Pengaruh Askorbil Fosfat Magnesium Sebagai Sumber Vitamin C Terhadap Perkembangan Ovarium dan Penampilan Larva Ikan Nila (Oreochromis sp.)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kendala utama dalarn pengembangan perikanan budidaya di Indonesia adalah
keterbatasan kemampuan penyediaan benih yang mencukupi dan berkualitas pada
musim tebar. IN disebabkan oleh penyediaan benih yang masih bersifat sederhana,
belum mernperhatikan teknik yang lebii maju dan pakan induk yang bermutu, sehingga
produksi benih secara masal untuk pengembangan budidaya intensif masih menjadi
kendala.
Informasi kebutuhan gizi induk untuk kepentingan produksi benih yang
berkualitas masih sangat sedikit dan umurnnya standar gid pakan yang digunakan masih
mengandalkan kriteria umum untuk ikan budidaya, tidak spesifik menurut kebutuhan
gizi induk untuk satu jenis ikan.
Berbagai hasil percobaan telah memperlihatkan bahwa kuantitas dan kualitas
pakan ( terutama protein dan lemak) yang diberikan kepada induk merupakan faktor
penting yang mempunyai hubungan erat dengan kematangan gonad, jumlah telur yang
diproduksi dan kualitas telur (Watanabe, 1988). Menurut Reay &lam Hardjamulia
( 1 988) kualitas telur merupakan refleksi keadaan kirnia nutrisi kuning teIur yang sangat
dipengaruhi oleh kesehatan induk dan gizi pakan yang diberikan. Saat telur menetas,
sumber energi untuk perkembangan larva ikan sangat bergantung kepada material
telur bawaan yang telah disiapkan oleh induk dan fase ini merupakan fase paling kritis.
Material telur yang mengalami defisiensi gizi akan mengganggu perkembangan larva
dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian
2
Informasi kandungan nutrien telur dan kebutuhan gizi induk ikan yang dikaitkan
dengan proses akumulasi material telur (perkembangan gonad) rnasih sangat terbatas,
padahal informasi kebutuhan nutrisi spesifik bagi induk sangat berguna untuk
rneningkatkan kemampuan aktivitas
reproduksi.
Menurut Laven dan Sorgeloos
(1991) a d a dua senyawa yang dinilai penting untuk perkembangan larva yaitu "highly
unsaturated fatty acid" (HUFA) dan asam askorbat (vitamin C).
pula berperanan
dalam pertumbuhan gonad.
Vitamin C diduga
Ini didasarkan adanya fluktuasi
kandungan vitamin C ovarium seIama berlangsungnya siklus reproduksi beberapa
spesies ikan dan udang yang ditangkap di alarn seperti pada udang Palaemom sc.rra/us
(Guary, Coccaldi dan Kanazawa, 1975), ikan Carassizrs carassius (Saeymour, 198 1
a),
G o d u s morhua (Agrawal dan Mahajan, 1980: Sandnes dan Braekkan, 1981),
karper India, CIupenpaIa~~ci,
O~tcorhyr~chr~s
nyhss (Loveil, 1984). Ikan tidak mampu
mensintensis vitamin C (Faster &Iam Sandnes, I991), sehingga untuk mempertahankan
rnetabolisrne sel, vitamin C mutlak hams diperoleh dari luar tubuh.
Ikan nila (Oreocbromis sp.) adalah spesies ikan air tawar yang sangat potensial
untuk dikembangkan, karena mudah dibudidayakan dalam berbagai ekosistem (air
tawar, air payau dan laut), cepat tunlbuh, mempunyai kemampuan mengkonsumsi
a n e k a ragam pakan,
memiliki daya tahan tinggi terhadap serangan penyakit dan
memiliki potensi untuk meningkatkan devisa sebagai komoditi ekspor.
Permintaan
terhadap komoditi ini cukup tinggi namun kemampuan penyediaan sangat terbatas
karena produksi budidaya masih sangat dibatasi oleh ketersedian benih, walaupun ikan
ini mudah berbiak.
Teknik produksi benih yang dilakukan petani lnasih sangat
3
sederhana sehingga tidak mampu memproduksi benih dalam jumlah yang banyak dan
seragam dalam waktu singkat. Soebagyo el ai. daIam Iangkaru (1994) mencatat bahwa
induk betina dengan bobot rata-rata 136 g yang dipelihara dalam karamba jaring apung
di waduk dan diberi pakan komersil dapat memproduksi benih rata-rata 200 ekodinduk,
sedangkan Galman,
Moreau dan Avtalion (1988) menduga bahwa induk ikan nila
ukuran sekitar 136 g dapat memproduksi telur 4 10 butir
Hasil pengamatan Soliman, Jauncey dan Robert (1986) dengan teknik
histokimia dan biokimia telah menunjukkan bahwa tidak terjadi aktivitas enzim
L-gulonakton oksidase yang b e f i n g s i mengkonversi L-gulonolakton k e bentuk
2-keto-Lgulonolakton, yang mempakan tahap akhir dari sintesis vitamin C dalam hati
maupun ginjal ikan nila. Ini berarti bahwa ikan nila seperti beberapa spesies laimya
tidak mampu rnenyediakan vitamin C sendiri, sehingga untuk mencukupi metabolisme
tubuhnya dibutuhkan suplai vitamin C dari luar tubuh. Kebutuhan vitamin C untuk
mencegah defisiensi nutrisi dan pertumbuhan sudah diketahui, namun informasi
kebutuhan saat siklus reproduksi serta pengaruhnya terhadap perkembangan ovarium
dan perkembangan larva ikan nila berum ada. Padahal informasi ini sangat bermanfaat
dalam penyusunan ransum yang tepat untuk induk ikan nila, sebingga dapat digunakan
untuk memperbaiki penampilan reproduksi induk ikan.
Vitamin C di samping mudah larut dalam air, jqga mudah teroksidasi sehingga
kehilangan nilai kandungan vitamin ini selama proses pembuatan pakan dan penyimpanan sangat tinggi. Saat ini telah dikembangkan beberapa bentuk turunan vitamin C yang
rnemiliki sifat retensi yang baik datam pakan ikan. Askorbil fosfat magnesium adalah
4
adalah bentuk turunan vitamin C dengan salah satu sisi karbon C-nya membentuk ikatan
ester fosfat
Dari percobaan pendahuluan diketahui askorbil fosfat magnesium
memiliki ketersediaan biologi yang tinggi terhadap ikan nila dan tahan terhadap
oksidasi, sehingga bioaktivitasnya sebagai sumber vitamin C pada pakan tetap tinggi
setelah melalui proses pembuatan pakan.
Berkaitan dengan permasalahan di atas telah dilakukan suatu percobaan untuk
mempelajari pengaruh pemberian askorbil fosfat magnesium sebagai sumber vitamin C
terhadap perkembangan ovarium (kematangan gonad) dan penampilan larva ikan nila
(Oreochromis sp.).
bertujuan untuk
Sebelumnya dilakukan juga pengamatan pendahuluan, yang
mendapatkan
informasi ukuran oosit pada berbagai stadia
perkembangan, indeks gonad somatik (IGS) dan tingkat kematangan gonad (TKG),
serta kandungan vitamin C ovarium induk saat siklus reproduksi.
Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan mempelajari dan mendapatkan informasi mengenai
pengaruh askorbil 2-fosfat magnesium (APM) terhadap:
1.
Perkembangan ovarium ikan nila (Oreochromis sp.), serta respon fisiologis
beberapa variabel yang mempengamhi perkembangan ovarium.
2.
M u t u telur dan penampilan Iawa yang dihasilkan.
Manfaat Hasil Percobaan
Hasil percobaan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
perkernbangan ilrnu nutrisi dan informasi kebutuhan vitamin C bagi induk ikan nila pada
saat siklus reproduksi.
Hasil percobaan ini juga diharapkan dapat berguna bagi perbaikan mutu benih
serta dapat dipakai sebagai dasar penyusunan strategi produksi benih ikan nila.
Hipotesis
Berdasarkan masalah di atas maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Semakin tinggi dosis askorbil-2-fosfat magnesium dalam pakan semakin cepat
perkembangan ovariurn ikan nila.
2. Sernakin tinggi dosis askorbil-2-fosfat magnesium semakin baik mutu telur dan
penampilan larva ikan nila.
TINJAUAN PUSTAKA
P e r k e m b a n g a n O v a r i u m d a n S t a d i a Oosit
Ikan kelompok Teleostei m e m ~ u n y a iovarium yang merupakan sepasang
organ memanjang dan kompak, terdiri dari oogonia, jaringan penunjang atau stroma
(Nagahama, 1983). Masa yang mengisi ovarium adalah oosit, terdiri dari berbagai
stadia atau homogen bergantung kepada tipe reproduksi. Berdasarkan stadia
kematangan oosit, Marza ahlam Harder (1975) mengklasifikasikan reproduksi ikan
dalam berbagai tipe, yaitu a) tipe sinkronisasi total dengan perkembangan oosit
terdiri dari satu stadia,
dijumpai pada spesies yang memijah hanya sekali dalarn
periode pernijahan; b) tipe sinkronisasi group dengan dua stadia oosit yaitu matang
d a n besar, serta oosit sangat kecil tanpa kuning telur (oosit muda), dan c)
asinkronisasi dengan ovari terdiri dari berbagai tingkat perkembangan oosit.
Berdasarkan morfologi ovarium serta distribusi ukuran oosit, Dadzie dan
Wangila (1980) mengklasifikasikan tingkat kematangan ovarium ikan nila sebagai
berikut:
- tingkat I : ovarium kecil, transparan, gonia dan oosit muda hanya terlihat
dengan menggunakan mikroskop.
- tingkat I1 :
ovarium berwarna kuning terang, oosit dapat terlihat dengan mata.
Pengamatan secara histologi memperlihatkan ovarium terdiri dari
oogonia, oosit muda, oosit berisi protoplasma, namun belum ada
-
tingkat 111
: ovarium besar,
berwarna kuning gelap, dan ada oosit yang mulai
mengandung kuning telur.
- tingkat IV
:
ovarium besar, benvarna coklat, banyak
oosit berukuran maksimal
dan mudah dipisahkan (oosit siap diovulasikan).
-
tingkat V
:
ovarium benvarna kuning terang, ukurannya berkurang disebabkan
telah dilepaskannya telur matang. Ovarium berisi
oogonia, oosit
b e r p r o t ~ p l a s m dan
~ sedikit oosit rnengandung kuning telur, banyak
dijumpai folikel yang pecah.
Ukuran tingkat perkembangan ovarium dapat diiyatakan juga dalam satuan indeks
dari prosentase bobot gonad per bobot tubuh dan dinyatakan sebagai satuan indeks
gonad
somatik (IGS), walaupun demikian nilai I G S saja tidak cukup rnemberikan
informasi karakteristik aktivitas reproduksi. Pengamatan secara histologi terhadap oosit
d a n distribusi ukuran oosit dapat memberikan informasi lebih jelas tingkatan aktivitas
reproduksi (Tyler, Sumpter dan Campbell, 1991).
Perkembangan sel telur (oosit) diawali dari "germ sel" yang terdapat dalam lamela
d a n mernbentuk oogonia. c o g o n i a yang tersebar dalam ovarium menjalarlkan suksesi
pembelahan mitosis dan ditahan pada "diploten" dari profase miosis pertama. Pada stadia
ini oogonia dinyatakan sebagai oosit primer (Harder,1975).
Oosit primer kernudian
menjalankan masa tumbuh yang meIiputi dua fase, pertama adalah fase "previtelogenesis"
di mana ukuran oosit membesar akibat meningkatnya volume sitoplasma (endogenous
vitelogenesis);
namun belum terjadi akumulasi kuning telur.
Kedua adalah fase
"vitelogenesis" di mana terjadi akumulasi material kuning telur yang disintesis oleh hati,
8
kemudian dibebaskan ke darah dan dibawa ke dalam oosit secara mikropinositosis (Zohar,
1991; Jalabert dan Zohar, 1982).
Peningkatan ukuran indeks gonad somatik atau
perkembangan ovarium disebabkan oleh perkembangan stadia oosit. Pada saat
perkembangan oosit terjadi perubahan morfologi yang mencirikan dari stadianya. Menurut
Nagahama (1983)
stadium oosit dapat dicirikan berdasarkan volume sitoplasrna,
penarnpilan nukleus dan nukleolus, serta butiran kuning telur. Berdasarkan kriteria ini,
oosit dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelas. Yamamoto daiam Nagahama
(1983) membaginya dalam 8 kelas yaitu stadia kromatin-nukleolus, perinukleolus (terdiri
awal dan akhir nukleolus), stadium "oil drop" stadium "yolk" primer, sekunder, tertier
d a n stadium matang. Sedangkan Harder (1975), Chinabut, Limsuwan dan Kitsawat
(1991) membagi oosit dalam 6 keIas di mana stadia nukIeolus dan perinukleolus
dikatagorikan sebagai stadium pertama, dan setiap stadium dicirikan sebagai berikut:
- stadium
1 :
Oogonia dikelilingi satu lapis sel
epitel dengan
hematoksilin-eosin plasma berwarna merah jambu,
pewarnaan
dengan inti yang
besar di tengah.
- stadium
2 :
Oosit berkembang ukurannya, sitoplasma bertambah besar, inti biru
terang dengan pewarnaan, dan terletak masih di tengah sel. Oosit
dilapisi oleh satu lapis epitel.
- stadium 3 :
Pada stadium ini berkembang sel folikel dan oosit membesar,
provitlin
nukleoli mengelilingi inti.
- stadium 4 :
Euvitlin inti telah berkembang dan berada sekitar selaput inti. Stadium
ini merupakan awal "vitelogenesis" ditandai adanya butiran kuning
telur, pada sitoplasma
Pada stadium ini oosit dikelilingi oleh dua lapis
9
sel, lapisan dalam adalah sel bentuk kubis (granulosa) dan lapisan luar
memanjang dan datar.
- stadium 5 :
Butiran kuning telur bertambah besar dan memenuhi sitoplasma .
- stadium
Inti mengeciI dan selaput inti tidak terlihat, inti terletak di tepi.
6:
KIasifikasi stadium oosit ini telah dimodifikasi oleh beberapa peneliti dengan
rnenggabungkan beberapa stadium bergantung kepada tujuan evaluasi. Kou, Nash, dan
Shehadeh daIam Hardjamulia, Suhenda dan Wahyudi (1 995) mengklasifikasikan oosit
dalam 5 kelas dengan menggabung stadium satu dan dua seperti yang dikemukakan oleh
Chinabut et ul. (1991) rnenjadi satu stadium. Balsare, Treasure, Holliday, Al-Daham
dan Batti dalam Chinabut et al. (1991) membagi perkembangan oosit berdasarkan
kematangan yaitu: stadium awal, sedang proses matang d m matang.
mengklasifikasikan
oosit
berdasarkan
proses
tumbuh
yaitu
Zohar (1991)
tumbuh
lambat,
previtelogenesis, dan tumbuh c e p d vitelogenesis. Pada oosit previtelogenesis terlihat
pembentukan dua sel yang mengelilingi oosit membentuk folikel. Sel lapisan dalam
berbentuk kubik disebut granulosa dan sel luar memanjang datar disebut teka.
Kedua sel, granulosa dan teka berperanan dalam proses sintesis hormon steroid
reproduksi. Setelah pembentukan sel-sel tersebut baru dimulai akumulasi material telur.
Stimulasi awal akumulasi material kuning telur pada oosit bergantung pula kepada sel-sel
yang berperanan dalam menseleksi material telur (Tyler el a l , 1991). Percobaan Tyler
el al
,(1991) mengenai hubungan ukuran oosit dengan awal akumulasi material mencatat
bahwa oosit ikan trout (Oncorhynchusmykiss) akan mulai mengakumulasikan material
kuning telur pada ukuran 0.6 mm. Diduga pada fase ini oosit telah memiliki reseptor yang
berperanan dalam akumulasi material kuning telur
Pada tahap awal diduga reseptor
10
tersebut belum a d a atau belum aktif.
Walace &lam Singh dan Singh (1990) yang
mengamati amphibia Xenopus sp. mengemukakan bahwa mulainya oosit mengakumuIasikan material berhubungm dengan berkembangnya saluran interselular di antara set-sel
folikel. Meusy dan Payeun (1988) yang mengamati perkembangan ovarium udang
menjumpai pula sejumlah jaringan tubular dalam sel-sel yang menyelaputi folikel yang
diduga berperanan dalam menyalurkan material ke oosit.
Metabolisme Vitamin C
Gejala defisiensi vitamin C pada ikan dikenal pertama oleh Kitamura pada tahun
1965 dari hasil pengamatannya terhadap gangguan perkembangan tulang belakang
(Scoliosis dan lordosis) ikan trout yang dipelihara di kolam dan diberi pakan tambahan,
walaupun sebelumnya tahun 1934 Mc Cay dan Torison menjumpai gangguan yang serupa
pada spesies yang sama namun beIum dikaitkan dengan defisiensi suatu vitamin (Sandnes,
1991). Defisiensi vitamin C pada ikan dapat disebabkan kurang tersedianya senyawa ini
dalam ransum yang diberikan,
sedangkan ikan tidak mampu mensintesis vitamin C,
walaupun sel-selnya membutuhkan vitamin C (Faster dalam Sandnes, 1991).
Ketidak
mampuan ikan mensintesis vitamin C disebabkan oleh tidak adanya enzim L-gulunolakton
oksidase yang berperanan dalam konversi L-gulunolakton
ke bentuk 2-keto-L
gulunnlakton, sebagai tahapan akhir dalam sintesis vitamin C (Chaterje &lam Soliman
el
a l . , 1986). Pendapat ini tidak berlaku untuk semua spesies, menurut Ikeda dan S a t o
(1964),
dan Yamamoto, Sato dan Ikeda (1978)
ikan mas
(C'prit~trs carpio Linn)
sanggup mengkonversi D-glukosa ("C) dan D-glokoronolakton ("C) ke-asam askorbat
11
dan dijumpai aktivitas gulunolakton oksidase di hati, namun enzim ini tidak
(14C),
ditemui pada ikan trout, kelompok Tilapia sp. (Soliman rf al., 1986). pada ikan lele
(Ichtalurus sp.) (El-Naggar dan Lovell, 1991). Pengamatan Yarnamoto, st al. (1978)
memperlihatkan hahwa kecepatan biosintesis L-gulunolakton k e bentuk L-asam askorbat
pada hepatopankreas ikan mas hanya sepertiga kecepatan yang dijumpai pada hati tikus.
Hasil penelitian Dabrowski. Hinterleitner, Sturmbaeur dan Wiser (1988) dengan menggunakan contoh ikan mas pada berbagai fase perkembangan menyimpulkan bahwa vitamin
C mutlak diperlukan dalam stadia larva.
Selama ernbrio berkembang kandungan vitamin
C telur cepat menurun (Sato, Yoshinaka, Kuroshima, Marimoto dan Ikeda, 1987).
Ketersediaan vitamin C pada stadium awal ini sangat bergantung kepada ransum yang
diterima oleh induk.
Kebutuhan vitamin C bagi ikan sangat berkaitan dengan status kandungannya
dalam jaringan dan aktivitas fisiologis. Pemberian vitamin C berlebihan akan meningk a t k a n sekresi vitamin C melalui urine, namun dapat juga meningkatkan kadar d a l m
jaringan,
ditimbun ddarn bagian sel yang dapat dilalui air, dan tidak dapat menyusup ke
selaput lemak (Goodman, 1994).
Masuknya vitamin C ke dalam sel melalui sistem
transport aktif senyawa yang larut air (Tucker dan Halver, 1984).
Dengan teknik radio
isotop Tillotson dan Mc G o w a &lam Horning, Glathaar dan Mosser (1984) menemui
hanya 10-20% asam askorbat yang tidak dimetabolisme oleh kera,
dan disekresikan
meIalui air seni, jika asam askorbat diberikan pada kadar rendah, dengan pemberian 10
mg/kg bobot hadan, sekresi asam askorbat yang tidak di metabolisme rneningkat mencapai
.
75%
Percobaan Halver (1972) pada ikan trout ukuran 300-500 g yang menerima pakan
dengan suplerner~tasiasam askorbat (vttamin 14C) 50 mg/kg ransum. lnencatat adanya
12
asam askorbat (%) pada air seni dan tinja masing-masing dengan kadar 3% dan 0.5%
selama masa koleksi 72 jam. Percobaan lain dengan menggunakan ikan trout ukuran 250
g y a n g dipelihara selama 3 bulan dan suplementasi asam askorbat ransum ditingkatkan
menjadi 100 mg/kg,
Tucker dan Halver (1984) telah mencatat bahwa kadar asam
askorbat "C pada air seni dan tinja meningkat menjadi 10% dari dosis yang diberikan.
Dengan demikian absorbsi vitamin C akan dibatasi jika diberikan berlebihan.
Dabrowski
d a n K o c k (1989) mencatat bahwa absorbsi vitamin C pada ikan rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss) dilakukan pada bagian lambung (20.7 %), pyloric caeca (23.4 %),
usus halus tengah (2 1.9 O h ) dan usus halus posterior (20.1 %).
Pengamatan
dengan teknik radio isotop menggunakan "labelling"
'"
pada
vitamin C yang diujikan pada ikan trout ukuran 300-500 g diketahui bahwa asam askorbat
cepat diakumulasikan pada jaringan di mana kolagen terbentuk dan sel-sel yang sedang
melaIcukan regenerasi. Akumulasi juga tejadi pada organ-organ yang banyak melakukan
aktivitas metabolisme seperti hati, otak, ginjal dan adrenal'(Lovel1, 1984). Pengamatan
oleh Agrawal dan Mahajan (1980) terhadap kadar vitamin C jaringan dari spesies ikan
karper India (Labeo rohita, h b e o calbasrt, Cirrhina mrigala dan
C l a f l a catla),
memperlihatkan bahwa kandungan vitamin C tertinggi pada jaringan limpa mencapai
450-580 ug/g, kemudian diikuti andrenal 230-287 ug/g, ovarium 206-286 ug/g,
147-272 ug/g dan otak 25-102 ug/g.
hati
Namun dikemukakan lebih lanjut bahwa kadar ini
sangat bervariasi pada setiap organ bergantung kepada ukuran ikan, jenis kelamin,
aktivitas fisiologis dan musim.
Sandnes (1991) mengemukakan
bahwa vitamin C dapat diakunlulasi dalam
jaringan dan digunakan saat dibutuhkan. Percobaan Tucker dan Halver ( I 984). dengan
13
teknik radio isotop,
mencatat bahwa waktu paruh biologik vitamin C dalam jaringan hati,
ginjal dan kulit ikan trout sangat dipengaruhi oleh kadar vitamin C yang disuplementasikan
dalam ransum.
mencapai 3 bulan,
4 0 hari .
Jika kadar vitamin C ransum rendah,
waktu paruh biologik dapat
dan jika kadar vitamin C ransum mencukupi waktu paruh mencapai
Menurut Dabrowski (1 9 9 I ) berkurangnya asam askorbat jaringan sangat
bergantung kepada katabolisme.
Kecepatan katabolisme asarn askorbat ikan trout yang
s e d a n g tumbuh adalah 4.68% dari pool asam askorbat, dan kandungan asam askorbat
tubuh menurun bertahap jika ikan menerima pakan defisien vitamin C. Asam askorbat
cepat dioksidasi ke hidro asam askorbat. Pengamatan Dabrowski (1991) pada jaringan
ikan trout telah memperlihatkan adanya bentuk dehidro askorbat pada plasma darah, hati,
ginjal dan usus halus. Rasio bentuk reduksi asam askorbat terhadap asam askorbat setiap
jaringan tersebut tertinggi pada usus halus yaitu 35.976, kemudian hati 28.2%, ginjal
24. I%,
plasma 13.4% dan lambung 13.5%.
Terbentuknya dihidro askorbat dalam
jaringan menunjukkan adanya penggunaan vitamin C dalam sel, mengingat vitamin C
sebagai ko-faktor dalam berbagai reaksi hidroksilasi pada sel (Sandnes,l991).
Rasio
reduksi L-asam askorbat k e bentuk dehidro askorbat dikontrol oleh proses biosintesis sel
(Halver, 1985).
Dalam jaringan ikan salmon, asam askorbat mudah dikonversi k e askorbat-2-sulfat,
suatu bentuk askorbat stabil dari jaringan ikan (Halver, I985:Tucker dan Halver, 1984).
Shiau dan Shen (1995) juga mencatat bahwa, asam askorbat dalam jaringan daging ikan
nila
(Oreochromis nilotiqrs)
askorbat-2-sulfat,
sebagian
besar
diakumulasikan
sedangkan pada hati dalarn bentuk askorbat.
daIam
bentuk
Benitez dan.Halver
LI'Lr/m??
HaJver (1985) mengemukakan bahwa asam askorbat dari ransum dapat dikonversi
14
ke bentuk askorbat-2-sulfat, dan suatu sistem enzim askorbat-2-suIfohidroIase yang ada
pada jaringan ikan salmon dapat mengkonversi kembali askorbat-2-sulfat ke bentuk
L-asam askorbat untuk reaksi oksidasi-reduksi dalam jaringan, namun askorbat sulfohidrolase dapat dihambat oleh L-asam askorbat, sehingga kadar asam askorbat dalam
jaringan akan dapat dikontrol. Askorbat-2-sulfat tersedia memelihara konsentrasi asam
askorbat dalam sirkulasi dan sistem interaksi jaringan (Haiver, 1985).
Percobaan Tucker
d a n Halver (1984) terhadap distribusi vitamin C dalam jaringan mencatat bahwa, pool
asam askorbat-2-sulfat dalam jaringan ikan trout menurun setelah jumlah pakan yang
mengandung vitamin C diturunkan.
Bentuk kimia stabil hasil oksidasi pertama asam askorbat adalah dehidro-asam
askorbat yang ada dalam jumlah kecil pada jaringan. Oksidasi lanjut dari dehidro asam
askorbat menghasilkan oksalat, asam threonik dan karbondioksida,
dan semua senyawa
ini dapat disekresikan melalui air seni (Horning et a]., 1984).
Akumulasi Vitamin C pada Ovarium
Saat Siklus Reproduksi
~ a A a skadar
i
vitamin C ovarium pada saat siklus reproduksi dari beragam spesies
ikan telah dicatat oleh beberapa peneliti, sehingga menimbulkan spekulasi kemungkinan
pentingnya senyawa ini saat ovarium berkembang.
Kadar vitamin C ikan karper cmsian
(Carnssius carassius) saat siklus reproduksi berkisar 92-203 ug/g (Saeymour, 198 1 a),
ikan cod Atlantik (CkEbr~srnorrh~a)
berkisar 80-203 ug/g (Sandnes dan Braekkan, 198 1 ),
dan karper India berkisar antara 225-286 up/g (Agrawal dan Mahajan, 1980).
Hilton,
15
Cho, Brown dan Slinger (1979) mendapatkan bahwa kadar vitamin C ovarium ikan trout
(C1ncorhyncht1.s
mykiss) mencapai maksimum, yaitu 45 1 ug/g bobot basah pada saat akan
ovulasi
Dengan memperhatikan indeks gonad somatik (IGS) Sandnes dan Braekkan
(1 9 8 1) mencatat bahwa akumulasi vitamin C tertinggi menjelang I G S
mencapai
maksimum, kemudian menurun saat terjadi ovulasi. Pengamatan pada ikan cod Atlantik
memperlihatkan bahwa kandungan vitamin C pada stadia awal ovarium tumbuh, yaitu
150 ug/g dan tertinggi mencapai 500 ug/g (Sandnes, 1984).
Menurut Ishibashi, Kato
dan I k e d a (1994) pembahan vitamin C ovarium selama periode pematangan ovarium
berkaitan dengan meningkatnya ukuran oosit karena akumulasi material kuning telur.
Agrawal dan Mahajan (1 980) mencatat bahwa kandungan vitamin C darah ikan karper
India yang ditangkap di a l m mencapai titik terendah saat musim pemijahan yaitu mencapai
17.95- 19.65 ug/ml,
dan saat pertumbuhan ovarium kadar vitamin C mencapai kisaran
20.39-25.95 ug/ml. Disimpulkan pula bahwa ada mobisasi vitamin C yang diperoleh dari
pakan alami k e ovarium saat siUus reproduksi.
Cardinal dan Underfiiend d a l u r t t Soliman et al. ( 1986) rnenyatakm bahwa tingginya
kandungan vitamin C saat ovarium berkembang berkaitan dengan kngsinya sebagai
kofaktor enzim prolil dan lisin hidroksilase yang mengkatalis hidroksilasi dari prolin dan
lisin, dan esensial untuk perkembangan normal jaringan kolagen yang banyak terdapat
dalam ovarium. Kolagen merupakan penyusun utama dinding dalam kantung ovarium
(Sandnes,
Ulgenes,
Braekkan dan Utne, 1984).
Hatver e l al. dalarn Waagbo,
Thorson, dan Sandnes (1989) telah rnengamati adanya akumulasi vitamin C di jaringan
kolagen yang mengitari sel telur,
sehingga disimpuikan bahwa pada saat gonad
berkembang vitamin C digunakan untuk sintesis kolagen
Pendapat latn dikernukakan
16
oleh Sandnes (1984) bahwa meningkatnya kadar vitamin C dalam siklus reproduksi
berhubungan dengan proses "vitelogenesis".
Proses ini dikontrol oleh hormon estrogen
yang mampu menstimulasi hati untuk mensintesis protein spesifik,
yang kemudian
diakumulasikan pada oosit bersama senyawa lipida. Vitamin C pada ovarium berperanan
dalam reaksi bidrokilasi sintesis hormon steroid reproduksi.
Ini didukung dari hasil
pengamatan Halver &lam Waagbo el aC. (1989) yang mencatat adanya akumulasi vitamin
C pada jaringan folikel yang mengitari sel telur. Penelitian Saeymour (1 9 8 1 b) mencatat
adanya penurunan vitamin C yang cepat pada ovarium ikan karper (Carassius carassius)
setelah penyuntikan ekstrak hifofisa. Akiyama, Shimishi. Yamamoto dan Hirose (1 990)
melaporkan adanya penurunan vitamin C ovarium setelah induk ikan sardin (Sardinops
saxmelanostic) disuntik dengan LHRH.
Ahmad,
Nashim,
Mahmood, dm Javaid
(1990) juga mencatat hubungan tertentu antara dosis vitamin C dan estrogen pada ovarium
ikan nila.
Penelitian Waagbo et al. (1989) mencatat bahwa a d a perbedaan yang sangat
nyata kadar estradiol induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 2000
mg/kg pakan dan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C pada rnasa
vitelogenesis.
Pengaruh Vitamin C terhadap Perkembangan
Ovarium dan Kualitas Telur
Penelitian Alava, Kanazawa, dan Teshima (1993 a ) memperlihatkan bahwa,
pemberian askorbil-2-fosfat magnesium suatu bentuk turunan vitamin C dalam ransum
dapat menstimulasi perkembangan gonad induk udang f'ertaztr.~,juporricr,s betina.
17
Percobaannya dengan menggunakan pakan yang disuplementasi askorbil-monofosfat
magnesium masing-masing 500, 1000, 1500 mg/kg, setelah pemeliharaan 170 hari nilai
IGS induk betina mencapai 2.40,2.5 1 dan 1.8 1% sedangkan nilai IGS induk jantan adalah
0.76, 0.87 dan 0.9 1%. sedangkan untuk kontrol tidak diperoleh data, karena induk mati
sebelum berakhirnya percobaan.
Penelitian Ishibasi el a/. (1 994) terhadap ikan 'Yapanese
parrot" (Oplegnathusfasciatus) memperlihatkan bahwa ada peningkatan indeks gonad
somatik dengan peningkatan dosis vitamin C yang diberikan. Ikan yang menerima pakan
dengan suplementasi vitamin C 0, 300, 1000, 3000 mg/kg memperlihatkan nilai IGS
masing-masing 0.5, 0.9, 1.4, 2.2 % untuk induk betina, dan 0.4, 0.6, 0.5, dan 0.8 %
untuk induk jantan.
Pengamatan secara mikrokospis terhadap ovarium juga memperli-
hatkan prosentase induk yang mencapai aktivitas "vitelogenesis" meningkat dengan
peningkatan dosis vitamin C, induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C
tidak menunjukkan adanya oosit pada fase "vitelogenesis",
suplementasi vitamin C 300,
sedangkan dengan perlakuan
1000. dan 3000 mg/kg pakan jumlah induk yang ovarinya
mencapai stadium "viteIogenesis" hingga matang adalah 20, 40, 80%.
Solirnan eta/.,
(1 986) yang mengamati pengaruh asam askorbat terhadap penampilan reproduksi ikan
O r e o c h r o m i s mossambicus melaporkan bahwa ikan yang menerima pakan dengan
suplementasi vitamin C biasa 1250 mglkg memperlihatkan gejala kesiapan memijah lebih
cepat dua minggu dibandingkan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin
C.
Percobaan Priyono,
Sugama, Azwar, dan Setiadharma (1996) mencatat bahwa
ikan bandeng (Chams chutros Forskal) yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium 1500 rng/kg pakan menunjukkan frekuensi bertelur lebih tinggi
18
dibandingkan induk yang menerima pakan dengan suplementasi 1000 mg/kg pakan, dan
tidak ditemui induk yang memijah pada kontrol.
Vitamin C ovarium induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C
lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin
C, namun kadar vitamin C ovarium dapat mencapai kadar tertentu (Ishibashi el al. 1994).
Percobaannya memperlihatkan bahwa, kandungan vitamin C ovarium induk yang
menerima pakan dengan suplementasi vitamin C masing-masing 0, 300, 1000 dan 3000
m g k g pakan mencapai 70.6, 657.1, 898.4 dan 866.2 ug/g bobot basah.
Pengamatan
Waagbo el a!. (1989) terhadap ikan rainbouw trout memperlihatkan bahwa kandungan
vitamin C ovariurn induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 2000
mgflcgmencapai 238 ugfg bobot basah,
sedangkan induk yang tidak
menerima
suplementasi vitamin C mencapai 25 ug/g setelah pemeliharaan selama 4 bulan dan
kemudian turun menjadi 8 ug/g setelah pemeliharaan 5 bulan. Alava ei al. (1993 a) yang
mengamati pengaruh askorbil-2- fosfat magnesium terhadap perkembangan ovarium induk
udang Penaetrsjapnic~rrsmemperlihatkan adanya peningkatan kadar vitamin C ovarium
dengan rneningkatnya dosis yang diberikan. Kadar vitamin C ovarium induk udang yang
menerima pakan dengan suplementasi askorbil fosfat magnesium masing-masing 500,
1000, 1500 mg/kg pakan adalah 436.8, 1176.1, 1417.8 ug/g. Percobaan Soliman ef al.
( 1986) terhadap ikan Oreochromis mossambic7is mencatat kandungan vitamin C ovarium
induk yang menerima suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan adalah sebesar 429.39
uglg dan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C mencapai 46.77 ug/g.
Soliman et a / . (1986) mengemukakan bahwa vitamin C dalam ransum yang
diterinia oleh induk dapat ditransfer ke telur. dan disiapkan untuk perkembangan embrio.
19
Pengamatannya pada telur ikan Oreochromrs mosrzmhicus dari induk yang menerima
pakan dengan suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan mengandung vitamin C
201.83 ug/g dan daya tetas telur mencapai 89.33%,
sedangkan kandungan vitamin
C telur dari induk yang menerima pakan tanpa vitamin C tidak terdeteksi dan
mempunyai daya tetas 56.9096, dan 85% pascalawa yang dihasilkan mengalami
gangguan pertumbuhan tulang belakang.
Sandnes
(1984)
telah mengamati
kandungan vitamin C telur dari 2 pernbenihan ikan salmon di Norwegia, pertama dari
kelompok pembenihan yang memiliki derajat penetasan telur yang tinggi, dan kedua
dari kelompok yang selalu rnenghasilkan derajat penetasan telur yang rendah, dan
diketahui bahwa kadar vitamin C telur dari kelompok pertama adalah 6 5 ug/g dan dari
kelompok kedua adalah 5 ug/g. Percobaan lanjutannya dengan menggunakan induk
rainbouw trout dan diberi pakan dengan suplementasi vitamin C 1000 mg/kg pakan
mencatat bahwa kadar vitamin C telur mencapiti 3 1 ug/g, derajat penetasan mencapai
87%, sedangkan telur dari induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin
C berkadar 15 ug/g dan derajat penetasan 6 2 %. Sandnes (1984) mencatat pula
bahwa telur-telur ikan rainbouw trout yang diperoleh dari alam mengandung vitamin
C 50-100 ug/g,
dan mernpunyai daya tetas yang Iebih baik.
Peneliti lainnya
Dabrowski dan Blom (1994) melaporkan bahwa telur dari induk ikan rainbouw trout
(Oncorhynch~smykiss) yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil-2-fosfat
magnesium 850 m g k g pakan mengandung vitamin C 3 16 ug/g dan mempunyai daya
tetas 25.3-46.7% sedangkan tanpa suplementasi mencapai 8 2 ug/g dengan daya tetas
telur berkisar 9.4-22.6%.
Percobaan
Akiyama er ~ r 1 ( .1 990) pada ikan sardin
20
( S a r d i n o p sagarmelanosficfa) mencatat bahwa tidak ditemui telur yang menetas
dari induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 80 mg/kg pakan, dan
kemudian disuntik dengan LHRH, sedangkan induk yang rnenerima pakan dengan
suplementasi vitamin C lebih tinggi yaitu 3200 mglkg pakan menghasilkan daya tetas
telur lebih baik. Vitamin C yang ditransfer dari induk ke material telur berperanan
daiam mendukung perkembangan embrio (Sandnes, 1991). Menurut Sandnes el a l .
(1984) kandungan vitamin telur 20 ug/g merupakan batas terendah untuk
perkembangan normal embrio ikan trout.
Pengaruh Vitamin C Terhadap Indeks Hepar
Somatik dan Lipida Ovarium
Rasio bobot hati terhadap tubuh (indeks hepar somatik) akan menunjukkan
perubahan
selama siklus reproduksi, indeks paling tinggi pada musim sebelum
memijah dan paling rendah setelah memijah (Delahunty dan D e Vlaming, 1980).
l n d e k s hepar somatik (IHS) akan meningkat hingga batas tertentu
dengan
meningkatnya suplementasi vitamin C (Ishibashi el al., 1994: Alava ef ui., 1993 a).
Ishibashi el al. (1994) mencatat bahwa nilai indeks hepar sornatik ikan Oplegnafhris
fasciafzcs
adalah 1.7, 2.1, 2.2 d m 2.2% untuk ikan yang diberi pakan dengan
suplementasi vitamin C 0, 300, 1000 dan 3000 mg/kg pakan. Alava er al. (1993 a )
mencatat pula bahwa pada induk udang (Penaerrs japottic7ts) yang menerima pakan
dengan suplementasi askorbil fosfat magnesium kadar 500, 1000 dan 3000 mg/kg
21
pakan selama 72 hari, indeks hepar somatik masing-masing adaIah 2.92, 3.07 dan
2.25%. Hal yang sama ditemui oleh Waagbo eta!. (1989) pada induk ikan rainbouw
trout (Oncorhynchus mykiss) bahwa induk yang diberi pakan dengan suplernentasi
vitamin C 2000 mg/kg indeks hepar somatik mencapai 1.80% dan induk dengan
perlakuan kontrol 1.43%.
Menurut Jensen (1979) peningkatan bobot hati menjelang perkembangan
ovarium
disebabkan peningkatan fraksi Iipida. Fraksi lipida akan ditransfer dari
cadangan lipida tubuh dan lipida hati k e ovarium selama
proses pertumbuhan
ovarium. Tejadinya mobilisasi lipida k e ovarium dapat diperlihatkan dari fluktuasi
kandungan lipida plasma selama siklus reproduksi. Lipida plasma meningkat pada
awal perkembangan ovarium, kemudian menurun menjelang ovulasi (Halver, 1989).
Singh dan Singh
(1990) yang mengamati hubungan Iipida plasma
dengan
kematangan ovarium ikan lele India (Heteropneustes fo.~.viIis)mencatat bahwa pada
fase persiapan tumbuh ovarium t e j a d i aktivitas lipogenik pada hati, dan kemudian
selama fase perkembangan awal terjadi lipolisis trigliserida yang ditandai dengan
naiknya asam lernak bebas ddam plasma.
Menurut Kosutarak, Kanazawa, Teshima
dan Koshio (1994) vitamin C dapat menginduksi lipolisis yang menurunkan lipida
jaringan
dengan menstabilisasi norepineprin, juga berhngsi sebagai donor elektron
untuk desaturasi asarn lemak. Percobaan Kosutarak e t al. ( 1995 a, 1995 b) terhadap
mayor dan Paralicthys olivacerrs menunjukkan bahwa kadar lipida
anak ikan Papn~s
hati dan tubuh ikan yang menerima ransum dengan suplementasi askorbil fosfat
magnesium lebih tinggi dibandingkan ikan yang menerima ransum tanpa suplementasi.
22
Dengan suplementasi masing-masing 0, 50, 500 mg/kg pakan, kandungan lipida hati
dan daging ikan Pagums mayor masing-masing mencapai 24.5, 43.3, 42. 1% bobot
basah daging dan 5.8, 8.1, 8.0% bobot basah hati. Waagbo el al. (1989) mencatat
pula bahwa suplementasi vitamin C dalam ransum dapat meningkatkan kandungan
lipida.
Lipida ovarium induk ikan rainbouw trout yang menerima pakan dengan
suplementasi vitamin C mencapai 14.3 g/100 g,
sedangkan yang menerima pakan
tanpa suplementasi vitamin C hanya 12.6 g/100 g. Percobaan oleh Kosutarak el a/.
(1995 a) terhadap benih ikan Pagurus mayor mencatat bahwa pengurangan askorbil
fosfat megnesium menghasilkan rendahnya kandungan lipida trigliserida pada hati dan
daging.
Ishibashi ef a/.(1994) mengemukakan bahwa suplementasi vitamin C dalam
.ransum pakan induk mempengaruhi kadar trigliserida darah pada saat siklus
reproduksi. Dengan suplementasi vitamin C masing-masing 0, 30, 1000 dan 3000
mg/kg pakan tercatat rata-rata trigliserida plasma darah masing-masing 122, 125, 186
d a n 240 mg/dl.
Kandungan lipida saat perkembangan ovarium dan teIur sangat bervariasi
bergantung kepada jenis ransum, strategi reproduksi spesies dan Iamanya nutrisi
endogen, keadaan fisiologis induk, stadia perkembangan ovarium (Balon dalam
Heming dan Budington, 1989).
Henderson dan Almatar (1989) yang mengamati
ikan CIupen harengus mencatat bahwa kandungan lipida ovarium tertinggi terjadi
pada tingkat kernatangan gonad 111, dan terendah setelah memijah.
Pola peningkatan
lipida ini berkaitan dengan kebutuhan energi selama proses perkembangan gonad dan
persiapan lipida telur
Teshima, Kanazawa, Koshio,
Hironauchi
(1988) yang
23
mengamati perkembangan ovarium udang Penaeusjaponictrs mencatat bahwa lipida
utama yang diakumulasikan adalah trigliserida dan fosfotidilkholin. Hal yang serupa
dikemukakan pula oleh Gehring ahlam Teshima ef a l . (1988) bahwa peningkatan
lipida pada ovariurn udang Penaeus Jtrorarum pada tingkat kematangan gonad
hingga 111 terutama adaiah peningkatan bentuk lipida netral yang meliputi trigliserida,
bentuk sterol bebas, dan lipida polar (fosfolipid). Pengamatan Wiegand (1984)
terhadap ikan Siganus gajairdneri mencatat bahwa vitelogenin yang diakumulasikan
pada sel telur s a t vitelogenesis mempakan senyawa lipid-protein yang mengandung
280 ug lipida polar dan 6 0 ug trigliserida per mg protein.
Singh dan Singh (1 990)
yang mengamati ikan lele India (Heferopneusfes fossilis) mencatat bahwa bentuk
lipida trigliserida pada ovarium meningkat cepat dari fase persiapan (TKG I) ke fase
sebelum pemijahan (TKG IV) dan mencapai puncak pada stadia ini,
kemudian
menurun setelah memijah. Kadar trigliserida hati mengikuti pola yang sama dengan
trigliserida ovarium.
Meningkatnya kadar lipida plasma selama perkembangan ovarium distimuli
oleh
hormon
esterogen
(Halver, 1989).
Menurut Singh dan Singh (1990)
peningkatan kadar gonadotropin dan hormon steroid pada ikan lele (Heferopneusfes
fossilis) pada fase persiapan tumbuh gonad meningkatkan kecepatan lipogenesis.
Hasil yang serupa juga diperlihatkan dari percobaan D e VIeming dalanz Singh dan
crr,.assizrs, bahwa estradiol dapat rnenstimulasi
Singh ( 1990) terhadap ikan C,'aras.~itts
aktivitas lipogenik seIama fase awal tumbuh gonad dan selanjutnya pemberian
gonadotropin telah menstimulasi sintesis trigliserida-fosfolipid. Percobaan
De
24
Vlarning, Singh, Paquette dan Vuchs (1977) pada ikan Cararsiius carassirrs mencatat
bahwa pada musim pemijahan terjadi peningkatan protein-fosfolipid (vitelogenin)
pasma, namun dengan penyuntikan estradiol ada peningkatan senyawa ini bukan pada
masa reproduksi. Fraksi lipoprotein yang sama dapat diinduksi dengan pemberian
estradiol pada jenis jantan
(Vanston dan H o ahlam D e Vlarning el al., 1977).
Akand e l al. dalam Kosutarak et al. (1995 b) mengemukakan bahwa asam
askorbat dapat mempengaruhi komposisi asarn lernak dan penggunaan asam lernak n-3
dari ikan trout.
Percobaan Akand, Sastom, Yoshinaka dan Ikeda (1992) mencatat
adanya perbedaan kandungan asam lemak daging dan jeroan antara ikan trout yang
menerima pakan dengan suplementasi dan yang tidak menerima suplementasi vitamin
C setelah mengalami masa pelaparan 2 minggu. Pada ikan trout yang diberi pakan
dengan suplementasi vitamin C 20-200 mgllOO g pakan, kandungan asam lemak tidak
jenuh
(20:5n3 dan 22:6n3) lebih tinggi setelah mengalami masa pelaparan.
Disimpulkannya bahwa suplementasi vitamin C dalam ransum akan meningkatkan
retensi asam Iemak tidak jenuh pada tubuh ikan.
Percobaan Miyasaki,
Sato,
Yoshinaka dan Sakaguchi (1 995) mencatat bahwa kandungan lipida daging dan jeroan
ikan rainbow trout yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C bentuk
askorbil-2-fosfat magnesium selama 6 0 hari berbeda sangat nyata dengan keadaan
lipida awal setelah mengalami masa pelaparan 60 hari, sedangkan ikan tanpa
suplementasi tidak rnemperlihatkan perbedaan. Disimpulkannya bahwa vitamin C
dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lipida selama masa pelaparan. Kesimpulan
ini didukung dari pengamatannya terhadap kadar asil karnitin hati, setelah mengalami
25
masa pelaparan 60 hari. Asil karnitin hati dari induk yang menerima pakan dengan
suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium nyata lebih tinggi dibandingkan induk yang
menerima pakan tanpa suplementasi. Penurunan kadar vitamin C hati sebelum dan
sesudah pelaparan dari induk yang menerima pakan dengan suplementasi sangat tinggi
dibandingkan tanpa suplementasi, yang menunjukkan bahwa vitamin C mempunyai
peranan dalam metabolisme lipida.
Menurut Horning el al. (1984) vitamin C
berperanan dalam sintesis senyawa karnitin yang berperanan dalam metabolisme
lipida.
Sterol bebas adalah satu senyawa dari kelas lipida yang terkandung dalam
ovarium, dan pada udang penaeid kadarnya berkisar 6.4
1988).
- 22%
(Teshirna ef al.,
Di antara sterol, kolesterol ditemui yang paling dominan (Midelditch,
Msler, Hines. Ward, Lawrence, 1980). Wiegand dan Peter (1980 b) mengernukakan
bahwa ada kaitan antara kolesterol serum dan hati dengan meningkatnya aktivitas
ovarium. Gonido ei al. (1990) mencatat bahwa kolesterol serum ikan Scyliorhinus
c a n i c u l a mencapai puncak sesaat sebelum "vitelogenesis". Kemudian Singh dan
fossilis) mencatat
Singh (1990) yang mengamati induk ikan lele India (Heterop~iastes
bahwa kolesterol bebas pada hati akan maksimal pada fase sebelum rnemijah (TKG
111), dan menurun saat memijah,
perkembangan ovarium.
kemudian meningkat kembali pada awal
Kolesterol bebas dan kolesterol teresterifikasi di hati
meningkat sangat nyata pada saat fase persiapan dibandingkan pada fase istirahat, dan
menunjukkan adanya hidrolisis kolesterol teresterfikasi ke bentuk kolesterol bebas,
kernudian dibebaskan ke darah dan ditransfer ke ovariurn untuk streoideyenesis.
26
Wiegand dan Peter (1980 a) rnencatat adanya peningkatan kolesterol bebas dan
rendahnya kolesterol teresterifikasi pada hati dan plasma darah ikan Carassius
carassius bersamaan turunnya kolesterol bebas dan teresterifikasi ovarium yang
menunjukkan adanya potensi yang tinggi dari hormon gonadotropin yang menyebabkan terjadinya hidrolisis kolesterol teresterifikasi k e bentuk kolesterol bebas.
Mukherjee dan Bhattacharya (1982) juga telah mencatat bahwa dengan penyuntikan
ekstrak kelenjar
hipofisa terjadi penurunan yang tinggi kolesterol total dan
teresterifikasi ovarium pada ikan (Channapunctatus). Wiegand dan Peter (1980 a)
telah mencatat pula adanya penurunan kolesterol plasma setelah penyuntikan
gonadotropin pada ikan Carassius carassius, yang diduga t erjadinya pengambilan
kolesterol oleh ovarium untuk sintesis hormon steroid reproduksi. Kanazawa, Chim
dan Laubier (1988) yang mengamati akumulasi kolesterol pada organ udang Penaid
mencatat bahwa pada saat aktivitas perkembangan gonad,
kandungan kolesterol
ovarium mencapai 6-40 kali lebih tinggi dibandingkan organ jeroan,
daging dan
hepatopankreas. Singh dan Singh ( 1990) yang mengarnati ikan Heleropneustes
fossilis mencatat bahwa kandungan kolesterol bebas dan teresterifikasi pada ovarium
akan meningkat sejak fase persiapan dan minimal pada fase sebelum pemijahan,
kernudian meningkat kembali selama pemijahan.
Menurut Kanazawa e t al. (1988)
akumulasi kolesterol pada ovarium tidak saja berperanan dalam menyiapkan bahan
untuk sintesis hormon steroid, narnun juga dipersiapkan untuk telur, yang kemudian
dipakai larva selarna fase tumbuh Hubungan vitamin C terhadap akumulasi koIesterol
pada ikan telah dicatat pula oleh Kosutarak e / al. (1995 a dan b ). namun terhadap
27
juvenil i kan sebelah (Paralichthys o l i ~ ~ a c e idan
~ s ) ikan "red sea bream " ( P a g ~ r u s
mayor), ditemui bahwa pada jaringan hati dan daging ikan yang menerima pakan
dengan suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium mengandung kadar kolesterol yang
lebih rendah dari ikan yang menerima pakan tanpa suplementasi askorbil-2-fosfat
magnesium.
Hasil percobaan Ishibasi el al. (1 994) mengenai pengaruh vitamin C terhadap
induk ikan O p i e p ~ a f h r r s j a s c i a f ~
mencatat
~s
bahwa ada korelasi antara kandungan
kolesterol plasma dengan kadar suplementasi vitamin C dalarn ransum. Kandungan
kolesterol plasma adalah 18 1, 183, 195, 150 mg/dl pada induk yang menerima pakan
dengan suplementasi vitamin C masing-masing 0, 300, 1000 dan 3000 mg/kg pakan
d a n indeks gonad somatik induk masing-masing adalah 0.5, 0.9, 1.4 dan 0.8%.
Waagbo et al. (1989) yang mengamati peranan vitamin C terhadap induk ikan trout
mencatat bahwa pada saat vitelogenesis,
kandungan kolesterol serum induk yang
menerima pakan dengan suplementasi asam askorbat 2000 mg/kg pakan pada
periode awal lebih rendah dibandingkan dengan induk yang menerima pakan tanpa
suplementasi asam askorbat, namun menjelang
kolesterol meningkat mendekati sama.
musim
reproduksi kandungan
BAHAN DAN METODE
Tahapan Percobaan
Percobaan ini dilaksanakan dalam beberapa tahap, meliputi:
I.
Pengamatan
dan
percobaan
pendahuluan
informasi hubungan indeks gonad
tingkat kematangan gonad (TKG),
perkembangan.
yang bertujuan mendapatkan
somatik (ISG) induk betina dengan
diameter oosit pada setiap stadium
kandungan vitamin C ovarium saat siklus reproduksi,
ketersediaan biologi (uji bioavailability) beberapa tipe vitamin C terhadap induk
ikan nila. Tipe vitamin C terpilih akan digunakan untuk percobaan utarna.
2.
Percobaan
utama, terdiri
dari
2
seri
kegiatan,
yaitu perfama untuk
mempelajari pengaruh tipe vitamin C terpilii terhadap perkernbangan ovarium
serta respon beberapa variabel fisiologis yang
mernpengaruhi perkembangan
ovarium, dan kdua mempelajari mutu telur dan penampilan pascalarva.
Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Loka Penetitian Budidaya Perikanan
Pantai Gondol, Singaraja Bali.
BAHAN
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah ikan nila merah (Oreochromis sp.)
yang diperoleh dan dibesarkan di kolam Balai Benih Ikan Air Tawar Sanglah, Dinas
Perikanan Propinsi Bali.
29
Untuk pengamatan pendahuluan (1) mengenai kematangan ovarium (IGS dan
TKG), diameter oosit vitelogenesis, dan akumulasi vitamin C ovarium saat siklus
reproduksi digunakan ikan nila yang ditangkap dari kolarn-kolam pembesaran. Untuk
percobaan pendahuluan uji ketersediaan biologi, dan percobaan utama digunakan
ikan umur 4 bulan. Ikan dibesarkan di kolam, dan selama pemeliharaan ikan diberi
pakan komersial. Untuk percobaan digunakan ikan betina, pemilihan jenis kelamin
ini dilakukan berdasarkan sifat-sifat morfoIogi bagian genital (Gambar 1).
anus
genital
poplla
ekor
Jantan
Gambar 1.
u;clcr
genital
anus
oviduct
ckor
Betina,
Perbedaan lubang genital ikan nila jantan dengan Iubang
genital ikan betina (Huet, 1987).
Pakan Percobaan
Pakan percobaan digunakan untuk uji ketersediaan biologi dan percobaan
utama. Pada percobaan ketersediaan biologi komposisi dasar pakan yang digunakan
sama dengan pakan percobaan utama, hanya berbeda dengan bentuk vitamin C yang
digunakan (yaitu, vitamin C biasa, askorbil-2-fosfat magnesium,
calsium dilapisi silikon,
askorbil-2-fosfat
vitamin C dilapisi lemak tanaman) dan alpha selulosa
substitusi. Komposisi bahan pakan untuk percobaan utama disajikan pada Tabel 1,
dan sebagai perlakuan adalah dosis askorbil-2-fosfat magnesium.
dengan
nama
perdagangan adalah fosfitan C, dan diproduksi Showa Denko Jepang dengan bobot
molekul 379.61 serta kandungan asam askorbat 46%.
Pemilihan askorbil-2-fosfat
magnesium didasarkan hasil uji ketersediaan biologi pada percobaan pendahuluan.
Retensi asam askorbat pada jaringan hati dan usus tinggi pada askorbil-2-fosfat
magnesium dibandigkan suplementasi tipe vitamin C laimya (Lampiran 8 a dan b),
dan prosentase hilang selama proses pembuatan pakan, dan selama perendaman 3
menit juga rendah (Lampiran 9 a dan b )
Sumber utama protein pakan adalah kasein dan tepung ikan, sedangkan sumber
lipida pakan addah minyak jagung dan minyak ikan. Kandungan protein dan lipida
pakan
masing-masing 35 dan
lo%,
didasarkan pada hasil percobaan W e dan Tuan
(1 988), serta Soliman et al. (1986).
Tabel 1. Komposisi" bahan pakan percobaan (%).
Bahan
0.000
Prosentase askorbil fosfat magnesium (APM)
0.075
0.150
0.225
0.300
Kasein
30.000 30.000
Tepung ikan
8.000 8.000
Tepung jagung 17.500 17.500
Dekstrin
17.500 17.500
Karboksi metil
selulosa
5.000 5.000
h4inyak ikan
4.500 4.500
Minyak jagung 4.500 4.500
Krom oksida
0.500 0.500
Mineral2'
4.000 4.000
Vitamin''
2.000 2.000
A-selulosa
6.500 6.425
1)
2)
30.000
8,000
17.500
17.500
30.000
8.000
17.500
17.500
30.000
8.000
17.500
17.500
5.000
4.500
4.500
0.500
4.000
2.cKm
6.350
5.000
4.500
4.500
0.500
4.000
2.000
6.275
5.000
4.500
4.500
0.500
4.000
2.000
6.200
"
diperhitungkan berdasarkan Jauncey dan Ross (19821, Watanabe (1988)dan
NRC (1983)
dan 3) (Lampiran 1 a dan b)
Pakan dibuat tiap 2 minggu dan disimpan dalam kantung plastik hitam pada
suhu
-
20" C. Kandungan vitamin C,
sekali setelah pernbuatan pakan.
protein dan lemak dianalisis tiap 2 minggu
Tabel 2 memperlihatkan hasil analisis proksimat,
dan kandungan vitamin C pakan percobaan untuk kegiatan percobaan utama.
Tabel 2 . Analisis proksirnat pakan percobaan
Komposisi
proksimat
0.000
Vitamin C
(mg/k g pakan)
0.000
35.100
Protein (%)
Lipid ( O h )
10.150
Abu (%)
5.920
43.880
Karbohidrat (O/O)
Energi ( H / g
Bobot kering 4' 421.62
GE : P rasio (KJ/
g protein)
48.430
4)
Prosentase askorbil-2-fosfat magnesium
0.075
0.150
0.225
325.870
34.920
9.910
5.940
44.3 1 0
421.77
48.650
678.470
35.390
9.730
5.420
44.920
422.27
48.3 1 0
0.300
1006.560 1330.620
35.740
34.750
10.020
10.210
5.720
6.010
43.880
44.310
422.62
47.840
418.10
49.200
diperhitungkan atas dasar 16.740 kJ/g protein dan karbohidrat, dan 37.665
kJ/g lipida.
Wadah Percobaan
Untuk percobaan digunakan 100 unit akuarium masing-masing berukuran
6 0 x 3 0 x 35 cm, dengan volume air 6 0 1, dilengkapi sistem aerasi, suplai dan
pembuangan air. Dinding luar akuarium dilapisi plastik hitam, dan bagian atas
ditutup dengan jaring. Penyediaan air k e daIarn akuarium dilakukan melalui pipa
yang dihubungkan dengan 2 bak penampungan air masing-masing bervolume 3 m3.
P a d a bak pertama dipasang aIat aerasi dan bak kedua dipasang pengatur suhu
32
(thermostate) untuk menjaga suhu air sekitar 2S0 C . Menurut Chervinski (1982)
reproduksi ikan nila mulai suhu 22" C. Suhu optimum antara 25-25PC (Rothbard
dan Pruginin, 1975).
berukuran 60 x 60 x40
Uji penetasan telur dilakukan dal
Latar Belakang
Kendala utama dalarn pengembangan perikanan budidaya di Indonesia adalah
keterbatasan kemampuan penyediaan benih yang mencukupi dan berkualitas pada
musim tebar. IN disebabkan oleh penyediaan benih yang masih bersifat sederhana,
belum mernperhatikan teknik yang lebii maju dan pakan induk yang bermutu, sehingga
produksi benih secara masal untuk pengembangan budidaya intensif masih menjadi
kendala.
Informasi kebutuhan gizi induk untuk kepentingan produksi benih yang
berkualitas masih sangat sedikit dan umurnnya standar gid pakan yang digunakan masih
mengandalkan kriteria umum untuk ikan budidaya, tidak spesifik menurut kebutuhan
gizi induk untuk satu jenis ikan.
Berbagai hasil percobaan telah memperlihatkan bahwa kuantitas dan kualitas
pakan ( terutama protein dan lemak) yang diberikan kepada induk merupakan faktor
penting yang mempunyai hubungan erat dengan kematangan gonad, jumlah telur yang
diproduksi dan kualitas telur (Watanabe, 1988). Menurut Reay &lam Hardjamulia
( 1 988) kualitas telur merupakan refleksi keadaan kirnia nutrisi kuning teIur yang sangat
dipengaruhi oleh kesehatan induk dan gizi pakan yang diberikan. Saat telur menetas,
sumber energi untuk perkembangan larva ikan sangat bergantung kepada material
telur bawaan yang telah disiapkan oleh induk dan fase ini merupakan fase paling kritis.
Material telur yang mengalami defisiensi gizi akan mengganggu perkembangan larva
dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian
2
Informasi kandungan nutrien telur dan kebutuhan gizi induk ikan yang dikaitkan
dengan proses akumulasi material telur (perkembangan gonad) rnasih sangat terbatas,
padahal informasi kebutuhan nutrisi spesifik bagi induk sangat berguna untuk
rneningkatkan kemampuan aktivitas
reproduksi.
Menurut Laven dan Sorgeloos
(1991) a d a dua senyawa yang dinilai penting untuk perkembangan larva yaitu "highly
unsaturated fatty acid" (HUFA) dan asam askorbat (vitamin C).
pula berperanan
dalam pertumbuhan gonad.
Vitamin C diduga
Ini didasarkan adanya fluktuasi
kandungan vitamin C ovarium seIama berlangsungnya siklus reproduksi beberapa
spesies ikan dan udang yang ditangkap di alarn seperti pada udang Palaemom sc.rra/us
(Guary, Coccaldi dan Kanazawa, 1975), ikan Carassizrs carassius (Saeymour, 198 1
a),
G o d u s morhua (Agrawal dan Mahajan, 1980: Sandnes dan Braekkan, 1981),
karper India, CIupenpaIa~~ci,
O~tcorhyr~chr~s
nyhss (Loveil, 1984). Ikan tidak mampu
mensintensis vitamin C (Faster &Iam Sandnes, I991), sehingga untuk mempertahankan
rnetabolisrne sel, vitamin C mutlak hams diperoleh dari luar tubuh.
Ikan nila (Oreocbromis sp.) adalah spesies ikan air tawar yang sangat potensial
untuk dikembangkan, karena mudah dibudidayakan dalam berbagai ekosistem (air
tawar, air payau dan laut), cepat tunlbuh, mempunyai kemampuan mengkonsumsi
a n e k a ragam pakan,
memiliki daya tahan tinggi terhadap serangan penyakit dan
memiliki potensi untuk meningkatkan devisa sebagai komoditi ekspor.
Permintaan
terhadap komoditi ini cukup tinggi namun kemampuan penyediaan sangat terbatas
karena produksi budidaya masih sangat dibatasi oleh ketersedian benih, walaupun ikan
ini mudah berbiak.
Teknik produksi benih yang dilakukan petani lnasih sangat
3
sederhana sehingga tidak mampu memproduksi benih dalam jumlah yang banyak dan
seragam dalam waktu singkat. Soebagyo el ai. daIam Iangkaru (1994) mencatat bahwa
induk betina dengan bobot rata-rata 136 g yang dipelihara dalam karamba jaring apung
di waduk dan diberi pakan komersil dapat memproduksi benih rata-rata 200 ekodinduk,
sedangkan Galman,
Moreau dan Avtalion (1988) menduga bahwa induk ikan nila
ukuran sekitar 136 g dapat memproduksi telur 4 10 butir
Hasil pengamatan Soliman, Jauncey dan Robert (1986) dengan teknik
histokimia dan biokimia telah menunjukkan bahwa tidak terjadi aktivitas enzim
L-gulonakton oksidase yang b e f i n g s i mengkonversi L-gulonolakton k e bentuk
2-keto-Lgulonolakton, yang mempakan tahap akhir dari sintesis vitamin C dalam hati
maupun ginjal ikan nila. Ini berarti bahwa ikan nila seperti beberapa spesies laimya
tidak mampu rnenyediakan vitamin C sendiri, sehingga untuk mencukupi metabolisme
tubuhnya dibutuhkan suplai vitamin C dari luar tubuh. Kebutuhan vitamin C untuk
mencegah defisiensi nutrisi dan pertumbuhan sudah diketahui, namun informasi
kebutuhan saat siklus reproduksi serta pengaruhnya terhadap perkembangan ovarium
dan perkembangan larva ikan nila berum ada. Padahal informasi ini sangat bermanfaat
dalam penyusunan ransum yang tepat untuk induk ikan nila, sebingga dapat digunakan
untuk memperbaiki penampilan reproduksi induk ikan.
Vitamin C di samping mudah larut dalam air, jqga mudah teroksidasi sehingga
kehilangan nilai kandungan vitamin ini selama proses pembuatan pakan dan penyimpanan sangat tinggi. Saat ini telah dikembangkan beberapa bentuk turunan vitamin C yang
rnemiliki sifat retensi yang baik datam pakan ikan. Askorbil fosfat magnesium adalah
4
adalah bentuk turunan vitamin C dengan salah satu sisi karbon C-nya membentuk ikatan
ester fosfat
Dari percobaan pendahuluan diketahui askorbil fosfat magnesium
memiliki ketersediaan biologi yang tinggi terhadap ikan nila dan tahan terhadap
oksidasi, sehingga bioaktivitasnya sebagai sumber vitamin C pada pakan tetap tinggi
setelah melalui proses pembuatan pakan.
Berkaitan dengan permasalahan di atas telah dilakukan suatu percobaan untuk
mempelajari pengaruh pemberian askorbil fosfat magnesium sebagai sumber vitamin C
terhadap perkembangan ovarium (kematangan gonad) dan penampilan larva ikan nila
(Oreochromis sp.).
bertujuan untuk
Sebelumnya dilakukan juga pengamatan pendahuluan, yang
mendapatkan
informasi ukuran oosit pada berbagai stadia
perkembangan, indeks gonad somatik (IGS) dan tingkat kematangan gonad (TKG),
serta kandungan vitamin C ovarium induk saat siklus reproduksi.
Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan mempelajari dan mendapatkan informasi mengenai
pengaruh askorbil 2-fosfat magnesium (APM) terhadap:
1.
Perkembangan ovarium ikan nila (Oreochromis sp.), serta respon fisiologis
beberapa variabel yang mempengamhi perkembangan ovarium.
2.
M u t u telur dan penampilan Iawa yang dihasilkan.
Manfaat Hasil Percobaan
Hasil percobaan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
perkernbangan ilrnu nutrisi dan informasi kebutuhan vitamin C bagi induk ikan nila pada
saat siklus reproduksi.
Hasil percobaan ini juga diharapkan dapat berguna bagi perbaikan mutu benih
serta dapat dipakai sebagai dasar penyusunan strategi produksi benih ikan nila.
Hipotesis
Berdasarkan masalah di atas maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Semakin tinggi dosis askorbil-2-fosfat magnesium dalam pakan semakin cepat
perkembangan ovariurn ikan nila.
2. Sernakin tinggi dosis askorbil-2-fosfat magnesium semakin baik mutu telur dan
penampilan larva ikan nila.
TINJAUAN PUSTAKA
P e r k e m b a n g a n O v a r i u m d a n S t a d i a Oosit
Ikan kelompok Teleostei m e m ~ u n y a iovarium yang merupakan sepasang
organ memanjang dan kompak, terdiri dari oogonia, jaringan penunjang atau stroma
(Nagahama, 1983). Masa yang mengisi ovarium adalah oosit, terdiri dari berbagai
stadia atau homogen bergantung kepada tipe reproduksi. Berdasarkan stadia
kematangan oosit, Marza ahlam Harder (1975) mengklasifikasikan reproduksi ikan
dalam berbagai tipe, yaitu a) tipe sinkronisasi total dengan perkembangan oosit
terdiri dari satu stadia,
dijumpai pada spesies yang memijah hanya sekali dalarn
periode pernijahan; b) tipe sinkronisasi group dengan dua stadia oosit yaitu matang
d a n besar, serta oosit sangat kecil tanpa kuning telur (oosit muda), dan c)
asinkronisasi dengan ovari terdiri dari berbagai tingkat perkembangan oosit.
Berdasarkan morfologi ovarium serta distribusi ukuran oosit, Dadzie dan
Wangila (1980) mengklasifikasikan tingkat kematangan ovarium ikan nila sebagai
berikut:
- tingkat I : ovarium kecil, transparan, gonia dan oosit muda hanya terlihat
dengan menggunakan mikroskop.
- tingkat I1 :
ovarium berwarna kuning terang, oosit dapat terlihat dengan mata.
Pengamatan secara histologi memperlihatkan ovarium terdiri dari
oogonia, oosit muda, oosit berisi protoplasma, namun belum ada
-
tingkat 111
: ovarium besar,
berwarna kuning gelap, dan ada oosit yang mulai
mengandung kuning telur.
- tingkat IV
:
ovarium besar, benvarna coklat, banyak
oosit berukuran maksimal
dan mudah dipisahkan (oosit siap diovulasikan).
-
tingkat V
:
ovarium benvarna kuning terang, ukurannya berkurang disebabkan
telah dilepaskannya telur matang. Ovarium berisi
oogonia, oosit
b e r p r o t ~ p l a s m dan
~ sedikit oosit rnengandung kuning telur, banyak
dijumpai folikel yang pecah.
Ukuran tingkat perkembangan ovarium dapat diiyatakan juga dalam satuan indeks
dari prosentase bobot gonad per bobot tubuh dan dinyatakan sebagai satuan indeks
gonad
somatik (IGS), walaupun demikian nilai I G S saja tidak cukup rnemberikan
informasi karakteristik aktivitas reproduksi. Pengamatan secara histologi terhadap oosit
d a n distribusi ukuran oosit dapat memberikan informasi lebih jelas tingkatan aktivitas
reproduksi (Tyler, Sumpter dan Campbell, 1991).
Perkembangan sel telur (oosit) diawali dari "germ sel" yang terdapat dalam lamela
d a n mernbentuk oogonia. c o g o n i a yang tersebar dalam ovarium menjalarlkan suksesi
pembelahan mitosis dan ditahan pada "diploten" dari profase miosis pertama. Pada stadia
ini oogonia dinyatakan sebagai oosit primer (Harder,1975).
Oosit primer kernudian
menjalankan masa tumbuh yang meIiputi dua fase, pertama adalah fase "previtelogenesis"
di mana ukuran oosit membesar akibat meningkatnya volume sitoplasma (endogenous
vitelogenesis);
namun belum terjadi akumulasi kuning telur.
Kedua adalah fase
"vitelogenesis" di mana terjadi akumulasi material kuning telur yang disintesis oleh hati,
8
kemudian dibebaskan ke darah dan dibawa ke dalam oosit secara mikropinositosis (Zohar,
1991; Jalabert dan Zohar, 1982).
Peningkatan ukuran indeks gonad somatik atau
perkembangan ovarium disebabkan oleh perkembangan stadia oosit. Pada saat
perkembangan oosit terjadi perubahan morfologi yang mencirikan dari stadianya. Menurut
Nagahama (1983)
stadium oosit dapat dicirikan berdasarkan volume sitoplasrna,
penarnpilan nukleus dan nukleolus, serta butiran kuning telur. Berdasarkan kriteria ini,
oosit dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelas. Yamamoto daiam Nagahama
(1983) membaginya dalam 8 kelas yaitu stadia kromatin-nukleolus, perinukleolus (terdiri
awal dan akhir nukleolus), stadium "oil drop" stadium "yolk" primer, sekunder, tertier
d a n stadium matang. Sedangkan Harder (1975), Chinabut, Limsuwan dan Kitsawat
(1991) membagi oosit dalam 6 keIas di mana stadia nukIeolus dan perinukleolus
dikatagorikan sebagai stadium pertama, dan setiap stadium dicirikan sebagai berikut:
- stadium
1 :
Oogonia dikelilingi satu lapis sel
epitel dengan
hematoksilin-eosin plasma berwarna merah jambu,
pewarnaan
dengan inti yang
besar di tengah.
- stadium
2 :
Oosit berkembang ukurannya, sitoplasma bertambah besar, inti biru
terang dengan pewarnaan, dan terletak masih di tengah sel. Oosit
dilapisi oleh satu lapis epitel.
- stadium 3 :
Pada stadium ini berkembang sel folikel dan oosit membesar,
provitlin
nukleoli mengelilingi inti.
- stadium 4 :
Euvitlin inti telah berkembang dan berada sekitar selaput inti. Stadium
ini merupakan awal "vitelogenesis" ditandai adanya butiran kuning
telur, pada sitoplasma
Pada stadium ini oosit dikelilingi oleh dua lapis
9
sel, lapisan dalam adalah sel bentuk kubis (granulosa) dan lapisan luar
memanjang dan datar.
- stadium 5 :
Butiran kuning telur bertambah besar dan memenuhi sitoplasma .
- stadium
Inti mengeciI dan selaput inti tidak terlihat, inti terletak di tepi.
6:
KIasifikasi stadium oosit ini telah dimodifikasi oleh beberapa peneliti dengan
rnenggabungkan beberapa stadium bergantung kepada tujuan evaluasi. Kou, Nash, dan
Shehadeh daIam Hardjamulia, Suhenda dan Wahyudi (1 995) mengklasifikasikan oosit
dalam 5 kelas dengan menggabung stadium satu dan dua seperti yang dikemukakan oleh
Chinabut et ul. (1991) rnenjadi satu stadium. Balsare, Treasure, Holliday, Al-Daham
dan Batti dalam Chinabut et al. (1991) membagi perkembangan oosit berdasarkan
kematangan yaitu: stadium awal, sedang proses matang d m matang.
mengklasifikasikan
oosit
berdasarkan
proses
tumbuh
yaitu
Zohar (1991)
tumbuh
lambat,
previtelogenesis, dan tumbuh c e p d vitelogenesis. Pada oosit previtelogenesis terlihat
pembentukan dua sel yang mengelilingi oosit membentuk folikel. Sel lapisan dalam
berbentuk kubik disebut granulosa dan sel luar memanjang datar disebut teka.
Kedua sel, granulosa dan teka berperanan dalam proses sintesis hormon steroid
reproduksi. Setelah pembentukan sel-sel tersebut baru dimulai akumulasi material telur.
Stimulasi awal akumulasi material kuning telur pada oosit bergantung pula kepada sel-sel
yang berperanan dalam menseleksi material telur (Tyler el a l , 1991). Percobaan Tyler
el al
,(1991) mengenai hubungan ukuran oosit dengan awal akumulasi material mencatat
bahwa oosit ikan trout (Oncorhynchusmykiss) akan mulai mengakumulasikan material
kuning telur pada ukuran 0.6 mm. Diduga pada fase ini oosit telah memiliki reseptor yang
berperanan dalam akumulasi material kuning telur
Pada tahap awal diduga reseptor
10
tersebut belum a d a atau belum aktif.
Walace &lam Singh dan Singh (1990) yang
mengamati amphibia Xenopus sp. mengemukakan bahwa mulainya oosit mengakumuIasikan material berhubungm dengan berkembangnya saluran interselular di antara set-sel
folikel. Meusy dan Payeun (1988) yang mengamati perkembangan ovarium udang
menjumpai pula sejumlah jaringan tubular dalam sel-sel yang menyelaputi folikel yang
diduga berperanan dalam menyalurkan material ke oosit.
Metabolisme Vitamin C
Gejala defisiensi vitamin C pada ikan dikenal pertama oleh Kitamura pada tahun
1965 dari hasil pengamatannya terhadap gangguan perkembangan tulang belakang
(Scoliosis dan lordosis) ikan trout yang dipelihara di kolam dan diberi pakan tambahan,
walaupun sebelumnya tahun 1934 Mc Cay dan Torison menjumpai gangguan yang serupa
pada spesies yang sama namun beIum dikaitkan dengan defisiensi suatu vitamin (Sandnes,
1991). Defisiensi vitamin C pada ikan dapat disebabkan kurang tersedianya senyawa ini
dalam ransum yang diberikan,
sedangkan ikan tidak mampu mensintesis vitamin C,
walaupun sel-selnya membutuhkan vitamin C (Faster dalam Sandnes, 1991).
Ketidak
mampuan ikan mensintesis vitamin C disebabkan oleh tidak adanya enzim L-gulunolakton
oksidase yang berperanan dalam konversi L-gulunolakton
ke bentuk 2-keto-L
gulunnlakton, sebagai tahapan akhir dalam sintesis vitamin C (Chaterje &lam Soliman
el
a l . , 1986). Pendapat ini tidak berlaku untuk semua spesies, menurut Ikeda dan S a t o
(1964),
dan Yamamoto, Sato dan Ikeda (1978)
ikan mas
(C'prit~trs carpio Linn)
sanggup mengkonversi D-glukosa ("C) dan D-glokoronolakton ("C) ke-asam askorbat
11
dan dijumpai aktivitas gulunolakton oksidase di hati, namun enzim ini tidak
(14C),
ditemui pada ikan trout, kelompok Tilapia sp. (Soliman rf al., 1986). pada ikan lele
(Ichtalurus sp.) (El-Naggar dan Lovell, 1991). Pengamatan Yarnamoto, st al. (1978)
memperlihatkan hahwa kecepatan biosintesis L-gulunolakton k e bentuk L-asam askorbat
pada hepatopankreas ikan mas hanya sepertiga kecepatan yang dijumpai pada hati tikus.
Hasil penelitian Dabrowski. Hinterleitner, Sturmbaeur dan Wiser (1988) dengan menggunakan contoh ikan mas pada berbagai fase perkembangan menyimpulkan bahwa vitamin
C mutlak diperlukan dalam stadia larva.
Selama ernbrio berkembang kandungan vitamin
C telur cepat menurun (Sato, Yoshinaka, Kuroshima, Marimoto dan Ikeda, 1987).
Ketersediaan vitamin C pada stadium awal ini sangat bergantung kepada ransum yang
diterima oleh induk.
Kebutuhan vitamin C bagi ikan sangat berkaitan dengan status kandungannya
dalam jaringan dan aktivitas fisiologis. Pemberian vitamin C berlebihan akan meningk a t k a n sekresi vitamin C melalui urine, namun dapat juga meningkatkan kadar d a l m
jaringan,
ditimbun ddarn bagian sel yang dapat dilalui air, dan tidak dapat menyusup ke
selaput lemak (Goodman, 1994).
Masuknya vitamin C ke dalam sel melalui sistem
transport aktif senyawa yang larut air (Tucker dan Halver, 1984).
Dengan teknik radio
isotop Tillotson dan Mc G o w a &lam Horning, Glathaar dan Mosser (1984) menemui
hanya 10-20% asam askorbat yang tidak dimetabolisme oleh kera,
dan disekresikan
meIalui air seni, jika asam askorbat diberikan pada kadar rendah, dengan pemberian 10
mg/kg bobot hadan, sekresi asam askorbat yang tidak di metabolisme rneningkat mencapai
.
75%
Percobaan Halver (1972) pada ikan trout ukuran 300-500 g yang menerima pakan
dengan suplerner~tasiasam askorbat (vttamin 14C) 50 mg/kg ransum. lnencatat adanya
12
asam askorbat (%) pada air seni dan tinja masing-masing dengan kadar 3% dan 0.5%
selama masa koleksi 72 jam. Percobaan lain dengan menggunakan ikan trout ukuran 250
g y a n g dipelihara selama 3 bulan dan suplementasi asam askorbat ransum ditingkatkan
menjadi 100 mg/kg,
Tucker dan Halver (1984) telah mencatat bahwa kadar asam
askorbat "C pada air seni dan tinja meningkat menjadi 10% dari dosis yang diberikan.
Dengan demikian absorbsi vitamin C akan dibatasi jika diberikan berlebihan.
Dabrowski
d a n K o c k (1989) mencatat bahwa absorbsi vitamin C pada ikan rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss) dilakukan pada bagian lambung (20.7 %), pyloric caeca (23.4 %),
usus halus tengah (2 1.9 O h ) dan usus halus posterior (20.1 %).
Pengamatan
dengan teknik radio isotop menggunakan "labelling"
'"
pada
vitamin C yang diujikan pada ikan trout ukuran 300-500 g diketahui bahwa asam askorbat
cepat diakumulasikan pada jaringan di mana kolagen terbentuk dan sel-sel yang sedang
melaIcukan regenerasi. Akumulasi juga tejadi pada organ-organ yang banyak melakukan
aktivitas metabolisme seperti hati, otak, ginjal dan adrenal'(Lovel1, 1984). Pengamatan
oleh Agrawal dan Mahajan (1980) terhadap kadar vitamin C jaringan dari spesies ikan
karper India (Labeo rohita, h b e o calbasrt, Cirrhina mrigala dan
C l a f l a catla),
memperlihatkan bahwa kandungan vitamin C tertinggi pada jaringan limpa mencapai
450-580 ug/g, kemudian diikuti andrenal 230-287 ug/g, ovarium 206-286 ug/g,
147-272 ug/g dan otak 25-102 ug/g.
hati
Namun dikemukakan lebih lanjut bahwa kadar ini
sangat bervariasi pada setiap organ bergantung kepada ukuran ikan, jenis kelamin,
aktivitas fisiologis dan musim.
Sandnes (1991) mengemukakan
bahwa vitamin C dapat diakunlulasi dalam
jaringan dan digunakan saat dibutuhkan. Percobaan Tucker dan Halver ( I 984). dengan
13
teknik radio isotop,
mencatat bahwa waktu paruh biologik vitamin C dalam jaringan hati,
ginjal dan kulit ikan trout sangat dipengaruhi oleh kadar vitamin C yang disuplementasikan
dalam ransum.
mencapai 3 bulan,
4 0 hari .
Jika kadar vitamin C ransum rendah,
waktu paruh biologik dapat
dan jika kadar vitamin C ransum mencukupi waktu paruh mencapai
Menurut Dabrowski (1 9 9 I ) berkurangnya asam askorbat jaringan sangat
bergantung kepada katabolisme.
Kecepatan katabolisme asarn askorbat ikan trout yang
s e d a n g tumbuh adalah 4.68% dari pool asam askorbat, dan kandungan asam askorbat
tubuh menurun bertahap jika ikan menerima pakan defisien vitamin C. Asam askorbat
cepat dioksidasi ke hidro asam askorbat. Pengamatan Dabrowski (1991) pada jaringan
ikan trout telah memperlihatkan adanya bentuk dehidro askorbat pada plasma darah, hati,
ginjal dan usus halus. Rasio bentuk reduksi asam askorbat terhadap asam askorbat setiap
jaringan tersebut tertinggi pada usus halus yaitu 35.976, kemudian hati 28.2%, ginjal
24. I%,
plasma 13.4% dan lambung 13.5%.
Terbentuknya dihidro askorbat dalam
jaringan menunjukkan adanya penggunaan vitamin C dalam sel, mengingat vitamin C
sebagai ko-faktor dalam berbagai reaksi hidroksilasi pada sel (Sandnes,l991).
Rasio
reduksi L-asam askorbat k e bentuk dehidro askorbat dikontrol oleh proses biosintesis sel
(Halver, 1985).
Dalam jaringan ikan salmon, asam askorbat mudah dikonversi k e askorbat-2-sulfat,
suatu bentuk askorbat stabil dari jaringan ikan (Halver, I985:Tucker dan Halver, 1984).
Shiau dan Shen (1995) juga mencatat bahwa, asam askorbat dalam jaringan daging ikan
nila
(Oreochromis nilotiqrs)
askorbat-2-sulfat,
sebagian
besar
diakumulasikan
sedangkan pada hati dalarn bentuk askorbat.
daIam
bentuk
Benitez dan.Halver
LI'Lr/m??
HaJver (1985) mengemukakan bahwa asam askorbat dari ransum dapat dikonversi
14
ke bentuk askorbat-2-sulfat, dan suatu sistem enzim askorbat-2-suIfohidroIase yang ada
pada jaringan ikan salmon dapat mengkonversi kembali askorbat-2-sulfat ke bentuk
L-asam askorbat untuk reaksi oksidasi-reduksi dalam jaringan, namun askorbat sulfohidrolase dapat dihambat oleh L-asam askorbat, sehingga kadar asam askorbat dalam
jaringan akan dapat dikontrol. Askorbat-2-sulfat tersedia memelihara konsentrasi asam
askorbat dalam sirkulasi dan sistem interaksi jaringan (Haiver, 1985).
Percobaan Tucker
d a n Halver (1984) terhadap distribusi vitamin C dalam jaringan mencatat bahwa, pool
asam askorbat-2-sulfat dalam jaringan ikan trout menurun setelah jumlah pakan yang
mengandung vitamin C diturunkan.
Bentuk kimia stabil hasil oksidasi pertama asam askorbat adalah dehidro-asam
askorbat yang ada dalam jumlah kecil pada jaringan. Oksidasi lanjut dari dehidro asam
askorbat menghasilkan oksalat, asam threonik dan karbondioksida,
dan semua senyawa
ini dapat disekresikan melalui air seni (Horning et a]., 1984).
Akumulasi Vitamin C pada Ovarium
Saat Siklus Reproduksi
~ a A a skadar
i
vitamin C ovarium pada saat siklus reproduksi dari beragam spesies
ikan telah dicatat oleh beberapa peneliti, sehingga menimbulkan spekulasi kemungkinan
pentingnya senyawa ini saat ovarium berkembang.
Kadar vitamin C ikan karper cmsian
(Carnssius carassius) saat siklus reproduksi berkisar 92-203 ug/g (Saeymour, 198 1 a),
ikan cod Atlantik (CkEbr~srnorrh~a)
berkisar 80-203 ug/g (Sandnes dan Braekkan, 198 1 ),
dan karper India berkisar antara 225-286 up/g (Agrawal dan Mahajan, 1980).
Hilton,
15
Cho, Brown dan Slinger (1979) mendapatkan bahwa kadar vitamin C ovarium ikan trout
(C1ncorhyncht1.s
mykiss) mencapai maksimum, yaitu 45 1 ug/g bobot basah pada saat akan
ovulasi
Dengan memperhatikan indeks gonad somatik (IGS) Sandnes dan Braekkan
(1 9 8 1) mencatat bahwa akumulasi vitamin C tertinggi menjelang I G S
mencapai
maksimum, kemudian menurun saat terjadi ovulasi. Pengamatan pada ikan cod Atlantik
memperlihatkan bahwa kandungan vitamin C pada stadia awal ovarium tumbuh, yaitu
150 ug/g dan tertinggi mencapai 500 ug/g (Sandnes, 1984).
Menurut Ishibashi, Kato
dan I k e d a (1994) pembahan vitamin C ovarium selama periode pematangan ovarium
berkaitan dengan meningkatnya ukuran oosit karena akumulasi material kuning telur.
Agrawal dan Mahajan (1 980) mencatat bahwa kandungan vitamin C darah ikan karper
India yang ditangkap di a l m mencapai titik terendah saat musim pemijahan yaitu mencapai
17.95- 19.65 ug/ml,
dan saat pertumbuhan ovarium kadar vitamin C mencapai kisaran
20.39-25.95 ug/ml. Disimpulkan pula bahwa ada mobisasi vitamin C yang diperoleh dari
pakan alami k e ovarium saat siUus reproduksi.
Cardinal dan Underfiiend d a l u r t t Soliman et al. ( 1986) rnenyatakm bahwa tingginya
kandungan vitamin C saat ovarium berkembang berkaitan dengan kngsinya sebagai
kofaktor enzim prolil dan lisin hidroksilase yang mengkatalis hidroksilasi dari prolin dan
lisin, dan esensial untuk perkembangan normal jaringan kolagen yang banyak terdapat
dalam ovarium. Kolagen merupakan penyusun utama dinding dalam kantung ovarium
(Sandnes,
Ulgenes,
Braekkan dan Utne, 1984).
Hatver e l al. dalarn Waagbo,
Thorson, dan Sandnes (1989) telah rnengamati adanya akumulasi vitamin C di jaringan
kolagen yang mengitari sel telur,
sehingga disimpuikan bahwa pada saat gonad
berkembang vitamin C digunakan untuk sintesis kolagen
Pendapat latn dikernukakan
16
oleh Sandnes (1984) bahwa meningkatnya kadar vitamin C dalam siklus reproduksi
berhubungan dengan proses "vitelogenesis".
Proses ini dikontrol oleh hormon estrogen
yang mampu menstimulasi hati untuk mensintesis protein spesifik,
yang kemudian
diakumulasikan pada oosit bersama senyawa lipida. Vitamin C pada ovarium berperanan
dalam reaksi bidrokilasi sintesis hormon steroid reproduksi.
Ini didukung dari hasil
pengamatan Halver &lam Waagbo el aC. (1989) yang mencatat adanya akumulasi vitamin
C pada jaringan folikel yang mengitari sel telur. Penelitian Saeymour (1 9 8 1 b) mencatat
adanya penurunan vitamin C yang cepat pada ovarium ikan karper (Carassius carassius)
setelah penyuntikan ekstrak hifofisa. Akiyama, Shimishi. Yamamoto dan Hirose (1 990)
melaporkan adanya penurunan vitamin C ovarium setelah induk ikan sardin (Sardinops
saxmelanostic) disuntik dengan LHRH.
Ahmad,
Nashim,
Mahmood, dm Javaid
(1990) juga mencatat hubungan tertentu antara dosis vitamin C dan estrogen pada ovarium
ikan nila.
Penelitian Waagbo et al. (1989) mencatat bahwa a d a perbedaan yang sangat
nyata kadar estradiol induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 2000
mg/kg pakan dan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C pada rnasa
vitelogenesis.
Pengaruh Vitamin C terhadap Perkembangan
Ovarium dan Kualitas Telur
Penelitian Alava, Kanazawa, dan Teshima (1993 a ) memperlihatkan bahwa,
pemberian askorbil-2-fosfat magnesium suatu bentuk turunan vitamin C dalam ransum
dapat menstimulasi perkembangan gonad induk udang f'ertaztr.~,juporricr,s betina.
17
Percobaannya dengan menggunakan pakan yang disuplementasi askorbil-monofosfat
magnesium masing-masing 500, 1000, 1500 mg/kg, setelah pemeliharaan 170 hari nilai
IGS induk betina mencapai 2.40,2.5 1 dan 1.8 1% sedangkan nilai IGS induk jantan adalah
0.76, 0.87 dan 0.9 1%. sedangkan untuk kontrol tidak diperoleh data, karena induk mati
sebelum berakhirnya percobaan.
Penelitian Ishibasi el a/. (1 994) terhadap ikan 'Yapanese
parrot" (Oplegnathusfasciatus) memperlihatkan bahwa ada peningkatan indeks gonad
somatik dengan peningkatan dosis vitamin C yang diberikan. Ikan yang menerima pakan
dengan suplementasi vitamin C 0, 300, 1000, 3000 mg/kg memperlihatkan nilai IGS
masing-masing 0.5, 0.9, 1.4, 2.2 % untuk induk betina, dan 0.4, 0.6, 0.5, dan 0.8 %
untuk induk jantan.
Pengamatan secara mikrokospis terhadap ovarium juga memperli-
hatkan prosentase induk yang mencapai aktivitas "vitelogenesis" meningkat dengan
peningkatan dosis vitamin C, induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C
tidak menunjukkan adanya oosit pada fase "vitelogenesis",
suplementasi vitamin C 300,
sedangkan dengan perlakuan
1000. dan 3000 mg/kg pakan jumlah induk yang ovarinya
mencapai stadium "viteIogenesis" hingga matang adalah 20, 40, 80%.
Solirnan eta/.,
(1 986) yang mengamati pengaruh asam askorbat terhadap penampilan reproduksi ikan
O r e o c h r o m i s mossambicus melaporkan bahwa ikan yang menerima pakan dengan
suplementasi vitamin C biasa 1250 mglkg memperlihatkan gejala kesiapan memijah lebih
cepat dua minggu dibandingkan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin
C.
Percobaan Priyono,
Sugama, Azwar, dan Setiadharma (1996) mencatat bahwa
ikan bandeng (Chams chutros Forskal) yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium 1500 rng/kg pakan menunjukkan frekuensi bertelur lebih tinggi
18
dibandingkan induk yang menerima pakan dengan suplementasi 1000 mg/kg pakan, dan
tidak ditemui induk yang memijah pada kontrol.
Vitamin C ovarium induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C
lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin
C, namun kadar vitamin C ovarium dapat mencapai kadar tertentu (Ishibashi el al. 1994).
Percobaannya memperlihatkan bahwa, kandungan vitamin C ovarium induk yang
menerima pakan dengan suplementasi vitamin C masing-masing 0, 300, 1000 dan 3000
m g k g pakan mencapai 70.6, 657.1, 898.4 dan 866.2 ug/g bobot basah.
Pengamatan
Waagbo el a!. (1989) terhadap ikan rainbouw trout memperlihatkan bahwa kandungan
vitamin C ovariurn induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 2000
mgflcgmencapai 238 ugfg bobot basah,
sedangkan induk yang tidak
menerima
suplementasi vitamin C mencapai 25 ug/g setelah pemeliharaan selama 4 bulan dan
kemudian turun menjadi 8 ug/g setelah pemeliharaan 5 bulan. Alava ei al. (1993 a) yang
mengamati pengaruh askorbil-2- fosfat magnesium terhadap perkembangan ovarium induk
udang Penaetrsjapnic~rrsmemperlihatkan adanya peningkatan kadar vitamin C ovarium
dengan rneningkatnya dosis yang diberikan. Kadar vitamin C ovarium induk udang yang
menerima pakan dengan suplementasi askorbil fosfat magnesium masing-masing 500,
1000, 1500 mg/kg pakan adalah 436.8, 1176.1, 1417.8 ug/g. Percobaan Soliman ef al.
( 1986) terhadap ikan Oreochromis mossambic7is mencatat kandungan vitamin C ovarium
induk yang menerima suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan adalah sebesar 429.39
uglg dan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C mencapai 46.77 ug/g.
Soliman et a / . (1986) mengemukakan bahwa vitamin C dalam ransum yang
diterinia oleh induk dapat ditransfer ke telur. dan disiapkan untuk perkembangan embrio.
19
Pengamatannya pada telur ikan Oreochromrs mosrzmhicus dari induk yang menerima
pakan dengan suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan mengandung vitamin C
201.83 ug/g dan daya tetas telur mencapai 89.33%,
sedangkan kandungan vitamin
C telur dari induk yang menerima pakan tanpa vitamin C tidak terdeteksi dan
mempunyai daya tetas 56.9096, dan 85% pascalawa yang dihasilkan mengalami
gangguan pertumbuhan tulang belakang.
Sandnes
(1984)
telah mengamati
kandungan vitamin C telur dari 2 pernbenihan ikan salmon di Norwegia, pertama dari
kelompok pembenihan yang memiliki derajat penetasan telur yang tinggi, dan kedua
dari kelompok yang selalu rnenghasilkan derajat penetasan telur yang rendah, dan
diketahui bahwa kadar vitamin C telur dari kelompok pertama adalah 6 5 ug/g dan dari
kelompok kedua adalah 5 ug/g. Percobaan lanjutannya dengan menggunakan induk
rainbouw trout dan diberi pakan dengan suplementasi vitamin C 1000 mg/kg pakan
mencatat bahwa kadar vitamin C telur mencapiti 3 1 ug/g, derajat penetasan mencapai
87%, sedangkan telur dari induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin
C berkadar 15 ug/g dan derajat penetasan 6 2 %. Sandnes (1984) mencatat pula
bahwa telur-telur ikan rainbouw trout yang diperoleh dari alam mengandung vitamin
C 50-100 ug/g,
dan mernpunyai daya tetas yang Iebih baik.
Peneliti lainnya
Dabrowski dan Blom (1994) melaporkan bahwa telur dari induk ikan rainbouw trout
(Oncorhynch~smykiss) yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil-2-fosfat
magnesium 850 m g k g pakan mengandung vitamin C 3 16 ug/g dan mempunyai daya
tetas 25.3-46.7% sedangkan tanpa suplementasi mencapai 8 2 ug/g dengan daya tetas
telur berkisar 9.4-22.6%.
Percobaan
Akiyama er ~ r 1 ( .1 990) pada ikan sardin
20
( S a r d i n o p sagarmelanosficfa) mencatat bahwa tidak ditemui telur yang menetas
dari induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 80 mg/kg pakan, dan
kemudian disuntik dengan LHRH, sedangkan induk yang rnenerima pakan dengan
suplementasi vitamin C lebih tinggi yaitu 3200 mglkg pakan menghasilkan daya tetas
telur lebih baik. Vitamin C yang ditransfer dari induk ke material telur berperanan
daiam mendukung perkembangan embrio (Sandnes, 1991). Menurut Sandnes el a l .
(1984) kandungan vitamin telur 20 ug/g merupakan batas terendah untuk
perkembangan normal embrio ikan trout.
Pengaruh Vitamin C Terhadap Indeks Hepar
Somatik dan Lipida Ovarium
Rasio bobot hati terhadap tubuh (indeks hepar somatik) akan menunjukkan
perubahan
selama siklus reproduksi, indeks paling tinggi pada musim sebelum
memijah dan paling rendah setelah memijah (Delahunty dan D e Vlaming, 1980).
l n d e k s hepar somatik (IHS) akan meningkat hingga batas tertentu
dengan
meningkatnya suplementasi vitamin C (Ishibashi el al., 1994: Alava ef ui., 1993 a).
Ishibashi el al. (1994) mencatat bahwa nilai indeks hepar sornatik ikan Oplegnafhris
fasciafzcs
adalah 1.7, 2.1, 2.2 d m 2.2% untuk ikan yang diberi pakan dengan
suplementasi vitamin C 0, 300, 1000 dan 3000 mg/kg pakan. Alava er al. (1993 a )
mencatat pula bahwa pada induk udang (Penaerrs japottic7ts) yang menerima pakan
dengan suplementasi askorbil fosfat magnesium kadar 500, 1000 dan 3000 mg/kg
21
pakan selama 72 hari, indeks hepar somatik masing-masing adaIah 2.92, 3.07 dan
2.25%. Hal yang sama ditemui oleh Waagbo eta!. (1989) pada induk ikan rainbouw
trout (Oncorhynchus mykiss) bahwa induk yang diberi pakan dengan suplernentasi
vitamin C 2000 mg/kg indeks hepar somatik mencapai 1.80% dan induk dengan
perlakuan kontrol 1.43%.
Menurut Jensen (1979) peningkatan bobot hati menjelang perkembangan
ovarium
disebabkan peningkatan fraksi Iipida. Fraksi lipida akan ditransfer dari
cadangan lipida tubuh dan lipida hati k e ovarium selama
proses pertumbuhan
ovarium. Tejadinya mobilisasi lipida k e ovarium dapat diperlihatkan dari fluktuasi
kandungan lipida plasma selama siklus reproduksi. Lipida plasma meningkat pada
awal perkembangan ovarium, kemudian menurun menjelang ovulasi (Halver, 1989).
Singh dan Singh
(1990) yang mengamati hubungan Iipida plasma
dengan
kematangan ovarium ikan lele India (Heteropneustes fo.~.viIis)mencatat bahwa pada
fase persiapan tumbuh ovarium t e j a d i aktivitas lipogenik pada hati, dan kemudian
selama fase perkembangan awal terjadi lipolisis trigliserida yang ditandai dengan
naiknya asam lernak bebas ddam plasma.
Menurut Kosutarak, Kanazawa, Teshima
dan Koshio (1994) vitamin C dapat menginduksi lipolisis yang menurunkan lipida
jaringan
dengan menstabilisasi norepineprin, juga berhngsi sebagai donor elektron
untuk desaturasi asarn lemak. Percobaan Kosutarak e t al. ( 1995 a, 1995 b) terhadap
mayor dan Paralicthys olivacerrs menunjukkan bahwa kadar lipida
anak ikan Papn~s
hati dan tubuh ikan yang menerima ransum dengan suplementasi askorbil fosfat
magnesium lebih tinggi dibandingkan ikan yang menerima ransum tanpa suplementasi.
22
Dengan suplementasi masing-masing 0, 50, 500 mg/kg pakan, kandungan lipida hati
dan daging ikan Pagums mayor masing-masing mencapai 24.5, 43.3, 42. 1% bobot
basah daging dan 5.8, 8.1, 8.0% bobot basah hati. Waagbo el al. (1989) mencatat
pula bahwa suplementasi vitamin C dalam ransum dapat meningkatkan kandungan
lipida.
Lipida ovarium induk ikan rainbouw trout yang menerima pakan dengan
suplementasi vitamin C mencapai 14.3 g/100 g,
sedangkan yang menerima pakan
tanpa suplementasi vitamin C hanya 12.6 g/100 g. Percobaan oleh Kosutarak el a/.
(1995 a) terhadap benih ikan Pagurus mayor mencatat bahwa pengurangan askorbil
fosfat megnesium menghasilkan rendahnya kandungan lipida trigliserida pada hati dan
daging.
Ishibashi ef a/.(1994) mengemukakan bahwa suplementasi vitamin C dalam
.ransum pakan induk mempengaruhi kadar trigliserida darah pada saat siklus
reproduksi. Dengan suplementasi vitamin C masing-masing 0, 30, 1000 dan 3000
mg/kg pakan tercatat rata-rata trigliserida plasma darah masing-masing 122, 125, 186
d a n 240 mg/dl.
Kandungan lipida saat perkembangan ovarium dan teIur sangat bervariasi
bergantung kepada jenis ransum, strategi reproduksi spesies dan Iamanya nutrisi
endogen, keadaan fisiologis induk, stadia perkembangan ovarium (Balon dalam
Heming dan Budington, 1989).
Henderson dan Almatar (1989) yang mengamati
ikan CIupen harengus mencatat bahwa kandungan lipida ovarium tertinggi terjadi
pada tingkat kernatangan gonad 111, dan terendah setelah memijah.
Pola peningkatan
lipida ini berkaitan dengan kebutuhan energi selama proses perkembangan gonad dan
persiapan lipida telur
Teshima, Kanazawa, Koshio,
Hironauchi
(1988) yang
23
mengamati perkembangan ovarium udang Penaeusjaponictrs mencatat bahwa lipida
utama yang diakumulasikan adalah trigliserida dan fosfotidilkholin. Hal yang serupa
dikemukakan pula oleh Gehring ahlam Teshima ef a l . (1988) bahwa peningkatan
lipida pada ovariurn udang Penaeus Jtrorarum pada tingkat kematangan gonad
hingga 111 terutama adaiah peningkatan bentuk lipida netral yang meliputi trigliserida,
bentuk sterol bebas, dan lipida polar (fosfolipid). Pengamatan Wiegand (1984)
terhadap ikan Siganus gajairdneri mencatat bahwa vitelogenin yang diakumulasikan
pada sel telur s a t vitelogenesis mempakan senyawa lipid-protein yang mengandung
280 ug lipida polar dan 6 0 ug trigliserida per mg protein.
Singh dan Singh (1 990)
yang mengamati ikan lele India (Heferopneusfes fossilis) mencatat bahwa bentuk
lipida trigliserida pada ovarium meningkat cepat dari fase persiapan (TKG I) ke fase
sebelum pemijahan (TKG IV) dan mencapai puncak pada stadia ini,
kemudian
menurun setelah memijah. Kadar trigliserida hati mengikuti pola yang sama dengan
trigliserida ovarium.
Meningkatnya kadar lipida plasma selama perkembangan ovarium distimuli
oleh
hormon
esterogen
(Halver, 1989).
Menurut Singh dan Singh (1990)
peningkatan kadar gonadotropin dan hormon steroid pada ikan lele (Heferopneusfes
fossilis) pada fase persiapan tumbuh gonad meningkatkan kecepatan lipogenesis.
Hasil yang serupa juga diperlihatkan dari percobaan D e VIeming dalanz Singh dan
crr,.assizrs, bahwa estradiol dapat rnenstimulasi
Singh ( 1990) terhadap ikan C,'aras.~itts
aktivitas lipogenik seIama fase awal tumbuh gonad dan selanjutnya pemberian
gonadotropin telah menstimulasi sintesis trigliserida-fosfolipid. Percobaan
De
24
Vlarning, Singh, Paquette dan Vuchs (1977) pada ikan Cararsiius carassirrs mencatat
bahwa pada musim pemijahan terjadi peningkatan protein-fosfolipid (vitelogenin)
pasma, namun dengan penyuntikan estradiol ada peningkatan senyawa ini bukan pada
masa reproduksi. Fraksi lipoprotein yang sama dapat diinduksi dengan pemberian
estradiol pada jenis jantan
(Vanston dan H o ahlam D e Vlarning el al., 1977).
Akand e l al. dalam Kosutarak et al. (1995 b) mengemukakan bahwa asam
askorbat dapat mempengaruhi komposisi asarn lernak dan penggunaan asam lernak n-3
dari ikan trout.
Percobaan Akand, Sastom, Yoshinaka dan Ikeda (1992) mencatat
adanya perbedaan kandungan asam lemak daging dan jeroan antara ikan trout yang
menerima pakan dengan suplementasi dan yang tidak menerima suplementasi vitamin
C setelah mengalami masa pelaparan 2 minggu. Pada ikan trout yang diberi pakan
dengan suplementasi vitamin C 20-200 mgllOO g pakan, kandungan asam lemak tidak
jenuh
(20:5n3 dan 22:6n3) lebih tinggi setelah mengalami masa pelaparan.
Disimpulkannya bahwa suplementasi vitamin C dalam ransum akan meningkatkan
retensi asam Iemak tidak jenuh pada tubuh ikan.
Percobaan Miyasaki,
Sato,
Yoshinaka dan Sakaguchi (1 995) mencatat bahwa kandungan lipida daging dan jeroan
ikan rainbow trout yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C bentuk
askorbil-2-fosfat magnesium selama 6 0 hari berbeda sangat nyata dengan keadaan
lipida awal setelah mengalami masa pelaparan 60 hari, sedangkan ikan tanpa
suplementasi tidak rnemperlihatkan perbedaan. Disimpulkannya bahwa vitamin C
dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lipida selama masa pelaparan. Kesimpulan
ini didukung dari pengamatannya terhadap kadar asil karnitin hati, setelah mengalami
25
masa pelaparan 60 hari. Asil karnitin hati dari induk yang menerima pakan dengan
suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium nyata lebih tinggi dibandingkan induk yang
menerima pakan tanpa suplementasi. Penurunan kadar vitamin C hati sebelum dan
sesudah pelaparan dari induk yang menerima pakan dengan suplementasi sangat tinggi
dibandingkan tanpa suplementasi, yang menunjukkan bahwa vitamin C mempunyai
peranan dalam metabolisme lipida.
Menurut Horning el al. (1984) vitamin C
berperanan dalam sintesis senyawa karnitin yang berperanan dalam metabolisme
lipida.
Sterol bebas adalah satu senyawa dari kelas lipida yang terkandung dalam
ovarium, dan pada udang penaeid kadarnya berkisar 6.4
1988).
- 22%
(Teshirna ef al.,
Di antara sterol, kolesterol ditemui yang paling dominan (Midelditch,
Msler, Hines. Ward, Lawrence, 1980). Wiegand dan Peter (1980 b) mengernukakan
bahwa ada kaitan antara kolesterol serum dan hati dengan meningkatnya aktivitas
ovarium. Gonido ei al. (1990) mencatat bahwa kolesterol serum ikan Scyliorhinus
c a n i c u l a mencapai puncak sesaat sebelum "vitelogenesis". Kemudian Singh dan
fossilis) mencatat
Singh (1990) yang mengamati induk ikan lele India (Heterop~iastes
bahwa kolesterol bebas pada hati akan maksimal pada fase sebelum rnemijah (TKG
111), dan menurun saat memijah,
perkembangan ovarium.
kemudian meningkat kembali pada awal
Kolesterol bebas dan kolesterol teresterifikasi di hati
meningkat sangat nyata pada saat fase persiapan dibandingkan pada fase istirahat, dan
menunjukkan adanya hidrolisis kolesterol teresterfikasi ke bentuk kolesterol bebas,
kernudian dibebaskan ke darah dan ditransfer ke ovariurn untuk streoideyenesis.
26
Wiegand dan Peter (1980 a) rnencatat adanya peningkatan kolesterol bebas dan
rendahnya kolesterol teresterifikasi pada hati dan plasma darah ikan Carassius
carassius bersamaan turunnya kolesterol bebas dan teresterifikasi ovarium yang
menunjukkan adanya potensi yang tinggi dari hormon gonadotropin yang menyebabkan terjadinya hidrolisis kolesterol teresterifikasi k e bentuk kolesterol bebas.
Mukherjee dan Bhattacharya (1982) juga telah mencatat bahwa dengan penyuntikan
ekstrak kelenjar
hipofisa terjadi penurunan yang tinggi kolesterol total dan
teresterifikasi ovarium pada ikan (Channapunctatus). Wiegand dan Peter (1980 a)
telah mencatat pula adanya penurunan kolesterol plasma setelah penyuntikan
gonadotropin pada ikan Carassius carassius, yang diduga t erjadinya pengambilan
kolesterol oleh ovarium untuk sintesis hormon steroid reproduksi. Kanazawa, Chim
dan Laubier (1988) yang mengamati akumulasi kolesterol pada organ udang Penaid
mencatat bahwa pada saat aktivitas perkembangan gonad,
kandungan kolesterol
ovarium mencapai 6-40 kali lebih tinggi dibandingkan organ jeroan,
daging dan
hepatopankreas. Singh dan Singh ( 1990) yang mengarnati ikan Heleropneustes
fossilis mencatat bahwa kandungan kolesterol bebas dan teresterifikasi pada ovarium
akan meningkat sejak fase persiapan dan minimal pada fase sebelum pemijahan,
kernudian meningkat kembali selama pemijahan.
Menurut Kanazawa e t al. (1988)
akumulasi kolesterol pada ovarium tidak saja berperanan dalam menyiapkan bahan
untuk sintesis hormon steroid, narnun juga dipersiapkan untuk telur, yang kemudian
dipakai larva selarna fase tumbuh Hubungan vitamin C terhadap akumulasi koIesterol
pada ikan telah dicatat pula oleh Kosutarak e / al. (1995 a dan b ). namun terhadap
27
juvenil i kan sebelah (Paralichthys o l i ~ ~ a c e idan
~ s ) ikan "red sea bream " ( P a g ~ r u s
mayor), ditemui bahwa pada jaringan hati dan daging ikan yang menerima pakan
dengan suplementasi askorbil-2-fosfat magnesium mengandung kadar kolesterol yang
lebih rendah dari ikan yang menerima pakan tanpa suplementasi askorbil-2-fosfat
magnesium.
Hasil percobaan Ishibasi el al. (1 994) mengenai pengaruh vitamin C terhadap
induk ikan O p i e p ~ a f h r r s j a s c i a f ~
mencatat
~s
bahwa ada korelasi antara kandungan
kolesterol plasma dengan kadar suplementasi vitamin C dalarn ransum. Kandungan
kolesterol plasma adalah 18 1, 183, 195, 150 mg/dl pada induk yang menerima pakan
dengan suplementasi vitamin C masing-masing 0, 300, 1000 dan 3000 mg/kg pakan
d a n indeks gonad somatik induk masing-masing adalah 0.5, 0.9, 1.4 dan 0.8%.
Waagbo et al. (1989) yang mengamati peranan vitamin C terhadap induk ikan trout
mencatat bahwa pada saat vitelogenesis,
kandungan kolesterol serum induk yang
menerima pakan dengan suplementasi asam askorbat 2000 mg/kg pakan pada
periode awal lebih rendah dibandingkan dengan induk yang menerima pakan tanpa
suplementasi asam askorbat, namun menjelang
kolesterol meningkat mendekati sama.
musim
reproduksi kandungan
BAHAN DAN METODE
Tahapan Percobaan
Percobaan ini dilaksanakan dalam beberapa tahap, meliputi:
I.
Pengamatan
dan
percobaan
pendahuluan
informasi hubungan indeks gonad
tingkat kematangan gonad (TKG),
perkembangan.
yang bertujuan mendapatkan
somatik (ISG) induk betina dengan
diameter oosit pada setiap stadium
kandungan vitamin C ovarium saat siklus reproduksi,
ketersediaan biologi (uji bioavailability) beberapa tipe vitamin C terhadap induk
ikan nila. Tipe vitamin C terpilih akan digunakan untuk percobaan utarna.
2.
Percobaan
utama, terdiri
dari
2
seri
kegiatan,
yaitu perfama untuk
mempelajari pengaruh tipe vitamin C terpilii terhadap perkernbangan ovarium
serta respon beberapa variabel fisiologis yang
mernpengaruhi perkembangan
ovarium, dan kdua mempelajari mutu telur dan penampilan pascalarva.
Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Loka Penetitian Budidaya Perikanan
Pantai Gondol, Singaraja Bali.
BAHAN
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah ikan nila merah (Oreochromis sp.)
yang diperoleh dan dibesarkan di kolam Balai Benih Ikan Air Tawar Sanglah, Dinas
Perikanan Propinsi Bali.
29
Untuk pengamatan pendahuluan (1) mengenai kematangan ovarium (IGS dan
TKG), diameter oosit vitelogenesis, dan akumulasi vitamin C ovarium saat siklus
reproduksi digunakan ikan nila yang ditangkap dari kolarn-kolam pembesaran. Untuk
percobaan pendahuluan uji ketersediaan biologi, dan percobaan utama digunakan
ikan umur 4 bulan. Ikan dibesarkan di kolam, dan selama pemeliharaan ikan diberi
pakan komersial. Untuk percobaan digunakan ikan betina, pemilihan jenis kelamin
ini dilakukan berdasarkan sifat-sifat morfoIogi bagian genital (Gambar 1).
anus
genital
poplla
ekor
Jantan
Gambar 1.
u;clcr
genital
anus
oviduct
ckor
Betina,
Perbedaan lubang genital ikan nila jantan dengan Iubang
genital ikan betina (Huet, 1987).
Pakan Percobaan
Pakan percobaan digunakan untuk uji ketersediaan biologi dan percobaan
utama. Pada percobaan ketersediaan biologi komposisi dasar pakan yang digunakan
sama dengan pakan percobaan utama, hanya berbeda dengan bentuk vitamin C yang
digunakan (yaitu, vitamin C biasa, askorbil-2-fosfat magnesium,
calsium dilapisi silikon,
askorbil-2-fosfat
vitamin C dilapisi lemak tanaman) dan alpha selulosa
substitusi. Komposisi bahan pakan untuk percobaan utama disajikan pada Tabel 1,
dan sebagai perlakuan adalah dosis askorbil-2-fosfat magnesium.
dengan
nama
perdagangan adalah fosfitan C, dan diproduksi Showa Denko Jepang dengan bobot
molekul 379.61 serta kandungan asam askorbat 46%.
Pemilihan askorbil-2-fosfat
magnesium didasarkan hasil uji ketersediaan biologi pada percobaan pendahuluan.
Retensi asam askorbat pada jaringan hati dan usus tinggi pada askorbil-2-fosfat
magnesium dibandigkan suplementasi tipe vitamin C laimya (Lampiran 8 a dan b),
dan prosentase hilang selama proses pembuatan pakan, dan selama perendaman 3
menit juga rendah (Lampiran 9 a dan b )
Sumber utama protein pakan adalah kasein dan tepung ikan, sedangkan sumber
lipida pakan addah minyak jagung dan minyak ikan. Kandungan protein dan lipida
pakan
masing-masing 35 dan
lo%,
didasarkan pada hasil percobaan W e dan Tuan
(1 988), serta Soliman et al. (1986).
Tabel 1. Komposisi" bahan pakan percobaan (%).
Bahan
0.000
Prosentase askorbil fosfat magnesium (APM)
0.075
0.150
0.225
0.300
Kasein
30.000 30.000
Tepung ikan
8.000 8.000
Tepung jagung 17.500 17.500
Dekstrin
17.500 17.500
Karboksi metil
selulosa
5.000 5.000
h4inyak ikan
4.500 4.500
Minyak jagung 4.500 4.500
Krom oksida
0.500 0.500
Mineral2'
4.000 4.000
Vitamin''
2.000 2.000
A-selulosa
6.500 6.425
1)
2)
30.000
8,000
17.500
17.500
30.000
8.000
17.500
17.500
30.000
8.000
17.500
17.500
5.000
4.500
4.500
0.500
4.000
2.cKm
6.350
5.000
4.500
4.500
0.500
4.000
2.000
6.275
5.000
4.500
4.500
0.500
4.000
2.000
6.200
"
diperhitungkan berdasarkan Jauncey dan Ross (19821, Watanabe (1988)dan
NRC (1983)
dan 3) (Lampiran 1 a dan b)
Pakan dibuat tiap 2 minggu dan disimpan dalam kantung plastik hitam pada
suhu
-
20" C. Kandungan vitamin C,
sekali setelah pernbuatan pakan.
protein dan lemak dianalisis tiap 2 minggu
Tabel 2 memperlihatkan hasil analisis proksimat,
dan kandungan vitamin C pakan percobaan untuk kegiatan percobaan utama.
Tabel 2 . Analisis proksirnat pakan percobaan
Komposisi
proksimat
0.000
Vitamin C
(mg/k g pakan)
0.000
35.100
Protein (%)
Lipid ( O h )
10.150
Abu (%)
5.920
43.880
Karbohidrat (O/O)
Energi ( H / g
Bobot kering 4' 421.62
GE : P rasio (KJ/
g protein)
48.430
4)
Prosentase askorbil-2-fosfat magnesium
0.075
0.150
0.225
325.870
34.920
9.910
5.940
44.3 1 0
421.77
48.650
678.470
35.390
9.730
5.420
44.920
422.27
48.3 1 0
0.300
1006.560 1330.620
35.740
34.750
10.020
10.210
5.720
6.010
43.880
44.310
422.62
47.840
418.10
49.200
diperhitungkan atas dasar 16.740 kJ/g protein dan karbohidrat, dan 37.665
kJ/g lipida.
Wadah Percobaan
Untuk percobaan digunakan 100 unit akuarium masing-masing berukuran
6 0 x 3 0 x 35 cm, dengan volume air 6 0 1, dilengkapi sistem aerasi, suplai dan
pembuangan air. Dinding luar akuarium dilapisi plastik hitam, dan bagian atas
ditutup dengan jaring. Penyediaan air k e daIarn akuarium dilakukan melalui pipa
yang dihubungkan dengan 2 bak penampungan air masing-masing bervolume 3 m3.
P a d a bak pertama dipasang aIat aerasi dan bak kedua dipasang pengatur suhu
32
(thermostate) untuk menjaga suhu air sekitar 2S0 C . Menurut Chervinski (1982)
reproduksi ikan nila mulai suhu 22" C. Suhu optimum antara 25-25PC (Rothbard
dan Pruginin, 1975).
berukuran 60 x 60 x40
Uji penetasan telur dilakukan dal