Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu hukum sangat

  dijunjung tinggi di Indonesia. Sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menghendaki agar segala jenis tindak kehidupan berbangsa dan bernegara harus memiliki legal basic atau dasar hukum yang jelas untuk

  1

  menjamin adanya perlindungan dan kepastian hukum. Salah satu masalah besar yang dihadapi pada saat ini adalah dibidang hukum. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari ruang dan waktu. Kejahatan bukanlah merupakan masalah baru di Indonesia, meskipun tempat dan waktunya berbeda tetapi modus operandinya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di kota-kota besar semakin meningkat baik dari subjek hukum itu sendiri maupun dari obyek hukumnya yang merambah hingga di kota-kota kecil. Seiring dengan perkembangan zaman, tindak kejahatan juga semakin berkembang di berbagai sektor hukum.

  Perkembangan kejahatan sebagaimana telah dikemukakan diatas sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu cepat. Namun demikian, globalisasi ini tentu saja di samping menimbulkan 1 manfaat bagi kehidupan manusia sudah tentu harus diwaspadai efek Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 13. sampingnya yang bersifat negatif, yaitu adanya “globalisasi kejahatan” dan meningkatnya kuantitas (modus operandi) serta kualitas tindak pidana di

  2 berbagai negara dan antar negara.

  Dalam perkembangannya, tindak pidana yang paling riskan dan paling menonjol di Indonesia saat ini adalah tindak pidana koorporasi. Karena tindak pidana koorporasi banyak menimbulkan kebingungan di Masyarakat ataupun penegak hukum. Dalam memerangi dan memberantas kejahatan koorporasi di negara ini, telah dibuat beberapa peraturan perundang- undangan yang diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi rakyat khusunya .

  Tindak pidana korporasi dapat dikategorikan sebagai kejahatan transnasional yang bersifat terorganisir. Dikatakan demikian karena kejahatan korporasi melibatkan suatu sistem yang tersistematis serta unsurunsurnya yang sangat kondusif. Dikatakan melibatkan suatu sistem yang tersistematis karena adanya organisasi kejahatan (Criminal Group) yang sangat solid baik karena ikatan etnis, kepentingan politis maupun kepentingankepentingan lain, dengan kode etik yang sudah jelas. Sedangkan terkait dengan “unsur- unsurnya yang sangat kondusif” bahwa dalam tindak pidana korporasi selalu ada kelompok (protector) yang antara lain terdiri atas para oknum penegak hukum dan professional. dan kelompok-kelompok masyarakat yang

  3 2 menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara tersistematis tersebut.

  

Nyoman Serikat Putra Jaya, Globalisasi HAM dan Penegakan Hukum, Makalah: disampaikan pada

matrikulasi mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Undip Tahun 2010,tanggal 18 September

3 2010.

  

Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),

Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2010, hal. 111.

  Perlu pula dikemukakan bahwa kejahatan ini seringkali mengandung elemen- elemen kecurangan (deceit), penyesatan (misrepresentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan peraturan (illegal

  4 circumvention ) sehingga sangat merugikan masyarakat secara luas.

  Proses globalisasi dan peningkatan interdependensi antar negara di semua aspek kehidupan terutama di bidang ekonomi semakin meningkatkan peran korporasi, baik nasional maupun multi nasional sebagai pendorong dan penggerak globalisasi. Untuk itu, kerjasama internasional guna mengatur peran korporasi antar negara semakin dibutuhkan di berbagai bidang hukum bahkan di bidang kode etik. Globalisasi yang ditandai oleh pergerakan yang cepat dari manusia informasi, perdagangan dan modal, di samping menimbulkan manfaat bagi kehidupan manusia juga harus diwaspadai efek sampingannya yang bersifat negatif yaitu globalisasi kejahatan dan meningkatnya kuantitas serta kualitas kejahatan di pelbagai negara dan antar negara, antara lain dalam bentuk kejahatan ekonomi. White collar crime termasuk di dalamnya kejahatan korporasi (corporate crime), perlu mendapat perhatian khusus mengingat tingkat viktimisasinya yang bersifat

  5 multidimensional.

  Korporasi dalam tataran hukum pidana Indonesia termasuk bentuk lain dari badan hukum. Selain badan hukum, organisasi maupun perkumpulan 4 orang yang tidak terdaftar sekalipun, juga dapat dikatakan sebagai korporasi

Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal.

5 Xiii.

  Muladi, Makalah Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Corporate Criminal Liability) , 2004. dalam hukum pidana. Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain disebut badan hukum ( recht persoon ) atau legal entities atau corpotation . Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan dalam perundang- undangan dan oleh para pakar hukum pidana dan kriminologi untuk menyebutkan badan hukum atau rechtpersoon dalam bahasa Belanda dan legal person dalam bahasa Inggris.

  Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum”.

  Menurut diskusi yang dilakukan oleh para sarjana mengenai korporasi, berkembang 2 (dua) pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan korporasi itu, Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi, dalam hal ini bisa diartikan hanya dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang telah berbadan hokum , Pendapat lain adalah pendapat yang mengartikan korporasi secara luas, dimana dikatakan bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana tidak perlu harus berbadan hukum, dalam hal ini setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha

  6 lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

  Pendapat lain adalah pendapat yang mengartikan korporasi secara luas, dimana dikatakan bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana tidak perlu harus berbadan hukum, dalam hal ini setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana Terkait dengan hal ini,

  H. Setiyono mengemukakan bahwa:

  “ Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut badan hukum (rechtspersoon), legal body atau legal person. Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata yang tumbuh akibat dari perkembangan masyarakat. Pengertian korporasi dalam hukum pidana Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep hukum perdata. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik

  7 merupakan badan hukum maupun bukan ”.

  Hukum pidana Indonesia pada awalnya hanya mengenal orang sebagai subjek hukum pidana. Hal ini seperti diatur dalam KUHP yang hanya mengenal manusia (natural person) sebagai pelaku tindak pidana. Alasan 6 korporasi belum dikenal sebagai pelaku tindak pidana pada tahap ini karena

Sutan Remi Sjahdeini, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hal.

7 44.

  H.Setiyono, “Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana”, Edisi kedua, Cetakan Pertama, (Malang: Banyumedia Publishing, 2003), hal. 17. pengaruh yang sangat kuat akan asas societes deliquere non potest yaitu badan- badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana atau asas universitas deliquere non potest yang berarti bahwa badan hukum (korporasi) tak dapat dipidana. Ketentuan yuridis mengenai korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana dalam Wetboek Van Strafrecht (Selanjutnya disebut WvS) di negeri Belanda ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1976 .

  Korporasi dirumuskan kedalam pasal 51 KUHP Belanda yang isinya menyatakan bahwa tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perseorangan maupun oleh korporasi; Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan (maatregelen) yang disediakan dalam perundang-undangan sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap korporasi sendiri, atau mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama- sama secara tanggung-renteng . Berkenaan dengan penerapan butir- butir sebelumnya yang disamakan dengan korporasi adalah persekutun bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdata), redenj (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu.

  Sejalan dengan peraturan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa perbuatan dari perorangan/orang pribadi dapat dibebankan pada badan hukum/korporasi apabila perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan dari badan hukum. Perkembangan hukum pidana di Indonesia dalam ketentuan pidana di luar kodifikasi (KUHP) atau lex specialis telah mengakui subjek hukum selain manusia yakni korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Undang- undang Darurat Nomor 7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi telah secara tegas menyebutkan korporasi sebagai subjek hukum dan menentukan bentuk pemidanaannya.

  Koorporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum perdata dengan korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum pidana.

  Pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata adalah “badan hukum”, sedangkan dalam hukum pidana pengertian korporasi bukan hanya yang

  8 berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hokum.

  Meskipun demikian, perlu disadari bahwa beberapa pengertian korporasi sebagaimana dikemukakan diatas merupakan pengertian korporasi yang disampaikan oleh para ahli hukum sedangkan perumusan definisi sebagai hukum positif belum ada. Keadaan ini tentu dalam prakteknya akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena penafsiran apa yang dimaksud dengan “korporasi” akan sangat bergantung dari pendapat siapa kita berangkat.

  Apabila dilihat dari sudut pandang hukum pidana Indonesia, terminologi “korporasi” belum didefinisikan secara tegas. Hal ini merupakan 8 hal yang wajar mengingat dalam hukum pidana Indonesia yang merupakan

  

Kristian, Draf buku “Prinsip-Prinsip Dasar Pertanggungjawaban pidana korporasi”, non publikasi hal

34.

  9

  peninggalan Belanda masing menganut individual responsibility. Namun demikian, didalam beberapa Undang-Undang yang bersifat khusus seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan didalam Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang sudah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan

  10 hukum.

  Beberapa pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan khusus diluar KUHP yang ruang lingkupnya diatur sedemikian luas (lebih luas dari pengertian korporasi dalam hukum perdata) yaitu sebagaimana diatur dalam Undang- undang berikut ini: Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UndangUndang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; dan lain sebagainya.

  9 Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media 10 Group, Jakarta, 2012, hal. 168-172.

  

Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, 2015,

hal. 5

  Berdasarkan ketentuan dalam berbagai Undang-Undang sebelumnya.

  11 Barda Nawawi Arief menyimpulkan

  a: Penentuan korporasi sebagai subjek

  tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam undang- undang khusus; Pada awalnya tidak digunakan istilah “korporasi”, tetapi digunakan istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten; Istilah “korporasi” mulai terlihat pada tahun 1997 dalam Undang- Undang Psikotropika yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep KUHP atau Rancangan KUHP tahun 1993. Dari berbagai peraturan dapat

  dilihat bahwa pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana hanya terdapat dalam undang-undang khusus diluar KUHP. Oleh karena itu, perumusan korporasi sebagai subjek hukum pidana sebaiknya diatur secara tegas dalam Buku I KUHP sehingga dapat diberlakukan bagi seluruh tindak pidana yang terjadi baik tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur diluar KUHP. Hal ini dapat dijumpai dalam Rancangan KUHP tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 47 yang menyatakan: “Korporasi merupakan subyek tindak pidana” dan pasal 182 yang menyatakan bahwa: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

  Terlepas dari segala pro dan kontra terhadap pengaturan pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka penulis 11 akan focus pada korporasi yang melakukan korupsi. Tindak pidana korupsi

Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.

  226. yang dilakukan oleh korporasi merupakan fenomena yang berkembang pesat saat ini. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan berbagai modus dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku dengan tujuan untuk menguntungkan korporasi. Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi dalam pasal 1 angka (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan kesempatan kepada para penegak hukum untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi. Mengenai kedudukan badan hukum atau korporasi sebagai subjek hukum pidana yang melakukan tindak pidana, telah terdapat putusan pengadilan yaitu; Nomor 53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar. Pada putusan pengadilan tingkat pertama tertanggal 19 Feburari 2013; Dengan adanya putusan tersebut berarti ada pengakuan yuridis bahwa korporasi sebagai subjek hukum pidana namun tidak hanya sebatas pengakuan yuridis sebab pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan tindak pidana (pembuat) dan yang bertanggungjawab.

  Kemudian muncul angin segar bagi dunia Hukum di bidang penanganan kejahatan koorporasi dengan munculnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) NOMOR 13 Tahun 2016 munculnya perma ini membawa tonggak acuan untuk semakin meningkatkan tata kelola koorporasi yang baik . Perma no 13 Tahun 2016 ini diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi pedoman penanganan perkara kejahatan koorporasi bagi penegak hukum, karena selama ini mengalami kekosongan pedoman, maka kemunculan Perma ini merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat menjawab keraguan penegak hukum dalam menangani perkara kaitannya kejahatan yang dilakukan korporasi. Selain itu di dalam perma ini terdapat substansi penting lainnya yang diatur diantara lain rumusan hukum dan kriteria mengenai koorporasi yang melakukan tindak pidana. Dalam sistem pembuktian perma ini tetap mengacu pada sistem pembuktian yang ada dalam KUHP dan bentuk hukum acara khusus yang diatur dalam undang undang lainnya. Dalam Perma ini juga memberikan pedoman kepada Hakim dalam memutus, dimana Hakim berdasarkan bukti-bukti yang ada dapat menjatuhkan pidana terhadap koorporasi atau pengurus atau koorporasi dan pengurus koorporasi . Hal ini menerangkan bahwa hakim dapat menjatuhkan kepada salah satu saja, baik itu pengurus saja atau koorporasi saja, namun hakim juga dapat menjatuhkan hukuman kepada keduanya secara langsung yaitu kepada pengurus dan koorporasinya. Selain itu perma ini juga menjadikan pedoman bagi hakim dapat memiliki pertimbangan sebelum menjatuhkan putusan .

  Hakim dalam melakukan pemeriksaan dan pembuktian dapat mempertimbangkan terkait peran dan tindakan koorporasi dalam sebuah tindak pidana. Selain itu hakim dapat memiliki kesempatan mengatahui fakta koorporasi yang dimaksud melakukan pembiaran atau tidak sehingga terjadi sebuah tindak pidana dan apakah secara hukum koorporasi sudah benara langkah langkahnya dan sesuai aspek kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku.

  Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis akan membahas lebih lanjut terkait dengan berbagai tindak pidana kejahatan koorporasi serta berbagai putusan-putusan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, maka saya sebagai penulis akan membahas dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul “Pertanggungjawaban Korporasi

  Dalam Tindak Pidana Korupsi “.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana oleh hakim dalam Tindak Pidana yang dilakukan oleh Koorporasi pada Perkara Pidana Korupsi?

  2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi.?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah : 1.

  Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana oleh hakim dalam tindak pidana yang dilakukan oleh koorporasi .

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi.

D. Manfaat Penulisan

  Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini adalah : 1. Diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bahan kajian sebagai suatu usaha mengembangkan konsep pemikiran secara lebih logis dan sistematis terkait masalah-masalah hukum pidana terkhusus pada tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi.

  2. Manfaat secara praktis dari penulisan ini yakni diharapkan dapat memberi masukan yang berguna bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi hakim di Pengadilan Negeri dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, serta masukan bagi proses pembinaan kesadaran hukum bagi masyarakat untuk mencegah terulangnya peristiwa yang serupa.

E. Metode Penelitian a.

  Penelitian ini adalah penelitian hukum.

  12 Tipe penelitian hukum yang

  dilakukan adalah yuridis normative

  13

  dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap putusan pengadilan dengan melihat pertimbangan hakim pada putusan pengadilan terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

  b.

  Pendekatan yang dilakukan adalah dengan tipe pendekatan perundang- undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).

  c.

  Bahan hukum Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari atauran hukum : PERMA NOMOR 13 Tahun 2016, Undang-Undang

  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Putusan pengadilan yaitu; Nomor 53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm., 10-11. 13 Johny Ibrahim, teori dan metodologi penelitian hukum normative, Banyumedia Publishing, Surabaya, 2005, hal 390.

  Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum.

  Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

F. Sistematika Penulisan 1.

  Bab Pendahuluan Merupakan pendahuluan, yang berisikan hal-hal yang melatarbelakangi permasalahan munculnya kejahatan koorporasi yang melakukan korupsi.

  Mengapa kejahatan koorporasi begitu berkembang dan bagaimana cara dalam mengatasinya? kemudian bagaimana pedomanan dalam perundang undangan untuk menghadapi kejahatan koorporasi, hingga perumusan permasalahan secara tegas untuk menentukan arah penelitian. Disamping itu, diuraikan juga mengenai tujuan penelitian dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

  2. Bab Tinjauan Pustaka Merupakan uraian mengenai tinjauan umum mengenai tindak pidana korporasi, yang akan diteliti lebih jauh lagi soal bagaimana pengaturan tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di hukum positif Indonesia, membahas mengenai rumusan dan definisi-definisi yang digunakan untuk menjelaskan apa pengertian kejahatan koorporasi dan tindak pidana korupsi.

  3. Bab Hasil Penelitian dan Analisis.

  Merupakan hasil dari penelitian dan analisis dengan melihat uraian dalam bab tinjauan pustaka, yaitu kejahatan koorporasi merupakan sebuah tipe penelitian bagaimana sebuah pendekatan masalah dilakukan sekaligus sumber bahan hukum dan dasar analisa yang digunakan pembahasan kejahatan koorporasi dalam prakteknya, yang nantinya akan digunakan untuk membuat kesimpulan dan saran pada bab penutupan.

4. Bab Penutup.

  Dan bab akhir atau penutup, yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan analisis, serta saran Penulis.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Komunikasi 2.1.1. Defenisi Komunikasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 0 16

3.1 Jenis Pendekatan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 0 9

4.1.1. Sejarah Kompas.com - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 1 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri dalam Perspektif Kepastian Hukum

0 0 14

BAB II PEMBAHASAN I. Tinjauan Pustaka A. Perjanjian Kredit pada Perjanjian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri dalam Perspektif Kepastian Hukum

0 0 69

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Hadirnya masyarakat informasi ditandai dengan adanya pemanfaatan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kata Sepakat dalam Transaksi E-Commerce: Putusan No. 82/Pdt.G/2013/PN.Yk.

0 1 15

BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 2. Kajian Pustaka 2.1. Ruang Lingkup Wanprestasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kata Sepakat dalam Transaksi E-Commerce: Putusan No. 82/Pdt.G/2013/PN.Yk.

0 0 64

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Polisi Lalu Lintas dalam Melakukan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas untuk Mengurangi Kecelakaan: Studi Kasus di Satlantas Polres Temanggung

0 0 14

BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Polisi Lalu Lintas dalam Melakukan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas untuk Mengurangi Kecelakaan: Studi Kasus di Satlantas Polre

0 0 79