Tahap ketiga SEJARAH KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM PIDANA

3. Tahap ketiga

Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi ini antara lain karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat, dapat demikian besarnya, sehingga tak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulang delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk mentaati peraturan yang bersangkutan 36 . Peraturan perundang-undangan yang berada pada tahap ini 37 antara lain : a. UU No. 7Drt1955 UU Tindak Pidana Ekonomi; b. UU No. 5 Tahun 1984 Perindustrian; c. UU No. 6 Tahun 1984 Pos; d. UU No. 5 Tahun 1997 Psikotropika; e. UU No 31 Tahun 1999 Tindak Pidana korupsi . Tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan di Negeri Belanda. Namun 36 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung, CV Utomo, 2004, Hal 27. 37 Barda Nawawi Arief, Kapita ……, op cit , Hal 224. sekarang di Negeri Belanda menurut Muladi 38 telah memasuki tahap keempat, yaitu pengaturan tentang pertanggungjawaban tidak lagi tersebar di luar KUHP WVS Belanda, sebab dengan lahirnya UU Tanggal 23 Juni 1976 Stb 377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, muncul perumusan baru Pasal 51 W.v.S Belanda yang berbunyi : 1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum; 2. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap : badan hukum atau terhadap yang “memerintah” melakukan tindakan yang dilarang itu; atau terhadap mereka yang bertindak sebagai “pemimpin” melakukan tindakan yang dilarang itu; terhadap “badan hukum” dan “yang memerintahkan melakukan perbuatan” di atas bersama-sama . 3. Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum: perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan. Dengan lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan perundang-undangan pidana khusus yang tersebar di luar KHUP Belanda yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak perlu lagi, sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 KUHP Belanda, maka sebagai Ketentuan umum berdasarkan Pasal 91 KUHP Belanda pasal 103 KUHP Indonesia, ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan di luar kodifikasi sepanjang tidak disimpangi. 38 Muladi, Demokratisasi ……, Op Cit, Hal 158. Di Indonesia dalam konsep KUHP Tahun 2004 juga sudah diatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam ketentuan umum Buku I . Adapun pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut : 1 Pasal 44 : “Korporasi sebagai subjek tindak pidana ”. 2 Pasal 45 : ”Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.” 3 Pasal46 : ”Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidananya dapat dikenakann terhadap korporasi dan atau pengurusnya” . 3 Pasal 47 : “Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan”. 4 Pasal 48 : “Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang, pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi”. 5 Pasal 49 : 1 Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap korporasi. 2 Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dinyatakan dalam putusan hakim. 6 Pasal 50 : “Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan pada korporasi”. C. SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

C. 1. Pertanggungjawaban pidana korporasi