The Development of Plankton Acoustics Descriptor in Inner Ambon Bay by Using Biosonic Echosounder DT-X.

PENGEMBANGAN DESKRIPTOR AKUSTIK PLANKTON
DI TELUK AMBON BAGIAN DALAM
MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER BIOSONIC DT-X

JOHN WALDI CHRISFENTHO KARUWAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Deskriptor
Akustik Plankton di Teluk Ambon Bagian Dalam Menggunakan Echosounder
Biosonic DT-X adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

John Waldi Chrisfentho Karuwal
NRP C552100011

RINGKASAN
JOHN WALDI CHRISFENTHO KARUWAL. Pengembangan Deskriptor Akustik
Plankton di Teluk Ambon Bagian Dalam Menggunakan Echosounder Biosonic DTX. Dibawah bimbingan SRI PUJIYATI dan INDRA JAYA.
Plankton merupakan biota yang sangat penting peranannya dalam rantai makanan
di suatu perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis beberapa parameter
fisik-kimia perairan yang diduga mempengaruhi nilai parameter akustik plankton,
mendapatkan nilai parameter akustik dari plankton memakai instrumen hidroakustik split
beam echosounder untuk kuantifikasi dan identifikasi plankton dan mengembangkan
suatu deskriptor akustik untuk mempermudah kegiatan kuantifikasi dan identifikasi
komunitas plankton.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 yang berlokasi di perairan
Teluk Ambon Bagian Dalam (TAD), Pulau Ambon, Propinsi Maluku pada posisi
128o12’792”- 128o12’792” BT dan 3o38’795”- 3o38’874 LS. Kedalaman perairan di
lokasi penelitian adalah 25,17-27,00 meter dengan kedalaman rata-rata 25,93 meter.

Temperatur perairan pada kisaran 28,84-30,10oC dan rata-rata 29,43oC dimana pada
siang hari sebesar 29,37oC dan malam hari sebesar 29,48oC. Salinitas rata-rata tiap
pengukuran berkisar antara 33,53-33,62 PSU, dimana salinitas permukaan air laut
sebesar 31,76-32,67 PSU dan dasar perairan sebesar 33,80-33,89 PSU. Densitas perairan
berada pada level 1.019,79-1.021,39 kg m-3. Kekeruhan rata-rata perairan tiap
pengamatan sebesar 0,949-0,957 NTU dengan nilai tertinggi pada 1,005 dan terrendah
pada 0,921 NTU.
Komunitas fitoplankton ditemukan pada lokasi penelitian sebanyak 26 genus
terdiri dari 6 kelas yang digolongkan dalam kelas Bacillariophyceae (4 genus), Ciliatea
(2 genus), Coscinodiscophyceae (10 genus), Cyanophyceae (1 genus), Dynophyceae (6
genus), dan Fragilariophyceae (3 genus). Hasil identifikasi sampel zooplankton,
diperoleh komposisi jenis zooplankton di lokasi penelitian sebanyak 41 jenis yang terdiri
dari 6 filum, yaitu filum Arthropoda, Chaetognatha, Cnidaria, Echinodermata, Mollusca
dan Annelida.
43 buah echogram data perekaman akustik mendapatkan 7038 poligon yang
diolah untuk mendapatkan 7 variabel deskriptor dalam 3 kategori yaitu deskriptor
morfometrik (tinggi), batimetrik (kedalaman dan ketinggian relatif) dan energetik (Sv,
Sa, Skewness dan Kurtosis). Hasil analisis K means cluster menunjukan bahwa variabel
scattering volume dan skewness sangat berpengaruh dalam pembentukan kluster
dibandingkan variabel yang lain. Analisis diskriminan mendapatkan bahwa kontribusi

dari 7 deskriptor yang digunakan untuk membentuk deskriptor yaitu Sv (>20 %), Sa,
kedalaman dan kurtosis memiliki kontribusi 15 - 20 %, tinggi dan skewness memiliki
kontribusi dibawah 10 – 14,99 %. Model fungsi diskriminan yang diperoleh dari
hasil penelitian ini memberikan ketepatan pengklasifikasian 9 kelompok waktu
sampling sebesar 26,3%.

Kata kunci : klasifikasi, deskriptor akustik, plankton

SUMMARY
JOHN WALDI CHRISFENTHO KARUWAL. The Development of Plankton
Acoustics Descriptor in Inner Ambon Bay by Using Biosonic Echosounder DT-X.
Supervised by SRI PUJIYATI and INDRA JAYA.
Plankton is a very important organism in the food chain of the water coloum.
The aim of this research is to analyze some of the physical parameters of waters that
suspected influenced the acoustic parameters of plankton, to get acoustic parameter
values from plankton by using split beam echosounder for quantification and
identification plankton and developed an acoustic descriptors to identification and
quantification activities community of plankton.
The research was carried out in March 2012, located in Inner Ambon Bay
waters, Ambon Island, Moluccas province, at the position of 128o12’792” - 128o12’

792” BT and 3o38’795” - 3o38’874” LS. The depth of the waters at the site of the
research are 25,17-27.00 meters with an average depth of 25,93 meters. Water
temperature is 28,84 – 30,10oC with average 29,43oC where during the daytime is
29,37oC, and at night is 29,48oC. The salinity average of each measurement range
between 33,53-33,62 PSU, where the salinity at the surface of sea water are 31,7632,67 PSU and at bottom the waters are 33,80-33,89 PSU. The density of water are
1.019,79-1.019,39 kg.m-3. Average of the waters turbidity every observation are
0,949-0,957 NTU with the highest value is 0,921 and at the lowest is 1,005 NTU.
The community of phytoplankton found in research locations are 26 genus
consists of 6 classes that are classified in the class Bacillariophyceae (4 genera),
Ciliatea (2 genera), Coscinodiscophyceae (10 genera), Cyanophyceae (1 genus),
Dynophyceae (6 genera) and Fragilariophyceae (3 genera). The identification of
zooplankton samples results, obtained the composition of zooplankton species in
research location are 41 types consists of 6 phylum, which was the Arthropod,
Chaetognatha, Cnidarians, Echinoderms, Molluscs and Annelids.
There were 43 acoustics echogram data has been processed 7038 polygons to
get 7 variable descriptors in 3 categories, namely morfometrik (high), bathymetric
(depth and relative height) and energetic (Sv, skewness and kurtosis, Sa). K-means
Cluster analysis results showed that the variables of Scattering volume and skewness
were very influential in form a cluster while another variables. Discriminant analysis
has shown that the contribution of 7 descriptors are used to form the descriptors are

Sv (> 20%), Sa, depth and kurtosis contributed to 15-20%, and skewness contributed
under 10- 14.99%. The discriminant function model is obtained from the results of
this research provide the precision for 9 sampling time groups is 26.3% for
classification.
Key words: classification, acoustic descriptors, plankton

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN DESKRIPTOR AKUSTIK PLANKTON
DI TELUK AMBON BAGIAN DALAM
MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER BIOSONIC DT-X

JOHN WALDI CHRISFENTHO KARUWAL


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Fauziyah

Judul Tesis
Nama
NRP

Pengembangan Deskriptor Akustik Plankton di Teluk Ambon
Bagian Dalam Menggunakan Echosounder Biosonic DT-X

John Waldi Chrisfentho Karuwal
C552100011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr.

iイ|QセZエ

M.8i

セWサ@
Prof. Dr. If. Indra Jaya, M.Sc
Anggota

Ketua

Diketahui


Ketua Program Studi
Teknolo i Kelautan

Tanggal Ujian : 21 Juni 2013

Tanggal Lulus:

15 AU G 2013

Judul Tesis
Nama
NRP

: Pengembangan Deskriptor Akustik Plankton di Teluk Ambon
Bagian Dalam Menggunakan Echosounder Biosonic DT-X
: John Waldi Chrisfentho Karuwal
: C552100011

Disetujui
Komisi Pembimbing


Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si
Ketua

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 21 Juni 2013


Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kekuatan dan
anugerah yang Dia berikan maka tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Magister Sains pada Program
Studi Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis banyak menerima bantuan berbagai pihak selama proses penyelesaian
tesis ini, karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan
ucapan terima kasih yang tulus serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1.
Ibu Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si, selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah
meluangkan waktu, pikiran serta keikhlasannya dalam membimbing dan
memberikan arahan, masukan serta dorongan moril yang tidak ternilai, mulai
dari konsultasi judul, pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian hingga
penyelesaian tesis ini.
2.
Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si, selaku Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan, SPs-IPB yang telah membantu selama penulis menempuh

pendidikan di Program Studi Teknologi Kelautan.
3.
Rektor IPB, Dekan dan Sekretaris Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil
Dekan FPIK IPB atas kesempatan dan fasilitas selama penulis melaksanakan
studi.
4.
Penguji luar komisi Ibu Dr. Fauziyah, atas masukan dan koreksinya.
5.
Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Muhammadiyah Maluku Utara atas ijin dan kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan S2.
6.
Koordinator Kopertis Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua
Barat yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi S2.
7.
Pengelola BPPS Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional yang telah membiayai pendidikan penulis.
8.
Yayasan Toyota Astra atas bantuan penelitian yang diberikan untuk
penyelesaian penulisan tesis ini.
9.
Fakultas Perikanan Universitas Pattimura dan Upt Balai Konservasi Biota Laut,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Ambon atas penggunaan peralatan
saat penelitian.
10. Tante Omi, La Imu, Pak Bob Latumeten, crew speed boad Politeknik Negeri
Ambon atas bantuan dan kerjasama saat pengambilan data lapangan.
11. Pak Fahmi dan Pak Asep Priatna atas bantuan teknis saat pengolahan data
akustik.
12. Papa Thom Karuwal (Alm) dan Mama Fien Karuwal/B (Almh), Papa mertua
Wem Hiariey (Alm) dan Mama S.M.D. Hiariey/I (Almh), Tante Leng Karuwal,
adik En dan keluarga, Ani dan keluarga, Echa dan keluarga, Itha Karuwal,
kakak-kakak ipar Richard dan Keluarga, Stenly dan Keluarga, Yopi dan Anna,
dengan rasa hormat penulis persembahkan ucapan terima kasih yang tulus atas
segala doa dan pengorbanan yang tiada tara baik materi dan moril selama
penulis melaksanakan studi.
13. Istri tercinta Sandra Leony Hiariey SP, M.Si, anak-anak yang terkasih Shawn
Joaquinn Karuwal dan Aprillya Grace Chrystin Karuwal, yang selalu sabar dan

menjadi penyemangat serta motivasi, baik dalam suka maupun duka. Terima
kasih atas pengorbanan yang telah diberikan selama ini.
14. Seluruh rekan kuliah di Program Studi Teknologi Kelautan, khususnya rekanrekan TEK 2010 (Pak Bambang, Acta, Murjad, Elis, Widi dan Meis) dan Eva
Kadmaer atas dukungan, kebersamaan dan semangat saling menguatkan untuk
menyelesaikan pendidikan ini.
15. Pak Danu, Pak Arja, Mbak Niar, Mbak Maya dan Ibu Yanti atas dukungan
yang diberikan saat kuliah di pasca TEK IPB.
16. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penelitian
hingga tersusunnya tesis ini.
Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan industri
pangan di Indonesia dan khususnya di Maluku, serta ilmu pengetahuan dan
masyarakat luas.

Bogor, Juli 2013

John Waldi Chrisfento Karuwal

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Kerangka pemikiran
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
Plankton
Metode hidroakustik
Split beam Echosounder
Deskriptor Akustik
Pendekatan metode hidroakustik terhadap Plankton
Faktor-Faktor Fisik Kimia Perairan
Temperatur
Salinitas
Densitas
Turbiditas
3. METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan lokasi penelitian
Perangkat dan peralatan Penelitian
Instrumen BIOSONIC DT-X scientific echosounder system
Kapal
Alat pengambilan contoh plankton
Pengambilan data akustik
Pengambilan contoh dan identifikasi plankton
Analisis data
Analisis plankton
Analisis data akustik
Analisis hubungan antara variabel
Analisis nilai deskriptor akustik
4. FAKTOR BIOLOGI DAN LINGKUNGAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Batimetri
Temperatur
Salinitas
Densitas
Kekeruhan
Distribusi Vertikal Komunitas Plankton
Komposisi plankton
Kelimpahan plankton
Hubungan antara parameter fisik perairan dan komunitas plankton

xv
xvii
xii
xviii
1
2
3
3
4
5
6
6
7
8
10
10
11
12
12
15
16
16
16
17
17
18
19
19
20
22
22
23
23
24
25
27
27
28
28
34
37

Hubungan antara zooplankton dan fitoplankton
5. DESKRIPTOR AKUSTIK PLANKTON
Nilai dan sebaran menegak volume backscattering strength (Sv) rata-rata
plankton
Hubungan nilai volume backscattering (Svrata-rata) plankton dengan faktor
fisik perairan
Hubungan antara sebaran nilai backscattering volume (Svrata-rata) dengan
kelimpahan plankton hasil tangkapan dengan Vandorn Water Sampler
Deskriptor Akustik Plankton
Analisis Statistik
Analisis Korelasi Parameter Deskriptor Plankton
Analisis Faktor Parameter Deskriptor Plankton
Analisis Kelompok Parameter Deskriptor Plankton
Analisis Diskriminan Parameter Deskriptor Plankton
6. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

38

39
40
41
43
43
44
44
45
47
51
51
53
57
81

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

7

8
9
10
11
12
13
14
15
16

Spesifikasi Biosonic DT-X scientific echosounder system
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian akustik plankton
Deskriptor Akustik menurut Charef et al. (2010) yang telah dimodifikasi
Nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks
dominansi (D) fitoplankton selama pengamatan
Nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks
dominansi (C) zooplankton di lokasi penelitian
Nilai Sv rata-rata plankton berdasarkan strata kedalaman pada
frekwensi 206 kHz di luar waktu sampling plankton di TelukAmbon
Bagian Dalam
Nilai koefisien regresi (R) dan koefisien determinasi (R2) dari hubungan
nilai volume backscattering strength plankton dan parameter fisik
perairan
Nilai analisis regresi linear hubungan nilai Svrata-rata terhadap
kelimpahan zooplankton (ind/m3) dan fitoplankton (sel/m3)
Deskripsi statistik 7038 poligon yang membentuk deskriptor akustik
Matriks korelasi antar deskriptor akustik
Nilai Communalities
Nilai Test of Equality
Variabel Pembentuk Fungsi Diskriminan
Nilai Wilk’s Lambda
Nilai Matriks Struktur
Hasil nilai klasifikasi analisis diskriminan

16
17
22
35
36

39

41
42
43
44
45
47
48
48
48
49

DAFTAR GAMBAR
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Kerangka pemikiran penelitian
Plot teoritis dari model 3 tipe hamburan akustik zooplankton
(Martin et al., (1996) dan Stanton et al., (1996, 1998)
Lokasi penelitian
Diagram alir pengambilan data akustik
Ilustrasi skema pengukuran deskriptor akustik
Profil menegak temperatur perairan lokasi penelitian
Profil menegak kondisi salinitas menegak lokasi penelitian
Diagram T-S di lokasi penelitian
Diagram T-S Perairan Laut Banda Sekitar Pulau Ambon
Profil menegak densitas perairan di lokasi penelitian
Profil menegak kekeruhan perairan di lokasi penelitian
Komposisi kelas fitoplankton yang ditemukan pada waktu penelitian
Komposisi genus fitoplankton yang ditemukan pada waktu penelitian
Komposisi genus fitoplankton berdasarkan kedalaman
Komposisi zooplankton yang ditemukan berdasarkan waktu penelitian
Komposisi zooplankton yang ditemukan berdasarkan kedalaman

3
9
15
18
21
24
25
26
26
27
28
29
30
31
33
33

16 Persentase kelompok dominan penyusun komunitas zooplankton
17 Profil vertikal nilai Scattering Volume plankton pada frekuensi 206 kHz
18 Pola sebaran kelimpahan zooplankton (ind/m3) dan fitoplankton (sel/m3)
di lokasi penelitian
19 Dendogram hubungan kemiripan antar variabel deskriptor
20 Diagram Pareto Nilai Penting Variabel Deskriptor

34
40
42
46
49

DAFTAR LAMPIRAN
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Alat-alat yang dipakai dalam Penelitian
Jenis-jenis zooplankton yang ditemukan
Jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan
Indeks Ekologi Fitoplankton
Indeks Ekologi Zooplankton
Rataan nilai indeks dispersi Morisita (I ) Masing-masing genera
fitoplankton di perairan selama penelitian
Rataan nilai indeks dispersi Morisita (I ) Masing-masing genera
zooplankton di perairan selama penelitian
Nilai Kelimpahan Zooplankton (ind/m3) dan Fitoplankton (sel/m3)
di teluk Ambon Dalam
Hasil Analisis Regresi Linear Hubungan Zooplankton dan Fitoplankton
di Teluk Ambon Bagian Dalam
Echogram plankton
Analisis Statistik
Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Parameter Fisik Perairan
terhadap Kelimpahan Fitoplankton
Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Parameter Fisik Perairan
terhadap Kelimpahan Zooplankton
Nilai Korelasi plankton dengan parameter fisik perairan

57
58
61
63
64
65
66
67
68
69
70
75
77
79

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Plankton merupakan biota yang sangat penting peranannya dalam rantai
makanan di suatu perairan. Mereka menjadi kunci utama dalam transfer energi dari
produsen utama ke konsumen pada tingkatan pertama dalam tropik ekologi, seperti
di lautan; ikan, mamalia, penyu dan hewan terbesar yakni paus pemakan plankton
(Baleens whale). Plankton juga berperan dalam mereduksi nitrogen di perairan
melalui proses penguraian nitrogen sehingga berguna bagi bakteri dan produktivitas
fitoplankton.
Peranan lainnya yang tidak kalah penting adalah memfasilitasi penyerapan
karbondioksida (CO2) di laut. Zooplankton memakan fitoplankton yang menyerap
CO2 dan kemudian setiap harinya turun ke bagian dasar untuk menghindari
pemangsa di permukaan seperti ikan predator, sehingga karbon yang berada di dalam
plankton tersebut dapat terendapkan di sedimen dan terdegradasi. Oleh karena itu
plankton memegang peranan dalam pendistribusian CO2 dari permukaan ke dalam
sedimen didasar laut.
Perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan temperatur permukaan
perairan juga sangat mempengaruhi keberadaan plankton baik kelimpahan,
komposisi, hingga keanekaragamannya di lautan. Hal ini sangat berdampak sangat
besar dalam proses produktivitas rantai makanan secara luas. Pentingnya peranan
plankton sehingga telah dikembangkan berbagai metode untuk meneliti keberadaan
plankton dalam suatu perairan.
Salah satu metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai kebedaaan
organisme di kolom air seperti plankton dan ikan, hingga dasar perairan adalah
dengan menggunakan echosounder dan pengolahan data secara digital sudah
dikembangkan. Penelitian untuk melihat nilai hambur balik plankton dengan metode
akustik telah dilakukan di beberapa negara lain seiring dengan perhatian dunia
terhadap dampak pemanasan global bagi ekosistem perairan. Penelitian untuk
melihat hubungan antara distribusi spasial plankton dan parameter bio-fisik
lingkungan dengan sebaran sumberdaya perikanan anchovi. Alat yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah echosounder Simrad EK 60 dengan frekuensi 18, 38, 120,
and 200 kHz. Hasil dari penelitian tersebut adalah diperoleh adanya empat klasifikasi
plankton menurut equivalent spherical diameter (ESD; mm): 0,0 - 0.35 (Klas I),
0,35 – 0,8 (Klas II), 0,8 – 2,0 (klas III), and >2,0 mm (Klas IV) menurut Lebourges,
et al (2009).
Beberapa tahun terakhir penelitian plankton dengan metode akustik telah
dikembangkan menggunakan teknik dan peralatan yang lebih maju yaitu penggunaan
broad band acoustic Lavery, et al 2009. Pemakaian metode ini memungkinkan orang
untuk mengidentifikasi komunitas plankton hingga jenisnya.
Daly et al, 2001 menyatakan bahwa metode akustik memiliki beberapa
kelebihan dalam mengestimasi sumberdaya perairan dibandingkan dengan metode
konvensional antara lain; berbiaya efektif, dapat dioperasikan oleh orang awam
akustik, tidak-invasif, tidak mempengaruhi perilaku organisme, tidak selektif, bias
yang minimal terhadap ukuran atau perilaku sampling, menguatkan teori dan metode,
hasil yang real time, mengumpulkan sejumlah besar data untuk dibandingkan secara

2
statistik, dapat menyapu sampel air dalam volume yang besar. Keterbatasannya
antara lain agak susah untuk mengidentifikasi spesies, agak sulit untuk memperoleh
informasi di dekat permukaan dan pada lapisan bawah, butuh investasi awal yang
besar, relatif kompleks untuk digunakan, memerlukan pelatihan dan pengalaman, dan
kemungkinan berdampak pada beberapa mamalia laut dan ikan.
Struktur dan kepadatan plankton sangat mempengaruhi kestabilan rantai
makanan dalam ekosistem di suatu perairan. Pengetahuan tentang keadaan komunitas
plankton ini berguna untuk mamahami kondisi produktivitas primer dan kondisi
kesehatan sumberdaya serta manajemen lingkungan perairan.
Metode identifikasi spesies kawanan ikan dengan menggunakan deskriptor
akustik telah lama dikembangkan sehingga dapat membedakan secara efisien struktur
dari kawanan ikan pelagis yang berbeda (Diner et al., 1989; Georgakarakos dan
Paterakis, 1993 dan Muhiddin, 2010). Sistem pengolah sinyal akustik untuk
identifikasi ikan dengan metode deskriptor akustik berisi program untuk transformasi
citra digital, pengolahan citra digital, pengukuran dan komputasi deskriptor dan
fungsi diskriminan untuk identifikasi spesies (Fauziyah, 2005). Namun penerapannya
untuk mengidentifikasi plankton belum digunakan.
Secara geografis Teluk Ambon terletak antara 3° 37' 00" - 3° 48' 00" LS dan
128° 00' 00" - 128° 15' 00" BT. Teluk ini terdiri dari dua bagian yaitu Teluk Ambon
bagian dalam yang luasnya sekitar 6 km2 dengan kedalaman maksim 42 m dan Teluk
Ambon bagian luar dengan luas sekitar 100 km2 yang mempunyai kedalaman laut
>100 m, dan berhubungan langsung dengan Laut Banda. Kedua daerah ini
dipisahkan oleh Sebuah ambang (sill) dengan lebar 500 m dan kedalaman 15 meter.

Perumusan masalah
Penerapan teknologi akustik di Indonesia dalam penelitian dan pengembangan
bidang kelautan hingga saat ini masih sangat terbatas. Minimnya sarana dan
prasarana menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan teknologi akustik di
Indonesia. Namun beberapa waktu terakhir ini teknik akustik mulai banyak
digunakan untuk mengetahui dan memetakan sumberdaya perairan.
Kemajuan teknik pemetaan dasar perairan saat ini yang dipicu oleh
perkembangan yang berkesinambungan dari sistem akustik (side scan sonar, multi
beam sonar, acoustic discrimination systems) menawarkan potensi untuk pekerjaan
pemetaan dan monitoring ekosistem lautan (Brown, et al., 2005).
Metode akustik dianggap mampu memberikan solusi dalam pendugaan
karakteristik kolom perairan yang memungkinkan sejumlah penelitian lanjutan
mengenai kolom perairan dapat dilakukan. Tingginya variasi pada kolom perairan
membuat banyak hal yang masih belum jelas dalam pendugaan karakteristik
organisme yang mendiami perairan dengan menggunakan metode akustik. Plankton
adalah salah satu organisme penting perairan yang karakternya bergantung pada
dinamika perairan setempat. Karakter plankton memiliki penciri tertentu yang
dapat diamati untuk membedakan struktur komunitasnya secara hidroakustik
yakni cenderung mengelompok struktur komunitasnya.

3
Kerangkan pemikiran
Plankton memiliki sifat dan karakter mengelompok yang dapat dideteksi
secara hidroakustik. Parameter akustik
seperti target strength dan volume
backscattering dari organisme plankton di kolom perairan sangat dibutuhkan dalam
dunia perikanan yang butuh pengembangan untuk mempermudah proses identifikasi
dan pemahaman komunitas ini. Secara akustik setiap organisme memberikan
pantulan terhadap energi suara yang dikenainya sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
pendeskripsi (deskriptor) diri. Selama ini dekriptor untuk ikan telah banyak
dikembangkan namun untuk plankton belum dibuat. Hal ini berkaitan erat dimana
keberadaan plankton memiliki peranan yang sangat esensial sebagai produsen primer
dalam rantai makanan di perairan sebagai tropik level tingkat I.
Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan pengkajian parameter
akustik plankton serta kaitannya dengan parameter biologi-fisika lingkungan perairan
yang diduga mempengaruhi nilai parameter akustik dari plankton. Kemudian
dikembangkan suatu deskriptor akustik untuk kuantifikasi identifikasi komunitas
plankton tersebut. Gambar 1 memberikan kerangka pemikiran penelitian.
Masalah identifikasi Plankton
Echosounder
split beam

Kalibrasi
 Kedalaman
 Kecepatan suara
 Panjang pulsa

Data akustik
Raw data (tracking)
(Pengukuran akustik
plankton
Post-proccessing
Echoview, Visual Analyzer
Ms Excel & SPSS

Pengecekan lapangaan

Van Dorn
bottle

Fisik Air
Laut (CTD

Identifikasi
Manual

Kuantifikasi dan
Identifikasi plankton
Deskriptor Akustik
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Menganalisis beberapa parameter fisik perairan yang diduga mempengaruhi nilai
parameter akustik plankton.
2) Mendapatkan nilai parameter akustik dari plankton memakai instrumen
hidroakustik split beam echosounder untuk kuantifikasi dan identifikasi
plankton.

4
3) Mengembangkan suatu deskriptor akustik untuk mempermudah kegiatan
kuantifikasi dan identifikasi komunitas plankton.

Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat mengenai gambaran
karakteristik plankton berdasarkan nilai parameter akustik yang dihasilkan oleh
berbagai jenis plankton dengan menggunakan split beam echosounder. Pola yang
didapatkan diharapkan dapat dikembangkan menjadi suatu deskriptor dalam proses
mengklasifikasikan plankton dengan menggunakan instrumen hidroakustik split
beam echosounder.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Plankton
Parson dan Takahashi (1973) mendefinisikan plankton sebagai organisme yang
tidak dapat menyebar melawan pergerakan massa air, yaitu meliputi (bakteri),
fitoplankton (plankton tumbuhan) dan zooplankton (plankton hewan). Odum (1971)
menambahkan bahwa plankton adalah semua kumpulan organisme, baik hewan
maupun tumbuhan air berukuran mikroskopis dan hidupnya terapung atau melayang
mengikuti arus air. Sedangkan Newell dan Newell (1971) menyatakan bahwa
plankton sebagai organisme berukuran renik yang melayang-layang dalam kolom
perairan dan kemampuan renangnya sangat lemah sehingga dipengaruhi oleh gerakan
air.
Plankton dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan fungsi yaitu
fitoplankton yang terdiri dari tumbuhan air yang bersifat planktonis serta mampu
berfotosintesis dan zooplankton yang terdiri dari hewan air yang bersifat planktonis
(Nyabakken, 1992). Raymond (1984) serta Newell and Newell (1977) membedakan
plankton menjadi dua kelompok berdasarkan daur hidupnya yaitu holoplankton dan
meroplankton. Holoplankton adalah plankton yang seluruh daur hidupnya bersifat
planktonik seperti Copepoda, Rotatoria dan Chaetognatha; sedangkan meroplankton
merupakan organisme yang sebagian daur hidupnya berupa plankton seperti larva
ikan, larva crustacea, dan larva moluska.
Plankton sangat beraneka ragam dan terdiri dari berbagai macam larva yang
bentuk dewasanya mewakili hampir seluruh hewan laut (Nyabakken, 1992).
Hutabarat dan Evans (1986) menambahkan bahwa zooplankton sebagai kelompok
hewan sangat banyak macamnya termasuk kelompok Protozoa, Coelenterata,
Moluska, Annelida dan Crustacea. Secara menyeluruh plankton didominasi oleh
jenis-jenis crustacea, baik dalam jumlah individu maupun jumlah spesiesnya (Odum,
1971). Secara ekologi Nyabakken (1992) menyatakan bahwa hanya satu golongan
plankton yang sangat penting di laut yaitu kelas Copepoda dan filum Crustacea yang
mendominasi 50 – 80 % dari plankton yang berada di lautan (Wickstead, 1965).
Muara sungai/estuari adalah perairan pantai yang semi tertutup, dimana air
tawar dari sungai dan air laut bertemu dan bercampur membentuk suatu ekosistem
yang unik dan kompleks (Sumich, 1992). Jadi estuari adalah bagian dari sistem
sungai yang dipengaruhi oleh aksi pasang surut dan sifat dinamika dan fisik laut
lainnya, seperti arus, gelombang, salinitas dan lain-lain. Interaksi air tawar dan air
asin menentukan sirkulasi air dan proses percampuran yang dibangkitkan oleh
perbedaan densitas antar dua jenis air. Densitas air laut tergantung pada salinitas dan
temperatur, tapi di estuari kisaran salinitas sangat besar sedangkan kisaran
temperatur kecil.
Variasi sifat habitat estuari, terutama dilihat dari fluktuasi salinitas dan
temperatur, membuat estuari menjadi habitat yang tertekan dan keras. Tetapi
menurut Sumich (1992) estuari adalah ekosistem yang produktif dan merupakan
daerah untuk mencari makan atau sebagai daerah tempat asuhan bagi sebagian
organisme laut.
Frid dan Huliselan, 1998 mendapati bahwa di Teluk Ambon ada 56 spesies
zooplankton dari 96.465 individu/m3 yang ditemukan dimana Copepoda merupakan

6
kelompok yang dominan sebesar 23 spesies dengan persentase 71% dari total
individu. Pelasula dan Mudjiono, 2007 menyatakan bahwa di Teluk Ambon selama
pengamatan bulan Februari hingga Agustus 2007, struktur komunitas plankton
didominasi oleh kelompok Copepoda jenis Calanoida sp dan Cyclopoida sp sebesar
18,20-93,77%. Hasil penelitian Mulyadi dan Radjab, 2009 mendapati bahwa
zooplankton yang predominan di teluk Ambon adalah jenis Copepoda,
Meroplankton, Lucifera, Thaliacea dan Chaetognatha adalah plankton yang
predominan dimana persentase kelimpahan rata-rata pada Copepoda adalah 61,23 %
dari total plankton.
Fitoplankton memiliki peranan yang sangat penting di dalam suatu perairan
karena kemampuannya melakukan fotosintesis. Berperan sebagai pengikat awal
energi matahari yang sangat menentukan kelangsungan hubungan makan-memakan
dalam kehidupan biota di laut (Odum, 1971). Nybakken (1992) menyatakan bahwa
fitoplankton air asin yang berukuran besar dan terdapat dalam jumlah yang banyak
adalah dari kelompok diatom dan dinoflagelata.
Wagey, 2002 mengemukakan bahwa selama periode penelitian 1996-1998
menemukan di teluk Ambon terdapat 105 spesies fitoplankton yang terdiri dari
diatom (78 spesies), dinoflagelata (44 spesies) silicoflagelata (2 spesies) dan
cyanobacteria (1 spesies). 3 spesies dinoflagelata merupakan jenis baru di Indonesia
yaitu Gymnodinium catenatum, Alexandrium cohorticula dan Fragilidium cf.
mexicanum. Pelasula dan Mudjiono, 2007 menyatakan bahwa selama bulan Februari
hingga Agustus 2007, struktur biomassa fitoplankton di Teluk Ambon didominasi
oleh jenis Trichodesmium sebesar 5,18-96,61%.

Metode hidroakustik
Akustik merupakan ilmu yang mempelajari mengenai gelombang suara dan
perambatannya dalam suatu medium. Prinsip dari pengoperasian alat akustik adalah
dengan gelombang suara yang ditransmisikan ke kolom perairan dalam bentuk pulsa
yang nantinya akan mengenai target kemudian dilakukan analisa terhadap pantulan
yang diberikan oleh target.
Prinsip dari pengoperasian metode hidroakustik adalah dimulai dari timer yang
berfungsi sebagai penanda pulsa listrik untuk mengaktifkan pemancaran pulsa yang
akan dipancarkan oleh transmitter melalui transducer. Transducer berfungsi
mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika suara akan dipancarkan ke
medium. Gelombang akustik yang merambat di kolom perairan akan mengenai
target seperti ikan atau dasar perairan dimana gelombang akustik ini akan
dipantulkan kembali dalam bentuk echo dan akan diterima oleh transducer dan
mengubahnya menjadi energi listrik dan diteruskan ke receiver amplifier yang
berfungsi untuk menguatkan sinyal listrik sebelum diteruskan ke unit peraga untuk
ditampilkan dalam bentuk echogram (MacLennan dan Simmonds, 2005).

Split beam echosounder
Split beam merupakan metode baru yang dikembangkan untuk memperbaiki
kelemahan- kelemahan dari metode sebelumnya seperti single beam dan dual beam.

7
Perbedaan split beam dengan metode sebelumnya terdapat pada konstruksi
transducer yang digunakan, dimana pada echosounder ini transducer dibagi dalam
empat kuadran. Pemancaran gelombang suara dilakukan dengan full beam yang
merupakan penggabungan dari keempat kuadran dalam pemancaran secara simultan.
Selanjutnya, sinyal yang memancar kembali dari target diterima oleh masing-masing
kuadran secara terpisah, output dari masing-masing kuadran kemudian digabungkan
lagi untuk membentuk suatu full beam dengan dua set split beam. Target tunggal
diisolasi dengan menggunakan output dari full beam sedangkan posisi sudut target
dihitung dari kedua set split beam. Pada prinsipnya tranducer split beam terdiri dari
empat kuadran yaitu Fore (bagian depan), Aft (bagian belakang), Port (sisi kiri
kapal) dan Starboard (sisi kanan kapal)
Split beam echosounder memiliki fungsi Time Varied Gain (TVG) di dalam
sistem perolehan data akustik. TVG ini berfungsi secara otomatis untuk
mengeleminir pengaruh atenuasi yang disebabkan baik oleh geometrical spreading
dan absorpsi suara ketika merambat ke dalam air.
Split beam BioSonics Seri DT-X scientific digital echosounder system (dikenal
sebagai "DT-X") adalah echosounder, kompak serbaguna yang dapat dikonfigurasi
untuk aplikasi yang berbeda di dua lingkungan yaitu laut dan air tawar untuk
pemantauan biologi termasuk batimetri, penilaian habitat, dinamika populasi,
perilaku tanaman dan distribusi sedimen
Split beam BioSonics Seri DT-X disebut sebagai scientific echosounder karena
konsep baru yang dibenamkan dalam sistem ini, yaitu memiliki beberapa spesifikasi
yang bersifat opsional memungkinkan alat ini mencapai rentang dinamis lebih dari
160 dB untuk opsi analog dan 125 dB untuk opsi digital. Echosounder ini dapat
beroperasi pada frekuensi standar sebesar 38, 70, 120, 200, 420, 1000 kHz. Bila
dipadukan dengan perangkat lunak bawaan sistem ini yaitu Visual Analyser yang
digunakan untuk mengamati distribusi dan kepadatan ikan dan organisme lain dalam
kolom air, Visual Bottom Typer (VBT) dapat digunakan untuk analisa dan klasifikasi
permukaan sedimen dasar perairan serta EcoSAV untuk mendeteksi dan menganalisa
vegetasi tumbuhan perairan, tinggi kanopinya dan tutupan tumbuhan tersebut.
Hasil rekaman dari sistem ini juga dapat diolah lanjut dengan menggunakan
perangkat lunak pengolah data akustik lain seperti echoview dan sonar pro sehingga
memungkinkan peneliti bisa memilih untuk bereksplorasi.

Deskriptor Akustik

Deskriptor akustik adalah variabel atau peubah yang menggambarkan ciri atau
sifat dari hambur balik gelombang akustik. Deskriptor akustik telah banyak
dikembangkan dalam mengidentifikasi karakteristik jenis ikan berdasarkan
klasifikasi sinyal hidroakustik suatu kawanan ikan (Reid et al., 2000). Deskriptor
akustik yang dihasilkan dikelompokkan ke dalam 5 tipe deskriptor utama yaitu :
1. Positional Descriptors, yang menjelaskan posisi kawanan ikan horizontal dan
vertikal
2. Morfometrik Descriptors, yang menjelaskan morfologi ikan target
3. Energetic Descriptors, yang menjelaskan total energi akustik, nilai rataan dan
variabilitas energi akustik dan pusat massa kawanan ikan.

8
4. School Environment Descriptors, yang menjelaskan tentang jarak terpendek
dan terjauh antat perimeter kawanan ikan dengan dasar perairan
5. Biological Descriptors, deskriptor yang menjelaskan sifat-sifat unik dari jenis
ikan yang diamati.
Deskriptor akustik yang dihasilkan akan dianalisis dengan metode analisis
komponen utama sehingga dapat ditentukan variabel-variabel bebas (deskriptor
akustik) yang dapat berpengaruh dalam membedakan sekumpulan kawanan ikan
(Haralabous & Georgakarakos, 1996).
Lawson et al, 2001 menyatakan bahwa penerapan deskriptor akustik hanya
dapat dilakukan untuk kumpulan spesies (schooling spesies) yang didominasi oleh
satu jenis yakni sebesar 80%, sedangkan Reid et al., 2000 menyatakan bahwa
penerapan deskriptor pada analisis gerombolan yang bagus adalah 85% terdiri dari
kurang dari 5 spesies dan bila lebih akan muncul masalah.

Pendekatan metode hidroakustik terhadap Komunitas Plankton.
Metode akustik menyediakan cara mendeteksi, penggolongan dan mengukur
distribusi plankton secara spasial, micronekton, dan organisme lainnya yang dapat
memberikan resolusi dan cakupan ruang yang sempurna dan tidak terikat pada
kekeruhan air. Teknik ini didasarkan pada pemancaran suara dengan frekuensi yang
tinggi dan beam yang sempit, dari suatu kapal, towed body, atau transducer yang
diturunkan dari kapal, dan mengukur backscattered plankton atau target lainnya yang
berada dalam beam tersebut. Jika suara yang berfrekuensi tinggi dipancarkan pada
frekuensi yang berbeda maka backscatter pada frekuensi yang berbeda tersebut dapat
digunakan untuk membantu memperoleh informasi tambahan tentang target itu
(Penrose, el. al, 2003).
Pada umumnya, krill dan plankton ditangkap dengan jaring. Jaring dapat
ditarik secara tegak lurus dari kedalaman tertentu sampai ke permukaan (contoh :
Jaring Bongo), atau dengan menarik jaring secara diagonal dari suatu kedalaman
tertentu (contoh Jaring BIONESS). Contoh dari Jaring memberikan banyak informasi
tentang jenis dan kelas organisme di dalam area pengambilan contoh, tetapi terbatas
menyediakan informasi tentang densitas. Penggunaan jaring ini akan menghabiskan
waktu dan tenaga, juga akan merugikan organisme itu sendiri (Anonymus, 1999).
Metode Bioakustik untuk pendeteksian plankton pada suatu tingkat yang jauh
lebih baik dibanding pengambilan contoh dengan jaring, tetapi tidak menghasilkan
informasi apapun tentang jenis dan kelas target yang sedang diamati. Scientific
echosounder akan memancarkan pulsa suara dengan frekuensi tinggi ke dalam air
dan menyimpan informasi posisi dan intensitas echo dari ikan dan plankton di dalam
beam suara yang dipancarkan. Frekuensi yang digunakan akan tergantung pada besar
obyek yang ingin dideteksi. Pendeteksian plankton pada umumnya menggunakan
frekuensi antara 100 - 200 kHz.
Korneliussen dan Ona, 2003 mengemukakan bahwa pemilihan frekuensi yang
dipilih sangat berperan untuk mendeteksi target yang diharapkan. Beberapa faktor
yang harus diperhatikan dalam memilih frekuensi agar mendapatkan target yang
sesuai yaitu absorbsi/α, durasi pulsa, target strength, input power, dan ukuran
transducer). Pada frekuensi yang sangat rendah, organisme kecil bertindak sebagai
Rayleigh scatter yang berarti bahwa intensitas dari hamburan suara meningkat

9
seiring dengan peningkatan frekuensi dimana semua hamburan dipancarkan kembali
ke segala arah. Pada frekuensi yang lebih tinggi hamburan mulai menjalar dengan
cara yang berbeda dan energy dari pantulannya berbeda tergantung arah datangnya.
Martin et al., (1996) dan Stanton et al., (1996) mengemukakan bahwa
perbandingan antara data lapangan dan model teoritis hamburan dari spesies-spesies
zooplankton mendapatkan 3 tipe akustik dari zooplankton yaitu: (i) tipe buntalan gas
(gas-bearing/GB), misalnya siphonophores; (ii) tipe mirip cairan (Fluid-like/FL),
misalnya euphausiids; dan (iii) tipe elastis terkupas (Elastic-shelled/ES), misalnya
pteropods dan gastropoda.
Gambar 2 menunjukkan model teoritis hubungan antara target strength dan
frekuensi untuk beberapa organisme individu yang berbeda ukuran tertentu berasal
dari model. Jika ukuran salah satu organisme ini mengecil, kurva akan
mempertahankan bentuk yang sama, tapi akan bergeser ke kanan bila frekuensi
menjadi lebih tinggi maka besarnya hamburan akan menurun.

Gambar 2 Plot teoritis dari model 3 tipe hamburan akustik zooplankton (Martin
et al., (1996) dan Stanton et al., (1996, 1998)
Sutor et al., 2005 menyatakan bahwa hubungan scattering volume dengan
frekwensi dari tiga tipe akustik zooplankton bergantung pada bentuk dan ukuran dari
organisme penghamburnya.
Informasi energy ini kemudian diteruskan ke suatu komputer yang
menampilkan informasi akustik, dengan melakukan metode keduanya (sampling
dengan jaring dan bioakustik) pada waktu yang sama, dapat diperoleh suatu koefisien
kalibrasi biomass dengan echo dari target (Anonymus, 1999). Informasi tentang
struktur dan kepadatan komunitas plankton serta kondisi dasar perairan dan vegetasi
bawah air disandikan dalam sinyal echo. Sinyal tersebut dapat disimpan dan
diperoleh secara bersamaan dengan data Global Position System. Sinyal dapat
disandikan dan informasi tentang dasar perairan dapat diproyeksikan ke dalam
bentuk grafik digital.
Proses verifikasi hasil, pengambilan sampel plankton dan parameter fisik
sampling bio-fisik perairan harus dilakukan oleh peneliti mengunakan instrumen
lainnya dan data yang diperoleh harus dicatat sebagai data akustik. Setelah
diverifikasi, hasil disimpan sehingga jenis dapat perairan dapat diketahui dan dapat
dibandingkan dengan data dari sinyal echo.

10
Faktor-faktor Fisik Kimia perairan
Temperatur
Pada dasarnya temperatur atau suhu merupakan parameter oseanografi yang
pertama kali dipelajari dan memiliki peranan yang sangat penting bagi analisis
parameter-parameter yang lainnya. Temperatur dalam perairan direpresentasikan
dalam derajat Celcius. Pengukuran temperatur ini mengacu kepada Skala Temperatur
Praktis Internasional 1968 (International Practical Temperature Scale 1968 dalam
Subagio dan Simanjuntak, 2003).
Temperatur di permukaan bumi sangat ditentukan oleh jumlah radiasi matahari
yang diterima. Sekitar 70% radiasi yang datang dan sampai ke permukaan dapat
terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Radiasi yang jatuh ke permukaan
bumi cenderung bervariasi terhadap lintang dan musim, akibatnya temperatur laut
berubah-ubah terhadap ruang dan waktu. Banyak faktor yang mempengaruhi
penyebaran temperatur di laut, diantaranya adalah:
 Gerakan-gerakan air, misalnya: arus dan turbulensi
 Distribusi massa daratan yang tidak sama di kedua belahan bumi
 Pada lintang rendah (10 "N - 10 °S) dekat dengan kutub utara dan selatan terlihat
perbedaan temperatur diantara bulan-bulan terhangat dan terdingin sepanjang
tahun adalah kecil (< 3 °C).
 Di lintang menengah (sekitar 30 °N dan 30 °S) variasi terbesarnya sekitar 6 °C
(Gross, 1990 dalam Subagio dan Simanjuntak, 2003)
Jika suatu perairan yang homogen dan tenang dipanasi matahari maka
distribusi temperatur dalam arah vertikal akan menurun secara eksponensial. Jika
tidak ada gangguan pada perairan maka keadaan perairannya selalu stabil, karena
lapisan yang paling alas densitasnya akan lebih rendah daripada lapisan di bawahnya.
Jika ada gangguan, misalnya lapisan bagian atas turut bergerak dan menyebabkan
gerakan turbulensi sehingga pengadukan lapisan permukaan (Gross, 1990 dalam
Subagio dan Simanjuntak, 2003).
Nybakken (1982) menyatakan bahwa temperatur adalah ukuran gerakan
energi molekul. Temperatur bervariasi secara horizontal sesuai dengan garis lintang,
dan juga secara vertikal sesuai dengan garis kedalaman.
Temperatur merupakan salah satu faktor perairan yang rnudah diteliti dan
sangat berpengaruh terhadap lingkungan. Fluktuasi temperatur air laut banyak
dipengaruhi oleh iklim, temperatur udara, kekuatan arus, kecepatan angin, lintang
maupun keadaan relief dasar laut (Gunarso, 1985). Temperatur air laut merupakan
salah satu faktor penting bagi kelangsungan organisme di lautan, karena
mempengaruhi aktifitas metabolisme dan perkembang biakan organisme tersebut
(Hutabarat dan Evans, 1988). Selanjutnya menurut Nontji (1987), temperatur air laut
merupakan faktor yang penting dan banyak mendapat banyak perhatian dalam
pengkajian kelautan, karena data temperatur air tersebut dapat dimanfaatkan untuk
mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut, kehidupan hewan atau tumbuhan
maupun untuk pengkajian meteorologi.
Pengaruh temperatur secara langsung pada kehidupan laut adalah pada laju
fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan khususnya derajat
metabolisme dan siklus reproduksinya, sehingga cara makan dan pertumbuhannya
juga dipengaruhi oleh temperatur (Laevastu dan Hayes, 1981).

11
Hasil penelitian LIPI-Ambon tahun 1974-1975, mendapatkan kisaran
temperatur di perairan teluk Ambon adalah antara 26,26-30,74oC. Tarigan dan
Sapulette (1987), menemukan bahwa temperatur terendah pada lapisan permukaan
maupun dekat dasar dijumpai dalam bulan Juli (musim timur) berkisar antara 24,6329,24oC dan temperatur tertinggi pada bulan Desember (musim barat berkisar antara
27,63-29,24oC. Menurut Selanno (2009), sebaran temperatur di teluk Ambon
berkisar antara 27,70–29,73 ºC dengan rata-rata tiap musim berkisar antara 26,00–
30,58 ºC.

Salinitas
Nontji (1987), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan salinitas (kadar
garam) adalah jumlah semua garam dalam gram yang terlarut dalam satu liter air,
biasanya dinyatakan dengan satuan per mil (%o). Salinitas merupakan parameter
penting di laut yang bersifat konservatif (elemen penyusunnya mempunyai
perbandingan relatif/konstan dengan unsur lain di laut), dengan kata lain salinitas
hanya berubah oleh penambahan atau pengurangan air yang ditentukan oleh
kesetimbangan evaporasi presipilasi yang terdapat pada suatu daerah.
Lebih lanjut Nontji (1987) menyatakan sebaran salinitas di laut dipengaruhi
berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan
(presipitasi) dan aliran sungai (run off) yang terdapat di sekitarnya.
Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme, misalnya
distribusi biota akuatik sangat erat kaitannya dengan salinitas (Nybaken, 1982).
Salinitas di laut secara fisiologi mempengaruhi kehidupan biota laut karena erat
hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel
dalam tubuh dengan keadaan salinitas lingkungan. Perubahan salinitas sering
menunjukkan perubahan massa air dan keadaan stabilitasnya cenderung untuk
memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik
tubuh mereka nnasing-masing (Laevastu dan Hayes, 1981).
Salinitas ini penting untuk mempelajari distribusi organisme dan mempelajari
gerak massa air. Distribusi horizontal salinitas tergantung pada besar lintang yang
sangat berkaitan dengan penguapan dan presipitasi. Sementara distribusi vertikalnya
berkaitan dengan perbedaan radiasi matahari yang diterima suatu daerah permukaan.
Sama seperti lapisan vertikal pada temperatur, salinitas pun memiliki lapisan haloklin
yakni suatu lapisan dimana terjadi perubahan salinitas (pertambahan atau
pengurangan) yang cepat terhadap kedalaman (Ningsih, S.N. 2000 dalam Subagio
dan Simanjuntak 2003).
Kisaran salinitas perairan teluk Ambon bagian dalam, hasil penelitian P3O
LIPI Ambon tahun 1974-1975, dilaporkan berkisar antara 29,24 – 33,59 PSU.
Sedangkan hasil penelitian lainnya, didapatkan kisaran salinitas antara 27,00 – 32,00
PSU (Pemkot Ambon dan Unpatti, 2002). Variasi salinitas dapat secara temporal
maupun spasial, berubah sepanjang waktu berdasarkan perubahan keadaan lautan,
penutupan awan, dan jarak dari matahari. Selanno, 2009 memperoleh nilai salinitas
dari rata-rata berkisar antara 32,25–34,75 PSU, sedangkan rata-rata tiap musim
berkisar antara 29,45 – 35,27 PSU.

12
Densitas
Densitas merupakan fungsi langsung dari kedalaman laut, serta dipengaruhi
juga oleh salinitas, temperatur, dan tekanan. Densitas air laut merupakan jumlah
massa air laut per satu satuan volume. Pada umumnya nilai densitas (berkisar antara
1,02 – 1,07 gr/cm3) akan bertambah sesuai dengan bertambahnya salinitas dan
tekanan serta berkurangnya temperatur. Perubahan densitas dapat disebabkan oleh
proses-proses : Evaporasi di permukaan laut, Massa air pada kedalaman < 100 m
sangat dipengaruhi oleh angin dan gelombang, sehingga besarnya densitas relatif
homogen, Di bawah lapisan ini terjadi perubahan temperatur yang cukup besar
(Thermocline) dan juga salinitas (Halocline), sehingga menghasilkan pola perubahan
densitas yang cukup besar (Pynocline), Di bawah Pynocline hingga ke dasar laut
mempunyai densitas yang lebih padat
Distribusi densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi densitas
secara vertikal di dalam kolom perairan, dan perbedaan secara horisontal yang
disebabkan oleh arus. Distribusi densitas berhubungan dengan karakter arus dan daya
tenggelam suatu massa air yang berdensitas tinggi pada lapisan permukaan ke
kedalaman tertentu. Densitas air laut tergantung pada suhu dan salinitas serta semua
proses yang mengakibatkan berubahnya suhu dan salinitas. Densitas permukaan laut
berkurang karena ada pemanasan, presipitasi, run off dari daratan serta meningkat
jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu permukaan.
Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan
pengangkatan massa air. Penyebab utama dari proses tersebut adalah tiupan angin
yang kuat. Lukas and Lindstrom (1991), mengatakan bahwa pada tingkat
kepercayaan 95 % terlihat adanya hubungan yang positif antara densitas dan suhu
dengan kecepatan angin, dimana ada kecenderungan meningkatnya kedalaman
lapisan tercampur akibat tiupan angin yang sangat kuat. Secara umum densitas
meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau kedalaman, dan menurunnya
suhu.

Turbiditas
Pada dasarnya turbiditas sangat berkaitan dengan skala kejernihan dari suatu
perairan. Hal tersebut akan sangat dipengaruhi oleh kandungan padatan terlarut atau
lebih dikenal dengan Total Suspended Solid (TSS) dari perairan tersebut. Semakin
tinggi tingkat TSS maka turbiditasnya pun akan semakin besar. Jenis - jenis TSS
yang mempengaruhi nilai turbiditas dari suatu perairan cenderung bervariasi
bergantung pada lokasinya. Turbiditas pada laut terbuka cenderung dipengaruh oleh
fitoplankton. Sementara itu turbiditas pada daerah pesisir cenderung dipengaruhi
oleh sedimen serta sill yang terjadi akibat erosi serta kegiatan pertambangan
(Michaud, 1991).
Konsentrasi yang tinggi dari kandungan partikulat dapat mempengaruhi
kemampua