Kesesuaian Pemanfaatan Ruang dan Dampak Konversi Mangrove Terhadap Perubahan Kualitas Perairan di Muara Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan

(1)

(2)

Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)

1 ml MnSO 4 1 ml KOH-KI Dikocok Didiamkan

1 ml H 2SO 4 Dikocok Didiamkan

Diambil sebanyak 100 ml Dititrasi Na

2S2O3 0,0125 N

Ditambahkan 5 tetes amilum

Dititrasi dengan Na

2S2O3 0,0125 N

(Dihitung volume Na

2S2O3 0,0125 N yang terpakai = nilai DO akhir)

Sampel Air

Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat

Larutan Sampel Berwarna Coklat

Sampel Berwarna Kuning Pucat

Sampel Berwarna Biru

Sampel Bening


(3)

Sampel Air Sampel Air

DO akhir DO awal

Diinkubasi selama 5 hari pada temperatur 20oC

Dihitung nilai DO awal

Dihitung nilai DO akhir

Lampiran 2. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5

Sampel Air

Keterangan :

a. Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan nilai DO


(4)

Lampiran 3. Uji TSS dengan Metode Gravimetri (SNI 06-6989.3-2004)

a. Prinsip

Contoh uji yang telah homogen disaring dengan kertas saring yang telah ditimbang. Residu yang tertahan pada saringan dikeringkan sampai mencapai berat konstan pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC. Kenaikan berat saringan mewakili padatan tersuspensi total (TSS). Jika padatan tersuspensi menghambat saringan dan memperlama penyaringan, diameter pori-pori saringan perlu diperbesar atau mengurangi volume contoh uji. Untuk memperoleh estimasi TSS, dihitung perbedaan antara padatan terlarut total dan padatan total.

b. Bahan

a) Kertas saring (glass-fiber filter) dengan beberapa jenis:

1) Whatman Grade 934 AH, dengan ukuran pori (Particle Retention) 1,5 μm ( Standar for TSS in water analysis).

2) Gelman type A/E, dengan ukuran pori (Particle Retention) 1,0 μm ( Standar filter for TSS/TDS testing in sanitary water analysis procedures).

3) E-D Scientific Specialities grade 161 (VWR brand grade 161) dengan ukuran pori (Particle Retention)1,1 μm ( Recommended for use in TSS/TDS testing in water and wastewater).

4) Saringan dengan ukuran pori 0,45 μm. b) Air suling.

c. Peralatan


(5)

Lampiran 3. Lanjutan

b) oven, untuk pengoperasian pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC; c) timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 mg;

d) pengaduk magnetik; e) pipet volume

f) gelas ukur;

g) cawan aluminium;

h) cawan porselen/cawan Gooch; i) penjepit;

j) kaca arloji; dan k) pompa vacum.

d. Persiapan contoh uji

Gunakan wadah gelas atau botol plastik polietilen atau yang setara. e. Pengawetan contoh

Awetkan contoh uji pada suhu 4ºC, untuk meminimalkan dekomposisi mikrobiologikal terhadap padatan. Contoh uji sebaiknya disimpan tidak lebih dari 24 jam.

f. Pengurangan gangguan

a) Pisahkan partikel besar yang mengapung.

b) Residu yang berlebihan dalam saringan dapat mengering membentuk kerak dan menjebak air, untuk itu batasi contoh uji agar tidak menghasilkan residu lebih dari 200 mg.


(6)

Lampiran 3. Lanjutan

c) Untuk contoh uji yang mengandung padatan terlarut tinggi, bilas residu yang menempel dalam kertas saring untuk memastikan zat yang terlarut telah benar-benar dihilangkan.

d) Hindari melakukan penyaringan yang lebih lama, sebab untuk mencegah penyumbatan oleh zat koloidal yang terperangkap pada saringan.

g. Persiapan pengujian

a) Letakkan kertas saring pada peralatan filtrasi. Pasang vakum dan wadah pencuci dengan air suling berlebih 20 mL. Lanjutkan penyedotan untuk menghilangkan semua sisa air, matikan vakum, dan hentikan pencucian. b) Pindahkan kertas saring dari peralatan filtrasi ke wadah timbang aluminium.

Jika digunakan cawan Gooch dapat langsung dikeringkan..

c) Keringkan dalam oven pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC selama 1 jam, dinginkan dalam desikator kemudian timbang.

d) Ulangi langkah pada butir c) sampai diperoleh berat konstan atau sampai perubahan berat lebih kecil dari 4% terhadap penimbangan sebelumnya atau lebih kecil dari 0,5 mg.

h. Prosedur

a) Lakukan penyaringan dengan peralatan vakum. Basahi saringan dengan sedikit air suling.

b) Aduk contoh uji dengan pengaduk magnetik untuk memperoleh contoh uji yang lebih homogen.


(7)

Lampiran 3. Lanjutan

c) Pipet contoh uji dengan volume tertentu, pada waktu contoh diaduk dengan pengaduk magnetik.

d) Cuci kertas saring atau saringan dengan 3 x 10 mL air suling, biarkan kering sempurna, dan lanjutkan penyaringan dengan vakum selama 3 menit agar diperoleh penyaringan sempurna. Contoh uji dengan padatan terlarut yang tinggi memerlukan pencucian tambahan.

e) Pindahkan kertas saring secara hati-hati dari peralatan penyaring dan pindahkan ke wadah timbang aluminium sebagai penyangga. Jika digunakan cawan Gooch pindahkan cawan dari rangkaian alatnya.

f) Keringkan dalam oven setidaknya selama 1 jam pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC, dinginkan dalam desikator untuk menyeimbangkan suhu dan timbang.

g) Ulangi tahapan pengeringan, pendinginan dalam desikator, dan lakukan penimbangan sampai diperoleh berat konstan atau sampai perubahan berat lebih kecil dari 4% terhadap penimbangan sebelumnya atau lebih kecil dari 0,5 mg.

i. Perhitungan

mg TSS per liter = ___(A – B) x 1000___ Volume contoh uji, mL Keterangan:

A adalah berat kertas saring + residu kering, mg; B adalah berat kertas saring, mg.


(8)

Lampiran 4. Data Kualitas Air Pada Setiap Stasiun Stasiun I

Parameter Satuan

Hari, Tanggal Tanggal 13 Maret 2016 Tanggal 27 Maret 2016 Tanggal 10 April 2016

pH 6,8 6,8 7,5

DO Mg/L 1,87 2,8 4,11

Kedalaman m 1,20 0,96 2,50

Kecerahan Cm 20 19 20

PO4 Mg/L 0,19 0,194 0,084

NO3 Mg/L 7,9 4,1 5,7

Salinitas ppt 18 15 28

Suhu oC 32 31 32

BOD Mg/L 7,420 1,210 1,280

TSS Mg/L 175 116 127

Satsiun II

Parameter Satuan

Hari, tanggal Minggu, 13 Maret 2016 Minggu, 27 Maret 2016 Minggu, 10 April 2016

pH 6,9 6,9 7,6

DO Mg/L 5,23 4,3 6,16

Kedalaman m 3,4 4,3 2,40

Kecerahan Cm 47 30 30

PO4 Mg/L 0,14 0,164 0,085

NO3 Mg/L 6,6 5,5 5,6

Salinitas ppt 24 25 27

Suhu oC 34 33 34

BOD Mg/L 0,7200 0,6100 1,730


(9)

Lampiran 5. Data Pasut Saat Pengambilan Sampel Tanggal 10-16 Maret 2016


(10)

Lampiran 5. Lanjutan Tanggal 24-30 Maret


(11)

Lampiran 5. Lanjutan Tanggal 7-13 April 2016


(12)

(13)

Lampiran 7. Alat dan Bahan Penelitian Alat

Pipet tetes dan spuit suntik Botol Winkler

Refraktometer Lakban

Termometer pH meter


(14)

Lampiran 7. Lanjutan Bahan

Aquadest Alkohol 70% Amilum

H2SO4 KOH-KI MnSO4


(15)

Lampiran 8. Prosedur Penelitian

Pengukuran Salinitas dengan Refaktometer Pengukuran pH dengan pH meter

Pengukuran DO dengan metode Winkler Pengukuran kedalaman dengan tali berskala

Pengukuran suhu dengan Termometer Pengukuran kecerahan dengan secchi disk


(16)

DAFTAR PUSTAKA

Amriani. 2011. Bioakumulasi Logam Berat Timbal (Pb) dan Seng (Zn) pada Kerang Darah (Anadara Granosa L.) dan Kerang Bakau (Polymesoda Bengalensis L.) di Perairan Teluk Kendari. [Tesis]. Universitas Diponegoro, Semarang.

American Public Health Association. 1989. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. 17th ed. APHA, AWWA (American Water Work Association) and WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington D.C, United States.

Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi. USU Press, Medan.

Boyd, C. E. 1990. Water Quality in Ponds For Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station. United States.

Budhiman, S., R, Dewanti., C, Kusmana dan N, Puspaningsih. 2001. Kerusakan Hutan Mangrove di Pulau Lombok Menggunakan Data Landsat-TM dan Sistem Informasi Geografis (SIG). LAPAN, Jakarta

Canter, W. L. 1979. Handbook of Variables for Environmental Impact Assessment. Ann Arbor Science, Michigan.

Duffus, H. J. 1980. Environment Toxicologi. Department of brewing and Biological Science. Hariot-Watt. University Edinbueg.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta

Francisca, A. 2011. Tingkat Pencemaran Perairan Ditinjau Dari Pemanfaatan Ruang Di Wilayah Pesisir Kota Cilegon [Jurnal] vol 22. Bappeda kota Cilegon, Cilegon

Hendrawati. 2009. Analisis Beberapa Parameter Kimia Dan Kandungan Logam Pada Sumber Air Tanah Di Sekitar Pemukiman Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jurnal Program Studi Kimia FST UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Hiariey. L.S. 2009. Identifikasi Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Di Desa Tawiri [Tesis], Ambon.

Irwanto. 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku [Tesis]. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.


(17)

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003. www.menlh.go.id/i/art/pdf_1058569254.pdf.

Kusmana, C. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove. Makalah Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari Angkatan I PKSPL. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Nur. Y.R. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International Indonesia Program, Jakarta

Pariyono. 2006. Kajian Potensi Kawasan Mangrove Dalam Kaitannya Dengan Pengelolaan Wilayah Pantai Di Desa Panggung, Tanggultlare, Kabupaten Jepara [tesis]. Universitas Diponegoro, Semarang.

Rahmawaty. 2004. Pengelolaan Kawasan Pesisir Dan Kelautan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan. Universitas Sumatera Utara, Medan

Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air. Sekretariat Negara, Jakarta.

Rosari, 2014. Evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman Berdasarkan Analisis Risiko Bencana Gunung Merapi [Tesis] Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sukoharjo.

Salam, A. 2010. Analisis Kualtas Air Situ Bungur Ciputat Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Fitoplankton. Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Soemarwoto, O. 1991. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. PT Bina Aksara, Jakarta.

Yulianti, R, A. 2012. Arahan Pengendalian Konversi Hutan Mangrove Menjadi Lahan Budidaya Di Kawasan Segara Anakan. Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.

Waryono. T. 2008. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Ekosistem Mangrove. Kumpulan Makalah Periode 1987 – 2008.


(18)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2016 sampai Mei 2016. Pengambilan sampel dilakukan di perairan muara Desa Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Identifikasi parameter kualitas air dilakukan di Laboratorium Balai Pengendalian Mutu Kualitas Air Kota Medan.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, GPS (Global Positioning System), pH meter, Secchi disk, hand refraktometer, botol sampel BOD5, botol Winkler, labu Erlenmeyer, pipet tetes, coolbox, alat tulis dan kamera digital.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air muara Bagan Deli, es batu untuk pengawet sampel air, kertas label, bahan kimia untuk titrasi MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3 dan amilum serta peta RTRW Kota Medan.

Deskripsi Area

Di perairan Muara Bagan Deli telah terjadi konversi lahan mangrove menjadi kawasan pemukiman yang menyebabkan hilangnya kawasan mangrove di sepanjang sempadan muara sungai di sebelah barat, dan vegetasi mangrove di seberangnya sebagian kecil telah dikonversi menjadi tambak, namun sebagian besar vegetasi mangrove masih tergolong sehat di sebelah timur laut muara bagan deli dilihat dari kerapatan dan ketebalan mangrove di kawasan tersebut. Di


(19)

wilayah pemukiman tersebut banyak terjadi aktifitas yang diduga dapat mencemarkan perairan seperti pembuangan limbah domestic dan sampah plastik, dan pembuangan limbah organik lainnya. Peta citra lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian Stasiun I

Stasiun I berada pada titik koordinat 3°46'17" LU dan 98°41'19" BT yaitu di wilayah pemukiman yang padat penduduk dan sama sekali tidak ditemukan vegetasi mangrove. Secara fisik keadaan perairan pada stasiun ini agak kehitaman, diduga banyak mengandung bahan organik. Stasiun ini berada tepat di depan perumahan warga yang menjorok ke muara tempat terjadinya pembuangan limbah pemukiman warga. Stasiun I dapat dilihat pada Gambar 3.


(20)

Gambar 3. Lokasi Stasiun I Stasiun II

Stasiun II berada pada titik koordinat 3°46'57" LU dan 98°42'57" BT, yaitu berada pada wilayah dengan vegetasi mangrove yang masih tergolong sehat dilihat dari kerapatan vegetasi mangrove tersebut dan dari tidak adanya kegiatan apapun pada wilayah hutan mangrove tersebut. Pada stasiun ini arus perairan cenderung tenang dan perairan berwarna coklat alami. Stasiun II dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Lokasi Stasiun II Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan dalam menentukan lokasi/stasiun penelitian adalah metode purposive sampling yaitu sampling sesuai dengan tujuan penelitian dengan cara memilih dua stasiun penelitian berdasarkan perbedaan karakteristik lingkungan yang depengaruhi oleh ada tidaknya aktivitas yang dianggap mempengaruhi kondisi lingkungan perairan sesuai dengan tujuan penelitian dan dapat menggambarkan kondisi perairan.


(21)

Pengukuran Parameter fisika dan parameter kimia dilakukan melalui cara

in situ yaitu pengukuran secara langsung data di lokasi penelitian dan cara ex situ

yaitu hasil sampel merupakan data hasil laboratorium. Sampling dilakukan antara pukul 08.00 WIB-11.00 WIB.

Pengukuran Parameter Fisika-Kimia

Parameter fisika kimia perairan yang dianalisis terdiri dari 10 parameter. Parameter fisika kimia dianalisis secara insitu dan exsitu. Untuk pengukuran parameter secara insitu yaitu pH diukur menggunakan pH meter, DO diukur dengan titrasi menggunakan metode winkler (dapat dilihat pada Lampiran 1), Kecerahan Menggunakan secchi disc, kedalaman diukur menggunakan tali berskala yang diberi pemberat, suhu diukur menggunakan thermometer alkohol dan salinitas diukur menggunakan refraktometer, sedangkan untuk pengukuran parameter secara exsitu dilakukan di laboratorium, seperti pengukuran nitrat dan fosfat menggunakan alat spektrofotometer, BOD5 menggunakan metode winkler (dapat dilihat pada Lampiran 2), serta TSS menggunakan metode gravimetric

(dapat dilihat pada Lampiran 3).

Contoh air diperoleh dengan mengambil pada kolom perairan secara

composite sampling, sebanyak 600 ml dengan menggunakan botol sampel dari kemasan air mineral bekas, pengambilan dilakukan sebanyak satu kali untuk masing-masing stasiun pengamatan dan untuk parameter BOD sampel air dimasukkan kedalam botol BOD, yaitu botol gelap yang berukuran 100 ml. Selanjutnya air sampel dimasukan kedalam cool box kemudian dibawa ke laboratorium untuk di analisis. Parameter BOD dilakukan secara titrasi setelah disimpan selama 5 hari.


(22)

Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan dibagi menjadi dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data kualitas air yang diperoleh dari pengukuran parameter air secara insitu dan exsitu dan data pengamatan pemanfaatan sempadan sungai dan sempadan pantai, sedangkan data sekunder merupakan data rencana tata ruang wilayah kota medan.

Analisis data

Analisis data mengenai kualitas air di muara Desa Bagan Deli dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis berdasarkan metode Indeks STORET yang telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 115 tahun 2003. Analisis secara deskriptif dilakukan untuk menjabarkan bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi menurut UU no.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil serta UU no.26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Sedangkan analisis berdasarkan indeks STORET dilakukan untuk menentukan status mutu air seperti yang dijelaskan melalui sub bab berikutnya. Baku mutu yang diacu dalam penelitian ini adalah baku mutu air kelas C yang peruntukannya sebagai air bagi kegiatan perikanan dan pertanian.

Metode indeks STORET

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 115 tahun 2003, indeks STORET merupakan salah satu metode yang umum digunakan untuk menentukan status mutu air. Prinsip metode STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Cara menentukan status


(23)

mutu air yaitu dengan menggunakan sistem nilai dari US-EPA (Environmental Protection Agency) dengan mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas, yaitu: 1. Kelas A : baik sekali, skor = 0 (memenuhi baku mutu)

2. Kelas B : baik, skor = -10 s/d -1 (tercemar ringan) 3. Kelas C : sedang, skor = -30 s/d -11 (tercemar sedang) 4. Kelas D : buruk, skor ≤ -31 (tercemar berat)

Prosedur Penggunaan

Penentuan status mutu air dengan menggunakan metode STORET dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut: Pertama, data kualitas air dikumpulkan secara periodik sehingga terbentuk data dari waktu ke waktu (time series data), kemudian data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dibandingkan dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air, selanjutnya nilai hasil pengukuran dibagi ke dalam nilai nilai maksimum, minimum, dan rata-rata, Jika hasil pengukuran (nilai maksimum, minimum, dan rata-rata) memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi skor 0, jika hasil pengukuran (nilai maksimum, minimum, dan rata-rata) tidak memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi skor seperti pada Tabel 1. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang terdapat pada sistem nilai.

Tabel 1.Penentuan skor dalam indeks STORET Jumlah

contoh Nilai

Parameter

Fisika Kimia Biologi

<10

Maksimum -1 -2 -3

Minimum -1 -2 -3

Rata-rata -3 -6 -9

>10

Maksimum -2 -4 -6

Minimum -2 -4 -6

Rata-rata -6 -12 -18


(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pengukuran Kualitas Air

Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di muara sungai Desa Bagan Deli adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil pengukuran kualitas air

Parameter Satuan

Stasiun

Stasiun I Stasiun II

UI UII UIII UI UII UIII

pH 6,8 6,8 7,5 6,9 6,9 7,6

DO Mg/L 1,87 2,8 4,11 5,23 4,3 6,16

Kedalaman m 1,20 0,96 2,50 3,4 4,3 2,40

Kecerahan Cm 20 19 20 47 30 30

PO4 Mg/L 0,19 0,194 0,084 0,14 0,164 0,085

NO3 Mg/L 7,9 4,1 5,7 6,6 5,5 5,6

Salinitas Ppt 18 15 28 24 25 27

Suhu oC 32 31 32 34 33 34

BOD Mg/L 7,420 1,210 1,280 0,7200 0,6100 1,730

TSS Mg/L 175 116 127 114 84 89

Data kualitas air yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan perhitungan beban pencemaran untuk menentukan status mutu air dengan menggunakan metode storet. Adapun hasil perhitungan beban pencemaran dengan metode storet pada setiap stasiun adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil perhitungan metode storet pada stasiun I Parameter Satuan Baku mutu

air kelas III

Min Max Rata-rata Skor Fisika

Suhu oC Devisiasi 3 31 32 31,6 0

TSS Mg/L 400 116 175 139,3 0


(25)

Tabel 3. Lanjutan

Parameter Satuan Baku mutu air kelas III

Min Max Rata-rata Skor

pH 6-9 6,8 7,5 7,03 0

DO Mg/L 3 1,87 4,11 2,92 -8

PO4 Mg/L 1 0,084 0,194 0,156 0

NO3 Mg/L 20 4,1 7,9 5,9 0

BOD Mg/L 6 1,210 7,420 3,303 -2

Total skor

-10

Tabel 4. Hasil perhitungan metode storet pada stasiun II Parameter Satuan Baku mutu

air kelas III

Min Max Rata-rata Skor Fisika

Suhu oC Devisiasi 3 33 34 33,6 0

TSS Mg/L 400 84 114 95,6 0

Kimia

pH 6-9 6,9 7,6 7,13 0

DO Mg/L 3 4,3 6,16 5,23 0

PO4 Mg/L 1 0,085 0,164 0,129 0

NO3 Mg/L 20 5,5 6,6 5,9 0

BOD Mg/L 6 0,61 1,73 1,02 0

Total skor

0

Sesuasi dengan pergitungan dengan menggunakan sistem nilai dari US-EPA (Environmental Protection Agency) diperoleh bahwa status mutu air pada stasiun I yaitu yang berada pada pemukiman rumah warga tergolong tercemar ringan, sedangkan pada stasiun II yang berada pada kawasan mangrove yang masih baik berstatus tidak tercemar

Penyimpangan Pemanfaatan Ruang

Menurut Perda No. 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031 Pasal 36:


(26)

(1) Hutan lindung sebagaimana yang berupa hutan mangrove yang bertujuan untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kawasan, dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

(2) Hutan mangrove sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan di Kecamatan Medan Belawan.

Data penyimpangan peraturan perundang-undangan yang terjadi di muara sungai deli, Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan adalah sebagai berikut: Tabel 5. Matriks penyimpangan peraturan

Dasar Peraturan Tentang Keterangan

Perda No. 13 Tahun 2011

Pasal 10 (2)b,c Strategi Pemeliharaan fungsi hutan lindung, mengembalikan dan meningkatkan fungsi hutan lindung yang telah menurun

Tidak ada pengawasan dan pemeliharaan serta peningkatan fungsi di areal mangrove yang kualitasnya telah menurun

Pasal 10 (4)c,d Strategi peningkatan fungsi, kuantitas dan kualitas hutan lindung, dan pelarangan kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi kawasan lindung

Tidak ada tindak lanjut dan pengawasan,

penduduk tetap

menebang mangrove untuk kepentingan pribadi. Tidak ada langkah rehabilitasi Pasal 12 (1)c Kebijakan perlindungan

terhadap kawasan yang memiliki peran ekologis

dan penyelamatan

lingkungan yang rawan bencana

Deforestasi mangrove untuk pemukiman dan

kegiatan lain

menyebabkan terjadinya bencana gelombang pasang dan banjir rob Pasal 12 (4)b Strategi perlindungan

dengan konservasi hutan mangrove

Konversi lahan mangrove untuk budidaya dan tidak ada langkah konservasi


(27)

Tabel 5. Lanjutan

Dasar Peraturan Tentang Keterangan

Pasal 30 (5) Sistem pembuangan air limbah setempat secara individual melalui instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT)

Warga setempat

membuang air limbah langsung ke badan sungai

Pasal 31 (3)(4) Sistem pengelolahan persampahan, pembuangan sampah pada TPS oleh tiap warga dan TPST pada tiap unit RW

Warga membuang

sampah langsung ke badan perairan dan lahan dibawah rumah mereka

Pasal 37 (3) Sempadan sungai yang merupakan kawasan perlindungan setempat yaitu kurang lebih 5 meter pada sungai

penduduk membuat rumah yang menjorok ke badan sungai tanpa memperhatikan

sempadan sungai UU No. 26 Tahun 2007

Pasal 17 Dalam perencanaan tata

ruang kawasan

perlindungan bertujuan untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan

Terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang Sempadan sungai dan konversi areal mangrove, sehingga daratan muara bagan deli rentan terhadap bencana gelombang pasang

Pasal 37 Perizinan pemanfaatan

ruang oleh pemerintah daerah

Pembangunan rumah di wilayah pemukiman Desa Bagan Deli tidak melalui prosedur perizinan yang benar

UU No. 1 Tahun 2014

Pasal 31 Penetapan Sempadan

Pantai untuk perlindungan terhadap bencana pesisir dan perlindungan ekosistem pesisir

Areal mangrove yang berada di muara sungai telah dikonversikan menjadi pemukiman yang mengakibatkan

penurunan kualitas

lingkungan dan

meningkatkan kerentanan terhadap bencana pesisir


(28)

Tabel 5. Lanjutan

Dasar Peraturan Tentang Keterangan

Pasal 32 Kewajiban merehabilitasi

WP3K dengan

memperhatikan

keseimbangan ekosistem dan biodiversity

Tidak ada langkah rehabilitasi yang dilakukan di areal mangrove yang telah di deforestasi baik oleh pemerintah / pemerintah daerah / orang yang mendapatkan manfaat dari ekosistem pesisir Pasal 33 Rehabilitasi dilakukan oleh

pemerintah / pemerintah daerah / orang yang mendapatkan manfaat dari ekosistem WP3K

Peta Perbandingan pemanfaatan dengan perencanaan ruang

(a)

(b)

Gambar 5. Peta perbandingan perencanaan dan pemanfaatan ruang (a) peta perencanaan tata ruang, (b) peta aktual pemanfaatan ruang


(29)

Dari gambar terlihat bahwa pada peta perencanaan tata ruang terdapat sempadan sungai (warna hijau muda dengan garis lurus) yang berada pada pinggiran terluar wilayah pemukiman (warna kuning dengan garis diagonal), namun pada peta aktual tidak terdapat lagi sempadan sungai, melainkan perumahan warga seluruhnya yang menjorok ke badan muara sungai. Peta rencana pola ruang Medan Belawan dapat dilihat pada Lampiran 6. Menurut UU No. 26 Tahun 2007 sempadan sungai merupakan kawasan perlindungan setempat sejauh 5 meter ke arah daratan. Menurut warga setempat awalnya sebelum dibangun rumah warga wilayah sempadan tersebut terdiri dari areal mangrove, dan menurut Perda No. 13 tahun 2011 seluruh areal mangrove yang berada di kawasan Medan Belawan merupakan hutan lindung.

Pembahasan

Pentingnya Perencanaan Tata Ruang

Perencanaan tata ruang sangat penting dilakukan untuk mengatur letak setiap kawasan dengan peruntukan tertentu, baik kawasan lindung dan kawasan budidaya disetiap daerah, terutama wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana pesisir seperti gelombang pasang dan tsunami, sehingga diharapkan dapat terwujudnya pengelolaan daerah berwawasan lingkungan, menurut Rahmawaty (2004) Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (trategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurang-kurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.


(30)

Penyimpangan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir akan berdampak pada lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti pemanfaatan kawasan lindung seperti : hutan lindung, sempadan sungai, sempadan pantai, sebagai kawasan budidaya seperti : pemukiman, tambak, industri, dll tentu akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan bahkan lebih buruk lagi akan meningkatkan kerentanan terhadap bencana, menurut Rosari (2014) Fungsi rencana tata ruang pada daerah rawan bencana sejatinya adalah sebagai instrumen pengurangan risiko bencana, karena perencanaan tata ruang dilakukan pada saat bencana tidak/belum terjadi. Rencana tata ruang juga berfungsi sebagai kebijakan pembangunan. keputusan dalam bentuk kebijakan pembangunan dapat diarahkan untuk mengurangi komponen pembentuk risiko, baik menghindari lokasi bahaya, mengeliminasi kerentanan, dan memperkuat kapasitas.

Dampak Penyimpangan Pemanfaatan Ruang

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pemanfaatan ruang Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan tidak sesuai dengan rencana tata ruang medan belawan yaitu berupa pemanfaatan sempadan pantai yang tidak sesuai dan deforestasi hutan mangrove yang berada di sempadan muara sungai yang menyebabkan daerah tersebut sering terjadi bencana gelombang pasang dan banjir rob menurut Yulianti (2012) Gelombang, pasang surut, kemiringan pantai dan kenaikan muka air laut rata-rata merupakan beberapa faktor yang dapat menyebabkan banjir rob. Berkurangnya lahan hutan mangrove merupakan salah satu permasalahan yang banyak dialami di Indonesia, salah satu akibat rusak nya hutan mangrove adalah banjir rob.


(31)

Peyimpangan pemanfaatan ruang di Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan yang disertai pembuangan sampah sembarangan oleh warga setempat juga telah mengakibatkan penurunan kualitas air, sehingga status mutu air di stasiun I yaitu daerah pemukiman menurut sistem nilai dari US-EPA menjadi tercemar ringan dengan skor -10 jika dibandingkan dengan stasiun II yang merupakan kawasan mangrove yang masih baik dengan status tidak tercemar menurut Simanjuntak (2005) dalam Francisca (2011) Dengan semakin meluasnya kawasan pemukiman penduduk, semakin meningkatnya produk industri rumah tangga, serta semakin berkembangnya kawasan industri di kota besar, akan memicu terjadinya peningkatan pencemaran pada perairan pantai dan laut. Hal ini disebabkan karena semua limbah dari daratan, baik yang berasal dari pemukiman perkotaan maupun yang bersumber dari kawasan industri, yang pada akhirnya bermuara ke pantai.

Peningkatan kadar TSS, PO4, dan BOD5 serta penurunan kadar oksigen terlarut juga terjadi di stasiun I jika dibandingkan dengan stasiun II, yaitu dengan peningkatan nilai TSS rata-rata sebesar 43,66 Mg/L, peningkatan nilai PO4 rata-rata sebesar 0,026 Mg/L, peningkatan nilai BOD5 rata-rata sebesar 2,28 Mg/L, dan penurunan DO rata-rata sebesar 2,3 Mg/L. Menurut Duffus (1980) Apabila suatu limbah yang berupa bahan pencemar masuk ke suatu lokasi maka akan terjadi perubahan padanya. Perubahan dapat terjadi pada organisme yang hidup di lokasi itu serta lingkunya yang berupa faktor Fisika dan Kimianya. Salah satu perubahan yang terjadi karena pembuangan limbah ke badan perairan dapat menyebabkan berkurangnya kadar oksigen.


(32)

Penurunan kualitas lingkungan seperti penurunan kualitas air akan menyebabkan biota-biota perairan mengalami penyakit, dan bahkan kematian massal. Biota yang dapat bertahan akan pergi mencari lingkungan yang masih layak untuk ditempati, menurut Duffus (1980) Apabila suatu limbah yang berupa bahan pencemar masuk ke suatu lokasi maka akan terjadi perubahan padanya. Perubahan dapat terjadi pada organisme yang hidup di lokasi itu serta lingkunya yang berupa faktor Fisika dan Kimianya. Salah satu perubahan yang terjadi karena pembuangan limbah ke badan perairan dapat menyebabkan berkurangnya kadar oksigen.

Rekomendasi Pengelolaan

Mengingat pentingnya kawasan lindung untuk mewujudkan pengelolaan kawasan yang berwawasan lingkungan sebaiknya perumahan warga yang berada di sepanjang sempadan sungai dan sempadan pantai agar direlokasi ke wilayah yang diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman yang dekat dengan laut karena sebagian besar masyarakat yang tinggal di desa bagan deli berprofesi sebagai nelayan, lalu pada sempadan sungai dan sempadan pantai ditanami mangrove kembali agar fungsi sempadan sungai sebagai kawasan perlindungan setempat dapat berfungsi secara maksimal. Menurut UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 5 ayat (2) kawasan perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air, dan pada Perda Kota Medan No. 13 Tahun 2011 pasal 37 ayat (3) Sempadan sungai terletak di sungai: Sungai Belawan, Sungai Percut, Sungai Deli, Sungai Babura, Sungai Sei Selayang dan kurang lebih 5 meter pada sungai: Parit Emas dan Sungai-sungai kecil.


(33)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi di muara desa bagan deli yaitu berupa pemanfaatan sempadan sungai yang tidak sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007 dan Perda No. 13 Tahun 2011 sebagai kawasan perlindungan setempat dan deforestasi hutan mangrove di kawasan Medan Belawan yang berupa kawasan lindung dalam Perda No. 13 Tahun 2011 serta tidak adanya rehabilitasi oleh pemerintah/pemerintah daerah/masyarakat yang mendapatkan manfaat dari hutan mangrove tersebut seperti yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2014

2. Status mutu air pada stasiun I yang merupakan kawasan mangrove yang telah dikonversikan menjadi pemukiman yaitu tercemar ringan dengan nilai perhitungan storet -10, sedangkan di stasiun II yang merupakan wilayah mangrove masih baik yaitu tidak tercemar atau dapat dikatakan masih memenuhi baku mutu

Saran

Untuk mewujudkan pembangunan daerah yang berkelanjutan sebaiknya perlu adanya koordinasi antara perangkat pemerintahan daerah setempat agar pembangunan sesuai dengan RTRW yang telah disepakati, serta dilakukan rehabilitasi terhadap lingkungan yang telah mengalami degradasi agar dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.


(34)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Hiariey (2009) menjelaskan bahwa hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang penting di lingkungan pesisir, dan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis. Fungsi fisik mangrove yaitu sebagai penahan angin, penyaring bahan pencemar, penahan ombak, pengendali banjir dan pencegah intrusi air laut ke daratan, fungsi biologis mangrove sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan sebagai daerah mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya, sedangkan fungsi ekonomis mangrove sebagai penghasil kayu untuk bahan baku dan bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan. Selain itu, fungsi tersebut adalah strategis sebagai produsen primer yang mampu mendukung dan menstabilkan ekosistem laut maupun daratan.

Hutan mangrove dan ekosistem di sekitarnya telah sering mengalami perusakan dan degradasi seiring dengan bertambahnya penduduk dan kebutuhan akan peningkatan ekonomi yang didapat dari hutan mangrove. Kerusakan dan ketidaktahuan akan fungsi hutan mangrove oleh manusia, telah menyebabkan kerusakan hutan mangrove hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia (Budiman, dkk., 2001).

Menurut Kusmana (1997) kondisi fisik yang jelas nampak di daerah mangrove adalah gerakan air yang minim sehingga mengakibatkan partikel-partikel sedimen yang halus sampai di daerah mangrove cenderung mengendap dan mengumpul di dasar berupa lumpur halus yang menjadi dasar (substrat) hutan. Sirkulasi air dalam dasar (substrat) yang sangat minimal, ditambah dengan


(35)

banyaknya bahan organik dan bakteri penyebab kandungan oksigen di dalam dasar sangat minim, bahkan mungkin tidak terdapat oksigen sama sekali di dalam substrat.

Irwanto (2007) menegaskan bahwa fungsi hutan mangrove dapat dikelompokan sebagai berikut :

1. Fungsi Fisik : menjaga agar garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi, menahan badai/angin kencang dari laut, menahan hasil proses penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan terbentuknya lahan baru, menjadi wilayah penyangga dan berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar, mengolah limbah beracun, penghasil O2 dan penyerap CO2.

2. Fungsi Biologis : menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi plankton, sehingga penting pula bagi keberlanjutan rantai makanan, tempat memijah dan berkembang biak ikan-ikan, kerang, kepiting dan udang, tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak burung dan satwa lain, sumber plasma nutfah & sumber genetik, merupakan habitat alami bagi berbagai jenis biota.

3. Fungsi Ekonomis : penghasil kayu (kayu bakar, arang, bahan bangunan), penghasil bahan baku industri (pulp, tanin, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, kosmetik), penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bandeng melalui pola tambak silvofishery, tempat wisata, penelitian dan pendidikan.

Ekosistem mangrove sangat peka terhadap gangguan dari luar terutama melalui kegiatan reklamasi dan polusi. Tiga sumber utama penyebab kerusakan ekosistem mangrove, yaitu: (a) pencemaran, (b) penebangan yang


(36)

berlebihan/tidak terkontrol, dan (c) konversi ekosistem mangrove yang kurang mempertimbangkan faktor lingkungan menjadi bentuk lahan yang berfungsi nonekosistem seperti pemukiman, pertanian, pertambangan, dan pertambakan (Waryono, 2008).

Faktor-faktor penyebab perubahan pesisir dibedakan menjadi dua macam yaitu alami dan manusia. Faktor alami antara lain : gelombang laut, arus laut, angin, sedimentasi, topografi pesisir, pasang surut, perpindahan muara sungai, dan tsunami, sedangkan faktor manusia meliputi : penggalian, penimbunan atau penambangan pasir, reklamasi lahan, perlindungan pantai, perusakan vegetasi mangrove, pertambakan, dan aktivitas manusia di daerah hulu (hinterland) (Dahuri, 1996).

Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir

Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (trategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurang-kurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. (Rahmawaty, 2004)

Isu permasalahan pemanfaatan ruang pada kota di wilayah pesisir, antara lain berkembangnya berbagai kegiatan budidaya pada kawasan konservasi atau


(37)

pada kawasan budidaya untuk kegiatan budidaya yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, sebagai akibat meningkatnya kebutuhan lahan untuk kegiatan perkotaan. Pemanfaatan ruang pada kota di wilayah pesisir dimaksudkan sebagai perwujudan rencana tata ruang yang mencakup berbagai kegiatan pembangunan fisik, sosial ekonomi dan budaya yang secara visual, historis atau fisik sebagai bagian ruang yang dipengaruhi oleh air laut (Francisca, 2011)

Kesadaran akan pentingnya peranan perencanaan tata ruang untuk pengurangan risiko bencana di Indonesia termasuk cukup lambat. Perencanaan ruang berbasis pengurangan risiko bencana belum mendapatkan tempat terpenting sebagai salah satu instrumen untuk usaha mengurangi risiko bencana yang dibuktikan dengan usaha penanggulangan bencana dilakukan melalui mekanisme koordinasi yang dibentuk ketika bencana terjadi. Fungsi rencana tata ruang pada daerah rawan bencana sejatinya adalah sebagai instrumen pengurangan risiko bencana, karena perencanaan tata ruang dilakukan pada saat bencana tidak/belum terjadi. Rencana tata ruang juga berfungsi sebagai kebijakan pembangunan. Menurut Brody, 2004 dalam Sagala dan Bisri, 2011, keputusan dalam bentuk kebijakan pembangunan dapat diarahkan untuk mengurangi komponen pembentuk risiko, baik menghindari lokasi bahaya, mengeliminasi kerentanan, dan memperkuat kapasitas (Rosari, 2014)

Kualitas Air Wilayah Pesisir

Wilayah Pesisir merupakan zona interaksi antara lautan dan daratan yang luasnya mencapai 15% dari daratan bumi. Wilayah pesisir di Indonesia sangat potensial, karena merupakan lokasi perdagangan, transportasi, perikanan tangkap, budidaya perairan, industri, pertambangan dan pariwisata. Terdapat beberapa


(38)

faktor yang dapat mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir di antaranya: pertumbuhan penduduk, kegiatan-kegiatan manusia, sedimentasi, ketersediaan air bersih dan pencemaran (Rachmawatie, dkk, 2009).

Air banyak sekali mengandung berbagai zat terlarut maupun tidak terlarut, sehingga air sangat sukar diperoleh dalam keadaan murni. Apabila kandungan berbagai zat tersebut tidak mengganggu kesehatan manusia, maka air dianggap bersih. Air dikatakan tercemar apabila terdapat gangguan terhadap kualitas air, dimana kandungan berbagai zat sudah melebihi ambang batas. Ambang batas kadar zat dalam air berbeda-beda untuk jenis air sesuai peruntukannya (Hendrawati, 2009).

Aktivitas manusia dalam memanfaatkan kawasan pesisir seringkali menghasilkan limbah bahan pencemar yang dapat membahayakan kehidupan perairan laut dan secara khusus dapat menganggu perkembangan komunitas jenis kerang-kerangan. Semakin bertambahnya aktivitas manusia di berbagai sektor kehidupan mengakibatkan tekanan lingkungan terhadap perairan semakin meningkat karena masuknya limbah dari berbagai kegiatan di kawasan-kawasan yang telah terbangun di wilayah pesisir tersebut, sehingga pada suatu saat dapat melampaui keseimbangan air laut yang mengakibatkan sistem perairann menjadi tercemar (Amriani, 2011).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, sumber air diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) kelas mutu air :

1. Kelas Satu, yaitu air yang dapat digunakan untuk air minum, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.


(39)

2. Kelas Dua, yaitu air yang dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

3. Kelas Tiga, yaitu air yang dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi tanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

4. Kelas Empat, air yang dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Pembuangan berbagai jenis limbah secara langsung yang berasal dari pemukiman, industri, pertanian, peternakan dan sebagainya ke badan sungai, tanpa terlebih dahulu diolah dalam instalasi pengolahan limbah, akan berakibat buruk bagi kehidupan jasad hidup di dalam air. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan parameter lingkungan di dalam air yang tidak sesuai lagi bagi kehidupan jasad hidup. Apabila perubahan yang terjadi melewati ambang batas yang masih dapat ditenggang oleh jasad hidup dalam air, maka akibatnya akan fatal bagi kelangsungan kehidupannya (Barus, 2004).

Pencemaran air dapat menyebabkan berkurangnya keanekaragaman atau punahnya populasi organisme perairan seperti benthos, perifiton dan plankton. Hal ini menyebabkan sistem ekologis perairan dapat terganggu. Sistem ekologis perairan mempunyai kemampuan untuk memurnikan kembali lingkungan yang telah tercemar sejauh beban pencemaran masih berada dalam batas daya dukung lingkungan yang bersangkutan. Apabila beban pencemar melebihi daya dukung


(40)

lingkungannya, maka kemampuan itu tidak dapat dipergunakan lagi (Salam, 2010).

Apabila suatu limbah yang berupa bahan pencemar masuk ke suatu lokasi maka akan terjadi perubahan padanya. Perubahan dapat terjadi pada organisme yang hidup di lokasi itu serta lingkunya yang berupa faktor Fisika dan Kimianya. Salah satu perubahan yang terjadi karena pembuangan limbah ke badan perairan dapat menyebabkan berkurangnya kadar oksigen. Oksigen penting untuk pernafasan yang merupakan komponen utama untuk metabolisma ikan dan oprganisme lain. Persenyawaan organik di perairan akan dipecah oleh organisme pembusuk. Terjadinya proses ini sangat membutuhkan oksigen terlarut dalam perairan tersebut, disamping itu adanya senyawa racun yang terkandung di dalam limbah juga mempengruhi proses metabolisma dalam tubuh ikan, merusak jaringan usus dan fungsi ginjal (Duffus, 1980).

Penggunaan lahan yang tidak berkesinambungan ini ditunjukkan dengan banyaknya konversi lahan hutan mengrove menjadi lahan budi daya seperti pertanian, permukiman, dan pertambakan. Hal ini dibuktikan dengan adanya penurunan luas hutan mangrove yang terdapat di Kawasan Segara Anakan sebesar 7.056 hektar, dari luas semula sebesar 15.551 hektar pada tahun 1974 menjadi 8.495 hektar pada tahun 2008 (Sumber: Data dan Informasi Segara Anakan dari Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Kabupaten Cilacap, 2009). Padahal, hutan mangrove berperan dalam memerangkap dan menyaring sedimen serta bahan pencemar sehingga sedimentasi dan pencemaran di perairan pesisir dapat dikurangi (Yulianti,2012).


(41)

Parameter fisika kimia perairan

Suhu

Pada daerah beriklim tropis, suhu di perairan dipengaruhi oleh kondisi cuaca, altitude, sirkulasi udara dan sumber aliran perairan. Suhu memiliki peranan yang penting bagi proses fisika, kimia dan biologi di suatu perairan. Peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan laju evaporasi, volatilisasi gas dan reaksi reaksi kimia di perairan. Kenaikan suhu perairan dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas di dalam air, termasuk gas O2, CO2, NH3, dan H2S. Suhu yang sangat ekstrim serta perubahannya dapat berdampak buruk bagi kehidupan organime akuatik, baik secara langsung maupun tak langsung. Pada umumnya, di Indonesia suhu dinyatakan dalam satuan derajat Celcius. Suhu air permukaan di perairan Indonesia kita umumnya berkisar antara 28-31oC (Nontji, 1993).

Salinitas

Salinitas merupakan konsentrasi total dari seluruh ion terlarut di dalam air. Ion penyusun tersebut terdiri dari natrium, kalium, kalsium, magnesium, klor, sulfat, dan bikarbonat. Salinitas biasanya dinyatakan dalam satuan gram per kilogram atau bagian per seribu. Salinitas adalah salah satu parameter yang memiliki peranan penting di perairan pesisir dan estuari. Perubahan kondisi salintas secara permanen dapat merubah tatanan ekosistem akuatik, terutama dalam hal keanekaragaman jenis dan kelimpahan organisme (Canter, 1979).

Padatan tersuspensi total (TSS)

Padatan tersuspensi total atau TSS adalah material atau bahan-bahan berbentuk suspensi di perairan yang tertahan oleh kertas saring dengan ukuran


(42)

pori-pori 0.45 µm. Padatan tersuspensi tersebut terdiri dari lumpur, pasir halus dan serasah Organik. padatan tersuspensi dapat mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan, sehingga dapat mengganggu proses pertumbuhan dan fotosintesis tumbuhan di perairan tersebut. Pada air buangan tambak, padatan tersuspensi yang tinggi akan menyebabkan tingkat sedimentasi bahan organik di perairan sekitar tambak lebih tinggi dari perairan alami (Effendi, 2003).

pH

nilai pH yang terukur di perairan menggambarkan konsentrasi ion hidrogen. Keberadaan ion hidrogen di perairan dinyatakan dalam persamaan seperti di bawah ini.

pH = - log [H+] atau pH = log 1/[H+]

Besarnya ion hidrogen dalam air dinyatakan dalam satuan g/liter. Kemudian diketahui bahwa konsentrasi ion hidrogen di dalam air murni yang netral adalah 1× 10-7 g/liter. Besarnya nilai pH dapat mempengaruhi toksisitas senyawa senyawa kimia serta mempengaruhi proses biokimiawi di perairan. Sebagian besar organisme akuatik kurang toleran terhadap perubahan pH dan lebih menyukai perairan dengan kisaran pH antara 7 sampai 8.5 (Effendi, 2003).

Oksigen terlarut (DO)

Jumlah konsentrasi oksigen terlarut yang terdapat di suatu perairan bergantung kepada kondisi suhu dan salinitas perairan itu sendiri, serta aktifitas turbulensi (agitasi) yang menyebabkan terjadinya difusi gas oksigen dari udara ke dalam air. Kadar oksigen terlarut di suatu perairan juga berfluktuasi secara harian. Faktor utama penyebab fluktuasi tersebut adalah aktivitas fotosintesis tumbuhan


(43)

(fitoplankton) dan respirasi organisme heterotrof (APHA, 1989). Selain itu, aktifitas dekomposisi bahan organik juga dapat mengakibatkan penurunan kadar oksigen dalam air bahkan, konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan dapat mencapai nilai nol jika jumlah bahan organik yang didekomposisi terlalu banyak (Effendi, 2003).

Kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD5)

Kebutuhan oksigen biokimia merupakan pendekatan pengukuran kadar bahan organik dengan melihat jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam mengoksidasi bahan organik tersebut Besarnya nilai BOD di perairan bergantung kepada tingginya konsentrasi dari bahan organik itu sendiri serta faktor lain seperti suhu dan kepadatan plankton (Boyd, 1988). Menurut Effendi (2003), perairan alami memiliki nilai BOD antara 0.5 mg/liter sampai 7.0 mg/liter, sedangkan perairan dengan nilai BOD lebih dari 10.0 mg/liter tergolong ke dalam perairan tercemar.

Nitrat

Nitrat merupakan salah satu bentuk nitrogen di perairan yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (fitoplankton dan alga) selain ion amonium dalam menunjang proses pertumbuhan. Senyawa NO3-N sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Nitrat nitrogen di perairan merupakan hasil dari proses oksidasi nitrogen secara sempurna melalui proses nitrifkasi yang melibatkan bakteri, diantaranya; bakteri Nitrosomonas yang mengoksidasi amonia menjadi nitrit, dan bakteri Nitrobacter yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Kadar nitrat di perairan dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat penyuburannya;


(44)

kadar nitrat antara 0 mg/liter hingga 1 mg/liter untuk perairan oligotrofik; kadar nitrat antara 1 mg/liter hingga 5 mg/liter untuk perairan mesotrofik; dan kadar nitrat 5 mg/liter hingga 50 mg/liter untuk perairan eutrofik (Wetzel, 2001).

Ortofosfat

Ortofosfat dapat berasal dari limbah kegiatan pertanian atau dari limbah domestik seperti hasil buangan limbah deterjen dari pemukiman. Sebagian besar perairan alami sensitif terhadap penambahan fosfat yang ditunjukkan dengan meningkatnya produksi tumbuhan, termasuk fitoplankton dan alga. Namun, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas di perairan, melainkan terdapat dalam bentuk senyawa anorganik terlarut dan senyawa organik partikulat. Salah satu bentuk senyawa fosfor anorganik adalah ion ortofosfat terlarut. Ortofosfat terlarut adalah bentuk ionisasi asam ortofosfat (H3PO4) dan merupakan bentuk fosfor paling sederhana di perairan. konsentrasi fosfor di perairan sangat rendah. Konsentrasi ortofosfat terlarut biasanya tidak pernah mencapai nilai antara 5Ig/liter hingga 20 Ig/liter, dan jarang mencapai 100 Ig/liter Boyd (1990).


(45)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu bentuk ekosistem yang memegang peranan penting di kawasan pesisir Indonesia adalah ekosistem mangrove. Menurut Nur (2006) Perkiraan luas kawasan mangrove di Indonesia mencapai 3,5 juta Ha dan menjadi negara yang mempunyai kawasan mangrove terluas di dunia (18-23% dari luas kawasan mangrove dunia), kemudian Brazil (1,3 juta Ha), Nigeria (1,1 juta Ha) dan Australia (0,97 juta Ha). Mangrove terluas di Indonesia terdapat di Papua sekitar 1.350.600 Ha (38% dari luas kawasan mangrove di Indonesia), kemudian diikuti Kalimantan 978.200 Ha (28 %) dan Sumatera 673.300 Ha (19%).

Banyaknya masyarakat yang bermigrasi ke desa Bagan Deli disamping karena lahannya murah, proses perijinan pembukaan lahan sebagai tempat tinggal hanya melalui kepala desa saja tanpa adanya koordinasi dengan pemerintahan kota/daerah sehingga terjadi penebangan mangrove secara liar dan pembangunan rumah warga yang tidak terkontrol dan juga pembuatan tambak untuk kegiatan budidaya yang mungkin tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang.

Konversi lahan mangrove menjadi pemukiman kerap dilakukan karena berbagai alasan berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk akibat dari pertambahan penduduk alami maupun migrasi. Desa Bagan Deli kecamatan Medan Belawan kota Medan merupakan salah satu desa yang pemanfaatan ruang pesisirnya tidak terkontrol akibat adanya migrasi penduduk. Menurut penduduk setempat, awalnya penduduk desa Bagan Deli hanya terdiri dari masyarakat yang bersuku melayu, namun seiring berjalannya waktu terjadi migrasi penduduk dari suku Mandailing dan suku Jawa yang mengakibatkan pertambahan jumlah


(46)

penduduk hingga mengakibatkan terjadinya konversi lahan mangrove menjadi tempat tinggal.

Dengan adanya konversi lahan mangrove di desa Bagan Deli kecamatan Medan Belawan akan mempengaruhi kualitas perairan pesisir, degradasi habitat ikan dan biota akuatik lainnya sehingga nanti akan berakibat pada menurunnya pendapatan masyarakat menggantungkan hidup kepada laut. Ketidakseimbangan ekosistem perairan pantai dalam waktu yang relatif lama ini akan berakibat pada kerusakan ekosistem wilayah pantai, kondisi ini menyebabkan kerusakan pantai.

Penelitian ini hanya difokuskan untuk menganalisa perubahan kualitas perairan muara desa Bagan Deli kecamatan Medan Belawan akibat terjadinya konversi lahan mangrove menjadi pemukiman, disamping itu kegiatan pemukiman dan pembuangan limbah rumah tangga juga memberikan kontribusi yang besar bagi pencemaran perairan muara desa bagan deli oleh karena itu perlu adanya kajian terhadap kualitas air yang yang terjadi sehingga kedepannya dapat dilakukan pengelolaan yang berwawasan lingkungan untuk meminimalkan dan mengontrol terjadinya penurunan kualitas perairan.

Perumusan Masalah

Perpindahan penduduk ke desa Bagan Deli kecamatan Medan Belawan menyebabkan berkurangnya lahan untuk dijadikan tempat tinggal dan hal itu mengakibatkan terjadinya konversi hutan mangrove untuk menjadi tempat tinggal dan juga untuk kegiatan budidaya tambak, sehingga diduga telah terjadi penurunan kualitas air dan degradasi lingkungan. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:


(47)

1. Bagaimana bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi di wilayah konversi lahan mangrove di muara desa Bagan Deli kecamatan Medan Belawan ditinjau dari UU No. 26 tahun 2007, UU No. 1 tahun 2014, dan Perda No. 13 tahun 2011 tentang penataan ruang Kota Medan?

2. Apakah status mutu air di muara desa Bagan Deli kecamatan Medan Belawan masih memenuhi baku mutu air kelas III sesuai dengan KepMen LH No. 115 tahun 2003?

Kerangka Pemikiran

Ekosistem manggrove di muara desa Bagan Deli kecamatan Medan belawan telah mengalami konversi menjadi pemukiman dan tambak, diduga telah terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir sehingga perlu dilakukan kajian terhadap penyimpangan dan perubahan yang terjadi agar kondisi perairan wilayah pesisir dapat dikontrol serta dapat direkomendasikan pengelolaan wilayah pesisir yang lebih berwawasan lingkungan.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Ekosistem Mangrove Muara Desa Bagan Deli

Belum Mengalami Konversi Sudah Mengalami

Konversi

Penyimpangan UU Pengelolaan WP3K dan RTRW

Kajian Perubahan Kualitas Air

Rekomendasi Pengelolaan yang Berwawasan Lingkungan


(48)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi di wilayah konversi lahan mangrove di muara desa Bagan Deli kecamatan Medan Belawan ditinjau dari UU No. 26 tahun 2007, UU No. 1 tahun 2014, dan Perda No. 13 tahun 2011 tentang penataan ruang Kota Medan?

2. Untuk mengkaji status mutu air di muara desa Bagan Deli kecamatan Medan Belawan masih memenuhi baku mutu air kelas III sesuai dengan KepMen LH No. 115 tahun 2003?

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak konversi lahan mangrove terhadap penurunan kualitas lingkungan dan diharapkan dapat berguna dalam perencanaan penataan kembali wilayah pemukiman desa Bagan Deli yang berwawasan lingkungan dan menjadi sumber informasi bagi kalangan yang membutuhkan.


(49)

TAWAKAL KUSUMA.

Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Dan Dampak Konversi Mangrove Terhadap Perubahan Kualitas Perairan Di Muara Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. Di bawah bimbingan DARMA BAKTI dan RUSDI LEIDONALD

Perencanaan tata ruang sangat penting dilakukan dalam membangun suatu daerah demi terwujudnya pembangunan yang berwawasan lingkungan. Penyimpangan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW akan mengakibatkan degradasi lingkungan termasuk penurunan kualitas air sehingga tidak sesuai dengan peruntukannya. Desa Bagan Deli merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi sehingga telah terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang berupa deforestasi hutan mangrove di sepanjang sempadan sungai menjadi pemukiman, sehingga telah terjadi penurunan kualitas air. Menurut Perda No. 13 Tahun 2011 sempadan sungai merupakan daerah perlindungan setempat dan kawasan mangrove yang berada di Medan Belawan termasuk ke dalam kawasan lindung. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi di muara Desa Bagan Deli dan dampak deforestasi mangrove terhadap perubahan kualitas air. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2016 sampai Mei 2016. Pengambilan sampel air dilakukan secara purposive sampling, data sekunder diperoleh dari Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Medan berupa peta perencanaan tata ruang Kota Medan belawan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa telah terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang berupa pemanfaatan sempadan sungai yang tidak sesuai, dan penggundulan hutan mangrove, dan hal tersebut telah menyalahi UU No. 26 Tahun 2007, UU No. 1 Tahun 2014, dan Perda Kota Medan No. 13 Tahun 2011, disamping itu telah terjadi penurunan kualitas air dari status tidak tercemar menjadi tercemar ringan dengan perhitungan US-EPA (Environmental Protection Agency) yang dibandingkan dengan baku mutu kualitas air kelas III menurut KepMen LH No. 115 Tahun 2003.


(50)

TAWAKAL KUSUMA

.

The suistable space utilization and impact of mangrove convertion toward water quality change in estuary at Bagan Deli Village, Medan Belawan district. Under academic supervision by DARMA BAKTI and RUSDI LEIDONALD.

The spatial planning is important to build a district in order to be a suistinable development. The deviation of space utilization which inappropriate with the spatial planning of local government will cause water quality degradation

become useless as it’s allotment. Bagan Deli Village is a Village with commonly

high inhabitant, so there has been deviation of space utilization such as mangrove deforestation in whole border of estuary become the settlement, which cause degradation water quality. According to local regulation No. 13 of 2011 the border of river are local protected area and mangrove area in Medan Belawan are protected area. The aim of this research was to observed deviation of space utilization in Bagan deli Village and impact of mangrove deforestation toward water quality. This research was held on March 2016 till May 2016. Water sampling done in purposive sampling. Secondary data obtained from department of spatial and building such as Medan Belawan spatial planning map. From this research known there has been deviation of space utilization such as irregulation use of river border and mangrove deforestation which has broke law 26 of 2007, law 1 of 2014 and local government regulation No. 13 of 2011, in addition there has been degradation of water quality became lightly polluted based on US-EPA (Environmental Protection Agency) calculation compared with water quality standard class III in ministerial decree No. 115 of 2003


(51)

KUALITAS PERAIRAN DI MUARA DESA BAGAN

DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN

TAWAKAL KUSUMA

120302023

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2016


(52)

KUALITAS PERAIRAN DI MUARA DESA BAGAN

DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN

SKRIPSI

TAWAKAL KUSUMA

120302023

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2016


(53)

KUALITAS PERAIRAN DI MUARA DESA BAGAN

DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN

SKRIPSI

TAWAKAL KUSUMA

120302023

Skripsi Sebagai Satu Diantara Beberapa Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2016


(54)

Judul penelitian : Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Dan Dampak Konversi Mangrove Terhadap Perubahan Kualitas Perairan Di Muara Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Nama Mahasiswa : Tawakal Kusuma

NIM : 120302023

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS Rusdi Leidonald, SP, M.Sc

Ketua Anggota

Mengetahui

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si


(55)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Tawakal Kusuma

Nim : 120302023

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Dan Dampak Konversi Mangrove Terhadap Perubahan Kualitas Perairan Di Muara Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan” adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Medan, Juni 2016

Tawakal Kusuma NIM.120302023


(56)

TAWAKAL KUSUMA.

Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Dan Dampak Konversi Mangrove Terhadap Perubahan Kualitas Perairan Di Muara Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. Di bawah bimbingan DARMA BAKTI dan RUSDI LEIDONALD

Perencanaan tata ruang sangat penting dilakukan dalam membangun suatu daerah demi terwujudnya pembangunan yang berwawasan lingkungan. Penyimpangan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW akan mengakibatkan degradasi lingkungan termasuk penurunan kualitas air sehingga tidak sesuai dengan peruntukannya. Desa Bagan Deli merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi sehingga telah terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang berupa deforestasi hutan mangrove di sepanjang sempadan sungai menjadi pemukiman, sehingga telah terjadi penurunan kualitas air. Menurut Perda No. 13 Tahun 2011 sempadan sungai merupakan daerah perlindungan setempat dan kawasan mangrove yang berada di Medan Belawan termasuk ke dalam kawasan lindung. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi di muara Desa Bagan Deli dan dampak deforestasi mangrove terhadap perubahan kualitas air. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2016 sampai Mei 2016. Pengambilan sampel air dilakukan secara purposive sampling, data sekunder diperoleh dari Dinas Tata Ruang dan Bangunan Kota Medan berupa peta perencanaan tata ruang Kota Medan belawan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa telah terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang berupa pemanfaatan sempadan sungai yang tidak sesuai, dan penggundulan hutan mangrove, dan hal tersebut telah menyalahi UU No. 26 Tahun 2007, UU No. 1 Tahun 2014, dan Perda Kota Medan No. 13 Tahun 2011, disamping itu telah terjadi penurunan kualitas air dari status tidak tercemar menjadi tercemar ringan dengan perhitungan US-EPA (Environmental Protection Agency) yang dibandingkan dengan baku mutu kualitas air kelas III menurut KepMen LH No. 115 Tahun 2003.


(57)

TAWAKAL KUSUMA

.

The suistable space utilization and impact of mangrove convertion toward water quality change in estuary at Bagan Deli Village, Medan Belawan district. Under academic supervision by DARMA BAKTI and RUSDI LEIDONALD.

The spatial planning is important to build a district in order to be a suistinable development. The deviation of space utilization which inappropriate with the spatial planning of local government will cause water quality degradation

become useless as it’s allotment. Bagan Deli Village is a Village with commonly high inhabitant, so there has been deviation of space utilization such as mangrove deforestation in whole border of estuary become the settlement, which cause degradation water quality. According to local regulation No. 13 of 2011 the border of river are local protected area and mangrove area in Medan Belawan are protected area. The aim of this research was to observed deviation of space utilization in Bagan deli Village and impact of mangrove deforestation toward water quality. This research was held on March 2016 till May 2016. Water sampling done in purposive sampling. Secondary data obtained from department of spatial and building such as Medan Belawan spatial planning map. From this research known there has been deviation of space utilization such as irregulation use of river border and mangrove deforestation which has broke law 26 of 2007, law 1 of 2014 and local government regulation No. 13 of 2011, in addition there has been degradation of water quality became lightly polluted based on US-EPA (Environmental Protection Agency) calculation compared with water quality standard class III in ministerial decree No. 115 of 2003


(58)

Penulis lahir di Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh pada tanggal 29 September 1994 dari Ayahanda Abdul Halim, SE dan Ibunda Hasliati, SE, MSP. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Penulis mengikuti pendidikan awal di TPA Punteut pada tahun 1999-2000. Pada tahun 2000-2006, penulis melanjutkan pendidikan dasar di MIN Kuta Blang Kota Lhokseumawe dan pendidikan menengah pertama di tempuh dari tahun 2006-2009 di MTsN Kota Lhokseumawe, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 10 Fajar Harapan Kota Banda Aceh pada tahun 2009-1012.

Penulis melanjutkan pendidikan strata 1 di program studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui Jalur SNMPTN. Penulis melakukan Praktik Kerja Lapangan di Balai Benih Perikanan Air Payau Ujung Batee, Kota Banda Aceh.

Selain mengikuti perkulihan penulis juga menjadi Asisten Laboratorium Ekosistem Perairan Pesisir pada tahun 2014-2015, dan tahun 2015-2016 dan Asisten Laboratorium Pengelolaan Lingkungan Pesisir pada tahun 2015-2016 dan Asisten Laboratorium Ekotoksikologi Perairan pada tahun 2015-2016. Penulis juga aktif mengikuti organisasi IMASPERA sebagai Ketua Departemen Kewirausahaan pada tahun 2014-2015 dan menjadi Ketua Umum IMASPERA pada tahun 2015-2016, serta penulis juga aktif di Departemen Kaderisasi BKM Al-Mukhlisin pada tahun 2013-2014


(59)

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Dan Dampak Konversi Mangrove

Terhadap Perubahan Kualitas Perairan Di Muara Desa Bagan

Deli Kecamatan Medan Belawan”. skripsi ini sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Abdul Halim, SE dan Ibunda Hasliati, SE, MSP yang selalu memberikan dukungan moral maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Penulis juga terima kasih kepada abangda Dedy Syukran, SE., adinda Melati Dian Sukma, dan adinda Yunita Dara Maulina yang telah memberikan dukungan dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Rusdi Leidonald, SP, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing, memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menulis dan menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Hariza Umami, Tri Wulandari, Abdul Wahid Lubis, Sangap Ginting, Ali Yunus, M. Ripal Al-Kautsar, Fajar Prasetya Kembaren, Gilang Pradifta, Muhammad Arief, Suhadi Utomo, serta teman-teman seperjuangan yang telah memberikan dukungan dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(60)

kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2016


(61)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... ` x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Kerangka Penelitian ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove ... 5

Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ... 7

Kualitas Air Wilayah Pesisir ... 8

Parameter Fisika Kimia Perairan ... 12

Suhu ... 12

Salinitas ... 12

Padatan Tersuspensi Total (TSS) ... 12

pH ... 13

Oksigen Terlarut (DO) ... 13

Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD5) ... 14

Nitrat ... 14

Ortofosfat ... 15

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 16

Alat dan Bahan ... 16


(62)

Pengukuran Parameter Fisika Kimia ... 19

Pengumpulan Data ... 20

Analisis Data ... 20

Metode Indeks Storet ... 20

Prosedur Penggunaan ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 22

Pengukuran Kualitas Air ... 22

Penyimpangan Pemanfaatan ruang ... 23

Peta Perbandingan pemanfaatan dengan perencanaan ruang ... 26

Pembahasan ... 27

Pentingnya Perencanaan Tata Ruang... 27

Dampak Penyimpangan Pemanfaatan Ruang ... 28

Rekomendasi Pengelolaan ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA


(63)

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 3

2. Peta Lokasi Penelitian ... 17

3. Lokasi Stasiun I ... 18

4. Lokasi Stasiun II ... 18


(64)

No. Teks Halaman

1. Penentuan skor dalam indeks STORET ... 21

2. Hasil pengukuran kualitas air ... 22

3. Hasil Perhitungan Metode Storet Pada Stasiun I ... 22

4. Hasil Perhitungan Metode Storet Pada Stasiun II ... 23


(65)

No. Teks Halaman

1. Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) ... 35

2. Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 ... 36

3. Metode Gravimetri Untuk Mengukur TSS ... 37

4. Data Kualitas Air Pada Setiap Stasiun ... 41

5. Data Pasut Saat Pengambilan Sampel ... 42

6. Peta Perencanaan Pola Ruang Kota Medan ... 45

7. Alat dan Bahan Penelitian ... 46


(1)

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2016


(2)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... ` x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Kerangka Penelitian ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove ... 5

Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir ... 7

Kualitas Air Wilayah Pesisir ... 8

Parameter Fisika Kimia Perairan ... 12

Suhu ... 12

Salinitas ... 12

Padatan Tersuspensi Total (TSS) ... 12

pH ... 13

Oksigen Terlarut (DO) ... 13

Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD5) ... 14

Nitrat ... 14

Ortofosfat ... 15

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 16

Alat dan Bahan ... 16


(3)

Stasiun I ... 17

Stasiun II ... 18

Prosedur Penelitian ... 18

Pengukuran Parameter Fisika Kimia ... 19

Pengumpulan Data ... 20

Analisis Data ... 20

Metode Indeks Storet ... 20

Prosedur Penggunaan ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 22

Pengukuran Kualitas Air ... 22

Penyimpangan Pemanfaatan ruang ... 23

Peta Perbandingan pemanfaatan dengan perencanaan ruang ... 26

Pembahasan ... 27

Pentingnya Perencanaan Tata Ruang... 27

Dampak Penyimpangan Pemanfaatan Ruang ... 28

Rekomendasi Pengelolaan ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(4)

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 3

2. Peta Lokasi Penelitian ... 17

3. Lokasi Stasiun I ... 18

4. Lokasi Stasiun II ... 18


(5)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Penentuan skor dalam indeks STORET ... 21

2. Hasil pengukuran kualitas air ... 22

3. Hasil Perhitungan Metode Storet Pada Stasiun I ... 22

4. Hasil Perhitungan Metode Storet Pada Stasiun II ... 23


(6)

x

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) ... 35

2. Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 ... 36

3. Metode Gravimetri Untuk Mengukur TSS ... 37

4. Data Kualitas Air Pada Setiap Stasiun ... 41

5. Data Pasut Saat Pengambilan Sampel ... 42

6. Peta Perencanaan Pola Ruang Kota Medan ... 45

7. Alat dan Bahan Penelitian ... 46