Analisis Pola Asuh Makan dan Status Gizi pada Bayi di Kelurahan PB Selayang Medan

Taufik Ashar, Zulhaida Lubis, dan Evawany Aritonang

JURNAL PENELITIAN REKAYASA
Volume 1, Nomor 2 Desember 2008

ANALISIS POLA ASUH MAKAN DAN STATUS GIZI
PADA BAYI DI KELURAHAN PB SELAYANG MEDAN
Taufik Ashar, Zulhaida Lubis, Evawany Aritonang
Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

Abstract
Inadequate food consumption is one of the causes under nutrition in infant. This research aim to: 1)
knowing breastfeeding pattern to the infant (giving ASI in first time, frequency and length time in giving ASI
one day), 2) knowing complementary feeding (MPASI) pattern to the infant (giving MPASI in first time, type
and frequency MPASI in one day), and 3) knowing infant nutritional status.
This research has been done in PB Selayang II Sub District Medan city. Desain of this study is cross
sectional study in 100 infant samples. Data consists of infant characteristic, ASI and MPASI pattern, and
infant nutritional status that collected by interview with food recall and food frequency methods. Infant
nutritional status analysis used of infant weight and height measurement.
This research showed that there is no one infant that have Early Nursing Initiation (IMD), no infant
that have frequency with on demand way i.e 10% in infant with 0-6 month and 20% in infant with 7-12

month, 80% infant are nursing in ≥ 15 minutes and 20% infant are nursing in < 15 minutes, only 1% infant
that have Exclusive Breastfeeding. Another conclusion is that 10% neonates that have MPASI. Type of
MPASI that high consumption is non commercial food, 5% infant have under nutrition and 75% infant have
normal nutritional status based on the measurement of weight body.
This research recommends that mother need to increase their awareness and their knowledge about
exclusive breastfeeding and complementary feeding (MPASI) rightly in time and type.
Keywords: Breastfeeding pattern, food complementary pattern, infant nutritional status

PENDAHULUAN
Bayi merupakan salah satu kelompok rawan
gizi. Kekurangan gizi pada masa bayi dapat
menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara
fisik, mental, social, dan intelektual yang sifatnya
menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi
dewasa. Selain itu kekurangan gizi dapat
menyebabkan terjadinya penurunan atau rendahnya
daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Badan
kesehatan dunia WHO dan UNICEF menyatakan
terjadinya gagal tumbuh akibat kurang gizi pada
masa bayi mengakibatkan terjadinya penurunan IQ

11 point lebih rendah dibanding anak yang tidak
kurang gizi.
Gizi kurang dan gizi buruk saat ini terjadi
hampir di semua Kabupaten dan Kota di Indonesia
yaitu 110 Kabupaten/Kota dari 440 Kabupaten/Kota
di Indonesia dengan prevalensi di atas 30%. Kondisi
gizi buruk berpotensi terhadap angka kematian. Hal
ini dilihat dari tingginya jumlah kasus gizi buruk
yang meninggal di Indonesia selama tahun 2005
yaitu 286 balita. Angka ini diperkirakan lebih tinggi
dari yang sebenarnya karena data ini berdasarkan
laporan yang terdata dari 7 propinsi. Kasus-kasus

kematian balita akibat gizi buruk yang tidak
dilaporkan diyakini masih banyak.
Pola asuh makan pada bayi meliputi
pemberian gizi yang cukup dan seimbang melalui
pemberian ASI dan MPASI. Pada bayi pemberian
ASI dan MPASI yang tidak benar ditengarai sebagai
penyebab tingginya angka kesakitan dan gizi kurang.

Manfaat ASI untuk pertumbuhan dan perkembangan
bayi sudah dibuktikan secara akurat yaitu untuk
imunitas tubuh, ekonomis, psikologis, praktis dan
lain-lain. Pemberian ASI secara eksklusif yaitu
pemberian ASI saja tanpa makanan lain
direkomendasikan selama 6 bulan. Sedangkan
MPASI direkomendasikan setelah usia bayi 6 bulan
seiring dengan bertambahnya kebutuhan gizi bayi
dan menurunnya produksi ASI.
Survei gizi yang dilakukan Dinas Kesehatan
Kota Medan pada tahun 2006 menemukan bahwa
Puskesmas P.B. Selayang merupakan salah satu
puskesmas yang mempunyai prevalensi gizi kurang
yang cukup besar yaitu 4,7% (132 orang) dan gizi
buruk 8 orang. Masih tingginya kasus gizi kurang
dan gizi buruk pada balita dapat diasumsikan belum
baiknya pola konsumsi dan praktek pemberian ASI

66
Universitas Sumatera Utara


Taufik Ashar, Zulhaida Lubis, dan Evawany Aritonang

JURNAL PENELITIAN REKAYASA
Volume 1, Nomor 2 Desember 2008

pada bayi. Berdasarkan hal ini ingin diketahui
bagaimana pola asuh makan dan, status gizi bayi.
Perumusan Masalah
Praktek pemberian ASI dan MPASI pada
bayi belum diketahui apakah sudah dilakukan
dengan baik dan benar sehingga dapat dianalisis
sebagai factor penyebab tingginya prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk di Kelurahan PB Selayang.
Tinjauan Pustaka
Peran ASI bagi Bayi
ASI (Air Susu Ibu) merupakan cairan putih
yang dihasilkan oleh kelenjar payudara wanita
melalui proses laktasi. ASI terdiri dari berbagai
komponen gizi dan non gizi. Keberhasilan laktasi

dipengaruhi oleh kondisi sebelum dan saat
kehamilan. Kondisi sebelum kehamilan ditentukan
oleh perkembangan payudara saat lahir dan saat
pubertas. (Suharyono, 1990).
Pemenuhan kebutuhan gizi bayi 0-6 bulan
mutlak diperoleh melalui Air Susu Ibu bagi bayi
dengan ASI eksklusif (Butte et al, 2002; Kramer and
Kakuma, 2002; WHO, 2002). Berdasarkan hal ini
maka upaya perbaikan gizi bayi 0-6 bulan
didasarkan bahwa gizi kurang pada usia kurang dari
2 tahun akan berdampak terhadap penurunan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kecerdasan,
dan produktivitas; dimana dampak ni sebagian besar
tidak dapat diperbaiki (irreversible).
Studi-studi di banyak negara berkembang
mengungkap bahwa penyebab utama terjadinya gizi
kurang dan hambatan pertumbuhan pada anak-anak
usia 3-15 bulan berkaitan dengan rendahnya
pemberian ASI dan buruknya praktek pemberian
makanan pendamping ASI (Shrimpton, 2001). Di

Indonesia hanya 14% bayi mendapat ASI eksklusif
sampai usia 5 bulan dan hanya 8% bayi mendapat
ASI eksklusif sampai usia 6 bulan (Depkes, 2004)
ASI merupakan satu-satunya makanan
terbaik bagi bayi sampai berumur 6 bulan karena
mempunyai komposisi gizi yang paling lengkap dan
ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi
yang dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi selama 6
bulan pertama. Sayangnya hanya 39% dari semua
bayi di dunia yang mendapat ASI eksklusif (WHO,
2002).
Kombinasi asam amino dalam ASI sangat
sesuai secara biokimiawi untuk pertumbuhan bayi.
Kadar protein yang rendah mengakibatkan saluran
cerna bayi tidak dimasuki zat protein asing dalam
jumlah besa (Suharyono, 1990). Asam lemak dalam
ASI memungkinkan bayi memperoleh energi cukup
dan dapat membentuk myelin dalam susunan saraf,
sedangkan kandungan elektrolit (natrium, kalium,


klorida) yang sangat rendah pada ASI dibanding
susu sapi tidak memberatkan beban ginjal. Selain itu
ASI juga mengandung beberapa hormon yaitu
kortisol, somatostatin, oksitosin, dan prolaktin, serta
faktor pertumbuhan (ACC/SCN, 1991).
MPASI bagi Bayi
MPASI (Makanan Pendamping ASI) adalah
makanan yang diberikan pada bayi yang telah
berusia di atas enam bulan karena ASI tidak lagi
dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. MPASI yang
baik dan benar bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan bayi. Pemberian
makanan pendamping dilakukan secara berangsurangsur untuk mengembangkan kemampuan bayi
mengunyah dan menelan serta menerima bermacam
makanan dengan tekstur dan rasa. Usia 6 bulan
merupakan peralihan tahap pertama dalam
pengaturan makan bayi. ASI tetap menduduki
tempat yang penting sebagai makanan anak.
Pemberian MPASI harus bertahap dan
bervariasi mulai dari bentuk cair ke bentuk bubur

kental, sari buah, buah segar, makanan lunak dan
akhirnya makanan padat. Pemberian makanan cukup
2 kali sehari. Pemilihan jenis bahan makanan yaitu:
1. Bahan makanan pokok sumber kalori yaitu
beras, gandum, jagung, kentang, pisang, dan ubi.
2. Bahan makanan sumber protein nabati yaitu
bahan makanan kacang-kacangan seperti kacang
hijau, kacang tolo, dan kacang kedele.
3. Bahan makanan sumber protein hewani yaitu
ikan, telur, daging, dan susu.
4. Bahan makanan sumber vitamin dan mineral
yaitu sayuran berwarna hijau.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian:
1. Untuk mengetahui pola pemberian ASI pada
bayi (waktu pemberian ASI pertama kali,
frekuensi dan lama pemberian ASI dalam
sehari).
2. Untuk mengetahui pola pemberian MPASI pada
bayi (waktu pemberian MPASI pertama kali,

jenis dan frekuensi pemberian MPASI dalam
sehari).
3. Untuk mengetahui status gizi bayi
Manfaat Penelitian:
Memberikan informasi kepada institusi
kesehatan pola pemberian ASI dan MPASI di
masyarakat sehingga dapat mempertimbangkannya
dalam berbagai program ataupun upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan status gizi bayi dan
peningkatan pemberian ASI eksklusif.

67
Universitas Sumatera Utara

Taufik Ashar, Zulhaida Lubis, dan Evawany Aritonang

JURNAL PENELITIAN REKAYASA
Volume 1, Nomor 2 Desember 2008

METODE PENELITIAN

1. Lokasi: Kecamatan PB Selayang II Medan
dengan alasan di kecamatan ini masih ditemukan
4,7% (132 balita) dan gizi buruk 8 orang.
2. Jenis Penelitian: Survei dengan desain cross
sectional study.
3. Populasi: adalah seluruh bayi yang ada di
kecamatan PB Selayang II Medan. Dari hasil
survei gizi di kota Medan diketahui bahwa
jumlah balita di Kecamatan Medan Selayang
adalah 1658 orang. (Profil Dinas Kesehatan
Kota Medan, 2006).
Sampel: sebagain dari populasi yang ditentukan
berdasarkan rumus:
n =
N
= 94,3
1 + N (d)2
n = sampel
N = populasi
d = tingkat kesalahan yaitu 0,1

Untuk menjaga drop out sampel diambil jumlah
sampel 100 bayi.
4. Metoda Pengumpulan Data
4.1. Jenis Data
Data dalam penelitian terdiri dari:
karakteristik bayi (umur dan jenis kelamin), pola
pemberian ASI (waktu pemberian ASI pertama kali,
frekuensi dan lama pemberian ASI dalam sehari),
pola pemberian MPASI (waktu pemberian MPASI
pertama kali, jenis dan frekuensi pemberian MPASI
dalam sehari), dan status gizi bayi (berat badan,
panjang badan). Data sekunder terdiri dari cakupan
bayi, program-program bayi yang dilakukan di
Puskesmas PB Selayang dan Kota Medan.
4.2. Cara Pengumpulan Data
Karakteristik ibu dikumpulkan dengan
wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Pola
pemberian ASI dan MPASI pada bayi dikumpulkan
dengan metode food recall dan food frequency yang
menggambarkan jenis pangan dan frekuensi
konsumsi pangan bayi. Penilaian status gizi dengan
melakukan penimbangan berat badan dan
pengukuran panjang badan bayi setiap bulan selama
6 bulan. Status gizi bayi diukur dengan
menggunakan Z skor berdasarkan berat badan (Z
skor BB/U) dan Z skor berdasarkan panjang badan
(Z skor PB/U) yang dibandingkan dengan baku
NCHS.

5. Analisa Data
Data yang dikumpulkan disajikan dalam
distribusi frekuensi dianalisa secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Bayi dan Ibu
Tabel 1. Karakteristik Bayi dan Ibu
No
Karakteristik
1.
Umur Bayi (bulan)
0-6
7-12
2.
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
3.
Status Bayi
Anak pertama
Anak Kedua
> Anak Kedua
Cara Lahir
Normal
Sectio Caesarea
Vacuum
4.
Umur Ibu (tahun)
< 20 tahun
20-35 tahun
> 35 tahun
5.
Pendidikan Ibu
SD
SMP
SMU
Sarjana
6.
Pekerjaan Ibu
Tidak Bekerja (Ibu Rumahtangga)
Bekerja Di Rumah
Bekerja Di Luar Rumah

N

%

40
60

40,0
60,0

48
52

48,0
52,0

38
47
15

38,0
47,0
15,0

90
2
8

90,0
2,0
8,0

10
85
5

10,0
85,0
5,0

30
60
10
0

30,0
60,0
10,0
0,0

70
10
20

70,0
10,0
20,0

Dari Tabel 1 terlihat bahwa bayi
kebanyakan berada pada usia 7-12 bulan dengan
jenis kelamin perempuan yang lahir dengan cara
normal. Usia ibu paling banyak berada pada usia 2035 tahun yang menunjukkan berada pada usia
reproduksi sehat meskipun ada juga yang berada
pada usia risiko dalam melahirkan yaitu di bawah
25 tahun (10%) dan usia di atas 35 tahun (5%).
2. Pola Pemberian ASI
Prinsip pemberian ASI yang benar adalah
ASI diberikan langsung segera setelah lahir yang
dikenal dengan istilah IMD (Inisiasi Menyusui
Dini). Banyak sekali keuntungan yang didapat bayi
bila IMD ini diterapkan. Hal ini telah dibuktikan
secara ilmiah berdasarkan penelitian-penelitian yang
telah dilakukan. Meskipun banyak manfaat yang
dperoleh, IMD ini masih sangat sedikit dilakukan di
rumahsakit ataupun tempat-tempat pelayanan

68
Universitas Sumatera Utara

Taufik Ashar, Zulhaida Lubis, dan Evawany Aritonang

JURNAL PENELITIAN REKAYASA
Volume 1, Nomor 2 Desember 2008

persalinan. Hal ini bisa disebabkan karena ketidak
tahuan ibu dan petugas kesehatan, ataupun karena
factor petugas kesehatan yang tidak mau direpotkan
dengan praktek IMD ini. Dalam penelitian ini bayi
yang mendapat ASI begitu lahir atau mendapat IMD
tidak ada (0%).
Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
semua ibu (responden) tidak mengetahui apa yang
dimaksud dengan IMD bahkan mendengar istilah
IMD saja belum pernah. Ibu yang memberi ASI
kurang dari 1 hari pada umumnya disebabkan karena
arahan bidan dan dokter meskipun belum semua ibu
yang memberi ASI kurang dari 1 hari ini sudah
keluar ASI nya. Pada ibu yang memberi ASI lebih
dari 1 hari disebabkan karena factor ASI yang belum
keluar, factor ibu, ataupun factor bayi. Faktor ibu
meliputi kesehatan atau keadaan ibu misalnya ibu
dalam keadaan sakit atau ibu melahirkan secara
Caesar (operasi). Sedangkan factor bayi meliputi
kesehatan atau keadaan bayi misalnya bayi dalam
keadaan sakit atau dilahirkan secara tidak normal
seperti vakum.
Frekuensi pemberian ASI yang benar
adalah sesuka bayi yang dikenal dengan istilah on
demand. Hal ini berarti pemberian ASI dilakukan
secara tidak terjadwal. Dengan pola pemberian ASI
tak terjadwal ini menuntut penyediaan waktu ibu
terhadap bayi secara utuh (24 jam). Hal inilah yang

membuat penerapan pemberian ASI sesuka bayi
susah terpenuhi terutama pada ibu yang bekerja.
Dalam penelitian ini juga terlihat bahwa
ibu yang dapat memberi ASI secara tidak terjadwal
pada umumnya adalah ibu yang tidak bekerja di luar
rumah ataupun kalau bekerja maka jenis pekerjaan
ibu adalah yang dilakukan di rumah seperti jualan
(berdagang), menjahit, ataupun usaha salon).
Pemberian ASI sesuka bayi juga bukan berarti
bahwa otomatis bayi mendapat ASI eksklusif (selain
ASI juga mendapat makanan tambahan lain).
Beberapa bayi yang disusui dengan frekuensi sesuka
bayi adalah bayi yang mendapat ASI eksklusif (ASI
saja tanpa makanan lain).
Bila bayi tidak mendapat ASI eksklusif
maka sebaiknya bayi disusui dengan frekuensi
minimal 8 kali sehari dengan asumsi 2 kali pada pagi
hari, 2 kali pada siang hari, 2 kali pada sore hari, dan
2 kali pada malam hari. Frekuensi 8 kali ini
didasarkan pada asumsi tercukupinya kebutuhan gizi
bayi dengan semakin seringnya bayi disusui. Dalam
penelitian ini terlihat bahwa 30% mendapat
frekuensi pemberian ASI ≥ 8 kali sehari. Hal ini
dapat dilakukan juga karena umumnya ibu tidak
bekerja ataupun bekerja di rumah, meskipun
beberapa dari ibu ada juga yang bekerja di luar
rumah.

Tabel 2. Distribusi Bayi berdasarkan Waktu Pertama Kali Mendapat ASI
Waktu Pertama Kali ASI
Begitu Lahir (IMD)
< 1 hari
1 - 2 hari
3 - 4 hari
> 4 hari
Total

Usia 0-6 Bulan
N
%
0
0,0
10
10,0
25
25,0
5
5,0
0
0,0
40
40,0

Usia 7-12 Bulan
N
%
0
0,0
10
10,0
35
35,0
10
10,0
5
5,0
60
60,0

Total
N
0
20
60
15
5
100

%
0,0
20,0
60,0
15,0
5,0
100,0

Tabel 3. Frekuensi Pemberian ASI dalam Sehari
Frekuensi Pemberian ASI
Sesuka Bayi
≥ 8 Kali
< 8 Kali
Total

Usia 0-6 Bulan
N
%
30
30,0
10
10,0
0
0,0
40
40,0

Usia 7-12 Bulan
N
%
30
30,0
20
20,0
10
10,0
60
60,0

N
60
30
10
100

Total

Usia 7-12 Bulan
N
%
45
45,0
15
15,0
60
60,0

N
80
20
100

%
60,0
30,0
10,0
100,0

Tabel 4. Lama Pemberian ASI Setiap Penyusuan
Lama Pemberian ASI
≥ 15 menit
< 15 menit
Total

Usia 0-6 Bulan
N
%
35
35,0
5
5,0
40
40,0

Total
%
80,0
20,0
100,0

69
Universitas Sumatera Utara

Taufik Ashar, Zulhaida Lubis, Evawany Aritonang

JURNAL PENELITIAN REKAYASA
Volume 1, Nomor 2 Desember 2008

Selain frekuensi pemberian ASI maka
lama pemberian ASI juga merupakan factor yang
menentukan keberhasilan produksi ASI. Semakin
sering bayi disusui dan lama maka produksi ASI
akan semakin lancar karena hormone prolaktin dan
oksitosin yang berperan dalam produksi ASI di
kelenjar mamae (kelenjar payudara) akan bekerja
semakin optimal.
Indicator lama menyusui ≥ 15 menit
didasarkan pada kajian WHO untuk prediksi jumlah
ASI yang dihasilkan ibu yaitu setara dengan 60 ml
ASI (Worthington-Roberts, 1993 dalam Riyadi. H,
2002). Selain itu lama penyusuan juga sebagai
asumsi apakah produksi ASI lancar dan cukup. Bila
produksi ASI lancar dan cukup maka bayi akan
menyusu selama minimal 15 menit. Sebaliknya bila
produksi ASI tidak lancar dan tidak cukup maka
bayi tidak akan lama menyusu yaitu kurang dari 15
menit. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa
lama penyusuan juga dipengaruhi oleh frekuensi
penyusuan. Hal ini berarti bahwa pada ibu yang
frekuensi pemberian ASI nya sering pada umumnya
akan mampu untuk menyusui lebih dari 15 menit
setiap kali menyusui.
Secara otomatis bayi akan berhenti
menyusu pada waktu kurang dari 15 menit bila
produksi ASI tidak lancar dan tidak cukup meskipun
bayi masih lapar. Sebaliknya bila produksi ASI
lancar dan cukup maka bayi akan terus menyusu
lebih dari 15 menit sampai bayi puas dan kenyang
bahkan kadang-kadang sampai tertidur.
Dalam penelitian ini terlihat bahwa 80% ibu
memberi ASI ≥ 15 menit. Hal ini kebanyakan
terdapat pada ibu yang menyusui secara on demand

ataupun pada ibu dengan frekuensi penyusuan ≥ 8
kali sehari. Sebaliknya 20% ibu memberi ASI
kurang dari 8 kali sehari. Hal ini terdapat pada ibu
dengan frekuensi penyusuan kurang dari 8 kali
sehari.
3. Pola Pemberian MPASI
Pemberian MPASI yang terlalu dini yaitu
pada usia bayi kurang dari 6 bulan tidak
direkomendasikan
karena
berdasarkan
hasil
penelitian diketahui bahwa MPASI dini merupakan
salah satu factor yang menyebabkan kejadian diare
pada bayi karena factor ketidak higienisan dalam
penyediaan dan pemberian MPASI. Selain itu juga
MPASI dini ini juga akan mengakibatkan penurunan
produksi ASI bahkan dapat memberhentikan
produksi ASI yang disebabkan pengurangan
frekuensi pemberian ASI.
Dalam penelitian ini terlihat bahwa tidak
ada satu orang pun ibu yang memberi MPASI
setelah bayi usia lebih dari 6 bulan. Sebagian besar
bayi sudah mendapat MPASI pada usia 1-3 bulan
bahkan ada yang sudah memberi MPASI begitu
lahir. Pemberian MPASI pada usia 4-6 bulan
terdapat pada 15%. Adanya ibu yang memberi
MPASI (susu formula) begitu lahir disebabkan
adanya pemberian susu formula gratis oleh bidan
ataupun ASI yang belum keluar. Sedangkan bayi
yang mendapat MPASI pada usia 1-3 bulan atau
bayi usia 4-6 bulan disebabkan ketidaktahuan ibu
kapan waktu pemberian MPASI secara tepat dan
factor pengalaman pengasuhan dari anak
sebelumnya.

Tabel 5. Distribusi Bayi berdasarkan Waktu Pemberian MPASI Pertama Kali
Waktu Pertama Kali MPASI
Begitu Lahir
< 1 bulan
1 - 3 bulan
4 - 6 bulan
> 6 bulan
Total

Usia 0-6 Bulan
N
%
3
3,0
19
19,0
13
13,0
4
4,0
0
0,0
39
39,0

Usia 7-12 Bulan
N
%
7
7,0
30
30,0
12
12,0
11
11,0
0
0,0
60
60,0

N
10
49
25
15
0
99

Total

Usia 7-12 Bulan
N
%
10
10,0
7
7,0
13
13,0
30
30,0
60
60,0

N
15
12
17
55
99

%
10,0
49,0
25,0
15,0
0,0
99,0

Tabel 6. Distribusi Bayi berdasarkan Jenis Pemberian MPASI
Jenis Pemberian MPASI
Susu Formula
Buah/Sari Buah
MPASI Komersial
MPASI Non Komersial
Total

Usia 0-6 Bulan
N
%
5
5,0
5
5,0
4
4,0
25
25,0
39
39,0

Total
%
15,0
12,0
17,0
55,0
99,0

70
Universitas Sumatera Utara

Taufik Ashar, Zulhaida Lubis, dan Evawany Aritonang

JURNAL PENELITIAN REKAYASA
Volume 1, Nomor 2 Desember 2008

Tabel 7. Distribusi Bayi berdasarkan Frekuensi Pemberian MPASI dalam Sehari
Jenis MPASI

Usia 0-6 Bulan
1 Kali

2 Kali

Usia 7-12 Bulan
≥ 3 Kali

1 Kali

2 Kali

≥ 3 Kali

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

N

%

Susu Formula

4

4,0

3

3,0

1

1,0

6

6,0

1

1,0

0

0,0

Buah/Sari Buah

3

3,0

2

2,0

1

1,0

4

4,0

1

1,0

1

1,0

MPASI Komersial

2

2,0

1

1,0

1

1,0

6

6,0

4

4,0

3

3,0

MPASI Non Komersial

10

10

17

17

3

3,0

8

8,0

10

10

7

7,0

Jenis MPASI yang diberikan pada bayi
dikelompokkan atas 4 kelompok yaitu susu formula,
buah/sari buah, MPASI komersial, dan MPASI non
komersial. MPASI komersial merupakan MPASI
yang dibuat oleh industri makanan, dijual dalam
kemasan sachet, kotak ataupun kaleng yang terdiri
dari biscuit bayi ataupun bubur bayi baik bubur susu
maupun bubur tim. Sedangkan MPASI non
komersial merupakan MPASI yang dibuat sendiri
oleh ibu yang terdiri dari bubur nasi ataupun bubur
tepung beras yang dimasak dengan sayuran dan lauk
seperti tahu, tempe, telur, dan lain-lain.
Dalam penelitian ini terlihat bahwa
MPASI yang dominant diberikan pada bayi baik
bayi usia 0-6 bulan ataupun bayi usia 7-12 bulan
adalah MPASI non komersial sedangkan susu
formula dan MPASI komersial sangat sedikit
dikonsumsi bayi. Hal ini disebabkan harga susu
formula maupun MPASI komersial sangat mahal
sedangkan penghasilan keluarga relative rendah
sehingga ibu lebih cenderung memberikan MPASI
non komersial yang dimasak sendri di rumahtangga.
Sedangkan buah/sari buah yang diberikan umumnya
adalah pisang dan papaya meskipun beberapa ibu
ada juga yang memberikan jeruk pada beberapa
bayi.
Hal terpenting dari pemberian MPASI ini
adalah kandungan gizi MPASI tersebut dan
kebersihan MPASI baik dalam penyiapannya
maupun penyajiannya. Kajian WHO (2002)
menyatakan banyaknya bayi yang kurang gizi
ataupun diare disebabkan pemberian MPASI yang
tidak tepat/sesuai kandungan gizinya dengan
kebutuhan bayi dan penyiapan serta penyajian
MPASI yang kurang terjamin sanitasi dan
higienisannya.
Tabel 7 menjelaskan bahwa frekuensi
pemberian MPASI yang paling sering diberikan ibu
kepada bayi adalah pemberian MPASI non
komersial sebanyak 2 kali sehari. Susu formula pada
umumnya diberikan hanya 1 kali sehari baik pada

bayi usia 0-6 bulan maupun bayi usia 7-12 bulan.
Hal ini juga disebabkan factor ekonomi yang rendah
pada ibu sehingga pemberian MPASI lebih sering
berupa MPASI non komersial yang dimasak sendiri
dengan harga lebih rendah dibanding susu formula
ataupun MPASI non komersial buatan pabrik. Hanya
sedikit bayi yang mengkonsumsi susu formula
dengan frekuensi 2 kali sehari dan ≥ 3 kali sehari.
Demikian juga dengan MPASI komersial meskipun
dikonsumsi bayi tetapi paling banyak dikonsumsi
dengan frekuensi yang sangat kecil yaitu 1 kali
dalam sehari.
4. Status Gizi Bayi
Status Gizi Berdasarkan Berat Badan (BB/U)
Dalam penelitian ini masih menunjukkan
adanya bayi yang mempunyai status gizi buruk
sebanyak 5% meskipun kebanyakan bayi berstatus
gizi baik yaitu sebanyak 75%. Selain itu masih perlu
waspada dengan adanya 19% bayi berstatus gizi
kurang, karena dikhawatirkan akan menjadi status
gizi buruk bila tidak ada upaya perbaikan gizi
terhadap bayi yang berstatus gizi kurang tersebut.
Bayi yang berstatus gizi lebih ada 1%.
Tabel 8. Distribusi Status Gizi Bayi Berdasarkan
Berat Badan (BB/U)
Status Gizi

N

%

Buruk

5

5,0

Kurang

19

19,0

Baik

75

75,0

Lebih

1

1,0

Total

100

100,0

Status Gizi Berdasarkan Panjang Badan (PB/U)
Berdasarkan penilaian status gizi dengan
metode NCHS-WHO terlihat bahwa terdapat 25%
bayi berstatus pendek, sedangkan 75% bayi berstatus
normal. Panjang badan sebagai refleksi status gizi
juga dipengaruhi factor lain seperti genetic. Dalam
71
Universitas Sumatera Utara

Taufik Ashar, Zulhaida Lubis, Evawany Aritonang

JURNAL PENELITIAN REKAYASA
Volume 1, Nomor 2 Desember 2008

penelitian ini tinggi badan orangtua bayi tidak
diukur sehingga asumsi bahwa panjang badan yang
terlihat pada bayi juga belum dapat sepenuhnya
dikatakan sebagai hasil dari asupan gizi saja.
Meskipun demikian secara umum dapat dikatakan
bahwa status gizi bayi berdasarkan panjang badan
cukup baik.
Tabel 9. Distribusi Status Gizi Bayi Berdasarkan
Panjang Badan (PB/U)
Status Gizi

N

%

Pendek

25

25,0

Normal

75

75,0

Total

100

100,0

KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
1. Tidak ada bayi yang mendapat Inisiasi
Menyusui Dini (langsung disusui) begitu lahir.
2. Masih ada bayi yang disusui setelah 4 hari lahir
yaitu 5%.
3. Tidak semua bayi mendapat frekuensi
pemberian ASI secara on demand yaitu 10%
bayi usia 0-6 bulan dan 20% bayi usia 7-12
bulan.
4. 80% bayi menyusu dengan waktu ≥ 15 menit
dan 20% bayi menyusu dengan waktu < 15
menit.
5. Hanya 1% bayi yang mendapat ASI eksklusif
6. Terdapat 10% bayi yang mendapat MPASI
begitu lahir.
7. Jenis MPASI yang paling dikonsumsi bayi
adalah MPASI non komersial sedangkan jenis
MPASI yang paling sedikit dikonsumsi bayi
adalah susu formula.
8. Terdapat 5% bayi berstatus gizi buruk dan 75%
bayi berstatus gizi baik berdasarkan berat badan.
9. Terdapat 25% bayi berstatus gizi pendek dan
75% bayi berstatus gizi normal berdasarkan
panjang badan.
2. Saran
1. Dalam upaya meningkatkan status gizi bayi
diperlukan kesadaran dan pengetahuan ibu
tentang perlunya pemberian ASI eksklusif dan
pemberian MPASI yang baik dan benar.

2. Perlunya penyuluhan oleh kader posyandu atau
petugas kesehatan tentang inisiasi menyusui dini
serta pemberian MPASI secara tepat waktu dan
pembuatan MPASI yang sesuai dengan
kebutuhan gizi bayi.

DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN. 1991. Subcommittee on Nutrition during
Lactation. Committee on Nutritional Status
during Pragnancy and Lactation. Food and
Nutrition Board. Institute of Medicine.
Nutrition during Lactation. National Academy
Press. Washington, DC
Butte, N.F., D.H Calloway, and J.L. van Duzen.
1981. Nutritional Assessment of Pregnant and
Lactating Navajo Woman. Am.J.Clin.Nutr 34:
2216-2228
Departemen Kesehatan RI. 2000. Rencana
Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia
Sehat 2010. Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 2003. Gizi dalam Angka.
Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 2004. Dinas Kesehatan
Kota Medan. Profil Dinas Kesehatan Kota
Medan
Kramer. M.S, Kakuma. R. 2002. Optimal Duration
of Exclusive Breastfeeding. Cochrane
Database of Systematic Reviews dalam WHO.
2003. Community Based Strategies for
Breastfeeding Promotion and Support in
Developing Countries
Riyadi. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara
Antropometri. Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor
Riyadi. 2002. Pengaruh Suplementasi Zn dan Fe
terhadap Status Anemia, Status Seng dan
Pertumbuhan Anak Usia 6-24 bulan. Disertasi
yang
Tidak
Dipublikasikan.
Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor
Seksi Pangan dan Gizi Kota Medan. 2006. Evaluasi
dan Kegiatan Seksi Pangan dan Gizi Kota
Medan Tahun 2005
Shrimpton. 2001. Worldwide Timing of Growth
Faltering
Implication
for
Nutritional
Intervention. Pediatrics, 107:E7 dalam WHO.
2003. Community Based Strategies for
Breastfeeding Promotion and Support in
Developing Countries.

72
Universitas Sumatera Utara

Taufik Ashar, Zulhaida Lubis, dan Evawany Aritonang

JURNAL PENELITIAN REKAYASA
Volume 1, Nomor 2 Desember 2008

Suhardjo. 1989. Berbagai Cara Pendidikan Gizi.
Bumi Aksara bekerja sama dengan Pusat
Antar Universitas-Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor

World Health Organization. (WHO). 2002. The
Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding:
A Systematic Review. Geneva

73
Universitas Sumatera Utara