Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam peta ekonomi politik Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur
adalah salah satu provinsi yang masih tertinggal dari provinsi lainnya bukan saja
dalam hal pembangunan fisik tetapi juga terkait dengan pembangunan dan
pengembangan sumberdaya manusianya. Menurut Bank Dunia (1999), Human
Development Index (HDI) Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya 54,3 (urutan
ketiga terendah secara nasional setelah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Irian
Jaya yang sekarang berganti nama menjadi Provinsi Papua). Lambannya
pembangunan dan pengembangan sumberdaya manusia di provinsi kepulauan ini
berdampak pada rendahnya kemampuan sosial, ekonomi, dan berbagai akses
kesejahteraan lainnya sebagaimana yang dimiliki oleh warga di wilayah lain
terutama di Indonesia bagian barat. Ketimpangan kebijakan pembangunan antara
Indonesia bagian barat dan timur hampir di semua sektor kehidupan termasuk
dalam pengembangan sumberdaya manusia menjadikan wilayah ini menjadi salah
satu zona ekonomi dan sosial yang tidak kompetitif secara nasional (Sayogyo,
1994).
Ketimpangan

pembangunan


antara

wilayah

di

Indonesia

telah

mengakibatkan jarak sosial dan ekonomi yang semakin lebar di antara wilayah
barat dan timur. Bahkan menurut Sayogyo, sebagai subsistem sosial ekonomi,
sejak tahun 1970-an, Provinsi Nusa Tenggara Timur tergolong terisolasi dari arus
pembangunan ekonomi Indonesia yang dampaknya sangat terasa hingga sekarang.
Isolasi sosial, ekonomi dan fisik telah menyebabkan provinsi ini tergolong sebagai
provinsi yang miskin dan tertinggal. Menurut Kuncoro (2004), penduduk miskin
di Provinsi Nusa Tenggara Timur sampai tahun 2001 mencapai 1.317.500.000
orang (33,01 persen dari kurang lebih 4 juta penduduk). Pada tahun 2003
pendapatan per kapita penduduk sebesar Rp. 2,2 juta/tahun atau Rp. 183.300/
bulan (BPS NTT).

Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia dan ancaman kemiskinan
penduduk di Provinsi Cendana ini berjalan seiring dengan keterbatasan
sumberdaya alam dengan iklimnya yang tidak menentu. Seperti tempat lain di

2
Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai dua musim yaitu musim
kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni-September arus angin berasal dari
Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim
kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember-Maret arus angin banyak mengandung
uap air yang berasal dari Asia dan Samudra Pasifik sehingga terjadi musim hujan.
Namun musim hujan di Nusa Tenggara Timur berlangsung lebih singkat (Januari
sampai dengan Maret dan Desember), dan 8 bulan lainnya relatif adalah kering.
Keadaan ini menyebabkan Nusa Tenggara Timur tergolong wilayah yang kering
dan berdampak pada merosotnya produktivitas pertanian di daerah ini (Badan
Pusat Statistik Provinsi NTT, 2003).
Penyebaran curah hujan di seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur
juga tidak merata. Curah hujan tertinggi terdapat di Flores bagian barat, Timor
bagian tengah dan Sumba Barat, yaitu antara 1200 – 3000 mm/tahun. Di Flores
Timur, Alor dan Sumba Timur curah hujan rata-rata antara 800 – 1000 mm/tahun
dengan jumlah hari hujan sekitar 100 – 150 hari/tahun. Rendahnya curah hujan ini

juga menjadi faktor utama penyebab kurang majunya pertanian di provinsi ini
selain karena keterbatasan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Kendatipun
tersedia lahan yang luas, namun jika tidak didukung oleh ketersediaan air, maka
usaha pertanian tetap akan menjadi sia-sia.
Dari segi ekologi dan wilayah, iklim Nusa Tenggara Timur yang lebih
kering (pengaruh benua Australia) berbeda dari iklim “tropik basah” yang
mencirikan sebagian besar Indonesia bagian barat. Sebagai daerah yang beriklim
kering (Semi Arid), sumberdaya lahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
didominasi oleh lahan kering. Lahan kering adalah lahan yang tidak mengalami
genangan secara permanen ataupun tidak dapat digenangi air (upland). Lahan
kering di wilayah ini adalah lahan kering beriklim kering, sehingga sangat
berbeda dengan lahan kering beriklim basah seperti di Kalimantan atau Sumatra,
yang pada umumnya terdiri dari tanah Podsolik Merah Kuning. Ciri-ciri umum
lahan kering di Nusa Tenggara Timur, antara lain : (a) kandungan humus/bahan
organiknya rendah sampai sangat rendah, (b) tingkat keasamannya netral, (c)
solum tanahnya tipis sampai sedang, (d) keadaan tanah umumnya berbatu, (e)
tekstur tanah umumnya lembung sampai liat kecuali di daerah pantai, (f)

3
kesuburan kimiawi tanah relatif masih tinggi, namun karena kekurangan air maka

tingkat kesuburannya tergolong rendah (lahan marginal), dan (g) jenis tanah
umumnya mediteran merah kuning, grumusal andosol, regosol dan tanah
kompleks.
Topografi Nusa Tenggara Timur yang umumnya terdiri dari tanah
pegunungan dan daerah perbukitan serta padang luas yang tandus, kering dan
tidak subur dengan intensitas curah hujan yang sangat rendah menjadi hambatan
lain dalam membangun wilayah ini selain masih rendahnya komitmen pemerintah
pusat dalam membuka isolasi fisik, sosial dan ekonomi yang menerpa wilayah ini
dari dahulu sampai sekarang. Kebijakan pembangunan yang tidak merata antara
wilayah barat dan timur Indonesia menyebabkan sebagian besar wilayah Timur
Indonesia termasuk Nusa Tenggara Timur terisolasi bukan saja secara fisik tetapi
juga secara sosial, ekonomi dan budaya (Sayogyo, 1994). Ketidakmerataan dalam
pembangunan infrastruktur, sarana transportasi dan komunikasi menyebabkan
wilayah ini sangat lamban untuk bertumbuh dan berkembang sebagaimana
wilayah lainnya.
Hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara keterbatasan
sumberdaya alam dengan kualitas sumberdaya manusia di Nusa Tenggara Timur
telah menyebabkan provinsi ini tergolong sebagai salah satu wilayah yang
termiskin dan tertinggal di Indonesia. Keterbatasan kemampuan kualitas
sumberdaya manusia di provinsi ini berpengaruh pada keseluruhan kinerja dan

etos kerja warga yang pada gilirannya berdampak pada rendahnya kesejahteraan
sosial dan ekonomi. Padahal sumberdaya manusia atau human resources adalah
penduduk yang siap, mau dan mampu memberi sumbangan terhadap usaha
pencapaian tujuan organisasional (the people who are ready, willing and able to
contribute to organizational goals) yang tidak hanya terbatas pada industri atau
perusahaan, tetapi juga organisasi di berbagai bidang seperti politik,
pemerintahan, hukum, sosial, budaya, lingkungan, masyarakat ataupun negara
(Ndraha, 1999).
Sebagai bagian dari sumberdaya manusia Nusa Tenggara Timur, Penyuluh
Pertanian yang selama ini menjadi agen pemberdaya bagi petani akan berhadapan
dengan kenyataan keterbatasan sosial, ekonomi, sumberdaya alam dan kualitas

4
sumberdaya manusia itu sendiri. Berbagai persoalan itu akan berpengaruh pada
kinerja penyuluhan pada umumnya. Martinez (1987) mengatakan bahwa penyuluh
adalah seorang profesional garis depan yang berinisiatif melakukan perubahan,
membantu

masyarakat


sasaran

melaksanakan

aktivitas

usaha

taninya,

memperkenalkan dan menyebarkan ide-ide baru, mendorong partisipasi dan
menyokong kepentingan masyarakat sasaran. Peran penyuluh ini terkait dengan
tiga tujuan utama penyuluhan yakni bertani lebih baik (better farming),
berusahatani lebih baik (better business) dan mencapai kehidupan yang lebih baik
(better living). Dalam proses mencapai tiga tujuan penyuluhan ini, Dusentary
(Mosher, 1971) mengatakan bahwa tugas penyuluh adalah : (1) menambah
pengetahuan kepada para petani sehingga mereka menjadi cakap dan mampu
berusahatani lebih baik, (2) memotivasi para petani agar mengarahkan
usahataninya kepada bahan pangan yang banyak diperlukan sehingga hasil yang
diperoleh lebih menjamin kehidupannya, (3) menambah pengetahuan petani

tentang inovasi-inovasi baru yang berguna untuk usahataninya, (4) menumbuhkan
pengetahuan petani untuk mengembangkan bakat-bakatnya di bidang usahatani,
dan (5) membentuk masyarakat petani yang bangga akan usahanya, bebas dan
mandiri dalam berpikir, percaya diri dan tidak bergantung pada kekuatan orang
lain. Di tengah kelompok sasaran penyuluhan, penyuluh berperan dalam banyak
hal seperti yang disampaikan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) yakni : (1)
mengembangkan kebutuhan untuk berubah, (2) membina hubungan untuk
perubahan, (3) mengidentifikasi dan menganalisa masalah, (4) menumbuhkan
rencana perubahan pada sasaran, (5) melaksanakan rencana perubahan, dan (6)
menjaga kestabilan perubahan sehingga sasaran mampu mengembangkan dirinya.
Dalam konteks masyarakat yang serba terbatas dan miskin sumberdaya,
peranan seorang penyuluh pertanian di Nusa Tenggara Timur sangat strategis
untuk melakukan aksi pemberdayaan. Persoalannya adalah sejauh mana ia
memiliki kemampuan mengaplikasikan perannya secara optimal karena penyuluh
pertanian hanyalah salah satu subsistem dari keseluruhan sistem yang lebih besar.
Secara organisatoris, penyuluh pertanian adalah bagian kecil dari sistem
organisasi pemerintahan yang besar dan kompleks. Tatkala penyuluh pertanian
melaksanakan tugasnya, ia tidak melaksanakan tugas atas nama dirinya sendiri,

5

tetapi atas nama sebuah organisasi pemerintahan. Penyuluh pertanian diangkat
oleh negara dengan persyaratan-persyaratan tertentu dan ketika ia diberi tugas
sebagai penyuluh ia harus melaksanakan tugasnya dengan kompetensi-kompetensi
tertentu yang telah ditetapkan oleh organisasinya. Karena itu tatkala seorang
penyuluh pertanian melaksanakan tugasnya ia tidak hanya mengandalkan
kemampuan internal individunya seperti pendidikan formal, jumlah pelatihan
yang pernah diperoleh, pengalaman bekerja, motivasi dan semangat, tetapi juga
dukungan berbagai faktor determinan lain seperti dukungan kebijakan, komitmen
politik, dukungan lingkungan sosial dan sebagainya.
Sekedar kembali mengingat sejarah masa lalu, pembangunan pertanian dan
penyuluhan pertanian di Indonesia pernah mencapai puncaknya terutama di era
tahun 1980-an ketika komitmen politik pemerintah sangat tinggi terhadap
pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian. Pengakuan Badan Pangan Dunia
(FAO), tahun 1983 ketika Indonesia mampu menjadi negara swasembada pangan
khususnya beras tidak saja pengakuan terhadap kemajuan pertanian itu sendiri,
tetapi juga pengakuan terhadap kemajuan penyuluhan. Arifin (2005:11-12)
mengatakan bahwa selama 16 tahun pertama masa administrasi Presiden
Soeharto, sektor pertanian telah menjadi basis utama strategi pembangunan dan
berperan cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Investasi besar-besaran
dalam sektor infrastruktur, sarana dan prasarana dasar seperti jalan, jembatan,

bendungan, saluran irigasi dan lain-lain seakan menjadi menu dasar dalam strategi
pembangunan ekonomi waktu itu.
Wardoyo (1992) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian
di Indonesia waktu itu dimungkinkan oleh dukungan dua hal penting yaitu: (1)
stabilitas sosial politik dan keamanan yang sangat diperlukan dalam kegiatan
pembangunan, dan (2) komitmen yang kuat baik dari pimpinan tingkat nasional
dan provinsi maupun kabupaten/kota. Wardoyo menyebut enam faktor kunci
keberhasilan pembangunan pertanian Indonesia itu yakni: (1) political will dari
pemerintah yang tercermin dari adanya penyediaan tenaga pembangunan
pertanian yang cukup dengan dana dan sarana yang memadai, (2) kebijaksanaan
pembangunan pertanian yang tepat, konsisten dan berkesinambungan, (3)
dianutnya kebijakan system approach yang artinya bahwa pembangunan pertanian

6
akan terlaksana dengan baik apabila faktor-faktor yang berhubungan dan
berkaitan secara langsung dan tidak langsung dibangun secara bersamaan, (4)
dihasilkannya teknologi pertanian dan rekayasa sosial yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, (5) berkembangnya struktur pedesaan yang progresif,
seperti penyuluh pertanian, Koperasi Unit Desa (KUD), lembaga-lembaga
perkreditan, lembaga pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, dan (6)

dibentuknya suatu kelembagaan yang terkenal dengan sebutan Bimas (Bimbingan
massal)

yang

mempertemukan

dan

menyinkronkan

beberapa

lembaga

pembangunan pertanian untuk dapat bekerja secara isi mengisi, saling
membutuhkan dan saling menguntungkan dan

dikoordinir oleh Departemen


Pertanian, Gubernur dan Bupati/Walikota. Soedijanto (2004) mengatakan bahwa
pada saat itu pembangunan pertanian yang berbasis beras itu dijadikan sektor
pembangunan yang paling penting dengan pendekatan Trimatra yakni (1)
usahatani terpadu, (2) komoditi terpadu, dan

(3) wilayah terpadu, melalui 4

(empat) usaha pokok yaitu: (1) intensifikasi, (2) ekstensifikasi, (3) rehabilitasi,
dan (4) diversifikasi.
Dari uraian di atas tampak bahwa kemajuan pembangunan pertanian dan
penyuluhan pertanian di masa lalu termasuk di Nusa Tenggara Timur ditentukan
oleh tiga hal utama, yaitu (1) kesiapan sumberdaya manusia (penyuluh pertanian,
aparatur pemerintah, peneliti, lembaga-lembaga masyarakat dan sebagainya), (2)
kesiapan kelembagaan (terstruktur dari pusat sampai dengan daerah), dan (3)
dukungan politik yang tinggi (baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah). Komitmen politik ini berdampak pada kesiapan peraturan dan kebijakan,
dana,

pembangunan

infrastruktur,

kelembagaan

ekonomi/keuangan

dan

sebagainya.
Permasalahan Penelitian
Ada tiga masalah utama yang menyebabkan penyuluhan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur mengalami stagnasi terutama setelah wewenang penyuluhan
diserahkan kepada daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, yaitu (1)
masalah rendahnya kualitas dan kesiapan sumberdaya penyuluh pertanian sebagai
pembelajar/agen pembaharu bagi petani, (2) struktur kelembagaan penyuluhan
pertanian yang tidak tertata rapi dari tingkat kabupaten sampai kecamatan, dan (3)

7
kurang adanya dukungan politik Pemda yang signifikan dan intensif terhadap
kegiatan penyuluhan pertanian.
Dari aspek sumberdaya manusia penyuluh pertanian, provinsi yang terdiri
dari limabelas kabupaten dan satu kota ini hanya memiliki 1.081 orang penyuluh
pertanian Pegawai Negeri Sipil, tidak sebanding dengan jumlah desa

2.585

desa/kelurahan (BPS Nusa Tenggara Timur, 2003). Perbandingan jumlah
penyuluh pertanian dengan desa 1:2,4; sebagian besar penyuluh pertanian (57
persen) hanya berpendidikan SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas). Di tiga
kabupaten lokasi penelitian, yakni Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah
Selatan dan Kabupaten Manggarai, jumlah penyuluh pertanian juga tidak
sebanding dengan jumlah desa. Kabupaten Kupang mempunyai 99 penyuluh
pertanian dengan jumlah desa/kelurahan 186 (perbandingan 1:1,8); sebagian besar
penyuluh pertanian (86,8 persen) berpendidikan SPMA. Kabupaten Timor Tengah
Selatan mempunyai 122 penyuluh pertanian dengan jumlah desa/kelurahan 215
(perbandingan 1:1,8); sebagian besar penyuluh pertanian (85,7 persen)
berpendidikan SPMA. Kabupaten Manggarai mempunyai 98 penyuluh pertanian,
desa/kelurahan 254 (perbandingan 1:2,6);

sebagian besar (77,5 persen)

berpendidikan SPMA.
Tingkat pendidikan sebagian besar penyuluh pertanian yang terbatas ini
semakin kurang berdaya menghadapi perubahan-perubahan kemasyarakatan
termasuk di bidang usahatani. Diklat yang diharapkan menjadi media
pengembangan dan peningkatan kompetensi kurang memberi nilai tambah yang
berarti kepada kemampuan penyuluh pertanian karena kualitas dan kuantitasnya
yang terbatas. Kurikulum diklat yang selama ini diberikan kepada penyuluh
pertanian masih dominan berasal dari pusat dan kurang mengakomodasi
kebutuhan penyuluh pertanian dan petani di daerah. Dampak lanjutan yang terjadi
adalah rendahnya kompetensi penyuluh pertanian yang berakibat pada kurang
efektifnya mereka di dalam menjalankan tugas.
Kurangnya dukungan politik pemda terhadap penyuluhan tampak dalam
struktur kelembagaan penyuluhan yang terkesan tidak tertata secara profesional.
Di tingkat provinsi, kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan belum ada.
Kegiatan

penyuluhan dan semua yang terkait dengan penyuluh pertanian

8
ditangani oleh sub Bidang Sumberdaya Manusia Badan Ketahanan Pangan
Provinsi. Di tingkat kabupaten, kelembagaan penyuluhan sangat beragam bentuk
dan statusnya: ada yang berbentuk ”Badan”, ”Kantor,” ”Sub Bidang”, ”Kelompok
Jabatan Fungsional” dan sebagainya. Sebagian besar struktur kelembagaan
penyuluhan di kabupaten/kota maksimal Eselon III dan berakibat pada rendahnya
”posisi tawar” tatkala ia berkoordinasi dengan lembaga lain yang memiliki
struktur eselonering yang lebih tinggi. Struktur kelembagaan yang terbatas ini
juga berakibat pada dilikuidasinya unit-unit struktur yang lebih kecil yang
menangani penyuluhan dan penyuluh. Dampak dari penggabungan beberapa
struktur adalah perampingan personil termasuk penyuluh yang di era otonomi
daerah cenderung berpindah ke unit-unit/kantor lain dan meninggalkan tugasnya
sebagai penyuluh.
Penyuluhan pertanian semakin menjadi terputus karena Balai Penyuluhan
Pertanian (BPP) di hampir semua kecamatan di Nusa Tenggara Timur yang
dahulu sebelum otonomi daerah sangat eksis dan menjadi pusat informasi jasa
penyuluhan banyak yang tidak berfungsi. Ada sebagian kecamatan yang masih
memiliki gedung BPP tetapi tidak ada aktivitasnya. Ada juga sebagian kantor
camat yang memberikan salah satu ruangannya untuk penyuluh pertanian
mengkoordinasikan tugasnya di desa-desa, namun pelaksanaan manajemennya
tidak efektif. Padahal BPP adalah tempat yang strategis bukan saja bagi penyuluh
pertanian tetapi juga bagi petani yang ingin mencari informasi penting terkait
dengan pertanian.
Slamet

(2003:59)

mengatakan

bahwa

dalam

situasi

yang

tidak

menguntungkan itu motivasi kerja para penyuluh pertanian turun secara deras,
sampai banyak yang terbukti tidak menjalankan tugasnya lagi. Hal ini makin
dimungkinkan karena tidak adanya program-program penyuluhan yang wajib
mereka lakukan di lapangan. Sebagian penyuluh pertanian mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan sampingan yang dapat menghasilkan tambahan penghasilan.
Ada yang tetap melayani kebutuhan-kebutuhan petani “binaannya” dengan
dukungan “biaya” dari para petani, dan ada pula yang “lari” dari wilayah
kerjanya. Dari penelitian ditemukan adanya kelompok-kelompok tani yang
mengaku telah 1-2 tahun ini tidak pernah bertemu dengan penyuluh pertanian

9
yang bertugas di wilayahnya, tanpa mengetahui kemana perginya penyuluh
pertanian itu.
Dari aspek penyelenggaraan penyuluhan, ditemukan berbagai persoalan
seperti ketidakmampuan penyuluh pertanian menyusun

program penyuluhan

pertanian oleh karena ketidakjelasan pelaksanaan kebijakan penyuluhan. Hal ini
sangat terasa di era kejatuhan Orde Baru tahun 1998 sampai dengan tahun 2003.
Pada masa-masa transisi ini penyuluhan sama sekali tidak berjalan dan semua
penyuluh pertanian menunggu dalam ketidakjelasan. Mardikanto mengatakan
bahwa kegiatan penyuluhan pertanian oleh pemerintah tak diminati masyarakat.
Penyebabnya bukan hanya lemahnya profesionalisme penyuluh pertanian, tetapi
karena kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan kian beragamnya kegiatan
penyuluhan oleh berbagai pihak. Peran penyuluh pertanian pemerintah mulai
memudar dan mencapai titik terparah saat penyuluhan pertanian diserahkan ke
daerah karena desentralisasi (Kompas, 27 Januari, 2006:22).
Selain permasalahan-permasalahan di atas, kompetensi penyuluh pertanian
yang ada juga sudah tidak memadai sesuai dengan dinamika perubahan yang ada.
Pada umumnya Penyuluh Pertanian yang ada terbiasa dengan budaya petani
produsen. Warna penyuluhan yang diberikan kepada petani ini lebih mengarah ke
usahatani. Sementara dalam perkembangannya, sebagian petani telah melangkah
maju menjadi petani pengusaha dengan budaya bisnisnya. Karena itu penyuluhan
pertanian telah bersifat agrobisnis dan agroindustri. Hal itu berarti ciri khas
penyuluhan pertanian itu telah berubah menjadi penyuluhan agribisnis.
Kesenjangan kompetensi ini mengakibatkan banyak program penyuluhan baik
yang ada di kabupaten/kota, kecamatan, apalagi desa tidak bisa disusun dan
dilaksanakan dengan baik. Kompetensi Penyuluh Pertanian yang kurang memadai
ini pada gilirannya menghasilkan output penyuluhan yang tidak memuaskan
kelompok sasaran. Di tingkat petani saat ini ada sikap acuh terhadap penyuluh
(Soedijanto, 2004: 49).
Berdasarkan latarbelakang dan permasalahan di atas, maka pertanyaan
penelitian yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: (1) Faktor-faktor apa
saja yang menentukan/berpengaruh terhadap kompetensi penyuluh pertanian?, (2)
bagainana pengaruh kompetensi terhadap kinerja penyuluhan? 3) Bagaimanakah

10
kaitan antara karakteristik individu petani dengan penilaiannya terhadap kinerja
penyuluhan?, dan (4) Bagaimana strategi pengembangan kompetensi penyuluh
pertanian?
Tujuan Penelitian
(1) Menganalisis

faktor-faktor

yang

menentukan/berpengaruh

terhadap

kompetensi penyuluh pertanian.
(2) Menjelaskan kaitan antara kompetensi penyuluh dengan kinerja penyuluhan.
(3) Menjelaskan kaitan antara karakteristik individu petani dengan penilaiannya
terhadap kinerja penyuluhan.
(4) Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan kompetensi penyuluh
pertanian yang tepat bagi Nusa Tenggara Timur di era Otonomi Daerah.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua implikasi manfaat yakni : (1) manfaat teoritis
dan (2) manfaat praktis.
(1) Manfaat Teoritis
Dari segi pengembangan keilmuan, penelitian ini berkontribusi dalam
mempertajam keterkaitan dengan pengembangan kompetensi penyuluh
pertanian.
(2) Manfaat Praktis
Dari aspek penyuluhan pertanian, penelitian ini berguna sebagai (a) bahan
masukan bagi pemerintah atau pengambil kebijakan di tingkat pusat tentang
dinamika penyuluhan pertanian dan pelaksanaannya di daerah, (b) bahan
masukan bagi Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupatan/Kota yang saat ini
sedang melaksanakan otonomi daerah. Kiranya hasil penelitian ini bisa
dijadikan salah satu rujukan dalam rangka menata kembali kebijakan,
khususnya strategi pembangunan pertanian dan penyuluhan, dan (c) bahan
masukan bagi masyarakat umum dalam menyikapi pelaksanaan otonomi
daerah dan pentingnya penyuluhan pertanian dalam rangka penataan
pembangunan pertanian secara umum.

11

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Penyuluhan Pembangunan
Konsep dan pengertian penyuluhan

pembangunan

sebagai

ilmu,

dikemukakan oleh Slamet (2003 :32-33), seorang pakar dan pelopor penyuluhan
pembangunan Indonesia di bawah ini:
“Ilmu penyuluhan pembangunan adalah suatu disiplin ilmu yang
mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk,
bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau
meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru
yang berakibat kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi
lebih baik. Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan
memulai proses perkembangannya dengan meminjam dan merangkum
konsep-konsep ilmiah dari berbagai disiplin ilmu lain yang relevan,
seperti ilmu pendidikan, psikologi, antropologi, sosiologi, psikologi
sosial dan manajemen. Oleh karena penyuluhan pembangunan selalu
menitikberatkan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia, lahir dan
bathin, maka kegiatan yang dilakukan pun selalu erat kaitannya dengan
ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, pertanian, kesehatan dan ilmu-ilmu
kesejahteraan sosial lainnya”.
Dengan menelusuri asal usul perkembangannya, Slamet mengatakan
bahwa ilmu penyuluhan pembangunan pada awal kegiatannya disebut dan dikenal
sebagai Agricultural Extension (penyuluhan peranian), terutama di beberapa
negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Belanda. Karena berkembang ke
bidang lain, maka namanya berubah menjadi Extension Education dan di beberapa
negara lain disebut Development Communication. Meskipun antara tiga istilah itu
ada perbedaan, namun pada dasarnya semua mengacu pada disiplin ilmu yang
sama. Di Indonesia, disiplin ilmu ini disebut ilmu penyuluhan pembangunan
sebagai pengembangan dari ilmu penyuluhan pertanian (Sumardjo, 1999: 33).
Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan tidak akan pernah
berdiri sendiri. Oleh karena itu, ilmu penyuluhan pembangunan sering dikatakan
sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat interdisiplin. Dengan demikian, praktek
penyuluhan pembangunan di lapangan jelas sekali menuntut pendekatan
interdisiplin. Pembangunan pertanian misalnya, yang melibatkan berjuta-juta
petani, tidak mungkin berhasil bila hanya mengandalkan ilmu pertanian dalam arti
monodisiplin. Pembangunan pertanian di Indonesia dapat berhasil karena sejak

12
semula menggunakan pendekatan interdisiplin ilmu-ilmu pertanian, ekonomi,
sosiologi dan komunikasi yang dirangkum oleh ilmu penyuluhan pembangunan
(Slamet, 2003:33, Sumardjo, 1999:32).
Menurut Slamet dan Asngari (1969), penyuluhan adalah suatu usaha
pendidikan non formal, merupakan suatu sistem pendidikan praktis, yang orangorangnya belajar sambil mengerjakan (Sumardjo: 1999: 34). Karena penyuluhan
adalah suatu sistem pendidikan non formal, maka di dalam kegiatannya berbagai
konsep pendidikan dijadikan kerangka teoritis dan diramu sedemikian rupa
sehingga menjadi suatu operasional pendidikan yang memberikan manfaat
pemberdayan bagi kelompok sasaran. Di dalam proses penyuluhan itu terdapat
komunikasi informasi timbal balik di antara penyuluh dan yang disuluh. Van den
Ban dan Hawkins (1999 : 25) mengatakan bahwa penyuluhan merupakan
keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar
dengan tujuan membantu sesamanya dalam memberikan pendapat sehingga
diperoleh keputusan yang benar. Secara harafiah penyuluhan berasal dari kata
suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dari
asal kata tersebut dapat diartikan bahwa penyuluhan dimaksudkan untuk memberi
penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang menyukainya, agar tidak lagi
berada dalam kegelapan mengenai suatu masalah tertentu. Dari pengertian
tersebut, dapat dikatakan bahwa penyuluhan merupakan bentuk komunikasi dalam
penyampaian pesan dari penyuluh kepada sasaran. Lahirnya penyuluhan pertanian
merupakan jawaban terhadap tantangan dari pertumbuhan dan kemajuan
masyarakat dalam pembangunan untuk melayani kebutuhan petani yang menjadi
pelaku utama proses perubahan pertanian. Mulailah perkembangan dari pengertian
penyuluhan, yaitu tidak hanya sebagai ilmu dan seni untuk menyampaikan suatu
subjek pengetahuan, tetapi juga pengertian penyuluhan pertanian sebagai lembaga
yang melayani kebutuhan petani akan informasi, ilmu, dan teknologi, dan
memanfaatkan lingkungan (Dudung, 1994).
Johnson, Creighton dan Norland (2006) mengatakan bahwa penyuluhan
adalah proses pendidikan dimana para petugas yang dilatih secara khusus
mendatangi klien, membantu mereka menggunakan metoda penyuluhan untuk
memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru yang dapat membantu mereka

13
dalam meningkatkan produksi sehingga dapat meningkatkan taraf hidup. Karena
itulah penyuluhan pertanian sebagai suatu pendidikan luar sekolah (pendidikan
non formal) bagi para petani dan keluarganya bertujuan agar mereka mampu dan
sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan
bidang

profesinya,

serta

mampu

dan

sanggup

untuk

meningkatkan

kesejahteraannya sendiri dan masyarakat (Slamet, 2003). Mengacu pada pendapat
Savile, Slamet lebih lanjut mengatakan bahwa penyuluhan adalah suatu bentuk
pengembangan

masyarakat

terutama

dalam

bidang

pertanian

dengan

menggunakan proses pendidikan sebagai alat untuk mengatasi masalah dalam
masyarakat. Penyuluhan bukanlah sekedar penerapan tentang kebijakan penguasa,
bukan program untuk mencapai tujuan yang tidak merupakan kepentingan pokok
kelompok sasaran. Penyuluhan adalah: (1) program pendidikan luar sekolah yang
bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan kesejahteraan sasaran secara
mandiri dan membangun masyarakat madani, (2) sistem yang berfungsi secara
berkelanjutan dan bersifat ad hoc, dan (3) program yang menghasilkan perubahan
perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya.
Penyuluhan pertanian sebagai suatu pendidikan luar sekolah (pendidikan non
formal) bagi para petani dan keluarganya memiliki tujuan agar mereka mampu
dan sanggup memerankan dirinya sebagai warganegara yang baik sesuai dengan
bidang

profesinya,

serta

mampu

dan

sanggup

untuk

meningkatkan

kesejahteraannya sendiri dan masyarakat (Slamet, 2003).
Seorang penyuluh yang terlibat secara langsung dalam kegiatan
penyuluhan harus menyadari falsafah dasar penyuluhan seperti yang dikatakan
oleh Slamet (Sumardjo, 1999; Suparta, 2003) yakni bahwa : (1) penyuluhan
adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi, dan (3)
penyuluhan adalah proses kontinyu. Dalam falsafah penyuluhan sebagai proses
pendidikan, penyuluh harus dapat membawa perubahan manusia dalam hal aspekaspek perilaku, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dalam falsafah yang
kedua yakni penyuluhan sebagai proses demokrasi, penyuluh pertanian harus
mampu mengembangkan suasana bebas untuk mengembangkan kemampuan
masyarakat. Penyuluh pertanian harus mampu mengajak sasaran penyuluhan
berpikir, berdiskusi, menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak

14
bersama-sama di bawah bimbingan orang-orang di antara mereka sehingga
berlaku penyelesaian dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Dalam falsafah
yang ketiga yaitu penyuluhan sebagai proses kontinyu, penyuluhan harus dimulai
dari keadaan petani pada waktu itu ke arah tujuan yang mereka kehendaki,
berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan yang senantiasa berkembang
yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan. Bila penyuluh melihat adanya
kebutuhan, tetapi kebutuhan itu belum dirasakan oleh sasaran penyuluhan,
padahal kebutuhan tersebut dinilai sangat vital dan mendesak, maka penyuluh
perlu berusaha terlebih dahulu untuk menyadarkan sasaran akan kebutuhan yang
ada tersebut (real need) menjadi felt need, kebutuhan yang dirasakan oleh sasaran
(Sumardjo, 1999:35).
Selain menyadari falsafah penyuluhan, penyuluh juga harus mengetahui
prinsip-prinsip penyuluhan, sehingga kegiatan penyuluhan benar-benar berpijak
pada prinsip-prinsip penyuluhan yang benar. Mengutip Dahama dan Bhatnagar,
Sumardjo (1999:37) mengemukakan sekurang-kurangnya 12 prinsip penyuluhan
yang penting diperhatikan oleh penyuluh dalam menjalankan tugasnya, yaitu (1)
penyuluhan akan efektif kalau mengacu pada minat dan kebutuhan masyarakat
(principles of interest and needs); (2) penyuluhan harus mampu menyentuh
organisasi masyarakat sasaran, keluarga/kerabatnya (grass-roots principle of
organization); (3) penyuluhan harus menyadari adanya keragaman budaya yang
memerlukan keragaman pendekatan (principle of cultural difference); (4) kegiatan
penyuluhan perlu dilaksanakan dengan bijak karena akan menimbulkan perubahan
budaya (principle of cultural change);

(5)

penyuluhan

harus

mampu

menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerja sama dalam merencanakan
dan

melaksanakan

program

penyuluhan

(principle of cooperation and

participation); (6) penyuluhan harus selalu memberikan kesempatan kepada
masyarakat sasaran untuk ikut memutuskan tujuan, alternatif pemecahan masalah
dan metoda apa yang digunakan dalam penyuluhan (principle of applied science
and democratic approach); (7) prinsip belajar sambil bekerja (principle of
learning by doing); (8) penyuluh harus orang yang terlatih khusus dan benar-benar
menguasai sesuatu yang sesuai dengan fungsi seorang penyuluh (principle of
trained specialist); (9) penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metode

15
yang disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan
sosial budaya) spesifik sasaran (adaptability principle in the use of extention
teaching

methods);

(10)

penyuluhan

harus

mampu

mengembangkan

kepemimpinan (principle of leadership); (11) penyuluhan harus memperhatikan
keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial (whole family principle) karena
alasan-alasan : (a) penyuluhan ditujukan untuk seluruh keluarga, (b) setiap
anggota keluarga berpengaruh dalam pengambilan keputusan, (c) penyuluhan
menimbulkan saling pengertian, (d) penyuluhan menyangkut kemampuan
pengelolaan keuangan keluarga, (e) penyuluhan mendorong keseimbangan antara
kebutuhan keluarga dan kebutuhan usahatani, (f) penyuluhan mencakup
pendidikan untuk anggota muda, (g) penyuluhan mengembangkan kegiatan
keluarga,

(h)

penyuluhan

memperkokoh

kesatuan

keluarga,

baik

yang

menyangkut masalah sosial, ekonomi maupun keluarga, dan (i) penyuluhan
mengembangkan pelayanan terhadap keluarga, kelompok dan masyarakat; dan
(12) penyuluhan dimaksudkan untuk mewujudkan tercapainya kepuasan
sasarannya (principle of satisfaction).
Akumulasi berbagai proses terjadi secara serempak dalam suatu kegiatan
penyuluhan. Mardikanto (Rejeki & Herawati, 1993) menyebut sekurangkurangnya ada lima proses yang terjadi dalam suatu kegiatan penyuluhan yaitu :
(1) proses penyebaran informasi, (2) proses penerangan, (3) proses perubahan
perilaku, (4) proses pendidikan, dan (5) proses rekayasa sosial. Dalam proses
informasi, penyuluh menyampaikan berbagai pesan (message) dan informasi
pembangunan kepada kelompok sasaran. Penyampaian informasi ini bertujuan
agar kelompok sasaran mengetahui tentang sesuatu yang belum diketahui (proses
penerangan). Penyuluhan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ’’suluh,”
’yang berarti

“lampu,” “obor,” yang digunakan untuk menerangi sehingga

penyuluhan dapat diartikan sebagai proses untuk memberikan penerangan kepada
masyarakat tentang sesuatu yang belum diketahui dengan jelas untuk
melaksanakan atau menerapkan proses pembangunan. Dampak dari penerangan
itu adalah adanya proses perubahan perilaku dalam hal pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Tujuan dari suatu penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku
dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mau menjadi mau, dari tidak mampu

16
menjadi mampu. Penyuluhan bukan semata-mata transformasi ilmu, dimana
petani hanya sebagai pendengar, tetapi ilmu yang ditransfer itu dimengerti dan
dipahami secara aktif oleh petani dan dari proses belajar terjadi “feed back”
terhadap pesan yang disampaikan, ada perubahan perilaku dalam bidang
pengetahuan, sikap dan ketrampilan.
Penyampaian pesan, informasi tentang segala sesuatu yang belum
diketahui itu bersifat mendidik, mengajarkan dan membimbing masyarakat untuk
mengubah perilakunya dari yang kurang menguntungkan menjadi yang positif
demi pembangunan diri, keluarga dan masyarakatnya. Penyuluh menyampaikan
sesuatu yang berguna dan positif untuk masyarakat, disampaikan secara santun
tanpa memaksakan kehendak. Masyarakat diberi pencerdasan, penyadaran dalam
bentuk muatan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai serta sikap hidup yang
bermanfaat. Di sinilah terjadi proses pendidikan. Semua proses yang disampaikan
itu menuju kepada suatu “rekayasa sosial”, suatu perubahan sosial, perubahan cara
berpikir, pola sikap dan pola ketrampilan yang menjadikan suatu masyarakat
sebagai masyarakat yang memiliki pengetahuan untuk mengubah hidup dan
kehidupannya.
Tugas dan Peranan Penyuluh Pertanian
Menurut Padmanagara, tugas ideal seorang penyuluh adalah : (1)
menyebarkan informasi yang bermanfaat, (2) mengajarkan pengetahuan,
ketrampilan dan kecakapan sesuai bidang penyuluhannya, (3) memberikan
rekomendasi yang lebih menguntungkan untuk perbaikan kehidupan sasaran
penyuluhan, (4) mengusahakan berbagai fasilitas usaha yang lebih menggairahkan
sasaran penyuluhan, dan (5) menimbulkan keswadayaan dan keswakarsaan dalam
usaha perbaikan. Oleh sebab itu, tugas penyuluhan dinilai berhasil apabila klien
secara aktif belajar, bukan saja dalam ruangan belajar tertentu, tetapi juga di
ladang, kebun atau tegalan, tempat mereka bekerja setiap hari. Bahkan tempat
belajar yang baik justru berada di kebun saat mereka melakukan praktek langsung
(Bunyatta, dkk, 2006).
Tugas-tugas ini perlu disesuaikan dengan tuntutan perubahan paradigma
penyuluhan yang di masa sekarang lebih berorientasi agrobisnis dan agroindustri
(Soedijanto, 2004: 61-62). Karena itu dalam melaksanakan tugasnya, penyuluh

17
pertanian harus memiliki kemampuan (1) meningkatkan partisipasi petani,
pengusaha dan pedagang pertanian sebagai pelaku utama agribisnis, (2)
memaksimalkan peran organisasi petani dan pelaku agribisnis lainnya, (3)
memperkuat kemampuan petani dan pelaku agribisnis lainnya untuk menghimpun
dirinya dalam paguyuban, forum, asosiasi atau organisasi baik secara horisontal
maupun vertikal, (4) memulihkan kepercayaan petani dan pelaku agribisnis
lainnya terhadap pemerintah terutama pemerintah daerah, (5) untuk berfokus pada
pembangunan sistem agribisnis, bukan berfokus pada pembangunan komoditas,
(6) untuk keluar dari jebakan alam pikiran “ego sektoral” yang me nghasilkan
pengkotak-kotakan sub sektor yang semakin tajam, (7) meningkatkan efisiensi
manajemen penyuluhan pertanian baik di pusat maupun di daerah, (8) melengkapi
struktur dan kelembagaan penyuluhan pertanian terutama di daerah, dan (9)
menghilangkan citra penyuluhan sebagai proses transfer teknologi, tetapi sebagai
proses pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat dengan menggunakan metode
partisipatif.
Seorang penyuluh pertanian memiliki multi peran yang bersifat dinamis
dan fleksibel. Menurut Ginting (1999), penyuluh memiliki peran yang sangat
banyak, diantaranya adalah sebagai: (1) guru, (2) agen pengubah prilaku, (3)
pemberi dan pelaksana komunikasi dua arah antara peneliti dan

petani, (4)

merupakan mediator antara penemuan hasil riset pertanian dan praktek, (5)
penghubung antar usaha tani dan suplay input yang efektif, (6) penemu dan
pengembang kepemimpinan yang potensial, dan (7) katalis dari perubahan
pembangunan.
Fungsi dan peran seorang penyuluh pertanian akan efektif jika didukung
pula oleh kemampuan-kemampuan individual, kesehatan rohani dan jasmani, serta
kualitas personal dan profesional. Yang dimaksud dengan kualitas personal,
adalah : (1) kemampuan berkomunikasi dengan petani, (2) kemampuan bergaul
dengan orang lain, (3) antusias terhadap tugas, dan (4) berpikir logis dan memiliki
inisiatif. Kualitas professional adalah (1) memiliki keluasan dan wawasan ilmu
sesuai bidangnya secara profesional, (2) memiliki empati yakni kemampuan untuk
melihat sesuatu masalah melalui indera keenam, (3) me miliki kredibilitas dan

18
integritas pribadi, (4) memiliki kerendahan hati, dan (5) tanggung jawab
profesional (Suhardiyono, 1992).
Multi peran yang dimainkan oleh seorang penyuluh pertanian sangat
menentukan keberhasilannya di dalam mendidik, melatih, membimbing, dan
memberdayakan kelompok sasaran. Menurut Soekandar (Marzuki, 1999), multi
peran itu dapat dikategorikan sebagai : (1) pemrakarsa/initiator, yang selalu
menyarankan gagasan-gagasan baru dan pandai menjelaskan persoalan-persoalan,
(2) pemberi jalan/fasilitator, yang memberi atau pandai mencari kesempatan
untuk menerangkan/mendiskusikan masalah-masalah, (3) pemberi hati/encorager,
yang selalu memberi hati atau dorongan, (4) penyelaras/harmonizer,yang selalu
menengahi pertengkaran/konflik, mempertemukan pihak-pihak yang berlawanan,
(5) penilai, yang selalu menilai hasil kegiatan, (6) penganalisa, yang menganalisa
segala kemungkinan, (7) penyimpul, yang mempersatukan saran-saran dan
pembicaraan dari berbagai pihak, (8) pembagi bahan/expeditur, yang memeriksa
dan membagikan bahan-bahan untuk pertemuan dari dan ke segala pihak, (9)
pencari keterangan, yang mencari dan menginginkan lebih banyak fakta dan
keterangan, (10) pemberi fakta, yang memberi keterangan dan fakta mengenai
lapangan, (11) pemberi kedudukan/status, yang memberikan dorongan agar petani
menjadi anggota kelompok tani, dan (12) penengah, yang selalu menengahi
perbedaan-perbedaan pendapat.
Penyuluh Pertanian adalah orang yang mengemban tugas untuk memberi
dorongan kepada petani agar me ngubah cara berpikir, cara kerja, dan cara
hidupnya yang lama dengan cara-cara yang baru kepada perkembangan teknologi
pertanian yang lebih maju. Menurut Suhardiyono (Marzuki, 1999), tanggung
jawab yang besar untuk membawa perubahan yang progresif di bidang pertanian
terletak ditangan para penyuluh.
Mutu dan Kinerja Penyuluhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), mutu berarti (ukuran)
baik buruk suatu benda; kadar; taraf atau derajad (kepandaian, kecerdasan dan
sebagainya). Mutu juga berarti kualitas, berbobot. Kinerja berarti sesuatu yang
dicapai; prestasi yang diperlihatkan; kemampuan kerja. Dari pengertian itu
nampak bahwa kata mutu dan kinerja memiliki pengertian yang hampir sama

19
bahkan sama. Kinerja adalah semua hasil kerja yang dituntut dihasilkan oleh
pejabat atau petugas berkaitan dengan jabatannya atau tugas pekerjaannya.
Pencapaian kinerja seorang pejabat atau petugas akan menjadi ukuran tinggi atau
rendahnya prestasi kerja pejabat tersebut dalam menduduki jabatannya atau
prestasi petugas tersebut dalam melaksanakan tugas pekerjaannya (Soedijanto,
2004:12). Mutu adalah wujud konkrit dari kinerja itu

(apakah berbobot atau

tidak). Derajad pencapaiannya bisa diukur melalui sejauh mana orang-orang atau
kelompok orang yang menjadi tujuan atau sasaran suatu pekerjaan itu merasa
puas, merasa senang, merasa apa yang diinginkannya terpenuhi.
Untuk menghasilkan jasa pelayanan yang bermutu, pertama-tama kita
harus mengetahui apa yang dimaksudkan dengan mutu ditinjau dari aspek
manajemen mutu terpadu. Slamet (2005) mendefinisikan mutu sebagai keseluruhan sifat-sifat barang dan jasa yang mampu memenuhi (menyamai atau melebihi)
kebutuhan dan/atau harapan seseorang. Atau dengan kata lain, mutu adalah
paduan sifat-sifat barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam
memenuhi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang
tersirat. Secara runut filosofi manajemen mutu menurut pakar penyuluhan
pembangunan ini dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) setiap pekerjaan
menghasilkan benda dan /atau jasa, (2) benda dan jasa itu diproduksi karena ada
yang memerlukan, (3) orang-orang yang memerlukan benda dan/ atau jasa itu
disebut pelanggan (customer), (4) produk dan jasa itu merupakan sesuatu yang
dibutuhkan oleh pelanggan, (5) benda dan jasa itu harus dibuat sedemikian rupa
agar dapat memenuhi harapan dan kebutuhan pelanggannya, dan (6) benda dan
jasa yang dapat memenuhi harapan pelanggannya disebut benda dan jasa yang
bermutu.
Definisi yang tidak berbeda tentang mutu juga dikemukakan oleh Juran
(1995). Menurut Juran (1995), banyak arti untuk kata mutu. Dua diantaranya
sangat penting bagi para manajer, yaitu: keistimewaan produk adalah salah satu
dari definisi tersebut. Di mata para pelanggan, semakin baik keistimewaan
produk, semakin tinggi mutunya; bebas defisiensi adalah definisi lain dari mutu.
Di mata pelanggan, semakin sedikit defisiensi, semakin baik mutunya. Juran juga
mengatakan bahwa beberapa perusahaan telah mendefinisikan mutu dalam

20
pengertian seperti misalnya kesesuaian terhadap spesifikasi atau kesesuaian
terhadap standar.
Pengertian mutu juga dikemukakan oleh Crosby (Mutis dan Gasperz,
1994). Ia mengatakan bahwa mutu atau kualitas sebagai conformance to
requirements (pemenuhan tingkat standar yang ditentukan oleh para konsumen
terhadap suatu barang atau jasa). Deming mengatakan bahwa “quality control
does not mean achieving perfection” (pengendalian kualitas bukan berarti
mencapai kesempurnaan), melainkan upaya untuk mencapai tingkat produksi
sesuai dengan sesuatu yang diharapkan oleh pasar. The American Society for
Quality and The American National Standard Institute mendefinisikan mutu
sebagai “the totality of features and characteristics of product or service that
bear on its ability to satisfy a given need” (keseluruhan feature dan karakteristik
yang ada pada produk atau jasa yang dapat memuaskan kebutuhan). Harington
mengatakan, “kualitas atau mutu sebagai meeting or excceding costumer
expectation at a cost that represent value to them” (memenuhi bahkan
melampaui harapan pelanggan atas dasar ketepatan biaya sesuai dengan nilai yang
ada). ISO 9000 (Hadiwiardjo dan Wibisono, 2000) menginterpretasikan mutu
sebagai perpaduan antara sifat-sifat dan karakteristik yang menentukan sampai
seberapa jauh keluaran dapat memenuhi kebutuhan pembeli. Pembeli yang
menilai sampai seberapa jauh sifat-sifat dan karakteristik keluaran memenuhi
kebutuhannya. Karena itu pengertian mutu bermakna : (a) mutu mencakup hal
atau melebihi harapan pelanggan; (b) mutu berlaku untuk produk, jasa, orang,
proses dan lingkungan; dan (c) mutu adalah suatu keadaan yang selalu berubah
(artinya apa yang saat ini bermutu mungkin pada waktu lain tidak lagi disebut
bermutu). Dari semua hal tersebut, mutu dapat didefinisikan sebagai keadaan
dinamik yang diasosiasikan dengan produk, jasa, orang dan lingkungan yang
mencapai atau melebihi harapan.
Kegiatan penyuluhan adalah jasa informasi yang diberikan kepada
pelanggan terutama para petani dan keluarganya. Hasil dari penyuluhan adalah
mutu penyuluhan yang memberikan kepuasan kepada kelompok sasaran.
Kelompok sasaran merasa puas karena apa yang ditawarkan (disampaikan oleh
penyuluh) memenuhi apa yang mereka butuhkan. Mutu penyuluhan berarti

21
keseluruhan sifat-sifat barang dan jasa (dalam hal ini penyuluhan) mampu
memenuhi (menyamai atau melebihi) kebutuhan dan/atau harapan kelompok
sasaran. Mutu penyuluhan adalah keistimewaan produk seperti yang disampaikan
oleh Juran (1995) dan Crosby (Mutis dan Gasperz, 1984). Penyuluhan adalah
produk yang ditawarkan kepada kelompok sasaran. Jika penyuluhan itu memenuhi
kebutuhan kelompok sasaran, mampu memecahkan masalah mereka, mampu
mengubah pola pikir mereka, mampu mengubah sikap mereka, maka penyuluhan
itu disebut produk isitimewa yang memberikan kepuasan kepada petani. Karena
itu Penyuluh Pertanian harus menyadari bahwa kegiatan penyuluhan adalah salah
satu bentuk penawaran jasa informasi yang berorientasi pada mutu dan kepuasan
pelanggan; penyuluhan adalah penawaran produk yang berorientasi pada
kepuasan petani sebagai kelompok sasarannya.
Sebagai pejabat fungsional, kinerja Penyuluh Pertanian akan dapat diukur
berdasarkan tugas pekerjaannya sebagai Penyuluh dan kelompok sasaran merasa
puas akan hasil kegiatan penyuluhan itu. Kinerja (performance) adalah hasil kerja,
prestasi atau daya guna dan hasil pelaksanaan penyelenggaraan sesuatu. Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan kinerja penyuluhan adalah mutu atau
kualitas penyuluhan yang diukur melalui tingkat kepuasan pelanggan penyuluhan
terutama petani; yang diukur secara intens dalam penelitian ini adalah tingkat
kepuasan petani terhadap jasa penyuluhan yang diterima oleh petani. Parameterparameter kinerja penyuluhan adalah tingkat kepuasan petani sebagai pelanggan
eksternal primer terhadap fungsi-fungsi penyuluhan yang seharusnya dilakukan
berdasarkan desentralisasi wewenang yang diberikan ke Kabupaten/Kota sesuai
dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor:130-67/Tahun 2002 tentang
Pengakuan Wewenang Kabupaten dan Kota di bidang Penyuluhan Pertanian
adalah : (1) tingkat kepuasan petani terhadap kebijakan dan program
penyelenggaraan penyuluhan pertanian, (2) tingkat kepuasan petani terhadap
materi dan metode penyuluhan yang sesuai dengan kondisi lokal; (3) tingkat
kepuasan petani terhadap pembentukan, pengembangan kelompok tani dan
kelembagaan ekonomi petani, (4) tingkat kepuasan petani terhadap kerja sama
antara petani, penyuluh, peneliti dan LSM; (5) tingkat kepuasan petani terhadap

22
pembinaan kepemimpinan petani, wanita tani, dan pemuda tani, dan (6) tingkat
kepuasan petani terhadap layanan informasi penyuluhan.

Kompetensi Penyuluh Pertanian
Kata kompetensi adalah terjemahan dari kata Inggris “competency”. The
American Heritage Dictionary mendefinisikan “competency”sebagai “the state or
quality of being properly or well qualifie”. Dalam definisi ini, kompetensi berarti
mutu yang seharusnya, atau syarat atau standar yang baik dari suatu pekerjaan.
Menurut Lucia dan Lepsinger (1999: 2-3), definisi ini masih bersifat umum dan
belum

menguraikan

secara

lengkap

substansinya.

Keduanya

kemudian

mempertegas definisi kompetensi menurut Klemp, yakni, “an underlying
characteristic of a person which results in effective and/or superior performance
on the job,”, kompetensi adalah sifat dasar seseorang yang berpengaruh pada
kinerja kerjanya yang efektif dan sangat menonjol. Secara lebih lengkap, definisi
kompetensi dikemukakan oleh Parry mengacu kepada pendapat para pakar dalam
konferensi tentang kompetensi di Johannesburg tahun 1995, yakni, “a cluster of
related knowledge, skills, and attitudes that affects a major part of one’s job (a
role or responsibility), that correlates with performance on the job, that can be
measured againts well accepted standards, and that can be improved via training
and development”(Lucia dan Lepsinger: 1999: 5).
Di sini, kompetensi didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan,
ketrampilan dan sikap yang berhubungan satu sama lain yang berpengaruh pada
sebagian besar pekerjaan seseorang (peranan atau tanggungjawab), yang
berkorelasi dengan kinerja dan dapat diukur dan diterima sebagai suatu standar
kinerja yang baik; dan pengetahuan, ketrampilan dan sikap itu dapat diperbaiki
melalui pelatihan dan pengembangan.
Menurut Lucia dan Lepsinger, model kompetensi (competency model)
sebagai kombinasi dari pengetahuan, ketrampilan dan sikap diperlukan oleh
orang-orang yang bekerja dalam suatu organisasi sehingga terbentuk suatu cara
kerja dan pencapaian hasil yang diinginkan. Jika pengetahuan, sikap dan
ketrampilan belum dapat dicapai sesuai dengan standar yang diperlukan untuk
suatu pekerjaan, maka ketiga unsur kompetensi itu bisa dikembangkan melalui

23
pelatihan-pelatihan. Dari ketiga elemen kompetensi itu (pengetahuan, ketrampilan
dan sikap), dimensi sikap atau sifat-sifat personal adalah yang paling kompleks
dan tidak mudah diukur sebagaimana pengetahuan dan ketrampilan. Hal itu
disebabkan oleh luasnya wilayah sifat personal itu. Sifat-sifat individual bisa
berupa bakat, talenta bawaan sejak lahir atau kehendak/dorongan nurani; atau juga
kepribadian seseorang. Dalam kepribadian terdapat unsur-unsur individual yang
berbeda dengan individu lain seperti rasa percaya diri, stabilitas emosi, kepekaan,
keyakinan diri dan sebagainya. Manifestasi d