Analisis diosmin dan protein tanaman seledri (Apium graveolens L.) dari Daerah Cipanas dan Ciwidey

ANALISIS DIOSMIN DAN PROTEIN TANAMAN
SELEDRI (Apium graveolens L.) DARI DAERAH CIPANAS
DAN CIWIDEY

BINA LISTYARI PUTRI

PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

ABSTRAK
BINA LISTYARI PUTRI. Analisis Diosmin dan Protein Tanaman Seledri (Apium
graveolens L.) dari Daerah Cipanas dan Ciwidey. Dibimbing oleh DJAROT
SASONGKO HAMI SENO dan EDY DJAUHARI PURWAKUSUMAH.
Tanaman seledri berkhasiat farmakologis, salah satunya sebagai antiinflamasi dan
senyawa yang berperan adalah diosmin. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan
kadar diosmin serta pola protein tanaman seledri yang ditanam pada daerah Cipanas dan
Ciwidey dengan masa tanam berbeda. Ekstrak diosmin dari tanaman seledri diperoleh
dengan cara merefluks dalam larutan DMSO 10% dalam metanol kemudian dilakukan

identifikasi dan penentuan kadar menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Ekstraks i protein dari tanaman seledri
menggunakan bufer ekstraksi protein dan untuk mengetahui konsentrasi protein total
menggunakan metode Lowry. Elektroforesis gel poliakrilamid SDS digunakan untuk
mengetahui pola serta bobot molekul protein tanaman seledri.
Kadar air, kadar abu, dan rendemen pada kedua daerah, berdasarkan hasil analisis
statistik Rancangan Acak Kelompok (RAK) menunjukkan tidak berbeda nyata,
sedangkan untuk bobot basah dan konsentrasi protein total menunjukkan hasil yang
berbeda nyata. Penamba han masa tanam, yaitu 4, 6, dan 8 minggu, pada tanaman seledri
daerah Cipanas menyebabkan peningkatan konsetrasi protein total masing-masing
sebesar 3145.82 µg/ml, 3133.12 µg/ml, dan 4010.77 µg/ml, sedangkan pada daerah
Ciwidey dengan bertambahnya masa tanam, konsentrasi protein total mengalami
penurunan, masing-masing sebesar 2574.75 µg/ml, 2111.60 µg/ml, dan 2216.14 µg/ml.
Kadar diosmin memiliki hasil yang sebanding dengan konsentrasi protein total pada
kedua daerah. Kadar diosmin tertinggi, berdasarkan analisis KCKT, pada daerah
Cipanas dengan masa tanam 8 minggu sebesar 1274.88 ppm dan pada daerah Ciwidey
dengan masa tanam 4 minggu sebesar 1098.08 ppm. Hasil SDS PAGE menunjukkan
pola protein yang sama pada seluruh sampel dan terdapat dua pita protein dominan
dengan bobot molekul sebesar 16.6 dan 17.4 kDa.


ABSTRACT
BINA LISTYARI PUTRI. Analysis of Diosmin and Protein in Celery Plant (Apium
graveolens L) from Cipanas and Ciwidey Areas. Under the direction of DJAROT
SASONGKO HAMI SENO and EDY DJAUHARI PURWAKUSUMAH
The celery plant has a pharmacological function, one of the example as an antiinflammation and compound having the role is Diosmin. This research was to compare
the diosmin content and find out the protein pattern in the ce lery plant grown in the
areas of Cipanas and Ciwidey in different periods of planting. Cipanas and Ciwidey are
ideal sites for the celery growth because the differences in the geographical aspect and
growing period may result in the differences in diosmin level and protein pattern in the
celery plant. Diosmin was extracted from the celery plant with a reflux technique in the
solution of DMSO 10% mixed with methanol, identified and measured for its content
by using the Thin Layer Chromatography (TLC) and High Performance Liquid
Chromatography (HPLC). Protein was extracted from the celery plant by means of
buffer method and the Lowry method was used to determine the total concentration of
protein. Sodium Dedocyl Sulphat Poly Acrilamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE)
was used to find out the pattern and weight of protein molecules in the celery plant.
The content of water, ash, and rendement in both areas, based on the statistical
analysis of clustered random design, showed no significant difference, whereas the wet
weight and the total concentration of protein had significantly different results. The
increased total concentration of protein in Cipanas and this happened along with the

lengthened period of celery growing, 4, 6, an 8 weeks, that accounted respectively
3145.82 µg/ml, 3133.12 µg/ml, and 4010.77 µg/ml whereas in Ciwidey with such
extended period of growing, the total concentration of protein were decreased, that
accounted respectively 2574.75 µg/ml, 2111.60 µg/ml, dan 2216.14 µg/ml . The level of
diosmin was positively correlated with total concentration of protein for two areas.
Based on the analysis of HPLC, the highest content of diosmin reached 1274.88 ppm in
Cipanas with the growing period of 8 weeks, in Ciwidey it accounted for 1098.08 ppm
with the growing period of 4 weeks. The result of SDS PAGE showed a similar pattern
of protein in all samples and there were two dominant protein layers with the molecule
weights of 16.6 and 17.4 kDa.

ANALISIS DIOSMIN DAN PROTEIN TANAMAN
SELEDRI (Apium graveolens L.) DARI DAERAH CIPANAS
DAN CIWIDEY

BINA LISTYARI PUTRI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada

Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU P ENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul

: Analisis Diosmin dan Protein Tanaman Seledri (Apium
graveolens L.) dari Daerah Cipanas dan Ciwidey
: Bina Listyari Putri
: G 44102017

Nama
NIM

Disetujui
Komisi Pembimbing


Drs. Djarot Sasongko Hami Seno, MS
Ketua

Drs. Edy Djauhari PK, M.Si
Anggota

Diketahui
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS
NIP 131473999

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta
alam yang telah memberikan nikmat iman dan islam, dan atas hidayah-Nya dalam
memberikan kemudahan sehingga kegiatan penelitian ini dapat diselesaikan. Kegiatan

penelitian akan dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juni 2006 bertempat di
Laboraturium Pusat Studi Biofarmaka IPB Taman Kencana dengan judul Analisis
Diosmin dan Protein Tanaman Seledri (Apium graveolens L.) dari Daerah Cipanas dan
Ciwidey.
Ucapan terima kasih terutama penulis ucapkan kepada Drs. Djarot Sasongko Hami
Seno, MS selaku pembimbing I dan Drs. Edy Djauhari PK, M.Si selaku pembimbing II
yang telah banyak memberikan saran. Selain itu, terima kasih juga kepada seluruh staf
di laboratorium Biokimia dan laboratorium Pusat Studi Biofarmaka atas kerjasamanya
serta Icha, Hilya, Rita, Peni, Ayu, Laura, Agung, Reggy, dan Heru yang selalu
memberikan semangat. Terima kasih kepada ayah, ibu, Rakha, Nandi, dan Bayu atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan pengetahuan
serta wawasan yang dimiliki oleh penulis. Namun, semoga penelitian ini berguna bagi
penulis serta pihak-pihak yang membutuhkannya demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juni 2006
Bina Listyari Putri

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Mei 1984 dari ayah Ir. Listyanto BK dan

ibu Dra. Nanan Sofiana. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Islam Al Azhar Kemang Pratama Bekasi dan
pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Kimia Dasar II
S1 Perikanan pada tahun 2004/2005 dan Biokimia S1 Biologi pada tahun 2005/2006.
Penulis melakukan praktek kerja lapang di Laboraturium Genetika Molekular Hewan
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong dari bulan Juli sampai September 2005.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................. i
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... i
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ii
PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Seledri (Apium graveolens L) ............................................................. 1
Budidaya Tanaman Seledri ................................................................................. 2

Khasiat Tanaman Se ledri .................................................................................... 4
Kandungan Kimia Tanaman Seledri ................................................................... 4
Diosmin ............................................................................................................... 4
Analisis Diosmin dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ............................. 5
Pola Protein Tanaman Seledri ............................................................................. 5
Analisis Pola Protein dengan Elekroforesis Gel Poliakrilamid SDS .................. 6
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat .................................................................................................... 6
Rancangan Percobaan .......................................................................................... 6
Metode ................................................................................................................. 6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Tanah ……………………………...……………………….....…….... 8
Bobot Basah …………………………………….…………………………….... 8
Kadar air dan Kadar Abu …………………………….................………...……. 9
Konsentrasi Protein Total ………………………………………..………...….. 9
Kromatografi Lapis Tipis ……………………………………….………......…. 9
Penentuan Kadar Diosmin ………………………………………………..…... 11
Elektroforesis Gel Poliakrilamid SDS ………………………....……………... 12
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan …………………………………………………………….…….…. 13

Saran …………………………………………..………………..…………...... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13
LAMPIRAN ..………….....…………...……………..…………………….….…. 15

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Konsentrasi protein total dan rendemen ekstrak tanaman seledri
daerah Cipanas ............................................................................................ 10
2 Konsentrasi protein total dan rendemen ekstrak tanaman seledri
daerah Ciwidey .......................................................................................... 10
3 Hasil rataan KLT ekstrak ta naman seledri .................................................. 11
4 Waktu retensi dan luas area konsentrasi standar diosmin ............................ 11
5 Kadar diosmin tanaman seledri daerah Cipanas dan Ciwidey
dengan masa tanam 4, 6, dan 8 minggu ...................................................... 12
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman Seledri (Apium graveolens L.) ....................................................... 2
2 Struktur Kimia Diosmin ................................................................................ 4
3 Bobot basah tanaman seledri daerah Cipanas dan Ciwidey
dengan masa tanam 4, 6, dan 8 minggu ......................................................... 9

4 Kadar air tanaman seledri daerah Cipanas dan Ciwidey
dengan masa ta nam 4, 6, dan 8 minggu ........................................................ 9
5 Kadar abu tanaman seledri daerah Cipanas dan Ciwidey
dengan masa tanam 4, 6, dan 8 minggu ......................................................... 9
6 Kurva Hubungan antara kadar protein dan rendemen ekstrak
tanaman seledri daerah Cipanas ................................................................... 10
7 Kurva Hubungan antara kadar protein dan rendemen ekstrak
tanaman seledri daerah Ciwidey .................................................................. 10
8 Kurva standar hubungan antara konsentrasi
standar diosm in dan luas area ...................................................................... 11
9 Pola SDS-PAGE protein dari tanaman seledri daerah Cipanas dan Ciwidey
dengan masa tanam 4, 6, dan 8 minggu ........................................................ 12

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Tahap penelitian ......................……………………………………........… 15
2 Pembuatan buf er ekstraksi protein …….………………………………..... 15
3 Bahan pereaksi untuk penentuan
konsentrasi total protein dengan metode Lowry ........................................ 15
4 Bahan pereaksi untuk SDS PAGE ............................................................. 16

5 Pembuatan gel SDS PAGE ………………………………………………. 17
6 Kondisi lingkungan daerah Cipanas dan Ciwidey ……………………….. 18
7 Hasil analisis tanah ………………………………………………………. 18
8 Kriteria penilaian sifat kimia tanah ……...…………….………….……… 19
9 Hasil kadar air, kadar abu, dan bobot basah tanaman seledri pada daerah
Cipanas dan Ciwidey dengan masa tanam 4, 6, dan 8 minggu ................... 20
10 Hasil analisis statistik Rancangan Acak Kelompok (RAK)
berbagai parameter .................................................................................... 22
11 Kurva standar Bovine Serum Albumin (BSA)
untuk masa tanam 4, 6, dan 8 minggu ......................................................... 23
12 Nilai Rf hasil kromatografi lapis tipis ekstrak tanaman seledri ...................24
13 Foto hasil kromatografi lapis tipis ............................................................... 25
14 Rendemen ekstrak tanaman seledri ............................................................. 26
15 Contoh perhitungan konsentrasi diosmin .................................................... 27
16 Hasil kromatogram KCKT standar diosmin ............................................... 28
17 Hasil kromatogram KCKT sampel tanaman seledri ................................... 29
18 Penentuan bobot molekul (BM) protein tanaman seledri ............................ 31

PENDAHULUAN
Peningkatan penggunaan obat sintet ik
berlangsung dengan cepat, namun seiring
bertambahnya waktu terjadi pula peningkatan
kesadaran masyarakat terhadap dampak
negatif dari penggunaan obat -obatan sintetik.
Akibatnya masyarakat kembali memilih
tumbuhan obat sebagai alternatif terhadap
penyembuhan berbagai penyakit. Selain itu,
efek samping yang ditimbulkan juga lebih
kecil. Hal tersebut memicu peneliti untuk
melakukan penelitian di bidang biofarmaka,
yaitu mengenai obat -obatan alami yang
berasal dari tumbuhan.
Indonesia memiliki keragaman hayati flora
dan fauna yang sangat melimpah, sehingga
memiliki banyak sekali tumbuhan yang
berkhasiat sebagai obat. Menurut Kassahara
dan Hemmi (1986), dari 28.000 jenis
tumbuhan yang ditemukan di Indonesia,
kurang lebih 7.000 jenis diantaranya adalah
tumbuhan obat.
Salah satu contoh tumbuhan obat adalah
seledri ( Apium graveolens L) merupakan
tumbuhan suku Umbelliferae yang berbentuk
rumput. (Sunarjono, 2003). Pada awalnya
seledri dikenal sebagai sayuran untuk
campuran salad, sup, dan penambah aroma
pada masakan. Namun, berdasarkan hasil
analisis secara farmakologis ditemukan bahwa
hampir semua bagian dari tumbuhan tersebut
memiliki khasiat sebagai obat. Akar seledri
berkhasiat sebagai peluruh kencing (diuretik)
dan memacu enzim pencernaan (skomakik).
Biji dan buahnya berkhasiat sebagai pereda
kejang (antispasmodik), menurunkan kadar
asam urat darah, antirematik, peluruh kencing
(karminatif), perangsang (afrodisiak), dan
penenang (sedatif). Sedangkan herba seledri
tonik, skomakik, menurunkan tekanan darah
(hipotensif), pembersih darah, memperbaiki
fungsi hormon yang terganggu, mengeluarkan
asam urat yang tinggi (Dalimartha 2000).
Tanaman seledri dapat tumbuh dengan
baik apabila didukung dengan proses
budidaya yang baik pula. Semua kondisi yang
menjadi faktor tumbuhnya akan menentukan
keberhasilan dalam proses budidaya tersebut.
Faktor-faktor tersebut antara lain tanah, iklim,
dan gangguan terhadap hama dan penyakit.
Selain dari faktor -faktor tersebut, perlu
diperhatikan pula cara bercocok tanam yang
tepat. Bercocok tanam seledri meliputi
pengolahan tanah, pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, dan pemungutan hasil (Soewito
1989).

Bagian dari tanaman seledri, seperti herba,
akar, dan biji memiliki beragam kandungan
kimia. Senyawa-senyawa tersebut ada yang
terlibat langsung dalam metabolisme, yaitu
sebagai metabolit primer, bahkan senyawa
metabolit sekunder. Aktivitas bercocok tanam
para petani yang berbeda dapat mempengaruhi
kadar senyawa-senyawa kimia tersebut.
Diosmin merupakan kelompok senyawa
flavonoid yang terdapat pada tanaman seledri
dan memiliki aktifitas sebagai antiinflamasi
(Damon et al 1987, diacu dalam Fitriyeni
2003). Sintesis senyawa flavonoid, seperti
diosmin, memerlukan peranan dari suatu
protein, yaitu enzim, sehingga perbedaan
kadar diosmin pada tanaman seledri akan
mempengaruhi konsentrasi total serta pola
protein dari tanaman tersebut.
Penentuan
pola
protein
dengan
menggunakan metode elektroforesis sudah
banyak digunakan sebagai metode yang
ampuh untuk mengidentifikasi varietas,
kultivar, atau klon dari berbagai jenis tanaman
(Kuhns dan Fretz 1978). Berdasarkan
penelitian sebelumnya bahwa kadar metabolit
sekunder pada tanaman seledri yang ditanam
pada lingkungan yang berbeda serta
lingkungan yang tidak mendukung akan
menghasilkan metabolit sekunder dalam
jumlah berbeda (Nuhidayah, Sya’bana, Iswadi
2005). Dari laporan tersebut, penulis ingin
mengetahui apakah cara bercocok tanam yang
pada dua daerah yang berbeda akan
memberikan pengaruh terhadap kadar diosmin
dan pola protein yang berbeda pula.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
membandingkan kadar diosmin serta pola
protein tanaman seledri pada dua daerah yang
berbeda, yaitu Cipanas dan Ciwidey. Manfaat
dari penelitian ini yaitu memberikan informasi
kepada masyarakat bahwa sayuran yang biasa
digunakan
sehari-hari
berkhasiat
farmakologis.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Seledri
(Apium graveolens L.)
Seledri (Gambar 1) merupakan tanaman
hortikultura yang dapat tumbuh dengan baik
pada dataran tinggi, terutama pada daerah
yang berhawa sejuk. Seledri berasal dari
daerah subtropik Eropa dan Asia, yang
ditemukan pada ketinggian di atas 900 m di
atas permukaaan laut (Dalimartha 2000). Di
Indonesia daerah yang banyak ditanami
seledri antara lain Cipanas, Pangalengan, dan
Bandungan
(Sunarjono
2003).
Seledri

merupakan tanaman biennial, tetapi dapat
dipanen dalam setahun (annual) untuk diambil
bagian vegetatifnya. Siklus hidupnya dapat
diselesaikan setahun apabila tanaman tersebut
selama masa perkembangannya berada pada
temperatur yang rendah. Masa panennya
tergantung dari tipe, kultivar, dan permintaan
pasar, tetapi bervariasi dari 2-3 bulan
(Siemonsma dan Pileuk 1994). Tanaman
seledri juga dapat tumbuh pada dataran
rendah, tetapi batang yang dihasilkan lebih
kecil daripada yang ditanam pada dataran
tinggi (Soewito 1989).
Seledri merupakan keluarga umbelliferae
dan satu keluarga dengan wortel, piterseli,
ketumbar, dan mitsuba, serta termasuk genus
apium dan spesies Apium graveolens L.
(Reginawanti 1999). Berdasarkan bentuk
(habitus) pohonnya, tanaman seledri dapat
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu seledri
daun, seledri potong, dan seledri umbi.
Seledri
daun
(A.
graveolus
L.
Var.secalinum Alef.) Merupakan seledri yang
banyak ditanam di Indonesia. Tumbuh pada
tanah agak kering dan dipanen pada bagian
daunnya
atau
batangnya
saja.
Cara
memanennya dengan langsung mencabutnya.
Seledri potong (A. graveolus L. var. sylvestre
Alef.) tumbuh pada pasir atau kerikil yang
banyak airnya, tetapi
tidak menggenang.
Dipanen bagian batangnya saja dan dengan
cara memotong pada pangkal batangnya.
Seledri umbi (A. graveolus L. var. rapaceum
Alef.) Batang seledri berumbi sehingga
membengkak membentuk umbi. Dipanen
bagian daunnya dan dengan cara memetik
daunnya saja (Sunarjono 2003) .

Gambar 1 Tanaman Seledri (Apium
graveolens L.)

Syarat penting tumbuhnya seledri antara
lain tanahnya banyak mengandung humus

(subur), gembur, mengandung garam dan
mineral, kandungan bahan organik tinggi,
berdrainase baik, tekstur lempung berpasir
atau lempung berdebu, serta kisaran pH 5.56.5 (Reginawanti 1999 dan Sunarjono 2003).
Seledri memerlukan suhu 9-20 ? C untuk
berkecambah dan untuk pertumbuhan
selanjutnya diperlukan suhu antara 15-24? C.
Curah hujan optimum berkisar 60-100
mm/bulan dan kelembapannya berkisar 8090% (Soewito 1989). Jika tanaman
kekurangan natrium akan menjadi kerdil,
kekurangan kalsium menyebabkan kuncup
seledri
menjadi
kering,
dan
apabila
kekurangan unsur boron menyebabkan batang
dan
tangkainya
menjadi
retak -retak
(Sunarjono 2003).
Budidaya Tanaman Seledri
(Apium graveolens L.)
Perhatian yang khusus perlu diberikan
terhadap usaha budidaya tanaman seledri, hal
ini bertujuan agar produk yang dihasilkannya
dapat maksimal. Para petani seledri juga harus
dibekali dengan dasar usaha bertanam seledri
yang meliputi pengolahan tanah, pembibitan,
penanaman, pemeliharaan, dan pemungutan
hasil (Sunarjono 2003).
Tanah merupakan tempat tumbuh bagi
tumbuhan, karena tanah menyediakan unsurunsur hara yang diperlukan bagi tumbuhan
maka tanah memiliki peranan yang penting
bagi keberhasilan pertumbuhan. Dibutuhkan
kondisi tanah tertentu bagi pertumbuhan
tanaman seledri, hal ini tergantung pada jenis
tanaman seledri yang ditanam. Seledri daun
merupakan jenis seledri yang paling bany ak
ditanam di Indonesia. Jenis tanaman ini lebih
suka tumbuh pada tanah yang agak kering,
gembur, dan subur. Lahan tanah sebelum
ditanami oleh bibit seledri, harus diolah
terlebih dahulu. Kegiatan tersebut antara lain
meliputi menggemburkan tanah, membuat
bedengan, memupuk, serta meratakan tanah
(Soewito1989).
Tanaman seledri menyukai tanah yang
lembut (tidak keras), sehingga sebelum
ditanami tanahnya harus digemburkan terlebih
dahulu. Jenis tanaman seledri daun, karena
tidak
menyukai
tanah
yang
basah,
memerlukan bedengan yang berfungsi untuk
mencegah agar tanaman tidak sampai
tergenang oleh air terutama pada musim
hujan. (Soewito 1989).
Tanaman seledri dibudidayakan melalui
bijinya, dengan cara disemai terlebih dahulu
atau ditebar langsung pada lahan tanaman.
Pertumbuhan biji tersebut dapat dipercepat

dengan
membungkus
biji
tersebut
menggunakan kain basah selama 24 jam.
Penyemaian merupakan tempat untuk
menumbuhkan biji seledri hingga menjadi
benih dan kemudian ditanam pada lahan.
Benih seledri dipindahkan ke lahan kurang
lebih mencapai umur satu bulan (berdaun 3-5
helai) (Sunarjono 2003). Biji seledri dapat
langsung ditabur pada lahan tanah, selain
disemai, teta[i harus dibuat alur terlebih
dahulu supaya dapat tumbuh teratur.
Penebaran biji secara langsung rentan
menimbulkan resiko daripada penyemaian.
Resiko tersebut antara lain biji dapat hanyut
apabila tersiram air hujan dan biji akan
kekeringan apabila ditanam pada musim
kemarau sehingga untuk melindungi biji dari
resiko tersebut maka harus ditutup dengan
jerami atau alang-alang (Soewito 1989).
Biji seledri yang tumbuh kemudian
memerlukan upaya pemeliharaan sebaiksebaiknya agar diperoleh hasil yang
maksimal. Upaya-upaya tersebut meliputi
penyiraman,
penyulaman,
penjarangan,
pendangiran, pemupukan, serta pembasmian
hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan
sejak biji disemai atau ditabur sampai
tanaman akan dipetik hasilnya karena tanaman
seledri yang kekurangan air akan tumbuh
kerdil, namun apabila curah hujan tinggi maka
penyiraman
tidak
perlu
dilakukan.
Penyulaman dilakukan pada tanaman seledri
yang berasal dari biji yang disemai dengan
cara mencabut tanaman yang mati dan layu
untuk diganti dengan bibit yang baru. Pada
biji yang langsung ditabur pada lahan tanah
tumbuhnya akan rapat sekali, untuk
mengurangi banyaknya tanaman yang mati
dan layu karena bersaing untuk memperoleh
nutrisi maka dilakukan penjarangan. Ruang
lahan antara tanaman seledri yang ditanam,
baik dengan penyemaian maupun ditabur
langsung pada lahan, akan ditumbuhi oleh
rumput-rumput liar yang dapat mengganggu
keberhasilan
produk
tanaman
seledri.
Rumput-rumput liar yang tumbuh harus
dibersihkan untuk mengurangi resiko tersebut
melalui
upaya
pemeliharaan,
yaitu
pendangiran. Selain untuk tujuan tersebut,
pendangiran
juga
berfungsi
untuk
menggemburkan tanah disekitar tanaman.
Tumbuhan juga membutuhkan unsur hara
sebagai asupan makanan untuk hidup,
tumbuh, dan berkembang. Unsur hara yang
terkandung di dalam tanah sehingga tidak
mencukupi atau bahkan tidak ada maka
kekurangannya dapat diperoleh melalui pupuk
(Marsono & Sigit 2004). Menurut Novizan

(2002), pupuk didefinisikan sebagai material
yang ditambahkan ke dalam tanah atau tajuk
tanaman dengan tujuan untuk melengkapi
unsur hara. Tanaman seledri, secara
aplikasinya,
menggunakan jenis pupuk
organik dan anorganik. Pupuk organik yang
digunakan adalah pupuk kandang dan
kompos, sedangkan pupuk anorganik yang
digunakan antara lain urea, SP-36, KCl, ZA,
NPK (Novizan 2002 dan Marsono & Sigit
2004).
Kegagalan dalam bercocok tanam seledri
disebabkan karena adanya serangan hama atau
penyakit. Hama yang menyerang tanaman ini
biasanya sejenis ulat daun (Agrotis ypsilon
Hufn.), kutu-kutu daun (Aphis spp.),
tungau/mites (Tetranychus spp.), dan cacing
nematoda. Penyakit yang biasa menyerang
tanaman seledri adalah cacar coklat kuning
(Cercospora apii), cacar hitam (Septoria apii),
virus aster yellow, dan nematoda akar
(Belonalaimus gracilis, Heterodera schactii,
Bacillus gracilis ) (Reginawanti 1999).
Kegiatan terakhir yang dilakukan dalam
usaha bercocok tanam adalah pemetikan hasil.
Tanaman seledri dapat dipanen pada saat 2-3
bulan dari saat penyebaran biji. Cara
pemetikan hasil dilakukan tergantung dari
jenis seledri yang ditanam. Pemetikan hasil
dengan cara mencabut tanamannya dilakukan
pada jenis seledri daun. Jenis seledri batang,
dilakukan
dengan
memotong
pangkal
batangnya, sedangkan jenis seledri umbi
dengan cara memetik daun-daunnya saja
(Soewito 1989 dan Sunarjono 2003).
Hasil tanaman seledri yang maksimal
dihasilkan tidak hanya memperhatikan cara
budidaya saja, tetapi juga harus memenuhi
kebutuhan nutrisi yang cukup bagi proses
pertumbuhan.
Tumbuhan
memerlukan
elemen-elemen nutrisi yang esensial untuk
dapat melengkapi pertumbuhan vegetatif,
untuk fungsi spesifik biokimia, dan
pembentukan
metabolit
yang
esensial.
Elemen-elemen esensial yang didasarkan pada
jumlah kebutuhan tanaman dibagi dalam tiga
kelas, yaitu Unsur hara primer (mayor) terdiri
atas N, P, dan K, diperlukan dalam jumlah
yang relatif besar dan diberikan ke tanah
secara beraturan melalui pemupukan. Unsur
hara sekunder memiliki jumlah yang relatif
banyak terdapat di dalam tanah dan tanaman,
seperti Ca, Mg, dan S, sedangkan unsur hara
mikro memiliki jumlah yang sedikit, baik di
dalam tanah maupun tanaman, seperti Fe, B,
Mn, Zn, Cu, dan Mo (Agustina 2004).
Penyerapan unsur hara yang dilakukan
oleh akar dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu suplai dari fase padat, pH tanah, dan
suplai air (Blair 1979).
Perbedaan lokasi budidaya tanaman seledri
menyebabkan cara budidaya, kondisi tanah,
ketinggian tempat, suhu, dan curah hujan yang
berbeda sehingga kandungan senyawa yang
dikandungnya
juga
berbeda,
termasuk
senyawa metabolit sekunder.
Khasiat Tanaman Seledri
Hampir semua bagian dari tanaman seledri
memiliki khasiat sebagai obat. Menurut
Dalimartha (2000), akar seledri berkhasiat
stomakik dan diuretik, sedangkan buah dan
bijinya berkhasiat sebagai antispasmodik,
menurunkan kadar asam urat darah,
antirematik, diuretik, karminatif, afrosidisiak,
dan sedatif. Herba seledri yang memiliki rasa
manis, berbau aromatik, sedikit pedas, dan
sifatnya sejuk, berkhasiat sebagai tonik,
stomakik, hipotensif, penghenti pendarahan
(hemostatis),
diuretik,
peluruh
haid,
karminatif, mengeluarkan asam urat darah
yang tinggi, pembersih darah, memperbaiki
fungsi hormon yang terganggu. Nasution
(1995) telah melakukan uji farmakologis
antiinflamasi tanaman seledri terhadap tikus
dan menyatakan bahwa tanaman seledri juga
dapat digunakan sebagai antiinflamsi. Hal
senada juga dibuktikan oleh Sya’bana (2005),
Nuhidayah (2005), dan Martaningtyas (2005)
yang menyatakan bahwa seledri berkhasiat
sebagai antiinflamasi dan senyawa yang
berperan
sebagai
antiinflamasi
adalah
diosmin.
Kandungan Senyawa Kimia
Tanaman Seledri
Kandungan herba seledri tiap 100 g berisi
93 ml air, 0.9 g protein, 0.1 g lemak, 4 g
karbohidrat, 0.9 g serat, 1.7 g abu, 130 IU
vitamin A, 0.08 mg vitamin B1, 0.12 mg
vitamin B2, 0,6 mg niacin, 15 mg vitamin C,
50 mg Ca, 40 mg P, 1 mg Fe, 151 mg Na, 85 g
Mg, dan 400 mg K. Nilai energinya adalah
113 kJ/100 g (Dalimartha 2000). Seledri juga
mengandung glukosida apiin, flavonoid,
saponin, tanin, apigenin, minyak atsiri, kolin,
lipase, asparaginase, tirosin, glutamin, serta
diosmin (Siesonsma 1994, Sya’bana 2005,
Nurhidayah 2005, dan Martaningtyas 2005).
Berdasarkan penelitian Martaningtyas (2005),
seledri kering menghasilkan kadar diosmin
sebesar 54.50 % atau 5711.64 ppm, sedangkan
menurut Nurhidayah (2005), tanaman seledri
pada umur 10 minggu dengan penambahan
NaCl 4000 ppm menghasilkan kadar diosmin
sebesar 2.12. 10-3 % atau 423.38 ppm.

Diosmin
Tanaman menghasilkan metabolit yang
berasal dari proses metabolisme primer dan
metabolisme sekunder selama pertumbuhan.
Hasil metabolisme primer adalah senyawa
kimia yang digunakan untuk pertumbuhan
seperti karbohidrat, protein, lemak, sitokrom
dan klorofil. Senyawa-senyawa tersebut
berada dalam jumlah besar pada tanaman.
Senyawa kimia yang termasuk metabolit
sekunder antara lain kelompok senyawa
alkaloid, terpenoid, dan flavonoid. Metabolit
tersebut tidak digunakan bagi pertumbuhan
tanaman, misalnya flavonoid, tetapi berperan
sebagai pertahanan terhadap mikroorganisme
patogen dan juga terhadap herbivora maupun
omnivora, selain itu sebagai pelindung dari
efek sinar ultraviolet yang merusak (Heldt
1997 dan Salisbury & Ross 1995). Peranannya
tersebut menyebabkan metabolit sekunder
banyak dihasilkan di tanaman saat kondisi
lingkungan pertumbuhannya tidak optimal
atau pada saat ada ancaman yang mengancam
pertumbuhannya.
Diosmin termasuk kelompok senyawa
flavonoid dan secara kimia didefinisikan
sebagai
senyawa
5,7,3’ -trihidroksi4’metoksiflavon-7-rutinosida (El-shafae & ElDomiaty 2001). Lonchampt et al (1989 dalam
Fitriyeni 2003) membuktikan bahwa tablet
Daflon (S-5682 ) yang mengandung 90%
diosmin memiliki aktifitas antiinflamasi pada
konsentrasi 2.10-8 mol/L dan 2.10-4 mol/L.
Hasil ini membuktikan bahwa tablet tersebut
memiliki aktivitas farmakologis terhadap
hipermeabilitas membran, selain itu juga
memiliki
aktivitas
antiinflamasi
dan
antideomatus. Hal senada juga dibuktikan
melalui penelitian Damon et al (1987 dalam
Fitriyeni 2003) bahwa tablet Daflon 500 mg
memiliki aktivitas antiinflamasi pada granula
tikus
melalui
penghambatan
sintesis
prostaglandin E2 (78,5%), prostaglandin F2
alfa (45,2%), dan tromboksan B2 (59%).

Gambar 2 Struktur Kimia Diosmin

Analisis Diosmin dengan
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Ekstraksi diosmin dilakukan dengan cara
refluks menggunakan pelarut 10% DMSO
dalam metanol, hal ini berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya oleh ElShafae dan El-Domiaty (2001) serta Fitriyeni
(2003).
Dimetil
Sulfoksida
(DMSO)
merupakan pelarut yang bersifat polar
(www.chemicalland21.com),
sehingga
diharapkan hanya senyawa yang bersifat polar
yang terekstrak dalam pelarut. Salah satunya
adalah flavonoid (Harborne 1987) dan
diosmin merupakan salah satu senyawa
flavonoid. (Martaningtyas 2005). DMSO juga
merupakan pelarut yang biasa digunakan
dalam ekstraksi terapetik (obat-obatan alam)
sejak tahun 1963 (Jacob 2000).
Kromatografi
Cair
Kinerja
Tinggi
digunakan untuk mikroanalisis kuantitatif dan
memiliki kepekaan yang tinggi terhadap
analisis komponen flavonoid dalam campuran.
Hal ini disebabkan kolom terbuat dari bahan
kemasan dengan partikel berukuran kecil
sehingga untuk mendapatkan laju alir yang
memadai digunakan tekanan yang tinggi,
sehingga metode ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi dan mengetahui kadar
diosmin secara kuantitatif. Namun sebagai
analisis pendahuluan dilakukan Kromatografi
Lapis
Tipis
(KLT)
yaitu
untuk
mengidentifikasi secara kualitatif apakah pada
ekstrak seledri mengandung diosmin atau
tidak. KLT bertujuan membandingkan hasil
sampel ekstrak seledri dengan standar diosmin
dan pengukurannya berdasarkan perbandingan
nilai Rf (Gritter et al 1991). (Hamilton dan
Swel 1982). Analisis KCKT pada penelitian
ini menggunakan metode fase terbalik, yaitu
fase gerak yang digunakan bersifat polar
(metanol) dan fase stasioner bersifat non
polar. Keunggulan metode ini antara lain
pengoperasian yang mudah, mempunyai
efisiensi tinggi, stabilitas kolom, dan
kemampuan untuk menganalisis secara
simultan dengan spektrum yang luas
(Krstulovic & Brown 1982).
Protein Tanaman Seledri
Tumbuhan mengandung ribuan protein
yang beraneka ragam dengan berbagai macam
fungsi. Fungsi protein pada tumbuhan antara
lain katalisator, struktural, transpor,
dan
penyimpanan. Protein terdiri dari satu atau
lebih rantai polipeptida yang masing-masing
terdiri atas ratusan asam amino. Komposisi
dan bobot molekul protein tergantung pada

jenis dan jumlah subunit asam amino
(Salisbury dan Ross 1995).
Penelitian yang dilakukan oleh Noiraud,
Maurousset,
dan
Lemoine
(2001),
menunjukkan bahwa floem pada tanaman
seledri memiliki gen yang mengekspresikan
transporter manitol, AgMaT1, dengan bobot
molekul 56 kDa, selain itu penelitian yang
dilakukan oleh Dinant et al (2003)
menunjukkan bahwa floem pada tanaman
seledri juga terdapat dua jenis gen yang
mengekspresikan protein floem 2 (PP2), yaitu
AgPP2-1 dan AgPP2-1 dengan masingmasing bobot molekul 19.8 dan 19.7 kDa.
Analisis Pola Protein dengan
Elektroforesis Gel Poliakrilamid SDS
(SDS PAGE)
Biosintesis senyawa metabolit sekunder,
dalam hal ini diosmin yang termasuk ke dalam
flavonoid, melibatkan protein, yaitu enzim,
dan suatu prekursor melalui serangkaian jalur
reaksi yang dikontrol secara ketat terutama
untuk enzim kuncinya. Untuk mengetahui
enzim yang dapat mensintesis senyawa
diosmin, terlebih dahulu harus diketahui bobot
molekul dari protein yang terdapat pada
sampel ekstrak seledri, sehingga analisis pola
protein merupakan langkah awal yang perlu
dilakukan. Kedua daerah yang dianalisis
kemungkinan memiliki kandungan senyawa
diosmin yang berbeda, sehingga pola protein
yang diperoleh kemungkinan juga akan
berbeda. Salah satu teknis yang digunakan
untuk melihat pola protein dan menentukan
bobot molekulnya menggunakan SDS PAGE.
Prinsip dari elektroforesis adalah pergerakan
suatu molekul bermuatan di dalam medan
listrik (Stryer 1995). Pada elektroforesis gel
poliakrilamid pergerakan protein, merupakan
respon terhadap medan listrik, terjadi melalui
pori di dalam matriks gel yang ukuran porinya
dipengaruhi oleh konsentrasi akrilamid.
Elektoforesis, sesuai dengan prinsip tersebut,
dapat digunakan untuk memisahkan campuran
kompleks protein, memeriksa komposisi
subunit, mengetahui keseragaman pada
sampel protein, serta untuk memurnikan
protein yang akan dianalisis. Laju pergerakan
protein ditentukan oleh kombinasi antara
ukuran pori gel dan muatan, ukuran, serta
bentuk protein (Coligan et al 1995).
Perubahan arus listrik yang terjadi akibat
perbedaan
suhu
yang
kecil
akan
mempengaruhi proses pemisahan molekul
pada saat elektroforesis, maka dari itu
pemisahan secara elektroforesis hampir selalu
dilakukan dalam gel karena gel dapat

mengurangi perubahan arus listrik yang terjadi
sehingga pemisahan menjadi lebih efektif.
Selain itu, gel juga bertindak sebagai saringan
yang dapat meningkatkan daya pisah (Stryer
1995). Gel terbentuk melalui pencampuran
larutan akrilamid dengan amonium persulfat
dan TEMED (N, N, N’, N’-tetrametil
etilendiamin),
sehingga
mengakibatkan
monomer akrilamid mengalami polimerisasi.
Penambahan
senyawa
N,N’metilen
bisakrilamid dalam proses polimerisasi
membentuk penyilangan antar rantai panjang
sehingga akan membentuk gel dengan tingkat
porositas yang ditentukan oleh panjang rantai
dan derajat penyilangan antar rantai (Muladno
2002). Sodium Dedosil Sulfat (SDS)
merupakan deterjen anionik yang dapat
bereaksi dengan bagian hidrofobik protein
sehingga membentuk kompleks bermuatan
negatif, akibatnya pada daerah yang
bermuatan listrik protein akan bergerak ke
muatan positif (Styer 1995 dan Waterborg dan
Matthews 1984).
Tahapan
kerja
elektroforesis
gel
poliakrilamid SDS secara singkat adalah (1)
Preparasi sampel menggunakan zat warna, (2)
Persiapan stacking dan running gel (3)
Memasukkan sampel ke dalam sumur gel, (4)
Running SDS PAGE, (5) Visualisasi
menggunakan coomasie blue, (6) Pencucian
(Mamajis molecular kicthen 2000).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
DMSO, standar diosmin, N-butanol, asam
asetat, akrilamid, N’, N’-bismetilen akrilamid,
Tris-HCl 0.1 M, EDTA 1mM, merkaptoetanol
5mM, akuades, Tris base, 10% w/v amonium
persulfat, TEMED, glisin, SDS, gliserol,
0.05% bromfenol biru, metanol (MeOH),
asam asetat glasial, coomasie biru R 250,
Na2CO 3, CuSO 4 1.5%, HCl pekat, pereaksi
Folin Ciocalteus, 2.5 M sukrosa, PVP, 2
mg/ml Bovine Serum Albumin, nitrogen cair,
aseton, daun seledri yang berasal dari daerah
Cipanas dan Ciwidey dan berumur 4, 6, dan 8
minggu.
Alat-alat yang digunakan ialah KCKT,
lempeng silika gel GF254, lampu UV,
spektrofotometer, pH meter, autoklaf,
pengaduk
magnet,
oven,
alat -alat
elektroforesis, erlenmeyer, labu takar,
autopipet, neraca analitik, pipet tetes,
sentrifus, serta alat-alat gelas lainnya.

Metode
Uji Pendahuluan
Penetuan Kadar Air
Botol timbang dicuci lalu dikeringkan
dalam oven pada suhu 105?C selama 30 menit
kemudian didinginkan dalam eksikator dan
ditimbang. Sebanyak ± 2 gram sampel
ditimbang dan dimasukkan ke dalam botol
timbang dan dikeringkan dalam oven pada
suhu 105?C sampai diperoleh bobot tetap
(Martaningtyas 2005). Setelah didinginkan
dalam eksikator ditimbang dengan neraca
analitik, pekerjaan tersebut diulang tiga kali.
Persamaan untuk menghitung kadar air :
Kadar air = (a-b)/a x 100%
a : Bobot bahan sebelum dikeringkan
b : Bobot setelah dikeringkan
Penentuan Kadar Abu
Cawan
porselin
dicuci
kemudian
dikeringkan dalam tanur pada suhu 600 ?C
selama 30 menit lalu didinginkan dalam
ekstikator dan ditimbang. Sampel sebanyak ±
2 gram ditimbang lalu dimasukkan ke dalam
cawan dan dipanaskan dalam tanur pada suhu
600?C sampai sampel menjadi abu (± 60
menit). Setelah itu didinginkan dalam
eksikator dan ditimbang dengan analitik,
pekerjaan tersebut diulang sebanyak tiga kali.
Persamaan untuk menghitung kadar abu :
Kadar abu = a/b x 100%
a : Bobot abu sampel
b : Bobot sampel
Analisis Tanah
Sampel tanah yang diambil sebanyak ± 10
gram dari daerah Cipanas dan Ciwidey
kemdian analisis dilakukan di laboraturium
tanah Fakultas Pertanian IPB Darmaga.
Analisis ini betujuan untuk mengetahui
kandungan hara makro (C, N, P, K), hara
mikro (Ca, Mg, Na), dan pH tanah secara
kuantitatif.
Penentuan Bobot Basah
Seluruh bagian tanaman seledri (daun,
batang,
dan
akar)
segar
ditimbang
menggunakan neraca kasar.
Ekstraksi Protein dari Tanaman Seledri
Metode ekstraksi protein yang digunakan
menurut Kuhns dan Fertz (1978) adalah
sebanyak 6 gram daun seledri yang telah
dicuci bersih dan diberi nitrogen cair,
kemudian digerus dengan mortar. Setelah

digerus, daun tersebut dihomogenkan dalam
20 ml bufer ekstraksi (lampiran 2), lalu
disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm
selama 15 menit. Supernatan dipisahkan
sebagai contoh yang akan dianalisis.
Penentuan Konsentrasi Protein Total Hasil
Ekstraksi dengan Metode Lowry
Pembuatan Larutan Standar
Campuran larutan standar terdiri atas
Bovine Serum Albumin (BSA) dengan
konsentrasi 0, 20, 40, 60, 80, dan 100,
kemudian ditambahkan dengan akuades dan
pereaksi C yang dikocok serta didiamkan
selama 10 menit, kemudian ditambahkan
pereaksi D. Campuran tersebut dikocok dan
didiamkan selama 30 menit, lalu diukur
absorbansinya dengan panjang gelombang
742 nm. Selanjutnya, dibuat kurva standar
hubungan antara absorban dan konsentrasi
protein. Bahan -bahan pereaksi untuk metode
Lowry dapat dilihat pada lampiran 3
(Watterborg & Matthews 1984).
Pengukuran Konsentrasi Protein
Sebanyak 1 ml sampel dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, kemudian ke dalam
masing-masing tabung dimasukkan pereaksi C
sebanyak 5 ml, lalu dikocok dan didiamkan
selama 10 menit. Selanjutnya, pereaksi D
ditambahkan sebanyak 0,5 ml pada masingmasing tabung, lalu dikocok dan didiamkan
selama 30 menit. Absorbansi dengan panjang
gelombang 742 nm dan konsentrasi protein
diukur berdasarkan kurva standar (Watterborg
& Matthews 1984).
Analisis Diosmin Tanaman Seledri
Ekstraksi Diosmin dari Tanaman Seledri
Metode ini menggunakan metode El-Shafae
dan El-Domiaty (2001). Sebanyak 10 g seledri
segar direfluks dengan 50 ml DMSO 10%
dalam metanol selama 30 menit dan dilakukan
3x. Kemudian ekstrak disaring, dikumpulkan,
dipekatkan dengan rotavapor, dihitung besar
rendemen, dan ditepatkan volumenya menjadi
100 ml dengan metanol. Larutan ini
digunakan dalam preparasi larutan standar
diosmin yang akan diinjeksikan ke dalam
kolom KCKT. Sistem KCKT yang digunakan
adalah sistem fase terbalik, dengan fase mobil
bersifat polar dan fase stasioner bersifat
nonpolar. Fase mobil yang digunakan adalah
metanol (MeOH) 50% sedangkan fase
stationer yang digunakan adalah kolom
LiChrosorb RP-18 (Fitriyeni 2003).

Rendemen =
Bobot sampel setelah perlakuan x 100 %
Bobot sampel sebelum perlakuan

Preparasi Larutan Stok Standar
Larutan stok standar diosmin dibuat
dengan menimbang sebanyak 0.025 g standar
diosmin kemudian dilarutkan di dalam DMSO
10% hingga volume 50 ml. Konsentrasi
larutan stok standar yang diperoleh adalah 500
ppm (Fitriyeni 2003).
Preparasi Larutan Standar
Larutan
standar
dibuat
dengan
mengencerkan larutan stok standar sehingga
diperoleh konsentrasi untuk kurva standar 10,
25, 50, 75, dan 100 ppm. Pelarut yang
digunakan untuk pengenceran adalah MeOH
50% (Fitriyeni 2003)
Preparasi Sampel
Ekstrak sampel yang telah dipekatkan
dengan rotavapor ditera menjadi 100 ml
dengan metanol, kemudian diambil 1 ml dan
diencerkan dengan MeOH sehingga mencapai
volume 10 ml (Fitriyeni 2003).

Identifikasi Diosmin dengan KLT
Ekstrak sampel ditotolkan pada lempeng
silika gel GF245 sebagai fase diam dan sebagai
fase gerak digunakan fase at as dari N -butanol
: asam asetat : akuades (4 : 5 : 1)

Pengukuran Kadar Diosmin dengan
KCKT
Sebanyak 10 µl larutan standar atau sampel
diinjeksikan ke dalam kolom KCKT dengan
fase stationer kolom LiChrosorb RP-18 dan
dielusi dengan menggunakan fase mobil yaitu
metanol
50%.
Deteksi
dilakukan
menggunakan detektor UV pada panjang
gelombang 345 nm (Fitriyeni 2003).
Perhitungan Konsentrasi Diosmin
Konsentrasi diosmin pada sampel dihitung
menggunakan
kurva
standar
yang
menunjukkan hubungan antara konsentrasi
standar diosmin dan luas area.
Analisis Pola Protein dengan SDS PAGE
Elektroforesis
protein
dilakukan
berdasarkan metode Laemmli (dalam Coligan
et al 1995). Gel poliakrilamid dicetak di
antara dua buah lempengan kaca. Larutan gel

pisah 10% (lampiran 5) yang telah disiapkan
dimasukkan ke dalam cetakan gel dengan
menggunakan mikro pipet sampai batas
tertentu, kemudian ditambahkan dengan
akuades sampai penuh agar permukaan gel
rata. Setelah gel mengering, akuades dibuang
dan sisa air pada cetakan gel diserap dengan
kertas saring. Kemudian larutan gel tumpuk
(lampiran 5) yang telah dibuat dimasukkan ke
dalam cetakan dan dipermukaan gel dipasang
sisir berlubang lalu didiamkan sampai
mengeras. Setelah gel mengeras, cetakan gel
dipindahkan ke perangkat elektroforesis.
Preparasi sampel dilakukan dengan
memasukkan sampel yang telah disiapkan ke
dalam tabung kemudian ditambahkan bufer
sampel dengan perbandingan 1 :1 dan
dipanaskan pada suhu 100? C selama 5 menit.
Sampel dimasukkan ke dalam sumur yang
telah dicetak pada gel poliakrilamid sebanyak
15 µl, kemudian alat elektroforesis diberi
tegangan 200 volt sampai pewarna mencapai
ujung gel.
Visualisasi gel menggunakan coomasie
biru dilakukan setelah gel dilepaskan dari
cetakan, kemudian direndam di dalam larutan
pewarna coomasie biru selama semalam dan
digoyangkan dengan alat penggoyang.
Selanjutnya, gel dicuci sebanyak dua kali
dengan menggunakan larutan dekolorisasi
masing-masing selama 15 menit. Setelah pita
terlihat, gel dicuci dengan akuades.
Identifikasi dan analisis Pola SDS PAGE
membandingkan antara pita protein yang telah
dipisahkan sebelumnya dengan protein
standar. Bobot molekul dari masing-masing
protein ditentukan dengan cara menghitung
nilai Rf dari masing-masing pita protein yang
nampak, kemudian dibuat kurva standar
hubungan antara log BM dengan Rf dari
protein standar sehingga nilai BM protein
dapat dihitung.
Rf = jarak pergerakan pita protein dari
tempat awal (cm)
jarak pergerakan pewarna protein
standar dari tempat awal (cm)

B 2 = 8 minggu
Masing-masing masa tanam dilakukan
pengulangan sebanyak tiga kali.
Model umum dari rancangan tersebut
adalah (Mattjik & Sumertajaya 2002):
Yi j k = µ + a i + ßj + (aß)ij + eijk
i = 1,2 ; j = 1,2,3 ; k = 1,2,3
dengan :
Yijk : pengaruh diosmin pada lokasi taraf ke-i
dalam waktu ke-j dan ulangan ke-k
µ
: rataan umum
a i : pengaruh tambahan yang timbul pada
kadar diosmin akibat lokasi ke-k
ßj
: pengaruh tambahan yang timbul pada
kadar diosmin akibat waktu ke-j
(aß)ij : interaksi antara faktor lokasi taraf ke
dan waktu ke-j

Analisis Statistik
Percobaan disusun dengan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok dua faktor.
Faktor yang pertama (A) merupakan daerah
budidaya yang terdiri atas dua taraf, yaitu
A0 = daerah Cipanas
A1 = daerah Ciwidey
Faktor yang kedua (B) merupakan masa
tanam yang terdiri atas tiga taraf, yaitu
B0 = 4 minggu
B1 = 6 minggu

Bobot Basah
Hasil analisis statistik bobot basah
menunjukkan bahw a tanaman seledri pada
kedua daerah budidaya dan perbedaan masa
tanam menunjukkan hasil yang berbeda nyata
dengan nilai p= 0.0001. Tanaman seledri yang
ditanam pada daerah Ciwidey menghasilkan
bobot basah lebih tinggi daripada daerah
Cipanas. Bobot basah tanaman seledri daerah
Ciwidey dengan masa tanam 4, 6, dan 8
minggu berturut -turut adalah 56.52, 134.44,

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Tanah
Analisis tanah menunjukkan bahwa pH
tanah yang berasal dari Cipanas dan Ciwidey
sebesar 5.11. dan 4.92. Kondisi tersebut
kurang optimum bagi pertumbuhan seledri
karena pH tanah yang optimum sebesar 5.56.5 (Reginawanti 1999 dan Sunarjono 2003).
Walaupun dapat tumbuh pada kondisi tanah
Cipanas dan Ciwidey, tetapi kualitas dan
kuantitas tanaman yang dihasilkan tidak
maksimum. Hasil yang maksimum dapat
diperoleh melalui usaha lebih, seperti
pemupukan unsur hara (N, P, K) serta
pengapuran. Usaha ini bertujuan untuk
melengkapi unsur hara dalam jumlah rendah.
Berdasarkan klasifikasi dari Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (lampiran 8),
kadar C organik pada tanah yang berasal dari
Cipanas adalah tinggi, sedangkan kadar N
total, K, dan Na sedang. Kadar Ca dan Mg
rendah. Pada tanah yang berasal dari Ciwidey,
kadar C organik sedang, sedangkan kadar N,
Ca, Mg, K, dan Na rendah. Kadar P dan
kejenuhan basa (KB) pada kedua jenis tanah
sangat rendah (Lampiran 7).

tanaman seledri dengan masa tanam 6 minggu
yaitu daerah Cipanas, sebesar 85.31 %.
Apabila dihubungkan dengan bobot basah,
tanaman seledri daerah Ciwidey memiliki
bobot basah yang lebih tinggi daripada daerah
Cipanas, sehingga mungkin bagian terbesar
dari bobot basah tanaman seledri daerah
Ciwidey adalah air. Tanaman seledri yang
ditanam pada daerah Cipanas dan Ciwidey
dengan masa tanam 4, 6, dan 8 miggu
memiliki kadar air di atas 80 %.
Penentuan
kadar air bertujuan untuk mengetahui
ketahanan terhadap penyimpanan suatu
bahan, karena adanya kandungan air dalam
suatu bahan merupakan tempat tumbuhnya
bakteri dan organisme pengurai lainnya
(Martaningtyas 2005).
Hasil analisis statistik kadar abu
menunjukkan hasil tidak berbeda nyata
dengan nilai p= 0.3415. Hasil kadar abu pada
daerah Ciwidey lebih tinggi daripada daerah
Cipanas (Gambar 5), nilainya berturut-turut
1.87 %, 1.55 %, dan 1.65 % menunjukkan
bahwa tanaman seledri yang ditanam pada
daerah Ciwidey memiliki kandungan mineral
yang lebih tinggi daripada daerah Cipanas.
85,5
kadar air (%)

dan 265.39 gram, sedangkan pada daerah
Cipanas berturut-turut sebesar 50.25, 97.64,
168.56 gram (Gambar 3). Penambahan masa
tanam pada kedua daerah meningkatkan bobot
basah tanaman seledri.
Penelitian yang dilakukan oleh Hermawan
(2005), menunjukkan bahwa perlakuan
dengan
pemberian
pupuk
nitrogen
berpengaruh nyata terhadap bobot basah
tanaman seledri. Nitrogen dibutuhkan dalam
jumlah relatif besar pada setiap tahap
pertumbuhan tanaman, terutama pertumbuhan
vegetatif (perbanyakan melalui pembentukan
tunas baru), sehingga pemberian kadar pupuk
yang berbeda pada kedua daerah akan
mempengaruhi biomassa tanaman seledri
yang dihasilkan. Kebutuhan terhadap nutrisi,
terutama nitrogen, pada tanaman seledri dapat
dipenuhi melalui pemberian pupuk NPK dan
urea. Kedua jenis pupuk tersebut umum
digunakan para petani pada budidaya tanaman
seledri. Petani di daerah Ciwidey memberikan
pupuk urea dan NPK masing-masing
sebanyak 8 kg/400 m2, sedangkan petani di
daerah Cipanas hanya memberikan pupuk
urea sebanyak 5 kg/400 m2. Suplai nitrogen
yang cukup ditunjukkan melalui aktivitas
fotosintesis yang tinggi, pertumbuhan
vegetatif yang baik, dan warna daun yang
hijau tua (Tisdale et al 1985).

Bobot basah (gram)

300

85
Seledri Cipanas

84,5

Seledri Ciwidey

84
83,5
4 minggu

250
200

6 minggu

8 minggu

masa tanam

150
100

Seledri Cipanas

50

Seledri Ciwidey

0
4

6

8

Gambar 4 Kadar air tanaman seledri daerah
Cipanas dan Ciwidey dengan masa
tanam 4, 6, dan 8 minggu

Masa tanam (minggu)

Kadar Air dan Kadar Abu
Budidaya tanaman seledri pada daerah
Cipanas dan Ciwidey dengan menggunakan
perlakuan masa tanam (4, 6,