amonium mirip dengan
mikroba pengoksidasi CH
4
, pengelolaan pupuk N mampu menekan emisi N
2
O serta gas CH
4
McCarty, 1999. Beberapa bahan nabati juga mampu mengontrol pelepasan pupuk N misalnya tanaman Neem Mimba Agbenin et al., 1999;
McCarty, 1999. Emisi N
2
O dipengaruhi oleh jenis pupuk N yang diaplikasikan. Pupuk N yang cepat menyediakan nitrat berpeluang besar menyumbang kehilangan N
melalui emisi N
2
O Arcara et al., 1999; Whalen, 2000. Emisi terbesar terjadi pada pemupukan dengan slury dan diikuti oleh urea, emisi yang terendah pada
perlakuan pupuk amonium sulfat, pada padang rumput Clayton et al., 1997.
Denitrifikasi dan emisi N
2
O dipengaruhi oleh sumber N, pupuk Urea menyebabkan denitrifikasi yang lebih tinggi dibanding amonium sulfat pada studi
rumah kaca dengan tanah tergenang Mulvaney et al, 1997. Keberadaan sulfat
diduga mampu menghambat laju nitrifikasi sehingga emisi N
2
O dapat ditekan. Suratno 1997 melaporkan bahwa emisi N
2
O dari lahan sawah yang dipupuk dengan urea tablet lebih rendah dibanding dengan urea prill. Sementara Weier
1999 melaporkan bahwa aplikasi amonium sulfat secara split mampu menurunkan emisi N
2
O pada lahan tebu. Aplikasi pupuk lepas lambat slow release fertilizer ataupun pupuk lepas
terkontrol controlled release fertilizerCRF mampu mengontrol pelepasan pupuk amonium. Berbagai upaya untuk mengontol pelepasan hara N dari pupuk
misalnya dengan modifikasi bentuk, pelapisan sehingga kelarutan pupuk berkurang. Pelapisan dengan bahan nabati misalnya neem juga mulai
dikembangkan dalam rangka pengembangan produk ramah lingkungan. Di India neem diaplikasikan sebagai slow release fertilizer berupa Urea neem cake
coated dengan nama dagang NIMIN. Pengaturan pelepasan amonium, diharapkan merupakan pengaturan laju nitrifikasi dan menghambat penyediaan
nitrat bagi proses denitrifikasi. Secara teori aplikasi pupuk N berpelepas lambat selain meningkatkan efisiensi pemupukan juga berkontribusi terhadap penurunan
emisi N
2
O. Perilaku fluks CH
4
dan N
2
O berkaitan erat dengan potensial redoks dan aktivitas mikroba. Terlihat hubungan terbalik antar kedua gas tersebut, upaya
mitigasi CH
4
misalnya melalui drainase berindikasi meningkatkan fluks N
2
O. Pengelolaan potensial redoks pada kisaran -100 hingga +200 mV sangat
diperlukan. Kisaran tersebut cukup untuk menghambat pembentukan CH
4
dan N
2
O Hou et al., 2000a. Interaksi antar ketersediaan substrat, lingkungan yang mendukung dan
aktivitas mikroba menentukan tingkat fluks CH
4
dan N
2
O. Pengelolaan air berpengaruh terhadap dinamika fluk CH
4
Husin et al., 1995 serta N
2
O Suratno et al., 1998. Pengelolaan pupuk nitrogen yang tepat diharapkan mampu
melengkapi pengaruh pengelolaan air untuk meminimalkan pengaruh negatif pembenaman bahan organik terhadap fluks CH
4
dan N
2
O serta mengoptimalkan kemanfaatannya.
Global Warming Potential Metana dan Nitrous Oksida dari Tanah Sawah
Metana CH
4
dan nitrous oksida N
2
O termasuk gas rumah kaca yang disebut dalam Protokol Kyoto, di samping karbon dioksida CO
2
, hidrofluo rokarbon HFC
s
, perfluorokarbon PFC
s
dan sulfur heksafluorida SF
6
Murdiyarso, 2003b. Kondisi potensial redoks yang berbeda untuk pembentukan kedua gas tersebut mengisyaratkan sulitnya pengaturan lingkungan melalui
perlakuan teknik budidaya untuk dapat menekan fluks keduanya secara bersamaan. Pengurangan kadar air pada tanah sawah dengan pengairan secara
intermiten mampu mengurangi fluks CH
4
Husin et al., 1995, Minamikawa dan Sakai, 2005 namun meningkatkan fluks N
2
O Suratno et al., 1998. Untuk itu diperlukan parameter penilaian dari kedua gas tersebut untuk mendapatkan
suatu perlakuan budidaya yang mampu secara lebih efektif menekan fluks GRK. Metana
dan N
2
O sebagai komponen GRK menyebabkan terjadinya efek rumah kaca greenhouse effect yang secara makro berpotensi terhadap
pemanasan global global warming. Untuk memprediksi potensi CH
4
dan N
2
O terhadap pemanasan global, IPCC Intergovernmental Panel of Climate Change
menyusun indeks GWP Global Warming Potential. Indeks GWP merupakan penilaian relatif di mana gas CO
2
diberi nilai 1 satu sebagai standar. Indeks GWP mencerminkan potensi setiap komponen GRK untuk menyebabkan
pemanasan global, yang nilainya dipengaruhi oleh masa tinggal di atmosfer dan kemampuannya dalam penyerapan sinar inframerah. Menurut IPCC 2001,
indeks GWP untuk CH
4
dan N
2
O masing-masing sebesar 23 dan 296. Nilai tersebut merupakan revisi terhadap nilai GWP sebelumnya oleh IPCC, 1996
yaitu masing-masing sebesar 21 dan 310 untuk CH
4
dan N
2
O EIA, 2004. Semakin tinggi nilai indeks GWP semakin besar potensinya untuk menyebabkan
pemanasan global. Sebagai dasar penilaian fluks CH
4
dan N
2
O pada tanah sawah digunakan potensi pemanasan global sebagai penjumlahan dari hasil kali total fluks masing-
masing gas terhadap indeks GWPnya. Suatu perlakuan yang mampu menurunkan fluks CH
4
namun menghasilkan fluks N
2
O yang lebih tinggi dapat diperbandingkan dengan perlakuan lain yang mampu menurunkan fluks N
2
O namun menghasilkan fluks CH
4
yang lebih tinggi.
III. BAHAN DAN METODE