Kesesuaian Pemanfaatan Ruang dan Dampak Konversi Mangrove Terhadap Perubahan Kualitas Perairan di Muara Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan

5

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove
Hiariey (2009)

menjelaskan

bahwa

hutan

mangrove

merupakan

sumberdaya alam yang penting di lingkungan pesisir, dan memiliki tiga fungsi
utama yaitu fungsi fisik, biologis, dan ekonomis. Fungsi fisik mangrove yaitu
sebagai penahan angin, penyaring bahan pencemar, penahan ombak, pengendali
banjir dan pencegah intrusi air laut ke daratan, fungsi biologis mangrove sebagai

daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan
sebagai daerah mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya,
sedangkan fungsi ekonomis mangrove sebagai penghasil kayu untuk bahan baku
dan bahan bangunan, bahan makanan dan obat-obatan. Selain itu, fungsi tersebut
adalah strategis sebagai produsen primer yang mampu mendukung dan
menstabilkan ekosistem laut maupun daratan.
Hutan mangrove dan ekosistem di sekitarnya telah sering mengalami
perusakan dan degradasi seiring dengan bertambahnya penduduk dan kebutuhan
akan peningkatan ekonomi yang didapat dari hutan mangrove. Kerusakan dan
ketidaktahuan akan fungsi hutan mangrove oleh manusia, telah menyebabkan
kerusakan hutan mangrove hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia
(Budiman, dkk., 2001).
Menurut Kusmana (1997) kondisi fisik yang jelas nampak di daerah
mangrove adalah gerakan air yang minim sehingga mengakibatkan partikelpartikel sedimen yang halus sampai di daerah mangrove cenderung mengendap
dan mengumpul di dasar berupa lumpur halus yang menjadi dasar (substrat)
hutan. Sirkulasi air dalam dasar (substrat) yang sangat minimal, ditambah dengan

Universitas Sumatera Utara

6


banyaknya bahan organik dan bakteri penyebab kandungan oksigen di dalam
dasar sangat minim, bahkan mungkin tidak terdapat oksigen sama sekali di dalam
substrat.
Irwanto (2007) menegaskan bahwa fungsi hutan mangrove dapat
dikelompokan sebagai berikut :
1.

Fungsi Fisik : menjaga agar garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dan
sungai dari bahaya erosi dan abrasi, menahan badai/angin kencang dari laut,
menahan hasil proses penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan
terbentuknya lahan baru, menjadi wilayah penyangga dan berfungsi
menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar, mengolah limbah beracun,
penghasil O2 dan penyerap CO2.

2.

Fungsi Biologis : menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber
makanan penting bagi plankton, sehingga penting pula bagi keberlanjutan
rantai makanan, tempat memijah dan berkembang biak ikan-ikan, kerang,

kepiting dan udang, tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak
burung dan satwa lain, sumber plasma nutfah & sumber genetik, merupakan
habitat alami bagi berbagai jenis biota.

3.

Fungsi Ekonomis : penghasil kayu (kayu bakar, arang, bahan bangunan),
penghasil bahan baku industri (pulp, tanin, kertas, tekstil, makanan, obatobatan, kosmetik), penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bandeng
melalui pola tambak silvofishery, tempat wisata, penelitian dan pendidikan.
Ekosistem mangrove sangat peka terhadap gangguan dari luar terutama

melalui kegiatan reklamasi dan polusi. Tiga sumber utama penyebab kerusakan
ekosistem

mangrove,

yaitu:

(a)


pencemaran,

(b)

penebangan

yang

Universitas Sumatera Utara

7

berlebihan/tidak terkontrol, dan (c) konversi ekosistem mangrove yang kurang
mempertimbangkan faktor lingkungan menjadi bentuk lahan yang berfungsi
nonekosistem seperti pemukiman, pertanian, pertambangan, dan pertambakan
(Waryono, 2008).
Faktor-faktor penyebab perubahan pesisir dibedakan menjadi dua macam
yaitu alami dan manusia. Faktor alami antara lain : gelombang laut, arus laut,
angin, sedimentasi, topografi pesisir, pasang surut, perpindahan muara sungai, dan
tsunami, sedangkan faktor manusia meliputi : penggalian, penimbunan atau

penambangan pasir, reklamasi lahan, perlindungan pantai, perusakan vegetasi
mangrove, pertambakan, dan aktivitas manusia di daerah hulu (hinterland)
(Dahuri, 1996).
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir
Pengelolaan

wilayah

pesisir

terpadu

dinyatakan

sebagai

proses

pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan
aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi

dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin
ilmu. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat
banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu
dirumuskan suatu konsep penataan ruang (trategic plan) serta berbagai pilihan
objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan
pengelolaan wilayah pesisir sekurang-kurangnya mengandung 3 dimensi :
sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. (Rahmawaty, 2004)
Isu permasalahan pemanfaatan ruang pada kota di wilayah pesisir, antara
lain berkembangnya berbagai kegiatan budidaya pada kawasan konservasi atau

Universitas Sumatera Utara

8

pada kawasan budidaya untuk kegiatan budidaya yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang, sebagai akibat meningkatnya kebutuhan lahan untuk kegiatan
perkotaan. Pemanfaatan ruang pada kota di wilayah pesisir dimaksudkan sebagai
perwujudan rencana tata ruang yang mencakup berbagai kegiatan pembangunan
fisik, sosial ekonomi dan budaya yang secara visual, historis atau fisik sebagai
bagian ruang yang dipengaruhi oleh air laut (Francisca, 2011)

Kesadaran akan pentingnya peranan perencanaan tata ruang untuk
pengurangan risiko bencana di Indonesia termasuk cukup lambat. Perencanaan
ruang berbasis pengurangan risiko bencana belum mendapatkan tempat terpenting
sebagai salah satu instrumen untuk usaha mengurangi risiko bencana yang
dibuktikan dengan usaha penanggulangan bencana dilakukan melalui mekanisme
koordinasi yang dibentuk ketika bencana terjadi. Fungsi rencana tata ruang pada
daerah rawan bencana sejatinya adalah sebagai instrumen pengurangan risiko
bencana, karena perencanaan tata ruang dilakukan pada saat bencana tidak/belum
terjadi. Rencana tata ruang juga berfungsi sebagai kebijakan pembangunan.
Menurut Brody, 2004 dalam Sagala dan Bisri, 2011, keputusan dalam bentuk
kebijakan

pembangunan

dapat

diarahkan

untuk


mengurangi

komponen

pembentuk risiko, baik menghindari lokasi bahaya, mengeliminasi kerentanan,
dan memperkuat kapasitas (Rosari, 2014)
Kualitas Air Wilayah Pesisir
Wilayah Pesisir merupakan zona interaksi antara lautan dan daratan yang
luasnya mencapai 15% dari daratan bumi. Wilayah pesisir di Indonesia sangat
potensial, karena merupakan lokasi perdagangan, transportasi, perikanan tangkap,
budidaya perairan, industri, pertambangan dan pariwisata. Terdapat beberapa

Universitas Sumatera Utara

9

faktor yang dapat mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir di antaranya:
pertumbuhan penduduk, kegiatan-kegiatan manusia, sedimentasi, ketersediaan air
bersih dan pencemaran (Rachmawatie, dkk, 2009).


Air banyak sekali mengandung berbagai zat terlarut maupun tidak terlarut,
sehingga air sangat sukar diperoleh dalam keadaan murni. Apabila kandungan
berbagai zat tersebut tidak mengganggu kesehatan manusia, maka air dianggap
bersih. Air dikatakan tercemar apabila terdapat gangguan terhadap kualitas air,
dimana kandungan berbagai zat sudah melebihi ambang batas. Ambang batas
kadar zat dalam air berbeda-beda untuk jenis air sesuai peruntukannya
(Hendrawati, 2009).
Aktivitas manusia dalam memanfaatkan kawasan pesisir seringkali
menghasilkan limbah bahan pencemar yang dapat membahayakan kehidupan
perairan laut dan secara khusus dapat menganggu perkembangan komunitas jenis
kerang-kerangan. Semakin bertambahnya aktivitas manusia di berbagai sektor
kehidupan mengakibatkan tekanan lingkungan terhadap perairan semakin
meningkat karena masuknya limbah dari berbagai kegiatan di kawasan-kawasan
yang telah terbangun di wilayah pesisir tersebut, sehingga pada suatu saat dapat
melampaui keseimbangan air laut yang mengakibatkan sistem perairann menjadi
tercemar (Amriani, 2011).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, sumber air
diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) kelas mutu air :
1. Kelas Satu, yaitu air yang dapat digunakan untuk air minum, dan atau
peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan

tersebut.

Universitas Sumatera Utara

10

2. Kelas Dua, yaitu air yang dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
3. Kelas Tiga, yaitu air yang dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi tanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
4. Kelas Empat, air yang dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
Pembuangan berbagai jenis limbah secara langsung yang berasal dari
pemukiman, industri, pertanian, peternakan dan sebagainya ke badan sungai,
tanpa terlebih dahulu diolah dalam instalasi pengolahan limbah, akan berakibat
buruk bagi kehidupan jasad hidup di dalam air. Hal ini disebabkan terjadinya

perubahan parameter lingkungan di dalam air yang tidak sesuai lagi bagi
kehidupan jasad hidup. Apabila perubahan yang terjadi melewati ambang batas
yang masih dapat ditenggang oleh jasad hidup dalam air, maka akibatnya akan
fatal bagi kelangsungan kehidupannya (Barus, 2004).
Pencemaran air dapat menyebabkan berkurangnya keanekaragaman atau
punahnya populasi organisme perairan seperti benthos, perifiton dan plankton.
Hal ini menyebabkan sistem ekologis perairan dapat terganggu. Sistem ekologis
perairan mempunyai kemampuan untuk memurnikan kembali lingkungan yang
telah tercemar sejauh beban pencemaran masih berada dalam batas daya dukung
lingkungan yang bersangkutan. Apabila beban pencemar melebihi daya dukung

Universitas Sumatera Utara

11

lingkungannya,

maka

kemampuan

itu

tidak

dapat

dipergunakan

lagi

(Salam, 2010).
Apabila suatu limbah yang berupa bahan pencemar masuk ke suatu lokasi
maka akan terjadi perubahan padanya. Perubahan dapat terjadi pada organisme
yang hidup di lokasi itu serta lingkunya yang berupa faktor Fisika dan Kimianya.
Salah satu perubahan yang terjadi karena pembuangan limbah ke badan perairan
dapat menyebabkan berkurangnya kadar oksigen. Oksigen penting untuk
pernafasan yang merupakan komponen utama untuk metabolisma ikan dan
oprganisme lain. Persenyawaan organik di perairan akan dipecah oleh organisme
pembusuk. Terjadinya proses ini sangat membutuhkan oksigen terlarut dalam
perairan tersebut, disamping itu adanya senyawa racun yang terkandung di dalam
limbah juga mempengruhi proses metabolisma dalam tubuh ikan, merusak
jaringan usus dan fungsi ginjal (Duffus, 1980).
Penggunaan lahan yang tidak berkesinambungan ini ditunjukkan dengan
banyaknya konversi lahan hutan mengrove menjadi lahan budi daya seperti
pertanian, permukiman, dan pertambakan. Hal ini dibuktikan dengan adanya
penurunan luas hutan mangrove yang terdapat di Kawasan Segara Anakan sebesar
7.056 hektar, dari luas semula sebesar 15.551 hektar pada tahun 1974 menjadi
8.495 hektar pada tahun 2008 (Sumber: Data dan Informasi Segara Anakan dari
Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Kabupaten Cilacap,
2009). Padahal, hutan mangrove berperan dalam memerangkap dan menyaring
sedimen serta bahan pencemar sehingga sedimentasi dan pencemaran di perairan
pesisir dapat dikurangi (Yulianti,2012).

Universitas Sumatera Utara

12

Parameter fisika kimia perairan
Suhu
Pada daerah beriklim tropis, suhu di perairan dipengaruhi oleh kondisi
cuaca, altitude, sirkulasi udara dan sumber aliran perairan. Suhu memiliki peranan
yang penting bagi proses fisika, kimia dan biologi di suatu perairan. Peningkatan
suhu dapat menyebabkan peningkatan laju evaporasi, volatilisasi gas dan reaksi
reaksi kimia di perairan. Kenaikan suhu perairan dapat menyebabkan penurunan
kelarutan gas di dalam air, termasuk gas O2, CO2, NH3, dan H2S. Suhu yang
sangat ekstrim serta perubahannya dapat berdampak buruk bagi kehidupan
organime akuatik, baik secara langsung maupun tak langsung. Pada umumnya, di
Indonesia suhu dinyatakan dalam satuan derajat Celcius. Suhu air permukaan di
perairan Indonesia kita umumnya berkisar antara 28-31oC (Nontji, 1993).
Salinitas
Salinitas merupakan konsentrasi total dari seluruh ion terlarut di dalam air.
Ion penyusun tersebut terdiri dari natrium, kalium, kalsium, magnesium, klor,
sulfat, dan bikarbonat. Salinitas biasanya dinyatakan dalam satuan gram per
kilogram atau bagian per seribu. Salinitas adalah salah satu parameter yang
memiliki peranan penting di perairan pesisir dan estuari. Perubahan kondisi
salintas secara permanen dapat merubah tatanan ekosistem akuatik, terutama
dalam hal keanekaragaman jenis dan kelimpahan organisme (Canter, 1979).
Padatan tersuspensi total (TSS)
Padatan tersuspensi total atau TSS adalah material atau bahan-bahan
berbentuk suspensi di perairan yang tertahan oleh kertas saring dengan ukuran

Universitas Sumatera Utara

13

pori-pori 0.45 µm. Padatan tersuspensi tersebut terdiri dari lumpur, pasir halus dan
serasah Organik. padatan tersuspensi dapat mengurangi intensitas cahaya yang
masuk ke dalam kolom perairan, sehingga dapat mengganggu proses pertumbuhan
dan fotosintesis tumbuhan di perairan tersebut. Pada air buangan tambak, padatan
tersuspensi yang tinggi akan menyebabkan tingkat sedimentasi bahan organik di
perairan sekitar tambak lebih tinggi dari perairan alami (Effendi, 2003).
pH
nilai pH yang terukur di perairan menggambarkan konsentrasi ion
hidrogen. Keberadaan ion hidrogen di perairan dinyatakan dalam persamaan
seperti di bawah ini.
pH = - log [H+] atau pH = log 1/[H+]
Besarnya ion hidrogen dalam air dinyatakan dalam satuan g/liter. Kemudian
diketahui bahwa konsentrasi ion hidrogen di dalam air murni yang netral adalah
1× 10-7 g/liter. Besarnya nilai pH dapat mempengaruhi toksisitas senyawa
senyawa kimia serta mempengaruhi proses biokimiawi di perairan. Sebagian besar
organisme akuatik kurang toleran terhadap perubahan pH dan lebih menyukai
perairan dengan kisaran pH antara 7 sampai 8.5 (Effendi, 2003).
Oksigen terlarut (DO)
Jumlah konsentrasi oksigen terlarut yang terdapat di suatu perairan
bergantung kepada kondisi suhu dan salinitas perairan itu sendiri, serta aktifitas
turbulensi (agitasi) yang menyebabkan terjadinya difusi gas oksigen dari udara ke
dalam air. Kadar oksigen terlarut di suatu perairan juga berfluktuasi secara harian.
Faktor utama penyebab fluktuasi tersebut adalah aktivitas fotosintesis tumbuhan

Universitas Sumatera Utara

14

(fitoplankton) dan respirasi organisme heterotrof (APHA, 1989). Selain itu,
aktifitas dekomposisi bahan organik juga dapat mengakibatkan penurunan kadar
oksigen dalam air bahkan, konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan dapat
mencapai nilai nol jika jumlah bahan organik yang didekomposisi terlalu banyak
(Effendi, 2003).
Kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD5)
Kebutuhan oksigen biokimia merupakan pendekatan pengukuran kadar
bahan organik dengan melihat jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme aerobik dalam mengoksidasi bahan organik tersebut Besarnya
nilai BOD di perairan bergantung kepada tingginya konsentrasi dari bahan
organik itu sendiri serta faktor lain seperti suhu dan kepadatan plankton
(Boyd, 1988). Menurut Effendi (2003), perairan alami memiliki nilai BOD antara
0.5 mg/liter sampai 7.0 mg/liter, sedangkan perairan dengan nilai BOD lebih dari
10.0 mg/liter tergolong ke dalam perairan tercemar.
Nitrat
Nitrat merupakan salah satu bentuk nitrogen di perairan yang dapat
dimanfaatkan oleh tumbuhan (fitoplankton dan alga) selain ion amonium dalam
menunjang proses pertumbuhan. Senyawa NO3-N sangat mudah larut dalam air
dan bersifat stabil. Nitrat nitrogen di perairan merupakan hasil dari proses oksidasi
nitrogen secara sempurna melalui proses nitrifkasi yang melibatkan bakteri,
diantaranya; bakteri Nitrosomonas yang mengoksidasi amonia menjadi nitrit, dan
bakteri Nitrobacter yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Kadar nitrat di
perairan dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat penyuburannya;

Universitas Sumatera Utara

15

kadar nitrat antara 0 mg/liter hingga 1 mg/liter untuk perairan oligotrofik; kadar
nitrat antara 1 mg/liter hingga 5 mg/liter untuk perairan mesotrofik; dan kadar
nitrat 5 mg/liter hingga 50 mg/liter untuk perairan eutrofik (Wetzel, 2001).
Ortofosfat
Ortofosfat dapat berasal dari limbah kegiatan pertanian atau dari limbah
domestik seperti hasil buangan limbah deterjen dari pemukiman. Sebagian besar
perairan alami sensitif terhadap penambahan fosfat yang ditunjukkan dengan
meningkatnya produksi tumbuhan, termasuk fitoplankton dan alga. Namun, unsur
fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas di perairan, melainkan terdapat dalam
bentuk senyawa anorganik terlarut dan senyawa organik partikulat. Salah satu
bentuk senyawa fosfor anorganik adalah ion ortofosfat terlarut. Ortofosfat terlarut
adalah bentuk ionisasi asam ortofosfat (H3PO4) dan merupakan bentuk fosfor
paling sederhana di perairan. konsentrasi fosfor di perairan sangat rendah.
Konsentrasi ortofosfat terlarut biasanya tidak pernah mencapai nilai antara
5Ig/liter hingga 20 Ig/liter, dan jarang mencapai 100 Ig/liter Boyd (1990).

Universitas Sumatera Utara