Seputar Zakat (Pertanian & Tabungan yang telah dizakati)

Seputar Zakat (Pertanian & Tabungan yang telah dizakati)
SEPUTAR ZAKAT 1
Pertanyaan Dari:
Pimpinan Cabang Muhammadiyah Moga Pemalang Jawa Tengah
Pertanyaan:
1.

Pada penghitungan zakat pertanian; apakah harus dihitung dengan cara hasil yang diperoleh
dikurangi terlebih dahulu dengan nilai saprotan (sarana produksi tanam) atau tidak dikurangi
terlebih dahulu dalam penentuan nishabnya ? ( ada perbedaan antara SM dan buku PPPZ ).
2.
Bila seseorang sudah mengeluarkan zakat sesuai dengan ketentuan lalu orang tersebut
menyisihkan atau menabung sebagian pendapatannya setelah dikeluarkan zakatnya. Pada saat
tertentu nilai tabungan tersebut mencapai nishabnya. Apakah orang tersebut masih harus
mengeluarkan zakat (artinya mengeluarkan zakat 2 kali dari 1 harta yang dimiliki)? Apa
alasannya?

Jawab:
1.

Persoalan tentang zakat hasil pertanian, apakah dihitung dengan cara hasil yang diperoleh

dikurangi dahulu dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani atau tidak, memang nash tidak
menjelaskanya. Nash yang berbicara tentang persoalan ini hanya menjelaskan bahwa zakat
pertanian itu 10% jika diairi dengan air hujan dan 5% jika menggunakan irigasi. Sebagaimana
sabda Rasulullah saw:
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Nabi saw bersabda: “Terhadap tanaman
yang disirami hujan dari langit dan dari mata air atau yang digenangi air selokan, dikeluarkan
zakatnya sepersepuluhnya, sedangkan terhadap tanaman yang diairi dengan sarana pengairan
seperduapuluhnya”.” [HR. al-Bukhari dan Ahmad]
Jiwa hukum Islam boleh dikatakan dapat menentukan bahwa zakat dapat digugurkan dengan
sejumlah biaya yang digunakan untuk memperoleh hasil. Dalam kitab al-Kharraj (hlm. 509),
Ibnu Abbas menyatakan bahwa seorang petani harus membayar terlebih dahulu segala macam
biaya yang telah dipergunakan untuk pengolahan pertaniannya itu. Setelah itu kemudian
dikeluarkan zakatnya.
Oleh karena itu, bagi petani yang tidak hanya mengeluarkan biaya air, tapi juga
mengeluarkan biaya-biaya yang lainnya seperti biaya pembelian benih, insektisida, pupuk dan
juga perawatan maka biaya-biaya tadi diambilkan dari hasil panen, kemudian sisanya bila telah
sampai senisab atau 5 autsaq (kurang lebih 653 kg) maka dikeluarkan zakatnya 10% jika hasil
pertanian tadi diairi dengan air hujan, sungai dan mata air, dan 5% jika diairi dengan sistem
irigasi.
Meskipun demikian, jika ada orang yang dengan kesadarannya mengeluarkan zakat dari hasil

kotornya (tanpa dipotong oleh biaya-biaya tadi) maka dapat dianggap perbuatan baik dan utama.

Mengutip pendapat Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam buku fiqih zakatnya, disebutkan bahwa
ada dua hal yang dapat menguatkan pendapat itu. Pertama; beban dan biaya dalam pandangan
agama merupakan faktor yang mempengaruhi. Besar zakat bisa berkurang karenanya, misalnya
dalam hal pengairan yang memerlukan bantuan peralatan mengakibatkan besar zakatnya hanya
5% saja. Bahkan zakat itu bisa gugur sama sekali apabila ternak misalnya, harus dicarikan
makannya sepanjang tahun. Berdasarkan hal itu maka wajar apabila biaya dapat menggugurkan
kewajiban zakat dari sejumlah hasil sebesar biaya tersebut. Kedua; bahwa pertumbuhan pada
dasarnya adalah perkembangan, tetapi perkembangan itu tidak bisa dianggap terjadi dalam
kekayaan yang diperoleh tetapi biaya untuk memperolehnya juga sebesar yang diperoleh itu, jadi
seolah-olah biaya itu telah memakannya.
Tentang perkiraan adanya perbedaan antara Buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara
Muhammadiyah dengan buku Petunjuk Praktis Penghitungan Zakat (PPPZ) yang dikeluarkan
oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah Moga, memang sepintas terlihat ada perbedaan antara
keduanya tentang bagaimana cara mengeluarkan zakat pertanian. Di dalam buku Tanya Jawab
Agama 1 halaman 112 dan Tanya Jawab Agama 2 halaman 118-119 disebutkan bahwa kadar
zakat hasil tanaman ialah 10% dari hasil panen seluruhnya apabila tanaman itu tumbuh dan hidup
tanpa mengeluarkan biaya pengairan dan lain-lainnya, atau 5% dari hasil seluruhnya apabila
tanaman itu tumbuh dan hidup dengan pembiayaan yang cukup. Sedangkan dalam buku PPPZ

disebutkan bahwa cara mengeluarkan zakatnya adalah hasil panen dikurangi biaya saprotan dulu
baru dikeluarkan 5% dari sisa pengurangan yang telah mencapai nishab. Ringkasnya bahwa
dalam buku Tanya Jawab Agama 1 dan 2 tidak menyebutkan zakat hasil pertanian atau tanaman
itu dikeluarkan dengan cara hasil panen dikurangi biaya saprotan, sedangkan dalam buku PPPZ
zakat hasil panen itu disebutkan dikurangi biaya saprotan.
Namun dalam Tanya Jawab Agama 3 halaman 159 disebutkan bahwa dalam kalangan fuqoha
hanafiyah pembayaran zakat 10% atau 5% itu dikeluarkan setelah dipotong segala biaya yang
sudah dikeluarkan dan sisanya masih mencapai senishab. Oleh karena itu, sesungguhnya antara
Buku TJA SM dan Buku PPPZ tidak ada perbedaan, karena apa yang ada dalam buku Tanya
Jawab Agama itu sifatnya saling melengkapi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penentuan
nishab zakat pertanian itu dihitung dengan cara hasil pertanian yang diperoleh dikurangi terlebih
dahulu dengan biaya produksi.
2.
Zakat maal atau harta adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim yang mempunyai kekayaan
baik berupa uang, ternak, emas, perak atau kekayaan lainnya yang diwajibkan zakat. Dan bahkan
ulama-ulama kontemporer mewajibkan zakat atas gaji profesi atau penghasilan. Kewajiban zakat
dari kekayaan tersebut adalah dengan syarat harta tersebut milik sendiri, telah mencapai nishab
(batas minimal yang wajib dizakati) dan mempunyai sifat an-namaa‟ (berkembang dan
berpotensi berkembang).
Makna berkembang dan berpotensi berkembang adalah bahwa harta tersebut bisa bertambah

dari waktu ke waktu yang memberikan keuntungan, penghasilan dan atau pemasukan bagi
pemiliknya. Baik kekayaan tersebut diolah dengan cara diusahakan sendiri oleh pemiliknya atau
diolah dengan cara diusahakan bersama-sama dengan orang lain maupun lembaga lain maupun
disimpan di bank-bank. Seperti uang yang disimpan di bank-bank Islam yang menerapkan sistem
mudharabah (bagi hasil) maupun sistem lainnya yang di perbolehkan oleh syariat. Maka dari
semua itu diwajibkan zakat atasnya setelah syarat-syarat wajib zakat terpenuhi. Syarat
berkembang ini berdasarkan dari pernyataan-pernyataan umum al-Quran dan hadis yang
mengisyaratkan harta kekayaan yang wajib dizakati adalah mempunyai potensi untuk

berkembang. Dan juga didasarkan pada pengertian zakat itu sendiri yang mempunyai arti
berkembang.
Demikian pula, harta yang wajib dizakati disyaratkan telah mencapai haul (batas jatuh tempo
pembayaran), yaitu telah berlalu satu tahun (bagi harta selain pertanian). Haul ini berdasarkan
hadis Nabi saw yang berbunyi:
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra, dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw berkata:
"Tidak ada zakat atas suatu kekayaan sampai berlalu satu tahun." [HR. Ibnu Majah]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa
yang memperoleh harta, maka tidak ada zakat atasnya sampai berlalu satu tahun." [HR.
Tirmidzi]
Masih banyak dalil-dalil dari hadis Rasulullah saw yang semisal dengan hadis-hadis di atas.

Walaupun ada sebagian ulama yang mendhaifkan hadis-hadis tersebut, namun antara yang satu
dengan yang lainnya saling menguatkan sehingga kedudukannya terangkat.
Sehubungan dengan pertanyaan saudara penanya di atas, kiranya hadis Rasulullah saw di atas
dapat dijadikan jawabannya. Hal itu karena hadis tersebut dapat difahami bahwa setiap harta
yang telah berlalu satu tahun dan telah mencapai nishab diwajibkan zakat artinya setiap tahun
harus dikeluarkan zakatnya. Lalu bagaimana jika seseorang telah membayar zakat
pendapatannya, kemudian pendapatannya tersebut ditabung, setelah beberapa lama mencapai
nishab apakah ada kewajiban zakat lagi? Lalu bagaimana dengan membayar zakat 2 kali dari 1
harta yang sama?
Pada hakekatnya zakat diwajibkan beberapa kali dari harta yang sama. Namun dalam setahun
zakatnya ditunaikan sekali saja, karena tidak ada contoh dari Nabi saw maupun sahabat yang
melakukan dua kali zakat dari harta yang sama dalam masa satu tahun. Oleh karena itu, apabila
ada seorang yang menabung pendapatannya setelah dibayar zakatnya, kemudian jumlah
tabungan tersebut dalam suatu waktu mencapai nishab, maka ia tetap berkewajiban untuk
membayar lagi zakat uang tabungannya. Akan tetapi zakatnya dari uang yang telah mencapai
nishab (sama dengan harga emas 85 gram) ditunaikan pada tahun berikutnya dengan
menggabungkan antara uang tabungan dan uang pendapatannya yang belum dizakati agar tidak
terjadi dua kali zakat dari harta yang sama dalam satu tahun. Hal ini berdasarkan hadis tentang
haul di atas yang menyatakan bahwa setiap harta yang telah mencapai nishab diwajibkan zakat
setiap tahunnya walaupun pada tahun sebelumnya telah dibayar zakatnya dan juga riwayat Ibnu

Abi Syaibah dari sumber az-Zuhri yang mengatakan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Usman dalam
mengambil zakat, mereka hanya mengirimkan petugas-petugasnya tiap tahunnya baik diwaktu
makmur atau paceklik. (Fiqih Zakat Yusuf al Qaradhawi)
Di samping itu, juga didasarkan pada maksud diwajibkannya zakat tiap tahun, yaitu
memberikan hak fakir miskin dan membersihkan harta dari hak-hak orang lain, sebagaimana
disebutkan dalam QS. at-Taubah, 9: 103:
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka … ” [QS. at-Taubah, 9: 103]
Zakat diwajibkan juga agar tidak ada kesenjangan di antara si kaya dengan si miskin
sehingga terwujud kesejahteraan bersama. Begitu pula kewajiban membayar zakat setiap tahun
adalah suatu hal yang lebih adil bagi orang yang membayar zakat (muzakki) dan bagi yang

menerimanya (mustahiq), karena tidak memberatkan orang yang wajib zakat dan meringankan
beban bagi orang yang berhak menerima zakat. Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu al-Qayyim alJauziyyah dalam kitab Zaadul Ma’ad:
"Beliau yaitu Nabi saw hanya mewajibkan zakat itu satu kali dalam setahun dan satu tahun buat
tanaman dan buah-buahan adalah masa panen atau matangnya. Ini merupakan cara yang
paling adil, sebab jika keharusan mengeluarkan zakat itu sekali dalam satu bulan atau satu
minggu, tentu akan menyakiti pemilik kekayaan, begitu juga bila zakat diwajibkan sekali seumur
hidup tentu akan menyakiti orang-orang miskin yang seharusnya menerima zakat itu. Maka
tidak ada yang lebih adil daripada mengeluarkan zakat sekali dalam setahun”.

Wallahu „alam bish-shawab. *putm)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
http://tarjihmuhammadiyah.blogspot.com