Penataan Tenurial Dan Peran Para Pihak Dalam Mewujudkan Legalitas Dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara

i

PENATAAN TENURIAL DAN PERAN PARA PIHAK
DALAM MEWUJUDKAN LEGALITAS DAN LEGITIMASI
KAWASAN HUTAN NEGARA

PERNANDO SINABUTAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

i

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ‖PENATAAN
TENURIAL DAN PERAN PARA PIHAK DALAM MEWUJUDKAN
LEGALITAS DAN LEGITIMASI KAWASAN HUTAN NEGARA‖ adalah
benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah digunakan dalam

bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi atau Lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor

Bogor,

Februari 2015

Pernando Sinabutar
NIM E161110071

iii

RINGKASAN
PERNANDO SINABUTAR. Penataan Tenurial dan Peran Para Pihak dalam
Mewujudkan Legalitas dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara. Dibimbing oleh
BRAMASTO NUGROHO, HARIADI KARTODIHARDJO, dan DUDUNG

DARUSMAN.
Karakteristik hutan negara sebagai common pool resources (CPRs)
memerlukan pengaturan yang efektif agar memiliki kepastian hukum kepemilikan
dan penguasaan serta memiliki legitimasi. Di Indonesia, kepastian hukum dan
legitimasi itu diperoleh melalui proses pengukuhan kawasan hutan yang
penyelenggaraannya diserahkan kepada Panitia Tata Batas (PTB). Sampai saat ini,
proses itu masih memiliki kinerja rendah dan kurang berkualitas. Penelitian ini
bertujuan untuk memformulasikan opsi pengukuhan kawasan hutan yang mampu
menghasilkan kawasan hutan yang berkualitas, yang dijabarkan menjadi tujuan
khusus, yaitu: (1) menganalisis penyebab rendahnya kinerja pengukuhan kawasan
hutan dalam mencapai kepastian hukum (legalitas) dan faktor-faktor yang
mengakibatkan hasil pengukuhan kawasan hutan belum memiliki legitimasi; (2)
menganalisis kontestasi aktor yang terjadi dalam proses pengukuhan kawasan
hutan; dan (3) merumuskan opsi peningkatan kinerja pengukuhan kawasan hutan
dalam mewujudkan kawasan hutan yang berkualitas.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja BPKH Wilayah XII
Tanjungpinang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam
(indepth interview), pengamatan terlibat dan review dokumen. Narasumber
penelitian adalah PTB ditambah dengan narasumber lain sebagai informan kunci
yang ditentukan secara snowball. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan

strategi tipologi menggunakan kerangka kerja IAD Ostrom (2005) yang didukung
dengan analisis isi (content analysis) (Bungin 2001), analisis stakeholder (Reed et
al 2009) dan analisis tumpang susun (overlay) peta penetapan kawasan hutan
dengan peta tutupan lahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuhan kawasan hutan yang dikerjakan
PTB selama ini telah disederhanakan menjadi sekedar persoalan hukum yang dapat
diatasi hanya dengan pendekatan legalistik-formal yang dikonstruksi oleh kekuasaan.
Kelembagaan pengukuhan kawasan hutan belum mampu menghadirkan kepastian
kepemilikan dan penguasaan lahan di tingkat tapak sehingga masyarakat membentuk
lembaga sendiri yang justru lebih diakui lembaga lokal (local institution), misalnya
jual beli lahan antar masyarakat dan penerbitan surat keterangan kepemilikan tanah
oleh kepala desa/lurah. Anggota PTB yang terlibat belum mencerminkan aksi kolektif
(collective action). Individu yang terlibat dalam pengukuhan kawasan hutan tidak
memiliki interest yang tinggi untuk memastikan keberhasilannya karena hasil tata
batas tidak memiliki implikasi dan dampak kepada masing-masing individu. Dengan
kata lain, pengambilan keputusan dalam pengukuhan kawasan hutan tidak berdampak
pada individu. Organisasi PTB adalah organisasi teknis, namun diberikan mandat
(mandatory) untuk menyelesaikan persoalan sosial dan politik kurang relevan.
Kegiatan tata batas merupakan urusan pilihan dalam tugas pokok dan fungsi masingmasing pihak yang terlibat, sehingga keberhasilannya tergantung insentif. Beberapa
hal tersebut mengakibatkan aksi PTB lebih mengejar penyelesaian teknis dan

administrasi.

iv
Kelembagaan pengukuhan kawasan hutan tidak terfasilitasi dengan baik karena
ada dua kekuatan (power) tidak dalam kerangka menghasilkan tata batas yang
berkualitas, namun lebih mengedepankan kepentingan. Dua kekuatan tersebut adalah
ketua (Bupati) dengan kekuatan legitimate power dan coercive power dan BPKH
dengan kekuatan legitimate power, expert power dan akses sumber daya lainnya
(pembiayaan, teknologi dan informasi). Sementara unsur anggota lainnya (Dishut
provinsi, Dishut kabupaten, unsur Bappeda, unsur BPN, camat dan kepala
desa/kepala lurah) hanya berperan sebagai subjects (aktor marjinal) karena perannya
telah diambil alih oleh Bupati yang memiliki kekuatan memaksa (power to coerce).
Dalam kelembagaan pengukuhan kawasan hutan, kekuatan tersebut telah
menyebabkan munculnya Conflict of Interest (CoI). Akibatnya, tata batas tidak linear
dengan legalitas, bahkan dengan legitimasi.
Arena aksi menunjukkan bahwa telah terjadi situasi aksi yang memperlihatkan
partisipan (Bupati dan BPKH) menggunakan sumber daya yang dimiliki (kuasa,
anggaran, pengetahuan) secara penuh dan itu melampaui keseimbangan peran
organisasi PTB yang dibentuk sehingga melemahkan peran anggota PTB lainnya.
Kondisi demikian ini tidak memecahkan persoalan klaim lahan, sebaliknya cenderung

berorientasi menyelesaikan masalah-masalah administrasi dan legalitas semata.
Aturan main (rule of the game) antara lain P. 47/Menhut-II/2010 belum terbangun
norma, nilai dan sanksi sehingga aturan tersebut minim tanggung jawab yang pada
akhirnya memunculkan perilaku oportunistik. Aturan tersebut juga belum efektif
mengarahkan PTB berinteraksi, sehingga membuka ruang tata batas dilakukan
sepihak. Aturan main lainnya yaitu P.44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013
yang secara tidak langsung mensyaratkan pemenuhan sekumpulan hak (bundle of
rights) untuk menyelesaikan persoalan klaim sangat mustahil karena persoalan klaim
dan hak-hak masyarakat lokal didominasi oleh bukti hak tidak tertulis berupa historis
kultural kepemilikan dan pengakuan oleh institusi lokal (local institution) yaitu siapa
yang pertama kali membuka lahan, maka dialah sebagai pemiliknya.
Beberapa temuan tersebut, pada akhirnya menyimpulkan bahwa kelembagaan
pengukuhan kawasan hutan dengan kebijakan memberikan tugas dan kewenangan
kepada PTB menyelesaikan kepastian hukum dan mengurusi legitimasi kawasan
hutan diduga tidak akan efektif, bahkan cenderung akan gagal. Oleh karena itu,
kelembagaan pengukuhan kawasan hutan memerlukan pembaharuan. Pembaharuan
itu meliputi: (1) pemisahan tugas antara legalitas sebagai asas pembuktian hukum dan
legitimasi sebagai pengakuan; (2) menghadirkan lembaga pengelola di tingkat tapak
untuk mengurusi legitimasi; (3) memfasilitasi kekuatan (power) untuk menghindari
munculnya Conflict of Interest (COI); dan (4) memperbaiki kelembagaan pengukuhan

kawasan hutan dengan memperbaiki regulasi, nilai dan norma, budaya kognitif dan
moral aktor yang terlibat seperti diutarakan oleh Scot (2001). Keberhasilan lembaga
pengukuhan kawasan hutan untuk memastikan penguasaan dan kepemilikan hutan
negara sebagai CPRs dapat diwujudkan apabila berhasil menata tenurial kawasan
hutan yang akan dikukuhkan dan memperbaiki peran para pihak yang
menyelenggarakan tata batas kawasan hutan.***
Kata kunci: pengukuhan kawasan hutan, common pool resources, PTB, legalitas,
dan legitimasi

v

SUMMARY
PERNANDO SINABUTAR. Structuring Tenure and Role of the Parties in
Realizing the Legality and Legitimacy of the State Forest Area. Suverpised by
BRAMASTO NUGROHO, HARIADI KARTODIHARDJO, and DUDUNG
DARUSMAN.
Characteristics of state forests as common pool resources (CPRs) requires
effective arrangements to have ownership and control of legal certainty and
legitimacy. In Indonesia, legal certainty and legitimacy gained through the process
of strengthening of the forest area which operate submitted to the Committee of

Boundary (PTB). Until now, the process still has a low performance and less
qualified. This study aims to formulate forest area gazzetment option that may
improve the performance, which are translated into specific objectives, namely:
(1) analyze the reasons for poor performance in achieving forest area gazzetment
of legality and the factors that lead to the results of the forest area gazzetment
does not yet have legitimacy; (2) analyzing the contestation actor happens in the
process of strengthening of forest areas; and (3) formulate improvement options
forest area gazzetment performance forests in realizing quality forest.
The research was carried out in the region of Forest Centre for Area
Stabilization (BPKH) Tanjungpinang Region XII. Data collected through in-depth
interviews, participant observation and document review. Informant PTB research
is coupled with other sources as specified in the key informant snowball.
Qualitative data were analyzed by using the typology strategy IAD framework
Ostrom (2005), which is supported by the content analysis (Bungin 2001),
stakeholder analysis (Reed et al 2009) and analysis of overlaying determination
map forest areas with land cover maps.
The results showed that the forest area gazzetment PTB working has been
simplified to a mere legal issues that can be addressed only by a formal legalistic
approach constructed by power. Institutional strengthening of forest area has not
been able to bring the certainty of ownership and control of land at the site level

so that people form their own institutions which are even more recognized local
institutions, for example, buying and selling of land between the community and
the issuance of a certificate of land ownership by the village chief/headman. PTB
members involved do not reflect the collective action. Individuals involved in the
strengthening of forest area does not have a high interest to ensure its success as
the result of boundary has no implications and impact on the individual. In other
words, decision-making in the strengthening of forest area has no impact on the
individual. PTB organization is a technical organization, but given the mandatory
to resolve social and political problems is a fallacy. Boundary activities is a matter
of choice in the duties and functions of each of the parties involved, so that its
success depends on incentives. Some of these things lead to further pursue the
completion of the action PTB technical and administrative.
Institutional strengthening of the forest area is not well facilitated because
there are two powers is not within the framework of boundary-quality produce,
but rather promotes the interests. These two forces is the chairman (Regent) with
legitimate power and coercive force of power and BPKH with legitimate power,
expert power and access to resources. While elements other members only act as

vi
subjects (marginal actor) for his role has been taken over by the regent who has

the power to force. In the institutional strengthening of the forest area, the force
has led to the emergence of Conflict of Interest (CoI). As a result, the boundary is
not linear with the legality, even with legitimacy.
Action arena action shows that there has been a situation of action that shows
participants (Regent and BPKH) using available resources (power, budgetting,
knowledge) in full and it goes beyond the balance of the role of PTB organization
that was formed to weaken the role of the other PTB members. This condition
does not resolve the issue of land claims, on the contrary tend to be oriented
resolve administrative issues and legality. Rules of the game, among others, P.
47/Menhut-II/2010 has not been awakened norms, values and sanctions so that the
rule is minimal responsibilities that ultimately gave rise to opportunistic behavior.
The rules are also not effectively direct the PTB interact, so that the open space
boundaries is done unilaterally. Other rules are P.44/Menhut-II/2012 jo.
P.62/Menhut-II/2013, which indirectly require compliance with a the bundle of
rights o resolve the issue of claims is impossible because of the issue of the claims
and the rights of local communities dominated by evidence unwritten rights of
ownership in the form of cultural historical and recognition by local institutions
that anyone who first cleared the land, then he as the owner.
Some of these findings, in the end concluded that the institutional
strengthening of forest areas with a policy of duty and authority to PTB resolve

the legitimacy of legal certainty and care of forest is predicted not to be effective,
even likely to fail. Therefore, the institutional strengthening of forest area needs
updating. Updates include: (1) separation of duties between legality and
legitimacy of the legal burden of proof as an acknowledgment; (2) to present at
the site level management agency to take care of legitimacy; (3) facilitate the
power to avoid the appearance of Conflict of Interest (CoI); and (4) improve the
institutional strengthening of forest area to improve the regulation, values and
norms, cognitive and moral culture of the actors involved as expressed by Scot
(2001). The success of the forest area gazzetment to ensure forest tenure as a state
forest CPRs can be realized if successfully managing forest land tenure will be
confirmed and improve the role of the party conducting forest boundaries.***
Keywords: forest area gazzetment, PTB, common pool resources, legality, and
legitimacy

vii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ix

PENATAAN TENURIAL DAN PERAN PARA PIHAK
DALAM MEWUJUDKAN LEGALITAS DAN LEGITIMASI
KAWASAN HUTAN NEGARA

PERNANDO SINABUTAR

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

x

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Iin Ichwandi MSc.F
Staf Pengajar Divisi Kebijakan Kehutanan
Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
2. Myrna Asnawati Safitri, SH, MSi, Ph.D
Direktur Eksekutif HUMA – EPISTEMA

Penguji pada Ujian Terbuka

1. Dr Ir Bambang Soepijanto, MM
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia
2. Dr Tatang Tiryana, S. Hut, MSc
Staf Pengajar Divisi Perencanaan Kehutanan
Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

xii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
berkat dan karunia-Nya sehingga Disertasi dengan judul ‖Penataan Tenurial dan
Peran Para Pihak dalam Mewujudkan Legalitas dan Legitimasi Kawasan Hutan
Negara‖ ini dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan dalam rangka memenuhi
persyaratan, sebagai syarat memperoleh gelar Doktor pada Mayor Ilmu
Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dengan kerendahan hati dan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS selaku ketua komisi pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan pengetahuan kelembagaan
untuk memahami kerangka berpikir karakteristik hutan negara sebagai CPRs;
Prof Dr Ir Hariadi Kartodiharjo MS selaku anggota komisi pembimbing yang
selalu memberikan pandangan kebijakan, bagaimana memahami konteks dan
fakta, menuliskan dan memahami fakta dengan baik, dan memberikan
motivasi dalam penulisan; dan Prof Dr Ir Dudung Darusman MA selaku
anggota komisi pembimbing yang selalu meluruskan penulis agar berpijak
pada tatanan dan norma yang benar dalam memahami fenomena di lapangan
dan mengkaitkannya dengan konsep hingga tersusunnya Disertasi ini;
2. Dr. Ir. Iin Ichwandi M.Sc.F, Myrna Asnawati Safitri, SH, M. Si, Ph.D selaku
penguji luar komisi pada Ujian Tertutup yang memberikan pandangan lain
yang menambah khazanah kebaruan dari penelitian ini;
3. Dr. Ir. Bambang Soepijanto MM dan Dr. Tatang Tiryana, S. Hut, M.Sc selaku
penguji luar komisi pada Ujian Terbuka yang juga memberikan masukan dan
arahan lain yang juga konstruktif untuk memperbaiki Disertasi ini;
4. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan beserta jajarannya atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB;
5. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan beserta jajarannya yang menjadi sponsor utama pendidikan dan
penelitian selama menempuh S3 di IPB;
6. Rekan-rekan pegawai Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII
Tanjungpinang sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan atas semangat dan bantuannya, terutama data dan informasi yang
dibutuhkan penulis;
7. Seluruh pengelola Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor selama proses pendidikan penulis di IPB, terkhusus
ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan yaitu Prof Dr Ir Hardjanto MS
yang membimbing penulis saat menyelesaikan program Sarjana di Jurusan
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, dan yang merekomendasikan
penulis untuk melanjutkan ke jenjang S2 di Universitas Hasanuddin dan
jenjang S3 di IPB;
8. Istriku Dame Natalia Turnip dan anakku Hanna Natasya Engelice Sinabutar
yang selalu mendampingi dan memberikan semangat yang selalu baru tiap

xiii
hari, sehingga proses demi proses dapat kita lalui hingga Disertasi ini
tersusun. Dinamika yang terjadi, baik suka maupun duka sejak proses
perkuliahan hingga penyusunan Disertasi ini telah menambah rentetan sejarah
dalam kehidupan keluarga kita yang tidak akan pernah kita lupakan, dan akan
kita jadikan sebagai pemicu untuk menjadi yang terbaik di masa yang akan
datang;
9. Keluarga Besar S. Sinabutar (+)/R. Turnip dan Letkol NES Turnip (+)/E.S.
Manik yang selalu memberikan semangat dan dorongan baik moril maupun
materil.
10. Teman-teman IPH angkatan 2009-2014 atas waktu untuk berdiskusi dan
bertukar pendapat, khususnya angkatan 2011 atas kebersamaan dan
kekeluargaannya selama ini;
11. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah
membantu menyediakan data, informasi dan literatur selama pengumpulan
data dan penyusunan Disertasi;
Semua dukungan yang telah diberikan kepada kami adalah bagian penting dari
penyelesaian disertasi ini. Semoga Tuhan yang Maha Esa selalu memberkati dan
memelihara kita semua.

Bogor, Februari 2015
Pernando Sinabutar

xv

DAFTAR ISI
Hal
RINGKASAN
iii
SUMMARY
v
PRAKATA
xii
DAFTAR ISI
xv
DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR GAMBAR
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
ISTILAH DAN SINGKATAN
xx
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Kerangka Pemikiran
4
Tujuan Penelitian
7
Manfaat Penelitian
7
Kebaruan (Novelty)
7
Metode Penelitian
9
Pendekatan penelitan
9
Lokasi dan waktu penelitian
10
Batasan penelitian
10
Data dan informasi yang dibutuhkan
10
Pengumpulan data dan penentuan narasumber
11
Validasi data
11
Analisis data
11
2 DINAMIKA PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN
DI PROVINSI RIAU
12
Pendahuluan
12
Metode Penelitian
12
Hasil dan Pembahasan
13
Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan
13
Sejarah Pengukuhan Kawasan Hutan
16
Kinerja Pengukuhan Kawasan Hutan
19
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Kinerja Pengukuhan
Kawasan Hutan dari Sisi Legalitas
26
Peta Masalah Pengukuhan Kawasan Hutan
38
Dinamika Kebijakan Sektor lain dalam Penggunaan Sumber Daya Hutan 40
Kegagalan Kebijakan Pengukuhan Kawasan Hutan
42
Simpulan
44
3 PERSOALAN LEGALITAS DAN LEGITIMASI PENGUKUHAN
KAWASAN HUTAN DI PROVINSI RIAU
46
Pendahuluan
46
Metode Penelitian
47
Hasil dan Pembahasan
47
Tata Batas Versus Legalitas Kawasan Hutan
47
Legalitas Versus Legitimasi Kawasan Hutan
48
Konflik Sosial di Balik Legalitas Kawasan Hutan
53

xvi
Konflik Sosial di Balik Legitimasi Kawasan Hutan
Ruang Pemaknaan Legitimasi Kawasan Hutan
Faktor Penghambat Pencapaian Legitimasi Kawasan Hutan
Perbaikan Implementasi Kebijakan Pengukuhan Kawasan Hutan
Simpulan
4 KONTESTASI AKTOR DALAM PENGUKUHAN KAWASAN
HUTAN DI PROVINSI RIAU
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Aktor dan Sumber Daya
Ruang Kekuasaan Bekerja
Ruang Kepentingan dan Negosiasi
Hubungan Kekuasaan, Kepentingan dan Pengaruh
Kontestasi Aktor
Simpulan
5 PERSOALAN PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DALAM
KERANGKA IAD OSTROM
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Fakta Kinerja Pengukuhan Kawasan Hutan
Karakteristik Biofisik dan Material
Atribut Komunitas
Aturan yang digunakan (rules in use)
Arena Aksi
Pola Interaksi
Outcomes
Keterkaitan antara faktor eksternal dan internal
Simpulan
6 PENATAAN TENURIAL DAN PERAN PARA PIHAK: OPSI
PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Konflik Penguasaan Lahan Kawasan Hutan
Hak kepemilikan dan penguasaan sumber daya hutan
Peran PTB dalam pengukuhan kawasan hutan
Ruang tindak (measure space): menuju pembaharuan kebijakan
Simpulan
7 PEMBAHASAN UMUM
8 SIMPULAN, IMPLIKASI TEORI DAN KEBIJAKAN
Simpulan
Implikasi teori
Implikasi kebijakan
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundangan yang digunakan
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

55
57
62
64
66
67
67
68
69
69
73
75
77
83
91
92
92
93
93
93
95
96
99
103
108
108
108
110
112
112
112
113
113
115
127
129
135
136
142
142
144
145
146
153
154
189

xvii

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23
Tabel 24
Tabel 25
Tabel 26
Tabel 27
Tabel 28

Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan TGHK
14
Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarka Perda Nomor 10
tahun 1994
15
Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan rekomendasi tim
terpadu
15
Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas di
Provinsi Riau
20
Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan pengesahan hasil
tata batas di Provinsi Riau
21
Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil penetapan
kawasan hutan di Provinsi Riau
22
Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan fungsi kawasan
hutan di Provinsi Riau
25
Persoalan teknis pemetaan yang menghambat pengesahan dan
penetapan kawasan hutan
32
Temuan hasil pelaksanaan tata batas HPT P. Setahun, S. Galang dan
Seberang
35
Kegagalan kebijakan (policy failure) pengukuhan kawasan hutan
di Provinsi Riau
43
Konflik sosial di balik legalitas kawasan hutan
55
Konflik sosial di balik legitimasi kawasan hutan
57
Makna legitimasi para pihak (masyarakat, PTB dan instansi di luar
PTB
62
Titik-titik perbaikan kebijakan pengukuhan kawasan hutan
di Provinsi Riau menuju legalitas dan legitimasi kawasan hutan
65
Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh para pihak 69
Sumber daya PTB dalam penyelenggaraan tata batas TN Tesso Nillo70
Sumber daya PTB pada HL Sei Tembesi dalam penyelenggaraan
tata batas
71
Sumber daya PTB pada HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S.
Galang dan Seberang dalam penyelenggaraan tata batas
72
Ruang kepentingan yang terjadi pada masing-masing kewasan hutan 76
Tingkat kepentingan PTB terhadap penyelenggaraan tata batas
78
Tingkat pengaruh PTB terhadap penyelenggaraan tata batas
79
Arena kontestasi kepentingan di tingkat penunjukan kawasan
hutan di Provinsi Riau
86
Bentuk kontestasi yang terjadi dalam penyelenggaraan tata batas
88
Data konflik dan tutupan lahan pada kawasan hutan yang telah
memiliki legalitas pada kawasan hutan dengan fungsi konservasi
93
Konteks penggunaan tiga keputusan yang mempengaruhi
kebijakan pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Riau
95
Peran PTB sesuai fakta dalam penyelenggaraan tata batas HPT
Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang
104
Akses PTB terhadap pendanaan, tenaga kerja, pengetahuan dan
teknologi
107
Tata batas tahun 2013 yang belum ditandatangani PTB
115

xviii
Tabel 29 Tipologi komunitas di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan
hutan pada masing-masing kelompok hutan
117
Tabel 30 Tipologi konflik tenurial pada 3 (tiga) kelompok hutan
119
Tabel 31 Sekumpulan hak (bundle of rights) sumber daya hutan pada masingmasing fungsi hutan berdasarkan kategori aktor
123
Tabel 32 Dominasi aksi (peran yang dilakukan) berdasarkan tugas PTB
sesuai dengan P. 47/Menhut-II/2010
127
Tabel 33 Dominasi aksi (peran yang dilakukan ) berdasarkan kewenangan
PTB sesuai dengan P. 47/Menhut-II/2010
128

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7

Gambar 8
Gambar 9
Gambar 10
Gambar 11
Gambar 12
Gambar 13
Gambar 14
Gambar 15
Gambar 16
Gambar 17
Gambar 18
Gambar 19
Gambar 20
Gambar 21
Gambar 22

Kerangka pemikiran tenurial dan peran para pihak dalam
mewujudkan legalitas dan legitimasi kawasan hutan negara
9
Luas kawasan hutan berdasarkan TGHK, RTRWP dan
rekomendasi tim terpadu
16
Sejarah pengukuhan kawasan hutan di Indonesia
17
Hasil tata batas, pengesahan batas dan penetapan kawasan hutan di
Provinsi Riau sejak era register hingga era percepatan tata bata
24
Peta perambahan di kawasan hutan TN Tesso Nillo
25
Contoh perbedaan batas kawasan hutan antara peta trayek batas,
pemancangan batas sementara dan pemancangan batas definitif
28
Contoh kawasan hutan yang hampir sama antara peta hasil tata batas
sementara dengan peta hasil tata batas definitif namun berbeda
dengan peta trayek batas
30
Contoh batas kawasan hutan yang belum temugelang
(TN Tesso Nillo)
31
Pemetaan masalah pengukuhan kawasan hutan pada tahap
penunjukan kawasan hutan di Provinsi Riau
39
Dinamika konflik antar sektor dalam penggunaan lahan hutan
42
Kondisi eksisting HL Sei Tembesi yang ditetapkan menjadi hutan
lindung
50
Pal batas HL Sei Tembesi yang melewati kebun masyarakat
51
Pal batas HL Sei Tembesi yang melewati rumah penduduk
52
Surat pernyataan penguasaan tanah yang dikeluarkan kepala lurah 52
Lokasi pekuburan di Desa Air Hitam yang masuk pada wilayah
TN Tesso Nillo
60
Diagram kepentingan dan pengaruh para pihak
(Reed et al 2009)
69
Ruang negosiasi (titik koordinasi) dalam pengukuhan kawasan
hutan berdasarkan tahapannya
77
Matrik kepentingan dan pengaruh unsur PTB
80
Areal pengganti yang mengalami proses pelepasan kawasan hutan
di Provinsi Riau
94
Keterkaitan antara aturan yang digunakan (rules in use) dengan
situasi aksi (adopsi dari Ostrom 2011)
100
Perbaikan interaksi PTB dalam pengambilan keputusan
111
Klaim para pihak di TN Tesso Nillo
114

xix
Gambar 23
Gambar 24
Gambar 25

Skema penataan tenurial sebagai opsi penyelesaian hak-hak pihak
ketiga berbasis hak
126
Fakta, penyebab dan akibat peran PTB belum terimplementasi . 129
Ruang tindak (measure space) pembaharuan kebijakan
pengukuhan kawasan hutan
132

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1

Kelompok hutan dengan fungsi hutan konservasi yang telah
ditata batas, disahkan dan ditetapkan di Provinsi Riau sampai
tahun 2013
154
Lampiran 2 Kelompok hutan dengan fungsi hutan lindung yang telah ditata
batas, disahkan dan ditetapkan di Provinsi Riau
sampai tahun 2013
156
Lampiran 3 Kelompok hutan dengan fungsi hutan produksi terbatas yang
telah ditata batas, disahkan dan ditetapkan di Provinsi Riau
sampai tahun 2013
158
Lampiran 4 Kelompok hutan dengan fungsi hutan produksi yang telah
ditata batas, disahkan dan ditetapkan di Provinsi Riau
sampai tahun 2013
163
Lampiran 5 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas,
pengesahan dan penetapan kawasan hutan pada kelompok hutan
dengan fungsi hutan konservasi di Provinsi Riau sampai tahun
2013
165
Lampiran 6 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas,
pengesahan dan penetapan kawasan hutan pada kelompok hutan
dengan fungsi hutan lindung di Provinsi Riau
sampai tahun 2013
167
Lampiran 7 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas,
pengesahan dan penetapan kawasan hutan pada kelompok hutan
dengan fungsi hutan produksi terbatas di Provinsi Riau
sampai tahun 2013
169
Lampiran 8 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas,
pengesahan dan penetapan kawasan hutan pada kelompok hutan
dengan fungsi hutan produksi di Provinsi Riau
sampai tahun 2013
172
Lampiran 9 Fakta konflik dan tutupan lahan pada kawasan hutan yang telah
memiliki legalitas pada kawasan hutan dengan gungsi hutan
produksi
174
Lampiran 10 Analisis isi (content analysis) peraturan PTB menggunakan
konsep rules in use Ostrom et al. (2005)
176
Lampiran 11 Tupoksi unsur anggota PTB Kabupaten Kepulauan Meranti
Provinsi Riau
184
Lampiran 12 Desain penetapan kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan
hasil tata batas yang telah dilakukan sejak era register hingga
tahun 2013
186

xx

ISTILAH DAN SINGKATAN
APL
APBN
Bappeda
BATB
BIPHUT
BPKH
BPN
BP-Batam
CPRs
DitjenPlan
Dishut
DPPTKH

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

GPS
HGU
HK
HL
HPK
HPT
IAD
In
IUPHHK-HT
IUPHHK-HA
IUPHHK-RE
Kemenhut
KP2K
KPH
KPK
KSDA
Out

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Perda
PTB
RTRWP
RKTN
RPPH
SK
SOP
TGHK
TN
UPT

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Areal Penggunaan Lain
Anggaran Pendapatan Belanja Negara
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Berita Acara Tata Batas
Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan
Balai Pemantapan Kawasan Hutan
Badan Pertanahan Nasional
Badan Pengusahaan Batam, pengganti Otorita Batam
Common Pool Resources
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan
Dinas Kehutanan
Direktorat Pengukuhan Penatagunaan dan Tenurial Kawasan
Hutan
Global Positioning System
Hak Guna Usaha
Sutan Konservasi
Hutan Lindung
Hutan Produksi yang dapat dikonversi
Hutan Produksi Terbatas
Institution and Analysis Development
Memasukkan areal bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan
Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman
Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam
Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem
Kementerian Kehutanan
Kelautan Perikanan Pertanian dan Kehutanan
Kesatuan Pengelolaan Hutan
Komisi Pemberantasan Korupsi
Konservasi Sumber Daya Alam
Mengeluarkan areal kawasan hutan menjadi bukan kawasan
hutan
Peraturan Daerah
Panitia Tata Batas
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan
Surat Keputusan
Standar Operasional dan Prosedur
Tata Guna Hutan Kesepakatan
Taman Nasional
Unit Pelaksana Teknis

1

1

PENDAHULUAN
Latar belakang

Konflik tenurial dalam kawasan hutan negara (selanjutnya dalam penelitian ini
disebut kawasan hutan) di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu1.
Persoalan ini dipicu oleh ketidakpastian penguasaan atas tanah-tanah (tenurial
insecurity)/sumber daya alam/wilayah kelola masyarakat (Kartodihardjo 2012,
Fauzi 2012, Nugraha 2013). Selain itu, tumpang tindih klaim atas kawasan hutan
diantaranya akibat legislasi dan kebijakan yang belum terimplementasi dengan
optimal, pemberian ijin yang belum terkoordinasi dan juga belum diakuinya hakhak masyarakat adat dan masyarakat lokal pengguna hutan lainnya. Bromley
(1992ª) mengungkap bahwa legitimasi kawasan hutan sebagai ―state property‖
yang tidak diikuti pengelolaan dan pengawasan yang baik dari Pemerintah,
mengakibatkan rejim pengelolaannya cenderung ―non property‖ atau ―open
access‖.
Kemunculan konflik tenurial juga diakibatkan oleh persoalan yang terkait
dengan karakteristik hak-hak atas sumber daya hutan, antara lain hutan (terutama
yang dikuasai negara) berada pada situasi kompetisi hak-hak (competing claims of
ownership) terutama hak akses terhadap sumber daya hutan (Brown et al. 2002).
FWI (2009) menambahkan bahwa persoalan itu dipicu oleh lemahnya tata kelola
kehutanan (good forestry governance) yang digambarkan oleh ketimpangan
struktur dan proses, lalu keragaman tafsir pengurusan dan pengelolaan hutan oleh
para pemangku kepentingan, sehingga regulasi dan kebijakan Pemerintah belum
mampu mengarahkan perilaku aktor untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan
lestari. Bahkan, Nugraha (2013) menegaskan bahwa kebijakan Pemerintah dalam
meningkatkan kepastian tenurial (tenurial security) sejak awal justru berpotensi
menimbulkan konflik. Hal ini tidak lain akibat ketimpangan struktur dan proses,
termasuk ketimpangan kekuasaan, kewenangan, kerjasama dan konflik dalam
pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah terkait alokasi sumber daya
hutan dan pengurusannya.
Dari sisi yuridis, munculnya konflik tenurial disebabkan oleh 2 (dua) hal.
Pertama, pengaturan untuk semua tanah termasuk kawasan hutan yang tumpang
tindih dan penerapannya yang kurang konsisten (Sumardjono 2002; ContrerasHermosilla & Fay 2006, Fauzi 2013; Nugraha 2013; Syarief 2014). Kedua,
perbedaan pengetahuan dan pemahaman (Wijardjo et al. 2001) dan ketidaksamaan
1

Hingga tahun 2003 sepanjang Pemerintahan Orde Baru terdapat 1.920 konflik penguasaan tanah dengan
luas 10.512.938,41 dengan korban 622.455 keluarga (Galudra, 2006). Wulan et al. (2004) menyebutkan
bahwa sepanjang periode Januari 1997 hingga Juni 2003 terdapat konflik di seputar sektor kehutanan
sebanyak 359 konflik. Sementara BPN (2008) mencatat sedikitnya 7.491 konflik agraria sedang ditangani
BPN dan Kepolisian RI. BPS-Dephut (2007), dari 31.864 desa yang diidentifikasi (15 provinsi) terdapat
16.760 desa berada di dalam kawasan hutan.Dewan Kehutanan Nasional (DKN, 2009) menyebutkan bahwa
konflik dan potensi konflik ruang dengan sektor lain dalam kawasan hutan seluas 17,6 juta ha. Konsorsium
Pembaruan Agraria mencatat 369 konflik atas 1,28 juta ha lahan sepanjang tahun 2013 dengan melibatkan
139.874 keluarga petani, meningkat dibanding tahun 2012, tercatat 198 konflik atas 963.939 hektar lahan dan
melibatkan 141.195 keluarga petani (Raz 2013). Selanjutnya di Provinsi Riau berdasarkan catatan Scale Up
(2011) tahun 2007 terdapat konflik sumber daya alam seluas 111.745 Ha, tahun 2008 seluas 200.586 Ha (96
konflik), tahun 2009 meningkat drastis menjadi 345.619 Ha dan tahun 2010 sedikit menurun menjadi 342.571
Ha.

2
penafsiran tentang isi dan batas-batasnya (Sodiki 1999; Limbong 2012). Dua hal
itu menimbulkan konflik kewenangan dan kepentingan (Syarief 2014), konflik
data (Wijardjo et al. 2001), konflik lahan (Awang 2013), konflik agraria (Fauzi
2013), dan pengkotakan peraturan perundang-undangan yang diterima sebagai
sebuah kenyataan (taken for granted) (Sumardjono 2002). Seharusnya, pengaturan
untuk semua tanah tunduk pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 19602 tentang
Pokok-pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) (Fauzi 2013; Susilo 2013). Namun pada rezim orde baru, terbit
peraturan-peraturan di bidang sumber daya alam secara sektoral yang
bertentangan dengan UUPA3 dan mempunyai posisi yang sama yang menjadikan
tanah sebagai obyek. Perbedaan peraturan yang sektoral itu tidak hanya
memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara
substansial peraturan itu tidak integratif (Supriyadi 2013). Beberapa persoalan ini
membuktikan dilema pengurusan dan pengelolaan hutan negara sebagai CPRs.
Oleh karena itu, hutan negara memerlukan pengaturan yang efektif agar
memiliki kepastian hukum kepemilikan dan penguasaan. Kepastian itu merupakan
salah satu faktor penting dalam pengelolaan hutan di Indonesia (ContrerasHermosilla & Fay 2006). Di Indonesia, kepastian itu diperoleh melalui proses
pengukuhan kawasan hutan yang dimulai dari penunjukan, penataan batas,
pemetaan hingga penetapan (UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan (Pasal 12), PP
44 tahun 2004 tentang perencanaan hutan (Pasal 15), dan P.44/Menhut-II/2012 jo.
P.62/Menhut-II/2013
tentang
pengukuhan
kawasan
hutan)
dan
penyelenggaraannya diwakilkan kepada Panitia Tata Batas (PTB). Salah satu
tugas dan kewenangannya (P.47/Menhut-II/2010 tentang pembentukan PTB)
adalah menentukan langkah-langkah penyelesaian hak-hak pihak ketiga di
sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan. Tugas dan kewenangan itu
ditegaskan pula pada P.44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013 yang tidak
hanya menentukan langkah-langkah penyelesaian, namun menyelesaikan hak-hak
pihak ketiga (Pasal 23). Hal ini berarti pula bahwa tugas dan kewenangan PTB
adalah mewujudkan legitimasi. Akan tetapi, Pemerintah belum mampu
menyediakan kepastian kepemilikan dan penguasaan itu (Efendi 2002; ContrerasHermosilla & Fay 2006), bahkan kebijakan itu sejak awal berpotensi
menimbulkan konflik (Nugraha 2013). Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah

2

Dalam UU ini, ada lima prinsip pengaturan tanah, yaitu : Pertama, sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD
1945, negara berhak menguasai seluruh kekayaan alam dan berwenang untuk mengatur kekayaan itu untuk
menyejahterakan rakyat, antara lain dengan mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya; Kedua, negara membatasi luas maksimal pemilikan tanah untuk menghindari tumbuhnya
tuan tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui sistem sewa dan gadai; Ketiga, negara mempunyai
wewenang untuk mengeluarkan sertifikat tanah bagi warga Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin dan
berdasarkan prinsip nasionalitas; Keempat, tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif dan melarang
pemilikan tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri karena akan menimbulkan tanah terlantar (absentee)
atau meluaskan relasi buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan memeras; dan Kelima,
negara memberi bukti kepemilikan hak atas tanah untuk memberi kepastian hukum kepada petani pemilik
tanah (Budi Harso, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Cetakan ke-17.
Jakarta: Djambatan, 2006, hal. 43-48)
3
Peraturan-peraturan tersebut di antaranya: UU Nomor 5/1967 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Kehutanan, UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, UU Nomor 11/1974
tentang Pengairan. Sektoralisme ini berlanjut pasca reformasi dengan terbitnya UU Nomor 41/1999 tentang
Kehutanan, UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan UU
Nomor 18/2004 tentang Perkebunan

3
belum berhasil mengimplementasikan kebijakan pengukuhan kawasan hutan.
Kinerja kebijakan itu masih ―rendah‖4.
Perumusan masalah
Fakta menunjukkan bahwa dari luas kawasan hutan seluruh Indonesia yang
statusnya sebagian besar baru ditunjuk (130,68 juta Ha)5 hingga tahun 2011 baru
dilakukan pengukuhan kawasan hutan sekitar 14,24 juta hektar (12,63%), tidak
termasuk hutan produksi yang dapat dikonversi. Padahal, telah ditata batas 222.452
Km (74,67%) dari panjang batas 281.873 Km (130,68 juta Ha) (RKTN 2011-2030).
Data empiris ini membuktikan bahwa pengukuhan kawasan hutan yang diharapkan
mampu menghasilkan kawasan hutan yang berkualitas belum berhasil, bahkan telah
gagal, padahal anggaran telah dikeluarkan ± Rp 4 Trilyun 6. Artinya, ada Rp 3,49
Trilyun anggaran yang dikeluarkan itu belum berhasil menciptakan kawasan hutan
yang berkepastian hukum. Di Provinsi Riau, baru dilakukan penetapan 1.850,67 Km
(16,63%; 22 kelompok hutan), padahal telah ditata batas 9.499,02 Km (85,37%; 120
kelompok hutan) dari 11.126,35 Km berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK)7.
Pertanyaannya adalah mengapa terjadi perbedaan antara penetapan dengan tata
batas?. Berbagai persoalan yang mengakibatkannya adalah perbedaan pandang atas
penunjukan kawasan hutan sebagai dasar pelaksanaan tata batas, tumpang tindih
tenurial kawasan hutan yang dikukuhkan, peran para pihak yang belum tertata jelas,
tumpang tindih aturan dan perundangan, belum selesainya penatabatasan kawasan
hutan (belum temugelang), dan banyaknya tanah-tanah yang dikuasai masyarakat
adat/lokal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan8. Persoalan lainnya adalah tidak
diakuinya status kepemilikan tanah masyarakat adat/lokal yang mayoritas tidak
memiliki bukti kepemilikan formal (bukti hak tertulis); perbedaan peta wilayah antar
instansi (tidak ada one map policy); serta tidak adanya pengakuan atas peta desa.

Pengertian ―rendah‖ dalam penelitian ini adalah tinggi dari sisi legalitas (sampai pada tahap tata batas),
namun tidak legitimate (faktanya adalah pelaksanaan tata batas sudah mencapai 85,37%, namun yang
ditetapkan baru mencapai 16,63% dari total panjang batas kawasan hutan di Provinsi Riau.
5
Data luas kawasan hutan dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 : Hutan
Konservasi seluas 26,82 juta Ha, Hutan Lindung seluas 28,86 juta Ha, Hutan Produksi seluas 32,60 juta Ha,
Hutan Produksi Terbatas seluas 24,46 juta Ha dan Hutan Produksi yang dapat diKonversi seluas 17,94 juta
Ha. Total Panjang Batas antar fungsi mencapai 281.873 Km. Sampai dengan tahun 2010, realisasi tata batas
mencapai 74,67% atau sekitar 222.452 Km.
6
Ilustrasi perhitungan ini menggunakan standar kegiatan dan biaya (SKB) bidang planologi kehutanan tahun
2013 (Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor : P. 11/VII-SET/2012). Dengan
mengasumsikan perkembangan nilai rupiah pada saat ini, maka biaya pelaksanaan tata batas kawasan hutan
hingga penetapan kawasan hutan ± Rp 18.000.000 per Km (rinciannya: pemancangan batas sementara
(datar/pegunungan/rawa) dengan asumsi termasuk didalamnya penyiapan trayek batas ± Rp 8.000.000/Km,
pemancangan batas definitif (datar/pegunungan/rawa) ± Rp 10.000.000/Km dengan asumsi termasuk
didalamnya biaya penetapan kawasan hutan). Biaya ini belum termasuk biaya supervisi pada setiap tahapan
yang biasa dilakukan serta sarana dan prasarana (terutama peralatan apabila di sewa).
7
Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan TGHK sesuai dengan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor : 173/Kpts-II/1986 Tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Kawasan Areal Hutan di
Wilayah Provinsi Dati I Riau sebagai Kawasan Hutan adalah 4.288.957,82 Ha (11.126,35 Km), data tersebut
bersumber dari Buku Rencana Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah Provinsi Riau dan Kepulauan Riau
Tahun 2012-2014 yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang
tahun 2012
8
Menurut catatan Kementerian Kehutanan, ada sekitar 33.000 desa berada di kawasan hutan

4

4
Sesungguhnya, kebijakan telah dimaksudkan untuk menghasilkan kawasan hutan
yang berkepastian hukum dan memiliki legitimasi (P.44/Menhut-II/2012 jo.
P.62/Menhut-II/2013) melalui kegiatan inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak
ketiga di sepanjang trayek batas maupun di dalam kawasan hutan. Sayangnya,
kegiatan itu belum eksplisit dirumuskan dalam tugas dan kewenangan PTB. Dalam
aturan itu, salah satu tugasnya adalah mengidentifikasi dan menginventarisasi hakhak pihak ketiga di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan. Sementara
kewenangannya adalah menentukan langkah penyelesaian terhadap masalah-masalah
terkait hak-hak atas lahan/tanah di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan
hutan. Sudah tepatkah peraturan yang membebankan legitimasi kepada PTB yang
hanya diberikan ruang untuk menyelenggarakan tata batas satu kelompok hutan
dalam satu tahun anggaran? Bagaimana implementasi aturan itu dalam mewujudkan
legitimasi?.
Dari rentetan persoalan itu, dapat disimpulkan bahwa persoalan pengukuhan
kawasan hutan di Provinsi Riau cukup pelik dan sarat dengan persoalan institusi,
sosial dan politik. Dari sisi sosial, pekerjaan tata batas dihadapkan pada klaim yang
didominasi bukti hak tidak tertulis (Sirait et al. 2004: Contreras-Hermosilla & Fay
2006; Nugraha 2013) yang lebih mengandalkan cerita dan sejarah untuk melegitimasi
kepemilikan dan penguasaan tanah (Affif 2005), dan siapa yang pertama membuka
lahan, dialah pemiliknya (Saptomo 2004; Nugroho 2011). Dalam hukum positif,
pengakuan keberadaan hak-hak masyarakat lokal seperti ini akan sulit. Dari sisi
politik, dihadapkan pada penetapan Bupati sebagai ketua dan unsur anggota lainnya
yang tunduk pada perintah Bupati telah mengabaikan profesionalisme. Sementara dari
sisi institusi dihadapkan pada penilaian kinerja berdasarkan realisasi anggaran, lalu
alokasi anggaran belum memperhatikan persoalan sosial lapangan, kemudian tidak
ada sanksi yang diterapkan lembaga/organisasi dalam penegakan aturan main. Dalam
hal ini, persoalan tata batas hanya menegaskan legalitas suatu areal, namun tidak
linear dengan kuatnya legitimasi. Pertanyaannya, patutkah PTB diberikan mandat
(mandatory) menyelesaiakan persoalan sosial dan politik di lapangan, sementara
organisasi tersebut adalah organisasi teknis?. Beberapa pertanyaan penelitian yang
diharapkan dapat mengungkap persoalan itu adalah:
1. Mengapa kinerja pengukuhan kawasan hutan masih rendah? dan mengapa
pengukuhan kawasan hutan belum mampu menghasilkan kawasan hutan yang
memiliki legitimasi?
2. Bagaimana kontestasi aktor yang sesungguhnya terjadi dalam proses pengukuhan
kawasan hutan, apakah aktor yang berperan sejatinya dapat diandalkan untuk
menghasilkan kawasan hutan yang berkualitas?
3. Bagaimana opsi untuk meningkatkan kinerja pengukuhan kawasan hutan dalam
mewujudkan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan memiliki legitimasi?

Kerangka pemikiran
Penelitian ini muncul berawal dari fakta kinerja pengukuhan kawasan hutan
yang masih rendah di Provinsi Riau seperti dijelaskan sebelumnya. Fakta itu
terjadi akibat interaksi aktor dalam pengambilan keputusan yang belum memiliki
kesamaan tujuan dan seringkali dilakukan sepihak, sehingga interaksi tidak
seimbang (unbalance). Persoalannya adalah ada dominasi pengetahuan dan
informasi yang mengarah pada satu kekuatan sesuai kepentingannya, mendorong

5
tata batas dilakukan tanpa berorientasi pada kualitas. Para pihak bekerja tanpa
kesepakatan sesuai aturan yang memayunginya. Selain itu, nilai-nilai dan norma
untuk membatasi ruang geraknya dan pemahaman informasi tapak, bahkan sanksi
tidak ada. Padahal, informasi tapak, atribut PTB dan payung hukum yang
mengatur ruang geraknya dapat digunakan untuk mempengaruhi interaksi dalam
pengambilan keputusan. Sayangnya, persoalan yang menghambat interaksi dan
kesepakatan itu belum pernah diungkap sehingga proses penyelenggaraan tata
batas belum mampu menghasilkan kawasan hutan yang berkualitas.
Ruang pengetahuan untuk memahami dan menganalisis fenomena itu adalah
bagian dari kerangka analisis institusi dan pengembangan (Institutional Analysis
and Development, IAD) yang dikembangkan Ostrom (2005). Dalam penelitian ini
disebut IAD framework dan diadopsi untuk memahami dan menganalisis
fenomena pengukuhan kawasan hutan. IAD framework adalah peta konseptual
multistrata yang dapat dikonseptualisasikan sebagai bahasa umum tentang
bagaimana kondisi biofisik dan material, atribut komunitas, dan aturan yang
digunakan akan mempengaruhi pengambilan keputusan, tindakan, dan hasil yang
diharapkan (Ostrom 2005; Hardy and Koontz 2010; Ostrom 2011). Kerangka itu
dapat mempermudah seorang analis kebijakan dalam mengevaluasi suatu kinerja
apabila berhasil menemukan variabel-variabel yang terkait dengan variabel
eksogen (exogenous variables) antara lain kondisi biofisik dan material
(biophysical conditional), atribut komunitas (attribute community) dan aturan
yang digunakan (rules in use) maupun variabel endogen (endogenous variables),
yaitu situasi aksi (action situations) dan partisipan (participants) (Ostrom 2005;
McGinnis 2011; Oakerson & Parks 2011; Ostrom 2011).
Adopsi IAD framework ditunjukkan Gambar 1 yang didukung dengan analisis
isi (content analysis) (Bungin 2001), analisis stakeholder (Reed et al. 2009) dan
analisis tumpang susun (overlay) peta penetapan kawasan hutan dengan peta tutupan
lahan. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan dan kekuasaan bekerja, penelitian
ini menggunakan konsep dari French dan Raven (1959) yang diacu Yukl (2005).
Konsep itu digunakan untuk menunjukkan dominasi kuasa dan kepentingan dalam
pengukuhan kawasan hutan. Selanjutnya, bagaimana kekuasaan dan pengetahuan
itu dibangun disintesiskan dengan pemikiran Foucault tentang relasi antara Power
and Knowledge. Foucauldian telah mengilhami analisis kebijakan kehutanan
dalam 2 (dua) cara, yaitu melalui analisis ekologi politik pasca strukturalis dan
melalui analisis wacana pasca positivistik (Winkel 2012) yang meneliti 39
makalah tentang kebijakan kehutanan yang menggunakan konsep Foucault.
Beberapa konsep ini digunakan untuk membangun rekomendasi sebagai opsi yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja dan kualitas pengukuhan kawasan
hutan. Dengan demikian, kepastian kepemilikan dan penguasaan dapat terwujud,
karena hal itu akan bermanfaat untuk meningkatkan keberhasilan pengelolaan
sumber daya alam termasuk hutan (Frey and Rusch 2014), mendorong
pengelolaan CPRs menjadi efektif (Kitamura and Clapp 2013), mendorong
investasi pertanian serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan (Sivalai et
al. 2012) dan meningkatkan efektifitas pengaturan hutan negara.
Kajian dasar penelitian ini seperti juga dalam IAD framework akan beroperasi
pada arena aksi (Polski & Ostrom 1999; Clement 2010; Hardy and Koontz 2010;
Ostrom 2011). Arena aksi dipengaruhi oleh situasi aksi dan aktor yang
berinteraksi berdasarkan kondisi biofisik dan material yang ditentukan oleh atribut

6
komunitas serta aturan yang digunakan (rules in use) pada interaksi tersebut.
Persoalan pada arena aksi telah diawali oleh adanya perbedaan klaim atas wilayah
tertentu menjadi hutan negara berdasarkan penunjukan kawasan hutan oleh
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Pemerintah Daerah (Pemda). Selain itu,
terdapat ketidakseimbangan informasi (asymetric information), perbedaan tingkat
pengetahuan dan pemahaman PTB, tidak adanya nilai-nilai maupun norma yang
dibangun, aturan yang digunakan belum mampu mengarahkan PTB berinteraksi,
serta belum tertatanya kepentingan, kebutuhan dan sudut pandang PTB.
Keseluruhan hal ini telah memicu perbedaan dalam pengambilan keputusan yang
pada titik tertentu dapat menjadi sumber konflik dan mengakibatkan
ketidakjelasan sumber daya yang akan dikelola.
Kajian ini diawali dengan menjelaskan dinamika pengukuhan kawasan hutan.
Lalu, menganalisis bentuk kekuasaan dan dominasi aktor berdasarkan
kontestasi