Bentuk Kearifan Lokal Masyarakat dalam Mempertahankan Kelestarian Ekosistem Hutan di Kawasan Danau Toba

14

TINJAUAN PUSTAKA

Letak Geografis
Danau Toba terletak di pegunungan Bukit Barisan Propinsi Sumatra Utara,
dengan posisi geografis antara 2o 21’32” – 2o 56’ 28” Lintang Utara dan 98o 26’
35” – 99o 15’ 40” Bujur Timur. Jaraknya kurang lebih 176 km arah selatan kota
Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Danau ini berbatasan dengan tujuh
wilayah administratif kabupaten yakni kabupaten Samosir, Toba Samosir,
Simalungun, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi dan Karo. Luas
permukaan air Danau Toba adalah 1.124 Km2 yang merupakan danau terbesar di
Asia Tengara. Luas daratan DTA (Daerah Tangkapan Air) adalah 2.486 Km2.
Permukaan danau berada pada ketinggian 903 M dpl (di atas permukaan laut).
Panjang maksimumnya kurang lebih 50 Km dan lebar maksimumsekitar 27 Km.
Topografi
Karakteristik topografi dasar Danau Toba yang membentang dari baratlaut ke tenggara membentuk dua cekungan besar yakni cekungan utara dan
cekungan selatan yang dipisahkan oleh adanya Pulau Samosir. Kedalaman
maksimum Danau Toba adalah 508 m (yang merupakan danau terdalam ke-9 di
dunia) terdapat di cekungan utara, sedangkan di cekungan selatan kedalaman
maksimumnya mencapai 420 m. Kedalaman rata-ratanya adalah 228 m. Volume

air keseluruhan danau diperkirakan 256,2 km3. Di tengah Danau Toba terdapat
Pulau Samosir dengan luas 630 Km2, yang merupakan pulau terbesar di dunia
yang berada di dalam suatu pulau. Debit keluaran (outflow) adalah sekitar 100
M3/dt, hingga dapat diperkirakan waktu tinggal (retention time) atau waktu yang
diperlukan untuk membilas seluruh volume danau adalah sekitar 81 tahun, yang

Universitas Sumatera Utara

15

cukup panjang dibandingkan dengan danau-danau lain di Indonesia. Curah hujan
tahunan yang terdapat di kawasan Daerah Tangkapan Air Danau Toba berkisar
antara 1.700 sampai dengan 2.400 mm/tahun (Limbong, 2013).
Kearifan Lokal Masyarakat Terhadap Kelestarian Danau Toba
Memfokuskan perhatian terhadap prinsip-prinsip atau nilai-nilai budaya
yang mendasari suatu praktik kearifan lokal dipandang penting karena hal itu
merupakan bagian inti dari suatu kebudayaan yang memiliki karakteristik
universal, yang dengan itu dimungkinkan untuk upaya-upaya pelestariannya di
masa datang. Kearifan lokal yang dipraktikkan oleh suatu masyarakat dapat
dilihat sebagai logika-logika kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut untuk

mengelola kehidupan warganya dalam berbagai aspek. Logika-logika kebudayaan
tersebut diuji dan direvisi dari generasi ke generasi agar selalu berfungsi bagi
kelangsungan hidup warga masyarakat, yang dapat dikenali wujudnya berupa
pranata-pranata lokal untuk berbagai lapangan kehidupan seperti pertanian,
ekonomi, organisasi, kekerabatan, religi, politik dan lain sebagainya
Kajian-kajian mengenai kearifan lokal menunjukkan peningkatan sejak
dekade terakhir abad ke-20, seiring dengan tumbuhnya apresiasi kalangan
akademisi maupun agen-agen pembangunan dunia terhadap potensinya untuk
mendorong keberhasilan pembangunan. Dalam literatur-literatur barat ditemukan
beberapa terminologi yang mengandung makna sebagai kearifan lokal, yaitu local
wisdom (kearifan lokal), local knowledge (pengetahuan lokal), indigenous
technical knowledge (pengetahuan teknis pribumi), indigenous knowledge
(pengetahuan pribumi), traditional konowledge (pengetahuan tradisional), social
capital (modal sosial), dan juga ecological wisdom atau kearifan lingkungan

Universitas Sumatera Utara

16

Penelitian-penelitian mengenai kearifan lokal dari berbagai kelompok

masyarakat yang ada di Indonesia perlu dilakukan secara luas dan komprehensif
sebagai upaya terencana untuk menggali dan mendokumentasikan dan kemudian
mengembangkannya sebagai potensi modal sosial untuk penguatan masyarakat
sipil dan karakter bangsa. Potensi kearifan lokal yang dalam UU No. 32 Tahun
2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup didefinisikan sebagai “nilai-nilai
luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi
dan mengelola lingkungan hidup secara lestari” telah nyaris punah selama ini
sebagai akibat dari penerapan model pembangunan berpusat pertumbuhan yang
berusaha mengeliminasi semua aspek tradisionalitas dalam kehidupan masyarakat.
Hilangnya pengetahuan-pengetahuan lokal yang selama bergenerasi diwariskan
dan dimanfaatkan oleh komunitas-komunitas lokal di berbagai daerah juga
merupakan implikasi dari penerapan program-program revolusi hijau di bidang
pertanian, yang berlaku efektif di Indonesia sejak dimulainya pemerintahan Orde
Baru pada akhir 1960-an. Selain itu, penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang
pemerintahan desa, yang pada intinya merupakan kebijakan homogenisasi struktur
pemerintahan terendah di seluruh Indonesia diduga kuat juga menjadi faktor yang
sangat signifikan melumpuhkan struktur-struktur sosial tradisional sebagai
penyangga bagi berbagai bentuk pranata dan kearifan lokal. Keberadaan dari
suatu kearifan lokal seringkali tidak disadari oleh komunitas yang memilikinya,
namun kemudian dilabeli oleh pihak luar (misalnya peneliti) sebagai sesuatu

kearifan setelah melihat implikasinya ( Sahlan, 2013).
Danau Toba merupakan aset yang sangat strategis dalam mendukung
pembangunan di Sumatera Utara oleh karena itu eksistensi Danau Toba harus
dipertahankan dan ditingkatkan sebagai warisan budaya, gangguan terhadap

Universitas Sumatera Utara

17

Danau Toba terus terjadi baik di bagian daerah tangapan air (DTA) Danau Toba
maupun di kawasan Danau Toba itu sendiri, hal ini disebabkan oleh belum adanya
persepsi diantara pemangku kepentingan dan instansi-instansi terkait sistem
tenurial atas penguasium latran yang belum jelas dan tertata dengan baik.
Disamping itu perekonomian masyarakat di DTA Danau Toba masih didominasi
sector pertanian dan sektor pertanian tersebut belum bisa diandatkan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, maka perlu dikembangkan sumber
pendapatan alternative yang sekaligus mendukung pelestarian kawasan Danau
Toba bahwa kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan dan di implementasikan
oleh para pemangku kepentingan diharapkan tetap mengacu pada kelestarian
ekosistem kawasan Danau Toba dan sifatnya tidak menghabat dalam pelaksanaan

program. dan kegiatan pemulihannya. Secara umum bahwa pengelolaan kawasan
Danau Toba tidak dapat dipisahkan dari pengembangan sosial budaya masyarakat.
Bentuk kearifan lokal dalam terjadinya Danau Toba bukan berupa ajaran
atau tradisi lisan yang memperingatkan datangnya bencana. Kearifan lokal di
Sumatera Utara ini berupa dongeng mengenai peristiwa pada masa lampau yang
dapat digunakan sebagai pelajaran pada masa mendatang. Terlepas apakah
dongeng itu pernah terjadi secara empiris atau hanya realita atau fiksi,
keberadaannya dapat digunakan sebagai pijakan untuk memahami kejadian masa
kini dari perspektif budaya (Sardjono, 2004).
Kearifan lokal yang dilakukan untuk mempertahankan kawasan Danau
Toba dan sekitarnya adalah untuk tetap melestarikan sumber daya air, sumber
daya hutan, sumber daya masyarakat agar tetap dapat berpotensi sebagai salah
satu objek wisata dan menjadi salah satu daya tampung untuk masyarakat
sekitarnya untuk tetap dapat memanfaatkan kawasan Danau Toba sebaik

Universitas Sumatera Utara

18

mungkin. Adapun bentuk-bentuk kearifan lokal yang dilakukan masyarakat untuk

tetap menjaga keasrian Danau Toba adalah tidak membuang limbah di sekitar
Danau Toba, mengurangi hasil tangkapan ikan dengan cara pencemaran, sedikit
tidaknya melakukan reboisasi kawasan hutan di setiap kecamatan pada daerah
Danau Toba serta pemanfaatan irigasi sebagai sumber air ( Sudawati, 2009).
Partisipasi lokal dari masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Danau
Toba dalam upaya konservasi kawasan dan menjaga kelestarian kawasan sangat
diperlukan, baik melalui dukungan maupun keterlibatan masyarakat terhadap
program pengelolaan. Partisipasi tersebut akan berhasil apabila masyarakat
memiliki kemampuan dan pengetahuan dalam berpartisipasi. Selain itu insentif
yang cukup untuk merangsang masyarakat berpartisipasi dan dukungan dari
lembaga terhadap kegiatan masyarakat juga diperlukan. Masyarakat memiliki
nilai-nilai kearifan tradisional yang terbentuk dari interaksi berulang-ulang antara
masyarakat dengan sumberdaya hutan. Akibatnya, terbangun suatu sistem tatanan
sosial budaya masyarakat desa sekitar kawasan yang menyatu dengan ekosistem
danau dan hutan yang ada disekitar kawasan Danau Toba (Fandeli, 2001).
Desa Tuktuk Siadong
Tuktuk Siadong sendiri merupakan semenanjung yang berada di sebelah
Timur Pulau Samosir. Kelurahan Tuktuk Siadong merupakan sebuah daerah
yang semua wilayahnya terdiri dari bebatuan. Menurut masyarakat sekitar
dahulunya ketika bebatuan tersebut diketuk akan menghasilkan bunyi “tuktuk”

dan dari sinilah awalnya nama Tuktuk digunakan. Secara administratif nama
desa Tuktuk Siadong sebelumnya adalah Tuktuk si asu. Akan tetapi tidak
diketahui secara pasti, sejak tahun berapa Tuktuk Siadong menjadikan nama
kelurahan. (Sarah, 2009).

Universitas Sumatera Utara

19

Tuktuk Siadong terbagi atas 3 lingkungan yakni lingkungan pertama Huta
Irnga, Lumban Holbung, Sibolopian, Jalan Gereja Atas, Lumban Nangka, dan
Lumban Bakkara. Lingkungan Dua terdiri dari Jalan Gereja Bawah, Pandan,
Lumban Manurung dan Kompleks Ambaroba. Lingkungan Tiga terdiri dari
Tuktuk Pulo, Sosor Galung, dan Lumban Bakara. Kelurahan Tuktuk Siadong
berada pada ketinggian 904-2.157 m diatas permukaan laut. Suhu rata-ratanya
berkisar antara 18°- 24°C dan luas daratan Kelurahan Tuktuk Siadong 340 Ha
dan luas perairan (danau) adalah 410 Ha ( Siagian, 2000).
Begitu pula yang terdapat di daerah penelitian ini, bahasa yang sering
dipergunakan adalah bahasa Batak Toba. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk
di Kelurahan ini adalah suku bangsa Batak Toba. Terkadang penduduk lokal

menggunakan bahasa nasional ketika berinteraksi dengan wisatawan, tak jarang
pula mereka menggunakan bahasa inggris. Hal ini dikarenakan Kelurahan Tuktuk
Siadong merupakan salah satu destinasi wisata yang ada di Samosir, sehingga
penduduk setempat cukup fasih berbahasa inggris.
Daerah Kelurahan Tuktuk Siadong memiliki sarana pendidikan berupa
gedung sekolah. Sarana pendidikan tersebut terdiri dari 1 unit TK (taman kanak
kanak) atau play group, 1 unit SD Negeri, 1 unit SD Inpres, dan 1 unit SMK. Alat
transportasi umum yang digunakan di desa Tuktuk Siadong adalah kapal. Tetapi
selama penulis berada di lokasi penelitian, jalan-jalan yang sedikit rusak sedang
proses perbaikan. Dari data lapangan diketahui tidak terdapat sarana bus umum di
tempat ini, hanya ada satu bus yang disediakan pemerintah setempat. Sarana
ibadah yang terdapat di Kelurahan Tuktuk Siadong terdapat 3 unit bangunan
ibadah yang terdiri dari 1 unit Gereja Katolik, 1unit Gereja Protestan dan satu unit
Langgar untuk umat Muslim.

Universitas Sumatera Utara

20

Jumlah penduduk Kelurahan Tuktuk Siadong dalam data statistik

tahun 2008/2009 yang diperoleh dari kantor Kelurahan Tuktuk Siadongl adalah
1997 jiwa. Dimana mayoritas penduduk bersuku Batak Toba dan sebagian kecil
suku Jawa dan Nias.

Mata pencaharian yang digeluti oleh masyarakat

KelurahanTuktuk Siadong seperti petani, pedagang, nelayan, pegawai negeri,
pengusaha, buruh dan lain sebagainya. Selain sebagai pedagang dan pengusaha, di
Kelurahan Tuktuk Siadong juga banyak ditemui karyawan atau guide lokal yang
bekerja di fasilitas pelayanan jasa kepariwisataan seperti hotel atau restoran.
Desa Tomok Parsaoran
Tomok adalah gerbang bagian Timur dari Pulau Samosir. Desa ini telah
dilengkapi sarana pelabuhan ferry yang mampu mengangkat kendaraan bermotor
roda dua, empat, maupun bus, truk, dan tronton. Di samping itu juga dilengkapi
dengan pusat kedatangan wisatawan, dilayani beberapa guide yang siap melayani
para pengunjung tersebut. Dengan bantuan para guide ini, pengunjung akan
dibawa berkeliling untuk mengunjungi lokasi-lokasi wisata yang banyak tersebar
di Desa Tomok tersebut, namun perlu dicermati adanya beberapa guide yang tidak
memiliki kartu tanda pengenal sehingga sangat dimungkinkan para guide yang
demikian akan menjadi hambatan bagi pengembangan pariwisata Tomok di

kemudian hari. Atraksi-atraksi dan objek wisata yang menarik wisatawan
nusantara maupun mancanegara seperti sigale-gale, makan Raja Sidabutar , batu
persidangan, rumah tradisional Siallagan, pertunjukan tari tradisional. Desa
Tomok dengan jumlah penduduk 3.580 jiwa dengan luas 10,55 km2 dengan
kerapatanya 339,4 jiwa/km2 (Badan Statistik Kabupaten Samosir, 2010).
Desa Tomok Parsaoran adalah 1 bangunan Gereja Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) dan 1 bangunan Masjid untuk umat Muslim beribadah

Universitas Sumatera Utara

21

kemudian ada 1 Gereja Katolik Santo Antonio Tomok. Desa Tomok Parsaoran
hanya ada 1 bangunan bangunan sekolah taman kanak-kanak dan pendidikan usia
dini (PAUD) dan 1 bangunan sekolah dasar (SD). Untuk melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi seperti sekolah menengah pertama (SMP) dan
Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Sekolah Mengengah Kejuruan (SMK)
harus keluar Desa Tomok Parsaoran. Penduduk yang menetap di desa ini adalah
1.399 Jiwa dari 292 KK dengan Perincian 682 Pria dan 717 Perempuan dengan
kepadatan penduduk 174 jiwa/KM2 (Propil desa Pardamean Simanindo : 2014 )

Sistem kepercayaan masyarakat batak toba pada umumnya sebelum di
sentuh para missionaris adalah menganut sistem Paganisme. Paganisme adalah
suatu campuran dari kepercayaan realigi kepada dewa-dewa, pemujaan yang
bersifat

animism terhadap roh -roh yang sudah meninggal, dan

dinamisme

terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib.

Universitas Sumatera Utara