Formulasi Sediaan Deodoran Antiperspiran Bentuk Batang (Stick) Dengan Aluminium Kalium Sulfat (Tawas)

(1)

FORMULASI SEDIAAN DEODORAN

ANTIPERSPIRAN BENTUK BATANG (STICK)

DENGAN ALUMINIUM KALIUM SULFAT (TAWAS)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

BERTHA DWI JULINTA LASE

NIM 121524024

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

FORMULASI SEDIAAN DEODORAN

ANTIPERSPIRAN BENTUK BATANG (

STICK

)

DENGAN ALUMINIUM KALIUM SULFAT (TAWAS)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

BERTHA DWI JULINTA LASE

NIM 121524024

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

FORMULASI SEDIAAN DEODORAN ANTIPERSPIRAN

BENTUK BATANG (

STICK

) DENGAN ALUMINIUM

KALIUM SULFAT (TAWAS)

OLEH:

BERTHA DWI JULINTA LASE NIM 121524024

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 06 Februari 2015

Pembimbing I, Panitia Penguji:

Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt. Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 197712262008122002 NIP 195807101986012001

Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt. Pembimbing II, NIP 197712262008122002

Dra. Djendakita Purba, M.Si., Apt. Dra. Lely Sari Lubis, M.Si., Apt. NIP 195107031977102001 NIP 195404121987012001

Dr. Anayanti Arianto, M.Si., Apt. NIP 195306251986012001

Medan, Maret 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP195807101986012001


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas segala rahmat dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Formulasi Sediaan Deodoran Antiperspiran Bentuk Batang (Stick) Dengan Aluminium Kalium Sulfat (Tawas)”.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt dan Ibu Dra. Djendakita Purba, M.Si., Apt., yang telah membimbing, memberikan petunjuk, saran-saran dan motivasi selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., Ibu Dra. Lely Sari Lubis, M.Si., Apt., dan Ibu Dr. Anayanti Arianto, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan. Serta seluruh pihak yang telah ikut membantu penulis namun tidak tercantum namanya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada Ayahanda Baziduhu Lase, S,KM.,M.Mkes. dan Ibunda Nurtaati Harefa, S.PdSD., yang telah memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun, pengorbanan baik materi maupun motivasi beserta doa yang tulus yang tidak pernah berhenti. Abangku Berniatwan Lase, S.Kep., Ners, Adik-adikku Bertha Tri Wahyuni Lase, S.TrKeb, Bertha Novita Lerry Lase dan


(5)

v

Berkat Ade Putra Lase, serta seluruh sahabat-sahabat yang selalu mendoakan dan memberikan semangat.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2015 Penulis,

Bertha Dwi Julinta Lase NIM 121524024


(6)

vi

FORMULASI SEDIAAN DEODORAN ANTIPERSPIRAN BENTUK BATANG (STICK) DENGAN ALUMINIUM KALIUM SULFAT (TAWAS)

ABSTRAK

Latar Belakang: Antiperspiran adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk menekan pengeluaran jumlah keringat dengan cara mempersempit pori-pori kelenjar keringat, baik ekrin maupun apokrin. Tawas (aluminium kalium sulfat) merupakan antiperspiran tradisional, yang berfungsi untuk memperbaiki bau badan bekerja dengan menghambat sekresi keringat dengan mengecilkan pori-pori. Dalam perdagangan, tawas tersedia dalam bentuk serbuk deodoran antiperspiran. Bentuk ini kurang efektif karena dapat terlarut dengan keringat. Sediaan kosmetika deodoran mempunyai beberapa bentuk, seperti sediaan serbuk, krim, lotio, batang (deo-stick), aerosol (spray), roll on dan lain sebagainya.

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah membuat formula sediaan deodoran antiperspiran bentuk batang (stick) dengan menggunakan tawas dan mengetahui daya antiperspirannya.

Metodologi: Metode penelitian ini adalah metode eksperimental. Komponen-komponen sediaan antiperspiran batang (stick) terdiri dari propilen glikol, etanol 96%, asam stearat, NaOH, tawas, parfum, dan asam laktat. Sediaan dibuat dengan lima konsentrasi tawas yaitu 10, 15, 20, 25 dan 30%. Pengujian yang dilakukan meliputi pemeriksaan mutu fisik, uji efek terhadap kain, uji iritasi, uji bau badan dan uji antiperspiran. Uji antiperspiran membutuhkan 6 orang sukarelawan (setiap konsentrasi sediaan dibutuhkan 6 orang sukarelawan) dan menggunakan metode gravimetri. Dalam metode ini sebagai absorben digunakan kain kasa.

Hasil: Seluruh sediaan antiperspiran bentuk batang stabil dalam penyimpanan selama 12 minggu pada suhu kamar, memiliki pH 3,7. Sediaan dengan konsentrasi tawas 10, 15, dan 20% memberikan susunan yang homogen setelah 12 minggu, sedangkan sediaan dengan konsentrasi tawas 25, dan 30% memberikan susunan yang tidak homogen setelah 12 minggu. Sediaan dengan konsentrasi tawas 15, 20, 25 dan 30% memiliki daya antiperspiran masing-masing maksimal sebesar 2,77; 9,26; 14,34; dan 22,06% dan semua menghilangkan bau badan sampai 9 jam. Kesimpulan: Tawas dapat diformulasikan ke dalam sediaan antiperspiran bentuk batang. Sediaan antiperspiran yang paling baik adalah sediaan dengan konsentrasi tawas 20% karena sediaan ini stabil secara fisik, tidak menimbulkan iritasi dan tidak merusak kain. Daya antiperspiran maksimal sebesar 9,26% dan efektif menghilangkan bau badan sampai dengan 9 jam.


(7)

vii

THE FORMULATION OF DEODORANT ANTIPERSPIRANT STICK USING ALUM (POTASSIUM ALUMINIUM SULFATE)

ABSTRACT

Background: Antiperspirant is a cosmetic which is used to suppress sweating by stricted pores of sweat glands, including eccrine and apocrine. Alum (potassium aluminum sulfate) is a traditional antiperspirant, which serves to improve body odor works by inhibiting the secretion of sweat with narrow the pores. In trade, alum is available in powder form antiperspirant deodorant. This form is less effective because it can be dissolved with sweat. Deodorant cosmetic preparations have several forms, such as powder preparations, creams, lotio, rods (deo-stick), aerosol (spray), roll on and etc.

Objective: The objective of this study was to formulate antiperspirant deodorant rod shape (stick) by using alum and to know the effectivity of antiperspirant deodorant stick.

Methodology: The method of this research was the experimental method. Components of antiperspirant stick were propylene glycol, ethanol 90%, stearic acid, sodium hydroxide, alum, perfumes, and lactic acid. The preparations were made in five alum concentration is 10, 15, 20, 25, and 30%. The tests of preparation were a physical quality inspection, fabric damage test, irritation test, body odor test and antiperspirant test. Antiperspirant test needs 6 panelis (every concentration needs 6 panelis) and used the gravimetric method. In the method as absorbent is gauze.

Results: All antiperspirant preparations were stable in storage for 12 weeks at room temperature, had a pH of 3.7. Formulation with alum concentration of 10, 15, and 20% gave a homogeneous composition for 12 weeks, whereas alum concentration of 25, and 30% did not provide homogeneous for 12 weeks. Formulation with alum concentration of 15, 20, 25, and 30% could reduce sweating up 2,77; 9,26; 14,34; and 22,06%, and all eliminated body odor 9 hours. Conclusion: Alum can be formulated into form of rods (stick) antiperspirant preparation. The best formulation antiperspirant stick was alum concentration of 20% because this formulation is physically stable, did not irritate and did not damage on fabrics, could reduce sweating up 9,26% and effectively eliminated body odor 9 hours.


(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Kosmetik ... 5

2.2 Kosmetika Kebersihan Badan ... 6

2.3 Antiperspiran dan Deodoran ... 8

2.3.1 Antiperspiran ... 9


(9)

ix

2.3.3 Deodoran antiperspiran stick ... 13

2.4 Mekanisme Kerja Sediaan Deodoran Antiperspiran ... 14

2.5 Komponen Deodoran Antiperspiran Batang ... 15

2.6 Kelenjar Keringat dan Perspirasi ... 17

2.7 Komposisi Keringat ... 20

2.8 Gangguan Kelenjar Keringat ... 20

2.9 Bau Badan ... 22

2.10 Uji Iritasi/Uji Tempel (Patch Test) ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Alat dan Bahan ... 27

3.1.1 Alat ... 27

3.1.2 Bahan ... 27

3.2 Pembuatan Antiperspiran Bentuk Batang (Stick) dengan Tawas dalam Berbagai Konsentrasi ... 27

3.3 Pemeriksaan Mutu Fisik Sediaan ... 30

3.3.1 Pemeriksaan pH sediaan ... 30

3.3.2 Pemeriksaan homogenitas ... 31

3.3.3 Pemeriksaan stabilitas sediaan ... 31

3.4 Uji Iritasi Kulit ... 32

3.5 Uji Efek Terhadap Kain ... 32

3.6 Uji Bau Badan ... 33

3.7 Uji Antiperspiran ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Hasil Formulasi Antiperspiran Bentuk Batang (Stick) ... 35


(10)

x

4.2.1 Penentuan pH sediaan ... 35

4.2.2 Pemeriksaan homogenitas ... 36

4.2.3 Stabilitas sediaan ... 37

4.3 Hasil Uji Iritasi ... 38

4.4 Hasil Uji Efek Terhadap Kain ... 39

4.5 Hasil Uji Bau Badan ... 40

4.6 Hasil Uji Antiperspiran ... 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Diagram saluran kelenjar keringat ekrin dan apokrin ... 19 Gambar 2.2 Struktur kimia asam 3-metil-2-heksenoat ... 23


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Formula sediaan antiperspiran bentuk batang yang

dimodifikasi ... 30

Tabel 4.1 Data pengukuran pH sediaan ... 35

Tabel 4.2 Data pengamatan homogenitas sediaan ... 37

Tabel 4.3 Data pengamatan perubahan bentuk, warna, dan bau sediaan ... 38

Tabel 4.4 Data hasil uji iritasi terhadap kulit sukarelawan ... 39

Tabel 4.5 Data hasil uji efek terhadap kain ... 40

Tabel 4.6 Data hasil uji bau badan ... 41


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Gambar tawas (aluminium kalium sulfat) ... 50

Lampiran 2 Gambar tawas yang sudah digerus dan diayak dengan ayakan 100 Mesh ... 50

Lampiran 3 Gambar sediaan antiperspiran bentuk batang ... 51

Lampiran 4 Gambar hasil uji homogenitas ... 52

Lampiran 5 Hasil uji iritasi ... 53

Lampiran 6 Hasil uji efek terhadap kain ... 53

Lampiran 7 Gambar alat penentuan pH sediaan ... 54

Lampiran 8 Gambar kain kasa uji (kiri) dan kain kasa kontrol (kanan ) 54 Lampiran 9 Format surat pernyataan untuk menjadi sukarelawan ... 55

Lampiran 10 Data uji bau badan untuk formula antiperspiran bentuk batang (stick) dengan kadar tawas 10% ... 56

Lampiran 11 Data uji bau badan untuk formula antiperspiran bentuk batang (stick) dengan kadar tawas 15% ... 57

Lampiran 12 Data uji bau badan untuk formula antiperspiran bentuk batang (stick) dengan kadar tawas 20%... 58

Lampiran 13 Data uji bau badan untuk formula antiperspiran bentuk batang (stick) dengan kadar tawas 25%... 59

Lampiran 14 Data uji bau badan untuk formula antiperspiran bentuk batang (stick) dengan kadar tawas 30%... 60

Lampiran 15 Data hasil dan perhitungan hasil uji antiperspiran bentuk batang (stick) ... 61

Lampiran 16 Bagan prosedur pembuatan antiperspiran bentuk batang (stick) ... 72

Lampiran 17 Perhitungan Formula sediaan antiperspirant bentuk batang yang dimodifikasi dalam berbagai konsentrasi ... 73


(14)

vi

FORMULASI SEDIAAN DEODORAN ANTIPERSPIRAN BENTUK BATANG (STICK) DENGAN ALUMINIUM KALIUM SULFAT (TAWAS)

ABSTRAK

Latar Belakang: Antiperspiran adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk menekan pengeluaran jumlah keringat dengan cara mempersempit pori-pori kelenjar keringat, baik ekrin maupun apokrin. Tawas (aluminium kalium sulfat) merupakan antiperspiran tradisional, yang berfungsi untuk memperbaiki bau badan bekerja dengan menghambat sekresi keringat dengan mengecilkan pori-pori. Dalam perdagangan, tawas tersedia dalam bentuk serbuk deodoran antiperspiran. Bentuk ini kurang efektif karena dapat terlarut dengan keringat. Sediaan kosmetika deodoran mempunyai beberapa bentuk, seperti sediaan serbuk, krim, lotio, batang (deo-stick), aerosol (spray), roll on dan lain sebagainya.

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah membuat formula sediaan deodoran antiperspiran bentuk batang (stick) dengan menggunakan tawas dan mengetahui daya antiperspirannya.

Metodologi: Metode penelitian ini adalah metode eksperimental. Komponen-komponen sediaan antiperspiran batang (stick) terdiri dari propilen glikol, etanol 96%, asam stearat, NaOH, tawas, parfum, dan asam laktat. Sediaan dibuat dengan lima konsentrasi tawas yaitu 10, 15, 20, 25 dan 30%. Pengujian yang dilakukan meliputi pemeriksaan mutu fisik, uji efek terhadap kain, uji iritasi, uji bau badan dan uji antiperspiran. Uji antiperspiran membutuhkan 6 orang sukarelawan (setiap konsentrasi sediaan dibutuhkan 6 orang sukarelawan) dan menggunakan metode gravimetri. Dalam metode ini sebagai absorben digunakan kain kasa.

Hasil: Seluruh sediaan antiperspiran bentuk batang stabil dalam penyimpanan selama 12 minggu pada suhu kamar, memiliki pH 3,7. Sediaan dengan konsentrasi tawas 10, 15, dan 20% memberikan susunan yang homogen setelah 12 minggu, sedangkan sediaan dengan konsentrasi tawas 25, dan 30% memberikan susunan yang tidak homogen setelah 12 minggu. Sediaan dengan konsentrasi tawas 15, 20, 25 dan 30% memiliki daya antiperspiran masing-masing maksimal sebesar 2,77; 9,26; 14,34; dan 22,06% dan semua menghilangkan bau badan sampai 9 jam. Kesimpulan: Tawas dapat diformulasikan ke dalam sediaan antiperspiran bentuk batang. Sediaan antiperspiran yang paling baik adalah sediaan dengan konsentrasi tawas 20% karena sediaan ini stabil secara fisik, tidak menimbulkan iritasi dan tidak merusak kain. Daya antiperspiran maksimal sebesar 9,26% dan efektif menghilangkan bau badan sampai dengan 9 jam.


(15)

vii

THE FORMULATION OF DEODORANT ANTIPERSPIRANT STICK USING ALUM (POTASSIUM ALUMINIUM SULFATE)

ABSTRACT

Background: Antiperspirant is a cosmetic which is used to suppress sweating by stricted pores of sweat glands, including eccrine and apocrine. Alum (potassium aluminum sulfate) is a traditional antiperspirant, which serves to improve body odor works by inhibiting the secretion of sweat with narrow the pores. In trade, alum is available in powder form antiperspirant deodorant. This form is less effective because it can be dissolved with sweat. Deodorant cosmetic preparations have several forms, such as powder preparations, creams, lotio, rods (deo-stick), aerosol (spray), roll on and etc.

Objective: The objective of this study was to formulate antiperspirant deodorant rod shape (stick) by using alum and to know the effectivity of antiperspirant deodorant stick.

Methodology: The method of this research was the experimental method. Components of antiperspirant stick were propylene glycol, ethanol 90%, stearic acid, sodium hydroxide, alum, perfumes, and lactic acid. The preparations were made in five alum concentration is 10, 15, 20, 25, and 30%. The tests of preparation were a physical quality inspection, fabric damage test, irritation test, body odor test and antiperspirant test. Antiperspirant test needs 6 panelis (every concentration needs 6 panelis) and used the gravimetric method. In the method as absorbent is gauze.

Results: All antiperspirant preparations were stable in storage for 12 weeks at room temperature, had a pH of 3.7. Formulation with alum concentration of 10, 15, and 20% gave a homogeneous composition for 12 weeks, whereas alum concentration of 25, and 30% did not provide homogeneous for 12 weeks. Formulation with alum concentration of 15, 20, 25, and 30% could reduce sweating up 2,77; 9,26; 14,34; and 22,06%, and all eliminated body odor 9 hours. Conclusion: Alum can be formulated into form of rods (stick) antiperspirant preparation. The best formulation antiperspirant stick was alum concentration of 20% because this formulation is physically stable, did not irritate and did not damage on fabrics, could reduce sweating up 9,26% and effectively eliminated body odor 9 hours.


(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah bau badan dapat dialami oleh setiap orang dan dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti faktor genetik, kondisi kejiwaan, faktor makanan, faktor kegemukan dan bahan pakaian yang dipakai. Keringat yang dikeluarkan seseorang sangat terlibat dalam proses timbulnya bau badan, dimana kelenjar apokrin dan ekrin yang dihasilkan telah terinfeksi bakteri yang berperan dalam proses pembusukan (Jacoeb, 2007).

Indonesia merupakan suatu negara tropis yang selalu disinari matahari, sehingga berkeringat tidak dapat dihindari. Bagi seseorang keluarnya keringat yang berlebihan dapat menimbulkan masalah, seperti misalnya menimbulkan bau badan yang kurang sedap. Bau badan sangat berhubungan dengan sekresi keringat seseorang dan adanya pertumbuhan mikroorganisme, serta makanan dan bumbu-bumbuan yang berbau khas seperti bawang-bawangan (Anonim, 2009). Keringat merupakan hasil sekresi dari kelenjar-kelenjar yang bermuara pada kulit berupa sebum, asam lemak tinggi, dan debris (pigmen yang terkumpul; sisa hasil metabolisme pada kulit), oleh karena itu keringat dapat membantu terbentuknya produk yang berbau hasil dekomposisi atau penguraian oleh bakteri. Bau badan lebih tercium pada daerah dengan kelenjar apokrin lebih banyak, seperti pada ketiak (aksila) dan daerah genital (Mutschler, 1991; Rikowski dan Grammer,1999).

Penggunaan sabun dan air sebagai pencuci badan pada waktu mandi relatif kurang efektif untuk mencegah bau badan. Untuk maksud tersebut dapat


(17)

2

dilakukan beberapa alternatif tindakan lain, seperti menggunakan sediaan kosmetik anti bau badan (Harry, 1982). Banyak individual yang telah menggunakan produk deodoran antiperspiran untuk mengontrol pengeluaran keringat dan bau di ketiak, faktanya lebih dari 90% populasi di dunia ini telah menggunakannya (Swaile, dkk., 2011).

Sediaan kosmetik deodoran antiperspiran mempunyai beberapa bentuk, seperti serbuk, krim, lotio, batang (deo-stick), aerosol (spray), dan lain sebagainya. Bentuk batang atau stick deodoran adalah suatu sediaan anti bau badan yang sangat disukai karena mudah dan praktis digunakan, serta mudah dibawa kemana-mana (Leon dan David, 1954).

Sediaan kosmetik anti bau badan biasanya mengandung deodoran dan antiperspiran. Antiperspiran adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk menekan pengeluaran jumlah keringat (Swaile, dkk., 2011). Deodoran adalah sediaan yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga dapat mengurangi dekomposisi bakterial, dan mampu mengontrol bau badan (Harry, 1982). Tawas merupakan deodoran antiperspiran tradisional, yang berfungsi untuk memperbaiki bau badan, bekerja dengan menghambat sekresi keringat dengan mengecilkan pori-pori (Wasitaatmadja, 1997).

Dalam perdagangan tawas tersedia dalam bentuk sediaan serbuk deodoran antiperspiran. Bentuk sediaan ini kurang efektif karena dapat terlarut bersama-sama dengan keringat. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk membuat sediaan deodoran antiperspiran dalam bentuk batang (stick) dengan menggunakan bahan aktif tawas. Untuk mempercepat pengeringan sediaan pada saat dioleskan di kulit, maka dipilih formula yang mengandung alkohol.


(18)

3 1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. Apakah tawas dapat diformulasikan dalam sediaan deodoran antiperspiran bentuk batang?

b. Apakah sediaan deodoran antiperspiran batang dengan bahan aktif tawas stabil dalam penyimpanan pada suhu kamar?

c. Apakah sediaan deodoran antiperspiran batang dengan bahan aktif tawas tidak menyebabkan iritasi pada kulit?

d. Bagaimana keefektivitasan tawas pada sediaan deodoran antiperspiran bentuk batang?

1.3 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

a. Tawas dapat diformulasikan dalam sediaan deodoran antiperspiran bentuk batang.

b. Sediaan deodoran antiperspiran bentuk batang dengan bahan aktif tawas stabil dalam penyimpanan pada suhu kamar.

c. Sediaan deodoran antiperspiran batang dengan bahan aktif tawas tidak menyebabkan iritasi pada kulit.

d. Tawas efektif sebagai deodoran antiperspiran bentuk batang.

1.4 Tujuan Penelitan

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk membuat sediaan deodoran antiperspiran bentuk batang dengan menggunakan zat aktif tawas.


(19)

4

b. Untuk mengetahui kestabilan sediaan deodoran antiperspiran batang dengan tawas sebagai zat aktif dalam penyimpanan suhu kamar.

c. Untuk mengetahui sediaan deodoran antiperspiran batang dengan tawas sebagai zat aktif tidak menyebabkan iritasi pada kulit.

d. Untuk mengetahui efektivitas tawas dalam sediaan deodoran antiperspiran batang.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memformulasikan tawas dalam sediaan bentuk batang dan melihat stabilitas sediaan serta efektifitasnya sebagai deodoran antiperspiran.


(20)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kosmetik

Kosmetik berasal dari kata ”kosmein” (Yunani) yang berarti ”berhias”. Bahan yang dipakai dalam usaha untuk mempercantik diri ini, dahulu diramu dari bahan-bahan alami yang terdapat di alam sekitar. Sekarang kosmetik tidak hanya dari bahan alami tetapi juga dari bahan sintetis untuk maksud meningkatkan kecantikan (Wasitaatmadja, 1997).

Menurut peraturan kepala BPOM Republik Indonesia No. HK.03.1.23.07.11.6662 Tahun 2011, kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar), atau gigi dan membran mukosa mulut, terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan, dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.

Penggolongan kosmetik menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI, kosmetik dibagi kedalam 13 kelompok:

1. Preparat untuk bayi, misalnya minyak bayi, bedak bayi, dll. 2. Preparat untuk mandi, misalnya sabun mandi, dll.

3. Preparat untuk mata, misalnya maskara, eye-shadow, dll. 4. Preparat wangi-wangian, misalnya parfum, dll.

5. Preparat untuk rambut, misalnya sampo, hair spray, dll. 6. Preparat pewarna rambut, cat rambut, dll


(21)

6

8. Preparat untuk kebersihan mulut, misalnya pasta gig, mouth washes, dll. 9. Preparat untuk kebersihan badan, misalnya deodoran, antiperspiran, dll. 10. Preparat kuku, misalnya cat kuku, losion kuku, dll.

11. Preparat perawatan kulit, misalnya pembersih, pelembab, pelindung, dll. 12. Preparat cukur, misalnya sabun cukur, dll

13. Preparat untuk suntan dan sunscreen, misalnya sunscreen foundation, dll. (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.2 Kosmetik Kebersihan Badan

Kebersihan badan (personal hygene) adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Tarwoto dan Wartonah, 2006). Seseorang akan mempunyai kepercayaan diri yang lebih tinggi bila badannya berbau harum dan menyegarkan (Hasby, 2001).

Setiap hari badan dibersihkan dengan frekuensi tidak terbatas sesuai

kebutuhabody

shampoo/sabun, body lotion, body talk, serta deodoran antiperspiran (lotion, spray, stick, talk dan lain-lain) (Anonim, 2014). Membuat badan (kulit, rambut, dan gigi) bersih merupakan tujuan utama pemakaian kosmetik. Meskipun badan mengusahakan pembersihan dirinya sendiri, misalya dengan penggantian sel-sel lapisan tanduk dan penggantian rambut tua dengan rambut baru, itu belum cukup, terutama bagi manusia modern yang menuntut kebersihan yang lebih baik. Bahan pembersih yang paling umum digunakan adalah air. Pembersih dengan air atau bahan dasar air mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah air dapat melunakkan lapisan tanduk sehingga mudah dibersihkan, tidak


(22)

7

toksik, tidak menimbulkan efek samping, mudah didapat dan murah harganya. Tetapi dari sudut kosmetik modern, air memiliki kekurangan, tidak mempunyai daya pembasah yang kuat karena ditolak oleh keratin dan sebum yang sedikit menyerap air, tidak dapat membersihkan seluruh kotoran yang melekat pada kulit, tidak membersihkan jasad renik pada permukaan kulit, bukan merupakan pembersih kulit yang baik dan sukar mencapai lekuk dan pori kulit dan kurang efektif mencegah bau badan (Wasitaatmadja, 1997; Tranggono dan Latifah, 2007).

Kosmetik paling tua yang dikenal sebagai pembersih badan dan pengharum kulit adalah sabun. Sabun bukan pembersih yang ideal dan tidak dapat mencegah bau badan. Pertama, sabun tidak dapat mencegah terbentuknya keringat dan pertumbuhan flora normal kulit. Kedua, sabun cenderung mengendapkan ion K+ dan Mg2+ yang kadang terdapat di dalam air (disebut sebagai air berat) yang akan mengurangi daya pembersih sabun. Ketiga, sabun terdiri atas substansi alkalis kuat (NaOH dan KOH) dan asam lemak (asam lemak jenuh dan tidak jenuh), yang dapat mengiritasi kulit. Deodoran dalam sabun mulai dipergunakan sejak tahun 1950, namun oleh karena efek sampingnya, penggunaannya dibatasi. Sabun digunakan untuk membersihkan kotoran pada kulit baik berupa kotoran yang larut dalam air maupun kotoran yang larut dalam lemak (Wasitaatmadja,1997).

Deodoran merupakan jawaban atas kebutuhan tersebut, karena dapat mencegah dan menghilangkan bau badan dengan cara menghambat dekomposisi atau penguraian keringat oleh bakteri (Young, 1972). Bau badan biasanya berhubungan erat dengan peningkatan keluarnya keringat (perspirasi) baik


(23)

8

kelenjar keringat ekrin maupun apokrin, maka antiperspiran yang menekan perspirasi kulit, dibutuhkan untuk melengkapi kosmetik ini (Wasitaatmadja, 1997).

2.3 Antiperspiran dan Deodoran

Meningkatnya penggunaan antiperspiran dan deodoran disebabkan pergaulan modern dalam hal kebersihan badan, sehingga dirasa perlu untuk mengurangi atau menghilangkan bau badan, yang disebabkan perubahan kimia keringat oleh bakteri (Gros dan Keith, 2009).

Bentuk sediaan deodoran antiperspiran dapat berupa bedak, cairan atau losio, krim, stick, spray atau aerosol (Leon dan David, 1954). Dermatitis akibat deodoran antiperspiran biasanya disebabkan oleh senyawa-senyawa aluminium, antiseptik, dan zat pewangi. Iritasi ini dapat berkurang jika penggunaan dikurangi, iritasi terjadi karena pH yang rendah, kandungan klorida yang tinggi dan adanya pelarut alkohol dalam sediaan (Swaile, dkk., 2011). Reaksi yang terjadi biasanya dalam bentuk reaksi iritasi, bukan sensitisasi. Reaksi terjadi di ketiak dan bagian-bagian badan lainnya dimana deodoran dikenakan. Penghentian pemakaian biasanya meredakan reaksi dengan cepat (Tranggono dan Latifah, 2007).

Perbedaan antara antiperspiran dan deodoran; antiperspiran diklasifikasikan sebagai kosmetik medisinal/obat karena mempengaruhi fisiologi tubuh yaitu fungsi kelenjar keringat ekrin dan apokrin dengan mengurangi laju pengeluaran keringat sedangkan deodoran membiarkan pengeluaran keringat, tetapi mengurangi bau badan dengan mencegah penguraian keringat oleh bakteri (efek antibakteri) dan menutupi bau dengan parfum. Penggunaan deodoran bukan hanya pada ketiak saja, tetapi bisa juga pada seluruh bagian tubuh. Deodoran tidak


(24)

9

mengontrol termoregulasi, sehingga deodoran digolongkan sebagai sediaan kosmetik (Butler, 2000; Egbuobi, dkk., 2013). Sediaan deodoran bukanlah sediaan antiperspiran tetapi sediaan antiperspiran secara otomatis adalah sediaan deodoran juga. Hal ini karena sediaan antiperspiran dapat mengurangi populasi bakteri ketika pengeluaran keringat dihambat sehingga bau badan berkurang. Sekarang ini, ada dua zat aktif yang biasa digunakan dalam sediaan antiperspiran deodoran yaitu aluminium klorohidrat (AKH) dan aluminium zirkonium klorohidrat (AZKH) keduanya aman dan efektif (Butler, 2000; Rahayu, dkk., 2009). Menurut BPOM RI No. HK. 03.1.23.08.11.07517 tahun 2011 tentang persyaratan teknis bahan kosmetika, kadar maksimal untuk garam aluminium adalah 20%, zirkonium 5,4% dalam setiap sediaan antiperspiran serta mencatumkan peringatan “jangan digunakan pada kulit yang teriritasi/luka”.

2.3.1 Antiperspiran

Antiperspiran adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk menekan produksi keringat, baik ekrin maupun apokrin (Gros dan Keith, 2009). Mekanisme antiperspiran dapat berupa (Wasitaatmadja, 1997):

1. Penyumbatan saluran keringat atau muara saluran keringat dengan cara: a. Membentuk endapan protein keringat

b. Membentuk endapan keratin epidermis c. Membentuk infiltrat dinding saluran keringat

Contoh: garam-garam aluminium, seperti (Rahayu, dkk., 2009): a. Aluminium kalium sulfat (tawas/alum)


(25)

10

aluminium klorohidrat adalah kelompok garam yang mempunyai rumus umum AlnCl(3n-m)(OH)m, biasanya digunakan dalam deodoran dan

antiperspiran serta flokulan pada permunian air. Aluminium klorohidrat digunakan dalam antiperspiran dan pada terapi hiperhidrosis.

c. Aluminium klorida

Aluminium klorida adalah bahan kimia dengan rumus kimia AlCl3.

Aluminium klorida dikenal sebagai astringen dan antiseptik.

d. Aluminium zirconium tetrachlorohydrex; anhydrous aluminium zirconium tetrachlorohydrex; aluminium zirconium chloride hydroxide; aluminium

zirconium tetrachlorohydrate; aluminium zirconium chlorohydrate.

Mempunyai dua fungsi utama sebagai antiperspiran yaitu:

1. Ion aluminium dan zirkonium membentuk gel yang menyumbat saluran kelenjar keringat. Kemampuan menyumbat pori ini biasa terjadi pada antiperspiran berbasis aluminium.

2. Anhydrosis aluminium zirconium tetrachlorohydrex bersifat higroskopik sehingga menyerap keringat yang dihasilkan saluran yang tidak tersumbat pada tempat pertama.

Kedua fungsi inilah aluminium zirconium tetrachlorohydrex dikatakan dapat mengurangi keringat dan bau badan.

2. Penekan produksi keringat oleh kelenjar keringat, dapat berupa (Wasitaatmadja,1997) :

a. Antikolinergik, misalnya propantelen bromida, skopolamin bromida. Jarang dipakai karena efek sampingnnya. Bila dipakai, maka kosmetik ini termasuk dalam kosmetik medik atau obat topikal.


(26)

11

b. Golongan aldehida, yang menekan produksi keringat dengan cara mengurangi peredaran darah (vasokonstriksi) kulit ditempat tersebut. jarang digunakan karena efek samping sensitisasi.

Pada umumnya sediaan antiperspiran menggunakan aluminium klorohidrat, aluminium klorida sebagai zat aktif karena mempunyai sifat astringen dan antibakteri dan mempunyai pH 4 yang tidak menyebabkan iritasi dan tidak merusak jaringan kulit. Dahulu, zat aktif yang sering digunakan dalam antiperspiran aluminium sulfat, aluminium klorida, dan aluminium fenolsulfonat. Aluminium klorida dan aluminium sulfat merupakan zat yang efektif, tidak toksik, tetapi sangat asam, pH antara 2-3. Hal ini dapat menyebabkan iritasi kulit dan merusak pakaian, terutama yang terbuat dari kapas dan rayon. Untuk mengurangi keasaman antiperspiran dibuat dapar (Ditjen POM, 1985; Butler, 2000).

Gangguan pada mekanisme keringat akan mempersulit pembuatan pola pengujian laboratorium untuk mengevaluasi antiperspiran. Ada korelasi antara kekuatan pengendapan protein oleh garam logam dan aktivitas antiperspiran. Penilaian antiperspiran berdasarkan jumlah pengeluaran keringat dapat dilakukan dengan menggunakan metode noda (semi kuantitatif terbaik) dan metode pencatatan kontinyu dan gravitasi (Ditjen POM, 1985) yaitu:

1. Metode Noda

Metode yang berdasarkan reaksi iodum pati. Metode yang sangat sederhana dan cepat berdasarkan reaksi serbuk biru bromfenol yang disuspensikan ke dalam minyak silikon, akan memberikan noda kebiruan pada permulaan keluarnya keringat. Dengan mengkombinasi kedua metode diperoleh catatan permanen noda hitam - biru pada kertas toilet yang telah mengabsorpsi


(27)

12

keringat dan dapat diulang dengan meletakkan pada ketiak bola pingpong yang disalut dengan campuran serbuk biru bromfenol yang dibalut dengan kain kasa. Salutan berubah menjadi biru. Kepekatan warna yang dihasilkan menunjukan kecepatan sekresi keringat.

2. Metode pencatatan kontinyu dan gravimetri

Metode gravimetri adalah metode paling baik untuk mengevaluasi efektifitas antiperspiran. Dalam metode ini bahan absorbennya adalah kain kasa yang telah ditara. Metode pencatatan kontinyu adalah metode paling teliti karena menggunakan higrometer elektrolit.

2.3.2 Deodoran

Deodoran adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk menyerap keringat, menutupi bau badan dan mengurangi bau badan (Rahayu, dkk., 2009). Deodoran dapat juga diaplikasikan pada ketiak, kaki, tangan dan seluruh tubuh biasanya dalam bentuk spray (Egbuobi, dkk., 2013). Bahan aktif yang digunakan dalam deodoran dapat berupa: (Wasitaatmadja, 1997, Butler, 2000).

1. Pewangi (parfum); untuk menutupi bau badan yang tidak disukai. Dengan adanya pewangi maka deodoran dapat digolongkan dalam kosmetik pewangi (perfumery).

2. Pembunuh mikroba yang dapat mengurangi jumlah mikroba pada tempat asal bau badan.

a. Antiseptik: pembunuh kuman apatogen atau patogen, misalnya heksaklorofen, triklosan, triklokarbanilid, amonium kwartener, ion

exchange resin. Sirih merupakan antiseptik tradisional yang banyak digunakan.


(28)

13

b. Antibiotik topikal: pembunuh segala kuman, misalnya neomisin, aureomisin. Pemakaian antibiotik tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan resistensi dan sensitisasi.

c. Antienzim yang berperan dalam proses pembentukan bau, misalnya asam malonat, metal chelating, klorofil. Dosis yang diperlukan terlalu tinggi sehingga dapat menimbulkan efek samping.

3. Eliminasi bau (odor eliminator); yang dapat mengikat, menyerap, atau merusak struktur kimia bau menjadi struktur yang tidak bau, misalnya seng risinoleat, sitronelik senesiona, ion exchange resin.

2.3.3 Deodoran antiperspiran stick

Deodoran antiperspiran stick, berbentuk batang padat, mudah dioles dan merata pada kulit, bau sedap, stik transparan atau berwarna. Pembuatannya berbeda dengan pembuatan lipstik karena deodoran ini merupakan gel sabun. Pembuatannya mirip dengan pembuatan emulsi, yaitu suatu fase minyak (fatty acid) diadukkan dalam suatu fase larutan alkali dalam air/alkohol pada suhu sekitar 70 oC. Gel panas yang terbentuk diisikan ke dalam cetakan pada suhu sekitar 60 - 65 oC dan dibiarkan memadat (Ditjen POM, 1985; Tranggono dan Latifah, 2007).

Deodoran antiperspiran stick adalah kosmetika yang berbahan dasar; natrium stearat (asam sterat dan natrium hidroksida) dan sebagai pelarut menggunakan propilen glikol atau alkohol (Bulter, 2000). Untuk mencegah kristalisasi garam aluminium maka digunakan gliserin atau propilen glikol dan untuk alasan yang sama maka hanya sejumlah kecil alkohol yang ditambahkan pada formula (Poucher, 1978).


(29)

14

Garam kompleks aluminium dibuat dengan penambahan laktat ke dalam aluminium klorhidrat. Garam kompleks natrium aluminium klorhidrosilaktat dapat bercampur dengan natrium stearat atau sabun lain, karena ionisasi aluminium dapat ditekan jika pH larutan meningkat (Ditjen POM, 1985). Pertengahan tahun 1950, diperkenalkan natrium aluminium klorhidrosilaktat kompleks yang stabil di dalam dasar deodoran stik. Sediaan yang mengandung kompleks ini mempunyai aktifitas antibakteri tetapi, efektifitas sebagai antiperspiran menjadi berkurang (Butler, 2000).

2.4 Mekanisme Kerja Sediaan Deodoran Antiperspiran

Pada umumnya sediaan deodoran antiperspiran menggunakan bahan aktif aluminium klorohidrat Al2(OH)5Cl. Keringat mengandung air, ketika aluminium

klorohidrat bereaksi dengan air (keringat) terjadi reaksi hidrolisis melepaskan ion Al3+ membentuk formasi aluminium hidrat [Al(H2O)6]3+. Suasana menjadi

setimbang antara asam/basa karena kehadiran air, reaksi yang terjadi dapat dilihat di bawah ini (Gros dan Keith, 2009):

[Al(H2O)6]3+(aq) + H2O(l) [Al(H2O)5OH]2+(aq) + (H3O)+(aq)

Adanya ion (H3O)+ menyebabkan dua efek penting yaitu: (Gros dan Keith, 2009)

1. pH area menjadi di bawah 7 (asam), bukan kondisi yang optimum untuk pertumbuhan bakteri (bakteri lebih banyak pada kondisi basa).

2. Keringat mengandung protein, pada kondisi normal dapat larut dalam air. Kehadiran ion (H3O)+ menyebabkan struktur protein berubah (denaturasi),

sehingga kelarutan berubah. Akibatnya, struktur protein seperti srtuktur gel yang menutupi saluran keringat (Gros dan Keith, 2009; Swaile, dkk., 2011).


(30)

15

Penggunaan garam aluminium dianggap mempunyai efek antibakteri karena menghasilkan pH asam dari proses penguraian oleh air. Kulit dengan pH asam dianggap merupakan pertahanan alamiah terhadap infeksi bakteri dan jamur. Sediaan antiperspiran harus berdasarkan reaksi penguraian garam logam oleh air. Karena mempunyai efek menghambat bakteri kulit (Ditjen POM, 1985). Efek deodoran garam aluminium terjadi dengan dua cara, yaitu:

1. Aktivitas hambat bakteri yang disebabkan pH yang relatif rendah 2. Netralisasi bau dengan kombinasi kimia.

Antiperspiran yang mengandung garam aluminium mempunyai aktivitas tidak langsung pada kelenjar keringat tetapi, dengan cara memblokade pori dengan koagulasi protein oleh ion polivalen sehingga mengurangi keluarnya keringat. Disamping itu antiperspiran dapat menyebabkan reaksi inflamasi di sekitar lapisan pembuluh dan lubang keringat, dan adanya kontraksi dapat mengurangi keluarnya keringat ke permukaan kulit (Ditjen POM, 1985; Swaile, dkk., 2011).

Tawas bekerja dengan cara menetralisir bau yang timbul dari pertemuan apokrin dengan kuman. Sehingga tawas dapat menghilangkan bau badan dan menghambat perspirasi kulit (Anonim, 2010).

2.5 Komponen Deodoran Antiperspiran Batang

Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat deodoran antiperspiran bentuk batang (stick) dengan menggunkan tawas yaitu:

1. Tawas

Sinonim: kalium aluminium sulfat, alum, aluin Rumus molekul: KAl(SO4)2.12H2O


(31)

16

Tawas berupa kristal atau pecahan-pecahan kristal, tidak berwarna, atau dapat juga berupa serbuk. Tawas tidak berbau, rasa sedikit manis, dan mempunyai sifat adstringen yang cukup kuat. Larutan tawas bersifat asam jika diuji menggunakan lakmus. Tawas sangat mudah larut dalam air mendidih dan mudah larut dalam air, tidak larut dalam alkohol, dan larut dalam gliserin (American Pharmaceutical Association, 1970). Tawas adalah semacam batu putih agak bening yang bisa digunakan untuk membeningkan air dan dapat digunakan untuk menghilangkan bau badan khususnya di daerah ketiak. Tawas merupakan salah satu bahan aktif dari antiperspiran, walaupun demikian awal tahun 2005 FDA (Food and Drug Administration) tidak lagi mengakuinya sebagai pengurang keringat (Rahayu, dkk., 2009). Sediaan antiperspiran dipasaran yang menggunakan tawas dalam bentuk sediaan serbuk dengan konsentrasi tawas 20% (Anonim 2010).

2. Propilen glikol

Propilen glikol digunakan dalam kosmetika sebagai pelarut dalam jumlah 15-50%. Propilen glikol adalah pelarut yang lebih baik dari pada gliserin dan dapat melarutkan berbagai macam bahan seperti kortikosteroid, fenol, barbiturat, vitamin (A dan D), dan alkaloid (Rowe, dkk., 2009).

3. Parfum

Parfum sebaiknya dipilih yang sederhana, lembut, dan menyenangkan, dan banyak disukai dan dapat menutupi bau badan yang mungkin kurang sedap untuk orang lain (Balsam dan Sagarin, 1972).


(32)

17 4. Asam stearat

Asam stearat berbentuk padatan berwarna putih kekuningan (Wade dan Weller, 1994). Asam stearat memiliki atom karbon C18 yang merupakan asam

lemak jenuh dan berperan dalam memberikan konsistensi dan kekerasan pada produk (Mitsui, 1997). Asam stearat mempunyai titik lebur pada suhu 69,4 oC (Ketaren, 1986).

5. Asam laktat

Asam laktat merupakan asam organik. Ditambahkan dalam sediaan antiperspiran stik untuk menekan ionisasi logam aluminium sehingga garam aluminium mudah bercampur dengan sabun (Ditjen POM, 1985).

6. Natrium hidroksida (NaOH)

NaOH merupakan salahsatu jenis alkali (basa) kuat yang bersifat korosif serta mudah menghancurkan jaringan lunak. NaOH berbentuk butiran padat berwarna putih dan memiliki sifat higroskopis (Wade dan Weller, 1994). Ion Na+ bereaksi dengan asam lemak membentuk sabun (Fessenden dan Fessenden, 1994).

2.6 Kelenjar Keringat dan Perspirasi

Prespirasi merupakan proses berkeringat. Prespirasi sangat penting, karena merupakan proses fisiologi normal yang berguna untuk mengeluarkan air dan garam (elektrolit) dari tubuh dan mengatur temperatur tubuh (Darbre, 2005). Kelenjar keringat yang paling utama berperan dalam proses fisiologi normal perspirasi adalah kelenjar ekrin (Edgar dan Semken, 1991).


(33)

18

Kelenjar yang menghasilkan keringat adalah kelenjar ekrin dan apokrin. Kelenjar ekrin yang kecil-kecil, terletak dangkal di dermis dengan sekret yang encer dan kelenjar apokrin yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental (Montagna, 1963; Djuanda, 2008).

Kelenjar keringat ekrin terdapat di seluruh kulit, mulai dari telapak tangan dan telapak kaki sampai kulit kepala dan ketiak. Jumlahnya diseluruh badan sekitar 2 juta – 3 juta, bentuknya langsing, bergulung-gulung, dan salurannya bermuara langsung pada permukaan kulit yang tidak ada rambutnya (Edgar dan Semken, 1991). Sekresi bergantung pada beberapa faktor seperti faktor panas, demam (peningkatan suhu tubuh) dan stres emosional, serta mekanismenya diatur oleh saraf kolinergik. Kelenjar ekrin sudah ada sejak lahir, telah terbentuk sempurna pada usia kehamilan 28 minggu dan baru berfungsi 40 minggu setelah kelahiran. Kelenjar ekrin berfungsi mengatur suhu tubuh. Jika suhu kamar naik, keringat akan keluar, suhu badan akan kembali normal akibat penguapan keringat tersebut. Pada orang sehat kejadiaan ini berlangsung otomatis. Kelenjar keringat ekrin dapat melengkapi fungsi ginjal (Ditjen POM, 1985; Djuanda, 2008).

Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenergik. Ukurannya lebih besar daripada ekrin dan pembuluh sekresinya berakhir pada folikel rambut. Kelenjar apokrin hanya terdapat di daerah ketiak, puting susu, daerah anal dan genital (Montagna, 1963). Kelenjar apokrin dianggap mempunyai sifat seksual sekunder. Meskipun telah ada sejak lahir, tetapi berkembang lambat pada masa anak-anak, mulai berfungsi setelah meningkat remaja. Perkembangan lebih cepat pada wanita daripada pria, dan aktivitasnya mencapai puncak jika kehidupan seks telah matang, kemudian menurun setelah menopause (putus haid). Kelenjar ekrin


(34)

19

dianggap berperan kontinyu, sedangkan kelenjar apokrin, makin lama peranannya makin lambat (Ditjen POM, 1985; Trangggono dan Latifah, 2007). Perbedaan saluran kelenjar keringat ekrin dan kelenjar keringat apokrin dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Diagram saluran kelenjar keringat ekrin dan apokrin (Montagna, 1963)

Keterangan gambar:

a) Kelenjar apokrin dengan saluran yang berakhir pada folikel rambut. b) kelenjar ekrin


(35)

20 2.7 Komposisi Keringat

Keringat merupakan bagian dari fungsi ekskresi dan termoregulasi, serta mengandung air, elektrolit, glukosa, protein, dan asam laktat. Derajat keasaman (pH keringat) biasanya sekitar 4 - 6,8 (Djuanda, 2008).

Terdapat perbedaan jelas antara komposisi kimia keringat ekrin dan apokrin. Keringat apokrin mengandung protein, sedikit gula, ion feri, dan amonia sedangkan keringat ekrin 98% - 99% terdiri dari air, sisanya campuran senyawa anorganik dan organik. Fraksi anorganik terutama natrium klorida, sehingga keringat rasanya asin, juga mengandung kalium, kalsium, magnesium, besi, tembaga, dan mangan. (Navarre, 1975; Ditjen POM, 1985).

Senyawa organik dalam sekresi ekrin terdiri dari asam laktat, asam sitrat, asam format, asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam askorbat juga mengandung urea dan asam urat. Bahan yang sangat penting adalah asam laktat, yang membentuk dapar asam laktat, menstabilkan pH sekresi ekrin dalam interval 4 - 7. Kandungan asam laktat yang relatif tinggi dalam keringat ekrin menyebabkan pH juga lebih rendah dibandingkan dengan pH sekresi apokrin yang berkisar antara 6,2 - 7,5, karena mengandung amonia yang relatif tinggi. Kandungan nitrogen dalam keringat ekrin berkisar antara 23% - 60% dimana yang 35% - 50% dalam bentuk urea, juga terdapat sedikit asam amino (Ditjen POM, 1985).

2.8 Gangguan Kelenjar Keringat

Gangguan fungsi kelenjar keringat dapat dibagi menjadi: hiperdrosis, androsis, bromidrosis, dan kromidrosis.


(36)

21 1. Hiperhidrosis

Sinonim: idrosis, hiperdrosis, sudatoria, sudorrhea.

Hiperdrosis adalah suatu keadaan bertambahnya jumlah keringat pada permukaan kulit melebihi keadaan normal (Darbre, 2005). Hiperhidrosis pada ketiak didefinisikan sebagai pengeluaran keringat berlebihan oleh kelenjar ekrin di ketiak yang berguna untuk mendinginkan tubuh. Sesorang dikatakan menderita hiperdrosis jika berkeringat melebihi 20 mg/menit bagi laki-laki dan melebihi 10 mg/menit bagi wanita (Swaile, dkk., 2011). Hal ini dapat disebabkan karena meningkatnya hasil produksi kelenjar keringat ekrin. Hiperdrosis sering kali mengganggu bagi diri penderita maupun bagi orang lain. Hiperdrosis dapat terjadi di seluruh permukaan tubuh atau lokal (setempat), misalnya pada telapak tangan dan kaki. Hiperdrosis dapat merupakan tanda adanya gangguan pada kelenjar endokrin, saraf, atau merupakan hiperdrosis murni. Hiperdrosis dapat juga terjadi dalam penyesuaian diri seseorang dengan iklim/ lingkungan tropis (Harahap, 2000). Hiperdrosis bagian ketiak dapat diterapi oleh profesional kesehatan menggunakan teknologi seperti garam-garam aluminium, inotophoresis, botulinum toxin tipe A dan pada kasus ekstrim, dioperasi (Swaile, dkk., 2011).

2. Bromhidrosis

Sinonim: bromidrosis, osmidrosis.

Bromhidrosis adalah suatu keadaan dimana bau keringat berlebihan, biasanya bau tajam (tidak enak) yang berasal dari permukaan kulit. Bromhidrosis disebabkan penguraian keringat oleh bakteri yang menghasilkan bau.


(37)

22

Bromhidrosis tergantung pada jumlah sekresi keringat apokrin dan kebersihan tubuh masing-masing individu. Sediaan deodoran dapat diaplikasikan untuk mengurangi bau badan (bromhidrosis) (Seeley, dkk., 2011; Egbuobi, dkk., 2013).

3. Anhidrosis

Sinonim: hipohidrosis, anidrosis

Anidrosis adalah penguraian atau penghentian sekresi kelenjar keringat. Kondisi ini jarang sekali terjadi (Harahap, 2000).

4. Kromhidrosis

Kromhidrosis adalah istilah yang ditujukan untuk keadaan dimana keringat berwarna. Biasanya ini menunjukkan terjadinya infeksi baik oleh bakteri atau jamur sehingga cairan yang diekskresikan berwarna (Jarrett, 1966).

2.9 Bau Badan

Setiap makhluk hidup mempunyai bau yang berasal dari proses dalam tubuhnya. Bau tersebut biasanya khas sehingga berguna untuk identifikasi terhadap lingkungannya. Tumbuhan tertentu mempunyai bau dari akar, batang, daun, maupun bunganya yang karena baunya menyenangkan, manusia membuatnya sebagai wewangian. Binatang tertentu mempunyai bau khas yang menjadi daya tarik seksual lawan jenisnya. Berbeda dengan bau badan manusia umumnya justru bukan untuk menjadi daya tarik terhadap orang lain, sehingga tidak disukai dan harus dihilangkan. Bau badan ketiak berasal dari dekomposisi protein yang terdapat dalam keringat ekrin terutama apokrin oleh mikroba yang terdapat di tempat tersebut. Bau badan yang terjadi bervariasi jenis dan intensitasnya sesuai dengan jenis dan jumlah hasil dekomposisi tersebut, yaitu


(38)

23

golongan asam amino urea, misalnya trimetil aminuria menimbulkan bau ikan (Wasitaatmadja, 1997).

Mengeluarkan keringat merupakan cara yang alami untuk mendinginkan tubuh. Dengan berkeringat maka akan terbentuk lingkungan yang sempurna bagi pertumbuhan bakteri karena bakteri berkembang dengan baik dilingkungan panas dan lembab seperti ketiak manusia. Pada dasarnya keringat ketiak hanya terdiri dari air dan garam sehingga tidak mempunnyai bau yang istimewa (Rahayu, dkk., 2009). Bau badan disebabkan oleh bakteri yang menguraikan keringat dengan melepaskan asam 3-metil-2-heksenoat (trans-3-metil-2-hekenoat) yang mempunyai bau yang sangat kuat (Gros dan Keith, 2009). Struktur kimia asam 3-metil-2-heksenoat dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur kimia asam 3-metil-2-heksenoat (Gros dan Keith, 2009)

Bau badan yang paling mennyengat ada di daerah ketiak dan genital, popilasi mikroorganisme banyak disana karena di daerah tersebut terdapat kelenjar ekrin dan apokrin, serta rambut (Yamazaki, dkk., 2010). Adanya rambut di ketiak juga merupakan faktor sekunder yang dapat menyebabkan bertambahnya bau ketiak. Sekresi keringat yang tertimbun akan dirusak oleh bakteri atau jamur. Seseorang yang mencukur rambut ketiak secara teratur akan mengurangi bau ketiak. Bakteri merupakan unsur penting dalam menghasilkan bau keringat. Sekresi apokrin yang segar adalah steril, dan segera dapat terkontaminasi dengan bakteri ketika mencapai permukaan ketiak. Jika pertumbuhan bakteri dalam


(39)

24

sekresi apokrin tersebut dihambat dalam kondisi steril, pembentukkan bau yang tidak enak dapat dicegah. Keringat ekrin tidak akan berbau sekalipun, karena tidak cukup mengandung substrat untuk pertumbuhan bakteri. Kadang-kadang dapat timbul bau yang lunak karena peruraian zat tertentu misalnya sebum atau keratin oleh enzim bakteri (Dalton, 1985; Ditjen POM, 1985).

Untuk mengurangi atau menghilangkan bau badan dapat dilakukan dengan cara memelihara kebersihan tubuh dengan baik, misalnya mandi menggunakan sabun dengan teratur, menggunakan deodoran antiperspiran, dan menjaga asupan nutrisi (Harahap, 2000; Anonim, 2014).

2.10 Uji Iritasi/Uji tempel (Patch Test)

Uji tempel adalah uji iritasi dan kepekaan kulit yang dilakukan dengan cara mengoleskan sediaan uji pada kulit normal panel manusia dengan maksud untuk mengetahui apakah sediaan tersebut dapat menimbulkan iritasi pada kulit atau tidak (Ditjen POM, 1985).

Iritasi dan kepekaan kulit adalah reaksi kulit terhadap toksikan. Jika toksikan dilekatkan pada kulit akan menyebabkan kerusakan kulit. Iritasi kulit adalah reaksi kulit yang terjadi karena pelekatan toksikan golongan iritan, sedangkan kepekaan kulit adalah reaksi kulit yang terjadi karena pelekatan toksikan golongan alergen (Ditjen POM, 1985).

Iritasi umumnya akan segera menimbulkan reaksi kulit sesaat setelah pelekatan pada kulit, iritasi demikian disebut iritasi primer. Tetapi jika iritasi tersebut timbul beberapa jam setelah pelekatannya pada kulit, iritasi ini disebut iritasi sekunder (Ditjen POM, 1985).


(40)

25

Tanda-tanda yang ditimbulkan ke dua reaksi kulit tersebut lebih kurang sama, yaitu akan tampak hiperemia, eritema, edema, atau vesikula kulit. Reaksi kulit yang demikian biasanya bersifat lokal (Ditjen POM, 1985).

Panel uji tempel meliputi manusia sehat. Manusia sehat yang dijadikan panel uji tempel sebaiknya wanita, usia antara 20-30 tahun, berbadan sehat jasmani dan rohani, tidak memiliki riwayat penyakit alergi atau reaksi alergi, dan menyatakan kesediaannya dijadikan sebagai panel uji tempel (Ditjen POM, 1985).

Lokasi uji lekatan adalah bagian kulit panel yang dijadikan daerah lokasi untuk uji tempel. Biasanya yang paling tepat dijadikan daerah lokasi uji tempel adalah bagian punggung, lengan tangan atas bagian dalam, lipatan siku, dan bagian kulit di belakang telinga (Scott, dkk., 1976; Ditjen POM, 1985).

Teknik uji tempel dapat dilakukan dengan uji tempel terbuka, uji tempel tertutup, dan atau uji tempel sinar. Prosedur uji tempel dibedakan menjadi uji tempel preventif, uji tempel diagnostik, dan uji tempel ramal (Ditjen POM, 1985).

Uji tempel preventif adalah uji tempel yang dilakukan sebelum penggunaan sediaan kosmetika untuk mengetahui apakah pengguna peka terhadap sediaan atau tidak. Uji tempel preventif dilakukan dengan teknik uji tempel terbuka atau tertutup, waktu pelekatannya ditetapkan 24 jam. Pengamatan reaksi kulit positif atau negatif (Ditjen POM, 1985).

Uji tempel diagnostik adalah uji tempel yang dilakukan untuk maksud pelacakan atau penyelidikan komponen sediaan kosmetika yang menjadi penyebab terjadinya reaksi kulit pada penderita peka. Uji tempel diagnostik dilakukan dengan teknik uji tempel terbuka, uji tempel tertutup, dan atau uji


(41)

26

tempel sinar. Lamanya pelekatan ditetapkan 24 jam, 48 jam, dan 72 jam (Ditjen POM, 1985).

Uji tempel ramal adalah uji tempel yang dilakukan untuk maksud apakah sediaan kosmetik dapat diedarkan dengan jaminan keamanan atau tidak (Ditjen POM, 1985). Hasil uji tempel dipengaruhi oleh berbagai faktor:

- Kadar dan jenis sediaan uji

- Ketaatan panel dalam melaksanakan instruksi penguji - Lamanya waktu pelekatan sediaan uji

- Lokasi lekatan - Umur panel


(42)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini adalah eksperimental. Penelitian meliputi formulasi sediaan, pemeriksaan mutu fisik sediaan, uji iritasi terhadap sediaan, dan uji efektifitas deodoran antiperspiran terhadap variasi konsentrasi sediaan yang dibuat.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Sediaan Farmasi I Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: cawan penguap,

lumpang dan stamper, neraca analitis, pH meter, kain kasa, kain rayon, ayakan 100 mesh, wadah deodoran batang (roll up) dan alat-alat gelas laboratorium. 3.2.1 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tawas, propilen glikol, etanol 96%, natrium hidroksida, asam stearat, asam laktat, dan parfum.

3.2 Pembuatan Antiperspiran Bentuk Batang dengan Tawas dalam

Berbagai Konsentrasi

Berdasarkan hasil orientasi formula standar yang dipilih adalah formula

deo stick (Nater, dkk., 1983), karena formula deo stick dapat bercampur baik dengan tawas.


(43)

28

Deo stick (Nater, dkk., 1983):

R/ Aldioxa 10 g Triklosan 0,5 g Propilen glikol 60 g Etanol 10 g Asam stearat 5 g Natrium stearat 5 g Parfum dan warna secukupnya

Pada formula tersebut natrium stearat digantikan dengan NaOH dan asam stearat (persamaan reaksi natrium stearat dapat dilihat di Lampiran 17). Aldioxa dan triklosan digantikan dengan tawas. Konsentrasi tawas bervariasi yakni: 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%. Formula sediaan antiperspiran bentuk batang dalam berbagai konsentrasi dapat dilihat di bawah ini.

R/ Propilen glikol 60 g

Etanol 10 g

Asam stearat 9,64 g Natrium hidroksida 0,65 g

Tawas x g

Parfum 2 tetes Keterangan: x = 10, 15, 20, 25, dan 30

Telah dilakukan orientasi lagi, asam laktat perlu ditambahkan sebagai pembantu pelarut tawas sebanyak 5% dari jumlah tawas, karena tawas sukar larut maka dibantu dengan asam laktat sehingga dapat larut dalam propilen glikol. Selain itu konsentrasi asam stearat ditingkatkan dari 9,64 gram menjadi 10,64


(44)

29

gram, hal ini untuk menambah kekerasan antiperspiran bentuk batang. Formula sediaan antiperspiran bentuk batang yang telah dimodifikasi dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan di Lampiran 17.

Formula Deo Stick (Nater, dkk., 1983) yang dimodifikasi: R/ Etanol 10 g

Asam stearat 10,64 g Natrium hidroksida 0,65 g

Tawas x g

Parfum dan warna 2 tetes Asam laktat secukupnya Propilen glikol ad 100 Keterangan: x = 10, 15, 20, 25, dan 30

Cara pembuatan: masing-masing formula sediaan dibuat menjadi 100 gram. Ditimbang semua bahan yang diperlukan. Tawas digerus halus dalam lumpang, kemudian diayak menggunakan ayakan 100 mesh. Tawas dilarutkan dalam propilen glikol dan asam laktat sambil dipanaskan di atas penangas air (larutan tawas). NaOH dilarutkan dalam alkohol dimasukan ke dalam larutan tawas. Asam stearat dilebur di atas penangas air, kemudian dimasukan ke dalam larutan tawas. Diaduk perlahan sambil terus dipanaskan di atas penangas air. Kemudian dimasukkan parfum. Lalu, dimasukkan dalam wadah dan dibiarkan memadat.


(45)

30

Tabel 3.1 Formula sediaan antiperspiran bentuk batang yang dimodifikasi

BAHAN

FORMULA

A B C D E

Tawas (g) 10 15 20 25 30

Asam Laktat (g) 0,5 0,75 1 1,25 1,5 Etanol 96% (g) 11,19 10,53 9,88 9,22 8,56 Asam Stearat (g) 11,90 11,21 10,51 9,81 9,11 Natrium hidroksida (g) 0,728 0,68 0,64 0,6 0,56

Parfum (tetes) 2 2 2 2 2

Propilen Glikol ad 100 100 100 100 100

Keterangan:

Formula A : Sediaan dengan konsentrasi tawas 10% Formula B : Sediaan dengan konsentrasi tawas 15% Formula C : Sediaan dengan konsentrasi tawas 20% Formula D : Sediaan dengan konsentrasi tawas 25% Formula E : Sediaan dengan konsentrasi tawas 30%

3.3 Pemeriksaan Mutu Fisik Sediaan

Pemeriksaan mutu fisik dilakukan terhadap masing-masing sediaan deodoran antiperspiran batang yang meliputi pemeriksaan homogenitas, pemeriksaan stabilitas sediaan yang mencakup pengamatan terhadap perubahan bentuk, warna, dan bau, kemudian dilakukan pemeriksaan pH.

3.3.1 Pemeriksaan pH sediaan

Penentuan pH sediaan dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Alat terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar standar netral (pH 7,01) dan larutan dapar pH asam (pH 4,01) hingga alat menunjukkan harga pH tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan air suling, lalu dikeringkan dengan


(46)

31

tisu. Sampel dibuat dalam konsentrasi 1% yaitu ditimbang 1 g sediaan dan dilebur dalam baker gelas dengan 100 ml air suling di atas penangas air. Setelah suhu mencapai sekitar 40 oC, elektroda dicelupkan dalam larutan tersebut. Alat dibiarkan menunjukkan harga pH sampai konstan. Angka yang ditunjukkan pH meter merupakan pH sediaan (Rawlins, 2003).

3.3.2 Pemeriksaan homogenitas

Masing-masing sediaan deodoran antiperspiran batang yang dibuat diperiksa homogenitasnya dengan cara mengoleskan sejumlah tertentu sediaan pada kaca yang transparan. Sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butir-butir kasar (Ditjen POM, 1979).

3.3.3 Pemeriksaan stabilitas sediaan

Pengamatan terhadap adanya perubahan bentuk, warna dan bau dari sediaan deodoran antiperspiran batang dilakukan terhadap masing-masing sediaan selama penyimpanan pada suhu kamar pada minggu ke 2, 4, 6 dan selanjutnya setiap 2 minggu hingga minggu ke-12. Pada perubahan bentuk diperhatikan apakah sediaan deodoran antiperspiran batang mengalami perubahan bentuk dari bentuk awal pencetakan atau tidak yakni dengan mengamati apakah sediaan mengeluarkan minyak atau meleleh pada penyimpanan suhu kamar. Pada perubahan warna diperhatikan apakah sediaan mengalami perubahan warna dari warna awal pembuatan sediaan atau tidak, pada perubahan bau diperhatikan apakah sediaan menjadi tengik atau masih berbau khas dari parfum yang digunakan.


(47)

32 3.4 Uji Iritasi Kulit

Uji iritasi dilakukan terhadap sediaan yang dibuat dengan maksud untuk mengetahui bahwa deodoran antiperspiran batang yang dibuat dapat menimbulkan iritasi pada kulit atau tidak (Ditjen POM, 1985).

Pada uji iritasi ini dilakukan terhadap 6 orang relawan sehat (pengujian pada konsentrasi tertinggi 30%). Uji ini dilakukan dengan cara kulit sukarelawan yang akan diuji dibersihkan dan dilingkari dengan diameter 3 cm pada bagian belakang telinganya, kemudian sediaan dioleskan menggunakan cotton buds pada tempat yang akan diuji, lalu dibiarkan selama 24 jam dengan diamati setiap 4 jam. Kemudian diamati reaksi yang ditimbulkan pada kulit. Bila terjadi eritema diberi tanda +, terjadi eritema dan papula diberi tanda ++, terjadi eritema, papula, vesikula diberi tanda +++, terjadi edema dan vesikula diberi tanda ++++ (Scott, dkk., 1976; Ditjen POM, 1985).

Kriteria panelis uji iritasi (Ditjen POM, 1985): 1. Wanita

2. Usia antara 20-30 tahun

3. Berbadan sehat jasmani dan rohani 4. Tidak memiliki riwayat penyakit alergi

5. Menyatakan kesediaannya dijadikan panelis uji iritasi

3.5 Uji Efek Terhadap Kain

Uji efek terhadap kain dilakukan pada kain rayon dan dilihat apakah ada pengaruh konsentrasi tawas terhadap kerusakan kain. Sebanyak 100 mg sediaan dioleskan secara merata pada kain rayon kemudian diletakkan pada ketiak relawan. Percobaan ini dilakukan terhadap 6 orang relawan sehat (pengujian pada


(48)

33

kosentrasi tertinggi 30%). Lalu kain dicuci dengan menggunakan air tanpa sabun kemudian kain rayon dikeringkan dilihat kerusakan kainnya, dilakukan hal yang sama selama 6 hari dengan kain yang sama dilihat efeknya terhadap kain. Uji ini dilakukan pada pagi hari setelah relawan mandi, dibiarkan hingga sore hari (Navarre, 1975).

3.6 Uji Bau Badan

Uji bau badan ditentukan dengan cara penciuman terhadap kain kasa yang telah digunakan relawan. Untuk percobaan ini dilakukan terhadap 6 orang relawan sehat (setiap konsentrasi sediaan dibutuhkan 6 orang relawan), berjenis kelamin wanita berusia 20-30 tahun. Sebelum pengujian relawan dianjurkan tidak menggunakan produk deodoran lainnya sehari sebelum pengujian dilakukan (Ditjen POM, 1985).

Uji ini dilakukan pada pagi hari setelah relawan mandi, ketiak relawan dikeringkan, sediaan dioleskan pada salah satu ketiak relawan hingga merata dan salah satu ketiak sebagai kontrol. Lalu ditempelkan kain kasa pada kedua ketiak dengan menggunakan plester, dibiarkan melekat selama 9 jam. Pada pengujian ini relawan dianjurkan melakukan aktivitas seperti biasanya.

3.7 Uji Antiperspiran

Uji antiperspiran dilakukan menggunakan kain kasa sebagai adsorben. Kain kasa dibuat dengan panjang 8 cm dan lebar 5 cm dan berat kain kasa sekitar 2 gram. Pada pengujian ini menggunakan 6 orang relawan (setiap konsentrasi sediaan dibutuhkan 6 orang relawan), sehat, berjenis kelamin wanita, dan berusia 20-30 tahun. Pada pengujian ini relawan dianjurkan tidak boleh memakai produk


(49)

34

deodoran antiperspiran lainnya sehari sebelum pengujian dan selama pengujian dilakukan (Ditjen POM, 1985).

Uji ini dilakuan pada pagi hari, setelah relawan mandi. Sediaan dioleskan pada ketiak kanan secara merata dan ketiak kiri tidak dioleskan sediaan (kontrol), kedua ketiak relawan dipasangkan kain kasa yang telah ditimbang, ditutupi semua dengan plester. Dibiarkan selama 3 jam, setelah 3 jam kain kasa ditimbang kembali uji ini dilakukan selama 6 hari berturut-turut untuk setiap relawan (Ditjen POM, 1985).


(50)

35 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Formulasi Sediaan Antiperspiran Bentuk Batang

Sediaan Antiperspiran yang diperoleh berbentuk batang, padat, mudah dioles dan merata, terasa lembut dan dingin saat dioleskan, tidak terdapat partikel-partikel kasar, berwarna putih seperti susu, dan beraroma khas parfum. Variasi konsentrasi 10%, 15%, 20%, 25%, dan 30% tawas yang digunakan tidak menghasilkan perbedaan bentuk dan daya oles pada setiap sediaan.

4.2 Hasil Pemeriksaan Mutu Fisik Sediaan

4.2.1 Penentuan pH sediaan

Diperoleh pH sediaan antiperspiran bentuk batang masing-masing konsentrasi dengan tiga kali pengukuran, hasil dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini.

Tabel 4.1 Data pengukuran pH sediaan

Formula Pengukuran pH sediaan pH rata-rata

I II III

A 3,8 3,7 3,7 3,7

B 3,7 3,6 3,7 3,7

C 3,7 3,7 3,8 3,7

D 3,7 3,7 3,7 3,7

E 3,6 3,7 3,7 3,7

Keterangan:

Formula A : Sediaan dengan konsetrasi tawas 10% Formula B : Sediaan dengan konsentrasi tawas 15% Formula C : Sediaan dengan konsentrasi tawas 20% Formula D : Sediaan dengan konsentrasi tawas 25% Formula E : Sediaan dengan konsentrasi tawas 30%

Hasil pemeriksaan pH menunjukkan bahwa sediaan antiperspiran yang dibuat memiliki pH 3,7. pH ini mendekati pH fisiologis kulit yaitu 3,5 - 5


(51)

36

(Tranggono dan Latifah, 2007). Dengan demikian formula tersebut dapat digunakan untuk sediaan antiperspiran.

Penggunaan garam aluminium dalam sediaan dianggap mempunyai efek antibakteri karena menghasilkan pH asam dari proses penguraian oleh air (Ditjen POM, 1985). Hal ini disebabkan karena penambahan propilen glikol pada saat pembuatan sediaan, propilen glikol mengabsorpsi air dari udara ke dalam sediaan sehingga kadar air bertambah (Soeratri, dkk., 2004). Adanya ion sulfat dalam tawas membuat sediaan bersifat asam (Winarno, 1991). Selain itu garam aluminium dapat menciutkan pori sehingga dapat mengurangi pengeluaran keringat (Eiri Board of Consultants & Engineers, 2000). Oleh karena itu garam-garam aluminium memiliki efek deodoran dan antiperspiran.

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan sediaan deodoran antiperspiran dengan bahan aktif garam-garam aluminium adalah terjadinya kerusakan pada kain dan iritasi pada kulit akibat pH sediaan yang asam (Poucher, 1976).

4.2.2 Pemeriksaan homogenitas

Hasil pemeriksaan homogenitas selama 12 minggu dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan pada Lampiran 4.

Pengamatan sampai pada minggu ke 12 formula A, B, dan C menunjukan bahwa sediaan tetap tidak memperlihatkan adanya butiran-butiran kasar terbukti pada saat sediaan dioleskan pada kaca transparan menunjukan susunan yang homogen dan pada saat dioleskan di permukaan kulit tidak kasar. Tetapi, formula D dan E sampai pada minggu ke 12 memperlihatkan adanya butiran-butiran kasar, pada saat dioleskan pada kaca transparan menunjukan susunan yang tidak


(52)

37

homogen dan terasa kasar pada saat dioleskan di permukaan kulit. Hal ini disebabkan karena konsentrasi tawas terlalu tinggi sehingga partikel tawas kembali membentuk kristal-kristal kecil (Ditjen POM, 1985; Butler, 2000).

Tabel 4.2 Data pemeriksaan homogenitas sediaan

No Formula Pengamatan Homogenitas

Sebelum 12 minggu Setelah 12 minggu

1 A  

2 B  

3 C  

4 D  X

5 E  X

Keterangan:

Formula A : Sediaan dengan konsetrasi tawas 10% Formula B : Sediaan dengan konsentrasi tawas 15% Formula C : Sediaan dengan konsentrasi tawas 20% Formula D : Sediaan dengan konsentrasi tawas 25% Formula E : Sediaan dengan konsentrasi tawas 30%

 : Homogen X : Tidak Homogen 4.2.3 Stabilitas sediaan

Hasil uji stabilitas sediaan antiperspiran bentuk batang menunjukkan bahwa seluruh sediaan yang dibuat tetap stabil dalam penyimpanan pada suhu kamar selama 12 minggu pengamatan. Parameter yang diamati dalam uji kestabilan fisik ini meliputi perubahan bentuk, warna, dan bau sediaan. Data pengamatan perubahan bentuk, warna dan bau dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Seluruh sediaan antiperspiran yang dibuat memiliki bentuk yang baik berbentuk padat (batangan/stick), tidak keluar minyak dan tidak meleleh pada penyimpanan suhu kamar. Warna sediaan yang dihasilkan tetap sama. Bau sediaan tetap stabil yaitu bau khas dari parfum.


(53)

38

Tabel 4.3 Data pengamatan perubahan bentuk, warna dan bau sediaan

Keterangan: B : Baik

P : Putih

Bk : Bau khas sesuai parfum

Formula A : Sediaan dengan konsetrasi tawas 10% Formula B : Sediaan dengan konsentrasi tawas 15% Formula C : Sediaan dengan konsentrasi tawas 20% Formula D : Sediaan dengan konsentrasi tawas 25% Formula E : Sediaan dengan konsentrasi tawas 30%

4.3 Hasil Uji Iritasi

Berdasarkan hasil uji iritasi yang dilakukan pada 6 orang sukarelawan menunjukkan bahwa semua sukarelawan tidak menunjukkan reaksi terhadap parameter uji iritasi yang diamati yaitu adanya eritema, papula, dan vesikula. Dari hasil uji iritasi tersebut dapat disimpulkan bahwa sediaan antiperspiran yang dibuat tidak mengakibatkan iritasi pada kulit. Hasil uji iritasi dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Pengamatan Formula Lama pengamatan (minggu) 0 2 4 6 8 10 12

Bentuk

A B B B B B B B B B B B B B B B C B B B B B B B D B B B B B B B E B B B B B B B

Warna

A P P P P P P P B P P P P P P P C P P P P P P P D P P P P P P P E P P P P P P P

Bau

A Bk Bk Bk Bk Bk Bk Bk B Bk Bk Bk Bk Bk Bk Bk C Bk Bk Bk Bk Bk Bk Bk D Bk Bk Bk Bk Bk Bk Bk E Bk Bk Bk Bk Bk Bk Bk


(54)

39

Tabel 4.4 Data hasil uji iritasi terhadap kulit sukarelawan. No Formula Sukarelawan

I II III IV V VI

1 A 0 0 0 0 0 0

2 B 0 0 0 0 0 0

3 C 0 0 0 0 0 0

4 D 0 0 0 0 0 0

5 E 0 0 0 0 0 0

Keterangan:

0 : Tidak ada reaksi + : Eritema

++ : Eritema dan papula

+++ : Eritema, papula, dan vesikula

++++ : Edema dan vesikula (Ditjen POM, 1985). Formula A : Sediaan dengan konsetrasi tawas 10% Formula B : Sediaan dengan konsentrasi tawas 15% Formula C : Sediaan dengan konsentrasi tawas 20% Formula D : Sediaan dengan konsentrasi tawas 25% Formula E : Sediaan dengan konsentrasi tawas 30%

4.4 Hasil Uji Efek Terhadap Kain

Uji efek terhadap kain dilakukan terhadap kain rayon yang diamati secara visual terhadap kain yang diolesi dengan sediaan dan ditempelkan pada ketiak. Dilihat adanya hubungan antara konsentrasi tawas dengan kerusakan kain. Uji ini dilakukan terhadap 6 orang relawan. Hasil uji kerusakan kain dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan pada Lampiran 6. Suatu sediaan deodoran antiperspiran dikatakan tidak merusak kain apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Kekuatan kain tidak berubah (kain tidak rapuh) setelah kain diolesi sediaan dan dicuci, kain tetap kuat seperti sebelum kain diolesi sediaan.

2. Tidak ada noda yang terlihat baik pada kain putih maupun kain yang berwarna setelah diolesi sediaan dan dicuci sebanyak lima kali.


(55)

40

3. Tidak menghilangkan warna kain ataupun mengubah warna kain (Navarre, 1975).

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan sediaan deodoran antiperspiran yang menggunakan zat aktif garam-garam aluminium adalah kerusakan pada kain dan iritasi pada kulit akibat pH sediaan yang asam (Navarre, 1975). Pengujian selama 6 hari sediaan dengan konsentrasi tawas 10% - 30% tidak merusak kain.

Tabel 4.5 Data hasil uji efek terhadap kain

No Formula Waktu (hari)

Sukarelawan

I II III IV V VI

1 A 6 - - - -

2 B 6 - - - -

3 C 6 - - - -

4 D 6 - - - -

5 E 6 - - - -

Keterangan:

Formula A : Sediaan dengan konsetrasi tawas 10% Formula B : Sediaan dengan konsentrasi tawas 15% Formula C : Sediaan dengan konsentrasi tawas 20% Formula D : Sediaan dengan konsentrasi tawas 25% Formula E : Sediaan dengan konsentrasi tawas 30% - : Tidak merusak kain

4.5 Hasil Uji Bau Badan

Hasil uji bau badan dapat dilihat pada Tabel 4.6 dan pada Lampiran 10-14. Pengujian ini dilakukan dengan cara penciuman secara langsung pada kain kasa yang digunakan relawan dan pada kain yang dikenakan oleh relawan. Uji ini dilakukan oleh 6 orang relawan. Sebelum pengujian relawan dianjurkan tidak menggunakan produk deodoran lainnya sehari sebelum pengujian dilakukan (Ditjen POM, 1985). Pada pengujian ini relawan dianjurkan melakukan aktivitas


(56)

41

seperti biasanya. Garam (penggaraman) dapat mencegah pembusukan dengan menghambat pertumbuhan bakteri melalui tekanan osmosis. Pada prinsipnya sifat yang dimiliki garam juga dimiliki oleh tawas. Tawas mempunyai rumus Al2(SO4)314H2O dapat membentuk suasana asam dan berfungsi sebagai astringen

(sifat yang dapat menurunkan pH, mengkerutkan jaringan, dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk) (Helmiyati dan Nurrahman, 2010).

Tawas cenderung menurunkan keasaman, hal ini karena dalam tawas ada ion sulfat yang memberikan suasana asam. Sifat dari protein bila terkena asam akan mengalami koagulasi atau penggumpalan sehingga tawas dapat mencegah terjadinya pertumbuhan mikroorganisme di daerah aksila (Winarno, 1991).

Tabel 4.6 Data hasil uji bau badan

No Formula Waktu (Jam)

Sukarelawan

I II III IV V VI

1 A 9 + - + + + +

2 B 9 - - - -

3 C 9 - - - -

4 D 9 - - - -

5 E 9 - - - -

Keterangan:

Formula A : Sediaan dengan konsetrasi tawas 10% Formula B : Sediaan dengan konsentrasi tawas 15% Formula C : Sediaan dengan konsentrasi tawas 20% Formula D : Sediaan dengan konsentrasi tawas 25% Formula E : Sediaan dengan konsentrasi tawas 30% - : Tidak berbau ( netral)

+ : Berbau

Pada sediaan dengan konsentrasi tawas 15% - 30% efektif menghilangkan bau badan relawan I - VI selama 9 jam. Sediaan dengan konsentrasi tawas 10% efektif menghilangkan bau badan hanya sampai 3 jam. Pada relawan II disediaan tawas 10% tidak menghasilkan bau badan, karena


(57)

42

relawan tersebut tidak mempunyai bau keringat. Hal ini disebabkan karena setiap orang memiliki bau badan yang khas dan berbeda, serta jumlah pengeluaran keringat yang banyak, sedang, dan sedikit bahkan hampir tidak berkeringat. Bau badan seseorang kadang lebih menyengat dari bau badan orang lain. Hal ini dapat disebabkan karena pemeliharaan kebersihan tubuh yang kurang baik, kondisi hormonal, kondisi fisik, keadaan emosional atau karena pengaruh makanan dan pH sediaan antiperspiran yang telah dibuat memilki pH 3,7 bersifat asam dan dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

4.6 Hasil Uji Antiperspiran

Penilaian antiperspiran ini menggunakan metode gravitasi. Metode gravitasi adalah metode yang lebih baik untuk mengevaluasi efektifitas antiperspiran. Dalam metode ini bahan absorben yang digunakan adalah kain kasa yang telah ditara, kain kasa yang telah mengabsorbsi keringat kemudian ditimbang (Ditjen POM, 1985). Data hasil uji antiperspiran dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan di Lampiran 15.

Tawas sebagai antiperspiran mampu mengurangi keringat hingga 20% - 25% atau 40% dari produksi normal. Itu dilakukan dengan cara mempersempit pori-pori kulit, keringat yang tertahan diserap kembali oleh jaringan kulit. Pada kondisi normal, ketiak mengeluarkan rata-rata 400mg - 500mg keringat setelah 20 menit, pada suhu 35 oC (Anonim, 2010).

Sediaan dengan konsentrasi tawas 10% belum mempunyai efek antiperspiran. Efek antiperspiran baru tercapai pada sediaan dengan konsentrasi 15%, 20%, 25%, dan 30%. Selama 6 hari rata-rata efektifitas antiperspiran sediaan


(58)

43

dengan konsentrasi 15% dapat mengurangi pengeluaran keringat hingga 2,77%, sediaan dengan konsentrasi 20% dapat mengurangi keringat hingga 9,26%, sediaan dengan konsentrasi 25% dapat mengurangi keringat hingga 14,34%, dan sediaan dengan konsentrasi 30% dapat mengurangi keringat hingga 22,06%.

Tabel 4.7 Data hasil uji antiperspiran

Keterangan:

Formula A : Sediaan dengan konsentrasi tawas 10% Formula B : Sediaan dengan konsentrasi tawas 15% Formula C : Sediaan dengan konsentrasi tawas 20% Formula D : Sediaan dengan konsentrasi tawas 25% Formula E : Sediaan dengan konsentrasi tawas 30% --- : Tidak mempunyai efek antiperspiran

Suatu sediaan antiperspiran yang bahan aktifnya adalah garam aluminium dan sejenisnya yang berperan sebagai antiperspiran adalah ion Al3+ . Garam aluminium dapat mengakibatkan keratinisasi abnormal, sehingga terjadi blokade pada muara keringat sehingga aliran keringat terhambat. Garam aluminium mempunyai efek antiperspiran, jika digunakan dalam kadar cukup tinggi, tidak kurang dari 15% (Ditjen POM, 1985).

Efek antiperspiran (pengurangan keringat) berbeda-beda setiap variasi konsentrasi, karena jumlah tawas setiap sediaan berbeda-beda. Semakin banyak konsentrasi tawas yang digunakan, efek antiperspiran semakin kuat. Sediaan dengan konsentrasi tawas 10% belum mampu mengurangi keringat.

No Formula Rata-rata pengurangan keringat (%) pada relawan

I II III IV V VI 1 A --- --- --- --- --- --- 2 B 2,45 1,99 2,22 3,11 2,23 2,77 3 C 6,33 7,32 5,67 6,66 9,26 8,34 4 D 9,05 14,34 9,61 9,76 11,60 12,30 5 E 12,05 22,06 13,72 14,89 14,44 16,20


(59)

44 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Tawas dapat diformulasikan ke dalam sediaan antiperspiran bentuk batang. Penyimpanan selama 12 minggu, sediaan antiperspiran bentuk batang dengan konsentrasi tawas 10, 15, dan 20% memberikan susunan yang homogen, sedangkan sediaan antiperspiran bentuk batang dengan konsentrasi tawas 25, dan 30% memberikan susunan yang tidak homogen. Seluruh sediaan antiperspiran bentuk batang menggunakan tawas stabil dalam penyimpanan selama 12 minggu pada suhu kamar, memiliki pH 3,7, tidak menyebabkan iritasi pada kulit serta tidak merusak kain.

b. Sediaan antiperspiran bentuk batang dengan konsentrasi tawas 15, 20, 25 dan 30% memiliki daya antiperspiran dan daya menghilangkan bau badan sampai 9 jam. Sediaan antiperspiran bentuk batang dengan konsentrasi tawas 10% efektif menghilangkan bau badan hanya sampai 3 jam dan belum memilki efek antiperspiran. Sediaan antiperspiran bentuk batang dengan konsentrasi tawas 15, 20, 25, dan 30% memiliki daya antiperspiran masing-masing maksimal sebesar 2,77; 9,26; 14,34; dan 22,06%.

c. Sediaan dengan konsentrasi tawas 20% adalah sediaan yang paling baik, karena sediaan ini tetap homogen selama 12 minggu, stabil secara fisik, tidak menimbulkan iritasi dan tidak menyebabkan kerusakan pada kain, efektif menghilangkan bau badan sampai 9 jam dan mengurangi keringat maksimal sebesar 9,26%.


(60)

45 5.2 Saran

Disarankan untuk dilakukan penelitian selanjutnya mengenai pemanfaatan tawas untuk formulasi sediaan bentuk lainnya, seperti roll on.


(61)

46

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2009). Formulasi deodoran bentuk batang stick dengan lendir daun

lidah buaya. Diunduh dari

Anonim. (2010). Hiperdrosis. Diunduh dari

http://www.doktersehat.com/2007/-18/13/seputar-keringat-dan-bau-badan-secara-medis. Diakses pada tanggal 13 Agustus 2014.

Aninom. (2014). Pakai deodoran tiap hari untuk cegah bau badan. Diunduh

Diakses pada

tanggal 10 Januari 2015.

American Pharmaceutical Association. (1970). The National Formulary Thirteenth Edition. Washington Press: Washington Dc. Hal. 29-30.

Balsam, M.S., dan Sagarin, E. (1972). Cosmetic Science and Technology Volume I. Edisi Kedua. London: John Wiley and Sons. Hal. 63-80.

Butler, H. (ed.). (2000). Poucher's Perfumes, Cosmetics and Soaps, 10th Edn.

Britain: Kluwer Academic Publishers. Hal. 69-100.

Darbre, P. D. (2005). Aluminium, antiperspiran and Breast Cancer.

J. InOrg

Biochem (99).

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 81.

Ditjen POM. (1985). Formularium Kosmetika Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 83, 85, 106-132.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 84.

Djuanda, A. (2008). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hal. 3-8.

Edgar, G. F. Jr., dan Semken A. Jr. (1991). The Evolution of Sweat Glands. http://springerlink.com/content/r259466216808111/intj.of_biom.

Egbuobi, R. C., Ojiegbe, G. C., Dike-ndudim, J. N., dan Enwun, P. C. (2013). Antibacterial Activities of different brands of deodorants marketed in


(1)

74

Lampiran 17 (Lanjutan)

R/ Tawas x g

Propilen glikol 60 g

Etanol 96% 10 g

Asam stearat 9,64 g

NaOH 0,653 g

Parfum 2 tetes

Keterangan: x= 10, 15, 20, 25, dan 30.

Perhitungan formula sediaan antiperspiran bentuk batang:

Formula A

Berat Sediaan = 100 gram

• Tawas 10% = 10 g

Base Antiperspiran batang = 100-10 = 90

• Propilen glikol = 60 g

80 g x 90 g = 67,5 g • Etanol 96% = 10 g

80 g x 90 g = 11,25 g • Asam stearat = 9.64 g

80 g x 90 g = 10,85 g • Natrium hidroksida = 0,653 g

80 g x 90 g = 0,73 g • Parfum = 2 tetes

Formula B

Berat Sediaan = 100 gram

• Tawas 15% = 15 g


(2)

75

Lampiran 17 (Lanjutan)

• Propilen glikol = 60 g

80 g x 85 g = 63,75 g • Etanol 96% = 10 g

80 g x 85 g = 10,63 g • Asam stearat = 9,64 g

80 g x 85 g = 10,24 g • Natrium hidroksida = 0,653 g

80 g x 85 g = 0,69 g • Parfum = 2 tetes

Formula C

Berat Sediaan = 100 gram

• Tawas 20% = 20 g

Base Antiperspiran batang = 100-20 = 80 g

• Propilen glikol = 60 g

80 g x 80 g = 60 g • Etanol 96% = 10 g

80 g x 80 g = 10 g • Asam stearat = 9,64 g

80 g x 80 g = 9,64 g • Natrium hidroksida = 0,64 g

80 g x 80 g = 0,64 g • Parfum = 2 tetes

Formula D

Berat Sediaan = 100 gram

• Tawas 25% = 25 g

Base Antiperspiran batang = 100-25 = 75 g

• Propilen glikol = 60 g

80 g x 75 g = 56,25 g • Etanol 96% = 10 g


(3)

76

Lampiran 17 (Lanjutan)

• Asam stearat = 9,64 g

80 g x 75 g = 9,04 g • Natrium hidroksida = 0,64 g

80 g x 75 g = 0,61 g • Parfum = 2 tetes

Formula E

Berat Sediaan = 100 gram

• Tawas 30% = 30 g

Base Antiperspiran batang = 100-30 = 70 g

• Propilen glikol = 60 g

80 g x 70 g = 52,5 g • Etanol 96% = 10 g

80 g x 70 g = 8,75 g • Asam stearat = 9,64 g

80 g x 70 g = 8,44 g • Natrium hidroksida = 0,64 g

80 g x 70 g = 0,57 g • Parfum = 2 tetes

Perhitungan formula sediaan antiperspiran bentuk batang yang dimodifikasi:

Formula Standar deo stick (Nater, dkk., 1983) yang sudah dimodifikasi :

R/ Etanol 96% 10 g

Asam stearat 10,64 g

Natrium hidroksida 0,653 g

Tawas x g

Parfum dan warna 2 tetes

Asam laktat 0,05x g


(4)

77

Lampiran 17 (Lanjutan)

Keterangan: x= 10, 15, 20, 25, dan 30.

Formula A

Berat Sediaan = 100 gram

• Tawas 10% = 10 g

• Asam laktat 5% = 5

100 x 10 = 0,5 g

Base Antiperspiran batang = 100-10,5 = 89,5 g

• Etanol 96% = 10 g

80 g x 89,5 g = 11,19 g • Asam stearat = 10,64 g

80 g x 89,5 g = 11,90 g • Natrium hidroksida = 0,64 g

80 g x 89,5 g = 0,73 g • Parfum = 2 tetes

• Propilen glikol = 100 – 33,99 = 66,01 g

Formula B

Berat Sediaan = 100 gram

• Tawas 15% = 15 g

• Asam laktat 5% = 5

100 x 15 = 0,75 g

Base Antiperspiran batang = 100-15,75 = 84,25 g

• Etanol 96% = 10 g

80 g x 84,25 g = 10,53 g • Asam stearat = 10,64 g

80 g x 84,25 g = 11,21 g • Natrium hidroksida = 0,64 g

80 g x 84,25 g = 0,68 g • Parfum = 2 tetes


(5)

78

Lampiran 17 (Lanjutan)

• Propilen glikol = 100 – 37,91 = 62,09 g

Formula C

Berat Sediaan = 100 gram

• Tawas 20% = 20 g

• Asam laktat 5% = 5

100 x 20 = 1 g

Base Antiperspiran batang = 100-21 = 79 g

• Etanol 96% = 10 g

80 g x 79 g = 9,88 g • Asam stearat = 10,64 g

80 g x 79 g = 10,51 g • Natrium hidroksida = 0,64 g

80 g x 79 g = 0,64 g • Parfum = 2 tetes

• Propilen glikol = 100 – 41,75 = 58,25 g

Formula D

Berat Sediaan = 100 gram

• Tawas 25% = 25 g

• Asam laktat 5% = 5

100 x 25 = 1,25 g

Base Antiperspiran batang = 100-26,25 = 73,75 g

• Etanol 96% = 10 g

80 g x 73,75 g = 9,22 g • Asam stearat = 10,64 g

80 g x 73,75 g = 9,81 g • Natrium hidroksida = 0,64 g

80 g x 73,75 g = 0,60 g • Parfum = 2 tetes


(6)

79

Lampiran 17 (Lanjutan)

• Propilen glikol = 100 – 45,61 = 54,39 g

Formula E

Berat Sediaan = 100 gram

• Tawas 30% = 30 g

• Asam laktat 5% = 5

100 x 30 = 1,5 g

Base Antiperspiran batang = 100-31,5 = 68,5 g

• Etanol 96% = 10 g

80 g x 68,5 g = 8,56 g • Asam stearat = 10,64 g

80 g x 68,5 g = 9,11 g • Natrium hidroksida = 0,64 g

80 g x 68,5 g = 0,56 g • Parfum = 2 tetes