Potensi Antioksidasi Daun Salam (Eugenia polyantha Wight.) Pada Lingkungan Agrobiofisik yang Berbeda

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta berubahnya pola hidup
masyarakat yang lebih mengarah kepada
makanan siap saji yang berdampak pada
munculnya berbagai penyakit degeneratif.
Pola makan yang tidak tepat mengakibatkan
terbentuknya radikal bebas dalam tubuh
sehingga muncul beragam penyakit seperti
kanker, diabetes melitus, aterosklerosis,
katarak, dan penyakit jantung koroner (Napoli
2001). Namun, saat ini masyarakat mulai
sadar dan mengubah pola hidupnya untuk
kembali pada alam (
), termasuk
dalam hal memelihara dan menjaga kesehatan.
Keberadaan radikal bebas yang bersifat
tidak stabil dan reaktif di dalam tubuh dapat
mengakibatkan kerusakan seluler, jaringan,
dan genetik (mutasi DNA). Radikal bebas
dapat dikurangi dengan mengkonsumsi
antioksidan dalam jumlah yang cukup. Secara

alami, tubuh mempunyai benteng yang dapat
mencegah serangan berbagai penyakit yang
disebut antioksidan. Antioksidan memiliki
fungsi untuk menghentikan atau memutuskan
reaksi berantai dari radikal bebas yang
terdapat dalam tubuh sehingga dapat
menyelamatkan sel3sel tubuh dari kerusakan
akibat radikal bebas (Hernani & Rahardjo
2005).
Tubuh manusia menghasilkan senyawa
antioksidan, tetapi tidak cukup kuat untuk
berkompetisi dengan radikal bebas yang
dihasilkan oleh tubuh sendiri setiap harinya
(Hernani & Rahardjo 2005). Kekurangan
antioksidan dalam tubuh dapat diatasi melalui
asupan dari luar yang banyak mengandung
antioksidan. Masyarakat tradisional umumnya
telah memanfaatkan beberapa tanaman obat
yang berpotensi sebagai antioksidan, salah
satunya salam (

Wight.).
Tanaman salam biasa ditanam oleh petani
untuk kebutuhan sebagai bumbu masak
sehari3hari. Lingkungan agrobiofisik sekitar
tanaman salam sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan produksi daun salam. Iklim,
ketersediaan unsur hara tanah, dan topografi
daerah tempat tumbuh tanaman salam sangat
menentukan kandungan bahan aktif daun
salam yang berpotensi sebagai antioksidan.
Dalam penelitian ini akan digunakan daun
salam dari berbagai daerah dengan lingkungan
agrobiofisik yang berbeda, yaitu Sukabumi,
Bogor, dan Cianjur.
Masalah dari penelitian ini adalah belum
adanya penelitian ilmiah secara
yang
membuktikan adanya pengaruh lingkungan

agrobiofisik terhadap khasiat antioksidasi dari

ekstrak daun tanaman salam (
Wight.) belum dilakukan.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
membuktikan khasiat antioksidasi ekstrak
daun salam (
Wight.) pada
lingkungan agrobiofisik yang berbeda dengan
mengukur
konsentrasi
malondialdehida
menggunakan metode asam tiobarbiturat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi ilmiah mengenai
khasiat antioksidasi tanaman salam (
Wight.) secara in vitro sehingga
dapat dijadikan dasar pengembangan tanaman
salam (

Wight.) menjadi
fitofarmaka.
%
!"!#
Menurut Tjitrosoepomo (2005), salam
yang merupakan salah satu jenis tanaman obat
yang tergolong dalam Ordo: Myrtales, Famili:
Myrtaceae, Genus:
, dan Spesies:
Wight. Tanaman ini juga
memiliki nama latin lain yaitu
(Wight.) Walp. (Wijayakusuma
1996). Salam memiliki beberapa nama lain
di Indonesia yaitu meselangan, ubar serai,
gowok, manting, dan kastolam.
Salam dapat tumbuh liar di hutan dan
pegunungan, atau ditanam di pekarangan
rumah. Tanaman ini dapat ditemukan dari
dataran rendah hingga daerah yang
ketinggiannya mencapai 1800 meter di atas

permukaan laut (Wijayakusuma
1996)
bahkan hingga mencapai 2000 meter di atas
permukaan laut (PSB 2006). Salam dapat
dikembangbiakkan dengan cara stek batang,
cangkok, dan biji (Dalimartha 2000).
Dalimartha (2000) menjelaskan bahwa
salam merupakan pohon bertajuk rimbun
dengan tinggi mencapai 25 m, batang bulat
dengan permukaan licin, dan berakar
tunggang. Daun salam memiliki beberapa
karakteristik seperti tunggal, pertulangan
menyirip, letaknya berhadapan, berbentuk
lonjong sampai elips atau bundar telur
sungsang, dan berwarna hijau. Daun salam
memiliki tangkai yang panjangnya 0.531 cm,
panjang daun 5315 cm dan lebar daun 338 cm
(Gambar 1). Bunga salam majemuk tersusun,
berwarna putih, dan harum. Buahnya
merupakan buah buni yang berbentuk bulat

dengan diameter 839 mm, memiliki rasa sepat,
dan berwarna hijau saat muda, setelah masak
warnanya berubah menjadi merah gelap.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta berubahnya pola hidup
masyarakat yang lebih mengarah kepada
makanan siap saji yang berdampak pada
munculnya berbagai penyakit degeneratif.
Pola makan yang tidak tepat mengakibatkan
terbentuknya radikal bebas dalam tubuh
sehingga muncul beragam penyakit seperti
kanker, diabetes melitus, aterosklerosis,
katarak, dan penyakit jantung koroner (Napoli
2001). Namun, saat ini masyarakat mulai
sadar dan mengubah pola hidupnya untuk
kembali pada alam (
), termasuk
dalam hal memelihara dan menjaga kesehatan.
Keberadaan radikal bebas yang bersifat

tidak stabil dan reaktif di dalam tubuh dapat
mengakibatkan kerusakan seluler, jaringan,
dan genetik (mutasi DNA). Radikal bebas
dapat dikurangi dengan mengkonsumsi
antioksidan dalam jumlah yang cukup. Secara
alami, tubuh mempunyai benteng yang dapat
mencegah serangan berbagai penyakit yang
disebut antioksidan. Antioksidan memiliki
fungsi untuk menghentikan atau memutuskan
reaksi berantai dari radikal bebas yang
terdapat dalam tubuh sehingga dapat
menyelamatkan sel3sel tubuh dari kerusakan
akibat radikal bebas (Hernani & Rahardjo
2005).
Tubuh manusia menghasilkan senyawa
antioksidan, tetapi tidak cukup kuat untuk
berkompetisi dengan radikal bebas yang
dihasilkan oleh tubuh sendiri setiap harinya
(Hernani & Rahardjo 2005). Kekurangan
antioksidan dalam tubuh dapat diatasi melalui

asupan dari luar yang banyak mengandung
antioksidan. Masyarakat tradisional umumnya
telah memanfaatkan beberapa tanaman obat
yang berpotensi sebagai antioksidan, salah
satunya salam (
Wight.).
Tanaman salam biasa ditanam oleh petani
untuk kebutuhan sebagai bumbu masak
sehari3hari. Lingkungan agrobiofisik sekitar
tanaman salam sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan produksi daun salam. Iklim,
ketersediaan unsur hara tanah, dan topografi
daerah tempat tumbuh tanaman salam sangat
menentukan kandungan bahan aktif daun
salam yang berpotensi sebagai antioksidan.
Dalam penelitian ini akan digunakan daun
salam dari berbagai daerah dengan lingkungan
agrobiofisik yang berbeda, yaitu Sukabumi,
Bogor, dan Cianjur.
Masalah dari penelitian ini adalah belum

adanya penelitian ilmiah secara
yang
membuktikan adanya pengaruh lingkungan

agrobiofisik terhadap khasiat antioksidasi dari
ekstrak daun tanaman salam (
Wight.) belum dilakukan.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
membuktikan khasiat antioksidasi ekstrak
daun salam (
Wight.) pada
lingkungan agrobiofisik yang berbeda dengan
mengukur
konsentrasi
malondialdehida
menggunakan metode asam tiobarbiturat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi ilmiah mengenai
khasiat antioksidasi tanaman salam (
Wight.) secara in vitro sehingga
dapat dijadikan dasar pengembangan tanaman
salam (
Wight.) menjadi
fitofarmaka.
%
!"!#
Menurut Tjitrosoepomo (2005), salam
yang merupakan salah satu jenis tanaman obat
yang tergolong dalam Ordo: Myrtales, Famili:
Myrtaceae, Genus:
, dan Spesies:
Wight. Tanaman ini juga
memiliki nama latin lain yaitu
(Wight.) Walp. (Wijayakusuma
1996). Salam memiliki beberapa nama lain
di Indonesia yaitu meselangan, ubar serai,
gowok, manting, dan kastolam.

Salam dapat tumbuh liar di hutan dan
pegunungan, atau ditanam di pekarangan
rumah. Tanaman ini dapat ditemukan dari
dataran rendah hingga daerah yang
ketinggiannya mencapai 1800 meter di atas
permukaan laut (Wijayakusuma
1996)
bahkan hingga mencapai 2000 meter di atas
permukaan laut (PSB 2006). Salam dapat
dikembangbiakkan dengan cara stek batang,
cangkok, dan biji (Dalimartha 2000).
Dalimartha (2000) menjelaskan bahwa
salam merupakan pohon bertajuk rimbun
dengan tinggi mencapai 25 m, batang bulat
dengan permukaan licin, dan berakar
tunggang. Daun salam memiliki beberapa
karakteristik seperti tunggal, pertulangan
menyirip, letaknya berhadapan, berbentuk
lonjong sampai elips atau bundar telur
sungsang, dan berwarna hijau. Daun salam
memiliki tangkai yang panjangnya 0.531 cm,
panjang daun 5315 cm dan lebar daun 338 cm
(Gambar 1). Bunga salam majemuk tersusun,
berwarna putih, dan harum. Buahnya
merupakan buah buni yang berbentuk bulat
dengan diameter 839 mm, memiliki rasa sepat,
dan berwarna hijau saat muda, setelah masak
warnanya berubah menjadi merah gelap.

Bijinya berwarna cokelat dan berbentuk bulat
dengan penampang sekitar 1 cm.
Pohon salam memiliki khasiat sebagai
tanaman obat terutama daunnya, meskipun
demikian kandungan senyawa kimia yang
berkhasiat obat terdapat diseluruh bagian
tanaman seperti kulit batang, akar dan buah.
Salam mengandung zat3zat kimia, seperti
minyak atsiri yang terdiri sitral dan eugenol,
tanin, dan flavonoida (Wijayakusumah
1996). Selain untuk obat, pohon salam
digunakan pula sebagai bahan pewarna barang
anyaman terutama kulitnya, sedangkan
kayunya dapat digunakan sebagai bahan
bangunan (Heyne 1987).

Gambar 1 Salam (
&$ !'(

Wight.).

')* )+ , - &' !.!/ ! !$
- +

Tanaman salam (
Wight.) dapat tumbuh di daerah dataran
rendah hingga dataran tinggi dengan curah
hujan yang cukup basah. Suhu rata3rata
tahunan yang dibutuhkan tanaman salam
untuk tumbuh sekitar 18330 ºC dan
ketersediaan air yang cukup tinggi yaitu bulan
basah > 6 bulan dan bulan kering < 6 bulan.
Tekstur tanah yang baik untuk pertumbuhan
salam adalah tekstur lempung pasir (
) hingga liat (
).
Produksi daun tanaman salam sangat
tergantung iklim dan sering tidaknya
dilakukan pemanenan. Semakin sering
pemanenan daun salam maka pertumbuhan
batang terhambat sehingga produksi daun
salam semakin menurun. Produksi daun salam
yang tinggi berada pada lingkungan dengan
suhu rata3rata 22–25 ºC, bulan basah sekitar
6–8 bulan, dan bulan kering sekitar 3–4 bulan
(PSB 2006). Sedangkan daerah topografinya
berada pada ketinggian 800–1000 meter diatas
permukaan laut, keberadaan lereng sekitar
15%, dan tekstur tanahnya lempung.

Produksi bahan aktif daun salam sangat
tergantung dengan ketersediaan unsur hara
tanah dan kondisi terain (lereng dan persentasi
batuan permukaan) lokasi tumbuh. Semakin
tinggi ketersediaan hara maka semakin tinggi
produksi bahan aktif daun salam. Untuk
kondisi terain, semakin rendah persentasi
lereng dan batuan permukaan maka semakin
tinggi produksi bahan aktif daun salam.
Persentasi kondisi terain yang ideal untuk
produksi bahan aktif daun salam sekitar <
20% untuk kondisi lereng dan < 7% untuk
kondisi batuan permukaan.
Dalam penelitian ini digunakan daun
salam berasal dari daerah Sukabumi, Bogor,
dan Cianjur. Daerah ini dikenal dengan daerah
yang dikelilingi oleh gunung di Jawa Barat
dan memiliki daerah yang berbukit serta
berlereng. Meskipun demikian daerah tersebut
berpotensi sebagai tempat tumbuh tanaman
salam.
Daerah Sukabumi memiliki tekstur
permukaan bergelombang berupa dataran
rendah di bagian selatan, sedangkan tekstur
permukaan yang berbukit3bukit di bagian
tengah dan utara. Sukabumi terletak pada
daerah ketinggian antara 032960 meter di atas
permukaan laut dengan kemiringan tanah
antara 15334%. Jenis tanah yang dimiliki
daerah Sukabumi bermacam3macam, antara
lain aluvial, andosol, latosol, laterit, regosol,
mediteran, podsolik merah kuning, litosol,
renzina, dan
. Sukabumi
memiliki iklim basah dengan curah hujan
antara 137833597 mm/tahun, suhu udara 183
30 ºC, dan kelembaban 80395%.
Daerah Bogor yang terkenal dengan
julukan kota hujan terletak pada daerah
ketinggian antara 5003700 meter di atas
permukaan laut dengan kemiringan tanah 153
30%. Bogor memiliki berbagai macam jenis
tanah, yaitu latosol, litosol, aluvial, dan
podsolik merah kekuningan. Bogor termasuk
dalam iklim basah dengan curah hujan
tertinggi di Jawa Barat antara 291634500
mm/tahun, suhu udara 21.8326 ºC, dan
kelembaban kurang lebih 70%.
Daerah Cianjur yang dijuluki sebagai kota
beras terletak pada ketinggian antara 032962
meter di atas permukaan laut. Cianjur
memiliki daerah yang sebagian besar berupa
pegunungan serta berbukit3bukit dan sebagian
kecil dataran rendah dengan kemiringan 03
>40%. Cianjur memiliki berbagai macam
jenis tanah, yaitu aluvial, andosol,
, grumusol, latosol, litosol,
mediteran, organosol, podsolik, podsolik
merah kuning, regosol, renzina, dan tanah3

tanah berglei. Cianjur memiliki iklim basah
dengan curah hujan 107–2260 mm/tahun.
!. -!" &*!, &$0&*!* &$0!& &$&'! +
Radikal bebas didefinisikan sebagai suatu
senyawa kimia yang memiliki atom atau
molekul dengan satu atau lebih elektron yang
tidak berpasangan (Hernani & Rahardjo
2005). Adanya elektron yang berpasangan
membuat molekul menjadi tidak stabil dan
bersifat reaktif karena berusaha untuk
mendapatkan pasangan elektron (Muhilal
1991).
Radikal bebas memiliki peran dalam
berbagai terjadinya penyakit degeneratif. Hal
ini disebabkan sifat senyawa radikal bebas
yang sangat reaktif sehingga mampu bereaksi
dengan makromolekul protein seperti halnya
enzim, lipid, karbohidrat, atau DNA yang ada
dalam tubuh (Musthafa
2000). Radikal
bebas yang berlebihan dapat menimbulkan
kerusakan seluler, jaringan, dan genetika
(mutasi DNA). Kerusakan seluler dan jaringan
tersebut dapat menimbulkan peradangan
jaringan dan mendorong terjadinya keganasan
(Lautan 1997). Hal tersebut disebabkan
adanya efek mutagenik molekul radikal bebas
superoksida (O23) yang terbentuk pada saat
peradangan. Reaksi antara radikal bebas
dengan
molekul
non
radikal
akan
menghasilkan suatu radikal bebas yang baru
dan selanjutnya menimbulkan reaksi berantai.
Menurut Sofia (2005), senyawa radikal
bebas terbentuk dari dua macam sumber yaitu
endogenus dan eksogenus. Pembentukan
radikal bebas secara endogenus dapat melalui
reaksi autoksidasi, oksidasi enzimatik,
fagositosis dalam respirasi, transpor elektron
di mitokondria, dan oksidasi ion3ion logam
transisi dalam tubuh. Sedangkan pembentukan
radikal bebas secara eksogenus akibat bahan
kimia yang bersifat karsinogenik, radiasi sinar
UV, sinar X, dan sinar gamma.
Radikal bebas yang terbentuk secara
endogenus dapat berasal dari metabolisme
normal tubuh. Salah satu contohnya proses
reduksi molekul oksigen dalam rangkaian
transport elektron pada rantai respirasi
mitokondria. Oksigen dimetabolisme menjadi
H2O dengan penambahan 4 elektron melalui
beberapa tahapan reaksi (Siregar 1992).
Reaksi molekul oksigen dengan elektron
pertama akan membentuk anion radikal
superoksida (O23), kemudian anion radikal
superoksida direaksikan dengan elektron
kedua dan dua atom hidrogen menghasilkan

hidrogen peroksida (H2O2). Penambahan
elektron ketiga pada molekul hidrogen
peroksida akan memicu pembentukan radikal
hidroksil (OH•). Molekul H2O akan terbentuk
melalui reaksi radikal hidroksil dengan
elektron keempat dan sebuah atom hidrogen
(Tabel 1).
Radikal bebas juga dapat dihasilkan dari
berbagai proses kimia atau enzimatik dalam
metabolisme tubuh yang melibatkan senyawa
organik maupun inorganik seperti Fe. Radikal
hidroksil (OH•) dapat terbentuk melalui reaksi
nonenzimatik dari senyawa hidroperoksida
(H2O2) yang dikatalisis oleh ion Fe2+,
kemudian Fe2+ akan dioksidasi menjadi Fe3+
sehingga reaksi ini dikenal sebagai reaksi
Fenton. Selain melalui reaksi Fenton, Radikal
hidroksil (OH•) juga dapat terbentuk melalui
reaksi Haber3Weiss dengan menggunakan
radikal superoksida (O23) dan hidroperoksida
(H2O2) sebagai substrat yang dikatalisis oleh
besi, sesuai dengan reaksi sebagai berikut:
H2O2 + Fe2+
Fe3++ OH3 + OH•
3
H2O2 + O2
O2 + OH3 + OH•
Reaksi ini terjadi secara berantai dan terus
menerus sampai ada
molekul
yang
memberikan elektron yang dibutuhkan radikal
bebas atau dapat berakhir bila dua buah gugus
radikal bebas saling berinteraksi membentuk
ikatan non radikal (Murray 2003).
Jenis radikal bebas yang berperan dalam
berbagai reaksi3reaksi destruktif pada tubuh
manusia adalah spesies oksigen reaktif.
Senyawa yang termasuk dalam spesies
oksigen reaktif yang dapat ditemukan dalam
tubuh yaitu peroksida lipid (LOOH),
Hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen
(IO2), ion hipoklorit (OCl3), radikal bebas
superoksida (O23), radikal bebas hidroksil
(OH+), radikal bebas alkoksi (RO•), dan
radikal peroksil (ROO•) (Lautan 1997).
Menurut peneliti lainnya ROS mempunyai
peranan penting dalam patofisiologi manusia
seperti kanker, kardiovaskuler, dan penyakit
neurodegeneratif seperti
dan
(Tuminah 2000).
Tabel 1 Reaksi pembentukan molekul H2O
Reaksi
O2 + e

Hasil reaksi
3

O23

O2 + e3 + 2H+
3

H2O2

H2O2 + e

OH• + OH3

OH+ + e3 + H+

H2O

3

+

OH + H
O2 + 4 e3 + 4 H+

H2O
2H2O

(ROS) terbentuk
dari reaksi pembentukan energi yang tidak
sempurna pada mitokondria. Molekul oksigen
dan glukosa yang masuk dalam mitokondria
diubah menjadi energi dan ROS. Reaktifitas
ROS dapat distabilkan oleh enzim superoksida
dismutase membentuk senyawa hidrogen
peroksida, kemudian senyawa tersebut
dinetralkan menjadi air dan oksigen oleh
enzim katalase. Namun, konsentrasi ROS
yang tinggi dalam tubuh akan menyerang sel
lain seperti sel syaraf motorik (Gambar 2).

Gambar 2 Reaksi pembentukan
(ROS).
! !/!$ &!-,

&')-, .!,

molekul lipid lainnya yang berdekatan untuk
membentuk hidroperoksida lipid dan juga
membentuk radikal karbon lain sehingga
reaksi peroksidasi lipid akan terjadi secara
terus menerus. Tahap terminasi akan terjadi
bila ada reaksi antara radikal bebas sendiri
atau adanya senyawa antioksidan. Reaksi
peroksidasi
secara
enzimatik
dan
nonenzimatik dikatalisis oleh ion logam
transisi seperti Fe2+ (Cornwell & Morisaki
1984).
Peroksidasi lipid menghasilkan produk
akhir malonaldehida (MDA). Konsentrasi
MDA dapat diukur dengan metode asam
tiobarbiturat (TBA) karena MDA akan
bereaksi
dengan
asam
tiobarbiturat
membentuk produk berwarna merah yang
diukur pada panjang gelombang 532 nm
(Gambar 4). Kadar lipid peroksida dalam
tubuh manusia tidak boleh lebih dari 4
nmol/ml. Kelebihan lipid peroksida dalam
darah dan hati dapat mengakibatkan berbagai
macam penyakit seperti kanker, jantung
koroner,
, katarak, autoimun, dan
penuaan dini (Yagi 1994).

/.

Peroksidasi lipid adalah reaksi yang terjadi
antara radikal bebas dengan asam lemak tak
jenuh ganda (
,
PUFA) pada membran sel yang sedikitnya
mengandung tiga ikatan rangkap. Radikal
bebas bersifat sangat reaktif jika bereaksi
dengan PUFA sehingga akan menghasilkan
radikal lipid bebas (R•). Apabila radikal lipid
bebas bereaksi dengan O2 akan terbentuk
radikal peroksi lipid (ROO•) yang dapat
menghasilkan endoperoksida lipid atau lipid
peroksida. Reaksi ini terjadi secara berantai
dan terus menerus karena menghasilkan
radikal lipid bebas (R•) lain yang
menyebabkan peroksidasi lebih lanjut
(Gambar 3). Peroksidasi lipid juga dikatalisis
secara
oleh senyawa heme dan enzim
lipoksigenase yang ditemukan di dalam
trombosit serta leukosit (Murray 2003).
Reaksi peroksidasi lipid dimulai dengan
tahapan inisiasi yaitu pemisahan sebuah atom
hidrogen oleh radikal bebas dari suatu grup
metilena (3CH23) PUFA. Reaksi ini
menghasilkan pembentukan suatu radikal
karbon (3•CH3) pada PUFA. Radikal karbon
distabilkan melalui suatu pengaturan ulang
ikatan
rangkap
yang
menghasilkan
pembentukan diena terkonjugasi. Pada tahap
propagasi, radikal peroksida lipid dapat juga
menghilangkan sebuah atom hidrogen dari

Gambar 3 Reaksi peroksidasi lipid.

Gambar 4 Reaksi antara malondialdehida
dan asam tiobarbiturat.

&'!$!$ $ )-, .!$ .

.!$

&,& ! !$

Kerusakan yang ditimbulkan oleh spesies
oksigen reaktif dapat diatasi oleh tubuh
sendiri melalui mekanisme pertahan preventif.
Sistem pertahanan tubuh ini dilakukan oleh
enzim3enzim pembersih (
),
diantaranya superoksida dismutase (SOD),
katalase, dan glutation peroksidase (Tuminah
2000). Enzim SOD terdapat hampir semua
jaringan terutama pada kompartemen sitosol
dan mitokondria yang berfungsi mengubah
radikal superoksida (O23•) menjadi H2O2 dan
O2 dengan reaksi sebagai berikut:
Superoksida dismutase
O23 + O23 + 2 H+

H2O2

+

O2
Katalase terdapat pada peroksisom dan sitosol
berfungsi untuk menetralkan H2O2 menjadi O2
dan H2O. Sedangkan glutation peroksidase
terdapat pada sitosol dan mitokondria akan
mengkatalisis reaksi antara glutation (GSH)
dan H2O2 menjadi GSSG dan H2O. Gugus tiol
(3SH) pada glutation peroksidase akan
bereaksi dengan radikal superoksida sehingga
dapat mencegah kerusakan komponen sel
lainnya (Siregar 1992). Namun, dalam kondisi
tertentu (sakit, stress, polusi, dan radiasi)
produksi radikal bebas dapat melebihi
kemampuan sistem pertahanan tubuh.
Keterbatasan mekanisme tubuh untuk
menetralkan reaksi oksidasi telah mendorong
penggunaan antioksidan dari luar tubuh.
Antioksidan merupakan senyawa penting
dalam menjaga kesehatan tubuh yang
berfungsi sebagai penangkap radikal bebas
dalam tubuh. Secara khusus, antioksidan
diartikan sebagai zat yang dapat menunda atau
mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal
bebas dalam oksidasi lipid walaupun dengan
konsentrasi lebih rendah dibandingkan
substrat yang dapat dioksidasi (Trilaksani
2003).
Menurut Murray (2003), antioksidan
berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi dua
macam, yaitu antioksidan pencegah dan
antioksidan pemutus rantai. Antioksidan
pencegah berfungsi mengurangi inisiasi rantai
oksidasi seperti katalase dan peroksidase yang
bereaksi
dengan
hidroperoksida
lipid
(ROOH), transferin dan feritin yang
mencegah pembentukan Fe2+ bebas, serta
seruplasmin dan albumin yang mencegah
pembentukan Cu+ bebas. Antioksidan
pemutus rantai bekerja dengan mempengaruhi

tahap propagasi pada pembentukan radikal
bebas seperti vitamin E, fenol, dan amina
aromatik yang berfungsi menangkap radikal
peroksi (ROO•) dan radikal alkoksi (RO•).
Contoh lainnya antara lain vitamin A dan
vitamin C.
Berdasarkan
mekanisme
kerjanya,
senyawa antioksidan terbagi menjadi tiga
macam yaitu antioksidan primer yang bekerja
untuk mengurangi pembentukan radikal bebas
dengan memutuskan reaksi berantai dan
mengubahnya menjadi produk yang lebih
stabil. Senyawa yang termasuk antioksidan
primer diantaranya superoksida dismutase
(SOD), katalase, dan glutation peroksidase.
Antioksidan sekunder berperan mengikat
senyawa radikal bebas dan mencegah
amplifikasi radikal. Antioksidan sekunder
terdiri atas vitamin A, vitamin C, vitamin B,
vitamin E, β3karoten, dan senyawa3senyawa
fitokimia. Sedangkan antioksidan tersier
berperan sebagai mekanisme biomolekuler,
seperti enzim perbaikan DNA dan metionin
sulfoksida reduktase (Kartikawati 1999).
&$0!1! $ )-, .!$ "!#
Senyawa antioksidan dapat diperoleh
dalam berbagai tumbuh3tumbuhan. Beberapa
antioksidan alami dapat dihasilkan dari
rempah3rempah, tanaman herbal, sayuran dan
buah. Namun, herbal tanaman obat
mempunyai daya aktivitas antioksidan lebih
tinggi dibandingkan dengan buah dan sayuran
(Hernani & Rahardjo 2005). Telah banyak
penelitian
yang
menyatakan
bahwa
perlawanan berbagai macam penyakit
degeneratif seperti kanker dapat dilakukan
dengan mengkonsumsi sayuran dan buah yang
banyak mengandung senyawa antioksidan
untuk mengurangi reaksi berantai radikal
bebas. Senyawa kimia yang tergolong dalam
kelompok antioksidan yang ditemukan pada
tanaman, antara lain dari golongan polifenol,
flavonoid, vitamin C, vitamin E, dan
karotenoid.
Antioksidan dari golongan polifenol
sangat mudah larut dalam air dan lemak. Pada
umumnya senyawa antioksidan tersebut
digunakan untuk mencegah kerusakan akibat
reaksi oksidasi pada makanan, kosmetik,
farmasi, dan plastik. Senyawa polifenol
memiliki fungsi sebagai penangkap dan
pengikat radikal bebas dari ion3ion logam
yang mengalami kerusakan.
Antioksidan
golongan
flavonoid
merupakan antioksidan yang berpotensial
untuk mencegah pembentukan radikal bebas.

Flavonoid diperkirakan hampir 90 persen
sebagai glikosida dan 10 persen sebagai
aglikon.
Senyawa
flavonoid
dapat
dikelompokkan dalam dalam golongan flavon,
flavonol, flavanon, antosianidin, katekin, dan
isoflavon (Hernani & Rahardjo 2005).
Kuersetin (3,43dihidroksiflavonol) adalah
senyawa flavonoid dari golongan flavonol
yang terdapat tanaman teh, tomat, apel, kakao,
anggur, dan bawang. Keberadaan kuersetin
juga telah dibuktikan secara ilmiah pada
tanaman salam (PSB 2005). Aktivitas
kuersetin dalam menghambat reaksi oksidasi
!
(LDL)
dapat
ditunjukkan secara in vitro (Sibuea 2004).
Aktivitas antioksidan kuersetin dari anggur
merah sebanding dengan α3tokoferol dalam
menghambat peroksidasi lipid. Isoflavon
merupakan sejenis senyawa oestrogen yang
mempunyai aktivitas antioksidan yang cukup
tinggi karena telah terbukti bahwa senyawa ini
dapat mengurangi resiko terhadap penyakit
kanker, jantung koroner, dan osteoporosis.
Vitamin C adalah suatu senyawa asam L3
askorbat (23ketoglukonolakton) yang memiliki
multifungsi. Vitamin C dapat berfungsi
sebagai antioksidan, proantioksidan, pengikat
logam, pereduksi, dan penangkap oksigen.
Vitamin E merupakan vitamin yang larut
dalam lemak
dan memiliki kemampuan
sebagai antioksidan yang cukup kuat. Vitamin
E berfungsi untuk memproteksi sel3sel
membran serta LDL kolesterol dari reaksi
oksidasi
(Tuminah
1999),
membantu
memperlambat penuaan, dan melindungi
tubuh dari kerusakan sel yang dapat
menimbulkan penyakit kanker.
Karotenoid adalah molekul3molekul yang
dapat memberikan warna3warna terang pada
tanaman, buah3buahan, dan sayuran. Senyawa
yang tergolong karotenoid antara lain α3
karoten, β3karoten, likopen, lutein, zeaksantin,
dan β3kriptoksantin (Tuminah 1999). Senyawa
karotenoid dapat mengurangi resiko terkena
penyakit kanker. Zat antioksidan alami
lainnya adalah saponin dari turunan glikosida
yang berikatan dapat menurunkan kolesterol
dalam darah dan menghambat penyakit kanker
(Hernani & Rahardjo 2005).
&-$ - &$&$ (!$ ) &$,

$ )-, .!$

Pengujian potensi antioksidan dapat
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
metode oksigen aktif (
,
AOM), metode asam tiobarbiturat (23
, TBA), metode tiosianat,

metode bilangan ansidin, dan metode Kreis
(Santoso 2002).
Metode oksigen aktif merupakan metode
untuk mengukur nilai peroksida yang
dihasilkan dari oksidasi asam lemak tak jenuh
dalam kondisi jenuh udara pada suhu 98ºC.
Metode TBA untuk mengukur produk
oksidasi asam linoleat (malondialdehida) yang
akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat
menghasilkan produk berwarna merah yang
diukur pada λ 532 nm. Metode tiosianat untuk
mengukur peroksida yang akan membentuk
kompleks warna Fe[Fe(SCN)6]. Metode
bilangan ansidin untuk mengukur senyawa
aldehid hasil oksidasi yang bereaksi dengan p3
ansidin. Sedangkan metode Kreis untuk
mengukur hasil oksidasi lemak yang akan
bereaksi dengan fluoroglusinol.
Uji potensi antioksidan yang digunakan
adalah metode TBA. Alasan penggunaan
metode TBA dalam penelitian ini antara lain:
metode TBA merupakan cara analisis
antioksidan yang telah lama digunakan untuk
mengukur peroksidasi asam lemak pada
membran sel dan makanan, pereaksi TBA
memiliki sifat sensitif terhadap peroksida
lipid, serta reaksi yang ditimbulkan antara
malondialdehida dengan asam tiobarbiturat
menghasilkan produk yang sama dengan
reaksi yang ditimbulkan antara lipid peroksida
dengan asam tiobarbiturat (Yagi 1994).
Uji potensi antioksidan dilakukan setelah
pengukuran hidroperoksida yang merupakan
produk primer oksidasi asam linoleat dengan
metode tiosianat. Pengukuran hidroperoksida
bertujuan untuk menentukan waktu inkubasi
asam linoleat. Menurut Kikuzaki dan Nobuji
(1993), pengukuran potensi antioksidan
dengan metode TBA lebih baik dilakukan
setelah satu atau beberapa hari dari puncak
absorbansi asam linoleat. Hal ini dilakukan
karena hidroperoksida akan mengalami
dekomposisi membentuk malondialdehida.
& ).&

&$! &'-)$2( !,

Metode diena terkonjugasi merupakan
metode yang digunakan untuk mengukur
serapan yang disebabkan oleh struktur diena
terkonjugasi yang terdapat di dalam sampel
lemak dan minyak (White 1995, dalam
Krisnayunita 2002). Asam yang mengandung
dua
ikatan
rangkap
terkonjugasi
menunjukkan penyerapan pada panjang
gelombang 234 nm. Serapan yang terukur
adalah nilai penyerapan yang disebabkan oleh
strukur diena terkonjugasi yang terdapat di
dalam sampel lemak dan minyak.

Menurut Shahidi & Wanasundara (1997)
metode diena terkonjugasi dapat digunakan
sebagai indeks kestabilan lipid menggantikan
bilangan peroksida karena lebih cepat
daripada penentuan bilangan peroksida, jauh
lebih sederhana, tidak tergantung dari reaksi
kimia
atau
perubahan
warna,
dan
membutuhkan sampel dalam ukuran yang
lebih kecil (Tensiska 2001). Metode ini
prinsipnya adalah mengukur hidroperoksida
diena terkonjugasi yang terdapat dalam emulsi
(o/w) 10%. Hasil analisis diena terkonjugasi
dinyatakan dalam mmol hidroperoksida/kg
minyak.
Kebanyakan metode diena terkonjugasi
digunakan pada minyak yang benyak
mengandung asam linoleat atau asam lemak
tidak jenuh lainnya. Struktur 1,43pentadiena di
dalam linoleat membuatnya menjadi sangat
mudah mengalami oksidasi. Bahkan 20 kali
lebih mudah teroksidasi daripada struktur
propena pada oleat (Fennema 1996, dalam
Krisnayunita 2002). Grup metil pada posisi 11
menjadi sangat reaktif karena diapit oleh dua
ikatan rangkap dua (Gambar 5).
Perpindahan posisi atom hidrogen
menghasilkan sebuah
, yang pada reaksi dengan
molekul oksigen menghasilkan campuran
yang seimbang dari 93 dan 133 diena
hidroperoksida terkonjugasi. Bukti3bukti yang
ada selama ini mengindikasikan bahwa 93 dan
133cis,
trans3hidroperoksida
mengalami
interkonversi, dengan adanya isomerasi
geometris, membentuk trans, trans3isomer.
Walaupun
demikian,
masing3masing
hidroperoksida (93 dan 133) ditemukan dalam
bentuk cis3trans maupun dalam bentuk trans3
trans.
13

12

11 10

9

3C = C 3C 3C = C 3
3C = C 3C 3C = C 3

3C = C 3C 3C = C 3
3C = C 3C = C 3C 3
3C 3C = C 3C = C 3

O2

O2
9

11

3C = C 3C 3C = C 3
O
O.

RH
11

3C = C 3C 3C = C 3
O
O
H

3C = C 3C = C 3C 3
O
O.
13
3C 3C = C 3C = C 3
O
O.
RH
9

3C = C 3C = C 3C 3
O
O
H
13
+
3C 3C = C 3C = C 3
O
O
H

Gambar 5 Pembentukan diena terkonjugasi
pada asam lemak linoleat.

! !$ .!$ "!
Bahan3bahan yang akan digunakan yaitu
daun salam diperoleh dari Pusat Studi
Biofarmaka–Institut
Pertanian
Bogor,
akuades, etanol 70% (v/v),
kloroform,
amoniak, H2SO4 pekat, pereaksi Dragendorf,
pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, metanol
30%, NaOH 10% (b/v), eter, pereaksi
Lieberman
Burchard,
etanol
75%,
tetrametoksipropana (TMP), TBA 1% (b/v)
dalam asam asetat 50%, asam trikloro asetat
(TCA) 20%, asam linoleat 50 mM dalam
etanol 99.8%, bufer fosfat 0.1 M pH 7, dan α3
tokoferol.
Peralatan yang diperlukan yaitu refluks,
,
oven,
spektrofotometer UV, penangas air, dan
sentrifus.
& ).& &$&" !$
Tahapan penelitian yang telah dilakukan
antara lain ekstraksi senyawa aktif daun
salam,
analisis
fitokimia,
analisis
hidroperoksida dari oksidasi asam linoleat
menggunakan metode diena terkonjugasi,
penentuan konsentrasi optimum potensi
antioksidan menggunakan metode TBA, dan
analisis konsentrasi MDA (Malondialdehida)
dengan metode TBA.
-, '!-, !($ !"!#
Serbuk kering daun salam dari kota Bogor,
Cianjur, dan Sukabumi diekstrak dengan
pelarut organik etanol. Alkohol adalah pelarut
serba guna yang baik untuk ekstraksi
pendahuluan. Etanol 70% merupakan pelarut
yang sering digunakan untuk ekstraksi karena
mampu menghasilkan bahan aktif tanaman
yang optimal dan jumlah pengotor yang ikut
dalam larutan pengekstraksi sangat kecil
(Harbone 1987).
Serbuk kering daun salam diekstraksi
dengan metode refluks. Serbuk kering daun
salam sebanyak 20 gram diekstraksi dengan
200 mL pelarut etanol 70% selama 2 jam pada
suhu 70 ºC menggunakan refluks. Ekstrak
yang diperoleh kemudian disaring dengan
kertas saring. Ekstrak yang telah disaring
diuapkan dengan
pada suhu 50 ºC dan dioven pada suhu 40 ºC
maka diperoleh ekstrak kasar.
$!" , , )- # ! !#/&" !'*)$& 345
2
"-!") . 0.1 gram hasil ekstraksi
ditambahkan 3 mL kloroform dan 3 tetes
amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan

Menurut Shahidi & Wanasundara (1997)
metode diena terkonjugasi dapat digunakan
sebagai indeks kestabilan lipid menggantikan
bilangan peroksida karena lebih cepat
daripada penentuan bilangan peroksida, jauh
lebih sederhana, tidak tergantung dari reaksi
kimia
atau
perubahan
warna,
dan
membutuhkan sampel dalam ukuran yang
lebih kecil (Tensiska 2001). Metode ini
prinsipnya adalah mengukur hidroperoksida
diena terkonjugasi yang terdapat dalam emulsi
(o/w) 10%. Hasil analisis diena terkonjugasi
dinyatakan dalam mmol hidroperoksida/kg
minyak.
Kebanyakan metode diena terkonjugasi
digunakan pada minyak yang benyak
mengandung asam linoleat atau asam lemak
tidak jenuh lainnya. Struktur 1,43pentadiena di
dalam linoleat membuatnya menjadi sangat
mudah mengalami oksidasi. Bahkan 20 kali
lebih mudah teroksidasi daripada struktur
propena pada oleat (Fennema 1996, dalam
Krisnayunita 2002). Grup metil pada posisi 11
menjadi sangat reaktif karena diapit oleh dua
ikatan rangkap dua (Gambar 5).
Perpindahan posisi atom hidrogen
menghasilkan sebuah
, yang pada reaksi dengan
molekul oksigen menghasilkan campuran
yang seimbang dari 93 dan 133 diena
hidroperoksida terkonjugasi. Bukti3bukti yang
ada selama ini mengindikasikan bahwa 93 dan
133cis,
trans3hidroperoksida
mengalami
interkonversi, dengan adanya isomerasi
geometris, membentuk trans, trans3isomer.
Walaupun
demikian,
masing3masing
hidroperoksida (93 dan 133) ditemukan dalam
bentuk cis3trans maupun dalam bentuk trans3
trans.
13

12

11 10

9

3C = C 3C 3C = C 3
3C = C 3C 3C = C 3

3C = C 3C 3C = C 3
3C = C 3C = C 3C 3
3C 3C = C 3C = C 3

O2

O2
9

11

3C = C 3C 3C = C 3
O
O.

RH
11

3C = C 3C 3C = C 3
O
O
H

3C = C 3C = C 3C 3
O
O.
13
3C 3C = C 3C = C 3
O
O.
RH
9

3C = C 3C = C 3C 3
O
O
H
13
+
3C 3C = C 3C = C 3
O
O
H

Gambar 5 Pembentukan diena terkonjugasi
pada asam lemak linoleat.

! !$ .!$ "!
Bahan3bahan yang akan digunakan yaitu
daun salam diperoleh dari Pusat Studi
Biofarmaka–Institut
Pertanian
Bogor,
akuades, etanol 70% (v/v),
kloroform,
amoniak, H2SO4 pekat, pereaksi Dragendorf,
pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, metanol
30%, NaOH 10% (b/v), eter, pereaksi
Lieberman
Burchard,
etanol
75%,
tetrametoksipropana (TMP), TBA 1% (b/v)
dalam asam asetat 50%, asam trikloro asetat
(TCA) 20%, asam linoleat 50 mM dalam
etanol 99.8%, bufer fosfat 0.1 M pH 7, dan α3
tokoferol.
Peralatan yang diperlukan yaitu refluks,
,
oven,
spektrofotometer UV, penangas air, dan
sentrifus.
& ).& &$&" !$
Tahapan penelitian yang telah dilakukan
antara lain ekstraksi senyawa aktif daun
salam,
analisis
fitokimia,
analisis
hidroperoksida dari oksidasi asam linoleat
menggunakan metode diena terkonjugasi,
penentuan konsentrasi optimum potensi
antioksidan menggunakan metode TBA, dan
analisis konsentrasi MDA (Malondialdehida)
dengan metode TBA.
-, '!-, !($ !"!#
Serbuk kering daun salam dari kota Bogor,
Cianjur, dan Sukabumi diekstrak dengan
pelarut organik etanol. Alkohol adalah pelarut
serba guna yang baik untuk ekstraksi
pendahuluan. Etanol 70% merupakan pelarut
yang sering digunakan untuk ekstraksi karena
mampu menghasilkan bahan aktif tanaman
yang optimal dan jumlah pengotor yang ikut
dalam larutan pengekstraksi sangat kecil
(Harbone 1987).
Serbuk kering daun salam diekstraksi
dengan metode refluks. Serbuk kering daun
salam sebanyak 20 gram diekstraksi dengan
200 mL pelarut etanol 70% selama 2 jam pada
suhu 70 ºC menggunakan refluks. Ekstrak
yang diperoleh kemudian disaring dengan
kertas saring. Ekstrak yang telah disaring
diuapkan dengan
pada suhu 50 ºC dan dioven pada suhu 40 ºC
maka diperoleh ekstrak kasar.
$!" , , )- # ! !#/&" !'*)$& 345
2
"-!") . 0.1 gram hasil ekstraksi
ditambahkan 3 mL kloroform dan 3 tetes
amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan

diasamkan dengan 10 tetes H2SO4 2 M. Fraksi
H2SO4 diambil, kemudian ditambahkan
pereaksi Dragendorf, Meyer, dan Wagner.
Keberadaan
alkaloid
ditandai
dengan
terbentuknya endapan putih pada pereaksi
Meyer, endapan merah pada pereaksi
Dragendorf, dan endapan coklat pada pereaksi
Wagner. Sebagai pembanding digunakan daun
tapak dara.
2
!/)$ $ 0.1 gram hasil ekstraksi
ditambahkan 2 mL air dan dipanaskan selama
lima menit. Larutan tersebut didinginkan
kemudian dikocok hingga timbul busa sampai
selang waktu 10 menit menunjukkan
keberadaan saponin. Sebagai pembanding
digunakan buah klerak.
2 "!6)$) . .!$ &$0!1! &$)" - 0.1
gram hasil ekstraksi ditambah 2 mL metanol
30% sampai terendam lalu dipanaskan.
Filtratnya ditambah 1 tetes NaOH 10% (b/v)
atau H2SO4 pekat. Terbentuknya warna merah
karena penambahan NaOH 10% (b/v)
menunjukkan keberadaan senyawa fenolik
hidrokuinon, sedangkan warna merah yang
terbentuk karena penambahan H2SO4 pekat
menunjukkan keberadaan senyawa flavonoid.
Sebagai pembanding digunakan buah pinang.
2 ' &'/&$) . .!$ &') . 0.1 gram
hasil ekstraksi ditambah 2 mL etanol 30% lalu
dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan
lalu ditambahkan eter. Lapisan eter
ditambahakan pereaksi Lieberman Burchard
(3 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes
H2SO4 pekat). Warna merah atau ungu
menunjukkan
kandungan
triterpenoid,
sedangkan
warna
hijau
menunjukkan
kandungan steroid. Sebagai pembanding
steroid digunakan som jawa.
2
!$ $ 0.1 gram hasil ekstraksi
ditambahkan 2 mL air kemudian dididihkan
selama beberapa menit. Larutan tersebut
disaring dan filtratnya ditambah FeCl3 1%
(b/v). Warna biru tua atau hitam kehijauan
menunjukkan keberadaan tanin. Sebagai
pembanding digunakan teh.
!$7!$ !$ &$&" !$
Penelitian ini terdiri atas lima kelompok
dengan ulangan masing3masing kelompok
sebanyak tiga kali, yaitu kelompok I sebagai
kontrol tanpa perlakuan ekstrak daun salam,
kelompok II sebagai kontrol pembanding
dengan, kelompok III sebagai sampel daun
salam kota Sukabumi, kelompok IV sebagai
sampel daun salam kota Bogor, kelompok V
sebagai sampel daun salam kota Cianjur.
Kelompok I merupakan kontrol tanpa
perlakuan ekstrak daun salam yang

menggunakan air bebas ion sebagai pengganti
larutan uji. Kelompok II merupakan kontrol
pembanding yang menggunakan vitamin E
sebagai pengganti larutan uji. Kelompok III,
IV, dan V merupakan sampel ekstrak etanol
70% daun salam dengan konsentrasi
berdasarkan hasil penentuan konsentrasi
optimum potensi antioksidan. Masing3masing
kelompok diinkubasi dengan lama inkubasi
berdasarkan hasil pengukuran hidroperoksida
dari asam linoleat. Pengukuran potensi
antioksidan ekstrak daun salam dilakukan
dengan metode TBA lebih baik dilakukan
setelah satu atau beberapa hari dari puncak
absorbansi asam linoleat.
$!" , ,
.')/&')-, .! .!'
-, .!,
,!# $)"&!
& ).& &$! &'-)$2( !,
, &'*!(&'
34548 . !7( .!"!# ! &'
9
Analisis hidroperoksida dilakukan dengan
menggunakan 2 mL Bufer fosfat 0.1 M pH 7,
2 mL asam linoleat 50 mM dalam etanol
99.8%, dan 1 mL air bebas ion diletakkan ke
dalam botol gelap yang berulir, kemudian
campuran diinkubasi pada suhu 40 ºC. Lama
inkubasi ditentukan setelah tercapainya
absorbansi maksimum.
Campuran sampel tersebut diambil 50 VL
ke dalam 6 mL etanol 75%, kemudian
Absorbansi diena terkonjugasi sampel diukur
langsung menggunakan spektrofotometer
sinar UV pada panjang gelombang 234 nm.
Analisis hidroperoksida diukur setiap hari
sampai tercapai absorbansi maksimum.
&$&$ (!$ )$,&$ '!,
/ #(# ) &$,
$ )-, .!$ & ).&
Penentuan konsentrasi optimum dari
ekstrak daun salam dilakukan dua tahap
dengan
menggunakan
berbagai
seri
konsentrasi.
Pada
tahap
pertama
menggunakan kisaran konsentrasi 50, 100,
200, 500, dan 1000 ppm. Untuk tahap kedua
menggunakan kisaran konsentrasi 500, 1000,
1500, dan 2000 ppm. Analisis konsentrasi ini
dilakukan dengan metode TBA. Campuran
sampel penemtuan konsentrasi optimum ini
terdiri atas 2 mL bufer fosfat 0.1 M pH 7, 2
mL asam linoleat 50 mM dalam etanol 99.8%,
dan 1 mL larutan uji dari masing3masing seri
konsentrasi.
$!" , ,

)$,&$ '!,
.&$ !$
& ).&

!")$. !".& .!
-(:!-

3449
Campuran sampel yang dibuat terdiri atas
2 mL bufer fosfat 0.1 M pH 7, 2 mL asam
linoleat 50 mM dalam etanol 99.8%, dan 1

mL larutan uji. Campuran kontrol tanpa
perlakuan dibuat sama seperti campuran
sampel tetapi 1 mL larutan uji diganti dengan
1 mL air bebas ion. Campuran pembanding
yang dibuat terdiri atas 2 mL bufer fosfat 0.1
M pH 7, 2 mL asam linoleat 50 mM dalam
etanol 99.8% yang mengandung α3tokoferol
(vitamin E 200 ppm), dan 1 mL air bebas ion.
Semua campuran tersebut diinkubasi
dalam penangas air yang bersuhu 40ºC dengan
lama inkubasi berdasarkan hasil pengukuran
hidroperoksida dari asam linoleat. Campuran
reaksi tersebut diuji potensi antioksidannya
setelah satu atau beberapa hari dari puncak
absorbansi asam linoleat. Masing3masing
campuran reaksi diambil 1 mL lalu
ditambahkan 2 mL TCA 20% dan 2 mL
larutan TBA 1% (b/v) dalam asam asetat 50%.
Kemudian
campuran reaksi tersebut
ditempatkan pada penangas air yang bersuhu
100 ºC selama 10 menit. Setelah itu
didinginkan dan dilakukan sentrifugasi
dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit,
selanjutnya diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang
532 nm.
Sebagai kurva standar, larutan stok
pereaksi 1,1,3,33tetrametoksipropana (TMP)
konsentrasi 6 M dibuat menjadi 1.5, 3, 6, 9,
12, 15, dan 18 VM. Masing3masing
konsentrasi dipipet sebanyak 1 mL lalu
ditambahkan 2 mL TCA 20% dan 2 mL TBA
1%(b/v) dalam asam asetat 50% (v/v).
Kemudian semua tabung diinkubasi pada suhu
100 ºC selama 10 menit dan didinginkan pada
suhu kamar. Setelah dingin dilakukan
sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
selam
15
menit
selanjutnya
diukur
absorbansinya dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 532 nm.

Ekstrak yang diperoleh berwarna coklat
tua dengan aroma khas salam. Rendemen
yang diperoleh dari salam kota Bogor,
Sukabumi, dan Cianjur berturut3turut sebesar
18.45%, 11.55%, dan 8.06%. Nilai rendemen
yang diperoleh ini jauh lebih rendah
dibandingkan dengan nilai rendemen ekstrak
daun dewa yaitu 25.71% (Eridani 2006).
Perbedaan ini dapat disebabkan hasil ekstrak
daun salam berupa serbuk sehingga bobot
yang diperoleh menjadi lebih ringan.
Berdasarkan
hasil
ekstraksi
dapat
diketahui bahwa rendemen daun salam kota
Bogor lebih tinggi daripada salam kota
Sukabumi dan Cianjur. Hal ini dikarenakan
lingkungan agrobiofisik kota Bogor sesuai
dengan persyaratan tumbuh tanaman salam.
Persyaratan tersebut meliputi iklim dengan
bulan basah antara 638 bulan, ketinggian
tempat 032000 meter di atas ppermukaan laut,
tekstur tanah yang lempung, keadaan lereng
15%, dan ketersediaan hara tinggi. Keadaan
ini sesuai dengan laporan penelitian PSB
(2006) yang menyatakan lahan kota bogor
termasuk kategori sesuai untuk tanaman
salam, sedangkan kota Sukabumi dan Cianjur
termasuk dalam kategori agak sesuai untuk
tanaman salam. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Hanan (1999) yang menyatakan
bahwa aroma dari satu jenis tumbuhan yang
sama bisa berbeda karena dipengaruhi iklim,
keadaan tanah, sinar matahari dan cara
pengolahan.
Perbedaan rendemen ekstraksi dapat
menunjukkan kandungan senyawa3senyawa
metabolit sekunder daun salam ketiga kota
tersebut berbeda3beda. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian sebelumnya bahwa daun
salam kota Sukabumi memiliki kandungan
kuersetin sebesar 0.3% dan kota Cianjur
sebesar 0.725% (PSB 2006).
$!" , ,

!, " -, '!-,
Daun salam yang diekstraksi diperoleh
dalam bentuk simplisia berupa serbuk yang
berwarna coklat. Daun salam yang digunakan
berasal dari kota Bogor, Sukabumi, dan
Cianjur. Ekstraksi daun salam tersebut
dilakukan pengulangan sebanyak dua kali.
Daun salam yang berasal dari ketiga kota
tersebut diekstraksi sebanyak tiga kali selama
6 jam menggunakan pelarut etanol teknis 70%
dengan metode refluks. Penggunaan etanol
sebagai pelarut untuk ekstraksi bertujuan
untuk mengekstrak senyawa3senyawa bioaktif
yang bersifat polar dan semi3polar.

)- # ! -, '!- !#/&"

Hasil analisis fitokimia menunjukkan
bahwa ekstrak daun salam ketiga kota tersebut
mengandung alkaloid, saponin, flavonoid,
fenolik hidrokuinon, triterpenoid, dan tanin.
Namun ekstrak tersebut tidak mengandung
steroid. Kandungan senyawa yang paling
dominan dari ekstrak salam ketiga kota
tersebut ialah saponin dan tanin (Tabel 2).
Keberadaan
tanin
ditandai
dengan
terbentuknya warna hitam kehijauan yang
pekat. Sedangkan keberadaan saponin dari
ekstrak salam ketiga kota berbeda dalam hal
kuantitatif, kandungan saponin ekstrak salam
kota bogor lebih banyak daripada kota
Sukabumi dan Cianjur. Hal ini ditunjukkan

mL larutan uji. Campuran kontrol tanpa
perlakuan dibuat sama seperti campuran
sampel tetapi 1 mL larutan uji diganti dengan
1 mL air bebas ion. Campuran pembanding
yang dibuat terdiri atas 2 mL bufer fosfat 0.1
M pH 7, 2 mL asam linoleat 50 mM dalam
etanol 99.8% yang mengandung α3tokoferol
(vitamin E 200 ppm), dan 1 mL air bebas ion.
Semua campuran tersebut diinkubasi
dalam penangas air yang bersuhu 40ºC dengan
lama inkubasi berdasarkan hasil pengukuran
hidroperoksida dari asam linoleat. Campuran
reaksi tersebut diuji potensi antioksidannya
setelah satu atau beberapa hari dari puncak
absorbansi asam linoleat. Masing3masing
campuran reaksi diambil 1 mL lalu
ditambahkan 2 mL TCA 20% dan 2 mL
larutan TBA 1% (b/v) dalam asam asetat 50%.
Kemudian
campuran reaksi tersebut
ditempatkan pada penangas air yang bersuhu
100 ºC selama 10 menit. Setelah itu
didinginkan dan dilakukan sentrifugasi
dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit,
selanjutnya diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang
532 nm.
Sebagai kurva standar, larutan stok
pereaksi 1,1,3,33tetrametoksipropana (TMP)
konsentrasi 6 M dibuat menjadi 1.5, 3, 6, 9,
12, 15, dan 18 VM. Masing3masing
konsentrasi dipipet sebanyak 1 mL lalu
ditambahkan 2 mL TCA 20% dan 2 mL TBA
1%(b/v) dalam asam asetat 50% (v/v).
Kemudian semua tabung diinkubasi pada suhu
100 ºC selama 10 menit dan didinginkan pada
suhu kamar. Setelah dingin dilakukan
sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
selam
15
menit
selanjutnya
diukur
absorbansinya dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 532 nm.

Ekstrak yang diperoleh berwarna coklat
tua dengan aroma khas salam. Rendemen
yang diperoleh dari salam kota Bogor,
Sukabumi, dan Cianjur berturut3turut sebesar
18.45%, 11.55%, dan 8.06%. Nilai rendemen
yang diperoleh ini jauh lebih rendah
dibandingkan dengan nilai rendemen ekstrak
daun dewa yaitu 25.71% (Eridani 2006).
Perbedaan ini dapat disebabkan hasil ekstrak
daun salam berupa serbuk sehingga bobot
yang diperoleh menjadi lebih ringan.
Berdasarkan
hasil
ekstraksi
dapat
diketahui bahwa rendemen daun salam kota
Bogor lebih tinggi daripada salam kota
Sukabumi dan Cianjur. Hal ini dikarenakan
lingkungan agrobiofisik kota Bogor sesuai
dengan persyaratan tumbuh tanaman salam.
Persyaratan tersebut meliputi iklim dengan
bulan basah antara 638 bulan, ketinggian
tempat 032000 meter di atas ppermukaan laut,
tekstur tanah yang lempung, keadaan lereng
15%, dan ketersediaan hara tinggi. Keadaan
ini sesuai dengan laporan penelitian PSB
(2006) yang menyatakan lahan kota bogor
termasuk kategori sesuai untuk tanaman
salam, sedangkan kota Sukabumi dan Cianjur
termasuk dalam kategori agak sesuai untuk
tanaman salam. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Hanan (1999) yang menyatakan
bahwa aroma dari satu jenis tumbuhan yang
sama bisa berbeda karena dipengaruhi iklim,
keadaan tanah, sinar matahari dan cara
pengolahan.
Perbedaan rendemen ekstraksi dapat
menunjukkan kandungan senyawa3senyawa
metabolit sekunder daun salam ketiga kota
tersebut berbeda3beda. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian sebelumnya bahwa daun
salam kota Sukabumi memiliki kandungan
kuersetin sebesar 0.3% dan kota Cianjur
sebesar 0.725% (PSB 2006).
$!" , ,

!, " -, '!-,
Daun salam yang diekstraksi diperoleh
dalam bentuk simplisia berupa serbuk yang
berwarna coklat. Daun salam yang digunakan
berasal dari kota Bogor, Sukabumi, dan
Cianjur. Ekstraksi daun salam tersebut
dilakukan pengulangan sebanyak dua kali.
Daun salam yang berasal dari ketiga kota
tersebut diekstraksi sebanyak tiga kali selama
6 jam menggunakan pelarut etanol teknis 70%
dengan metode refluks. Penggunaan etanol
sebagai pelarut untuk ekstraksi bertujuan
untuk mengekstrak senyawa3senyawa bioaktif
yang bersifat polar dan semi3polar.

)- # ! -, '!- !#/&"

Hasil analisis fitokimia menunjukkan
bahwa ekstrak daun salam ketiga kota tersebut
mengandung alkaloid, saponin, flavonoid,
fenolik hidrokuinon, triterpenoid, dan tanin.
Namun ekstrak tersebut tidak mengandung
steroid. Kandungan senyawa yang paling
dominan dari ekstrak salam ketiga kota
tersebut ialah saponin dan tanin (Tabel 2).
Keberadaan
tanin
ditandai
dengan
terbentuknya warna hitam kehijauan yang
pekat. Sedangkan keberadaan saponin dari
ekstrak salam ketiga kota berbeda dalam hal
kuantitatif, kandungan saponin ekstrak salam
kota bogor lebih banyak daripada kota
Sukabumi dan Cianjur. Hal ini ditunjukkan

dengan banyaknya busa yang terbentuk saat
pengocokan.
Keberadaan senyawa flavonoid pada
ekstrak salam ketiga kota tersebut sesuai
dengan penelitian Sayekti
(1994) yang
menyatakan bahwa ekstrak daun salam diduga
mengandung saponin, triterpenoid, steroid,
flavonoid dan tanin. Ketidakberadaan steroid
pada ekstrak salam ketiga kota dapat
disebabkan jumlah bahan yang diuji terlalu
sedikit yaitu 0.1 gram sehingga senyawa
steroid tidak terdeteksi.
Perbedaan kandungan metabolit sekunder
pada jenis tanaman yang sama seringkali
terjadi
dikarenakan
adanya
pengaruh
lingkungan sekitar. Kandungan metabolit
yang disekresikan oleh tanaman tergantung
pada variasi genetik individual dan kondisi
geografis tempat tumbuh (Kardono 2003).
Tabel 2 Hasil uji fitokimia ekstrak salam
2
Alkaloid
Saponin
Flavonoid
Fenolik
hidrokuinon
Triterpenoid
Steroid
Tanin
, &#

) )'
+
++
+
+
+
3
+++
-, .!,

-, '!- ,!"!#
(-!*(#
!$2('
+
+
+
+
+
+
+
+
+
3
+++
,!#

-, .!,

,!#

$)"&!

& ).&

Pengukuran hasil oksidasi asam linoleat
dilakukan setelah hari ke33 yaitu pada hari ke3
5 ketika semua hidroperoksida telah
mengalami dekomposisi membentuk MDA.
Hasil oksidasi asam linoleat ini diukur dengan
menggunakan metode TBA yang membentuk
kompleks warna TBARS. Oksidasi asam
linoleat ini akan dihambat oleh senyawa
antioksidan yang telah teruji yaitu vitamin E.
Penambahan vitamin E sebesar 200 ppm
mampu menghambat proses oksidasi asam
linoleat sebesar 71.22% dengan menekan
pembentukan MDA hingga seperlimanya
(Gambar 7). Secara statistik konsentrasi MDA
pada asam linoleat dengan penambahan
vitami

Dokumen yang terkait

EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN SALAM (Eugenia polyantha Wight) TERHADAP Salmonella Typhi IN VITRO

0 6 21

DAYA HAMBAT PERASAN DAUN SALAM ( Eugenia polyantha wight ) TERHADAP PERTUMBUHAN candida albicans

0 6 54

PENGARUH PEMBERIAN INFUSA DAUN SALAM (Eugenia polyantha Wight) TERHADAP PENURUNAN KADAR PENGARUH PEMBERIAN INFUSA DAUN SALAM (Eugenia polyantha Wight) TERHADAP PENURUNAN KADAR ASAM URAT DARAH MENCIT PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI DENGAN POTASIUM OKSONAT.

0 1 9

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK n-HEKSANA DAUN SALAM (Eugenia polyantha Wight)) TERHADAP PENURUNAN PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK n-HEKSANA DAUN SALAM (Eugenia polyantha Wight)) TERHADAP PENURUNAN KADAR ASAM URAT SERUM MENCIT PUTIH JANTAN HIPERURISEMIA.

0 2 8

EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM ( Eugenia EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM ( Eugenia polyantha Wight) TERHADAP PENURUNAN KADAR ASAM URAT PADA MENCIT PUTIH (Mus muculus) JANTAN.

0 1 17

EFEK ANTIINFLAMASI KOMBINASI EKSTRAK AIR DAUN SALAM (Eugenia polyantha Wight.) DENGAN Efek Antiinflamasi Kombinasi Ekstrak Air Daun Salam (Eugenia Polyantha Wight.) Dengan Tempuyung (Sonchus Arvensis L.) Pada Tikus.

0 0 12

EFEK ANTIINFLAMASI KOMBINASI EKSTRAK AIR DAUN SALAM (Eugenia polyantha Wight.) DENGAN Efek Antiinflamasi Kombinasi Ekstrak Air Daun Salam (Eugenia Polyantha Wight.) Dengan Tempuyung (Sonchus Arvensis L.) Pada Tikus.

0 2 14

EFEK ANTIINFLAMASI KOMBINASI EKSTRAK AIR DAUN SALAM (Eugenia polyantha Wight.) DENGAN Efek Antiinflamasi Kombinasi Ekstrak Air Daun Salam (Eugenia Polyantha Wight.) Dengan Tempuyung (Sonchus Arvensis L.) Pada Tikus.

0 2 12

EFEK ANTIINFLAMASI KOMBINASI EKSTRAK AIR DAUN SALAM (Eugenia polyantha Wight.) DENGAN Efek Antiinflamasi Kombinasi Ekstrak Air Daun Salam (Eugenia Polyantha Wight.) Dengan Tempuyung (Sonchus Arvensis L.) Pada Tikus.

0 1 14

FORMULASI SEDIAAN EMULGEL EKSTRAK ETANOLIK DAUN SALAM (Eugenia polyantha Wight.) DENGAN MINYAK PEPPERMINT SEBAGAI PENETRATION

0 0 97