Eksistensi Kearifan Lokal Pada Petani Tepian Hutan Dalam Memelihara Kelestarian Ekosistem Sumber Daya Hutan

EKSISTENSI KEARIFAN LOKAL PADA PETANI TEPIAN HUTAN DALAM
MEMELIHARA KELESTARIAN EKOSISTEM SUMBER DAYA HUTAN
Imam Santoso
Abstract: The low quality of human resources have probably been the strongest
drives among company and peasants to exploit the forest resources as the main
income generating. Local wisdom which is a apart of human resources is still one
of the most important factor in maintaining natural forest recources. The goal of
this research is aimed to know the existence of local wisdom of peasants of the
forest outskirt area not only viewed by human relations but also man and its
natural. The goal of this research is aimed to find factors in which influenced the
existence of local wisdom on the peasant community that is deteriorating local
wisdom as well. It used quantitative and qualitative method. There are two kinds
of data to be taken from the field, i.e primary and secondary data. Primary data
used depth interview and primary data was taken by litature searching and
documents accumulation. Research was located in Banyumas Regency and also
Mandailing Natal Regency. First, this research showed that there was a
difference among peasants in the sub-district of Banyumas Regency-Central Java
and in the sub-district of Muara Sipongi, South Sumatra in relation with local
wisdom of and its attitude to the market penetration. This research pointed out
that peasant who have more local wisdom are relatively more successful in the
keeping up the forest resources. Implication of this research can be drawn are: lt

is necessary for us to maintain local wisdom in the globalization era. That’s why,
ecological axioma “no free lunch” is still urgently needed.
Keywords: local wisdom, peasants, maintaining the forest resources
PENDAHULUAN
Kearifan lokal di Indonesia kini
menjadi topik bahasan menarik dibicarakan di
tengah semakin menipisnya sumber daya hutan
dan peliknya upaya pemberdayaan masyarakat.
Paling tidak ada dua alasan yang menyebabkan
kearifan lokal turut menjadi elemen penentu
keberhasilan pembangunan sumber daya
masyarakat dan sumber daya alam sekitar.
Pertama, karena keprihatinan terhadap
peningkatan intentitas kerusakan sumber daya
alam khususnya akibat berbagai faktor
perilaku manusia. Kedua, tekanan ekonomi
yang makin mengglobal dan dominan
mempengaruhi
kehidupan
masyarakat

sehingga secara perlahan ataupun cepat
menggeser kearifan lokal menjadi kearifan
ekonomi. Kedua faktor ini bekerja mendorong
masyarakat melakukan hal bersifat destruktif
terutama saat mengelola usaha berbau
produktif mengandalkan potensi sumber daya
alam.
Kearifan lokal adalah modal utama
masyarakat dalam membangun dirinya tanpa
merusak tatanan sosial yang adaptif dengan

lingkungan alam sekitarnya. Kearifan lokal
dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung
dalam struktur sosial masyarakat sendiri dan
memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol,
dan rambu-rambu untuk berperilaku dalam
berbagai dimensi kehidupan baik saat
berhubungan dengan sesama maupun dengan
alam. Sekarang eksistensi kearifan lokal
dirasakan semakin memudar pada berbagai

kelompok masyarakat. Salah satu kelompok
masyarakat yang paling rawan mengalami
pelunturan kearifan lokal adalah komunitas
petani tepian hutan, yang semestinya sebagai
penyangga sosial (social buffer) bagi upaya
konservasi hutan dan kelestarian sumber daya
hutan.
Suatu ciri khas kearifan lokal yang
mewarnai kelompok masyarakat petani tepian
hutan adanya hubungan erat antara proses
kelangsungan hidup dengan pemanfaatan
hutan. Dengan kata lain, hutan merupakan
suatu jaminan bagi ketahanan pangan atau
yang dikenal sebagai food insecurity. Ciri lain
dikemukakan
dari
hasil
penelitian
Pudjorahardjo (1987) dan Santoso (2005) yang
menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat

tepian hutan berpola nafkah utama sebagai

10
Imam Santoso adalah Staf Pengajar Jurusan Sosiologi dan
Staf Pusat Penelitan Lingkungan Hidup UNSOED, Purwokerto

Santoso, Eksistensi Kearifan Lokal....

petani gurem atau buruh tani yang memerlukan
lahan garapan dan memerlukan lapangan
pekerjaan lain untuk jadi tambahan dalam
memenuhi tuntutan hidup individu dan
keluarganya. Ragam persoalan menghimpit
masyarakat petani tepian hutan. Berbagai
intervensi kebijakan pemerintah tentang
pemanfaatan
kawasan
hutan
untuk
pembangunan

menimbulkan
perubahan
mendasar pada hubungan petani tepian hutan
dengan lingkungan sekitarnya.
Kemunculan kelompok baru yang
dikenal sebagai pengusaha hutan komersial
bermodal besar dan memiliki hak konsesi
mengelola hutan dalam jangka waktu tertentu
secara
tak
langsung
membuat
ketidakterjaminan subsistensi petani tepian
hutan. Pengkaplingan hutan menyebabkan hak
petani dalam pemanfaatan sumber daya alam
semakin berkurang dan seiring dengan
pertambahan penduduk telah menyudutkan
usaha taninya tidak lagi sustainable. Kondisi
inilah
yang

kemudian
membuahkan
kemiskinan berlarut-larut pada rumah tangga
petani tepian hutan. Pada kondisi terjepit,
petani tepian hutan berperilaku menerabas
dalam memanfaatkan lingkungan hutan
sebagai sumber mata pencaharian utama.
Kesadaran pentingnya melestarikan ekosistem
hutan makin terkikis oleh tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Terjadi kecenderungan pengikisan
kearifan lokal. Petani tak segan melakukan
perilaku merusak hutan seperti berusaha tani
intensif tanpa peduli waktu bero (fallow)
mencukupi atau tidak sehingga mengakibatkan
erosi dan penurunan produktivitas lahan.
Seringkali petani tepian hutan juga melakukan
tindakan agresif terhadap hutan dan mengeksplorasi hutan berlebihan seperti teramati
pada kasus di pedesaan tepian hutan KPH
Banyumas Barat, Kabupaten Banyumas,

Provinsi Jawa Tengah. Akibat keterbatasan
strategi
survival
dan
terpinggirkannya
kepentingan petani untuk mengelola usaha
pertanian karena dominannya hak pemegang
HPH (di luar Jawa) dan Perum Perhutani
(Jawa) mengakibatkan petani tepian hutan
memasuki dan membuka hutan di luar batas
yurisdiksinya untuk lahan pertanian baru.
Menyadari fakta demikian mendorong
perlunya dilakukan penelitian yang mendalam
tentang pengkajian kembali akan eksistensi
kearifan lokal masyarakat petani tepian hutan.

Tema ini menarik karena signifikan dengan
upaya pengembangan kualitas sumber daya
manusia
dalam

mendukung
proses
pembangunan berkelanjutan berwawasan
lingkungan.
Bertolak dari uraian latar belakang
permasalahan yang dipaparkan maka rumusan
masalah yang dibahas dalam kajian ini sebagai
berikut:
(1) Apakah eksistensi kearifan lokal dalam
menjaga kelestarian ekosistem sumber
daya hutan memang telah mengalami
pemudaran pada kalangan masyarakat
petani tepian hutan?
(2) Faktor-faktor
apa
sajakah
yang
menentukan eksistensi kearifan lokal tetap
terjaga dalam menjaga kelestarian
ekosistem sumber daya hutan? Dan,

faktor-faktor apa juga yang menyebabkan
kearifan lokal pada masyarakat petani
tepian hutan mengalami pemudaran atau
bahkan menghilang?
Tujuan dari pengkajian tema yang
ditetapkan adalah untuk mengungkap dan
mengetahui:
(1) Eksistensi kearifan lokal pada kalangan
masyarakat petani tepian hutan baik
ditinjau dari hubungan sesama maupun
dengan alam sekitar.
(2) Faktor-faktor yang menentukan eksistensi
kearifan lokal tetap terjaga dan yang
menyebabkan
kearifan
lokal
pada
masyarakat petani tepian hutan mengalami
pelunturan atau bahkan menghilang.
Mengingat

tema
kajian
yang
dipusatkan pada eksistensi kearifan lokal pada
masyarakat petani tepian hutan menyebabkan
pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara
sengaja di daerah pedesaan tepian hutan yang
mempunyai penduduk mayoritas berpola
nafkah utama sebagai petani. Di samping itu,
desa-desa yang diteliti memiliki masyarakat
petani yang berkarakteristik berbeda dalam
eksistensi kearifan lokal. Berdasarkan berbagai
pertimbangan
tersebut
didukung
hasil
penelitian Santoso (2004) maka lokasi
penelitian ditentukan di Desa Darmokranenan
(desa agraris-industri), Kecamatan Ajibarang,
Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah

dan Desa Pekantan (desa pertanian),
Kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten
11

Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3

Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara.
Kedua desa ini sama-sama berada di kawasan
tepian hutan dengan tingkat perkembangan
masyarakat yang berbeda dan mengandung
permasalahan yang relevan dengan tema
penelitian.
Metode penelitian yang digunakan adalah
studi kasus dengan memakai pendekatan
kualitatif dipadu kuantitatif. Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan dengan
teknik wawancara mendalam dan pengamatan
atau observasi langsung terhadap kegiatan responden yang berkaitan dengan eksistensi
kearifan lokal. Data sekunder diperoleh dengan
teknik
penelusuran
terhadap
literatur,
dokumen, arsip, hasil penelitian yang
berhubungan dengan tema penelitian.
Populasi penelitian meliputi seluruh
anggota masyarakat yang menjadi penduduk di
dua desa penelitian yang berpola nafkah utama
sebagai petani. Dari populasi yang terdapat
pada kedua desa tepian hutan dipilih secara
acak sederhana (simple random sampling)
proporsional sebanyak 60 petani tepian hutan
dengan rincian masing-masing 30 petani dari
setiap desa. Teknik ini digunakan karena populasi responden pada masing-masing desa
bersifat homogen khususnya dalam jenis usaha
tani, teknik teknologi pertanian yang
diterapkan, lokasi mukim, jenis pola nafkah
utama, dan dalam hal permasalahan eksistensi
kearifan lokal.
Kesemua data yang diperoleh kemudian
diolah dan dianalisis baik secara kualitatif dan
kuantitatif.
Hasil
analisis
selanjutnya
diinterpretasikan untuk dapat disajikan dalam
uraian deskriptif.
PEMBAHASAN
Kondisi dan Potensi Wilayah
Serta
Tipologi Masyarakat Petani Tepian Hutan
Kondisi dan potensi mayoritas desa di
Kecamatan Ajibarang terletak di tepian hutan
negara yakni KPH Banyumas Barat yang
dikelola oleh Perum Perhutani. Lebih dari
separuh
(55,5 persen) lahan di Desa
Darmokradenan
dialokasikan
untuk
kepentingan pertanian khususnya persawahan
padi tadah hujan, tegalan/kebun dan usaha
ternak kecil (ayam buras, ayam kampung, dan
kambing). Lokasi lahan usaha pertanian yang
12

dikelola petani umumnya berada di sekitar
lingkungan tepian hutan. Sekitar 12,5 persen
lahan di desa ini diperuntukkan bagi
pengembangan hutan negara dan 2,5 persen
dimanfaatkan untuk hutan rakyat. Adapun
29,5 persen dari total lahan di desa ini
digunakan untuk berbagai kepentingan sosial
dan umum serta pengembangan industri kecil
(industri bahan bangunan: genteng, batu bata,
batu kapur, dan pabrik pengolahan/panglong
kayu). Sesuatu yang penting diperhatikan
adalah kenyataan bahwa bahan baku industri
yang dikembangkan di Desa Darmokradenan
cenderung bersumber dari sumber daya alam
(pengerukan tanah sawah/tegalan yang sering
terletak pada daerah berkemiringan tinggi atau
lereng gunung di tepian hutan). Keadaan ini
menunjukkan desa tepian hutan yang menjadi
lokasi
penelitian
potensial
untuk
pengembangan ragam usahatani dan industri.
Selain mengelola usahataninya sendiri
sebagai pola nafkah utama maka masyarakat
petani di Desa Darmokradenan juga memiliki
usaha sampingan yakni menjadi buruh tani
hutan atau buruh pada pabrik industri yang
terdapat di sekitar desa. Akan tetapi menurut
informan,
dalam jangka sepuluh tahun
terakhir sejak industri berkembang di desa
tepian hutan ini sebagian dari petani
mengalami peralihan pola nafkah utama dari
petani menjadi pekerja non pertanian.
Peralihan pola nafkah ini berlangsung secara
secara drastis dan sebagian lahan pertanian
yang dibeli oleh orang dari luar desa telah
dialihfungsikan untuk kepentingan usaha non
pertanian. Sementara, petani hanya menjadi
buruh industri. Pada waktu tertentu, mereka
tetap menekuni kerja sebagai buruh tani hutan
khususnya pekerjaan penanaman kayu,
penebangan, penggalian pasir, pengerukan
tanah liat, penggergajian/pemotongan, dan
pengangkutan
dan penebangan kayu.
Pekerjaan menebang kayu milik Perum
Perhutani kadang dilakukan petani tepian
hutan secara tersembunyi tapi intensitasnya
terbatas skala kecil.
Masyarakat petani yang bermukim di
desa tepian hutan ini mempunyai corak budaya
khas Banyumas, sehingga pola perilaku
mengandung kental tradisi ca blaka (sikap dan
gaya bicara ceplas ceplos dan terus terang).
Tingkat pendidikan formal yang dienyam
relatif rendah, dominan sebatas tingkat

Santoso, Eksistensi Kearifan Lokal....

sekolah dasar. Hanya sebagian kecil petani
berusia muda yang sempat melanjutkan
sekolah sampai tingkat SLTP dan dalam
jumlah terhitung jari berhasil mengikuti
pendidikan hingga ke bangku SMA. Tingkat
pendidikan non formal seperti penyuluhan,
pelatihan, ceramah, diskusi bertema tentang
pengembangan usaha pertanian. Jarang sekali
mereka ikuti; bahkan semua responden
mengakui selama setengah tahun terakhir tak
pernah
berpartisipasi
dalam
kegiatan
pendidikan non formal. Alasan yang
mendasarinya adalah karena tidak pernah
merasa diundang. Informasi tentang transfer
teknologi
yang
dimaksudkan
untuk
memperbaiki teknik berusaha tani tak sampai
kepada petani tepian hutan di Desa
Darmokradenan.
Petani tepian hutan yang menyebut
dirinya dengan istilah khas inyong (saya) ini
lebih dari separuh berusia di atas 45-80 tahun
(tergolong kaum lanjut uusia). Sebagian
mengaku berumur antara 40-50 tahun dan
jarang sekali dari responden yang berusia
kurang dari 40 tahun.
Kondisi ini
mengindikasikan secara berangsur-angsur
minat penduduk desa ini terhadap pekerjaan
bertani semakin menyusut seiring dengan
masuknya intervensi usaha industri yang
gencar. Dengan mudah petani menjual tanah
pertaniannya warisan orang tua kepada pihak
luar; hasil transaksi jual beli ada yang
digunakan membeli motor untuk memulai
profesi baru misalnya sebagai tukang ojek.
Bisa juga dibuat modal mengirim anak/istri
menjadi TKW ke luar negeri. Menurut
penjelasan informan, petani melakukan
tindakan ini karena jumlah tanggungan
ekonomi rumah tangga termasuk tinggi 5-8
jiwa terdiri dari istri dan anak; untuk beberapa
kasus ditambah lagi saudara terdekat pihak
suami atau istri yang diistilahkan dengan
numpang hidup.
Sistem pertanian yang dilakukan
petani tepian hutan dari pinggiran kawasan
hutan Banyumas Barat ini cenderung
tumpangsari terutama padi, jagung, ketela
pohon, buah-buahan seperti pisang. Jarang
sekali petani yang telah menerapkan teknologi
secara intensif dalam pengelolaan usaha
taninya. Oleh karenanya, tidak mengherankan
hasil panen yang dipetik masih rendah
misalnya untuk padi tadah hujan baru

mencapai 1,4 ton per hektar. Padahal di
daerah lain dengan kondisi lahan yang tidak
jauh berbeda sudah sampai 3-4 ton per hektar.
Berbeda
dengan
status
hutan
Banyumas Barat yang termasuk pada kategori
hutan negara dikelola oleh Perum Perhutani
maka kawasan hutan di Desa Pekantan sebagai
lokasi penelitian lain justru berstatus hutan
adat. Hal ini dikarenakan setiap pengelolaan
kawasan hutan Muara Sipongi ini tetap diatur
secara adat oleh masyarakat lokal bersama
pemerintah daerah. Hampir 98,6 persen lahan
di desa yang tergolong sangat subur ini masih
tetap dipertahankan untuk kepentingan usaha
pertanian rakyat setempat. Hanya sedikit sekali
atau 2,4 persen dari total lain yang dalokasikan
untuk kepentingan non pertanian yakni untuk
sarana fasilitas umum dan sosial seperti:
perumahan/bangunan mesjid, sekolah, dan
pekarangan.
Luasnya lahan yang diperuntukkan
bagi
pengembangan
usaha
pertanian
mengakibatkan hampir semua penduduk
memiliki keterikatan erat terhadap alam
dengan mengandalkan mata pencaharian
sebagai petani (parsaba/parkobun). Komoditas
pertanian yang dibudidayakan petani tepian
hutan Desa Pekantan: padi, jagung, kacang
tanah, ubi kayu, kacang kedelai, ubi jalar, dan
berbagai jenis sayuran serta buah-buahan.
Selain itu, petani juga mengelola usaha kebun
misalnya: kopi, karet, kakao, kulit manis, dan
aren. Berbeda dengan petani tepian hutan di
Desa Darmokradenan maka di Desa Pekantan
petani tertarik memelihara secara intensif
ternak besar (sapi/kerbau) dan ternak kecil:
kambing, domba, ayam, dan itik. Teramati
jenis usaha tani pada petani tepian hutan di
Desa Pekantan lebih heterogen atau lebih
terdiversifikasi daripada usaha pertanian yang
dikelola petani tepian hutan Darmokradenan
(Banyumas).
Dengan tetap menjaga dan memelihara
eksistensi lembaga adat dalihan na tolu (suatu
lembaga kemasyarakatan pada suku Batak
Mandailing yang terikat hubungan kekerabatan
dan tali perkawinan dibangun dari tiga unsur
penegak fungsinya: mora, anakboru dan
kahanggi) menyebabkan setiap perilaku
anggota masyarakat terkontrol oleh aturan adat
istiadat setempat. Termasuk dalam melakukan
kegiatan produktif yang ditujukan untuk usaha
13

Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3

mencari nafkah (bertani). Tidak semua inovasi
teknologi
pertanian
(bibit/benih/pupuk/pestisida/insektisida/
zat
perangsang tumbuh) yang diperkenalkan
penyuluh atau agen pembangunan lain
diterapkan petani. Proses adopsi dan difusi
pertanian yang berlangsung masih harus selalu
melalui saringan selektif dari aturan adat dan
restu pemimpin informal. Kriteria seleksi
biasanya berkaitan dengan masalah fungsi
inovasi dan dampaknya terhadap kelestarian
alam. Oleh sebab itu, tingkat teknologi
pertanian yang diterapkan petani relatif
sederhana dan diamati mengarah pada pola
pertanian organik dengan tetap konsisten
mempertahankan cara bertani warisan lama;
yang menurut informan hal ini cocok dengan
kondisi sumber daya alam setempat.
Menurut para responden, hasil
produksi tinggi yang dicapai dari pemakaian
ragam teknologi pertanian modern sering
hanya dapat dinikmati dalam jangka waktu
relatif pendek (paling-paling dua generasi).
Adapun untuk masa jangka panjang justru
potensial merusak keseimbangan alam
sehingga menurunkan unsur hara tanah,
memunculkan polusi tanah dan air serta
berefek pada tereduksinya tingkat kesuburan
tanah sehingga hasil produksi berkurang atau
bahkan gagal.
Eksistensi Kearifan Lokal pada Masyarakat
Petani Tepian Hutan
Kearifan lokal atau yang dikenal
sebagai local wisdom mempunyai makna
bahwa dalam struktur sosial masyarakat masih
mengandung sifat arif yang dikembangkan
untuk kepentingan bersama. Bagi masyarakat
petani tepian hutan, kearifan lokal merupakan
hal mutlak yang mengandung nilai-nilai sosial
dan digunakan sebagai sumber pemikiran dan
pedoman
berperilaku
untuk
menjaga
kelestarian ekosistem sumber daya hutan.
Akibat intervensi berbagai faktor khususnya
masalah tekanan ekonomi dan pentingnya
pemenuhan kebutuhan keluarga; menyebabkan
eksistensi kearifan lokal rawan terancam
sehingga mengalami pemudaran seperti yang
sering dihadapi masyarakat petani tepian
hutan.
Pada masyarakat petani tepian hutan di
Desa Darmokradenan, kearifan lokal tengah
mengalami
pemudaran.
Secara
jelas
14

terbuktikan kearifan lokal pada petani ini
dalam memelihara kelestarian ekosistem hutan
mengalami pergeseran dan digantikan kearifan
ekonomi.
Suatu realitas tak terpungkiri,
eksploitasi yang terus menerus berlangsung
berdampak secara nyata terhadap kerusakan
ekosistem hutan sekitar yang dari waktu ke
waktu tampak kian parah. Seiring kuatnya
tekanan ekonomi yang mendesak daya beli
masyarakat
hingga
makin
melemah,
mengakibatkan setiap kegiatan produktif yang
diusahakan sudah tanpa memperdulikan
pentingnya
upaya
konservasi.
Terjadi
kecenderungan petani ikut menebangi kayu
hutan secara ilegal.
Kehadiran usaha industri yang
memasuki lingkungan desa tepian hutan turut
mempengaruhi pemudaran kearifan lokal
petani di pedesaan tepian hutan Banyumas
Barat ini. Bahkan, dalam mengelola usaha tani
kalangan petani jarang sekali memperhatikan
unsur pemeliharaan kesuburan tanah. Mulai
dari proses mengolah lahan, menanam,
menyiangi sampai tiba panen dilakukan tanpa
menggunakan kaidah konservasi. Hampir tak
tertemukan petani yang menggunakan teknik
teras sharing dalam mengerjakan sawah;
padahal diketahui sebagian lahan sawah
berkemiringan tinggi.
Petani tepian hutan di Desa
Darmokranen melakukan usaha tani tanpa
waktu bera sehingga antar musim tanam pada
usaha tani padi tadah hujan dilakukan berlanjut
dengan pemakaian teknologi paling sederhana
(tanpa memperhatikan jarak tanam, pengaturan
aliran air, pupuk tepat dosis dan tepat waktu
serta insektisida).
Perilaku bertani yang
demikian terjadi disebabkan sikap apatis dan
pesimis petani yang merasa rugi jika terlalu
besar biaya produksi yang harus dikeluarkan;
sementara hasil produksi yang diperoleh relatif
rendah.
Suatu realitas yang berlangsung secara
perlahan-lahan menunjukkan sebagian petani
memilih untuk meninggalkan usaha taninya
dan pindah bergerak ke pekerjaan produktif
non pertanian (buruh industri, kuli angkut,
penggali pasir, penggergaji kayu, tukang ojek,
kernet angkutan umum, pedagang informal,
TKI/TKW, dan lainnya). Bagi sebagian lain
tetap mempertahankan usaha tani namun
mengingat
hasilnya
tidak
mencukupi
kebutuhan hidup keluarga memaksanya untuk

Santoso, Eksistensi Kearifan Lokal....

berpola nafkah ganda; baik pekerjaan di
bidang pertanian maupun non pertanian.
Ketidakseriusan petani mengelola
luasan lahan pertanian di Desa Darmokradenan
teramati dari banyaknya lahan usaha tani yang
dibiarkan tanpa pemeliharaan dengan adopsi
teknik budidaya intensif. Setelah menanami
sebidang lahan pertaniannya misalnya dengan
ketela pohon, ubi jalar, padi tadah hujan maka
banyak petani tepian hutan yang kemudian
membiarkan tanamannya seakan-akan mampu
hidup tanpa perawatan hingga masa panen
tiba. Jumlah dan mutu hasil produksi yang
diperoleh relatif rendah; harganya jauh di
bawah harga pasar misal ketela pohon Rp 300
per kilogram sementara di pasar berkisar Rp 800
– Rp 1200 per kilogram, sehingga hasil
penjualan tidak cukup untuk bekal petani
membeli beras yang harganya naik sampai
mencapai Rp 3.500 – Rp 4000 per kilogram.
Total pendapatan petani tepian hutan rata-rata
Rp 450.000 – Rp 850.00 setiap bulan dan
jumlah ini secara jelas takkan mencukupi total
biaya yang harus dikeluarkan untuk
pengeluaran membeli kebutuhan pokok seharihari (beras, lauk pauk, minyak goreng, sabun,
gula pasir, garam) Rp.600.000 – Rp.1.000.000
per bulan. Dengan situasi ekonomi saat ini,
hampir semua rumah tangga petani tepian
hutan mengalami kerawanan ekonomi.
Tekanan kekurangan biaya membuat petani
tepian hutan mengerjakan jenis kegiatan

produktif apapun; asal menghasilkan sejumlah
nilai rupiah yang dapat segera ditukarkan
dengan kebutuhan pokok terutama bahan
pangan (beras).
Pekerjaan
yang
paling
mudah
dilakukan dan cepat mendatangkan nilai rupiah
meski jumlahnya terbatas adalah menjadi
tukang tebang kayu hutan melalui permintaan
Perum Perhutani Banyumas Barat. Ada juga
sebagian dari mereka yang nekad mencuri
kayu untuk dijual sendiri (menjarah kayu hutan
dalam skala kecil-kecilan dan biasanya
dikerjakan secara berkelompok). Menggali
pasir dan mengeruk tanah juga untuk bahan
baku pabrik batu bata/batu kapur termasuk
jenis pekerjaan yang paling diminati petani
tepian hutan, tanpa menyadari tindakan
ekonominya ini telah merusak secara cepat
ekosistem lahan pinggiran hutan dan
memperbesar ancaman erosi dan banjir pada
lahan-lahan sekitar sungai dan daerah yang
berada di dataran rendah. Akibat desakan
ekonomi yang makin berat mendorong petani
mengalami pemudaran nilai-nilai yang
berhubungan kearifan lokal dalam memelihara
kelestarian ekosistem sumber daya alam hutan.
Pada Tabel 1 diuraikan rinci tentang perilaku
ekonomi petani tepian hutan di Desa
Darmokradenan yang mengisyaratkan mulai
pemudaran kearifan lokal dalam memelihara
kelestarian ekosistem sumber daya hutan.

15

Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3

Tabel 1. Perilaku Ekonomi Petani Tepian Hutan dan Eksistensi Kearifan Lokal dalam
Memelihara Ekosistem Sumber Daya Hutan di Darmokradenan
Jenis Perilaku Ekonomi
Bertani tanpa kaidah konservasi
lahan
Bertani tanpa masa bera (lahan
dibiarkan dalam waktu selang
antar panen)
Menebangi kayu hutan secara
illegal tanpa memakai prinsip
reboisasi
Menggali pasir di tepian sungai
pinggiran hutan
Mengeruk tanah liat pada lahan
persawahan/ladang/tegalan untuk
bahan batu bata dan genting
Mengeruk tanah batuan karst
untuk batu kapur
Berternak di tepian hutan
Mengambil
seresah
menyuburkan sayuran

16

untuk

Kearifan Lokal Memelihara Kelestaraian Ekosistem
Sumber Daya Hutan
Kesadaran dan kepedulian rendah akan pentingnya menjaga
kesuburan lahan, sehingga menimbulkan erosi dan pengikisan
permukaan tanah subur (top soil)
Mengurangi kesuburan lahan karena digunakan terus menerus.

Penggundulan permukaan lahan hutan dan menimbulkan rawan erosi
dan banjir
Membuat ekosistem sungai dan hutan rusah, air sungai menjadi
keruh
Membuat struktur tanah menjadi rusak, aliran air saat musim hujan
sulit disalurkan sehingga mebuat genangan
Membuat lahan berstruktur karst (tebing-tebing) rusak karena
digeruk terus dan menimbulkan polusi
Merusak tanaman hutan yang masih muda dan merusak permukaan
tanah sampai menimbulkan erosi
Merusak permukaan tanah dan berefek pada munculnya erosi

Santoso, Eksistensi Kearifan Lokal....

Petani tepian hutan di desa ini juga
memelihara ternak kecil dan beberapa ternak
besar yang biasanya digembalakan sampai
pinggiran hutan. Ternak yang digembalakan
dibiarkan memakan rumput yang menutupi
permukaan tanah sehingga petani merasa tidak
perlu lelah mencari pakan ke mana-mana.
Perilaku ini ternyata potensial merusak
ekosistem sumber daya hutan sesuai pemikiran
Soemarwoto (1991) yang menegaskan bahwa
jika tanaman tumbuhan bawah seperti
rumput di kawasan hutan dijadikan pakan
ternak maka pelindung tanah yang efektif
untuk menghindari hempasan air hujan akan
memungkinkan terjadinya erosi.
Begitu juga dengan tindakan petani
yang sering mengambil tanaman seresah untuk
menyuburkan
tanaman
sayuran
dapat
memberi efek terhadap terjadinya kenaikan
ancaman erosi. Dalam jangka panjang erosi
yang terjadi berdampak terhadap kerusakan
lahan hutan. Tanaman seresah juga termasuk
tanaman bawah yang tumbuh di permukaan
tanah pada kawasan hutan.
Dengan mengamati uraian penjelasan
di atas maka dapat dinyatakan bahwa di Desa
Darmokradenan tengah terjadi penguatan
tekanan penetrasi pasar yang diiringi naiknya
keinginan petani tepian hutan untuk mencapai
daya efisiensi usaha yang cepat mendatangkan
uang. Kelembagaan lokal sudah tidak mampu
melindungi local wisdom; tingkat intervensi
petani terhadap sumber daya hutan tinggi.
Berbeda halnya dengan eksistensi
kearifan lokal masyarakat petani tepian hutan
di Desa Darmokradenan Banyumas maka
kalangan masyarakat petani tepian hutan di
Desa Pekantan, Mandailing Natal masih
konsisten tetap mempertahankan eksistensi
kearifan lokal ekosistem sumber daya hutan.
Pada masyarakat petani ini masih diberlakukan
ketat nilai-nilai sosial yang mengatur perilaku
petani dalam memanfaatkan lahan pertanian
termasuk lahan hutan dan kawasan sungai.
Tingkat kesadaran petani terhadap kelestarian
ekosistem sumber daya hutan cukup tinggi dan
hal ini terbuktikan dari tetap terjaganya
kelestarian biofisik kawasan hutan adat yang
berada di daerah perbatasan antara Sumatera
Utara dengan Sumatera Barat.
Sampai sekarang kondisi alam Desa
Pekantan beserta hutannya masih mengandung
kekayaan hayati baik flora maupun fauna.
Pada masyarakat petani tepian hutan
diberlakukan berbagai pantangan yang

merusak ekosistem sumber daya hutan. Warga
ditabukan dengan menebangi pohon-pohon
besar yang diperkirakan mempunyai kekuatan
besar untuk meresap dan menyimpan air tanah
misalnya pohom ulin, bania, dan beringin yang
sudah berumur puluhan sampai ratusan tahun.
Petani hanya dibolehkan menebang pohon
tertentu jika telah memenuhi persyaratan umur
tumbuh dan besar lingkar pohon sesuai aturan
adat. Jika pantangan ini dilanggar maka pihak
pelaku akan dikenai sanksi moral oleh hukum
adat yang sifatnya tidak tertulis dan dipercayai
akan mendapat ”bala” atau kutukan dari nenek
moyang.
Masyarakat petani tepian hutan di
Desa Pekantan masih mempertahankan tradisi
pengelolaan lubuk larangan yaitu adanya
pelarangan atau penabuan untuk memancing/
menangkap ikan pada sembarangan waktu
dengan teknologi yang merusak lingkungan
baik dengan memakai teknik kimia dikenal
dengan cara mamotas/manuba maupun dengan
teknik elektrik). Pada tempat-tempat tertentu di
sungai telah disiapkan petakan areal ikan yang
diusahakan bersama-sama oleh masyarakat dan
boleh dipanen saat besar ukuran ikan telah
memenuhi syarat misalnya panen bersama saat
menjelang Hari Raya Idul Fitri. Oleh karena
itu, kelestarian ekosistem sungai dengan ragam
jenis ikan tawar tetap terpelihara dengan baik.
Semakin nyata terbukti tingginya eksistensi
kearifan lokal petani tepian hutan di desa ini
dan sangat kecil peluang yang dilakukan untuk
berani merusak hutan.
Bentuk kearifan lokal lain dari petani
tepian hutan di pedesaan Mandailing Natal
adalah berupa penolakan terhadap kehadiran
pengusaha pemegang HPH dan investor yang
bermaksud membuka berbagai jenis usaha
pengolahan kayu dan hasil ikutan hutan lain di
Pekantan. Fakta ini didukung sepenuhnya oleh
masyarakat petani tepian hutan, para perantau
dari Pekantan, aparat pemerintah desa, aparat
pemerintahan kecamatan dan aparat pemerintahan
tingkat kabupaten.
Suatu kearifan lokal lain yang
termasuk unik dan khas dari masyarakat petani
tepian hutan di Desa Pekantan adalah tetap
menata hubungan sosial dengan suku Hulu
yang mukim di kawasan hutan agak ke bagian
dalam suku Hulu termasuk suku terasing dan
memiliki bahasa, adat tradisi, pola ekonomi,
alat tukar, bentuk tempat mukim/rumah tinggal
dan kebiasaan lain yang jauh berbeda dengan
penduduk Desa Pekantan. Suku Hulu membuat
17

Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3

rumah tinggal di atas pohon dan masih
mengenal sistem barter saat berhadapan
dengan warga Pekantan di pasar. Biasanya
mereka membawa berbagai hasil pertanian
yang diusahakan di tengah hutan untuk ditukar
dengan garam, gula, dan pakaian. Suku ini
belum mengenal fungsi uang sebagai alat tukar
yang sah saat melakukan transaksi jual beli di
pasar. Kehidupan suku Hulu meski menetap di
tengah hutan dipercaya oleh warga Pekantan
tidak merusak ekosistem sumber daya hutan;
bahkan suku yang tergolong masih terasing ini
ikut berperan aktif menjaga kelestarian flora
dan fauna hutan sekitarnya termasuk ikut
menanami pohon-pohon bania, ulin, dan
beringin serta jenis lainnya karena kelak
tumbuhan ini dapat memiliki fungsi menjadi
rumah tinggalnya.
Meski masih banyak diberlakukan
pelarangan petani memanfaatkan sumber daya
hutan
untuk kepentingan peningkatan
ekonomi, tampak bidang pertanian tetap
menjadi pola nafkah utama yang dominan
memberikan kontribusi pendapatan terhadap
rumah tangga petani. Selain hasil pertanian
tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan
maka penghasilan petani tepian hutan juga
bersumber dari petikan hasil panen tanaman
perkebunan khususnya kopi dan nilam. Dalam
sebulan rata-rata pendapatan yang diterima
petani tepian hutan berkisar
Rp 800.000
– Rp 3.000.000 dengan total pengeluaran untuk
berbagai jenis kebutuhan pokok
Rp
600.000 – Rp 1.000.000. Kondisi ini menunjukkan
pada setiap bulan petani mendapat surplus dari
bidang pertanian khususnya hasil kebun yang
ditekuninya. Surplus penerimaan yang
diperoleh kemudian oleh sebagian petani
digunakan untuk membuka usaha baru
misalnya penyulingan minyak nilai dan
pengolahan biji menjadi bubuk kopi. Ada juga
yang menyimpan uang hasil surplus untuk
tabungan, biaya pendidikan anak di rantau atau
untuk melakukan diversifikasi usaha di bidang
perdagangan (menjadi pedagang hasil bumi).
Adapun ciri kearifan lokal yang juga
mewarnai sistem pertanian di Pekantan
teramati dari konsistensi petani yang tidak
memakai berbagai input produksi (pupuk
buatan, insektisida, pestisida, zat perangsang
tumbuh) yang menurut rasionalitas mereka
mampu merusak ekosistem sumber daya hutan.
Meski petani jarang memakai pupuk buatan
(termasuk karena mengingat harganya yang
18

makin melambung) dan dianggap untuk jangka
panjang akan merusak keseimbangan unsur
hara dan menimbulkan polusi zat kimia pada
tanah dan air sekitar namun menurut
responden tingkat produksi yang dipetik setiap
panen tak jauh berbeda dengan hasil daerah
sekitar misal: padi mencapai 3-4 ton per
hektar. Keadaan ini tentu erat hubungannya
dengan tingkat kesuburan lahan yang masih
tetap terjaga dan kelestarian ekosistem sumber
daya hutan terpelihara sehingga hutan mampu
menyimpan persediaan air yang cukup.
Tujuan diberlakukannya berbagai
pantangan ini adalah agar ketersediaan air
tanah di desa ini terjamin baik untuk keperluan
domestik
maupun
kepentingan
usaha
pertanian. Petani tepian hutan di Pekantan
tampak senantiasa mengupayakan agar
biodiversity kawasan hutan sekitarnya tetap
terjaga karena diyakini secara moral menjadi
modal yang tak ternilai bagi bekal kehidupan
generasi mendatang. Pada Tabel 2 diperinci
mengenai perilaku ekonomi petani tepian
hutan di Desa Pekantan yang mengisyaratkan
adanya konsistensi atau kesepakatan sosial
antar warga petani tepian hutan tetap menjaga
eksistensi kearifan lokal dalam memelihara
kelestarian ekosistem sumber daya hutan.
Mengacu pada paparan di atas maka
hasil penelitian ini dapat mengungkapkan
kenyataan bahwa ternyata eksistensi kearifan
lokal petani tepian hutan pada kedua desa
penelitian menunjukkan perbedaan meski
faktor penetrasi pasar, faktor tekanan ekonomi,
faktor pentingnya memenuhi kebutuhan dasar,
dan faktor hasrat mencapai daya efisiensi
usaha telah sama-sama bekerja dengan tingkat
kekuatan tidak sama dalam mempengaruhi
proses kehidupan rumah tangga petani di
pedesaan. Desakan kuat untuk melakukan
beragam bentuk strategi survival tidak selalu
mampu memudarkan eksistensi kearifan lokal
petani tepian hutan seperti yang tercermati di
kawasan tepian hutan Desa Pekantan.
Konsistensi sikap dan perilaku ekonomi yang
dimiliki petani tepian hutan di Pekantan yang
tetap menjaga eksistensi kearifan lokal
sehubungan
dengan
upaya
pelestarian
ekosistem sumber daya hutan merupakan suatu
indikator kesepakatan mengurangi terjadinya
dissonansi inovasi seperti diketengahkan
Rogers dan Shoemaker (1986).

Santoso, Eksistensi Kearifan Lokal....

Tabel 2.

Perilaku Ekonomi Petani Tepian Hutan dan Eksistensi Kearifan Lokal dalam
Memelihara Ekosistem Sumber Daya Hutan di Darmokradenan

Jenis Perilaku Ekonomi
Tabu menebangi pohon-pohon besar yang
dipercayai mampu menyimpan/ meresap air
dalam jumlah besar
Melarang penangkapan ikan dengan memakai
zat kimia (mamotas/ manuba) dan teknik
elektrik
Membuat lubuk larangan
Penolakan terhadap kehadiran pemegang HPH
dan investor
dalam usaha pengolahan
kayu/hasil ikutan hutan lain
Memelihara hubungan sosial dan hubungan
ekonomi yang baik dengan Suku Hulu (suku
terasing)
Pengembngan usaha yang dilakukan petani
mengarah pada usaha agroindustri yang
mendukung pengelolaan usaha tani/usaha
perkebunan misalnya penyulingan minyak
nilam dan pengolahan bubuk kopi
Bertani tanpa menggunakan input produksi
yang berbahan zat kimia

Kearifan Lokal Memelihara Kelestaraian Ekosistem
Sumber Daya Hutan
Menjamin ketersediaan air dalam jangka panjang baik
untuk kepentingan domestik , pertanian dan lainnya.
Memelihara ekosistem sungai dan ketersediaan ikan
tawar serta mencegah pencemaran air sungai
Untuk memenuhi kepentingan warga terhadap
konsumsi ikan pada waktu tertentu tanpa merusak
ekosistem sungai
Upaya menjaga kelestarian ekosistem sumber daya
hutan dan mencegah gangguan intervensi dari pihak
luar
Dipercaya oleh masyarakat Pekantan Suku Hulu
Berpengalaman dan berperan besar dalam pemeliharaan
kelestarian ekosistem sumber daya kawasan hutan
(flora dan fauna)
Menguatkan kearifan lokal petani tepian hutan untuk
tetap melakukan perilaku ekonomi yang tidak merusak
ekosistem sumber daya hutan tapi lebih mengarah pada
pengembangan diversifikasi usaha agroindustri yang
ramah lingkungan
Upaya mencegah polusi air dan tanah serta kerusakan
komosisi unsur hara yang terkandung dalam tanah.

Faktor-Faktor Penentu Eksistensi Kearifan
Lokal
Pemudaran kearifan lokal dalam
memelihara ekosistem sumber daya hutan pada
kalangan petani tepian hutan di Desa
Darmokradenan merupakan produk secara tak
langsung dari penerapan strategi survival yang
tak bisa selalu digantungkan pada bidang
pertanian. Cakupan faktor: tingginya angka
kepadatan penduduk (population density),
rendahnya man land ratio, lokasi geografis
desa yang mudah terjangkau informasi dan
berbagai fasilitas transportasi umum, mobilitas
penduduk yang relatif tinggi, daya dukung
lingkungan (carrying capacity) yang menurun
lebih cepat membuat petani tepian hutan lebih
agresif dalam memilih strategi survival meski
itu sering tanpa disadari memudarkan kearifan
lokalnya. Moral petani di tepian hutan
Banyumas ini memang di satu sisi tetap
memiliki moral ekonomi yang mendahulukan
selamat (safety first): namun yang perlu
diperhatikan mereka sudah tidak takut lagi
menanggung risiko atas usaha produktif yang
dilakukannya sehingga berbeda dengan kondisi
petani di Asia Tenggara pada umumnya seperti
dikemukakan Scott (1989).

Lain halnya dengan petani tepian
hutan di Desa Pekantan, eksistensi kearifan
lokal ditentukan oleh faktor-faktor rendahnya
angka kepadatan penduduk (population
density), man land ratio termasuk tinggi
lokasi geografis desa lebih terisolir yang sulit
terjangkau informasi dan berbagai fasilitas
transportasi umum, mobilitas penduduk
umumnya relatif rendah, daya dukung
lingkungan (carrying capacity) yang tinggi
membuat petani tepian hutan lebih adaptif
memanfaatkan
hasil
pertanian
untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dengan
menggunakan perspektif gabungan antara
realis dan kontruksionis dari sosiologi
lingkungan, maka untuk memecahkan
masalah-masalah lingkungan direkomendasikan dengan mengambil aspek the ideal, yang
terdiri atas; budaya, kearifan lokal, dan
pengalaman sosial serta the material, yaitu;
konsumsi, ekonomi, teknologi, pembangunan
dan dinamika kependudukan, serta aspek
biofisik (Mayerfield Bell,1998). Kajian ini
berupaya menggabungkan dua kajian itu
meskipun belum rinci dan sempurna. Dengan
demikian kearifan lokal bukanlah hanya
dipengaruhi oleh faktor ekologis dan ekonomis
saja, namun lebih ditentukan oleh dinamika
19

Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3

perkembangan masyarakat untuk mencapai
adaptasi dan survivalitasnya.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian ternyata
petani tepian hutan tidak selalu mengalami
pemudaran eksistensi kearifan lokal dalam
pemeliharaan kelestarian ekosistem sumber
daya hutan. Proses pemudaran kearifan lokal
dipengaruhi oleh multi faktor terutama:
tingginya
angka
kepadatan
penduduk
(population density), rendahnya man land
ratio, lokasi geografis desa yang mudah
terjangkau informasi dan berbagai fasilitas
transportasi umum, mobilitas penduduk yang
relatif tinggi, daya dukung lingkungan
(carrying capacity) yang menurun lebih cepat.
Adapun pada petani tepian hutan yang masih
konsisten
memelihara
kearifan
lokal
sehubungan dengan kelestarian ekosistem

sumber daya hutan meliputi: angka kepadatan
penduduk (population density) lebih rendah,
man land ratio termasuk tinggi, lokasi
geografis desa lebih terisolir yang sulit
terjangkau informasi dan berbagai fasilitas
transportasi umum, mobilitas penduduk
umumnya relatif rendah, daya dukung
lingkungan (carrying capacity) yang tinggi.
Proses memudarnya kearifan lokal itu bermula
dari masyarakat yang relatif masih bersahaja
dan dengan teknologi yang masih sederhana
(Pekantan Natal) dan seiring dengan naiknya
intensitas penggunaan teknologi, tekanan
pasar, dan naiknya jumlah penduduk
(Darmokradenan) berimplikasi bahwa aksioma
ekologis bahwa “tidak ada makan siang gratis”
menjadi terbuktikan. Bahwa setiap bentuk
ekstraksi terhadap sumber daya alam (hutan)
hendaknya
diikuti
pemulihan
kembali
(recovery) terhadap alam (hutan). Dengan
demikian ekosistem menjadi lebih terjaga.

DAFTAR PUSTAKA
Mayerfeld Bell, Michael. 1998. An Invitation to Environmental Sociology – Sociology for a New
Century. California, Pine Forge Press.
Pudjorahardjo. 1987. Manajemen Hutan Tingkat Mikro; Sebuah Makalah pada Lokakarya
Nasional Perhutanan Sosial. Jakarta, Departemen Kehutanan RI.
Rogers, Everett M., and F. Floyd Shoemaker. 1986. Communication of Innovations. New York,
The Free Press.
Santoso, Imam. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan melalui Pembaharuan Perilaku
Adaptif. Disertasi pada Program Doktor Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Scott, James C., 1989. Moral Ekonomi Petani. Jakarta, LP3ES.
Soemarwoto, Otto. 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta, PT
Gramedia Pustaka Utama.

20