Pengemasan Atmosfer Termodifikasi Seledri (Apium graveolens L.).

(1)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seledri (Apium graveolens L.) adalah tanaman sayuran yang berasal dari benua Amerika. Seledri yang banyak ditanam di Indonesia adalah seledri daun. Tanaman seledri tumbuh baik di dataran tinggi yang bersuhu rendah. Tanaman seledri di Indonesia banyak dijumpai di daerah Cipanas, Lembang (Jawa Barat), Brastagi, Kabanjahe (Sumatera Utara) sebagai usaha tani rakyat setempat (Soewito, 1991). Seledri merupakan salah satu jenis sayuran yang potensial untuk dikembangkan. Menurut Ashari (1995), penggunaan utama seledri adalah sebagai bumbu masak atau pelengkap makanan. Hal ini dikarenakan seledri memiliki aroma yang khas. Selain itu, seledri juga mengandung vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C.

Seledri adalah jenis sayuran yang mudah rusak. Kerusakan seledri dapat terjadi secara fisik, mekanis, fisiologis maupun mikrobiologis. Penurunan kualitas yang terjadi pada seledri terjadi karena setelah dipanen seledri masih melakukan respirasi aerob yang menghasilkan energi. Umur simpan seledri relatif singkat yaitu berkisar 2 – 3 hari pada penyimpanan suhu ruang.

Pengemasan dan penyimpanan yang tepat diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan dapat menghambat laju kerusakan. Salah satu teknik pengemasan adalah pengemasan dengan atmosfer termodifikasi. Fungsi dari pengemasan dengan sistem atmosfer termodifikasi adalah menghambat respirasi. Pengemasan atmosfer termodifikasi pasif dapat dilakukan dengan mengemas seledri di dalam kantong plastik yang berlubang atau dengan cara vakum. Penyimpanan pada suhu rendah juga dapat membantu menghambat laju respirasi seledri. Penggunaan jenis plastik tepat dapat membantu mengatur sirkulasi O2, CO2 dan uap air dengan lebih baik dan menyebabkan terhambatnya penurunan mutu. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi disertai dengan penyimpanan pada suhu rendah dan penggunaan plastik yang tepat terhadap beberapa jenis buah-buahan dan sayur-sayuran dapat memperpanjang umur simpan.


(2)

B. TUJUAN PENELITIAN

1. Memperoleh data perubahan mutu seledri pada kondisi atmosfer termodifikasi, jenis plastik dan suhu yang berbeda selama penyimpanan dalam jangka waktu tertentu.

2. Menentukan suhu optimum penyimpanan seledri. 3. Mendapatkan kondisi pengemasan seledri yang terbaik.


(3)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SELEDRI

Seledri adalah tanaman sayuran yang batangnya pendek, daunnya berlekuk dan bertangkai daun panjang. Seledri merupakan tanaman yang mempunyai daun majemuk menyirip, ganjil, pangkal daun runcing dan tepinya beringgit. Tanaman ini tingginya ± 15 cm dengan lebar daun 2 – 3 cm dan panjang tangkai daun 2 cm (Soewito, 1991).

Seledri merupakan tanaman dataran tinggi yang tumbuh pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Pada dataran rendah seledri juga dapat tumbuh, namun ukuran batangnya lebih kecil dibandingkan dengan yang ditanam di dataran tinggi. Tanah yang sesuai untuk pertumbuhan seledri adalah tanah yang mengandung humus tinggi, tanah lempung berpasir atau lempung berdebu, kisaran pH tanah antara 5,6 - 6,7 (Ashari, 1995).

Gambar 1. Ilustrasi Seledri (www.wikipedia.com)

Menurut Soewito (1991), seledri termasuk dalam famili Umbeliflorae. Menurut jenisnya, tanaman ini dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

1. Seledri daun (Apium graveolens L. Var Scalinum Alef)

Jenis ini tumbuh di tanah yang agak kering dan yang digunakan adalah daunnya. Cara yang digunakan untuk memanennya adalah dengan dicabut.


(4)

Gambar 2. Seledri Daun (www.wikipedia.com)

2. Seledri potong (Apium graveolens L. Var. Sylvestre Alef)

Seledri jenis ini lebih suka tumbuh di tanah yang mengandung pasir atau kerikil serta basah tetapi tidak sampai tergenang. Cara memetiknya adalah dengan cara dipotong.

Gambar 3. Penampang tangkai daun dari seledri potong (www.wikipedia.com)

3. Seledri berumbi (Apium graveolens L. Var. Rapaceum Alef)

Jenis seledri berumbi ini tumbuh di tanah yang gembur dan banyak mengandung air. Bentuk batangnya membesar bagaikan umbi. Bagian yang paling umum digunakan adalah bagian umbi dan batang.

Gambar 4. Umbi seledri (www.wikipedia.com)

Di antara ketiga golongan seledri tersebut yang banyak ditanam di Indonesia adalah seledri daun (Apium graveolens L. Var Scalinum Alef). Tanaman seledri dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 – 3 bulan setelah penaburan benih. Setelah dicabut akarnya, kemudian dicuci bersih dan diletakkan di tempat yang teduh (Soewito, 1991).


(5)

Menurut Ashari (1995), di daerah tropis seperti Indonesia, tanaman seledri kurang besar ukuran batangnya sehingga seluruh bagian tanaman digunakan sebagai sayur. Seledri banyak mengandung vitamin A, vitamin B1, vitamin C, dan berkalori tinggi. Selain sebagai sayuran, seledri juga dapat digunakan sebagai obat-obatan terutama untuk tekanan darah tinggi. Daunnya juga bisa digunakan sebagai bahan kosmetika. Kandungan gizi seledri dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi seledri dalam 100 gram bahan (Ashari, 1995)

Kandungan Jumlah

Air (ml) 93.00

Protein (gram) 0.90

Lemak (gram) 0.10

Karbohidrat (gram) 4.00

Serat (gram) 0.90

Kalsium (mg) 50.00

Besi (mg) 1.00

Riboflavin (mg) 0.05

Nikotiamid (mg) 0.40

Asam askorbat (mg) 15.00

B. RESPIRASI

Menurut Pantastico (1986), respirasi adalah suatu proses pembongkaran bahan organik yang tersimpan (karbohidrat, protein, lemak) menjadi bahan yang lebih sederhana dan akhirnya berupa energi. Selama produk berespirasi maka komoditi akan mengalami pematangan kemudian diikuti dengan cepat oleh proses pembusukan. Kehilangan cadangan makanan selama respirasi berarti kehilangan nilai gizi makanan (nilai energi), berkurangnya kualitas rasa, khususnya rasa manis, dan kehilangan bobot kering ekonomis (khususnya bagi komoditi yang akan didehidrasi).

Respirasi dibedakan dalam 3 tingkat : (1) pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana; (2) oksidasi gula menjadi asam piruvat; dan (3)


(6)

transformasi piruvat dan asam-asam organik lainnya secara aerobik menjadi CO2, air dan energi. Besar kecilnya respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah subsrat yang hilang, O2 yang diserap, CO2 yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan dan energi yang timbul (Pantastico, 1986).

Selama aktivitas pernapasan, produk akan mengalami proses pematangan yang diikuti dengan cepat oleh proses pembusukan. Kecepatan pernapasan produk tergantung pada suhu penyimpanan dan ketersediaan oksigen yang dibutuhkan untuk pernapasan (Pantastico, 1986).

Menurut Pantastico (1986), laju pernapasan merupakan indikasi yang baik untuk menduga daya simpan buah-buahan dan sayuran setelah dipanen. Laju pernapasan yang tinggi biasanya menyebabkan berkurangnya daya simpan produk yang selanjutnya diikuti oleh penurunan mutu dan nilai gizinya. Sebagian besar perubahan fisikokimiawi yang terjadi pada buah setelah panen berhubungan dengan metabolisme oksidatif, termasuk pernapasan. Proses repirasi dapat digambarkan dengan persamaan reaksi kimia sebagai berikut :

C6H12O6 + 6 O2 6 CO2 + 6 H2O + 674 kal. Energi Intensitas respirasi sering dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme dan sering dianggap mengenai daya simpan yang pendek. Bahan yang memiliki laju respirasi tinggi biasanya memiliki daya simpan yang pendek. Klasifikasi komoditi hortikultura berdasarkan laju respirasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi komoditi hortikultura berdasarkan laju respirasi (Weichmann, 1987).

Kelas Intensitas respirasi pada

10°C (mg CO2 kg-1 h-1)

Komoditi

Sangat rendah < 10 Bawang

Rendah 10 – 20 Kubis, ketimun, melon,

tomat, lobak

Sedang 20 – 40 Wortel, seledri, bawang

bakung, lada

Tinggi 40 – 70 Asparagus, adas, selada

Sangat tinggi 70 – 100 Bayam, jamur, buncis


(7)

Setiap sayuran dan buah-buahan mempunyai batas minimum untuk penurunan O2 dan batas maksimum untuk meningkatkan CO2 agar sayuran dan buah-buahan yang disimpan tidak mengalami kerusakan fisik. Kader (1992), menyatakan bahwa toleransi relatif buah-buahan dan sayuran terhadap penurunan O2 dan peningkatan CO2 menjadi penting untuk tercapainya kondisi atmosfir termodifikasi yang terjadi sebagai akibat kegiatan metabolisme dan respirasi buah. Perubahan konsentrasi gas O2 dan CO2 pada suatu saat akan mencapai suatu kesetimbangan, dimana pada saat itu akan terjadi sedikit sekali atau bahkan tidak ada perubahan konsentrasi gas O2 dan CO2.

Laju pernapasan adalah bobot CO2 yang dihasilkan per setiap bobot bahan pada selang waktu tertentu dengan dimensi satuannya kg CO2 /kg.jam. Dengan pengukuran O2 dan CO2 dimungkinkan untuk mengevaluasi sifat proses pernapasan. Perbandingan laju produksi CO2 terhadap laju konsumsi O2 dinamakan kuosien pernapasan (Respiratory Quetient). Nilai ini dapat digunakan untuk menentukan substrat yang digunakan dalam proses respirasi, kesempurnaan proses respirasi dan derajat proses aerob atau anaerob (Muchtadi, 1992).

Berdasarkan laju pernapasan, buah-buahan dan sayuran dikelompokkan menjadi dua yaitu klimakterik dan non-klimakterik. Kelompok klimakterik adalah kelompok pada proses pernapasannya terjadi suatu periode kenaikan yang khas, dimana selama proses terjadi serangkaian perubahan biologis yang diawali dengan proses pembuatan etilen yang ditandai dengan terjadinya proses pematangan. Sedangkan pada buah-buahan dan sayuran yang tidak mengalami proses tersebut termasuk non-klimakterik (Muchtadi, 1992).

Di dalam proses penyimpanan, laju respirasi dikurangi dengan menggunakan konsentrasi yang seimbang antara O2 dan CO2. Menurut Lipton dan Harris (1974) dalam Lloyd dan Lipton (1983), brokoli lebih baik disimpan dalam kemasan yang memiliki konsentrasi O2 rendah dan CO2 tinggi atau dalam kombinasi kedua gas tersebut yang sesuai dan disimpan dalam ruangan yang bersuhu sekitar 5 °C. Konsentrasi gas O2 di bawah 2 % akan memperlambat proses pemasakan dan dapat mencegah kebusukan selama


(8)

penyimpanan. Penyimpanan pada suhu 5 °C mutu brokoli dapat dipertahankan selama kurang lebih 3 minggu dan konsentrasi CO2 sebesar 5 – 20 %.

Berdasarkan hasil penelitian Putranto (2005) diperoleh laju respirasi rajangan seledri segar pada suhu 5 °C sebesar 11,24 ml/kg.jam untuk konsumsi O2 dan 12,68 ml/kg.jam untuk produksi CO2. Laju respirasi rajangan seledri pada suhu 10 °C adalah 13,35 ml/kg.jam untuk konsumsi O2 dan 13,45 ml/kg.jam untuk produksi CO2. Pada suhu ruang laju respirasi rajangan seledri sebesar 60,41 ml/kg.jam untuk konsumsi O2 dan 50,81 ml/kg.jam untuk produksi CO2. Kondisi gas optimum untuk penyimpanan rajangan seledri segar adalah konsentrasi 1 – 3 % O2 dan 11 – 13 % CO2. Menurut Mannaperuma di dalam Robertson (1993) rekomendasi atmosfir termodifikasi untuk seledri adalah 2 – 4 % O2 dan 3 – 5 % CO2.

Castro et al. (1994) mengemukakan bahwa laju respirasi pada selada dipengaruhi oleh konsentrasi O2 dan suhu. Laju respirasi O2 menjadi lebih tinggi pada suhu 25 °C daripada 0 °C. Laju respirasi selada pada suhu 25 °C setelah 24 jam bertambah dari 20 menjadi 30 ml O2/kg jam (bertambah sekitar 50 %) ketika konsentrasi O2 ditambah dari 5 % menjadi 21 %.

C. PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN

Secara umum tujuan dari pengemasan buah dan sayuran adalah untuk melindungi komoditas dari kerusakan mekanik, tidak menghambat lolosnya panas bahan dan panas pernapasan dari produk, serta mempunyai kekuatan konstruksi yang cukup untuk mengatasi penanganan dan pengangkutan yang wajar (Hardeburg, 1975).

Menurut Hardenburg (1975) pengemasan sayuran segar dapat mengurangi kehilangan kandungan air (pengurangan bobot), dengan demikian dapat mencegah terjadinya dehidrasi, terutama jika digunakan bahan penghalang yang kedap uap air. Hal ini dapat mempertahankan umur komoditas karena turunnya kandungan air akan menyebabkan kelayuan atau kisutnya bahan yang merupakan sebab hilangnya kesegaran, penampakan tekstur dan kemungkinan laku dijual.


(9)

Penggunaan film plastik sebagai bahan kemasan buah-buahan dan sayuran yang mudah rusak akan dapat memperpanjang daya simpannya. Film kemasan ini akan memberikan lingkungan yang berbeda pada buah dan sayuran yang disimpan. Hal ini disebabkan laju perembesan O2 ke dalam kemasan dan CO2 ke luar kemasan sebagai akibat kegiatan respirasi bahan. Plastik film ini juga akan memberikan perlindungan terhadap kehilangan air sehingga produk yang dikemas masih terlihat segar (Hanlon, 1971).

Penyimpanan mutu bahan pangan secara konvensional dapat dikelompokkan ke dalam penyusutan kualitatif dan kuantitatif. Kedua jenis penyusutan ini sama pentingnya dalam penanganan pasca panen hasil pertanian, terutama apabila dinilai dari segi ekonomi. Penyusutan kuantitatif adalah kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian, sedangkan bahan pangan yang mengalami penyusutan kualitatif artinya bahan tersebut mengalami penurunan mutu sehingga tidak layak untuk dikonsumsi lagi. Bahan pangan itu rusak apabila telah kadaluarsa, yaitu melewati masa simpan optimumnya, dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus (Syarief dan Hariyadi, 1992).

Jenis pengemasan meliputi : 1. Pengemasan vakum

Pengemasan vakum adalah pengeluaran semua udara di dalam kemasan tanpa diganti dengan gas lain. Dengan demikian akan terjadi perbedaan tekanan antara bagian dalam kemasan dengan bagian luar. Proses respirasi dilakukan oleh buah yang dikemas akan semakin menghabiskan oksigen di dalam kemasan sehingga menambah kondisi vakum. Tetapi selain itu, juga dihasilkan CO2 dan air. Sehingga dalam prakteknya kemasan vakum akan menjadi kemasan atmosfir termodifikasi (Brody, 1989).

Pengemasan vakum diperlukan untuk mengeluarkan oksigen dari kemasan dan menambah umur simpan. Plastik yang digunakan dalam pengemasan vakum yaitu plastik yang mempunyai permeabilitas O2 yang rendah dan tahan terhadap bahan yang dikemas (Sacharow dan Griffin, 1980).


(10)

Menurut Hanlon (1971), pengemasan vakum dengan menggunakan bahan yang fleksibel merupakan proses pelepasan udara dari sekeliling produk. Hal ini dapat disempurnakan dengan dua jalan yaitu : dengan memompa udara dari kemasan atau dengan menekan dinding dari kemasan untuk memaksa udara keluar. Dengan cara tersebut biasanya dapat mengurangi sejumlah oksigen dibawah dua persen.

2. Pengemasan Atmosfer Termodifikasi

Menurut Peppelenbos (1996), pada prakteknya ada dua macam sistem pengemasan atmosfir termodifikasi, yaitu cara aktif dan cara pasif. Dalam pengemasan atmosfir termodifikasi cara pasif, kesetimbangan CO2 dan O2 didapat melalui pertukaran udara dalam kemasan. Untuk mendapatkan dan mempertahankan komposisi udara yang sesuai dalam kemasan, permeabilitas film yang dipilih harus diupayakan agar memungkinkan O2 untuk memasuki film dan diimbangi oleh konsumsi O2 oleh komoditas. Demikian pula CO2 dikeluarkan dari film kemasan untuk mengimbangi produksi CO2 oleh komoditas.

Dalam penyimpanan hasil pertanian dikenal juga teknik pengaturan udara disekeliling produk yang disimpan, cara yang sudah dikenal antara lain penyimpanan dengan pengendalian atmosfir (Controlled Atmosphere Storage), penyimpanan dengan modifikasi atmosfir (Modified Atmosphere Storage), dan penyimpanan hipobarik (Hipobarik Storage) (Kader, 1986).

Penyimpanan dengan modifikasi atmosfir adalah penyimpanan dimana tingkat konsentrasi gas O2 lebih rendah dan tingkat konsentrasi gas CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi atmosfer suhu ruang melalui pengaturan pengemasan yang akan menghasilkan kondisi tertentu melalui interaksi penyerapan dan pernapasan komoditi yang disimpan. Sedangkan pada penyimpanan dengan pengendalian atmosfir, pengaturan kandungan O2 dan CO2 pada kondisi tertentu dilakukan dengan pengendalian terus-menerus melalui peralatan penunjangnya (Koski, 1988).

Pengaruh rendahnya O2 dan tingginya CO2 dalam udara penyimpanan akan dapat memperlambat respirasi, pematangan buah, menurunkan laju


(11)

respirasi, menurunkan laju produksi etilen, memperlambat pembusukan, dan menekan berbagai perubahan yang berhubungan dengan pematangan (Peppelenbos, 1996).

3. Penyimpanan Dingin

Menurut Pantastico (1986), penyimpanan dingin merupakan cara yang paling umum dan ekonomis untuk penyimpanan jangka panjang bagi produk hortikultura. Penyimpanan dingin adalah penyimpanan dibawah 15 °C. Faktor yang perlu diperhatikan pada penyimpanan dingin adalah penggunaan suhu yang paling tepat. Penyimpanan dingin dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya; proses penuaan karena adanya proses pemasakan, pelunakan, perubahan warna, dan tekstur; kehilangan air; kerusakan karena bakteri, kapang dan kamir; proses pertumbuhan yang tidak diinginkan seperti pertunasan.

Penyimpanan pada suhu dingin biasanya mempunyai kelembaban yang relatif rendah, sehingga perlu diupayakan agar penguapan tidak terlalu cepat. Untuk itu dilakukan pengemasan dalam kantong plastik agar kelembaban relatif udara sekitar bahan tetap tinggi (Hall, 1986).

Pendinginan atau perlakuan suhu rendah merupakan cara yang efektif dalam mereduksi laju respirasi dan menghambat kerusakan oleh jamur. Winarno (1986) mengatakan bahwa pada suhu yang normal untuk penyimpanan, kenaikan suhu 10 °C akan meningkatkan laju penuaan 2 – 3 kali lebih cepat bagi sebagian besar komoditi kortikulturan. Akibat yang merugikan dari suhu panas tersebut akan lebih hebat pada komoditas yang termasuk perishable.

D. KEMASAN PLASTIK

Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas memungkinkan banyak ragam kegunaannya dalam melindungi dan mengawetkan buah dan sayuran yang disimpan. Disamping itu produk yang disimpan menjadi lebih menarik (Hall, et al., 1973).


(12)

Henig (1972) menyatakan bahwa permeabilitas gas tergantung dari struktur film permeabel, ketebalan, luas permukaan, suhu dan perbedaan kandungan gas CO2 dan O2 antara bagian dalam dan luar kemasan. Parameter bahan yang mempengaruhi laju penyerapan antara lain bobot bahan, laju respirasi, dan volume bebas dalam kemasan. Koefisien permeabilitas plastik dapat dilihat pada Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 3. Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan dalam satuan ml.mil/m2.jam.atm (Gunadya, 1993)

10 °C 15 °C 25 °C

Jenis Film kemasan

Tebal

(mil) O2 CO2 O2 CO2 O2 CO2

LDPE 0,99 - - - - 1002 3600

PP 0,61 265 364 294 430 229 656

Strech Film 0,57 226 422 291 412 1464 1470 Tabel 4. Permeabilitas plastik film untuk beberapa permean pada suhu ruang

(Miller, 1994)

Film Uap Air O2 N2 CO2

PE (densitas = 0,922) 0,74 690,6 129,6 3277

PE (densitas = 0,9380) 270,3 82,4 1007

PE (densitas = 0,954) 144 41,1 585,5

PP (cast) 0,2 280 50,8 1193

PP (oriented) 260 42 1050

Tabel 5. Koefisien permeabilitas untuk beberapa polimer dan permean (Robertson, 1993)

P x 1011 [mL (STP) cm cm-2 s-1 (cm Hg-1)]

N2 O2 CO2 H2O

Polimer 30 °C 30 °C 30 °C

RH 90 % 25 °C

LDPE 19 55 352 800

HDPE 2,7 10,6 35 130

PP 23 92 680

Bahan yang dikemas dengan film permeabel diasumsikan merupakan sistem yang dinamis yang meliputi dua proses yang terjadi secara serempak, yaitu proses respirasi dan penyerapan gas yang berhubungan dengan kegiatan pernapasan. Oksigen secara terus menerus digunakan oleh sayuran untuk


(13)

kegiatan pernapasannya dan kegiatan ini menghasilkan gas CO2, uap air, C2H4, gas-gas volatil yang lain dan energi panas. Akibatnya terjadi perbedaan kandungan O2 antara bagian dalam dan luar kemasan, sehingga O2 mulai terserap ke dalam kemasan. Sebaliknya kandungan CO2 dan gas-gas lain di dalam kemasan semakin bertambah dan dalam waktu yang bersamaan akan merembes keluar kemasan karena terjadi perbedaan konsentrasi CO2 di dalam dan di luar kemasan (Henig, 1972).

Menurut Hardenburg (1975) untuk menghindarkan kemungkinan kerusakan akibat akumulasi CO2 dan penyusutan O2 atau kemungkinan timbulnya bau dan rasa yang tidak diinginkan, film-film harus dilubangi. Hall, et al. (1986) mengatakan bahwa dalam kemasan yang rapat, semua O2 bebas dalam waktu singkat akan terpakai habis, respirasi menjadi anaerobik dan terbentuk zat menguap seperti alkohol dan CO2.

Menurut Hardenburg (1975), pada kemasan film, kelembaban dapat naik dengan cepat dan mendekati atau mencapai 100 %. Oleh sebab itu, untuk komoditi tertentu yang dipasarkan dalam kemasan film diperlukan ventilasi untuk mengatur RH dalam kemasan.

Film plastik yang ideal bagi pengemasan buah dan sayuran segar adalah film plastik yang mempunyai permeabilitas CO2 3 – 5 kali lebih besar dibandingkan dengan permeabilitas O2 (Zagory dan Kader, 1988). Film kemasan ini dapat menyebabkan laju akumulasi CO2 hasil dari kegiatan respirasi akan lebih lambat dibandingkan dengan laju penyusutan O2.

Film plastik yang umum digunakan dalam pengemasan adalah polietilen dengan kerapatan rendah. Keuntungan dari polietilen adalah kuat, kedap air, tahan terhadap zat-zat kimia dan harganya murah. Sedangkan penggunaan film lain yang yang digunakan untuk kemasan produk segar adalah Amalgama, polivinilklorida(PVC) dan polipropilen (Zagory dan Kader, 1988).

Hasil penelitian Anggrahini (1989), menunjukkan bahwa paprika dan wortel yang disimpan pada suhu ruang dan dikemas dengan kantong plastik PVC yang diberi lubang dengan jarak antar lubang 4 cm, memberikan penampakan yang paling baik, sedangkan bila komoditi tersebut disimpan pada kondisi dingin, maka penampakan terbaik diperoleh bila komoditi tersebut


(14)

dikemas kantong plastik PVC dengan jarak antar lubang 4 – 6 cm dengan luas permukaan kemasan 193,75 cm2 dan bobot bahan sebesar 162,18 gram.

Norman dan Salunkhe (1980) menegaskan bahwa plastik film yang permeabilitasnya terhadap uap air rendah, umumnya menyebabkan peningkatan kerusakan, kecuali bila plastik tersebut dilengkapi dengan ventilasi yang cukup.

Dalam bungkus plastik dapat timbul udara termodifikasi yang menguntungkan. Udara yang telah mengalami perubahan itu menghambat pematangan dan memperpanjang masa simpan. Meskipun demikian, bungkus-bungkus tertutup rapat biasanya harus diberi lubang-lubang kecil atau dibuka sebelum pemasaran untuk memberi kesempatan menjadi matang secara normal dan mencegah kerusakan karena pengaruh kandungan CO2 tinggi atau O2 yang terlalu sedikit (Zagory dan Kader, 1988).

1. Polietilen

Polietilen merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri karena sifat-sifatnya yang mudah dibentuk, tahan terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih dan mudah digunakan sebagai pelapis. Berdasarkan densitasnya, PE dapat dibagi atas : (a) Polietilen Densitas Rendah (LDPE: Low Density Polyethylene), (b) Polietilen Densitas Menengah (MDPE : Medium Density Polyethylene), (c) Polietilen Densitas Tinggi (HDPE : High Density Polyethylene) (Syarief, 1988).

Menurut Sacharow dan Griffins (1980) LDPE merupakan jenis film yang murah dengan kejernihan serta daya regang yang sedang. LDPE mempunyai ketahanan terhadap kelembaban tinggi tetap bukan barrier O2 yang baik. Keuntungan utamanya adalah mempunyai kemampuan sealing yang baik.

Plastik polietilen dengan ketebalan 0,04 mm baik digunakan untuk sistem penyimpanan dengan udara terkendali karena permeabilitas polietilen CO2 lebih besar daripada O2 sehingga laju akumulasi CO2 di sekitar lebih kecil daripada absorpsi oksigen. Polietilen relatif lebih permeabel terhadap uap air (Wills et al., 1981).


(15)

Pantastico (1986) mengemukakan bahwa perpanjangan umur simpan buah alpukat dalam kantung-kantung polietilen mungkin disebabkan oleh turunnya kandungan O2 dan naiknya kandungan CO2 di dalam kantung. Konsentrasi O2 yang rendah mempunyai pengaruh (1) menurunkan laju respirasi dan oksidasi substrat, (2) menunda kemasakan yang berakibat umur komoditas menjadi lebih panjang, (3) menunda perombakan klorofil, (4) memperlambat produksi etilen, (5) laju pembentukan asam askorbat berkurang, (6) perbandingan asam-asam lemak tak jenuh berubah dan (7) laju degradasi senyawa pektin tidak secepat seperti dalam udara.

2. Polipropilen

Menurut Syarief (1988), polipropilen adalah jenis polimer termoplastik yang sangat luas penggunaannya. Polipropilen termasuk jenis olefin dan merupakan polimer dari propilen. Sifat polipropilen antara lain ringan, mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih. Polipropilen memiliki titik lebur yang tinggi sehingga mudah untuk dikelim dengan panas yang baik. Selain itu, permeabilitas terhadap uap air plastik jenis polipropilen rendah. Karakteristik polipropilen dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik Polipropilen (PP) (Syarief et al,. 1989)

Karakteristik Nilai

Densitas 0,9 g/cm3

Young Modulus (E) 11000 – 13000 MPa

Suhu melunak 149 °C

Kristalinitas 60 – 70 %

Indeks fluiditas 0,2 - 2,5

Tahanan volumetrik 1017

Titik leleh 170°C

Permeabilitas gas (cc/100 in2/24 jam/atm) :

- Nitrogen 4,4

- Oksigen 23

- Gas Karbon 92


(16)

Beberapa keunggulan polipropilen adalah ringan dan mudah dibentuk, tidak mudah sobek sehingga mudah untuk penanganan dan distribusi, transparan, putih alami serta memiliki sifat mekanik yang baik (Syarief et al., 1989). Polipropilen sangat rentan terhadap sinar ultraviolet dan oksidasi pada suhu tinggi (Beck, 1980).

Menurut Robertson (1993), polipropilen memiliki densitas yang lebih rendah dan memiliki titik lunak yang lebih tinggi yaitu suhu 140 – 150 °C dibandingkan dengan polietilen, transmisi uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tahan terhadap lemak dan bahan kimia, tahan gores, stabil pada suhu tinggi sampai dengan 150 °C, serta memiliki kilap yang bagus dan kecerahan tinggi. Menurut Hanlon (1971), polipropilen memiliki sifat permeabilitas gas sedang sehingga tidak cocok untuk kemasan makanan yang peka terhadap oksigen dan memiliki permeabilitas terhadap uap air yang rendah. Sifat-sifat polipropilen yang lain adalah tidak bereaksi antara bahan dengan oksigen, tidak menimbulkan racun dan mampu melindungi bahan dari kontaminan (Pantastico, 1986).


(17)

III. BAHAN DAN METODE

A. ALAT DAN BAHAN 1. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan digital, sealer, impulse sealer, pembolong 5 mm, lemari es (refrigerator), colortech colormeter, rheometer, cawan petri, labu erlenmeyer, inkubator dan colony counter.

2. Bahan

Bahan yang digunakan adalah seledri daun jenis lokal dengan tinggi antara 18 – 25 cm. Seledri diperoleh dari PT. Saung Mirwan. Kantong plastik yang digunakan adalah jenis PE dan PP dengan tebal 0,089 mm dan berukuran 15 x 30 cm.

B. METODE PENELITIAN A. Penanganan Pendahuluan

Penanganan pendahuluan yang dilakukan pada seledri segar adalah sortasi. Seledri yang dipilih adalah yang berbentuk sempurna, masih segar, tidak cacat atau luka, dicuci dengan air, sudah di desinfektasi dan ukurannya seragam. Bagian akar seledri dipotong dan disisakan sedikit. Seledri dibersihkan dengan air mengalir agar bersih dari kotoran atau bagian sisa yang menempel. Setelah seledri dalam kondisi bersih, seledri didiamkan selama ± 2 menit agar kering.

B. Pengemasan

Sebanyak 50 gram seledri dimasukkan ke dalam kemasan dengan jenis plastik polipropilen dan polietilen yang berukuran 15 x 30 cm. Kondisi atmosfer diatur dengan pemberian lubang berukuran diameter 0,5 cm sebanyak 2 lubang, 4 lubang, 8 lubang, tanpa lubang dan vakum pada kemasan. Cara menutup kemasan adalah dengan cara mengkelim


(18)

menggunakan alat sealer dan vacuum packer. Posisi lubang dalam kemasan dapat dilihat pada Lampiran 2.

C. Penyimpanan

Seledri yang sudah dikemas disimpan di lemari es dan meja di dalam ruangan. Suhu penyimpanan seledri adalah 0 – 5°C, 10 – 15°C dan suhu ruang. Seledri disimpan selama 25 hari penyimpanan. Analisa yang dilakukan adalah susut bobot, kadar air, tingkat kerusakan, perubahan warna dan ketegaran daun yang dilakukan setiap hari dan dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Selain itu, analisa Total Plate Count dilakukan pada hari ke-0 dan ke-12 dan Organoleptik dilakukan pada hari ke-6, 12, 18 dan 24.


(19)

Perlakuan pada penelitian ini terdiri dari tiga faktor yaitu A, B dan C, yaitu: A = faktor plastik

A1 = plastik PP A2 = plastik PE

B = faktor kondisi atmosfir dalam kemasan B1 = vakum

B2 = tanpa lubang B3 = 2 lubang B4 = 4 lubang B5 = 8 lubang C = faktor suhu

C1 = 0 – 5 °C C2 = 10 – 15 °C C3 = suhu ruang

C. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 3 jenis, yaitu RAL 3 faktor, RAL 2 faktor dan RAL 1 faktor (Walpole, 1988). Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. RAL 3 faktor dengan faktor jenis plastik, kondisi atmosfer dan suhu. Yijk = µ + αi + βj + γk + (αβ)ij + (αγ) ik + (βγ)jk + (αβγ)ijk + ε (ijk)

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan pengaruh perlakuan jenis plastik pada waktu ke-i, pengaruh perlakuan suhu pada waktu ke-j, pengaruh kondisi atmosfir dalam kemasan ke-j pada ulangan ke-l.

µ = rataan umum

αi = pengaruh plastik pada waktu ke-i.

βj = pengaruh kondisi atmosfer pada waktu ke-j.

γk = pengaruh plastik pada waktu ke-k.

(αβ)ij = pengaruh dari interaksi antara plastik pada waktu ke-i dan kondisi atmosfer pada waktu ke-j.

(αγ)ik = pengaruh dari interaksi antara plastik pada waktu ke-i dan suhu pada waktu ke-k.

(βγ)jk = pengaruh dari interaksi antara kondisi atmosfer pada waktu ke-j dan suhu pada waktu ke-k.


(20)

(αβγ)ijk = pengaruh dari interaksi antara plastik pada waktu ke-i, kondisi atmosfer pada waktu ke-j dan suhu pada waktu ke-k.

ε (ijk) = pengaruh acak perlakuan plastik pada waktu ke-i, kondisi atmosfer pada waktu ke-j dan suhu pada waktu ke-k.

2. RAL 2 faktor dengan jenis plastik dan kondisi atmosfer. Model yang digunakan yaitu :

Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + ε (ij)

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan pengaruh perlakuan jenis plastik pada waktu ke-i dan pengaruh perlakuan suhu pada waktu ke-j.

µ = rataan umum

αi = pengaruh plastik pada waktu ke-i.

βj = pengaruh kondisi atmosfer pada waktu ke-j.

(αβ)ij = pengaruh dari interaksi antara plastik pada waktu ke-i dan kondisi atmosfer pada waktu ke-j.

ε (ij) = pengaruh acak perlakuan plastik pada waktu ke-i dan kondisi atmosfer pada waktu ke-j.

3. RAL 1 faktor dengan jenis plastik. Model yang digunakan yaitu :

Yi = µ + αi + εi

Keterangan :

Yi = nilai pengamatan pengaruh perlakuan jenis plastik pada waktu ke-i. µ = rataan umum

αi = pengaruh plastik pada waktu ke-i.


(21)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. SUSUT BOBOT

Perubahan susut bobot seledri diukur dengan menimbang bobot seledri setiap hari. Berdasarkan hasil pengukuran selama penyimpanan, ternyata susut bobot seledri mengalami peningkatan untuk semua perlakuan. Data susut bobot selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Uji ragam menunjukkan bahwa kondisi atmosfer berpengaruh nyata dari hari ke-1 sampai hari ke-22. Hasil uji ragam selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 7.

Besarnya susut bobot sesuai dengan adanya transpirasi dan respirasi. Kondisi atmosfer dapat mempengaruhi kandungan O2, CO2 dan uap air di dalam kemasan. Kondisi pengemasan tanpa lubang mampu mempertahankan kualitas seledri lebih baik daripada kondisi pengemasan lainnya sehingga umur simpan lebih panjang. Selain itu, kondisi pengemasan tanpa lubang mampu mencegah susut bobot dengan lebih baik. Hal ini dikarenakan tidak adanya lubang di kemasan menyebabkan O2 di dalam kemasan lebih sedikit daripada kondisi lainnya sehingga pada akhirnya laju respirasi dapat dihambat. Semakin banyak lubang, susut bobot menjadi semakin besar karena memberikan peluang masuknya O2 lebih banyak sehingga proses respirasi meningkat. Selain itu, dengan adanya lubang pada kemasan memungkinkan uap air di dalam kemasan bergerak keluar.

Jenis plastik yang digunakan berpengaruh nyata pada hari ke-1 sampai hari ke-24. Artinya, perbedaan jenis plastik memberikan pengaruh terhadap respon yang dihasilkan. Jenis plastik terbaik untuk mempertahankan susut bobot adalah jenis PP. Pada Lampiran 4, jenis plastik PP mampu mencegah susut bobot lebih baik daripada jenis PE. Hal ini dikarenakan permeabilitas O2 plastik PP lebih kecil daripada plastik PE. Menurut Gunadya (1993), pada suhu 25 °C jenis koefisien permeabilitas plastik PP terhadap O2 sebesar 229 ml.mil/m2.jam.atm sementara itu pada jenis plastik PE sebesar 1002 ml.mil/m2.jam.atm. Pada film kemasan jenis PE dan PP memiliki permeabilitas CO2 3 – 5 kali lebih besar dengan permeabilitas O2 sehingga mampu mempertahankan umur simpan dengan lebih baik. Banyaknya O2 yang masuk


(22)

ke dalam kemasan akan digunakan oleh seledri untuk kegiatan pernapasan sehingga menghasilkan CO2, uap air, C2H4, gas-gas volatil yang lain dan energi panas sehingga susut bobot menjadi lebih besar.

Susut bobot dapat disebabkan dari tingginya suhu penyimpanan yang meningkatkan laju transpirasi dan respirasi. Hal ini diperkuat dengan hasil uji ragam yang menunjukkan bahwa suhu penyimpanan berpengaruh nyata pada hari ke-1 sampai hari ke-8. Pada penyimpanan suhu 0 – 5 °C seledri dalam kemasan PP tanpa lubang dapat bertahan dengan lama penyimpanan 25 hari. Pada penyimpanan suhu 10 – 15 °C, seledri dapat dipertahankan kualitasnya sampai hari ke-9 dengan perlakuan 2 dan 4 lubang berjenis plastik PP dan PE. Sementara itu, pada suhu ruang, seledri paling lama bertahan hanya selama 4 hari dengan perlakuan 2 lubang berjenis plastik PP dan PE. Semakin rendah suhu dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya, proses penuaan karena adanya proses pemasakan, pelunakan, perubahan warna dan tekstur, kehilangan air serta kerusakan karena bakteri, kapang dan khamir. Menurut Winarno (1986), kenaikan suhu 10 °C akan meningkatkan laju penuaan sebesar 2-3 kali lebih cepat. Pada penyimpanan seledri di suhu 0 – 5 °C bertahan paling lama, sekitar 2,78 kali lebih lama jika dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 10 – 15°C. Penyimpanan seledri pada suhu 10 – 15°C lebih lama 2,25 kali lebih lama daripada penyimpanan pada suhu ruang.

Perubahan susut bobot terhadap lamanya penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8.


(23)

Berdasarkan Gambar 6, susut bobot seledri yang disimpan pada suhu 0 – 5°C, persentase susut bobot terkecil adalah pada kemasan PP dua lubang yaitu sebesar 9,58 % dengan persamaan regresi y = 0,735x + 1,118 dan dalam penyimpanan selama 22 hari. Pada seledri yang dikemas dengan polipropilen dua lubang, terjadi kenaikan susut bobot sebesar 0,735 % dalam setiap hari penyimpanan. Sementara itu, susut bobot terbesar terjadi pada seledri dalam kemasan PE 8 lubang dengan rata-rata susut bobot sebesar 17,74 % selama 16 hari penyimpanan dengan persamaan regresi y = 1,921x + 1,402. Pada kemasan PE 8 lubang, terjadi kenaikan sebesar 1,921 % dalam setiap hari penyimpanan. Desain kemasan yang memiliki umur simpan terpanjang yaitu PP tanpa lubang yang disimpan pada suhu 0 – 5 °C karena mampu mempertahankan kualitas seledri sampai hari ke-25. Seledri yang dikemas dengan plastik PE tanpa lubang dapat mempertahankan seledri selama 24 hari. Sedangkan dengan kondisi atmosfer lainnya didapatkan hasil yang berkisar antara 16 – 22 hari Hasil persamaan regresi susut bobot selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 7. Perubahan susut bobot terhadap lama penyimpanan pada suhu 10 – 15°C

Gambar 7 menunjukkan peningkatan persen susut bobot pada suhu 10 – 15 °C berkisar antara 0,6 – 13,9 %. Persen susut bobot terbesar terjadi pada kondisi 8 lubang dengan jenis PE dengan rata-rata susut bobot sebesar 7,85 % dan pada satuan hari penyimpanan terjadi kenaikan sebesar 1,611 %.


(24)

Sementara itu, susut bobot terkecil terjadi pada kondisi tanpa lubang dengan jenis PP dengan rata-rata susut bobot 2,71 %.

Semua perlakuan memiliki umur simpan yang berkisar antara 7 – 9 hari penyimpanan. Pada hari ke-8 seledri yang dikemas dengan PP dan PE vakum mengalami kerusakan. Seledri yang dikemas dengan perlakuan tanpa lubang dan 8 lubang, baik dengan jenis plastik PE maupun PE mengalami kerusakan pada hari ke-9. Tanda kerusakan seledri dapat dilihat pada Lampiran 4. Desain kemasan terbaik dalam penyimpanan pada suhu 10 – 15 °C adalah dengan perlakuan 2 dan 4 lubang, baik menggunakan jenis plastik PE maupun PP karena mempertahankan mutu seledri sampai pada hari ke-9 dan baru mengalami kerusakan pada hari ke-10.

Gambar 8. Perubahan susut bobot terhadap lama penyimpanan pada suhu ruang

Gambar 8. menunjukan persen susut bobot pada suhu ruang berkisar antara 0,9 – 9,7 %. Persen susut bobot terbesar terjadi pada kondisi 8 lubang dengan jenis PE dengan rata-rata sebesar 7,27 % dan lama penyimpanan selama 3 hari. Pada PE 8 lubang, terjadi kenaikan 2,35 % setiap hari penyimpanan. Sementara itu, persen susut bobot terkecil terjadi pada kondisi tanpa lubang PP dengan rata-rata susut bobot sebesar 1,5 % dan mampu mempertahankan seledri selama penyimpanan 3 hari. Pada PP tanpa lubang terjadi kenaikan terkecil jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 0,45 % setiap hari penyimpanan.


(25)

Pada suhu ruang, umur simpan seledri berkisar antara 3 – 4 hari. Desain kemasan terbaik adalah dengan perlakuan 2 lubang karena dapat mempertahankan umur simpan seledri selama 4 hari. Meskipun susut bobot terendah dihasilkan oleh perlakuan tanpa lubang, tetapi desain kemasan ini hanya mampu mempertahankan kualitas seledri sampai hari ke-3.

Susut bobot disebabkan oleh proses respirasi yang mengubah gula menjadi CO2 dan H2O untuk menghasilkan energi (Wills et al., 1981), serta transpirasi yang dilakukan oleh jaringan hidup tanaman hingga tercapai kadar air kesetimbangan dengan lingkungan.

Susut bobot juga disebabkan oleh hilangnya air dari kemasan ke lingkungan yang disebabkan perbedaan tekanan uap air di antara film kemasan dan kehilangan CO2 selama respirasi. Potensi kehilangan bobot dipengaruhi oleh jenis plastik, kondisi atmosfer dan suhu penyimpanan.

B. KADAR AIR

Indikasi susut bobot dapat dilihat dengan ciri-ciri batang menjadi kisut dan mengecil, serta kondisi daun yang layu dan cenderung berkerut. Susut bobot pada umumnya disebabkan oleh kehilangan air selama penyimpanan. Seledri mengandung 93 gram air di dalam 100 gram bahan (Ashari, 1995) sehingga susut bobot lebih banyak ditentukan oleh kandungan air yang hilang. Kehilangan susut bobot yang besar pada penelitian ini dapat dilihat dari hasil penimbangan.

Susut bobot dapat disebabkan dari tingginya suhu penyimpanan yang meningkatkan laju transpirasi dan respirasi. Susut bobot juga disebabkan oleh hilangnya air dari kemasan ke lingkungan yang disebabkan perbedaan tekanan uap air diantata film kemasan dan kehilangan CO2 selama respirasi.

Kehilangan kandungan air berbanding lurus dengan kondisi atmosfer. Pada Lampiran 7 dalam uji ragam fisik, kondisi atmosfer berpengaruh nyata pada hari ke-1 sampai hari ke-22. Semakin banyak lubang di dalam kemasan, maka jumlah air yang hilang semakin banyak. Banyaknya air yang hilang tergantung adanya proses transpirasi dan respirasi. Kondisi atmosfer dapat mempengaruhi kandungan uap air di dalam kemasan. Kondisi pengemasan


(26)

tanpa lubang mampu mempertahankan kehilangan air lebih baik daripada kondisi pengemasan lainnya. Pada kemasan tanpa lubang atau vakum, laju respirasi akan terhambat karena aliran udara dari luar ke dalam kemasan terhambat. Semakin banyak lubang, kehilangan air menjadi semakin besar karena memberikan peluang masuknya O2 lebih banyak sehingga proses respirasi meningkat dan peluang keluarnya H2O lebih besar.

Laju penurunan kadar air berbanding lurus dengan faktor suhu. Pada hasil uji ragam fisik, suhu berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air pada hari ke-1 sampai hari ke-9. Semakin tingginya suhu yang digunakan dalam penyimpanan, maka seledri akan mengalami penurunan kadar air lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh penguapan air bagian daun dan batang seledri lebih tinggi.

Pada uji ragam fisik jenis plastik berpengaruh nyata pada hari ke-1 sampai hari ke-8, hari ke-10 sampai hari ke-21. Persentase kadar air yang terkandung di dalam seledri yang dikemas dengan jenis plastik PP pada umumnya lebih besar daripada yang dikemas dengan jenis plastik PE. Seperti pada contoh penyimpanan hari ke-16, kadar air pada seledri yang dikemas dengan jenis vakum PE bernilai 71,55 % dan kadar air pada seledri yang dikemas dengan jenis vakum PP bernilai 71,75 %. Dengan penyimpanan vakum, kadar air jenis plastik PP lebih besar daripada kadar air dengan jenis plastik PE. Begitu juga halnya dengan perlakuan tanpa lubang, kadar air pada seledri yang dikemas dengan PE bernilai 73,35 % dan yang dikemas dengan PP bernilai 74,15 %. Kadar air dengan perlakuan lubang 2, 4 dan 8 masing-masing bernilai, 71,35 % (PE2) ; 71,7 % (PP2); 68,25 % (PE4); 68,55 % (PP4); 53,75 % (PE8) dan 54,6 % (PP8). Plastik jenis PP menghambat proses respirasi dan penguapan air, karena permeabilitas terhadap oksigen lebih kecil daripada plastik PE. Penggunaan oksigen yang rendah dalam penyimpanan memiliki potensi untuk menurunkan kecepatan metabolisme produk dan perubahan biokimia yang terjadi pada produk.

Desain kemasan terbaik adalah kemasan tanpa lubang PP yang disimpan pada suhu 0 – 5 °C karena dapat mempertahankan kualitas seledri hingga 25 hari. Hal ini terjadi karena pada komposisi oksigen rendah, proses respirasi


(27)

akan terhambat dan akibatnya penguapan air akan berkurang. Kadar oksigen yang rendah dalam penyimpanan memiliki potensi untuk menurunkan kecepatan metabolisme produk dan perubahan biokimia yang terjadi pada produk. Namun, jika dilihat dari kecilnya jumlah kehilangan air maka desain kemasan yang optimum adalah kemasan dengan perlakuan PE vakum (kadar air daun) dan PP vakum (kadar air batang).

Gambar 9. Perubahan kadar air daun terhadap lama penyimpanan pada suhu 0 – 5°C

Gambar 9 dan 10 menunjukkan hubungan tingkat kadar air terhadap lama penyimpanan. Grafik memiliki kecenderungan turun. Artinya jumlah kadar air yang terkandung di dalam seledri mengalami penurunan seiring dengan lamanya penyimpanan. Kadar air yang terkandung di bagian batang dan di bagian daun berbeda. Hal ini disebabkan karena batang memiliki kambium sehingga memiliki kadar air yang lebih tinggi daripada daun. Sementara itu, laju penurunan kadar air lebih besar terjadi pada bagian daun dikarenakan permukaan bagian daun lebih lebar daripada batang. Kehilangan bobot sayuran, terutama disebabkan oleh kehilangan air selama penyimpanan. Kehilangan air tidak hanya menurunkan bobot tetapi juga dapat menurunkan mutu dan menimbulkan kerusakan.

Pada Gambar 9, kadar air daun seledri terkecil adalah seledri yang disimpan dengan PP 8 lubang dengan rata-rata sebesar 72,73 % dan terjadi


(28)

penurunan sebesar 0,002 % setiap hari penyimpanan. Sementara itu, kadar air daun seledri terbesar adalah seledri yang disimpan dengan PE vakum dengan rata-rata sebesar 75,5 %. Pada suhu 0 – 5°C, seledri mampu bertahan antara 16 – 25 hari penyimpanan. Seledri yang sudah rusak tidak dapat diukur. Tanda kerusakan seledri dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 10. Perubahan kadar air batang terhadap lama penyimpanan pada suhu 0 –5 °C

Pada Gambar 10 kadar air batang seledri berkisar antara 57,3 – 89 %. Kadar air batang terkecil adalah seledri yang disimpan dengan PE 8 lubang dengan rata-rata sebesar 71,66 % dan terjadi penurunan sebesar 0,002 % setiap hari penyimpanan. Sementara itu, penurunan kadar air dengan perlakuan lainnya sama, yaitu 0,001 % setiap hari penyimpanan. Kadar air batang seledri terbesar adalah seledri yang disimpan dengan PP vakum dengan rata-rata sebesar 79,37 %. Pada penyimpanan suhu 0 – 5 °C, desain kemasan terbaik adalah seledri yang dikemas dengan perlakuan PP tanpa lubang. Sementara itu, kadar air daun terbesar ditemukan pada seledri yang dikemas dengan PE vakum dan kadar air batang terbesar terdapat pada seledri yang dikemas dengan PP vakum. Hal ini berarti, kemasan vakum dapat mempertahankan kadar air seledri lebih baik daripada perlakuan lainnya.


(29)

Gambar 11. Perubahan kadar air daun terhadap lama penyimpanan pada suhu 10 – 15 °C

Pada Gambar 11, kadar air daun seledri segar adalah 82 %, kemudian terjadi penurunan sebesar 0,003 – 0,005 % setiap hari penyimpanan. Kadar air daun terkecil adalah seledri yang disimpan dengan PE 4 lubang dengan rata-rata sebesar 74,71 %. Sementara itu, kadar air daun seledri terbesar adalah seledri yang disimpan dengan PP tanpa lubang dengan rata-rata sebesar 79,54 %. Pada suhu 10 – 15 °C, seledri mampu bertahan antara 7 – 9 hari penyimpanan. Seledri yang sudah rusak tidak dapat diukur. Tanda kerusakan seledri pada penyimpanan suhu 10 – 15 °C dapat dilihat pada Lampiran 4.


(30)

Pada Gambar 12, kadar air batang pada seledri segar adalah sebesar 89 %, kemudian terjadi penurunan sebesar 0,003 – 0,005 % setiap hari penyimpanan. Kadar air batang dari yang terkecil sampai terbesar secara berurutan adalah PE 4 lubang dengan rata-rata sebesar 81,17 % ; PE 8 lubang dengan rata-rata sebesar 81,39 % ; PP 8 lubang dengan rata-rata sebesar 82,08 % ; PP 4 lubang dengan rata sebesar 82,77 % ; PE 2 lubang dengan rata-rata sebesar 83,67 % ; PP 2 lubang dengan rata-rata-rata-rata sebesar 84,17 % ; PE vakum dengan rata-rata sebesar 85,64 % ; PP vakum dengan rata-rata sebesar 85,99 %; PE tanpa lubang dengan rata-rata sebesar 86,34 %; PP tanpa lubang dengan rata-rata sebesar 86,71 %. Desain kemasan terbaik pada suhu 10 – 15 °C adalah pengemasan dengan perlakuan 2 lubang PE dan PP serta 4 lubang PE dan PP karena mampu mempertahankan seledri selama 9 hari penyimpanan. Namun, kadar air daun dan batang seledri terbesar adalah seledri yang dikemas dengan perlakuan PP tanpa lubang.

Gambar 13. Perubahan kadar air daun terhadap lama penyimpanan pada suhu ruang

Pada Gambar 13, kadar air daun seledri berkisar antara 76,6 – 82 % dan terjadi penurunan sebesar 0,007 – 0,010 % setiap hari penyimpanan. Kadar air daun terkecil adalah seledri yang disimpan dengan PE 8 lubang dengan rata-rata sebesar 75,82 % dan laju penurunan sebesar 0,010 % setiap hari penyimpanan. Sementara itu, kadar air daun seledri terbesar adalah seledri yang disimpan dengan PP tanpa lubang dengan rata-rata sebesar 80,12 % dan laju penurunan sebesar 0,009 %. Pada suhu ruang, seledri mampu bertahan


(31)

antara 3 – 4 hari penyimpanan. Seledri yang sudah rusak tidak dapat diukur. Tanda kerusakan seledri dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 14. Perubahan kadar air batang terhadap lama penyimpanan pada suhu ruang

Pada Gambar 14, kadar air batang pada seledri segar adalah berkisar antara 79,8 – 89 %. Seledri segar memiliki kandungan kadar air batang sebesar 89 % kemudian terjadi penurunan sebesar 0,006 – 0,009 % setiap hari penyimpanan. Kadar air batang seledri terkecil adalah pada pengemasan PE 8 lubang sebesar 82,22 % dengan laju penurunan sebesar 0,009 %. Kadar air batang seledri terbesar adalah pada pengemasan PP tanpa lubang sebesar 87,15 % dengan laju penurunan sebesar 0,008 %. Desain kemasan terbaik pada suhu ruang adalah pengemasan dengan perlakuan 2 lubang PE dan PP karena mampu mempertahankan seledri selama 4 hari penyimpanan. Namun, kadar air daun dan batang seledri terbesar pada suhu ruang adalah seledri yang dikemas dengan perlakuan PP tanpa lubang.

C. TINGKAT KERUSAKAN

Persentase kerusakan dalam penanganan pasca panen sangat penting sebab menentukan efektivitas cara penanganan yang dipakai. Dalam perdagangan produk hortikultura, pada umumnya besar kerusakan sudah dinilai beresiko tinggi apabila telah mencapai persentase lebih dari 20 % dan kesukaran akan dialami dalam pengambilan contoh untuk analisis (Rinanto,


(32)

1993). Pada penelitian ini, persentase kerusakan semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Data persentase kerusakan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Uji ragam menunjukkan bahwa kondisi atmosfer berpengaruh nyata dari hari ke-1 sampai hari ke-22. Hasil uji ragam selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Besarnya tingkat kerusakan dapat dipengaruhi oleh adanya respirasi. Laju pernapasan yang tinggi biasanya menyebabkan berkurangnya daya simpan produk dikarenakan penurunan mutu. Sebagian besar perubahan fisikokimiawi yang terjadi pada sayuran setelah panen berhubungan dengan metabolisme oksidatif. Setiap sayuran dan buah-buahan mempunyai batas minimum untuk penurunan O2 dan batas maksimum untuk meningkatkan CO2 (Kader, 1992). Pengaruh rendahnya O2 dan tingginya CO2 dalam udara penyimpanan dapat memperlambat kerusakan seledri, menurunkan laju respirasi dan menurunkan laju produksi etilen. Dengan adanya perlakuan pengemasan yang mengkondisikan atmosfer mendekati sesuai yang diharapkan, maka seledri yang disimpan dapat dicegah dari kerusakan fisik. Oleh karena itu, kondisi atmosfer berpengaruh nyata terhadap respon.

Desain kemasan terbaik yang mampu mencegah kerusakan adalah PP tanpa lubang suhu 5 °C karena dapat menekan tingkat kerusakan lebih baik daripada desain kemasan lainnya. Selain itu, desain kemasan ini dapat mempertahankan kualitas seledri sampai hari ke-25. Semakin banyak jumlah lubang pada kemasan, maka semakin besar juga tingkat kerusakan. Faktor yang mempengaruhi tingkat kerusakan adalah :

1. Faktor internal seperti tingkat perkembangan dan susunan kimiawi jaringan. 2. Faktor eksternal seperti suhu.

Menurut Pantastico (1986), mekanisme dasar yang berkaitan dengan kerusakan akibat pendinginan yaitu penurunan kemampuan komoditas pertanian untuk melakukan fosforilasi oksidatif. Hal ini mengakibatkan jaringan tanaman kekurangan energi tinggi, khususnya ATP yang diperlukan untuk mempertahankan organisasi sel dengan adanya proses-proses enzimatik yang secara terus menerus cenderung mengganggu sistem itu. Hasilnya berupa pembongkaran zat-zat penyusun sel yang kompleks sebagai akibat kekurangan


(33)

energi. Hilangnya organisasi jaringan yang menyertainya sebagai akibat pendinginan, dapat menerangkan adanya peningkatan permeabilitas membran sel, kerentanan terhadap pembusukan, penimbunan metabolik dan kenaikan penyerapan oksigen.

Jenis plastik yang digunakan berpengaruh nyata pada tingkat kerusakan di hari ke-1 sampai hari ke-4, hari ke-6 sampai ke-21 dan hari ke-24. Artinya, perbedaan jenis plastik memberikan pengaruh terhadap respon yang dihasilkan. Jenis plastik terbaik untuk mempertahankan tingkat kerusakan pada suhu 0 – 5 °C adalah jenis PE, untuk suhu 10 – 15 °C adalah jenis PP dan untuk suhu 20 -25 °C adalah jenis PP. Hasil tingkat kerusakan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5, jenis plastik PP mampu mencegah kerusakan dikarenakan permeabilitas terhadap uap air lebih baik daripada jenis plastik PE.

Tingkat kerusakan dapat disebabkan dari tingginya suhu penyimpanan yang dapat meningkatkan laju transpirasi dan respirasi serta metabolisme sel. Hasil uji ragam yang menunjukkan bahwa suhu penyimpanan berpengaruh nyata pada tingkat kerusakan di hari ke-1 sampai hari ke-9. Rata-rata persen kerusakan pada suhu 0 – 5 °C berkisar antara 7,40 – 12,92 %, rata-rata persen kerusakan pada suhu 10 – 15 °C berkisar antara 11,32 – 16,54 %, dan rata-rata persen kerusakan pada suhu ruang berkisar antara 16,96 – 19,52 %. Oleh karena itu, suhu 0 – 5 °C dapat lebih baik mempertahankan kerusakan daripada suhu 10 – 15 °C dan suhu 10 – 15 °C mampu lebih baik mempertahankan kerusakan daripada suhu ruang. Semakin rendah suhu dapat mengurangi kegiatan respirasi, metabolisme lainnya dan proses penuaan.

Desain kemasan terbaik yang dapat menekan laju kerusakan adalah PP tanpa lubang yang disimpan pada penyimpanan suhu 0 – 5 °C. Pada penyimpanan suhu 10 – 15 °C, desain kemasan terbaik yang dapat mencegah kerusakan adalah seledri yang dikemas dengan PP 2 lubang selama penyimpanan 9 hari. Sementara itu, pada suhu ruang, seledri paling lama bertahan hanya selama 4 hari dengan perlakuan 2 lubang berjenis plastik PP 2 lubang.


(34)

Gambar 15. Perubahan tingkat kerusakan terhadap lama penyimpanan pada suhu 0 – 5 °C

Gambar 15 menunjukkan persen kerusakan pada penyimpanan suhu 0 – 5 °C berkisar antara 0,33 – 71,27 %. Persen kerusakan lebih dari 20 % terjadi setelah hari ke-9 untuk desain kemasan 8 lubang dengan jenis PP maupun PE. Untuk desain kemasan dengan lubang 4 jenis PP dan PP, kerusakan lebih dari 20 % terjadi setelah hari ke-10 dan ke-11. Sementara itu, untuk perlakuan dengan vakum, tanpa lubang dan lubang 2, kerusakan lebih dari 20 % terjadi setelah hari ke-14 dan ke-15. Rata-rata persentase kerusakan tertinggi adalah seledri yang dikemas dengan PP 8 lubang, sebaliknya seledri yang dikemas dengan PP tanpa lubang memiliki rata-rata persentase terkecil. Pada umumnya kerusakan ini lebih banyak terjadi di bagian daun seledri dengan indikasi daun berwarna kuning kecoklatan. Sementara itu, di bagian batang, kerusakan terjadi lebih lambat dan pada umumnya batang menjadi kisut dan berwarna hijau pucat kecoklatan.


(35)

Gambar 16. Perubahan tingkat kerusakan terhadap lama penyimpanan pada suhu 10 – 15 °C

Pada Gambar 16. persen kerusakan seledri pada suhu 10 – 15 °C berkisar antara 1,17 – 70,93 % selama 9 hari penyimpanan. Persen kerusakan seledri lebih dari 20 % setelah hati ke-4 dan ke-5 pada semua perlakuan dan jenis plastik. Persen kerusakan tertinggi terjadi pada perlakuan dengan 4 lubang dengan jenis plastik PE sebesar 70,93 % pada hari ke-9. Sementara itu, dengan jumlah lubang yang sama dan menggunakan jenis plastik PP, hasil persen kerusakan tidak jauh berbeda dengan jenis plastik PE, yaitu sebesar 70,25 %. Persen kerusakan terendah terjadi pada perlakuan 2 lubang dengan jenis plastik PP sebesar 63,75 % dan jenis plastik PE sebesar 64,36 %. Jenis plastik PE ternyata memiliki persen kerusakan yang lebih tinggi daripada jenis plastik PP.


(36)

Gambar 17 menunjukkan persen kerusakan pada suhu ruang berkisar antara 2,51 – 91,59 %. Persen kerusakan lebih dari 20 % terjadi setelah hari ke-2 pada semua kondisi perlakuan dan jenis plastik. Persen kerusakan tertinggi terjadi pada kondisi 2 lubang jenis PE yaitu sebesar 91,59 % pada penyimpanan 4,5 hari. Sementara itu,persen kerusakan terendah terjadi pada kondisi tanpa lubang jenis PP sebesar 62,18 % dengan penyimpanan selama 3,5 hari.

D. WARNA

Warna pada sayuran merupakan salah satu parameter ukuran mutu pada sayuran. Bila warna pada sayuran kurang baik maka nilainya akan berkurang karena tidak menarik bagi konsumen. Warna dapat meningkatkan daya tarik dan dalam kebanyakan kasus digunakan sebagai petunjuk kemasan, selain itu warna juga berhubungan dengan rasa, bau, tekstur, nilai gizi dan keutuhan.

Pengujian warna menggunakan alat Colortech Colormeter. Data warna dinyatakan dengan nilai L (kecerahan) dan nilai a (merah-hijau). Nilai L menyatakan kecerahan (cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam). Semakin besar nilai L menunjukkan sayuran semakin rusak karena warnanya semakin pucat. Nilai +a (positif) dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau.

a. Nilai a

Perubahan warna dipengaruhi oleh kondisi atmosfer dan suhu penyimpanan. Uji ragam menunjukkan bahwa kondisi atmosfer berpengaruh nyata dari hari ke-1 sampai hari ke-9 dan hari ke-11 sampai hari ke-19. Hasil uji ragam selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Semakin tingginya nilai derajat warna hijau, artinya kandungan warna hijau pada daun semakin sedikit. Kondisi atmosfer dapat mempengaruhi metabolisme dalam sel daun. Desain kemasan terbaik pada suhu 0 – 5 °C yang dapat mempertahankan derajat warna hijau adalah PP tanpa lubang. Kondisi


(37)

pengemasan tanpa lubang dapat menekan laju respirasi dan metabolisme lebih baik daripada desain kemasan yang lain. Hal ini dikarenakan tidak adanya lubang di kemasan menyebabkan O2 di dalam kemasan lebih sedikit daripada kondisi lainnya sehingga pada akhirnya laju respirasi dapat dihambat. Selain itu, kondisi pengemasan tanpa lubang mampu mempertahankan kualitas seledri lebih baik daripada kondisi pengemasan lainnya sehingga umur simpan lebih panjang. Pada suhu 10 – 15 °C, desain kemasan yang mampu mempertahankan derajat hijau adalah PP 2 lubang. Sementara itu, pada suhu ruang, desain kemasan terbaik dalam kenaikan nilai derajat hijau adalah seledri yang dikemas dalam PP 2 lubang. Derajat warna hijau semakin meningkat (kandungan warna hijau semakin sedikit) berbanding lurus dengan banyaknya jumlah lubang. Banyaknya lubang memberikan peluang masuknya O2 lebih banyak sehingga proses respirasi meningkat. Pengaruh kondisi atmosfer berlubang yang cukup dapat mempengaruhi permeabilitas O2 dan CO2 secara lebih baik sehingga O2 yang masuk dapat ditekan seminim mungkin, akan tetapi tidak terjadi penimbunan CO2 yang berlebihan di dalam kemasan.

Menurut Fahn (1991), klorofil dapat terdegradasi secara kimia yang meliputi reaksi feofitinisasi, reaksi pembentukan klorofilid dan reaksi oksidasi. Reaksi feofitinisasi adalah reaksi pembentukan feofitin yang berwarna hijau kecoklatan. Reaksi ini terjadi karena ion Mg di pusat molekul klorofil terlepas dan diganti oleh ion H. Kecepatan pembentukan feofitin merupakan reaksi orde pertama terhadap konsentrasi asam. Warna hijau dari sayuran dengan cepat berubah dari hijau terang menjadi hijau kecoklatan karena pemanasan dan penyimpanan.

Jenis plastik yang digunakan ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap respon. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 7. Baik jenis plastik PE maupun PP, pada umumnya memiliki hasil yang tidak jauh berbeda sehingga penggunaan plastik kedua jenis ini tidak memiliki pengaruh terhadap kenaikan derajat hijau.

Suhu penyimpanan berpengaruh nyata pada hari 1 sampai hari ke-9. Pada uji lanjut Duncan di Lampiran 7 menunjukkan suhu penyimpanan 0


(38)

– 5 °C, 10 – 15 °C dan suhu ruang menghasilkan respon yang berbeda, sehingga masing-masing suhu penyimpanan ini berpengaruh nyata terhadap perubahan warna hijau daun. Semakin tinggi suhu, maka derajat warna hijau semakin naik, artinya kandungan warna hijau pada daun semakin sedikit. Pada penyimpanan suhu 0 – 5 °C seledri dalam kemasan PP tanpa lubang memiliki nilai kenaikan derajat hijau sebesar 0,305 setiap hari penyimpanan. Pada penyimpanan suhu 10 – 15 °C, seledri dalam kemasan PP 2 lubang memiliki nilai kenaikan derajat hijau sebesar 0,744 setiap hari penyimpanan. Sementara itu, pada suhu ruang, seledri dalam kemasan PP 2 lubang memiliki nilai kenaikan derajat hijau sebesar 1,72 setiap hari penyimpanan. Oleh karena itu, semakin tinggi suhu, maka laju kenaikan derajat hijau daun semakin besar. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna hijau menjadi hijau pudar, kemudian menjadi kecoklatan. Dapat disimpulkan bahwa kenaikan derajat hijau merupakan indikasi terjadinya penurunan mutu seledri selama penyimpanan. Adanya perubahan warna pada seledri disebabkan karena terdegradasinya klorofil atau perombakan klorofil selama penyimpanan. Menurut Budi dan Bambang (1995), hilangnya klorofil berkaitan dengan pembentukan atau munculnya pigmen kuning hingga merah (karotenoid). Temperatur penyimpanan yang lebih tinggi dapat mempercepat kehilangan warna hijau ada sayuran.

Menurut Fahn (1991), klorofil adalah zat warna hijau daun yang terbentuk dari proses fotosintesa tumbuh-tumbuhan. Klorofil terletak dalam badan-badan plastid yang disebut kloroplas. Kloroplas memiliki bentuk yang teratur. Klorofil berikatan erat dengan lipid, protein dan lipoprotein. Molekul-molekul ini terikat dengan ikatan monolayer. Lipid terikat karena afinitas fitol, sedangkan protein terikat karen afinitas cincin planar porfirin yang hidrofobik. Warna hijau daun pada tanaman pada umumnya adalah klorofil a dan b.

Pigmen – pigmen tanaman hijau biasanya dijumpai dalam plastid serta dalam vakuola. Warna hijau ditimbulkan oleh klorofil yang terdapat dalam kloroplas. Dalam plastid yang sama juga dijumpai karotenoid, yaitu pigmen kuning sampai merah, tetapi ditutupi oleh klorofil. Karotenoid akan tampak


(39)

bila hanya terdapat sedikit atau tidak ada klorofil sama sekali, seperti halnya yang terdapat dalam kromoplas (Fahn, 1991). Oleh karena itu, kenaikan derajat hijau daun atau penurunan kandungan warna hijau pada daun ditandai dengan munculnya warna kuning kecoklatan.

Gambar 18. Perubahan derajat hijau seledri terhadap lama penyimpanan pada suhu 0 – 5 °C

Berdasarkan Gambar 18, hasil pengukuran derajat hijau pada seledri didapatkan nilai yang berkisar -24,67 sampai -16,22. Nilai derajat hijau terbesar adalah seledri yang dikemas dengan PP tanpa lubang dengan rata-rata derajat hijau -18,27 dengan laju kenaikan terkecil yaitu sebesar 0,380. Sementara itu, nilai derajat hijau terkecil adalah seledri yang dikemas dengan PE 8 lubang sebesar -18,09 dengan laju kenaikan terbesar yaitu 0,638. Hasil persamaan regresi dapat dilihat pada Lampiran 6. Desain kemasan yang paling panjang umur simpannya pada suhu 0 – 5 °C adalah seledri yang dikemas dengan perlakuan tanpa lubang berjenis plastik PP karena mampu mempertahankan kualitas seledri sampai hari ke-25. Selain itu, seledri yang dikemas dengan plastik PE tanpa lubang dapat mempertahankan seledri selama 24 hari. Sedangkan dengan kondisi atmosfer lainnya didapatkan hasil yang berkisar antara 16 – 22 hari. Setelah hari tersebut, seledri tidak dapat diukur dalam derajat hijau karena telah rusak. Tanda-tanda kerusakan dapat dilihat pada Lampiran 4.


(40)

Gambar 19. Perubahan derajat hijau seledri terhadap lama penyimpanan pada suhu 10 – 15 °C

Pada Gambar 19 perubahan derajat hijau seledri berkisar antara -24,665 sampai -16,025. Derajat hijau seledri terkecil adalah seledri yang disimpan dalam kemasan PE 8 lubang dengan rata-rata sebesar -18,86 dan laju kenaikan sebesar 0,177. Sementara itu, derajat hijau seledri terbesar adalah seledri yang disimpan dalam kemasan PP 2 lubang dengan rata-rata sebesar -19,57 dan laju kenaikan terkecil, yaitu sebesar 0,140 setiap hari penyimpanan.

Pada suhu 10 – 15 °C, semua perlakuan memiliki umur simpan yang berkisar antara 7 – 9 hari penyimpanan. Pada hari ke-8, seledri yang dikemas dalam kondisi atmosfer PE dan PP vakum telah rusak sehingga derajat hijau hanya dapat diukur sampai hari ke-7. Pada hari ke-9, seledri yang dikemas dalam kondisi atmosfer PE dan PP 8 lubang mengalami kerusakan. Sementara itu, umur simpan yang paling panjang adalah seledri yang dikemas dengan 2 dan 4 lubang (jenis PE maupun PP) mampu mempertahankan seledri sampai pada hari ke-9 dan baru mengalami kerusakan pada hari ke-10. Tanda kerusakan seledri dapat dilihat pada Lampiran 4. Desain kemasan terbaik dalam penyimpanan pada suhu 10 – 15 °C adalah dengan perlakuan 2 dan 4 lubang, baik menggunakan jenis plastik PE maupun PP.


(41)

Gambar 20. Perubahan derajat hijau seledri terhadap lama penyimpanan pada suhu ruang

Gambar 20. menunjukan perubahan derajat hijau pada suhu ruang berkisar antara -24,665 sampai -17,16. Derajat hijau terbesar terjadi pada seledri yang dikemas dengan jenis PP 2 lubang dengan ratarata sebesar -19,41 dan laju kenaikan terkecil sebesar 1,72 setiap hari penyimpanan. Sementara itu, derajat hijau terkecil terjadi pada seledri yang dikemas dalam PE 8 lubang dengan rata-rata sebesar -18,805 dan laju kenaikan yang paling besar daripada jenis desain kemasan lainnya, yaitu 0,341 setiap hari penyimpanan. Pada seledri yang disimpan di suhu ruang, lama penyimpanan berkisar antara 3 – 4 hari. Desain kemasan terbaik adalah dengan perlakuan 2 lubang karena dapat mempertahankan umur simpan seledri selama 4 hari. Hal ini berbanding dengan hasil perubahan derajat hijau pada suhu ruang, dimana hasil terbaik diperoleh oleh perlakuan PP 2 lubang.

b. Nilai L

Nilai L merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kecerahan sayur. Semakin tinggi nilai L yang ditunjukkan oleh Chromameter maka warna seledri semakin cerah dan semakin rendah nilai L maka sebaliknya. Berdasarkan data pada Lampiran 5, diketahui pengukuran terhadap nilai L selama penyimpanan semakin meningkat. Hal ini akan berakibat pada tingkat kecerahan seledri.


(42)

Perubahan kecerahan dipengaruhi oleh kondisi atmosfer dan suhu penyimpanan. Uji ragam menunjukkan bahwa kondisi atmosfer berpengaruh nyata dari hari ke-1 sampai hari ke-9 dan hari ke-11 sampai hari ke-19. Hasil uji ragam selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Semakin turun nilai kecerahan, artinya seledri mendekati kerusakan karena seledri yang segar pada umumnya memiliki kecerahan. Kondisi atmosfer dapat mempengaruhi metabolisme dalam sel daun.

Jenis plastik yang digunakan ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap respon. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 7. Baik jenis plastik PE maupun PP, pada umumnya memiliki hasil yang tidak jauh berbeda sehingga penggunaan plastik kedua jenis ini tidak memiliki pengaruh terhadap kecerahan.

Suhu penyimpanan berpengaruh nyata pada hari 1 sampai hari ke-9. Pada uji lanjut Duncan di Lampiran 9 menunjukkan suhu penyimpanan 0 – 5 °C, 10 – 15 °C dan suhu ruang menghasilkan respon yang berbeda, sehingga masing-masing suhu penyimpanan ini berpengaruh nyata terhadap perubahan kecerahan hijau daun. Semakin tinggi suhu, maka laju penurunan kecerahan semakin tinggi. Penurunan tingkat kecerahan seledri menjadi cokelat dan gelap dapat terjadi secara enzimatis yaitu dengan adanya enzim polifenol oksidase. Enzim polifenol oksidase membuat warna menjadi kecoklatan apabila ada oksigen. Hal ini disebabkan senyawa fenol dikatalisis oleh enzim polifenol oksidase menjadi quinon dan berpolimerisasi mejadi o-quinon sehingga menghasilkan warna coklat.


(43)

Gambar 21. Perubahan tingkat kecerahan seledri terhadap lama penyimpanan pada suhu 0 – 5 °C

Grafik pada Gambar 21 menunjukkan tingkat kecerahan seledri yang disimpan pada suhu 0 – 5 °C yang cenderung menurun. Desain kemasan dengan penurunan kecerahan terbesar adalah PP 8 lubang dengan laju penurunan sebesar 0,188 setiap hari penyimpanan. Desain kemasan PE vakum mampu mencegah penurunan kecerahan lebih baik daripada desain kemasan lainnya yaitu sebesar 0,056 setiap hari penyimpanan. Hasil persamaan regresi dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada suhu 0 – 5 °C, umur simpan terpanjang adalah 25 hari dengan menggunakan kemasan PP tanpa lubang. Sementara itu, dengan desain kemasan lain, seledri mampu bertahan selama 16 – 24 hari. Tanda-tanda kerusakan pada seledri dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 22. Perubahan tingkat kecerahan seledri terhadap lama penyimpanan pada suhu 10 – 15 °C


(44)

Pada grafik yang ditunjukkan Gambar 22, kecerahan seledri mengalami penurunan. Seledri diamati selama 7 – 9 hari penyimpanan, setelah itu seledri tidak dapat diamati karena telah mengalami kerusakan. Tanda-tanda kerusakan pada seledri dapat dilihat pada Lampiran 4. Penurunan tertinggi adalah seledri yang disimpan di dalam kemasan PE 8 lubang dengan laju penurunan sebesar 0,640 setiap hari penyimpanan. Sementara itu, desain kemasan PP vakum mampu mencegah penurunan kecerahan lebih baik daripada desain kemasan lainnya, yaitu sebesar 0,168 setiap hari penyimpanan. Namun, seledri yang dikemas dalam PP vakum hanya dapat bertahan sampai hari ke-7.

Gambar 23. Perubahan tingkat kecerahan seledri terhadap lama penyimpanan pada suhu ruang

Gambar 23. menunjukan grafik perubahan tingkat kecerahan seledri pada suhu ruang. Kecerahan seledri berkisar antara 41,65 sampai 35,05. Laju penurunan kecerahan berkisar antara 0,785 sampai 1,251 setiap hari penyimpanan. Penurunan kecerahan tertinggi adalah seledri yang dikemas dengan PE 8 lubang dengan persamaan regresi y = -1,251x + 39,04. Hasil persamaan regresi dapat dilihat pada Lampiran 6. Sementara itu, desain kemasan PP tanpa lubang mampu mencegah penurunan kecerahan dengan lebih baik, tetapi dengan lama penyimpanan 3 hari. Namun, desain kemasan PP dan PE dengan 2 dan 4 lubang mampu mempertahankan umur simpan seledri lebih baik daripada desain kemasan lainnya yaitu selama 4 hari.


(45)

E. TRAKSI DAUN

Pada penyimpanan seledri, yang diukur nilai traksinya adalah potongan daun secara vertikal dan horizontal. Ukuran rata-rata daun yang diuji adalah 0,5 cm (lebar) dan 2 cm (panjang). Tujuan dari uji traksi adalah sebagai salah satu indikasi terjadinya kerusakan pada seledri, dimana semakin kecil nilai traksi daun seledri maka semakin besar tingkat kerusakannya dan tidak disukai konsumen. Adanya penyimpanan dengan pengemasan atmosfer termodifikasi dharapkan dapat mempertahankan mutu dari seledri.

Bourne (1981) menjelaskan buah-buahan dan sayur-sayuran akan kehilangan airnya karena proses transpirasi dan respirasi setelah pemanenan, sehingga tekanan turgornya menjadi semakin kecil dan menyebabkan komoditi tersebut menjadi lunak. Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1981) menurunnya kekerasan yang disimpan disebabkan oleh terdegradasinya hemiselulosa dan pektin. Pantastico (1986) melaporkan bahwa air sel yang menguap menjadikan sel menciut sehingga ruangan antar sel menyatu dan zat pektin menjadi saling berikatan.

Ketegaran daun dipengaruhi oleh faktor kondisi atmosfer, jenis plastik dan suhu penyimpanan. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji sidik ragam pada Lampiran 7. Kondisi atmosfer berpengaruh nyata pada ketegaran daun secara vertikal pada hari ke-1 sampai hari ke-21, tetapi pada hari ke-22 kondisi atmosfer tidak berpengaruh nyata karena F hitung lebih besar daripada F tabel. Begitu juga dengan pengamatan secara horizontal, kondisi atmosfer berpengaruh nyata pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-21. Menurut hasil uji lanjut Duncan, secara umum kondisi atmosfer 2 lubang memiliki nilai ketegaran yang paling baik di antara kondisi atmosfer lainnya. Sebaliknya, nilai ketegaran daun yang paling kecil diperoleh dari seledri yang dikemas dengan 8 lubang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak lubang maka semakin kecil pula nilai traksi yang dihasilkan. Kehilangan air yang cukup besar menjadi sebab utama nilai ketegaran daun. Pada kemasan yang berlubang, laju respirasi dan transpirasi menjadi lebih cepat, kemudian H2O yang dihasilkan juga lebih banyak dan pada akhirnya akan menguap seiring dengan banyaknya jumlah lubang. Pada kemasan tanpa lubang, H2O tidak dapat keluar dari


(46)

kemasan dengan baik sehingga terkondensasi dan pada umumnya membuat daun menjadi basah dan lebih layu.

Jenis plastik yang digunakan berpengaruh nyata terhadap respon yang diamati secara vertikal pada hari ke-1 sampai hari ke-13 dan hari ke-16. Selain daripada itu, jenis plastik tidak berpengaruh nyata karena F hitung lebih besar daripada F tabel. Pada pengamatan secara horizontal, jenis plastik berpengaruh nyata dari hari ke-1 sampai hari ke-21. Jenis plastik PP lebih baik daripada plastik PE dalam hal permeabilitas terhadap H2O. Koefisien permeabilitas terhadap H2O pada jenis plastik PP memiliki nilai 680 mL (STP) cm cm-2 s-1 (cm Hg-1) dan jenis plastik PE memiliki nilai sebesar 800 mL (STP) cm cm-2 s-1 (cm Hg-1). H2O akan lebih cepat keluar pada jenis kemasan PE. Pertimbangan lain adalah koefisien permeabilitas terhadap O2 dan CO2 pada plastik PE lebih besar daripada plastik PP, sehingga laju respirasi akan lebih besar dan akan lebih cepat mengalami kerusakan. Menurut hasil uji lanjut Duncan, nilai ketegaran daun yang dikemas menggunakan jenis plastik PP hasilnya lebih baik daripada daun yang dikemas dengan jenis plastik PE.

Pada pengamatan daun seledri secara vertikal, penggunaan suhu berpengaruh nyata pada hari ke-1 sampai hari ke-9. Selanjutnya, pada pengamatan daun seledri secara horizontal memiliki hasil yang sama dengan pengamatan secara vertikal, suhu berpengaruh nyata pada hari ke-1 sampai hari ke-9. Semakin tinggi suhu maka nilai traksi akan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena suhu berpengaruh terhadap hilangnya H2O yang menguap.


(47)

Gambar 24. Perubahan nilai ketegaran daun secara vertikal terhadap lama penyimpanan pada suhu 0 – 5 °C

Berdasarkan grafik pada Gambar 24, seledri yang disimpan pada suhu 0 – 5 °C selama 16 – 24 hari penyimpanan, nilai traksi daun seledri secara vertikal adalah sebesar 0,045 kgf pada hari ke-0. Pada penyimpanan pada suhu ini, nilai traksi yang diperoleh berkisar antara 0,045 kgf sampai dengan 0,004 kgf. Nilai traksi selama penyimpanan mengalami penurunan. Hasil nilai traksi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Pada penyimpanan suhu 0 – 5 °C, nilai traksi terbesar adalah seledri yang dikemas dengan PP 2 lubang dengan nilai rata-rata sebesar 0,0227 kgf dan laju penurunan sebesar 0,001 kgf setiap hari penyimpanan. Breaking point terjadi pada saat nilai traksi bernilai 0,015 kgf. Artinya, setelah nilai ini, traksi daun seledri secara vertikal mengalami sedikit penurunan karena kekuatan daun sudah melemah. Dengan kemasan PP 2 lubang yang disimpan di dalam suhu 0 – 5 °C, seledri memiliki umur simpan selama 22 hari. Sementara itu, PE 8 lubang memiliki laju penurunan terbesar yaitu 0,002 kgf dengan nilai 0,006 kgf sampai terjadinya breaking point. Nilai traksi rata-rata seledri yang dikemas dengan PE 8 lubang sebesar 0,0189 kgf dengan umur simpan selama 16 hari. Desain kemasan lain memiliki penurunan nilai sebesar 0,001 kgf sampai 0,002 kgf. Persamaan regresi dari nilai traksi dapat dilihat pada Lampiran 6.


(48)

Gambar 25. Perubahan nilai ketegaran daun secara horizontal terhadap lama penyimpanan pada suhu 0 – 5 °C

Grafik pada Gambar 25 menunjukkan perubahan nilai ketegaran daun secara horizontal yang cenderung menurun mulai dari 0,037 kgf sampai 0,001 kgf. Nilai traksi secara horizontal terkecil diperoleh dari seledri yang dikemas dengan PE 8 lubang yang memiliki rata-rata 0,011 kgf dan laju penurunannya adalah nilai terbesar jika dibandingkan dengan desain kemasan lain yaitu sebesar 0,002 kgf setiap hari penyimpanan. Semakin besar laju penurunan nilai traksi, maka kekuatan daun semakin melemah, atau dengan kata lain nilai ini menunjukkan penurunan kualitas seledri. Nilai traksi terbesar diperoleh dari seledri yang dikemas dengan PE 2 lubang karena memiliki nilai laju penurunan terkecil sebesar 0,001 kgf dan memiliki rata-rata 0,018 kgf yang merupakan nilai rata-rata terbesar di antara desain kemasan lainnya. Pada traksi daun secara horizontal, didapatkan nilai yang lebih kecil daripada traksi daun secara vertikal. Hal ini disebabkan karena struktur daun secara vertikal lebih kuat daripada secara horizontal.


(49)

Gambar 26. Perubahan nilai ketegaran daun secara vertikal terhadap lama penyimpanan pada suhu 10 – 15 °C

Berdasarkan grafik pada Gambar 26, seledri yang disimpan pada suhu 10 – 15 °C laju penurunan ketegaran daun secara vertikal berkisar antara 0,003 kgf sampai 0,005 kgf. Laju penurunan berdasarkan persamaan regresi dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada penyimpanan pada suhu ini, nilai traksi yang diperoleh mulai dari 0,045 kgf, kemudian menurun sampai dengan 0,010 kgf. Hasil nilai traksi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Pada penyimpanan suhu 10 – 15 °C, nilai traksi daun secara vertikal terbesar adalah seledri yang dikemas dengan PE 2 lubang dengan nilai rata-rata sebesar 0,0225 kgf dan laju penurunan sebesar 0,004 kgf setiap hari penyimpanan. Umur simpan seledri yang dikemas dengan PE 2 lubang dan disimpan pada suhu 0 – 5 °C adalah selama 9 hari. Laju penurunan terbesar adalah seledri yang dikemas dengan kondisi vakum, yaitu sebesar 0,005 kgf setiap hari penyimpanan. Sementara itu, nilai rata-rata traksi terkecil adalah pada daun seledri vertikal yang dikemas dengan PE 8 lubang yaitu sebesar 0,019 kgf.


(1)

Lampiran 8. Hasil uji Kruskal-Wallis Organoleptik

ORGANOLEPTIK

A. WARNA

Uji Kruskal-Wallis warna

Test Statisticsa,b

26.211 29 .614 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari0

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode0 b.

Test Statisticsa,b

500.415 19 .000 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari6

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode6 b.

Test Statisticsa,b

22.179 9 .008 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari12

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode12 b.

Test Statisticsa,b

34.729 7 .000 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari18

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode18 b.

Test Statisticsa,b

1.141 Chi-Square


(2)

128

B. AROMA

Uji Kruskal-Wallis aroma

Test Statisticsa,b

37.986 29 .123 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari0

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode0 b.

Test Statisticsa,b

305.639 19 .000 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari6

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode6 b.

Test Statisticsa,b

4.113 9 .904 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari12

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode12 b.

Test Statisticsa,b

1.480 7 .983 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari18

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode18 b.

Test Statisticsa,b

.366 1 .545 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari24

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode24 b.


(3)

C. TEKSTUR

Uji Kruskal-Wallis tekstur

Test Statisticsa,b

15.123 29 .984 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari0

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode0 b.

Test Statisticsa,b

497.177 19 .000 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari6

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode6 b.

Test Statisticsa,b

9.441 9 .398 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari12

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode12 b.

Test Statisticsa,b

16.972 7 .018 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari18

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode18 b.

Test Statisticsa,b

.129 1 .720 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari24

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode24 b.


(4)

130

D. KESEGARAN

Uji Kruskal-Wallis kesegaran

Test Statisticsa,b

13.692 29 .993 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari0

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode0 b.

Test Statisticsa,b

474.107 19 .000 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari6

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode6 b.

Test Statisticsa,b

2.522 9 .980 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari12

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode12 b.

Test Statisticsa,b

39.374 7 .000 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari18

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode18 b.

Test Statisticsa,b

.263 1 .608 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari24

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode24 b.


(5)

E. PENERIMAAN UMUM

Uji Kruskal-Wallis penerimaan umum

Test Statisticsa,b

37.986 29 .123 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari0

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode0 b.

Test Statisticsa,b

437.724 19 .000 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari6

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode6 b.

Test Statisticsa,b

3.634 9 .934 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari12

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode12 b.

Test Statisticsa,b

2.126 7 .953 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari18

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode18 b.

Test Statisticsa,b

.263 1 .608 Chi-Square

df

Asymp. Sig.

hari24

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: kode24 b.


(6)

Mira Aji Indrasari F34104084. Pengemasan Atmosfer Termodifikasi Seledri

(

Apium graveolens

L.). Di bawah bimbingan Krisnani Setyowati dan Sugiarto.

2009.

RINGKASAN

Seledri (Apium graveolens L.) adalah tanaman sayuran berbentuk rumput.

Penggunaan utama seledri adalah sebagai bumbu masak atau pelengkap makanan.

Penanganan pasca panen seledri perlu mendapat perhatian karena seledri termasuk

sayuran yang mudah rusak. Umur simpan seledri tanpa pengemasan dan pada suhu

ruang relatif singkat yaitu 2 – 3 hari. Salah satu alternatif bentuk penanganan seledri

adalah pengemasan atmosfer termodifikasi.

Pengemasan atmosfer termodifikasi diharapkan dapat memperpanjang umur

simpan dan dalam keadaan tertentu dapat mempertahankan kualitas. Dasar dari

pengemasan dengan sistem atmosfer termodifikasi adalah menurunkan kenaikan laju

respirasi dan menurunkan secara lambat proses penuaan. Desain kemasan diperlukan

untuk mendapatkan dan mempertahankan komposisi udara yang sesuai sehingga

dapat menghambat laju respirasi.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan data perubahan mutu seledri

pada kondisi atmosfer, jenis plastik dan suhu yang berbeda selama penyimpanan

dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menentukan suhu optimum penyimpanan seledri, mendapatkan kondisi pengemasan

seledri yang terbaik dan menentukan umur simpan seledri pada berbagai perlakuan

pengemasan.

Penelitian ini menggunakan pengemasan atmosfer termodifikasi yang

dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, jenis plastik dan suhu penyimpanan. Kondisi

atmosfer yang digunakan adalah vakum, tanpa lubang, 2 lubang, 4 lubang dan 8

lubang. Jenis plastik yang digunakan adalah polietilen (PE) dan polipropilen (PP)

yang berukuran 15 x 30 cm. Suhu penyimpanan adalah 0 – 5

0

C, 10 – 15

0

C dan 20 –

25

0

C. Masing-masing perlakuan dibuat dua kali ulangan dan disimpan selama 25 hari.

Analisa dilakukan setiap hari, tetapi uji organoleptik hanya dilakukan pada hari ke-0,

hari ke-6, hari ke-12, hari ke-18 dan hari ke-24. Alat yang digunakan dalam penelitian

ini adalah timbangan digital,

sealer,

vacuum packer, pelubang 5 mm, lemari es

(refrigerator), colortech colormeter,

rheometer, cawan petri,

erlenmeyer, inkubator,

colony counter.

Penurunan mutu selama penyimpanan terjadi pada seledri yang telah dikemas.

Parameter penurunan mutu adalah susut bobot, kadar air, tingkat kerusakan, warna

dan ketegaran daun. Kondisi pengemasan memberikan pengaruh yang berbeda-beda

terhadap respon dan parameter yang diukur. Kondisi pengemasan tanpa lubang

berjenis PP yang disimpan pada suhu 0 – 5

0

C merupakan desain terbaik karena dapat

mempertahankan kualitas seledri sampai 25 hari. Sementara itu, desain kemasan

lainnya hanya dapat mempertahankan kualitas seledri kurang dari 25 hari. Laju

penurunan susut bobot dalam PP tanpa lubang adalah 0,908 % per satuan hari

penyimpanan. Laju penurunan kadar air sebesar 0,001% persatuan hari penyimpanan.

Laju kenaikan tingkat kerusakan sebesar 2,347%. Laju kenaikan derajat hijau sebesar

0,305 dan laju penurunan kecerahan sebesar 0,161. Laju penurunan ketegaran daun

sebesar 0,001 kgf persatuan hari penyimpanan. Gejala kerusakan seledri adalah daun

berwarna kecoklatan, batang hijau pudar kisut, lembek, berlendir dan mengeluarkan

bau busuk yang menyengat.