Segi-Segi Hukum Perjanjian Dalam Sistem Pembayaran Dari Pihak Apotek Kepada Distributor Obat Mengenai Pemasokan Dan Pengeluaran Obat (Pada Apotek Umi Farma, Jalan Karya Kasih No. 104 Medan Johor)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku:

Amirin, M. Tatang, 2000, Menyusun Rencana Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Arief, Muhammad, 2005, Manajemen Farmasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Badan POM, 2007, Pedoman Cara Distribusi Obat Yang Baik.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.

BPHN Departemen Kehakiman, 1992/1993, Laporan Pengkajian Tentang Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi.

Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

C., Ansel, Howard, 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Diterjemahkan oleh: Farida Ibrahim. UI Press, Jakarta.

Firmansyah, Muhamad, 2009, Tata Cara Mengurus Perizinan Usaha Farmasi dan Kesehatan, Visimedia, Jakarta.

Fuady, Munir, 2001,Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(2)

H.S, Salim, 2008, Hukum Kontrak Teori dan Praktek Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.

Ichsan, Ahmad, 1969, Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999, Edisi kesepuluh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.

M. Soefwan, Sri Soedewi, 1975, Hukum Perutangan. Hukum Perdata FH UGM, Yogyakarta.

Marbun, B., N, 1992, Kekuatan dan Kelemahan Perusahaan Kecil, Gramedia, Jakarta.

Mashudi dan Ali Chidir, 2001, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung.

Mertokusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum Perjanjian. Liberty, Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 1982,Hukum Perikatan, Bandung Press, Bandung.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Wijaja,2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Mutchler, Ernst, 1991, Dinamika Obat,ITB Bandung, Bandung.

Nuraini, Widjayanti, V, 2002, Obat-Obatan. Kanisius, Yogyakarta.

Oentoeng Soebagijo, Felix, 1996, Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi dalam Hukum Ekonomi, UI Press, Jakarta.


(3)

Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung.

Prawirohamidjojo, R. Seotojo, 1979, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya.

Prodjodikoro, Wirjono R., 1992,Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung.

Santoso, Lukman, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Cakrawala, Yogyakarta.

Satrio, J, 2001,Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung.

______, 1996, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Setiawan, Rahmad, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta.

Sri Hartini, Yustina, 2010,Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek Rakyat, Cetakan Ketiga, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Subekti, R, 1996, Hukum Perjanjian,Intermasa, Jakarta.

________, 1985, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, 1988, Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Alumni, Bandung.


(4)

Sugiyono, 2001, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung.

Syahrani, H. Riduan, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung.

Syamsudin Meliala, A.Qiram, 1985,Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.

Syarief, Amir, 1989, Farmakologi dan Terapi, Gaya Baru, Jakarta.

Winardi, 1994, Azas-Azas Marketing, Mandar Maju, Bandung.

Yulinah Sukandar, Elin, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Departemen Farmasi FMIPA ITB, Bandung.

II. PeraturanPerundang-undangan:

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 10. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Psal 1 angka 9. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 7. Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Pasal 1angka 21. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasiaan.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/MENKES/PER/II/1993 tentang Obat Keras Tertentu.

Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen Atau Distributor Barang dan/ atau Jasa.


(5)

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik.

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 Bab 1 Pasal 1 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 243/MEN.KES/SK/V/1990 tentang Pedagang Besar Farmasi.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 23/MPR/KEP/I/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan.

SK Mendag No. 77/KP/III/78 tentang Ketentuan Mengenai Kegiatan Perdagangan Terbatas Bagi Perusahaan Produksi Dalam Rangka Penanaman Modal.

III. Website:

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://kbbi.web.id/distributor. Terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2013, jam 19.30 WIB.

Bank Indonesia, Sistem Pembayaran,

http://www.bi.go.id/web/id/Sistem+Pembayaran/. Terakhir kali diakses pada tanggal 2 Mei 2013, Jam 11.00 WIB.

Institut Sains dan Teknologi Nasional, Persyaratan Perizinan Apotek,


(6)

http://farmasi-istn.blogspot.com/2007/11/persyaratan-perizinan-pendirian-apotek.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 14 Mei 2013, Jam 20.00 WIB.

Icha Fitria, Dunia Farmasi dan Kesehatan,

http://ichafitria-

duniafarmasidankesehatan.blogspot.com/2011/08/contoh-laporan-apotek.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 14 Mei 2013, Jam 20.20 WIB.

Atira Rachmawati, Peran dan Fungsi Apoteker di Apotek dan Rumah Sakit,

http://arlovera.blogspot.com/2010/05/peran-dan-fungsi-apoteker-di-apotek-dan.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 15 Mei, Jam 22.00 WIB.

I’m Pharmapreneur, Menciri PBF (Pedagang Besar Farmasi) yang Diminati Apotek, http://bisnisapotek.blogspot.com/2010/12/menciri-pbf-pedagang-besar-farmasi-yang.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2013, Jam 13.00 WIB.

Bimo Prasetio S.H, dan Asharyanto S.H.I, Perlunya Perjanjian Dibuat Secara

Tertulis,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7034/perlunya-perjanjian-dibuat-secara-tertulis, terakhir kali diakses pada tanggal 20 Mei 2013, Jam 23.00 WIB.

Lindri Widya Atfa, Makalah Hukum Perjanjian,

http://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/, Terakhir kali diakses pada tanggal 23 Mei 2013, Jam 21.00 WIB.


(7)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEK DAN DISTRIBUTOR

A. Tinjauan umum tentang Apotek 1. Pengertian Apotek

Kesehatan sebagai hak asasi telah menjadi kebutuhan mendasar dan menjadi kewajiban negara dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan. Salah satu strategi dalam meningkatkan derajat kesehatan adalah mengutamakan pelayanan yang berkualitas terhadap setiap masyarakat dimana salah satunya adalah dalam bidang pelayanan kefarmasian.

Berdasarkan rumusan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 Bab 1 Pasal 1 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan Tata

Cara Pemberian Izin Apotek memberikan definisi Apotek adalah “Suatu tempat

tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat”. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasiaan Bab 1, bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker”.41

Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep

41 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 Bab 1 Pasal 1 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.


(8)

dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan juga termasuk obat-obatan tradisonal.

2. Tugas dan Fungsi Apotek

Apotek berperan sebagai sarana dalam memberikan informasi obat kepada

masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.42Apotek mempunyai tugas dan fungsi

utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan yang berhubungan dengan hal

tersebut, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa dipakai di rumah.43 Selain

dari itu, apotek juga memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:

a. Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan

sumpah/janji jabatan.

b. Sarana pelayanan farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan

bentuk, dan pencampuran obat atau bahan obat.

c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat

yang diperlukan oleh masyarakat secara luas dan merata.

d. Sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.44

3. Peraturan Mengenai Apotek

Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang diatur dalam:

a. Undang – Undang Obat Keras (St.1973 No.541).

b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

c. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

42 Muhamad Firmansyah, Tata Cara Mengurus Perizinan Usaha Farmasi & Kesehatan, Jakarta : Visimedia, 2009, hlm. 27.

43 Mohammad Arief, Manajemen Farmasi, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005, hlm. 3.


(9)

d. Undang – Undang No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika.

e. Peraturan Menkes RI No. 41 Tahun 1980 tentang Masa Bhakti Ijin

Kerja Apoteker.

f. Peraturan Menkes RI No. 922/SK/Menkes/X/1993 tentang Tata Cara

Pemberian Ijin Apotek.

g. Peraturan Pemerintah No. 51 / Tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian.

h. Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek.

i. Kepmenkes No. 1331/Menkes/SK/X/2002tentang perubahan Atas

Peraturan Menkes No. 922/Menkes/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Kerja Pemberian Apotek.

j. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP

No. 26 tahun 1965 mengenai Apotek.

k. Peraturan Menteri Kesehatan No. 695/MENKES/PER/VI/2007

tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan N0. 184 tahun 1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker.

l. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.


(10)

m. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

4. Persyaratan Perizinan Pendirian Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/Menkes/SK/X/2002,

disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan apotek adalah sebagai berikut:45

a. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerjasama

dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.

b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan

komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.

c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain di luar

sediaan farmasi.

Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam pendirian apotek adalah:

1) Lokasi dan Tempat, Jarak antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun

sebaiknya tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat dengan kendaraan.

45 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Ketentuan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, Loc.Cit.


(11)

2) Bangunan dan Kelengkapan, Bangunan apotek harus mempunyai luas dan memenuhi persyaratan yang cukup, serta memenuhi persyaratan teknis sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek serta memelihara mutu perbekalan kesehatan di bidang farmasi. Bangunan apotek sekurang-kurangnya terdiri dari : ruang tunggu, ruang administrasi dan ruang kerja apoteker, ruang penyimpanan obat, ruang peracikan dan penyerahan obat, tempat pencucian obat, kamar mandi dan toilet. Bangunan apotek juga harus dilengkapi dengan : sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, penerangan yang baik, alat pemadam kebakaran yang befungsi baik, ventilasi dan sistem sanitasi yang baik dan memenuhi syarat higienis, papan nama yang memuat nama apotek, nama APA, nomor SIA, alamat apotek, nomor telepon apotek.

3) Perlengkapan Apotek, Apotek harus memiliki perlengkapan, antara lain:

(a) Alat pembuangan, pengolahan dan peracikan seperti timbangan, mortir,

gelas ukur dll.

(b) Perlengkapan dan alat penyimpanan, dan perbekalan farmasi, seperti

lemari obat dan lemari pendingin.

(c) Wadah pengemas dan pembungkus, etiket dan plastik pengemas.

(d) Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika dan bahan beracun.

(e) Buku standar Farmakope Indonesia, ISO, MIMS, DPHO, serta kumpulan

peraturan per-UU yang berhubungan dengan apotek.

(f) Alat administrasi, seperti blanko pesanan obat, faktur, kwitansi, salinan


(12)

4) Prosedur perizinan apotek

Untuk mendapatkan izin apotek, APA atau apoteker pengelola apotek yang bekerjasama dengan pemilik sarana harus siap dengan tempat, perlengkapan, termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya. Surat izin apotek (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan RI kepada apoteker atau apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana untuk membuka apotek di suatu tempat tertentu.

Dalam wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri Kesehatan dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.

Sesuai dengan Keputusan MenKes RI No.1332/MenKes/SK/X/2002 Pasal 7 dan 9 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yaitu:

a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota.

b. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 hari

setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.

c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM

selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan.


(13)

d. Dalam hal pemerikasaan dalam ayat (2) dan (3) tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi.

e. Dalam jangka 12 hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan

sebagaimana ayat (3) atau persyaratan ayat (4), Kepala Dinas Kesehatan setempat mengeluarkan surat izin apotek.

f. Dalam hasil pemerikasaan tim Dinas Kesehatan setempat atau Kepala

Balai POM dimaksud (3) masih belum memenuhi syarat Kepala Dinas Kesehatan setempat dalam waktu 12 hari kerja mengeluarkan surat penundaan.

g. Terhadap surat penundaan sesuai dengan ayat (6), apoteker diberikan

kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan sejak tanggal surat penundaan.

h. Terhadap permohonan izin apotek bila tidak memenuhi persyaratan sesuai

pasal (5) dan atau pasal (6), atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Dinas setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan surat

penolakan disertai dengan alasan-alasannya. 46

5) Pengelolaan Apotek

Pengelolaan apotek meliputi :

46http://farmasi-istn.blogspot.com/2007/11/persyaratan-perizinan-pendirian-apotek.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 14 Mei 2013.


(14)

(a) Pembuatan,pengolahan,peracikan,pengubahanbentuk,pencampuran, penyimpanan, pengarahan obat serta bahan obat.

(b) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan farmasi

lainnya.

(c) Pelayanan informasi tentang mengenai perbekalan farmasi, yang meliputi :

1. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan lainnya yang di berikan

kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.

2. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya.

3. Pelayanan informasi yang di maksud di atas wajib di dasarkan pada

kepentingan masyarakat.

Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu dan keabsahannya terjamin. Obat dan perbekalan farmasi karena suatu hal tidak digunakan lagi atau dilarang digunakan harus di musnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau cara lain yang ditetapkan oleh Dirjen POM. Pemusnahan dilakukan oleh apoteker pengelola apotek, pada saat pemusnahan wajib dibuat berita acara pemusnahan.Pemusnahan

narkotika wajib mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku.47

5. Apoteker

Beberapa peraturan perundang-undang yang merumuskan tentang definisi apoteker, yaitu sebagai berikut:

(a) Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332 tahun 2002 tentang perubahan

atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 922 tahun 1993 tentang

47 http://ichafitria-duniafarmasidankesehatan.blogspot.com/2011/08/contoh-laporan-apotek.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 14 Mei 2013.


(15)

Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, “Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasiaan di Indonesia sebagai apoteker”.48

(b) Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasiaan, “Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus

sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker”.49

6. Peran dan Fungsi Apoteker

Dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat dirumuskan Peran dan Fungsi Apoteker di Apotik adalah sebagai :

(a) Pelayan (b) Manajer

Sebagai Pelayan adalah :

1. Membaca resep dengan teliti, meracik obat dengan cepat, membungkus dan menempatkan obat dalam wadah / bungkus yang cocok dan memeriksa serta memberi etiket dengan teliti.

2. Memberikan informasi / konsultasi tentang obat kepada pasien, tenaga kesehatan masyarakat.

3. Melayani resep dan non resep. Sebagai Pelayan Resep melakukan :

48 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Ketentuan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, Loc.Cit.


(16)

a. Skrining/pembacaan resep, melakukan pemeriksaan persyaratan administrative resep yaitu antara lain: Nama dokter, alamat, SIP, tanggal penulisan, paraf/tanda tangan, nama pasien, alamat, umur, jenis kelamin, berat badan, signa (cara pakai) yang jelas dan informasi lainnya.

b. Kesesuaian farmasetik, yaitu antara lain: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkomptabilitas, cara dan lama pemberian.

c. Pertimbangan klinis, yaitu antara lain: alergi, efek samping, interaksi dan penyiapan obat.

d. Peracikan (hitung, sediakan, campur, kemas, label) e. Penyerahan obat.

f. Pemberian informasi dan konseling. g. Monitoring penggunaan obat.

h. Promosi dan edukasi, sebagai tenaga promosi dan edukasi melakukan Swa medikasi (dengan medication record) dan penyebaran brosur serta poster tentang kesehatan.

i. Pelayanan residensial (home care), sebagai tenaga pelayanan residensial (home care) untuk penyakit kronis (dengan medication record).

Sebagai Manajer adalah : a. Menyusun prosedur tetap.

b. Mengelola obat, sumber daya manusia, peralatan dan uang di Apotik. c. Mengelola sumber daya (resources) di Apotik secara efektif dan efisien.


(17)

d. Membuat prosedur tetap untuk masing – masing pelayanan.50 Larangan Apoteker

Beberapa larangan apoteker diantaranya yaitu:

a. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan profesi apoteker

b. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kode etik apoteker

c. Menjalankan profesinya diluar tempat yang tercantum dalam Surat Izin

Apotek (SIA)

d. Menjalankan profesinya dalam keadaan jasmani dan rohani terganggu. 51

7. Obat

Pada saat ini kedudukan obat sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok yang melekat dalam kehidupan sehari-hari untuk dikonsumsi oleh makhluk hidup dalam menyembuhkan penyakit yang sedang diderita, misalnya sakit kepala, sakit mata, demam tinggi, flu batuk, serta penyakit lainnya. Agar rasa sakit yang diderita berkurang maka mengkonsumsi obat adalah salah satu cara penyembuhannya. Pada mulanya penggunaan obat-obatan dilakukan secara

empirik dari tumbuhan, hanya berdasarkan pengalaman.52

Ada beberapa pengertian mengenai obat, yaitu sebagai berikut:

Obat adalah bahan yang digunakan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit

atau sebagai penyembuhan bagi seseorang dari penyakit.53Obat adalah bentuk

50http://arlovera.blogspot.com/2010/05/peran-dan-fungsi-apoteker-di-apotek-dan.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 15 Mei 2013.

51 Yustina Sri Hartini, Naskah Peraturan Perundang-undangan terkait Apotek Termasuk

Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek Rakyat, Cetakan ke tiga, Universitas

Sanata Dharma, Yogyakarta, hlm. 10.

52 Elin Yulinah Sukandar, Tren dan Paradigma DuniaFarmasi, Departemen Farmasi FMIPA ITB, Bandung, hlm. 2.

53Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kesepuluh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1999, hlm. 69.


(18)

sediaan tertentu dari bahan obat yang digunakan pada manusia maupun hewan dimana bahan obat terdiri dari zat aktif dan bahan penolong yang berfungsi untuk

mencegah, meringankan, menyembuhkan, atau mengenali penyakit.54Obat adalah

semua zat, baik zat kimia maupun tumbuh-tumbuhan dalam dosis yang layak

mampu mempengaruhi organ-organ tubuh agar berfungsi normal.55Obat adalah

sebagai suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis, mengurangi

rasa sakit, mengobati atau mencegah penyakit pada manusia dan hewan.56 Obat

adalah obat, jadi termasuk produk biologi, yang merupakan paduan zat aktif dan

zat tambahan termasuk kontrasepsi dan sediaan lain yang mengadung obat.57 Obat

adalah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup.58

Klasifikasi Obat Berdasarkan Undang-Undang,

Berdasarkan undang-undang obat dibagi menurut tingkat keamanannya menjadi beberapa kelompok, diantaranya yaitu:

a. Kelompok Obat Bebas

Sesuai dengan namanya obat-obat bebas dapat dijual-belikan dengan bebas tanpa resep dokter dan dapat dibeli di apotek, toko obat, maupun warung-warung kecil.

b. Kelompok Obat Bebas Terbatas

Obat-obat dalam kelompok ini disebut dalam daftar obat W (Waarschuing/peringatan). Obat-obatan ini dapat dijual-belikan secara

54 Ernst Mutchler, Dinamika Obat, ITB Bandung, Bandung, 1991, hlm. 3. 55 V. Nuraini Widjayanti, Obat Obatan, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 23. 56 Howard C. Ansel, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh: Farida Ibrahim, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2005, hlm. 1.

57Pedoman Cara Distribusi Obat Yang Baik, Badan POM, 2007, hlm. 3. 58 Amir Syarief, Farmakologi dan Terapi, Gaya Baru, Jakarta, 1989, hlm. 1.


(19)

bebas dengan syarat hanya dalam jumlah yang telah ditentukan dan disertai dengan tanda peringatan. Pada pembungkusnya diberi tanda khusus, yaitu warna biru didalam lingkaran warna hitam. Tanda peringatan ditulis dengan huruf putih diatas kertas yang umumnya berwarna hitam.

c. Kelompok Obat Keras

Kelompok obat keras dikenal juga dengan obat daftar G (Gevaarlijk/berbahaya). Obat-obatan golongan ini sangat berbahaya, mempunyai efek samping yang sangat besar. Untuk mendapatkan obat ini harus berdasarkan resep dokter yang hanya dapat dibeli di apotek. Sebagai tanda khusus, pada pembungkusnya diberi huruf K dengan latar belakang merah didalam lingkaran warna hitam.

d. Kelompok Psikotropika

Kelompok psikotropika ini sama dengan kelompok obat keras baik cara mendapatkannya maupun tanda khususnya. Perbedaan penggunaan obat ini lebih ketat dibandingkan dengan obat keras. Pemasukan dan pemakaian psikotropika harus tercatat dan harus dibuat laporan ke instansi yang berwenang.

e. Kelompok Narkotika

Kelompok narkotika ini dikenal juga sebagai obat golongan O (Opium). Narkotika ini hanya dapat diperoleh berdasarkan resep dokter dan hanya dapat dibeli di apotek. Peredaran obat narkotika ini sangat ketat dan diawasi oleh Badan POM. Keluar masuknya narkotika ini dicatat dan


(20)

dibuat laporan setiap bulan ke instansi yang berwenang. Tanda khusus narkotika, pada pembungkusnya terdapat palang merah dengan latar

belakang putih dan didalam lingkaran berwarna merah.59

A. Tinjauan Umum Tentang Distributor 1. Pengertian Distributor

Distributor adalah suatu perusahaan perdagangan nasional yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang ruang lingkupnya meliputi kegiatan

pembelian, penyimpanan, penjualan, serta pemasaran barang atau jasa.60Hal ini

berbeda dengan agen yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal.

Prinsipal adalah orang perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang berada didalam negeri atau diluar negeri yang menunjuk agen atau distributor untuk melakukan penjualan barang dan/ atau jasa yang dimiliki/dikuasai.

Dalam melakukan kegiatan pemasaran dan penjualan barang, distributor melakukan pembelian barang-barang dari pihak prinsipal. Dengan adanya jual beli tersebut, kepemilikan barang berpindah kepada pihak distributor, dan barang-barang yang telah menjadi miliknya tersebut yang dijual kembali kepada konsumen terbatas dalam wilayah yang diperjanjikan.

Dalam dunia bisnis, perusahaan atau perorangan yang mengangkat atau menunjuk distributor disebut prinsipal. Pengangkatan atau penunjukan distributor

59V. Nuraini Widjayanti, Op.Cit, hlm. 15-17.

60 Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen Atau Distributor Barang dan/ atau Jasa.


(21)

dapat dilakukan oleh prinsipal yang pada umumnya dalam bentuk tertulis, sekalipun secara lisan tidak ada larangan, tetapi pada saat ini hubungan distributor dengan prinsipal biasanya diikat oleh suatu persetujuan dalam bentuk

kontraktuil.61 Perbedaan agen dengan distributor adalah sebagai berikut:

Agen adalah perusahaan yang menjual barang atau jasa untuk dan atas nama prinsipal,pendapatan yang diterima adalah atas hasil dari barang-barang atau jasa yang dijual kepada konsumen berupa komisi dari hasil penjualan,barang langsung dikirimkan dari prinsipal kepada konsumen jika antara agen dengan konsumen mencapai suatu persetujuan,pembayaran atas barang yang telah diterima oleh konsumen langsung kepada prinsipal bukan melalui agen.

Distributor adalah perusahaan yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri, membeli dari prinsipal/produsen dan menjual kembali kepada konsumen untuk kepentingan sendiri,prinsipal tidak selalu mengetahui konsumen akhir dari produk-produknya, sehingga bertanggung jawab atas keamanan pembayaran

barang-barangnya untuk kepentingan sendiri.62

2. Pengertian Distributor Obat (Pedagang Besar Farmasi/PBF)

Istilah PBF merupakan kepanjangan dari Pedagang Besar Farmasi yang berperan sama sebagai distributor pada umumnya, hanya saja karena bergerak di bidang pendistribusian produk kefarmasiaan, maka disebutlah sebagai PBF. Peran

61 Felix Oentoeng Soebagijo, Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan

Distribusi dalam Hukum Ekonomi, Penyunting Soemantoro, Jakarta : U.I Press, 1996,

hlm. 243.

62 BPHN Departemen Kehakiman, Laporan Pengkajian Tentang Beberapa Aspek Hukum


(22)

PBF dalam ruang lingkup bisnis apotek tentu sangat erat, sehingga antara apotek dan PBF sama-sama saling membutuhkan.

Fungsi PBF adalah perpanjangan tangan dari pabrik farmasi (principal) daerah yang diliputnya untuk mendistribusikan segala produk farmasi ke seluruh apotek, rumah sakit, puskesmas dan instansi kesehatan lainnya di daerah yang diliputnya. Apotek adalah salah satu customer dari sebuah PBF. Mengingat samakin tingginya penyebaran apotek ke berbagai daerah, hal ini diikuti pula dengan tumbuh suburnya keberadaan PBF.

Dalam prakteknya PBF ada yang bersifat lokal dan bersifat nasional (utama). Pada PBF lokal keberadaannya biasanya hanya meliputi satu daerah tertentu saja. Sehingga apotek yang berada diluar jangkauan daerah tersebut tidak akan terliput oleh PBF tersebut. Alasan adanya PBF lokal ini sebenarnya dikarenakan daya jangkau PBF utama tidak mencukupi daerah tersebut untuk diliputnya. Untuk membentuk perpanjangan tangan agar produk prinsipal tetap terdistribusi secara merata, maka PBF utama akan menggandeng beberapa PBF lokal tersebut. Keberadaan stok dan aneka program promo yang dijalankan biasanya akan diawasi oleh PBF utama. Selain itu, ada juga beberapa prinsipal lokal yang memanfaatkan keberadaan PBF lokal ini. Hal ini tentu saja dengan pertimbangan adanya efisiensi biaya distribusi. Sedangkan PBF nasional (utama) memiliki cakupan peliputan daerah yang luas ke seluruh penjuru tanah air dan memiliki perwakilan kantor cabang di tiap area sehingga menjadikan PBF ini bersifat nasional. Umumnya principal yang bonafid akan mempercayakan produknya ke PBF semacam ini. Prinsipal juga berharap bahwa berbagai jenis


(23)

produknya akan terdistribusi merata keseluruh pelosok nusantara. Keuntungan bagi apotek dalam berhubungan dengan PBF utama adalah adanya jaminan ketersediaan produk, dan kemudahan proses return (pengembalian) produk. Selain itu, kepastian bahwa produk tersebut adalah produk asli tentu tak perlu diragukan lagi. Karena memang supply produk PBF utama bearasal dari gudang prinsipal secara langsung. Disisi lain, prinsipal biasanya dalam membuat program promo akan bekerjasama dengan PBF utama sehingga bagi apotek yang loyal akan

mendapatkan beragam program promo.63

Disamping hal tersebut diatas, ada juga perusahaan farmasi yang memiliki distributor sendiri yang khusus untuk mendistribusikan produk-produk yang dihasilkan dari perusahaan farmasi tersebut. Disini perusahaan tersebut selain sebagai penghasil juga sebagai penyalur dalam mendistribusikan produk-produknya ke berbagai instansi kesehatan sehingga sampailah ke tangan konsumen dan juga sebagai penjual ecer yang langsung menjual kepada konsumen.

Suatu perusahaan harus bisa menciptakan suatu metode tertentu agar pemasaran hasil produksinya dapat berjalan dengan baik melalui perantara perusahaan, hingga sampai ke tangan konsumen dengan aman dan dapat dipertanggungjawabkan. Faktor lain yang ikut mendukung dalam penciptaan pelanggan adalah masalah transportasi atau pengangkutan disamping faktor letak

yang strategis serta faktor-faktor lain yang mendukung. 64

63 http://bisnisapotek.blogspot.com/2010/12/menciri-pbf-pedagang-besar-farmasi-yang.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2013.


(24)

Pemasaran atau marketing adalah suatu tindakan yang menyebabkan berpindahnya hak milik atas benda dan jasa, selanjutnya di distribusikan secara

fisik.65Beberapa peraturan perundang-undangan yang mendefiniskan mengenai

distributor obat atau pedagang besar farmasi yaitu sebagai berikut:

a. Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Pasal 1 angka

21, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan nasional yang berbadan hukum yang memiliki izin usaha perdagangan besar dari Menteri Perdagangan dan memiliki izin khusus dari Menteri Kesehatan”.66

b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka

7, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari Menteri untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi, termasuk psikotropika dan alat kesehatan”.67

c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 1 angka

9, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi termasuk narkotika dan alat kesehatan”.68

d. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka

10, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan pengadaan,

65 Winardi, Azas-Azas Marketing, Bandung : Mandar Baru, 1993, hlm. 5. 66 Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Pasal 1angka 21. 67 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 7. 68 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Psal 1 angka 9.


(25)

penyimpanan, dan penyaluran sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan”.69

e. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 243/MEN.KES/SK/V/1990

tentang Pedagang Besar Farmasi, Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (1) berisi: “Pedagang Besar Farmasi adalah Badan Hukum PT/Koperasi yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan termasuk dalam jumlah besar sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.70

f. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.

HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 3, “Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya disingkat PBF, adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan”.71

g. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

23/MPR/KEP/I/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan

69 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 10.

70 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 243/MEN.KES/SK/V/1990 tentang Pedagang Besar Farmasi.

71 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik.


(26)

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 9, “Distributor utama adalah orang perorangan atau badan usaha yang bertindak atas namanya sendiri yang ditunjuk oleh pabrik atau pemasok untuk melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dalam partai besar secara tidak langsung kepada konsumen akhir terhadap barang yang dimiliki/dikuasai oleh pihak yang menunjuknya”.72

h. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/MENKES/PER/II/1993

tentang Obat Keras Tertentu, “Distribusi adalah penjualan, pemberian,

penyerahan, pengangkutan, penyediaan di tempat penjualan dan penyimpanan untuk penjual”.73

3. Peraturan Yang Menyangkut Distributor Obat

Pengaturan tentang perjanjian distributor tidak diatur secara khusus, walau demikian ada ketentuan dari KUH Perdata yang menampungnya yaitu

ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian yang tidak bernama.74

Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur khusus mengenai distributor obat atau pedagang besar farmasi yaitu:

1. Ordonansi Obat Keras (Sterkwerkende Geneesmiddelen Ordonnantie,

Staatsblad 1949: 419);

72 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 23/MPR/KEP/I/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan.

73 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/MENKES/PER/II/1993 tentang Obat Keras Tertentu.


(27)

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);

3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062);

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan

Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);

7. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005;

8. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan


(28)

beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2005;

9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;

10.Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004;

11.Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.3546 Tahun 2009;

12.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;

13.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

189/Menkes/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional;

14.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1191/Menkes/SK/IX/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.918/Menkes/PER/X/1993 tentang Pedagang Besar Farmasi;


(29)

15.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementrian Kesehatan;

16.Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.

HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik.

B. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Perjanjian Distributor

Yang dimaksud dengan pihak-pihak dalam perjanjian mengenai pembahasan ini adalah pihak-pihak yang berkaitan langsung dalam suatu perjanjian yaitu apotek dan distributor. Menurut Pasal 1315 KUH Perdata disebutkan, “pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama

sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri”.

Memang sudah semestinya, perikatan hukum yang dilakukan dalam perjanjian hanya mengikat pada orang-orang yang mengadakan perjanjian itu sendiri dan tidak mengikat orang-orang di luar perjanjian tersebut.

Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Orang-orang yang di luar perjanjian adalah pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan dalam perjanjian tersebut.

C. Jangka Waktu Serta Berakhirnya Perjanjian Distributor

Umumnya perusahaan distributor dalam melakukan kegiatannya sebagai penyalurmengenai perjanjiannya dapat berakhir dengan cara:


(30)

1. Atas persetujuan kedua belah pihak

2. Salah satu pihak dengan sengaja melalaikan kewajiban-kewajibannya dan

atau melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dalam perjanjian

3. Salah satu pihak jatuh pailit dan atau dibubarkan menurut undang-undang

yang berlaku di negara yang bersangkutan.

Bagi pihak yang ingin mengakhiri perjanjian sebelum atau sesudah berakhirnya masa berlakunya harus memberitahukan secara tertulis kepada pihak

terkait dalam perjanjian 3 bulan sebelumnya.75

Untuk perusahaan asing dimana prinsipalnya bukan perusahaan Indonesia dan tidak berdomisili di Indonesia prinsipal tersebut berkedudukan di luar Negara Indonesia dalam melakukan perjanjian bisnis dengan distributor lokal berlaku ketentuan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa penunjukan sebagai agen atau distributor haruslah dilakukan untuk jangka waktu minimal 3

tahun.76Pihak prinsipal luar negeri tidak diperbolehkan untuk menjual barangnya

secara langsung kepada konsumen di Indonesia sehingga untuk pemasarannya wajib mengadakan perjanjian dengan distributor lokal yang isi perjanjiannya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak yang membuat perjanjian, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan. Dengan adanya penetapan jangka waktu minimal tersebut bertujuan untuk melindungi perusahaan nasional.

75 BPHN Departemen Kehakiman, Op.Cit, hlm. 35

76 SK Mendag No. 77/KP/III/78 tentang Ketentuan Mengenai Kegiatan Perdagangan Terbatas Bagi Perusahaan Produksi Dalam Rangka Penanaman Modal.


(31)

Dalam penelitian ini untuk jangka waktu dan pengakhiran perjanjian diantara para pihak adalah tergantung dari pada kesepakatan masing-masing pihak yang sudah diatur di dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Biasanya pada apotek, apabila pembayaran sudah dilaksanakan untuk memenuhi kewajibannya yang berjangka waktu maksimal dalam tempo 30 hari (untuk pembelian secara kredit)perjanjian tidak berhenti pada saat itu juga, biasanya pihak apotek akan melanjutkan kembali perjanjian tersebut dengan distributor tersebut juga dan distributor lainnya dengan jenis dan jumlah pesanan yang berbeda atau dengan jenis yang sama tetapi jumlah berbeda. Bahkan jika dibutuhkan para pihak akan memperbaharui kembali isi perjanjiannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada perusahaan masing-masing pihak, perjanjian ini bersifat terus-menerus.


(32)

BAB IV

SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN DALAM SISTEM PEMBAYARAN DARI PIHAK APOTEK KEPADA DISTRIBUTOR OBAT MENGENAI PEMASOKAN DAN PENGELUARAN OBAT (STUDI PADA APOTEK

UMI FARMA JALAN KARYA KASIH No. 104 MEDAN JOHOR)

A.

Bentuk Pelaksanaan Kerjasama Terhadap Sistem Pembayaran Serta Pemasokan dan Pengeluaran Obat Antara Apotek Dengan Distributor (Pada Apotek Umi Farma Jalan Karya Kasih No. 104 Medan Johor).

Berdasarkan hasil studi di Apotek Umi Farma yaitu dengan mempelajari dokumen yang ada serta berdasarkan wawancara dengan pihak apotek dan petugas distributor yang menjadi mitra kerjasama Apotek Umi Farma dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya bentuk pelaksanaan kerjasama antara Apotek Umi Farma dengan pihak distributor dilakukan berdasarkan kesepakatan secara lisan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dengan demikian bentuk kerjasama yang terjadi diantara para pihak adalah hasil dari kesepakatan yang secara yuridis terdapat keseimbangan diantara para pihak, maksudnya adalah tidak ada pihak yang kuat atau pihak yang lemah keduanya memiliki kedudukan yang seimbang baik secara yuridis maupun psikologis.

Kerjasama ini awalnya dimulai dengan penawaran yang diberikan dari pihak distributor mengenai jenis-jenis barang yang terdapat di perusahaan mereka untuk disalurkan kepada apotek tersebut. Kemudian pihak apotek menanggapi penawaran kerjasama tersebut sehingga akhirnya para pihak sepakat untuk mengadakan kerjasama sehingga timbul hubungan hukum diantara para pihak.


(33)

Dalam menuangkan kerjasama yang diawali secara lisan tersebut kedalam bentuk tertulis,para pihak diberi kebebasan mengenai hal-hal apa saja yang akan di perjanjikan dari kerjasama tersebut yang sesuai dengan kesepakatan bersama para pihak agar pelaksanaannya tidak berat sebelah, dimana satu sisi memberatkan pihak apotek dan disisi lain meringankan pihak distributor.

Perjanjian yang telah disetujui tersebut dengan sendirinya akan mengikat para pihak, hal tersebut tercantum dalam dalam Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1), “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Mengenai sistem Apotek Umi Farma dalam memenuhi stok persediaan farmasinya seperti obat-obatan, alat kesehatan dan perbekalan farmasi lainnya terdapat beberapa jenis pembelian obat-obatan yang dilakukan apotek berdasarkan kerjasama pada beberapa distributor yang menjadi mitra apotek dalam memenuhi stok persediaan farmasi. Beberapa cara pembelian obat yang dilakukan pihak

apotek dengan para distributor, adalah sebagai berikut77:

1. Pembelian dengan cara cash, tunai atau lunas.

Dalam pembelian secara tunai ini diawali dengan kesepakatan antara pihak apotek dengan petugas distributor yang datang menawarkan barang mengenai jenis dan jumlah obat yang akan dipesan, harga, diskon harga kalau ada, serta saat pengiriman barang tersebut hingga tiba di lokasi apotek. Kemudian pihak distributor selain membicarakan apa yang telah disebutkan pada pihak apotek yang tersebut diatas juga

77 Wawancara dengan Ibu Umi Chairani, Apoteker Apotek Umi Farma, tanggal 17 Mei 2013.


(34)

akan membicarakan mengenai sistem pembayaran yang akan dilakukan secara tunai setelah barang diantarkan kepada apotek. Pada pembelian secara lunas ini biasanya pihak distributor pada saat mengantarkan barang akan melampirkan keterangan surat tanda setor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sesuai dengan ketetapan pemerintah sebesar 10%, potongan pajak ini ditanggung oleh pihak apotek. Hal ini sudah disepakati diawal perjanjian dan akan dibayar sekaligus dengan total harga barang setelah barang tersebut sampai di apotek dalam keadaan barang sesuai dengan pesanan seperti jenis obat, jumlah obat, kualitas dan sebagainya. Kemudian berakhir pulalah kerjasama sementara pada tahap ini. Demikian selanjutnya bila terjadi pembelian tunai untuk obat-obat berikutnya. Kerjasama ini bersifat terus-menerus, dimana mengenai pengakhirannya dapat dilakukan pemberitahuan pada pihak yang terkait dalam perjanjian.

2. Pembelian dengan cara konsinyasi

Mengenai pembelian konsinyasi, petugas distributor akan menawarkan produk-produk kesehatan yang ada di perusahaannya untuk dijual di apotek dan dibeli oleh konsumen yang tertarik akan barang tersebut. Setelah adanya kesepakatan dari para pihak maka barang-barang terlebih dahulu dititip jual kepada apotek. Dalam keadaan tersebut pihak apotik belum timbul kewajiban untuk membayar atas barang-barang yang dititip pihak distributor karena masih dalam tahap penyesuaian akan informasi barang tersebut kepada konsumen. Jika


(35)

barang tersebut sudah sampai pada tahap penjualan, yaitu karena adanya pembelian dari konsumen maka dalam keadaan ini timbullah kewajiban apotek untuk membayar kepada distributor sejumlah harga barang yang terjual tersebut. Mengenai nominal hargabarang, para pihak sudah memusyawarahkan diawal kesepakatan. Namun apabila masa titip jual sudah jatuh tempo dan barang tersebut tidak laku juga maka pihak distributor akan mengeluarkan kembali barang tersebut atau jika barang yang laku hanya sebagian sehingga menyisakan barang lainnya maka barang-barang yang tidak terjual tersebut akan dikembalikan kepada pihak distributor. Titip jual ini biasanya terjadi pada produk-produk yang baru pertama kali diproduksi belum beredar luas di pasaran, sehingga masyarakat masih asing akan kualitas barang tersebut.

3. Pembelian dengan kredit

Pada pembelian obat dengan cara kredit, diawali dengan adanya kesepakatan dari pihak distributor untuk menjual barang-barangnya kepada apotek yang akan dibayar secara kredit. Dimana pihak apotek akan membeli sejumlah obat-obatan dari distributor, yang kemudian akan dibayar secara kredit dengan jangka waktu yang sudah disepakati oleh para pihak. Pihak apotek dan distributor terlebih dahulu akan membuat kesepakatan mengenai jenis dan jumlah obat yang dibutuhkan pihak apotek, harga, jangka waktu pembayaran dan waktu penyampaian obat kepada pihak apotek. Pada pembelian ini juga bersifat tetap dan


(36)

terus menerus. Mengenai jangka waktu pembayaran, dalam pembelian kredit tiap distributor memberikan penawaran yang berbeda-beda dalam pelaksanaannya. Pada umumnya kesepakatan para pihak mengenai jangka waktu berada pada waktu 2 minggu atau 15 hari, ada juga yang dalam waktu 1 bulan atau 30 hari untuk pelunasannya. Setelah adanya kesepakatan dari para pihak maka distributor akan mengantar barang berikut faktur penjualannya dimana dalam faktur penjualan tersebut sudah dituliskan jangka waktu atau tanggal pelunasan pembayaran dan setelah jatuh tempo masa pelunasan maka pihak apotek akan membayar lunas dari jumlah yang tertera pada faktur yang sudah ditambah pajak. Setiap barang yang dibeli secara tunai, konsinyasi maupun kredit dikenakan pajak.

Dari uraian tersebut diatas pelaksanaan kerjasama yang terjadi antara pihak apotek dengan distributor obat mengandung segi-segi hukum perjanjian disetiap jenis pembelian obat, yaitu sebagai berikut:

a. Pada pembelian obat secara cash, tunai atau lunas dilihat dari

pelaksanaan kerjasamanya mengandung segi hukum perjanjian berupa Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian di mana kedua belah pihak timbul hak dan kewajiban pokok.Penjual harus menyerahkan barang yang dijual sedangkan pembeli membayar harga dari barang itu, begitu juga yang terjadi dalam perjanjian sewa-menyewa yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan dari barang yang disewakan kemudian penyewa membayar harga sewanya. Prestasi kedua belah


(37)

pihak adalah seimbang.78 Dalam kerjasama ini pihak penjual adalah distributor dan pihak pembeli adalah apotek sama seperti perjanjian jual beli pada umumnya, dimana para pihak memiliki tanggung jawab yang sama dalam pelaksanaanya.

b. Pada pembelian obat secara konsinyasi dilihat dari pelaksanaan

kerjasamanya mengandung segi hukum perjanjian berupa perjanjian konsensuil dan riil, yaitu perjanjian yang berdasar kesepakatan atau persesuaian kehendak dan perjanjian riil yaitu suatu perjanjian yang terjadi tidak hanya berdasar persesuaian kehendak saja tetapi ada penyerahan nyata, misalnya: penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata) pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata) dan pinjam mengganti (Pasal 1754 KUH Perdata) pinjam mengganti belum berlaku selama

penyerahan barang yang akan dipinjamkan itu belum terlaksana.79

Dalam kerjasama ini pelaksanaannya tidak hanya berdasarkan kesepakatan saja melainkan karena adanya penyerahan nyata dari pihak distributor mengenai barang-barang yang akan dititip jual kepada apotek.

c. Pada pembelian obat secara kredit, mengandung segi hukum perjanjian

yang termasuk kedalam jenis perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak memiliki nama khusus tetapi ketentuannya diatur dalam KUH Perdata dan KUH Dagang dan terdapat di dalam masyarakat, jumlah perjanjian ini tidak terbatas yang disesuaikan untuk kebutuhan

78 Prof. Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, C.V Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 48.


(38)

pihak-pihak yang mengadakannya. Yang termasuk dalam golongan perjanjian ini adalah perjanjian jual-beli dengan angsuran, cicilan atau kredit, termasuklah perjanjian yang dilakukan antara pihak apotek dengan pihak distributor dalam pembelian obat dengan pembayaran kredit atau cicil.

Pada umumnya perjanjian yang terjadi antara Apotek Umi Farma dengan para distributor obat kebanyakan tidak dituangkan dalam bentuk tertulis, hanya dilaksanakan berdasarkan kesepakatan lisan saja.

Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa suatu persetujuan sudah cukup membuktikan bahwa telah terjadi hubungan keperdataan, dimana suatu perikatan telah timbul oleh suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) antara satu orang atau lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 dan Pasal 1314 KUH Perdata yaitu: Pasal 1313 KUH Perdata

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pasal 1314 KUH Perdata

Suatu perjanjian diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan.

Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.


(39)

Selanjutnya, dapat dipahami bahwa suatu persetujuan sudah dapat membuktikan adanya kewajiban dan hak (akibat hukum) yang ditimbul dari pihak-pihak yang

bersepakat.80

Bahwa perjanjian yang dibuat secara lisan/tidak tertulis pun tetap mengikat para pihak, dan tidak menghilangkan baik dari hak maupun kewajiban para pihak yang bersepakat. Namun untuk kemudahan pembuktian, acuan bekerja sama dan melaksanakan transaksi sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis. Hal ini juga dimaksudkan agar apabila terdapat perbedaan pendapat dapat kembali mengacu kepada perjanjian yang telah disepakati.

Jika dilihat dari kerjasama yang dilakukan pihak distributor dengan pihak apotek, maka secara keselurahan jenis perjanjian yang terjadi adalah perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah suatu perjanjian ketika mengharuskan atau mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu. Perjanjian obligatoir ada beberapa macam, antara lain :

1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada satu pihak dan hanya ada hak pada pihak lain. Misalnya, perjanjian hibah, perjanjian pinjam-pakai.

Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian hak dan kewajiban pada kedua belah pihak yang lainnya dan sebaliknya. Misalnya, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian tukar-menukar.

2. Perjanjian konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil.

80 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7034/perlunya-perjanjian-dibuat-secara-tertulis, terakhir kali diakses pada tanggal 20 Mei 2013.


(40)

Perjanjian konsensuil adalah, perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan atau konsensus diantara kedua belah pihak. Jadi, perjanjian tercipta dari detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak, misalnya, perjanjian jual-beli.

Perjanjian riil adalah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan perbuatan atau tindakan nyata, jadi dengan adanya kata sepakat saja, perjanjian tersebut belum mengikat antara kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian pinjam-pakai.

Perjanjian formil adalah perjanjian yang terikat dalam waktu tertentu, jadi bentuknya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jika bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka perjanjian tersebut tidak sah. Misalnya, untuk pendirian Perseroan Terbatas (PT) harus

dengan Akta Notaris.81

3. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya, hibah, pinjam pakai, pinjam meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus


(41)

dilakukan oleh pihak lain. Contoh, jual beli, sewa menyewa, dan pinjam

meminjam dengan bunga.82

4. Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur di dalam undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam undang-undang. Misalnya, perjanjian leasing, franchising, dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama. Misalnya, perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan campuran dari perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika baju, dan membersihkan

kamar).83

Dilihat dari prosedur perancangan perjanjian antara pihak apotek dengan distributor obat dilakukan berdasarkan iktikad baikyang berarti mengandung asas kebebasan berkontrak. Dimana para pihak sepakat memberikan kebebasan dalam menentukan isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Bahwasanya suatu persetujuan wajib dilakukan dengan iktikad baik bagi mereka yang melakukannya karena sifat mengikat dari persetujuan tersebut adalah pasti dan wajib. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan Pasal 1339 KUH Perdata, yang menyatakan:

Pasal 1338 KUH Perdata

82 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya, 2010, hlm. 54-55.


(42)

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu

tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1339 KUH Perdata

Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.84

Iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya adalah untuk memperoleh hak milik yaitu pada jual beli. Pelaksanaan perjanjian adalah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu tercapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa, perjanjian yang telah dibuat sacara sah mengikat para

pihak, perjanjian tersebut tidak boleh dibuat atau dibatalkan secara sepihak saja.85

B.

Hak Dan Kewajiban Para Pihak Mengenai Perjanjian Kerjasama Dalam Sistem Pembayaran Serta Pemasukan Dan Pengeluaran Obat

84 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7034/perlunya-perjanjian-dibuat-secara-tertulis, Loc.Cit. Terakhir kali diakses pada tanggal 21 Mei 2013.

85http://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/. Terakhir kali di akses pada tanggal 23 Mei 2013.


(43)

Dalam Bab IV bagian A tersebut diatas telah dijelaskan bahwa terdapat tiga jenis pembelian obat yang dilakukan pihak apotek dengan pihak distributor yaitu pembelian tunai, pembelian konsinyasi dan pembelian kredit. Dalam pelaksanaan kerjasama tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, yaitu:

Dalam pembelian tunai, maka pihak distributor berkewajiban antara lain:

1. Memberikan informasi tentang perkembangan harga barang kepada

apotek

2. Mengantar barang yang sudah dipesan dan disepakati oleh para pihak

kepada apotek

3. Memenuhi jumlah dan kualifikasi barang yang dipesan

4. Melengkapi faktur penjualan

5. Melampirkan surat tanda setor pajak

6. Menjamin keaslian dari produk yang dijual.

Adapun hak daripada distributor adalah:

4. Menerima pelunasan pembayaran berikut jumlah pajak yang telah

ditetapkan

5. Menarik kembali barang apabila pelunasan tidak dibayar oleh pihak


(44)

6. Mengambil kembali barang-barang yang telah dimasukkan jika terjadi kerusakan atau ketidaksesuaian yang berarti mengurangi jumlah tagihan

yang akan dibayarkan.86

Kemudian pihak apotek mempunyai hak sebagai berikut:

1. Memeriksa kesesuaian barang yang telah dikirim oleh distributor

2. Mengembalikan atau return barang yang tidak sesuai dengan

kesepakatan

3. Menerima surat setoran pajak yang telah dilampirkan.

Setelah apotek mendapatkan haknya maka kewajiban apotek, yaitu melunaskan pembayaran sesuai dengan faktur yang sudah termasuk pajak sebesar 10%.

Dalam pembelian barang dengan konsinyasi, bahwa hak distributor secara umum sama seperti haknya pada pembelian tunai. Demikian juga dengan kewajibannya, namun dalam pembelian konsinyasi pihak distributor secara otomatis berhak membawa kembali barang-barang titipan yang ternyata tidak terjual dan sekaligus menerima pembayaran atas sejumlah barang yang terjual, dan yang menjadi kewajibannya adalah menyerahkan langsung barang tersebut kepada apotek untuk dititip jual yang jumlah dan jenisnya sudah disepakati diawal perjanjian. Demikian juga pihak apotek berhak mengembalikan barang-barang yang ternyata tidak terjual serta berkewajiban membayar seluruh harga barang yang telah terjual ditambah dengan membayar harga barang yang tidak terjual apabila terjadi

86 Wawancara dengan Hanssen, Distributor dari Toko Obat Mitra yang merupakan mitra Apotek Umi Farma dalam pembelian lunas. Pada Tanggal 17 Mei


(45)

kerusakan dan hilangnya barang tersebut ketika berada di dalam

penguasaan pihak apotik.87

Dalam pembelian barang secara kredit hak dan kewajiban para pihak diatur secara jelas dalam perjanjian, yaitu pihak pertama adalah apotek dan pihak kedua adalah distributor. Selama jangka waktu kerjasama, Pihak Pertama berhak dan berkewajiban untuk:

a. Tidak mencampuri kebijakan usaha yang sedang dijalankan oleh

Pihak Kedua.

b. Tidak melakukan pemaksaan kepada Pihak Kedua dalam

melaksanakan kegiatan usaha ini.

c. Tidak mengambil atau menambah sejumlah pesanan barang sebelum

masa pembayaran selesai pelunasan.

d. Melaksanakan pembayaran sesuai dengan total harga barang yang

tertera didalam faktur penjualan.

e. Membayar pajak atas setiap barang pesanan yang sudah dihitung

sekaligus dari total harga barang yang tertera didalam faktur penjualan.

f. Berhak memeriksa barang yang sudah diantar oleh pihak kedua

sesuai dengan pesanan pihak pertama.

g. Berhak mengembalikan barang yang tidak sesuai dengan pesanan.

87 Wawancara dengan Sugiyatno, distributor dari Perusahaan Bina San Prima yang menjadi mitra Apotek Umi Farma dalam pembelian konsinyasi. Pada tanggal 17 Mei 2013.


(46)

h. Berhak membatalkan perjanjian dan/atau mengembalikan kembali sebagian barang pesanan dari Pihak Kedua setelah terbukti Pihak Kedua melakukan pelanggaran, kecurangan dan/atau mengkhianati isi akad ini.

Pihak Kedua berhak dan berkewajiban untuk:

a. Menyalurkan obat-obatan sesuai dengan pesanan Pihak Pertama yang

telah diterima Pihak Kedua untuk suatu kegiatan usaha yang akan dijalankan.

b. Mengantarkan barang pesanan kepada pihak pertama sesuai dengan

waktu yang disepakati bersama.

c. Menjamin keaslian dari suatu barang.

d. Membuat laporan tertulis mengenai pelaksanaan kegiatan yang

diperjanjikan oleh para pihak sebagai dokumen kerja pihak kedua.

e. Melaporkan hal-hal yang bersifat luar biasa/musibah yang terjadi ketika

kegiatan usaha sedang berjalan kepada Pihak Pertama selambat-lambatnya sehari setelah kejadian.

f. Berhak menentukan kebijakan-kebijakan yang berlaku dalam kegiatan

usaha pihak kedua.

g. Berhak mendapatkan pembayaran atas penyaluran obat-obatan sesuai

dengan pesanan pihak pertama.

h. Berhak membatalkan perjanjian dan/atau mengembalikan kembali


(47)

PihakPertama melakukan pelanggaran, kecurangan dan/atau

mengkhianati isi akad ini.88

C.

Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Kerjasama Mengenai Sistem Pembayaran Serta Pemasokan Dan Pengeluaran Obat Antara Pihak Apotek Dengan Distributor Obat

Dalam pelaksanaan kerjasama antara apotek dengan distributor terkadang muncul hambatan-hambatan yang dihadapi oleh para pihak baik dalam pembelian tunai, konsinyasi, serta pembelian kredit akan diformulasikan secara umum sebagai berikut:

a. Adanya keterlambatan dalam penyampaian barang ke lokasi apotek

yang sebelumnya sudah disepakati oleh para pihak mengenai waktunya, hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh faktor cuaca yang tidak tentu kondisinya dan diluar kuasa para pihak. Hambatan seperti ini dapat diselesaikan dengan seketika melalui komunikasi oleh para pihak.

b. Barang yang disampaikan oleh distributor tidak sesuai dengan

pesanan, baik kualifikasi barang tersebut maupun jumlah barang yang diantar tidak sesuai dengan pesanan yang sudah ditentukan. Hal ini juga dapat diselesaikan dengan seketika melalui membangun komunikasi diantara para pihak, dimana kemungkinan barang yang

88 Isi perjanjian Antara Pihak Apotek Umi Farma dengan Pihak Distributor perwakilan dari Perusahaan San Prima Sejati yang merupakan mitra apotek dalam pembelian kredit. Terlampir.


(48)

tidak sesuai tersebut dapat dikembalikan yang secara otomatis mengurangi biaya tagihan yang akan dibayarkan pihak apotek.

c. Dalam pembelian barang secara konsinyasi terkadang terjadi

kerusakan barang atau hilangnya barang titipan yang berada dalam penguasaan apotek, maka hal ini akan menjadi tanggung jawab apotek sebagai pihak penerima barang titip jual atau konsinyasi dengan membayar harga yang sudah ditentukan oleh pihak distributor.

d. Kemudian dalam kerjasama pembelian secara kredit terkadang juga

menimbulkan hambatan yang umumnya terjadi dari pihak apotek, dimana setelah waktu yang ditentukan sudah jatuh tempo pihak apotek belum sanggup membayar atau hanya dapat membayar sebagian dari nilai tagihan yang sudah dirinci, maka pihak apotek akan segera menghubungi pihak perusahaan distributor atau penyalur dan menjelaskan mengenai masalah penundaan pembayaran yang sudah jatuh tempo tersebut serta menjelaskan keadaan-keadaan yang menyebabkan pihak apotek menunda pembayaran sehingga pihak distributor akan memperpanjang jangka waktu untuk melunasi pembayaran tersebut. Dengan tertundanya pembayaran oleh pihak apotek maka pihak distributor apabila pihak apotek akan memesan barang lagi untuk sementara tidak dapat laksanakan oleh distributor sampai pembayaran yang tertunda tersebut diselesaikan oleh pihak apotek.


(49)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Bahwa kerjasama yang terjadi antara pihak Apotek Umi Farma dengan

distributor dalam sistem pembayaran mengenai pemasokan dan pengeluaran obat adalah berbentuk tertulis yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama oleh para pihak. Aturan-aturan dalam kesepakatan kerjasama yang terjadi diantara para pihak tidak ditemukan adanya unsur-unsur yang mengandung kontrak baku, dimana perjanjian tersebut dibuat berdasarkan kesepakatan bersama yang merupakan perjanjian timbal balik untuk menyalurkan obat-obatan. Kerjasama antara Apotek Umi Farma dengan para distributor yaitu meliputi pembelian obat secara cash atau lunas, pembelian obat dengan konsinyasi serta pembelian obat dengan kredit. Keberadaan perjanjian ini berdasarkan asas konsensualisme meskipun tidak memiliki nama khusus dalam KUH Perdata dan KUH Dagang, harus tetap tunduk pada ketentuan umum Buku III KUH Perdata. Dasar hukum dari perjanjian antara pihak apotek dengan distributor adalah asas dari buku III KUH Perdata yang memberikan kebebasan berkontrak dan sifatnya yang terbuka memungkinkan masyarakat untuk membuat segala macam perjanjian yang ketentuannya diatur dalam KUH Perdata Buku III.


(50)

2. Hak dan kewajiban para pihak dalam setiap pembelian obat hampir sama isinya antara satu dengan yang lain, kedudukan para pihak dalam pelaksanaan hak dan kewajiban adalah seimbang tidak berat sebelah. Walaupun sulit untuk menyatukan kemauan para pihak yang berbeda-beda pandangan,tetapi dengan adanya musyawarah mufakat dan itikad baik diantara para pihak sehingga tercapailah tujuan yang sama antara para pihak dalam mengadakan kerjasama.

3. Terhadap munculnya hambatan baik menyangkut kepentingan pihak

distributor maupun kepentingan pihak apotek selalu diadakan musyawarah mufakat untuk mencari jalan kelaur dari hambatan tersebut. Apabila hambatan muncul dari pihak apotek, biasanya pihak apotek akan segera menghubungi atau mengkomunikasikannya dengan pihak distributor demikian juga jika hambatan tersebut muncul dari pihak distributor maka akan dikomunikasikan dengan pihak apotek.

B. Saran

1. Pada umumnya kerjasama yang terjadi antara pihak Apotek Umi

Farma dengan distributor pada umumnya dilakukan secara lisan tidak dituangkan dalam bentuk tertulis tetapi ada juga yang dibuat secara tertulis. Disarankan agar para pihak sebaiknya membuat perjanjian kerjasama secara tertulis tidak hanya secara lisan saja, hal ini diperlukan apabila terjadi perselisihan yang mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak dalam pelaksanaan kerjasama. Karena perjanjian


(51)

yang dituangkan dalam bentuk tertulis berfungsi sebagai undang-undang serta alat buktiyang sah bagi para pihak.

2. Mengenai hak dan kewajiban para pihak sudah semestinya dalam

setiap jenis perjanjian haruslah di buat secara seimbang kedudukannya. Untuk para pelaku usaha atau subjek hukum lain yang membuat perjanjian secara baku, dalam menentukan isi kontrak sebaiknya dikondisikan sesuai dengan koridor alam masyarakat Indonesia agar pelaksanaannya tidak memberatkan pihak penerima kontrak tersebut, hal ini juga menyangkut perlindungan konsumen atas kontrak baku tersebut.

3. Apabila timbul hambatan yang tidak terduga dari para pihak yaitu

terjadinya keadaan memaksa (forcemajeur) pada salah satu pihak yang mengakibatkan perjanjian itu tidak dapat di penuhi, sehingga gugur kewajiban pihak yang mengalami forcemajeur untuk melaksanakan perjanjian. Kerjasama antara pihak Apotek dengan distributor bersifat terus-menerus, apabila timbul hambatan dari salah satu pihak maka risikonya ditanggung oleh pihak yang mengalami forcemajeur dan

untuk penyelesaiannya cukup dengan musyawarah mufakat

dirundingkan secara kekeluargaan saling memahami dan mengerti satu sama lain.


(52)

BAB II

PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Pengertian Perjanjian

Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku I yaitu mengenai Hukum Perorangan/persoonenrecht, Buku ke II yaitu memuat ketentuan Hukum Kebendaan/zaakenrecht, Buku ke III yaitu mengenai Hukum Perjanjian/verbintenissenrecht, sedangkan Buku ke IV yaitu mengatur tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

KUH Perdata sebagai Undang-Undang mulai berlaku atau diumumkan secara resmi pada tanggal 30 April 1847 (Stb. 23/1847). Dari tahun pengundangannya, jelas dapat kita ketahui bahwa KUH Perdata yang dalam Buku ke III mengatur Hukum Perjanjian adalah Undang-Undang produk Kolonial Belanda.

Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian : Suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi

dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.15

Dari pengertian singkat di atas, dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain : hubungan hukum ( rechtsbetrekking ) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua


(53)

orang ( persoon ) atau lebih, yang memberi hak kepada suatu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

Perjanjian atau verbintenis adalah merupakan suatu hubungan hukum/rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu, perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan atau persoon adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya. Seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “tindakan hukum”/rechtshandeling. Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan

hukum perjanjian, sehingga terhadap suatu pihak diberi “hak” oleh pihak

yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itu pun menyediakan diri dibebani dengan “kewajiban” untuk menunaikan prestasi.

Jadi, suatu pihak memperoleh hak/recht dan pihak yang lain memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi.


(54)

Prestasi ini adalah objek/voorwerp dari perjanjian/verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.16

Buku III BW berjudul van verbintenissen. Istilah verbintenis dalam KUH Perdata merupakan salinan istilah obligation dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan

istilah obligation.17

Istilah verbintenis dalam BW ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkan dengan

perutangan,18 ada yang menerjemahkan dengan perjanjian19 dan ada pula

yang menerjemahkan dengan perikatan.20 Penggunaan istilah perikatan

untuk verbintenis ini tampaknya lebih umum dipergunakan dalam kepustakaan hukum Indonesia.

Perikatan timbul dari adanya suatu perjanjian. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang saling berjanji dan mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hal. Pada umumnya dalam suatu perjanjian merupakan timbal balik antara pihak

16Ibid, hlm. 7.

17 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan,Bina Ilmu, Surabaya, 1979, hlm. 10. 18 Sri Soedewi M. Sofwan, Hukum Perutangan, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975, hlm. 252

19 Achmad Ichsan, Hukum Perdata IB, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, hlm. 7-14. 20 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Buku III Hukum Perikatan dengan PejelasanKitab


(1)

ABSTRAK Winda Imoyati Manik* Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum**

Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum***

Apotek merupakan tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian seperti pelayanan obat atas resep dokter dan non resep dokter, tempat pelayanan informasi obat, penyimpanan perbekalan farmasi serta tempat kegiatan farmasi lainnya. Dalam hal iniapotek berkerjasama dengan distributor obat untuk memenuhisediaan farmasi agar terpenuhinya kebutuhan masyarakat terhadap tuntutan dibidang kesehatan. Hal pokok yang menjadi kegiatan usaha tersebut adalah adanya kesepakatan yang menghasilkan perjanjian kerjasama. Kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi tersebut mengandung segi-segi hukum perjanjian.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk pelaksanaan kerjasama yang terjadi antara apotek dengan distributor obat, hak dan kewajiban para pihak serta hambatan apa saja yang muncul dalam pelaksanaan kerjasama tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Sedangkan penelitian yuridis empiris adalah metode penelitian hukum yang dilakukan untuk mendapatkan data primer, meneliti bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat.

Pelaksanaan kerjasama dilakukan berdasarkan adanya kesepakatan dari para pihak yang dibuat dalam bentuk tertulis dan ada juga yang dilakukan secara lisan.Kerjasama yang diadakan oleh para pihak meliputi pembelian obat secara tunai atau lunas, pembelian obat secara konsinyasi dan pembelian obat secara kredit, perjanjian ini bersifat tetap dan terus-menerus. Kedudukan para pihak dalam pelaksanaan hak dan kewajiban adalah seimbang tidak berat sebelah. Hak dan kewajiban Apotek adalah mendapatkan obat-obatan dan membayar harga obat-obatan tersebut, sedangkan hak dan kewajiban pihak distributor adalah mengantar barang dan menerima pembayaran atas obat-obatan tersebut hal ini berdasarkan perjanjian yang telah disepakati para pihak. Dalam pelaksanaan kerjasama tersebut terkadang timbul hambatan diluar kuasa para pihak sehingga untuk penyelesaiannya dilakukan secara musyawarah mufakat.

Kata Kunci: Perjanjian, Kerjasama, Apotek, Distributor ______________________________

*Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing I ***Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing II


(2)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim, Alhamdulillah Wa Syukurillah segala puja dan puji penulis panjatkan kepada Sang Pencipta Alam beserta isinya, Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan petunjuk yang tidak terhingga, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik serta tak lupa shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi ini yaitu: “SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN DALAM SISTEM PEMBAYARAN DARI PIHAK APOTEK KEPADA DISTRIBUTOR OBAT MENGENAI PEMASOKAN DAN PENGELUARAN OBAT (Pada Apotek Umi Farma Jalan Karya Kasih No. 104 Medan Johor). Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kehadirat Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW yang dengan berkat dan rahmat-Nya memberikan kesehatan, petunjuk, kelapangan berpikir dan derasnya inspirasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Kedua Orang tuaku tercinta, yang tiada hentinya mendoakan, menemani,

mengasihi, dan memberikan dukungan serta semangat pantang menyerah kepada penulis.

3. Saudara Kandungku, Umi Chairani Manik, Apt, M.Si., Abangku Syukri Abdullah Manik S.T, Kakakku Yessi Kurnia Arjani Manik, S.H serta


(3)

adikku Rachmi Lolo Maya Manik, yang selalu memberikan perhatian dan kasih sayangnya, memberi motivasi terus menerus hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum. selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin S.H. M.Hum. D.F.M. selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak Husni S.H. M.Hum. selaku Pembantu Dekan III.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, S.H. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan dan Dosen Pembimbing I.

6. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H. M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan dan Dosen Pembimbing II, penulis berterimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan arahan selama proses penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Dosen Pembimbing Akademik T. Rusyidi, S.H, M.Hum.

8. Para Narasumber, Ibu Umi Chairani Manik, Apt, M.Si, selaku Apoteker Apotek Umi Farma dan bapak Hanssen (Toko Obat Berizin Mitra), Sugiyatno (P.T Bina San Prima), Bayu Lesmana (P.T San Prima Sejati), selaku para distributor Apotek Umi Farma, yang telah membantu penulis dalam memberikan data untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan selama perkuliahan.


(4)

10. Geng TheMoonku, sebagian sudah berhasil meraih gelar Sarjana Hukum, Julia Agnetha Barus, S.H, Sari Mariska Siregar, S.H, Putri Indah Sari, S.H, dan Lia Hartika Hasibuan, S.H serta sahabat seperjuangan yang juga sedang berjuang meraih gelar Sarjana Hukum, Amanda Nandatama, Sharin Alfi Putri, Yolanda Regina Purba, Mauliana Liem.

11. Seniorku, kak Noni Hardiyanti, S.H yang sudah tulus dan ikhlas membagi ilmunya kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini, Novia Andrina, S.H, yang menjadi tempat penulis bertanya mengenai hal-hal skripsi, Fera Nita Barus dan Andini Pratiwi, yang juga teman seperjuangan penulis dalam menyusun skripsi, serta Letari Boloni Sinurat yang sudah meluangkan waktu untuk membantu dan menghibur penulis.

12. Teman sejurusan, para senior, teman satu stambuk 2009, serta para junior semuanya yang tidak dapat disebut satu persatu, sudah memberi doa dan dukungan sehingga memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

Saya sadari skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran. Demikianlah penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi masyarakat.

Medan, 26 Juni 2013 Hormat Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 11

C. Tujuan Penulisan ... 11

D. Manfaat Penulisan ... 12

E. Metode Penelitian ... 13

F. Keaslian Penulisan ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA ... 20

A. Pengertian Perjanjian ... 20

B. Asas-Asas Dalam Perjanjian ... 25

C. Syarat Sahnya Perjanjian ... 29

D. Berakhirnya Perjanjian ... 43

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEK DAN DISTRIBUTOR... 45

A. Pengertian Apotek ... 45

B. Pengertian Distributor ... 58

C. Pihak-Pihak Yang Terkait Pada Perjanjian Distributor ... 67


(6)

BAB IV SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN DALAM SISTEM PEMBAYARAN DARI PIHAK APOTEK

KEPADA DISTRIBUTOR OBAT MENGENAI

PEMASOKAN DAN PENGELUARAN OBAT (STUDI PADA APOTEK UMI FARMA JALAN KARYA KASIH No. 104 MEDAN JOHOR)

... 70

A. Bentuk Pelaksanaan Kerjasama Dalam Sistem Pembayaran Mengenai Pemasokan dan Pengeluaran Obat dari Pihak Apotek Kepada Distributor Obat... ... 70

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Mengenai Sistem Pembayaran serta Pemasokan dan Pengeluaran Obat ... 81

C. Hambatan Para Pihak yang Terjadi Dalam Perjanjian Mengenai Sistem Pembayaran serta Pemasokan dan Pengeluaran Obat ... 85

BAB V PENUTUP ... ... 87

A. Kesimpulan ... ... 87

B. Saran ... ... 89

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN