An Analysis of Resource Optimization in the Development of Aquaculture in Levun Bay Area, Southeast Maluku Regency.

(1)

ANALISIS OPTIMASI SUMBERDAYA DALAM

PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN

DI KAWASAN TELUK LEVUN

KABUPATEN MALUKU TENGGARA

IRENE PAULA RENJAAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis Optimasi Sumberdaya dalam Pengembangan Budidaya Perikanan di Kawasan Teluk Levun Kabupaten Maluku Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

Irene Paula Renjaan

NRP H352080061


(3)

ABSTRACT

IRENE PAULA RENJAAN. An Analysis of Resource Optimization in the Development of Aquaculture in Levun Bay Area, Southeast Maluku Regency. Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and MOCH PRIHATNA SOBARI.

This study aimed to analyze the suitability of Levun Bay area, for mariculture to determine the optimal resources used, to analyze business feasibility, and to analyze the policy of the priority in developing aquaculture commodity. The research result showed that suitability classification of the bay area for grouper fish culture belonged to a suitable class with a value of 57.1, and the seaweed culture was considered as a very suitable class with a value of 67.2. Based on supporting capacity consideration, the optimum area of cultivation for grouper fish was 150.42 ha and for seaweed was 254.00 ha. The business feasibility analysis of kerapu fish and seaweed cultivation revealed that both businesses are feasible to be developed because the NPV, Net B/C and IRR met the feasibility criteria. The policy analysis of commodity development priority based on the result of AHP indicate that the seaweed aquaculture value of 0.598 and the grouper aquaculture of 0.402, therefore seaweed aquaculture should be given priority to be developed.


(4)

RINGKASAN

IRENE PAULA RENJAAN. Analisis Optimasi Sumberdaya dalam Pengembangan Budidaya Perikanan di Kawasan Teluk Levun Kabupaten Maluku Tenggara. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan MOCH PRIHATNA SOBARI.

Luas kawasan Teluk Levun sebesar 463,38 ha dan luas kawasan yang baru dimanfaatkan sebesar 2,36 ha. Kendala yang dihadapi antara lain; prasarana dan sarana yang digunakan belum memadai, kualitas sumberdaya manusia (pembudidaya) relatif masih rendah, kondisi ini dicirikan dengan manajemen yang lemah dan ketrampilan yang rendah sehingga lambat dalam menyerap teknologi. Sebagian besar unit usaha terkonsentrasi pada perairan yang menjadi hak ulayat, selain itu, kurangnya modal untuk memperluas area usaha budidaya yang dijalani. Penelitian ini bertujuan; (1) menganalisis kesesuaian luasan kawasan Teluk Levun untuk pengembangan budidaya ikan kerapu dan budidaya rumput laut (2) menentukan daya dukung luasan yang optimal untuk budidaya ikan kerapu dan rumput laut, sebagai dasar dalam menyusun arahan perluasan dan pengembangan kawasan teluk secara berkelanjutan (3) menganalisis kelayakan usaha budidaya ikan kerapu dan budidaya rumput laut (4) menganalisis kebijakan prioritas pengembangan komoditas budidaya perikanan di kawasan Teluk Levun.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Metode pengambilan contoh dalam penelitian ini dilakukan dengan metode

purposive sampling. Analisis dilakukan antara lain: analisis kesesuaian bagi pengembangan budidaya ikan kerapu dan budidya rumput laut didasarkan atas kriteria kelayakan/ kesesuaian dengan pembobotan (scooring metod) yang menghasilkan lokasi budidaya dengan tingkat kelayakan.

Hasil penilaian dapat dikatakan bahwa Teluk Levun tergolong dalam kelas sesuai dengan nilai 57,1 untuk budidaya kerapu dan budidaya rumput laut tergolong dalam kelas sangat sesuai dengan nilai 67,2. Optimasi pemanfaatan kawasan perairan Teluk Levun untuk budidaya ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan budidaya rumput laut Eucheuma cottonii digunakan Linear Goal Programming (LGP). Hasil analisis menunjukkan bahwa luasan optimal dari budidaya ikan kerapu 150,42 ha dan rumput laut 254,00 ha.

Analisis kelayakan usaha bagi budidaya ikan kerapu dan budidaya rumput laut dihitung dalam jangka waktu 5 tahun dengan tingkat discount rate 10%. Dari masing-masing pemanfaatan budidaya perikanan dibuat skenario untuk mengetahui layak tidaknya kegiatan budidaya perikanan dikembangkan, dengan menggunakan perhitungan NPV, Net B/C dan IRR. Nilai NPV yang diperoleh dari masing-masing luasan memberi gambaran bahwa nilai proyek yang ingin dicapai pada tahun ke 5 (lima) dinilai berdasarkan nilai sekarang netonya positif. Berdasarkan kriteria kelayan, maka skenario yang digunakan dapat dikatakan


(5)

bahwa usaha budidaya perikanan layak direkomendasikan untuk dikembangkan karena menghasilkan nilai NPV > 0 Net B/C > 1, IRR > DR yang diperoleh dari hasil perhitungan usaha budidaya perikanan di Teluk Levun layak (feasible) karena tingkat suku bunga yang dihasilkan lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku yaitu 10% per tahun.

Kebijakan prioritas pengembangan komoditi budidaya perikanan di Teluk Levun dengan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process) menunjukan bahwa rumput laut merupakan perioritas komodi budidaya perikanan di Teluk Levun, dikarenakan rumput laut mempunyai nilai prioritas relatif lebih tinggi yaitu 0,598 dan ikan kerapu memiliki nilai 0,402. Penentuan strategi pengembangan didasari atas berbagai faktor yang telah diidentifikasi, serta melihat keselarasan dari aspek ekologi, ekonomi, sosial masyarakat setempat dan teknologi.


(6)

@ Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyaksebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

ANALISIS OPTIMASI SUMBERDAYA DALAM

PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN

DI KAWASAN TELUK LEVUN

KABUPATEN MALUKU TENGGARA

IRENE PAULA RENJAAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

(9)

Judul Penelitian : Analisis Optimasi Sumberdaya dalam Pengembangan Budidaya Perikanan di Kawasan Teluk Levun Kabupaten Maluku Tenggara

N a m a : Irene Paula Renjaan

N R P : H352080061

Program Studi : Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

Disetujui Komisi Pembimbing:

Prof.Dr.Ir.H.Tridoyo Kusumastanto,MS. Ir.Moch.Prihatna Sobari, MS.

Ketua Anggota

Diketahui: Ketua Program Studi

Ekonomi Sumberdaya Dekan Sekolah Pascasarjana-IPB Kelautan Tropika

Prof. Dr.Ir.H.Tridoyo Kusumastanto,MS. Dr. Ir. Dahrul Syah,M.Agr.Sc


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas ridho dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan

judul “Analisis Optimasi Sumberdaya dalam Pengembangan Budidaya Perikanan di Kawasan Teluk Levun Kabupaten Maluku Tenggara.”, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Tesis ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan budidaya perikanan di Teluk Levun pada kondisi optimal, khususnya budidaya ikan kerapu bebek (Chromileptes altivelis) dan budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii) guna meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir. Pengembangan budidaya perikanan yang dilakukan harus tetap mempertimbangkan daya dukung lingkungan untuk menjaga kelestarian sumberdaya agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada Komisi Pembimbing, yaitu: Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Ir. Moch Prihatna Sobari, MS yang banyak meluangkan pikiran dan waktu serta penuh kesabaran membimbing penelitian hingga dapat diselesaikannya tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

- Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual, yang telah memberikan izin bagi penulis untuk mengikuti pendidikan di IPB.

- Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika yang telah memberikan arahan pendidikan di PS ESK-IPB.

- Bapak Taryono, S.Pi, M.Si. selaku penguji luar komisi.

- Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara beserta jajaran staf yang telah membantu penulis dalam memperoleh data-data untuk melengkapi hasil penulisan laporan penelitian.

- Kepala Bapeda Kabupaten Maluku Tenggara yang telah membantu memberikan data-data untuk melengkapi penulisan laporan penelitian.

- Kepala Statistik Kabupaten Maluku Tenggara yang telah membantu memberikan data-data untuk melengkapi penulisan laporan penelitian.


(11)

- Kepala Desa Sathean yang telah memberikan ijin untuk pengambilan data di lokasi penelitian

- Bapak Yopi Renyaan, Bapak Tom, saudara Dani Uniplaita yang setia membantu penulis dalam memberi informasi terkait dengan penelitian.

- Teman-teman seangkatan ESK, teman-teman di Persekutuan Oikumene IPB, Saudara-Saudari di Full Time Training Indonesia (FTTI), teman-teman Gita Swara Pascasarjana (GSP), rekan-rekan Politeknik dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu namun berkontribusi dalam penyusunan Tesis ini.

Terakhir penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang mendalam kepada: Ayah (almarhum), Ibu (almarhumah), Bapak Daniel Ingratubun (almarhum), Mama Ama, saudara saudariku bersama keluarga masing-masing, suami dan anak-anakku yang telah memberikan doa, waktu dan perhatian yang begitu besar, sehingga memotivasi penulis menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor. Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaata bagi yang memerlukannya. Amin.

Bogor, April 2011


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tual, pada tanggal 02 April 1971 dari pasangan Eugenius Johanis Renjaan (almarhum) dan Leonora Ermina Bakker (almarhumah) dan merupakan anak ke empat dari enam bersaudara: Peter, Inai, Thina, Irene, Max dan Noren. Menikah dengan Edison Ingratubun dan dikaruniai empat orang anak: Golda, Izar, Moza dan Zahron.

Penulis menamatkan pendidikan SMA Negeri 1Tual tahun 1990, kemudian melanjutkan pendidikan pada Program Studi Teknologi Hasil Pengolahan Fakultas Perikanan Universitas Pattimura, selesai tahun 1998.

Penulis diterima sebagai pengajar di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Akadek Larvul Ngabal tahun 1999. Tahun 2005 pengalihan status Akademik Larvul Ngabal menjadi Politeknik Perikanan Negeri dan penulis dialihkan sebagai pengajar di Program Studi Agribisnis sampai sekarang. Tahun 2008 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... . xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Pengelolaan Budidaya Laut ... 6

2.2. Ikan Kerapu ... 7

2.3. Rumput Laut ... 12

2.4. Syarat-syarat Pemilihan Lokasi ... 16

2.5. Kesesuaian Perairan ... 20

2.6. Daya Dukung Perairan... 22

2.7. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya ... 23

2.8. Analisis Kelayakan Usaha... 25

2.9. Kebijakan Investasi ... 27

2.10. Model Keputusan dengan AHP ... 30

2.11. Pembangunan Budidaya Perikanan Berkelanjutan ... 32

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 35

3.1. Kerangka Pemikiran ... 35

3.2. Metode Penelitian ... 38

3.3. Waktu dan Lokasi ... 38

3.4. Metode Pengambilan Contoh ... 38

3.5. Jenis dan Sumber Data ... 39

3.6. Analisis Data ... 41

3.6.1. Analisis Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Perikanan ... 41

3.6.2. Analisis Optimasi Pemanfaatan Kawasan Teluk Levun ... 43


(14)

3.6.4. Analisis Kebijakan PrioritasPengembangan Budidaya

Perikanan... ... 48

3.7. Batasan Penelitian... ... 49

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 50

4.1. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah ... 50

4.2. Topografi ... 51

4.3. Kondisi Musim, Curah Hujan, Suhu dan Kelembaman ... 52

4.4. Sebaran dan Kepadatan Penduduk ... 54

4.5. Nelayan ... 55

4.6. Ekonomi ... 55

4.7. Pengembangan Daerah dan Alokasi Sumberdaya Perikanan ... 59

4.8. Produksi Perikanan ... 61

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 65

5.1. Sarana Input Produksi ... 65

5.1.1 Lahan Budidaya ... 65

5.1.2 Ketersediaan Benih ... 66

5.1.3 Pakan ... 67

5.1.4 Konstruksi Unit Budidaya ... 68

5.1.5 Tenaga Kerja ... 70

5.1.6 Keterjangkauan Pasar ... 71

5.2. Karakteristik Perairan Teluk Levun ... 72

5.2.1 Suhu ... 73

5.2.2 Kecepatan Arus ... 73

5.2.3 Kecerahan ... 75

5.2.4 Kedalaman... 76

5.2.5 Salinitas ... 77

5.2.6 Derajat Keasaman (pH) ... 78

5.2.7 Oksigen Terlarut... 78

5.2.8 Nitrat ... 78

5.2.9 Fosfat ... 79

5.3. Analisis Kesesuaian Perairan Teluk untuk Budidaya ... 79


(15)

5.5. Analisis Kelayakan Usaha ... 89

5.5.1 Analisis Usaha Budidaya Ikan Kerapu pada Kondisi Aktual 90 5.5.2 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Ikan Kerapu pada Kondisi Optimal ... 92

5.5.3 Analisis Usaha Budidaya Rumput Laut pada Kondisi Aktual 97 5.5.4 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Rumput Laut pada Kondisi Aktual ... 99

5.6. Analisis Kebijakan Prioritas Pengembangan Komoditas Budidaya Perikanan di Teluk Levun... ... 103

5.7. Arahan Strategi Pengembangan Budidaya Perikanan di Teluk Levun Secara Berkelanjutan ... 109

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

6.1 Kesimpulan ... 116

6.2 Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 118


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya ... 21

2. Skala Banding Berpasangan ... 32

3. Responden yang Dipilih ... 39

4. Pengumpulan Data Penelitian Primer dan Sekunder di Teluk Levun .... 40

5. Kriteria Lokasi Penelitian untuk Pengembangan Budidaya ... 41

6. Kriteria Penilaian Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Perikanan di Teluk Levun ... 43

7. Kriteria Bobot Prioritas Alternatif Alokasi Sumberdaya ... 49

8. Luas Kabupaten Maluku Tenggara Menurut Kecamatan ... 51

9. Ibukota Kecamatan, Banyaknya Desa Induk Anak Desa dan Kelurahan menurut Kecamatan ……….. ... 52

10. Data Klimatologi Bulanan (2005 – 2008) ... 53

11. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk per km2 ... 54

12. Jumlah Nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara ... 55

13. Lokasi Pengembangan dan Komoditi Budidaya yang Dikembangkan di Kabupaten Maluku Tenggara ... 60

14. Produksi Ikan Menurut Jenis 2007-2009……… ... 61

15. Perkembangan Ekspor Menurut Jenis Komoditi 2008-2009 ... 63

16. Metode Pemberian Pakan Rucah Bagi Kerapu Dalam KJA ... 68

17. Kriteria kecepatan arus perairan untuk budidaya ikan ... 73

18. Variabel untuk Pengolahan Data ... 81

19. Produksi Budidaya Kerapu dan Budidaya Rumput Laut pada Kondisi Aktual di Teluk Levun. ... 81

20. Hari Kerja Efektif untuk Pembudidaya Kerapu selama 1 Tahun ... 82

21. Hari Kerja Efektif untuk Pembudidaya Rumput Laut selama 1 Tahun. . 83

22. Jenis dan Harga Produk Optimasi Kegiatan Budidaya Ikan Kerapu dan Rumput Laut di Teluk Levun. ... 83

23. Penggunaan Modal untuk Budidaya Ikan Kerapu dan Rumput Laut pada Kondisi Aktual ... 85


(17)

24. Penambahan dan Pengurangan Koefisien Variabel Tujuan... 87 25. Usulan Batasan Alokasi Optimal dari Fungsi Kendala Tujuan yang

Ditambahkan atau Dikurangi ... 88 26. Analisis Kelayakan Usaha Aktual Unit Budidaya Ikan Kerapu Metode

KJA ... 91 27. Besar Dana Sendiri dan Dana Pinjaman yang Dibutuhkan untuk

Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Kerapu di Teluk Levun ... 93 28. Nilai NPV, Net B/C dan IRR Budidaya Ikan Kerapu pada Kondisi

Optimal di Teluk Levun... 94 29. Analisis Kelayakan Usaha Aktual Unit Budidaya Rumput Laut

Metode Long line ... 98 30. Besar Dana Sendiri dan Dana Pinjaman yang Dibutuhkan untuk

Pengembangan Usaha Budidaya Rumput Laut di Teluk Levun ... 100 31. Nilai NPV, Net B/C dan IRR Budidaya Rumput Laut pada Kondisi

Optimal di Teluk Levun... 100 32. Hasil Analisis Pendapatan terhadap Pertimbangan Aspek Penentuan

Prioritas Penggunaan Lahan Kawasan Teluk Levun di Kabupaten Maluku Tenggara ... 104 33. Hasil Analisis Pendapatan terhadap Faktor-Faktor yang Berpengaruh

dalam Penentuan Prioritas Penggunaan Lahan Kawasan Teluk Levun di Kabupaten Maluku Tenggara ... 105 34. Hasil Analisis Pendapat Gabungan pada Penentuan Prioritas

Penggunaan Lahan Kawasan Teluk Levun di Kabupaten Maluku Tenggara ... 105 35. Jumlah Budidaya Kerapu (Awal dan Akhir) dan Survival Rate di


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan Kerapu Bebek…. ... 8

2. Ikan Kerapu Sunu…. ... 9

3. Ikan Kerapu Lumpur ... 10

4. Ikan Kerapu Macan ... 11

5. Jenis-Jenis Rumput Laut Eucheuma ... 13

6. Ganggang Talus Parasit Jenis Hypnea…. ... 14

7. Jenis-Jenis Rumput Laut Glacilaria ... 15

8. Diagram Alur Kerangka Pikir ... 37

9. Diagram Sebaran Curah Hujan di daerah Penelitian ... 53

10. Diagram Sebaran Hari Hujan di daerah Peneliti... 53

11. PDRB Kabupaten Maluku Tenggara Atas Dasar Harga Berlaku ... 56

12. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Maluku Tenggara ... 57

13. Distribusi PDRB Kabupaten Maluku Tenggara ... 58

14. Tingkat Pendapatan Perkapita ... 59

15. Nilai NPV, Net B/C, IRR untuk Skenario Modal Sendiri dan Modal Pinjaman dengan Jarak 50 m ... 96

16. Nilai NPV, Net B/C, IRR untuk Skenario Modal Sendiri dan Modal Pinjaman dengan Jarak 100 m ... 96

17. Nilai NPV dan Net B/C dan IRR untuk Budidaya Rumput Laut pada Kondisi Optimal... 102

18. Hasil Analisis Hierarki Kegiatan Budidaya Ikan Kerapu, Rumput Laut dalam Penggunaan Lahan Teluk Levun ... 106

19. Prioritas Pengembangan Komoditi Budidaya Perikanan di Teluk Levun.. ... 107


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian …... 123 2. Sarana Input Produksi Budidaya di Kawasan Teluk Levun ….. ... 125 3. Luas dan Pemanfaatan Teluk Levun bagi Pengembangan Budidaya

Perikanan pada Kondisi Aktual ... 129 4. Kajian Fisika - Kimia Perairan Teluk Levun untuk Pengembangan

Budidaya Kerapu dan Rumput Laut ... 130 5. Penilaian Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Ikan Kerapu

Metode KJA di Teluk Levun ... 131 6. Penilaian Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Rumput Laut

Metode Long line di Teluk Levun. ... 133 7. Program LINDO untuk Model Optimasi Pemanfaatan Kawasan Teluk

Levun dengan Pertimbangan Daya Dukung Lingkungan ... 135 8. Biaya Pembuatan dan Penyusutan 1 Unit Budidaya Ikan Kerapu ... 137 9. Biaya Operasional 1 Unit Budidaya Ikan Kerapu ... 138 10. Proyeksi Arus Kas Budidaya Ikan Kerapu dengan Metode KJA di

Teluk Levun ... 139 11. Biaya Pembuatan dan Penyusutan 1 Unit Budidaya Rumput Laut ... 143 12. Biaya Operasional 1 Unit Budidaya Rumput Laut ... 144 13. Proyeksi Arus Kas Budidaya Rumput Laut dengan Metode Long line

di Teluk Levun ... 145 14. Penyelesaian AHP dengan Criterium Decision Plus. ... 147


(20)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengembangan kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara sebagai satu kesatuan wilayah akan memberikan peluang dalam keterpaduan perencanaan serta pengembangan kawasan yang lebih cepat dan didukung oleh potensi masing-masing sumberdaya, baik barang maupun jasa. Disisi lain perpaduan kewilayahan juga akan membuka peluang untuk timbulnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dan peningkatan kesejahteraan penduduk dalam wilayah pengembangan.

Titik berat pembangunan dan pengembangan kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara dipusatkan pada komponen ekologi, ekonomi dan sosial. Tujuan pembangunan bidang ekologi adalah perencanaan pembangunan dan pengembangan ekonomi kawasan yang terpadu diharapkan agar sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Maluku Tenggara dapat dilindungi dan terrehabilitasi melalui integrasi dan koordinasi perencanaan dan pengawasan kegiatan guna mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Tujuan di bidang ekonomi dan sosial adalah meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai salah satu potensi pembangunan serta mewujudkan peningkatan dan keterpaduan pendayagunaan potensi sumberdaya alam kawasan pesisir dan laut secara berkelanjutan untuk menunjang perekonomiam kawasan tersebut (DKP 2007).

Budidaya perikanan merupakan salah satu sub sektor dari sektor perikanan yang belum berkembang di Kabupaten Maluku Tenggara. Hal ini bukan berarti kawasan pesisir dan laut Maluku Tenggara tidak memiliki potensi yang dapat mendukung pengembangan budidaya perikanan. Kondisi ekologi (ketersediaan lahan, daya dukung lahan dan perairan) dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat (respon masyarakat, tradisi dan kebiasaan yang sudah turun-temurun) juga perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Beberapa jenis sumberdaya laut yang berpotensi dibudidayakan di perairan Kabupaten Maluku Tenggara adalah ikan kerapu, napoleon, baronang,


(21)

kue/bubara, kakap, moluska (tiram mutiara), echinodermata (teripang), dan rumput laut.

Teluk Levun adalah salah satu kawasan yang diperuntukan untuk budidaya perikanan, namun pemanfaatannya belum optimal. Hal ini diketahui dari prasarana dan sarana yang digunakan belum memadai, kualitas sumberdaya manusia (pembudidaya) relatif masih rendah, kondisi ini dicirikan dengan manajemen yang lemah dan ketrampilan yang rendah sehingga lambat dalam menyerap teknologi. Sebagian besar unit usaha terkonsentrasi pada perairan yang menjadi hak ulayat. Hal ini disebabkan karena kurangnya modal untuk memperluas area usaha budidaya yang dijalankan. Luas kawasan ini kurang lebih 463 ha, luasan yang baru dimanfaatkan bagi pengembangan budidaya perikanan sebesar 2,36 ha yaitu bagi pengembangan budidaya ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottoni. Dengan demikian perlu dikaji suatu konsep optimasi pengembangan budidaya perikanan di kawasan Teluk Levun.

Kegiatan budidaya perikanan yang dilakukan di kawasan Teluk Levun erat kaitannya dengan kemampuan masyarakat dalam mengelola potensi lahan dan

input produksi seperti modal, prasarana dan sarana serta tenaga kerja. Permasalahan yang muncul adalah kurangnya pengetahuan dan penguasaan teknologi oleh pembudidaya, kendala modal, kendala untuk mendapatkan pasokan benih, aspek lingkungan agar tercapai target produktivitas secara optimal dan lestari serta belum adanya data dan informasi teknis yang detail tentang potensi sumberdaya perikanan pesisir yang ada, sehingga setelah usaha dilakukan sering menemukan kendala.

Dari sisi potensi, baik sumberdaya lahan maupun kualitas perairan, wilayah pesisir dan laut Maluku Tenggara memiliki lahan yang cukup luas dengan kondisi perairan yang sesuai untuk pengembangan budidaya pesisir dan laut. Hal yang dilakukan untuk mendorong pengembangan budidaya berkelanjutan terutama di kawasan tertinggal, perlu dilakukan penataan ruang yang sesuai dengan kondisi sumberdaya alam dan pemanfaatan yang diinginkan serta tidak melebihi kapasitas daya dukung perairan (carryingcapacity).


(22)

Peran sub sektor budidaya laut perlu ditingkatkan mengingat kontribusinya saat ini masih sangat kecil pada produksi perikanan, sementara potensi pengembangan sub sektor tersebut cukup besar. Peluang usaha budidaya sangat terbuka mengingat telah dibangunnya Balai Budidaya Laut yang berlokasi di Teluk Un, dimana produksi benih (hatchery) ikan kerapu kedepannya dapat disediakan.

Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara melalui Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai pengemban tugas pelayanan bagi masyarakat pesisir dan pulau- pulau kecil di kabupaten ini, telah mengarahkan dan mencanangkan program pengembangan mata pencaharian alternatif antara lain melalui usaha budidaya ikan kerapu dan rumput laut disamping kegiatan budidaya biota lainnya. Program ini dilakukan dengan jalan pemberian bibit, baik ikan kerapu maupun rumput laut.

Budidaya laut merupakan suatu alternatif yang akan mengurangi ketergantungan nelayan pada usaha penangkapan, dapat menjamin kontinuitas produksi serta dapat mempertahankan populasi dan kelestarian sumberdaya perikanan. Usaha budidaya perikanan selain mempunyai keuntungan dilihat dari dimensi ekologi yaitu relatif tidak merusak lingkungan dan melestarikan sumberdaya perikanan. Selain itu juga memberikan keuntungan yaitu usaha budidaya perikanan menguntungkan secara ekonomi yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di kawasan Teluk Levun. Usaha budidaya perikanan juga memiliki manfaat dari dimensi sosial yaitu perubahan perilaku masyarakat pesisir (nelayan) yang sangat bergantung pada kondisi laut yang sulit diprediksi (tak terkendali), menjadi pembudidaya ikan yang dapat merencanakan usaha.

Pulau-pulau kecil di Indonesia sampai saat ini masih kurang tersentuh oleh aktifitas pembangunan. Hal ini dilatarbelakangi atas beberapa alasan, antara lain: (1) kebanyakan pulau-pulau kecil tidak berpenghuni karena ukurannya relatif sangat kecil; (2) kalaupun berpenghuni, jumlah penduduknya sedikit sehingga tidak menjadi prioritas utama dalam pembangunan; dan (3) pulau-pulau kecil cenderung terisolasi dan jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi sehingga diperlukan investasi yang besar (higt cost investment) dalam pembangunannya.


(23)

Hal yang terpenting adalah prioritas pengembangan sektor perikanan diarahkan pada subsektor yang mempunyai akses besar pada penciptaan pendapatan bagi masyarakat miskin. Hal ini merupakan upaya mengatasi pemulihan ekonomi masyarakat terutama pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir dengan bertumpu pada pengelolaan sumberdaya perikanan secara baik dan optimal (Kusumastanto 2003). Berdasarkan uraian diatas maka penelitian tentang

“Analisis Optimasi Sumberdaya dalam Pengembangan Budidaya Perikanan di Kawasan Teluk Levun Kabupaten Maluku Tenggara” penting dilakukan untuk pengembangan budidaya perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara, khususnya di Teluk Levun. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam menentukan kebijakan prioritas pengembangan komoditi budidaya perikanan di Teluk Levun yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi peningkatan pendapatan masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada di daerah penelitian, maka perumusan masalah dalam analisis optimasi sumberdaya dalam pengembangan budidaya perikanan di kawasan Teluk Levun Kabupaten Maluku Tenggara yaitu :

1). Potensi sumberdaya kawasan Teluk Levun di Kabupaten Maluku Tenggara yang dapat mendukung kegiatan budidaya perikanan belum teridentifikasi dengan baik.

2). Pengelolaan budidaya perikanan di kawasan Teluk Levun belum optimal pemanfaatannya.

3). Kebijakan prioritas apa yang sebaiknya dilakukan dalam pengembangan pemanfaatan ruang teluk bagi komoditi budidaya perikanan

1.3. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang telah diuraikan diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1). Menganalisis kesesuaian kawasan Teluk Levun untuk pemanfaatan budidaya ikan kerapu dan budidaya rumput laut.


(24)

2). Menganalisis kondisi optimal dari sumberdaya kawasan Teluk Levun berdasarkan kesesuaian perairan

3). Menganalisis kelayakan usaha budidaya ikan kerapu dan rumput laut.

4). Menganalisis kebijakan prioritas pengembangan komoditi budidaya ikan kerapu dan rumput laut di Teluk Levun secara berkelanjutan.

1.4. Manfaat Penelitian

1). Sebagai bahan masukan kepada pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut serta pengembangan kawasan budidaya perikanan laut yang berkelanjutan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, terutama pembudidaya.

2). Bahan informasi kepada pembudidaya dan investor ikan kerapu dan rumput laut tentang persyaratan dan kelayakan teknis lahan perairan di Teluk Levun Kabupaten Maluku Tenggara dalam pengembangan usaha budidaya perikanan.

3). Sebagai acuan bagi pengambil kebijakan dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Teluk Levun Kabupaten Maluku Tenggara.


(25)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Budidaya Laut

Pengelolaan budidaya yang hendak diwujudkan di kawasan pulau-pulau kecil adalah sistem usaha perikanan yang mampu menghasilkan 6produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan dan berkelanjutan. Sasaran untuk dapat merealisasikannya maka pengembangan budidaya perikanan seyogianya didasarkan pada beberapa hal, yaitu : (i) potensi dan kesesuaian wilayah untuk jenis budidaya, (ii) kemampuan dan aspirasi masyarakat setempat dalam mengadopsi dan menerapkan teknologi budidaya, (iii) pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara terpadu dan (iv) kondisi serta pencapaian hasil pembangunan budidaya perikanan yang menjadi leading sector (Dahuri 2000).

Kondisi biofisik wilayah pesisir pulau-pulau kecil di Indonesia berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga berimplikasi pada kesesuaian (sustability) untuk jenis budidaya perikanan yang dikembangkan (Dahuri 2000). Pedoman umum bagi pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat (DKP 2001), dijelaskan bahwa pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km2 hanya dapat digunakan untuk kepentingan terbatas, dan salah satunya adalah usaha budidaya perikana laut (marine based aquacultur). Keperluan budidaya di laut (marikultur) yang biasanya digunakan berupa perairan laut yang terlindung, yakni berupa teluk, selat dan shallow sea. Pada daerah terlindung tersebut selanjutnya dikaji aspek aksesibilitas, legalitas, hidrooseanografi, kualitas air, ekosistem dan sosekbud untuk menduga daya dukung dan kesesuaian lingkungan untuk marikultur (Effendi 2004).

Perairan laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teluk. Teluk merupakan perairan laut yang menjorok masuk ke daratan. Kondisi yang menjorok masuk ke daratan, mengakibatkan perairan teluk relatif terlindung dari ombak besar, badai dan angin kencang. Berbeda dengan paluh, mulut teluk relatif lebar dan terbuka. Perairan ini juga relatif lebar sehingga pengaruh angin dalam bentuk ombak relatif besar. Sifat keterlindungan menjadi hilang bila teluk tersebut memiliki area yang sangat luas.

Sirkulasi air banyak dipengaruhi oleh arus akibat pasut air laut. Teluk yang memiliki pasut laut dengan kisaran yang kecil umumnya memiliki arus laut yang


(26)

relatif lambat (0,01 – 0,10 m/detik) sehingga sirkulasi air di perairan ini relatif kecil. Teluk demikian sering kali sangat subur bahkan terlampau subur (eutrofikasi) bila banyak menerima nutrien dari daratan (Effendi 2004).

2.2. Ikan Kerapu

Ikan kerapu biasanya disebut goropa atau kasai, diperkirakan terdiri atas sekitar 46 spesies, yang hidup di berbagai tipe habitat (tempat hidup). Semua spesies tersebut, ternyata berasal dari tujuh genus, yaitu Aethaloperca,

Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes, Plectropoma, Epinephelus, dan Varicla. Dari tujuh genus tersebut, genus Cromileptes, Plectropoma, dan

Epinephelus merupakan golongan kerapu komersial bernilai ekonomi tinggi, yang diusahakan melalui penangkapan di alam mau pun pembudidayaan (Ghufran 2001). Ikan kerapu merupakan ikan demersal yang hidup diperairan karang , yaitu diantara celah-celah karang atau di dalam goa di dasar perairan (DKP 2004). Secara umum ikan kerapu memiliki kepala yang besar, mulut lebar dan tubuhnya ditutupu sisik-sisik kecil. Bagian tepi operculum, bergerigi dan terdapat duri-duri pada operculum. Letak dua sirip punggungnya (yang pertama berbentuk duri-duri), terpisah. Semua jenis kerapu memiliki tiga duri pada sirip dubur dan tiga duri pada bagian tepi operculum (Ghufran 2001).

Ikan kerapu dikenal sebagai jenis ikan pemangsa (predator) yang memangsa jenis-jenis ikan kecil, zooplankton, udang-udang kecil lainnya. Ikan kerapu bersifat hermaphrodit protogynous yang berarti setelah mencapai ukuran tertentu akan berganti kelamin (changce sex) dari betina menjadi jantan. Selain itu ikan kerapu tergolong jenis ikan yang bersifat hermaphrodit synchroni yaitu dalam satu gonat satu individu ikan, terdapat sel betina dan sel jantan yang dapat matang dalam waktu yang sama, sehingga ikan dapat melakukan pembuahan sendiri dan dapat pula tidak . Ikan kerapu merupakan ikan yang berukuran besar, yang bobotnya dapat mencapai 450 kg atau lebih. Jenis ikan kerapu ini terdapat diberbagai peraian antara lain di Afrika, Taiwan, Filipina, Malaysia, Australia, Indonesia dan Papua Nugini. Sementara di Indonesia, kerapu ditemukan di seluruh perairan nusantara (Ghufran 2001).

Dari 46 jenis kerapu atau grouper yang tergolong dalam tujuh genus dan hidup tersebar di laut dengan tipe habitat beragam, hanya ada lima jenis yang saat


(27)

ini dipandang memiliki nilai ekonomis penting. Kelima jenis kerapu tersebut, selain dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, baik di rumah-rumah, restoran mewah, mau pun di hotel-hotel berbintang, juga diekspor ke beberapa negara. Kelima jenis kerapu tersebut adalah sebagai berikut (Ghufran 2001).

1) Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)

Kerapu bebek sering disebut sebagai kerapu tikus, di pasaran Internasional dikenal dengan nama polka-dot grouper, namun ada pula yang menyebutnya

hump-backed rocked. Ikan kerapu bebek ini berbentuk pipih dan warna dasar kulit tubuhnya abu-abu dengan bintik-bintik hitam di seluruh permukaan tubuh. Kepala berukuran kecil dengan moncong agak meruncing. Kepala yang kecil mirip bebek menyebabkan jenis ikan ini populer disebut kerapu bebek, namun ada pula yang menyebutnya sebagai kerapu tikus, karena bentuk moncongnya yang meruncing menyerupai moncong tikus (Gambar 1).

Gambar 1. Ikan Kerapu Bebek

Sumber: (http://www.fishyforum.com/t1081/)

Ikan kerapu bebek dikategorikan sebagai ikan konsumsi bila bobot tubuhnya telah mencapai 0,5 kg–2 kg per ekor. Selain dijual sebagai ikan konsumsi, ikan kerapu bebek juga dapat dijual sebagai ikan hias dengan nama grace kelly. Ikan kerapu bebek memiliki bentuk sirip yang membulat. Sirip punggung tersusun dari 10 jari-jari keras dan 19 jari-jari lunak. Pada sirip dubur, terdapat 3 jari-jari keras dan 10 jari-jari lunak. Ikan ini bisa mencapai panjang tubuh 70 cm atau lebih, namun yang dikonsumsi, umumnya berukuran 30 cm–50 cm. Kerapu bebek tergolong ikan buas yang memangsa ikan-ikan dan hewan-hewan kecil lainnya.


(28)

Ikan kerapu bebek merupakan salah satu ikan laut komersial yang mulai dibudidayakan baik dengan tujuan pembenihan mau pun pembesaran.

2) Kerapu Sunu (Pliectropomus maculatus)

Ikan kerapu sunu biasanya disebut sebagai ikan sunuk atau ikan lodi. Ada dua jenis kerapu sunu yang dikenal sebagai ikan laut komersial, yaitu jenis

Plectropoma maculatus atau populer dengan sebutan spotted coral trout dan jenis

Plectropoma leopardus atau populer dengan sebutan leopard coral trout. Ikan kerapu sunu memiliki tubuh agak bulat memanjang, dengan jari-jari keras pada sirip punggungnya. Warna tubuh sering mengalami perubahan tergantung pada kondisi lingkungan. Perubahan warna tubuh terjadi terutama jika ikan dalam keadaan stres. Tubuh sering berwarna merah atau kecokelatan, sehingga kadang juga disebut kerapu merah atau kasai makot (Gambar 2).

Gambar 2. Ikan Kerapu Sunu

Sumber: (http://www.fishyforum.com/t1081/)

Pada tubuhnya terdapat bintik-bintik berwarna biru, dengan tepi gelap dan ada enam pita berwarna gelap, kadang-kadang tidak nampak. Kerapu sunu jenis

P.maculatus, mempunyai bintik yang tidak seragam, sedangkan jenis

P.Leopardus, mempunyai bintik-bintik yang seragam. 3) Kerapu Lumpur (Epinephelus suillus)

Disebut sebagai kerapu lumpur, karena ikan ini betah hidup di dasar perairan. Nama lain dari jenis kerapu ini adalah kerapu balong, estuary grouper, atau sering pula disebut kerapu hitam, walaupun sebenarnya memiliki warna dasar abu-abu dan berbintik-bintik. Kerapu lumpur ini terdiri atas beberapa macam, namun yang bernilai ekonomis tinggi dan telah umum dibudidayakan adalah


(29)

Epinephelus suillus dan Epinephelus malabaricus. Jenis E. suillus memiliki tubuh berwarna abu-abu gelap dengan kombinasi bintik cokelat dan lima garis menyerupai pita gelap samar yang memanjang pada tubuhnya (Gambar 3).

Gambar 3. Ikan Kerapu Lumpur Sumber: (http://www.fishyforum.com/t1081/)

Kerapu lumpur banyak dibudidayakan karena pertumbuhannya cepat dan benihnya paling mudah diperoleh di laut, terutama pada musim-musim tertentu sedangkan jenis E. malabaricus, memiliki tubuh dengan warna dasar abu-abu agak muda dengan bintik hitam kecil. Habitat ikan kerapu lumpur ada di kawasan terumbu karang, perairan berpasir, dan bahkan hutan mangrove, serta muara-muara sungai. Kerapu lumpur ukuran konsumsi biasanya memiliki bobot tubuh berkisar antara 400 g–1.200 g per ekor.

4) Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

Bentuk kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mirip dengan kerapu lumpur, tetapi dengan badan yang agak lebar. Masyarakat Internasional mengenalnya dengan sebutan flower atau carpet cod (Ghufran 2001). Ikan kerapu macan memiliki mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke atas dan sirip ekor yang umumnya membulat (rounded). Warna dasar sawo matang, perut bagian bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik berwarna merah kecokelatan, serta tampak pula 4-6 baris warna gelap yang melintang hingga ekornya. Badan ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan memiliki ciri-ciri loreng (Antoro et al. 2004). Gambar ikan kerapu macan dapat dilihat pada Gambar 4.


(30)

Gambar 4. Ikan Kerapu Macan Sumber: (http://www.fishyforum.com/t1081/)

Usaha budidaya kerapu pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu pembenihan dan pembesaran. Kegiatan pembenihan adalah kegiatan produksi yang menghasilkan benih ikan ukuran 5-7 cm yang biasa disebut dengan

fingerling. Kegiatan pembenihan sampai dengan fingerling berkisar antara 3-4 bulan (tergantung dari jenis ikan kerapu). Kegiatan pembenihan sampai dengan

fingerling ini merupakan kegiatan yang cukup menarik, terutama untuk menghasilkan benih dari berukuran 2 - 3 cm menjadi berukuran 5 - 7 cm. Jangka waktu yang tidak begitu lama sekitar 20 - 30 hari, perbandingan harga benih yang berukuran 2 - 3 cm dengan yang berukuran 5 - 7 cm meningkat sampai sekitar 100 % yang memberikan keuntungan sekitar 70 %. Kegiatan pembenihan ini dapat dilakukan di dalam tangki budidaya berkapasitas 1 - 2 m3 atau dalam keramba jaring apung (dimensi 1,5 m x 1,5 m x 1,5 m dan mesh size 3 - 4 mm) dengan kepadatan 300-500 ekor per m3. Pakan yang diberikan sebaiknya pelet kering dengan kadar protein sekitar 40 % (Nainggolan et al. 2003).

Pembesaran jenis kerapu sampai dengan berukuran konsumsi berkisar antara 7-10 bulan, tergantung dari jenis ikan kerapu yang dibesarkan (untuk ikan kerapu macan dibutuhkan waktu sekitar 7 bulan dan untuk ikan kerapu tikus sekitar 10 bulan). Pembesaran kerapu untuk menjadi kerapu muda ukuran 100 g per ekor dari ukuran fingerling diperlukan waktu 3 - 4 bulan pada ikan kerapu macan dan 7-10 bulan pada ikan kerapu tikus. Pembesaran ikan kerapu biasanya dilaksanakan dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA) atau di dalam tangki pembesaran dengan sistem air mengalir (Nainggolan et al. 2003).


(31)

Pakan yang diberikan dapat berupa ikan rucah atau pelet. Usaha pembesaran ikan kerapu di lapangan (yang dilakukan masyarakat) cukup bervariasi. Ada yang membesarkan dari fingerling sampai dengan menjadi ukuran konsumsi, ada pula yang membesarkan dari fingerling sampai dengan ukuran 100 g per ekor (ikan kerapu muda) dan dari ikan kerapu muda sampai ukuran konsumsi (sekitar 500-1.200 g per ekor). Pemeliharaan dari ukuran 100 g per ekor sampai dengan lebih besar dari 500 g per ekor memerlukan waktu 3 - 5 bulan untuk ikan kerapu macan dan 8-10 bulan untuk ikan kerapu tikus (Nainggolan et al. 2003).

2. 3. Rumput Laut

Rumput laut (seaweed) merupakan nama dalam perdagangan nasional untuk jenis alga yang dipanen dari laut. Dari segi morfologisnya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tumbuhan ini mempunyai bentuk yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda, yaitu berbebtuk thallus. Budidaya rumput laut di Indonesia banyak dilakukan karena memiliki manfaat antara lain; sebagai pupuk organik, bahan baku industri makanan dan kosmetik, sampai obat-obatan. (Nontji 1993).

Ada beberapa jenis rumput laut yang dianggap potensial. Rumput laut potensial yang dimaksud disini adalah jenis-jenis rumput laut yang sudah diketahui dapat digunakan diberbagai industri sebagai sumber karagin, agar-agar dan alginat. Karaginofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida karagin, agarofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida agar-agar keduanya merupakan rumput laut merah (Rhodophyceae). Alginofit adalah rumput laut coklat (Phaeophyceae) yang mengandung bahan utama polisakarida alginat. Selain itu ada juga jenis alga hijau (Chlorophyceae) kebanyakan bermanfaat sebagai makanan manusia, pakan hewan dan obat (Atmadja 1989).

Rumput laut di Indonesia sekarang sudah merupakan komoditi ekspor, terlihat dari semakin meningkatnya nilai ekspor terutama jenis Rhodophyceae dan

Chlorophyceae. Potensi ini ditunjang oleh keadaan wilayah perairan dan sediaan alami yang cukup banyak serta lahan budidaya yang luas. Di Indonesia rumput laut yang bernilai ekonomis penting adalah Rhodophyceae, namun Chlorophyceae


(32)

dan Phaeophyceae juga mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan. Banyak jenis rumput laut di Indonesia, yang masih belum dikenal. Cara yang perlu dilakukan yaitu; pengenalan jenis dan pengetahuan tentang nama-nama setempat di perairan laut Indonesia, paling tidak untuk mengetahui keberadaan dan sebaran jenisnya.

Rumput laut yang mengandung karaginan adalah dari marga Eucheuma. Karaginan ada tiga macam, yaitu iota karaginan dikenal dengan tipe spinosum,

kappa karaginan dikenal dengan tipe cottonii dan lambda karaginan. Ketiga macam karaginan ini dibedakan karena sifat jeli yang terbentuk. Iota karaginan berupa jeli lembut dan fleksibel atau lunak. Kappa karaginan jeli bersifat kaku dan keras. Sedangkan lambda karaginan tidak dapat membentuk jeli, tetapi berbentuk cair yang viscous. Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum merupakan rumput laut yang secara luas diperdagangkan, baik untuk keperluan bahan baku industri di dalam negeri maupun untuk ekspor. Sedangkan E. edule hanya sedikit sekali diperdagangkan dan tidak dikembangkan dalam usaha budidaya. Sebaliknya

Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum dibudidayakan oleh masyarakat pantai. Dari kedua jenis tersebut Eucheuma cottonii yang paling banyak dibudidaya, karena permintaan pasar sangat besar. Gambar 5 merupakan jenis-jenis rumput laut Eucheuma.

(a) Eucheuma cottonii (b) Eucheuma spinosum

(c) Eucheuma serra (d) Eucheuma edule

Gambar 5. Rumput Laut Jenis Eucheuma


(33)

Hypnea adalah jenis ganggang talus parasit yang kurang lebih terdiri dari 52 spesies. Hypnea merupakan sejenis talus dengan ciri garis-garis pada sekujur ranting dan jari-jari yang lebih halus. Beberapa spesies pada Hypnea ini (contoh: musciformis) memiliki lekukan yang dapat tersisip menjadi lapisan terbawah dalam setiap carang/sulur dalam setiap rambatannya. Seluruh lapisan warna

Hypnea berkisar antar coklat muda hingga merah gelap. Memiliki panjang tubuh antara 10-30cm, dan dapar berkontraksi hingga 50cm. Hypnea sp sedikit sekali diperdagangkan dan tidak dikembangkan dalam usaha budidaya. Hypnea biasanya dimanfaatkan oleh industri agar. Gambar 6 merupakan jenis ganggang talus parasit jenis Hypnea.

Gambar 6. Ganggang Talus Parasit Jenis Hypnea

Sumber : indonetwork.web.id/alloffers.

Rumput laut untuk bahan membuat agar Gracilaria sp adalah rumput laut yang termasuk pada kelas alga merah (Rhodophyta) dengan nama daerah yang bermacam-macam, seperti: sango-sango, rambu kasang, janggut dayung, dongi-dongi, bulung embulung, agar-agar karang, agar-agar jahe, bulung sangu dan lain-lain. Rumput laut marga Gracilaria banyak jenisnya, masing-masing memiliki sifat-sifat morfologi dan anatomi yang berbeda serta dengan nama ilmiah yang berbeda pula, seperti: Gracilaria confervoides, Gracilaria gigas, Gracilaria verucosa, Gracilaria lichenoides, Gracilaria crasa, Gracilaria blodgettii,

Gracilaria arcuata, Gracilaria taenioides, Gracilaria eucheumoides, dan banyak lagi. Beberapa ahli menduga bahwa rumput laut marga Gracilaria memiliki jenis yang paling banyak dibandingkan dengan marga lainnya.

Rumput laut Gracilaria umumnya mengandung ager atau disebut juga agar-agar sebagai hasil metabolisme primernya. Agar-agar-agar diperoleh dengan melakukan ekstraksi rumput laut pada suasana asam setelah diberi perlakuan basa.


(34)

Agar-agar diproduksi dan dipasarkan dalam berbagai bentuk, yaitu: agar-agar tepung, agar-agar kertas dan agar-agar batangan dan diolah menjadi berbagai bentuk penganan (kue), seperti pudding dan jeli atau dijadikan bahan tambahan dalam industri farmasi. Kandungan serat agar-agar relatif tinggi, karena itu dikonsumsi pula sebagai makanan diet. Melalui proses tertentu agar-agar diproduksi pula untuk kegunaan di laboratorium sebagai media kultur bakteri atau kultur jaringan. Gambar 7 menampilkan jenis-jenis rumput laut Glacilaria.

(a) Glacilaria sp (b) Gracilaria verucosa

(c) Gracilaria blodgettii (d) Gracilaria corticata

(e) Gracilaria eucheumoides

Gambar 7. Jenis Rumput Laut Glacilaria

Sumber : www.scribd.com/doc/4889138.

Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan berhasil tidaknya usaha budidaya bila kegiatan budidaya rumput laut dilakukan. Jika ingin


(35)

memperoleh hasil yang memuaskan dari usaha rumput laut, hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya rumput laut (Aslan 1998).

Selain pemilihan lokasi untuk budidaya rumput laut, metode penanaman perlu juga diperhatikan. Menurut Aslan (1998), terdapat tiga metode penanaman rumput laut berdasarkan posisis tanam terhadap dasar perairan, yaitu: (1) metode dasar (bottom method) ; (ii) metode lepas dasar (off bottom method) dan (iii) metode apung (floating metod).

Syamsudin (2004), menyatakan bahwa pemilihan metode budidaya rumput laut memiliki korelasi terhadap produktivitas dan pertumbuhan thallus rumput laut yang dibudidayakan. Ini didasarkan dengan hasil penelitian yang dilakukan dengan membandingkan produktivitas 3 (tiga) metode budidaya rumput laut, yaitu metode tali rawai/ long line, metode lepas dasar dan metode dasar. Selanjutnya dikatakan bahwa metode tali rawai/ long line merupakan metode budidaya rumput laut yang paling produktif dengan laju pertumbuhan harian thallus rata-rata 7,67% per hari, metode lepas dasar mencapai laju pertumbuhan harian rata-rata 7,54% per hari dan metode dasar mencapai laju pertumbuhan harian rata-rata sebesar 2,12 % per hari.

Dengan menggunakan metode tali rawai/long line dan lepas dasar pada kedalaman yang sesuai, thallus rumput laut yang dibudidayakan dapat mencapai berat 4 -5 kali lipat dari berat awal thallus. Dapat dikatakan bahwa untuk mencapai produktivitas yang tinggi, budidaya rumput laut disarankan, dilakukan dengan metode tali rawai/ long line dan metode lepas dasar pada kedalaman yang sesuai.

2.4 Syarat-Syarat Pemilihan Lokasi

Ketepatan lokasi merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam usaha budidaya ikan kerapu. Beberapa kegagalan usaha budidaya terjadi karena lokasi yang dipilih kurang cocok. Pencapaian produksi jenis komoditas budidaya laut secara optimal memerlukan kecermatan dalam penentuan lokasi budidaya yang akan dikembangkan serta kecocokan metoda yang digunakan. Pemilihan lokasi untuk budidaya ikan kerapu di laut harus mempertimbangkan aspek teknis dan non teknis. Dari segi aspek teknis hal-hal yang harus diperhatikan meliputi:


(36)

a). Perairan/lokasi yang dipilih harus terlindung dari pengaruh angin/musim dan gelombang, hal ini untuk mengamankan/melindungi salinitas budidaya. b). Pergerakan air harus cukup baik dengan kecepatan arus antara 20 - 40

cm/detik, apabila kecepatan arus kurang mengakibatkan penyediaan air kurang dan O2 yang dipasok juga akan berkurang dan sebaliknya apabila kecepatan arus cukup besar pertumbuhan ikan akan terganggu sebab energi yang didapatkan dari makanan banyak keluar untuk melawan arus.

c). Lokasi harus bebas dari pengaruh pencemaran atau polusi baik limbah industri maupun limbah rumah tangga.

d). Lokasi juga harus bebas dari hama, yang meliputi antara lain ikan-ikan besar dan buas, binatang yang selain berpotensi dapat mengganggu (predator). e). Hal yang sangat penting lokasi harus memenuhi persyaratan kualitas air yang

baik untuk pertumbuhan ikan seperti : - Salinitas berkisar antara 25 - 31 ppt. - Suhu air berkisar antara 280– 320C. - O2 (oksigen) >5 ppm.

- Nitrat 0.9 – 3.2 mg/l dan phospat 0.2 – 0.5 mg/l

f). Mempermudah kelancaran kegiatan yang berhubungan dengan usaha budidaya yang meliputi sarana jalan, telpon, listrik, sumberdaya manusia, pakan, pasar, ketersediaan bimbingan harus dalam jumlah yang cukup memadai serta bahan-bahan untuk komoditi budidaya mudah diperoleh. (Kordi 2005).

Menurut Achmad (2008) persyaratan non teknis yang perlu mendapat perhatian dalam pemilihan lokasi budidaya adalah sebagai berikut:

a). Keterlindungan, untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan biota laut, diperlukan lokasi yang terlindung dari pengaruh angin dan gelombang yang besar. Lokasi yang terlindung biasanya didapatkan di peraian teluk dan perairan yang terlindung atau terhalang oleh pulau di depannya.

b). Keamanan lokasi. Masalah pencurian dan sabotase mungkin saja dapat terjadi pada lokasi tertentu sehingga upaya pengamanan, baik secara perorangan maupun kelompok harus dilakukan. Sebaiknya dilakukan upaya pendekatan dan hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar lokasi budidaya.


(37)

c). Konflik kepentingan. Pemilihan lokasi sebaiknya tidak menimbulkan konflik dengan kepentingan lain. Beberapa kegiatan perikanan (penangkapan ikan, pemasangan bubu, dan bagan) serta kegiatan bukan perikanan (pariwisata, perhubungan laut, industri dan taman laut) dapat dipengaruhi negative terhadap aktifitas budidaya laut.

d). Aspek peraturan dan perundang-undangan, untuk menguatkan keberlanjutan usaha budidaya laut, pemilihan lokasi tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah serta mengikuti tata ruang yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah (BAPEDA serta dinas kelautan dan perikanan setempat).

Kondisi dasar perairan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas air diatasnya. Dasar perairan yang mengalami pelumpuran, bila terjadi gerakan air oleh arus maupun gelombang akan membawa partikel dasar ke permukaan (Upwelling) yang akan menyebabkan kekeruhan, sehingga penetrasi cahaya matahari menjadi berkurang dan partikel lumpur ini berpotensi menutup insang ikan. Arus air sangat membantu pertukaran air dalam keramba, membersihkan timbunan sisa-sisa metabolism ikan dan membawa oksigen terlarut yang dibutuhkan ikan. Sebaliknya apabila kecepatan arus tinggi akan sangat berpotensi merusak konstruksi keramba serta dapat menyebebkan stress pada ikan, selera makan ikan akan berkurang dan energi banyak yang terbuang (Achmad 2008)

Kecerahan air merupakan ukuran trasparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Peraiaran dengan tingkat keceraha sangat tinggi (jernih) sangat baik bagi lokasi budidaya laut. Kecerahana yang dipersyaratkan adalah > 3 meter (Akbar dan Sudaryanto 2002). Kekeruhan atau turbiditas disebabkan oleh adanya partikel tersuspensi dan terlarut dalam air, seperti jasad renik, lumpur, bahan organik, tanah liat dan zat koloid serta benda terapung lainnya yang tidak mengendap dengan segera. Kekeruhan dapat mempengaruhi pernapasan ikan , proses fotosintesa dan produktivitas primer. Pada budidaya ikan, nilai kekeruhan (turbidity) berkisar antara 2-30 NTU (Nephleloletric Turbudity Unit ). Padatan tersuspensi yang tinggi akan mengganggu pernapasan ikan karena partikel-partikel tersebut dapat menutupi insang. Padatan tersuspensi perairan untuk usaha budidaya laut adalah berkisar antara 5-25 ppm (Akbar dan Sudaryanto 2002).


(38)

Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, letak lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan. Peningkatan suhu udara disekitar perairan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya (Effendi 2003). Suhu perairan sangat penting didalam memepengaruhi pertumbuhan ikan budidaya. Suhu optimal untuk pertumbuhan kerapu sekitar antara 27-290C (Akbar dan Sudaryanto 2002).

Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter utama bagi kehidupan hewan perairan. Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari proses fotosintesis fitoplanton pada siang hari. Faktor-faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi (khususnya pada malam hari) dan masuknya limbah pencemar baik anorganik maupun organic yang mudah urai ke lingkungan laut. Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya yang baik adalah berkisar antara 5-8 ppm (Akbar dan Sudaryanto 2002).

Nitrogen di dalam air terdiri dari bermacam-macam senyawa, namun yang bersifat tosik terhadap ikan dan organism lainnya hanya 3 (tiga) senyawa yaitu ammonia ( NH3-N), nitrit (NO2-N) dan nitrat (NO3-N). Senyawa ini selain berasar dari atmosfir juga banyak berasal dari sisa makanan, organisme yang mati dan hasil ekskresi metabolisme hewan akuatik. Ammonia dan nitrit merupakan senyawa nitrogen yang paling toksik, sedangkan nitrat hanya bersifat toksik pada konsentrasi yang tinggi. Nitrit yang berlebihan dapat mengakibatkan ion ferro dalam hemoglobin menjadi ion ferri yang merubah heimoglobin menjadi meteoglobin yang merupakan parameter penting dalam budidaya ikan karena nitrit merupakan bentuk oksidasi terbanyak dari nitrogen dalam air. Konsentrasi ammonia dan nitrat untuk keperluan budidaya adalah 1 ppm. (Akbar dan Sudaryanto 2002).

Lokasi yang tepat akan mendukung kesinambungan usaha dan target produksi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi untuk budidaya ikan kerapu ini adalah faktor resiko seperti keadaan angin dan


(39)

gelombang, kedalaman perairan, bebas dari bahan pencemar, tidak mengganggu alur pelayaran; faktor kenyamanan seperti dekat dengan prasarana perhubungan darat, pelelangan ikan (sumber pakan), dan pemasok sarana dan prasarana yang diperlukan (listrik, telpon), dan faktor hidrografi seperti selain harus jernih, bebas dari bahan pencemaran dan bebas dari arus balik, dan perairannya harus memiliki sifat fisik dan kimia tertentu (kadar garam, oksigen terlarut). (Tonnek et al. 1994).

Tidak semua wilayah pantai cocok untuk budi daya kerapu, oleh karena itu penentuan lokasi harus memperhitungkan beberapa faktor penting antara lain :

a). Terlindung dari gelombang besar dan badai, sebab ikan mudah menjadi stres dan menurunkan selera makan apabila terus menerus dihantam gelombang.

b). Terlindung dari ancaman predator yaitu hewan buas laut (ikan butal dan ikan besar lainnya) dan burung laut.

c). Terlindung dari ancaman pencemaran buangan limbah industri, limbah pertanian dan limbah rumah tangga,

d). Terlindung dari hilir mudik lalu lintas kapal karena selain akan menimbulkan riak-riak gelombang juga buangan kapal (minyak solar dll) akan mencemari area pemeliharaan. (Sunyoto 1993).

2.5. Kesesuaian Perairan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya akibat dari kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun pada masa sekarang seperti reklasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini (Harjowigeno dan Widiatmaka 2001).

Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan penggunaan lahan seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi. Perkembangan penguasaan dan penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi manusia dan tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan kehidupannya.


(40)

Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem di suatu wilayah apalagi bila wilayah tersebut merupakan pulau kecil. Dalam aktivitas budidaya laut istilah kesesuaian lahan dipadankan dengan kesesuaian perairan, secara umum kualitas perairan untuk budidaya laut dan pariwisata dianalisis dengan menggunakan pedoman pada baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup melalui SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004, dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya

No Parameter Satuan Budidaya Laut

1 Kecerahan M Coral:>5a)

mangrove; - lamun: >3 a)

2 Suhu 0C alami1b)

3 Salinitas 0/00 alami1c)

4 pH - 7 – 8,5

5 DO mg/l >5

6 Nitrat mg/l 0,008

7 Fosfat mg/l 0,015

8 BOD5 mg/l 20

9 TSS mg/l Coral:>20 e)

mangrove; 80e) lamun: >20e) Sumber : Kepmen Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004

Keterangan:

Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat(siang, malam dan musim).

a) = diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 0,2 satuan pH

b) = diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman

c) = diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <20C dari suhu alami d) = diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman

euphotic (lapisan paling atas dari tubuh air yang menerima cukup cahaya untuk fotosintesis)

e) = diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 10 % konsentrasi rata-rata musiman.

Kesesuaian suatu ruang untuk kegiatan tertentu akan dapat berkurang bahkan menjadi tidak sesuai jika kemampuan sistem yang ada di dalamnya tidak mampu lagi untuk menanggung bebab kegiatan yang dilakukan diatasnya. Oleh


(41)

karena setiap sistem miliki ambang batas atau kemampuan mendukung atau daya dukung yang ada di suatu sistem tertentu.

2.6. Daya Dukung Perairan

Konsep daya dukung perairan telah cukup lama dikenal dan dikembangkan dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi budidaya perikanan, nilai daya dukung dimasukan sebagai faktor penting untuk dapat menjamin siklus produksi dalam waktu yang lama (Poernomo 1997).

Pengertian daya dukung lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktifitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (parameter) dalam suatu kesatuan ekosistem (Poernomo 1997). Daya dukung lingkungan hidup merupakan kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain dan keseimbangan antar keduanya (Undang-Undang nomor 32. Tahun 2009). Menurut Clark (1996) daya dukung merupakan konsep yang tepat dalam memanfaatkan sumberdaya secara terbatas. Untuk menentukan batas pembangunan sumberdaya dan kontrol pengembangan yang sangat objektif, digunakan metode analisis daya dukung.

Daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang budidaya ikan laut di KJA dan merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa jumlah ikan pada lokasi budidaya yang boleh dipelihara dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa menimbulkan degradasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya, Piper et al (1982) diacu dalam Meade (1989) atau jika telah ditentukan banyaknya ikan budidaya dalam satu keramba jaring apung, estimasi ini akan menunjukan berapa unit keramba jaring apung yang boleh dipelihara dalam luasan area yang telah ditentukan. Ha tersebut berlaku juga pada terapan budidaya rumput laut.

Daya dukung lingkungan dibagi menjadi 2, yakni (1) daya dukung ekologis (ecological carring capacity) dan (2) daya dukung ekonomis (economic carring capacity) Scones (1993) diacu dalam Soselisa (2006). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada suatu lahan yang dapat


(42)

didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan dan tanpa terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekologis ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (Skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter-perameter kelayakan usaha secara ekonomi.

Sistem budidaya yang memperhitungkan ukuran daya dukung lingkungan perairan tempat berlangsungnya kegiatan budidaya dalam menentukan skala usaha/ukuran unit usaha akan dapat menjamin kontinuitas hasil panen. Sistem budidaya model ini sering diperkenalkan sebagai sistem budidaya berkelanjutan Piper et al (1982) diacu dalam Meade (1989). Ketika wilayah (perairan) dimanfaatkan sebagai tempat untuk pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi kapasitas daya asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan sesuatu ekosistem pesisir untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Komar 1983).

2.7. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya

Optimasi pemanfaatan sumberdaya merupakan usaha untuk memperoleh nilai hasil yang menguntungkan dengan adanya keterbatasan luas perairan. Pada dasarnya optimasi adalah suatu persoalan untuk membuat nilai suatu fungsi beberapa variabel menjadi maksimum atau minimum dengan memperhatikan pembatas-pembatas yang ada. Pada umumnya pembatas tersebut meliputi Tenaga Kerja (TK), uang (modal), input (teknis), serta waktu dan ruang (Supranto 1993).

Menurut Gallagher and Watson (1980) diacu dalam Budiharsono (2001), untuk menghitung kombinasi yang optimal dari sumber-sumber yang terbatas, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik linier gold programming (LGP). Penentuan kombinasi optimum dengan program linier merupakan kelompok analisis kuantitatif yang digunakan untuk menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan masalah. Kombinasi yang terbaik dipilih dalam rangka menyusun strategi alokasi sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara optimal. Alokasi optimal adalah memaksimumkan atau meminimumkan tujuan dengan adanya kendala.


(43)

Pendekatan program ini telah digunakan oleh beberapa peneliti lain untuk mendapatkan solusi optimal dari suatu permasalahan. Teknik pemograman secara matematik untuk menyelesaikan suatu masalah, penarikan keputusan dengan beberapa tujuan atau sasaran. Ciri utama dari program ini adalah: (1) sasaran yang ingin dicapai diberi urutan prioritas, (2) pemenuhan sasaran berdasarkan urutan prioritas, dari yang tinggi ke yang rendah, (3) sasaran tidak harus terpenuhi secara tepat, tetapi mengurangi penyimpangan dari sasaran.

Target atau sasaran yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kendala-kendala atau syarat ikatan yang ada yaitu kendala-kendala tujuan. Secara umum model LGP adalah sebagai berikut:

1). Ada Fungsi Tujuan

Tujuan yang diinginkan bersifat memaksimumkan seperti keuntungan, penerimaan, produksi atau meminimumkan seperti biaya yang harus dinyatrakan dengan jelas dan tegas sebagai fungsi tujuan.

2). Kendala Tujuan

Setiap sumberdaya bersifat terbatas, dan keterbatasan tersebut merupakan kendala (constraint) atau syarat ikatan dalam mencari kombinasi terbaik dari alternatif pemecahan permasalahan yang ada.

3). Kendala riil/fungsional

Dengan ketentuan :

: peubah keputusan ( jenis penggunaan ruang) ke j


(44)

: koefisien Xj pada kendala riil ke-k

: sasaran/tujuan target ke-i

: jumloah sumberdaya k yang tersedia

: jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) terhadap tujuan ke-i (gi) : jumlah unit deviasi yang kekurangan (+) terhadap tujuan ke-i (gi)

: faktor prioritas ordinal ke- k

: bobot relatif dari dan dalam urutan prioritas ke-k i : 1,2,3…..,m, nomor fungsi kendala

j : 1,2,3…..,n, nomor peubah keputusan

k : 1,2,3…..,p, urutan prioritas dari fungsi kendala

Jadi penggunaan model LGP tersebut bermanfaat dan dapat diterapkan untuk berbagai bidang kajian yang berbeda-beda. Pada penelitian ini aplikasi LGP tersebut digunakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan perairan dengan pertimbangan faktor ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Namun karena sistem perikanan di daerah tropis sangatlah kompleks, maka teknik optimasi yang dapat digunakan untuk sumberdaya yang didukung oleh banyak tujuan adalah

linier goal programming (Wiyono 2001). Hal tersebut merupakan suatu pendekatan optimasi lahan secara komprehensif dan aplikasi LGP yang diujicobakan dalam suatu penelitian.

2.8. Analisis Kelayakan Usaha

Peluang daerah untuk memaksimalkan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut kian terbuka dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang telah di revisi dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Dalam pasal 10 Undang-Undang tersebut secara jelas diatur kewenangan daerah untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konversi dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut (desentralisasi pembangunan perikanan) sebatas 12 mil laut untuk tingkat propinsi dan 4 mil laut dari 12 mil laut untuk tingkat Kabupaten/Kota yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Hal ini tentu saja memberikan peluang yang besar kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan sumberdaya pesisir dan laut demi mempercepat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah (Sambut 2004).


(45)

Berdasarkan penjabaran diatas, dalam kaitannya dengan kegiatan usaha budidaya perikanan, maka keberhasilan usaha budidaya perikanan pada akhirnya akan dinilai dari besarnya pendapatan usaha yang diperoleh atau lebih dikenal dengan istilah keuntungan. Pendapatan usaha budidaya adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan. Penerimaan merupakan perkalian antara jumlah produksi dengan harga jual produksi, sedangkan biaya merupakan semua pengeluaran yang dipergunakan dalam kegiatan usaha. Berdasarkan sifatnya, biaya digolongkan dalam dua jenis yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak tergantung dengan banyak sedikitnya jumlah barang yang diproduksi. Dalam hal ini, pembudidaya harus tetap membayar berapapun jumlah komoditi yang dihasilkan dari kegiatan usahanya. Biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya berubah apabila ukuran usahanya berubah, seperti biaya input produksi (Soekartawi 1986).

Jika ingin mengetahui apakah usaha budidaya yang dilakukan menguntungkan atau tidak, dapat diukur dengan menggunakan indikator perimbangan antara penerimaan dan biaya. Berdasarkan pengukuran tersebut, jenis usaha dapat dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu : 1) jenis usaha yang bersifat tahunan, dan 2) jenis usaha yang bersifat musiman. Jenis usaha musiman biasanya memiliki karakteristik antara lain : (1) memiliki periode produksi lebih dari satu kali dalam setahun, (2) umumnya memerlukan modal yang relatif kecil, dan (3) biasanya diusahakan dalam skala kecil dengan teknologi yang sederhana. Menurut Effendi dan Oktariza (2006), untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dalam satu tahun terhadap biaya yang digunakan dalam kegiatan tersebut digunakan analisis

Revenue Cost Ratio (R/C). Suatu usaha dikatakan layak bila R/C lebih besar dari 1 (R/C > 1). Hal ini menggambarkan semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan semakin tinggi pula.

Selain analisis R/C yang digunakan dalam analisis usaha, dapat dihitung pula analisis Break Event Point (BEP). Effendi dan Oktariza (2006), mengemukakan bahwa analisis BEP merupakan alat analisis untuk mengetahui batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas (tidak untung dan tidak rugi). Usaha dinyatakan layak bila nilai BEP produksi lebih besar dari


(46)

jumlah unit yang sedang diproduksi saat ini. Sementara BEP harga harus lebih rendah daripada harga yang berlaku saat ini.

Menurut Kadariah (2001) dalam mengevaluasi proyek biasanya digunakan dua macam analisis, yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi. Dalam analisis finansial proyek dilihat dari sudut badan atau orang yang menanam modalnya di dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek, sedangkan analisis ekonomi, proyek dilihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan. Kini yang diperhitungkan adalah analisis total, atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber yang dipakai dan siapa yang dalam masyarakat yang menerima hasil dari proyek tersebut. Hasil dari hal ini disebut

social returns atau theeconomic returns dari proyek.

Setelah disadari bahwa banyak kegiatan yang menimbulkan adanya manfaat maupun biaya yang timbul karena adanya aspek lingkungan yang harus diperhitungkan, maka analisis biaya dan manfaat diperluas menjadi analisis kelayakan dengan memasukan dimensi biaya dan manfaat. Bagi pemegang kebijakan (policy makers), yang penting adalah mengarahkan pembangunan sumber-sumber yang langka kepada proyek-proyek yang dapat memberikan hasil yang paling baik bagi perekonomian sebagai keseluruhan, yang menghasilkan

social return dan economic return yang tinggi.

Kadariah (2001), mengemukakan kriteria yang digunakan dalam evaluasi usaha yang bersifat tahunan adalah sebagai berikut: (1) memiliki periode produksi yang lebih lama, kurang lebih 1 tahun atau lebih, (2) umumnya memerlukan modal dan investasi cukup besar dan (3) diusahakan dalam skala besar/proyek. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam rangka mencari satu ukuran menyeluruh tentang baik tidaknya suatu usaha tahunan, dikembangkan melalui pendekatan analisis beberapa indeks (invesment criteria). Hakekat dari semua kriteria tersebut adalah mengukur hubungan antara manfaat dan biaya dari proyek. Setiap kriteria mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga dalam menilai kelayakan proyek sering digunakan lebih dari satu kriteria. Dari beberapa kriteria yang ada, tiga diantaranya yang biasa digunakan adalah; (1) NPV, (2) Net B/C dan (3) IRR.


(47)

2.9. Kebijakan Investasi

Investasi adalah usaha menanamkan faktor-faktor produksi dalam rangka proyek tertentu, baik proyek yang bersifat baru maupun perluasan proyek. Tujuan utamanya yaitu memperoleh manfaat keuangan dan atau non keuangan yang layak dikemudian hari. Investasi dapat dilakukan oleh perorangan, perusahan swasta maupun badan-badan pemerintah. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa investasi merupakan faktor yang sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Anderson (1990) diacu dalam Kusumastanto (1994) menyatakan bahwa peranan investasi dalam pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh kualitas kebijakan perekonomian ynag mengatur tingkat investasi, tingkat pengembalian sosial dari investasi (social rate of return on investment) dan penyerapan tenaga kerja dari sebuah investasi, apabila investasi dilaksanakan secara efesien dalam meningkatkan output maka investasi memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya apabila dilaksanakan secara tidak efesien maka berakibat pada stagnasi ekonomi.

Selanjutnya Otani dan Villanueva (1990) diacu dalam Kusumastanto (1994) mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan sebesar 10% dari agregat tabungan domesti dapat meningkatkan output per kapita per tahun sebesar 1-4 %, peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) memberikan kontribusi sebesar 1% peningkatan output per kapita per tahun dan peningkatan volume ekspor sebesar 10% per tahun dapat meningkatkan output per kapita per tahun sebesar 4-5%. Stiglitz (1988)

diacu dalam Parenrengi (2009) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada tiga faktor; (1) pertumbuhan investasi, (2) kemajuan tehknik penelitian dan pengembangan, (3) pengembangan dan penggunaan sumberdaya alam (natural resources). Kebijakan yang diperlukan dalam investasi seperti kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter menyangkut antara lain; (1) tingkat suku bunga yang wajar, (2) alokasi kredit untuk industri yang proporsional. Kebijakan fiskal berupa pajak yang rendah, seperti pemberian kredit pajak investasi (investment tax credit) untuk mendorong investasi, misalnya 10% kredit pajak investasi yang diberikan, harga mesin ($10) di bayar oleh pemerintah. Selain itu adanya kepastian hukum, keamanan yang terjamin diharapkan akan


(48)

menarik investor baik dari luar negeri maupun domestik untuk menanamkan dananya di Indonesia.

Penanaman investasi memerlukan perencanaan yang mantap mengingat jumlah dana yang diperlukan cukup besar dan risiko yang dihadapi juga cukup tinggi. Menurut Kadariah (2001) ada lima pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum investasi dilakukan yaitu :

(1). Investasi harus dapat mengikut sertakan dan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat setempat;

(2). Investasi harus dapat mendatangkan pendapatan baik sebagai devisa negara atau sebagai sumber pendapatan daerah;

(3). Dilakukan secara optimal, efisien dan berkelanjutan; (4). Harus berbasis pada masyarakat lokal;

(5). Investasi harus merupakan langkah pemerataan pembangunan.

Teori ekonomi mengartikan investasi sebagai pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti atau menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa di masa depan. Dengan kata lain investasi berarti kegiatan pembelanjaan untuk meningkatkan kapasitas memproduksi sesuatu perekonomian (Johanes diacu dalam Kirkley et. al. 2003).

Dengan beberapa uraian tentang investasi, maka dapat dijelaskan bahwa investasi sangat penting dan dibutuhkan oleh negara-negara yang sedang berkembang. Mengingat investasi ini sendiri akan dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan, dengan demikian akan menciptakan daya beli pada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Johanes diacu dalam Kirkley

et al. 2003).

Investasi tergantung dari tingkat bunga, apabila tingkat bunga rendah, maka biaya perusahan akan semakin rendah, dan perusahan akan bersedia meminjamkan uang. Rendahnya tingkat bunga akan memacu perusahan menaikan investasinya, meningkatnya investasi maka pendapatan nasional akan mengalami kenaikan, hal ini akan berlaku sebaliknya. Semakin naik tingkat suku bunga maka


(1)

142

Lampiran 11. Biaya Pembuatan dan Penyusutan 1 Unit Budidaya Rumput Laut Metode

Long line

di Teluk Levun

No

Jenis Barang

Jumlah Harga Satuan Total Biaya Umur Ekonomis

Nilai Sisa

Penyusutan/ Pertahun

Satuan (Rp) (Rp) (Tahun) (Rp) (Rp)

1 Perahu (unit) 2 750.000 1,500.000 5 350.000 230.000

1 Tali penyangga (nilon No 8) 6 22.500 135.000 5 3.500 26.300

2 Tali bentangan (nilon No 3) 50 18.500 925.000 5 2.500 184.500

3 Pelampung Botol Aqua 1.500 200 300.000 5 100 59.980

4 Kayu Patok 85 5.000 425.000 5 1.500 84.700

5 Tiang jemuran rumput laut 15 3.000 45.000 5 1.000 8.800

6 Waring Jemuran 3 50.000 150.000 5 15.000 27.000

7 Karung 100 1.000 100.000 5 500 19.900

8 Pelampung Gabus 10 10.000 100.000 5 500 19.900

Jumlah Biaya Investasi 3.680.000 374.600 431.080


(2)

143

Lampiran 12. Biaya Operasional 1 Unit Budidaya Rumput Laut Metode

Long Line

di Teluk Levun

No

Jenis Barang

Jumlah Harga Satuan Total Biaya Total Biaya

Satuan (Rp) 1x Musim Tanam (Rp) 6x Musim Tanam (Rp) I. Biaya Variabel

1) Bibit (Kg) 500 2.000 1.000.000 2.000.000 2) Upah kerja (6 org) :

a. persiapan awal 2 350.000 700.000 720.000 b. Penanaman 6 150.000 900.000 2.160.000 c. pemeliharaan 2 100.000 200.000 4.320.000 d. panen 6 100.000 600.000 2.160.000

4) Konsumsi pekerja 30.000 1.560.000

5) Transportasi 200.000 200.000 1.200.000

Jumlah Biaya Variabel 3.600.000 14.120.000

II. Biaya Tetap

1) Biaya Penyusutan 431.080 2.586.480

2) Retribusi Desa 150.000 150.000

Jumlah Biaya Tetap 462.400 2.736.480

Jumlah Biaya (I + II ) 2.085.400 16.856.480


(3)

Lampiran 13. Proyeksi Arus Kas Budidaya Rumput Laut dengan Metode Tali Rawai (

long line

) di Teluk Levun Kabupaten Maluku

Tenggara.

1). Modal Pinjaman Bank untuk 471 Unit dengan jarak 25 meter per Unit pada kondisi Optimal

Uraian Dengan Proyek

0 1 2 3 4 5

CASH IN FLOW

Produksi (kg) 1.271.700 1.271.700 1.271.700 1.271.700 1.271.700

Harga Rp/kg 8.000 8.000 8.000 8.000 8.000

Penerimaan 10.173.600.000 10.173.600.000 10.173.600.000 10.173.600.000 10.173.600.000

Nilai Sisa 176.436.600

Pinjaman 869.500.000

Jumlah In Flow 869.500.000 10.173.600.000 10.173.600.000 10.173.600.000 10.173.600.000 10.350.036.600

CASH OUT FLOW

Biaya Investasi 1.218.232.080

Biaya Variabel 6.650.520.000 6.650.520.000 6.650.520.000 6.650.520.000 6.650.520.000

Biaya Tetap 70.650.000 70.650.000 70.650.000 70.650.000 70.650.000

Pengembalian Pokok 173.900.000 173.900.000 173.900.000 173.900.000 173.900.000

Angsuran Bunga

Pinjaman 104.340.000 104.340.000 104.340.000 104.340.000 104.340.000

Jumlah Out Flow 1.218.232.080 6.999.410.000 6.999.410.000 6.999.410.000 6.999.410.000 6.999.410.000 Net Incremental benefit (348.732.080) 3.174.190.000 3.174.190.000 3.174.190.000 3.174.190.000 3.350.626.600

DF 10% 1,00 0,91 0,83 0,75 0,68 0,62

Present Value (348.732.080) 2.885.627.273 2.623.297.521 2.384.815.928 2.168.014.480 2.080.475.502

NPV 11.793.498.623 -

NET B/C 34,8 0.0 0.0

IRR 103%

1


(4)

Lanjutan Lampiran 13. Proyeksi Arus Kas Budidaya Rumput Laut dengan Metode Tali Rawai (

long line

) di Teluk Levun Kabupaten

Maluku Tenggara.

2). Biaya Sendiri dengan Jumlah 471 Unit dengan Jarak 25 meter per unit pada Kondisi Optimal

Uraian Dengan Proyek

0 1 2 3 4 5

CASH IN FLOW

Produksi (kg) 1.271.700 1.271.700 1.271.700 1.271.700 1.271.700

Harga Rp/kg 8.000 8.000 8.000 8.000 8.000

Penerimaan 10.173.600.000 10173.600.000 10.173.600.000 10.173.600.000 10.173.600.000

Nilai Sisa 176.436.600

Jumlah In Flow 10.173.600.000 10173.600.000 10.173.600.000 10.173.600.000 10.350.036.600

CASH OUT FLOW

Biaya Investasi 1.218.232.080

Biaya Variabel 6.650.520.000 6650.520.000 6.650.520.000 6.650.520.000 6.650.520.000

Biaya Tetap 70.650.000 70.650.000 70.650.000 70.650.000 70.650.000

Jumlah Out Flow 1.218.232.080 6.721.170.000 6721.170.000 6.721.170.000 6.721.170.000 6.721.170.000 Net Incremental Benefit (1.218.232.080) 3.452.430.000 3452.430.000 3.452.430.000 3.452.430.000 3.628.866.600

DF 10% 1,00 0,91 0,83 0,75 0,68 0,62

Present Value (1.218.232.080) 3.138.572.727 2,853.247.934 2.593.861.758 2.358.056.144 2.253.240.650

NPV 14.415.211.293 13,986,156,600 10,533,726,600 7,081,296,600 3,628,866,600

NET B/C 10,8 5.4 4.5 3.1 1.6

IRR 92%


(5)

147

147

Lampiran 14. Penyelesaian AHP dengan

Criterium Decision Plus

.

(1). Hasil Brainstorming

(2). Struktur Hierarki


(6)

148

148

Lanjutan lampiran 14. Penyelesaian AHP dengan

Criterium Decision Plus

.

(4). Grafik Hasil Pengolahan Akhir AHP

(5). Tampilan Hasil Data