Pendugaan emisi gas metan dan dinitrogen oksida dari berbagai jenis ternak di Kabupaten Bogor

PENDUGA
P
AAN EM
MISI GAS METAN DAN DIN
NITROG
GEN OKSIDA
DARI BE
ERBAGA
AI JENIS TERNAK
K DI KAB
BUPATE
EN BOGO
OR

SKRIPS
SI
Arfi Zulta Harii Basuki

DEP
PARTEME
EN ILMU NUTRISI

N
DAN
D
TEKN
NOLOGI P
PAKAN
FAKUL
LTAS PETE
ERNAKAN
N
INSTITUT
T PERTAN
NIAN BOG
GOR
2013



RINGKASAN
Arfi Zulta Hari Basuki. D24070172. 2013. Pendugaan Emisi Gas Metan dan

Dinitrogen Oksida dari Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Bogor. Skripsi.
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr
Pembimbing Anggota: Dr. Sri Suharti S.Pt, M.Si
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tingkat emisi gas rumah kaca yang
dihasilkan dari peternakan berbagai jenis ternak di Kabupaten Bogor. Jenis ternak
yang diteliti adalah sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, domba, babi, kuda, dan
unggas. Gas rumah kaca terbesar yang dihasilkan dari peternakan adalah metan
(CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Gas metan dihasilkan dari fermentasi enterik
ternak ruminansia dan kotoran ternak yang dihasilkan. Kotoran ternak yang
dihasilkan peternakan juga menghasilkan emisi dinitrogen oksida secara langsung
dan tidak langsung.
Metode yang digunakan yaitu survei ke beberapa peternakan di Kabupaten
Bogor dengan jumlah peternakan sebanyak 10 peternak sapi perah, 4 peternak sapi
potong, 2 peternak kambing dan domba, 1 peternak kerbau, 1 peternak babi, dan 2
peternak unggas. Data populasi ternak di Kabupaten Bogor tahun 2010 sebagai dasar
perhitungan, pengumpulan data pustaka serta observasi lapang berupa survei
menggunakan kuesioner untuk mengetahui karakteristik ternak dan manajemen
kotoran ternak yang digunakan, model perhitungan emisi gas rumah kaca dari

peternakan berdasarkan Intergovernmental Protocol of Climate Change (IPCC), dan
pengolahan data menggunakan Microsoft Excel. Model perhitungan yang digunakan
terbagi menjadi model I dan model II, dimana pada model I menggunakan data
default dalam IPCC sedangkan pada model II menggunakan data yang didapat dari
survei dan pustaka. Gas metan dan dinitrogen oksida yang dihasilkan dikonversi
kedalam bentuk karbondioksida berdasarkan nilai Global Warming Potential (GWP)
setiap gas. Hasil perhitungan yang didapat ditampilkan dalam tabel dan grafik
berdasarkan emisi gas rumah kaca, jenis ternak, dan kecamatan.
Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari peternakan di kabupaten Bogor
sebesar 201,46 Gg CO2 eq pada perhitungan model I dan 170,21 Gg CO2 eq pada
perhitungan model II. Urutan ternak penghasil gas rumah kaca dari yang terbesar
pada perhitungan (model I dan model II) berturut-turut adalah domba (33% dan
39%), sapi perah (22% dan 9%), kerbau (16% dan 18%), kambing (12% dan 17%),
sapi potong (10% dan 10%), unggas (6% dan 7%), babi (1% dan 0%) dan kuda (0%),
Kecamatan Pamijahan adalah penghasil gas rumah kaca terbesar dengan total emisi
yang dihasilkan sebesar 17,63 Gg CO2 eq(8,75%) pada perhitungan model I dan 12,1
Gg CO2 eq (7,03%) pada perhitungan model II.
Kata-kata kunci: dinitrogen oksida, gas rumah kaca, kabupaten bogor, metan.

ii 

 

 

ABSTRACT
ESTIMATION OF METHANE AND DINITROGEN OXIDE GASES
EMISSION FROM LIVESTOCK IN BOGOR REGENCY
Basuki, A. Z. H., I. G. Permana, S. Suharti
The aim of these research was to observe the level of emission greenhouse gases
from livestock sector in Bogor Regency. Various animal species used in this research
were dairy cow, beef cattle, buffalo, swine, horse, and poultry. Data of livestock’s
population in Bogor Regency were used for basic calculation. The data were
collected from literature and direct observation collection through survey of animal
characterization and manure management, inventory equation of emission
greenhouse gas based on Intergovernmental Protocol of Climate Change (IPCC).
Data were processed by Microsoft Excel. Model of calculation consist of model I and
model II. Model I used IPCC default data, meanwhile model II used literature and
survey data. Methane and dinitrogen oxide which was produce from livestock
converted into carbon dioxide based on value of Global Warming Potential (GWP).
The greenhouse gases emission in Bogor Regency were 201.46 Gg CO2 eq by model

I and 170.21 Gg CO2 eq by model II. Animal which was produced GHG from the
highest to the lowest by (model I and model II) were sheep (33% and 39%), dairy
cow (21% and 9%), buffalo (16% and 18%), goat (12% and 17%), beef cattle (10%),
poultry (6% and 7%), swine (1% and 0%), and horse (0%). The highest level of
greenhouse gases emission was produced by Pamijahan District as many as 17.63 Gg
CO2 eq (8.75%) by model I and 12.1 Gg CO2 eq (7.03%) by model II.
Keyword: bogor regency, dinitrogen oxide, greenhouse gas, methane

iii 

PENDUGAAN EMISI METAN DAN DINITROGEN OKSIDA
DARI BERBAGAI JENIS TERNAK DI KABUPATEN BOGOR

Arfi Zulta Hari Basuki
D24070172

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor


DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
iv 

Judul Skripsi

: Pendugaan Emisi Gas Metan dan Dinitrogen Oksida dari
Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Bogor

Nama

: Arfi Zulta Hari Basuki

NIM

: D24070172


Menyetujui,

Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.
NIP. 19670506 199103 1 001

Dr. Sri Suharti S.Pt, M. Si
NIP. 19741012 200501 2 002

Mengetahui
Ketua Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.
NIP. 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian: 5 Februari 2013


Tanggal Lulus:



RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Oktober
1988 di Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak kedua
dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Tjuk Eko
Hari Basuki dan Ibu Avianti Zulaicha. Penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun
2001 di SD Muhammadiyah 12 Pamulang. Penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama
pada tahun 2004 di SLTP Negeri 1 Pamulang dan
menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas pada tahun 2007 di SMA Negeri
47 Jakarta. Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007 sebagai mahasiswa
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan.
Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, Penulis aktif
mengikuti organisasi antara lain sebagai anggota KOPMA (Koperasi Mahasiswa)

IPB periode 2007-2008, pengurus BEM-D periode 2008-2009, dan pernah menjadi
ketua panitia D’Day of Art (D’DOA) Fakultas Peternakan tahun 2009 serta beberapa
kepanitiaan lain. Penulis juga tergabung pada organisasi di luar kampus yaitu Iluni
47 (Ikatan Alumni SMAN 47 Jakarta) dan komunitas seni IPB.
Selain kegiatan organisasi, penulis pernah menerima dana hibah bersama tim
dalam Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) tahun 2011 dengan judul “Domba
Rakyat Montok dan Menguntungkan (Doraemon)”. Disamping itu, penulis juga
pernah menjadi asisten dosen dalam praktikum mata kuliah Formulasi Ransum pada
tahun 2011.
 

 

vi 

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas segala nikmat, ridho, dan
karunia yang telah diberikan-Nya Penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan
serangkaian tugas akhir (seminar, penelitian, dan penulisan skripsi) sebagai syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor.
Skripsi berjudul “Pendugaan Emisi Gas Metan dan Dinitrogen Oksida dari
Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Bogor” berada dibawah bimbingan Dr. Ir. Idat
Galih Permana, M.Sc.Agr dan Dr. Sri Suharti S.Pt, M.Si. Penulis berharap agar hasil
penelitian ini dapat meningkatkan perhatian peternak, khususnya di Kabupaten
Bogor, mengenai dampak emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor
peternakan. Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini mempunyai manfaat serta dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Bogor, Januari 2013

Penulis
 

 

vii 

DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR SAMPUL DALAM ..................................................................

i

RINGKASAN ............................................................................................

ii

ABSTRACT ...............................................................................................

iii

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................

iv

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................

v

RIWAYAT HIDUP ...................................................................................

vi

KATA PENGANTAR ...............................................................................

vii

DAFTAR ISI ..............................................................................................

viii

DAFTAR TABEL ......................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

xi

DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................

xii

PENDAHULUAN .....................................................................................

1

Latar Belakang ...............................................................................
Tujuan ............................................................................................

1
2

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................

3

Pola Sebaran Populasi Ternak di Kabupaten Bogor .......................
Sistem Pemeliharaan dan Pemberian Pakan Ternak di Kabupaten
Bogor ...............................................................................................
Emisi Metan dari Peternakan ..........................................................
Emisi Dinittogen Oksida dari Peternakan .......................................
Manajemen Kotoran ternak ...........................................................
Tindakan Mitigasi ............................................................................
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) .....................

3
3
4
5
6
7
8

MATERI DAN METODE .........................................................................

10

Lokasi dan Waktu ..........................................................................
Materi .............................................................................................
Perangkat Lunak dan Data Pendukung ...............................
Perangkat Pendukung .........................................................
Prosedur . ........................................................................................
Pengumpulan Data ..............................................................
Observasi Lapang ................................................................
Perhitungan dan Pengolahan Data .....................................
Analisis Data ...................................................................................

10
10
10
10
10
10
11
11
14

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................

15

viii 

Sebaran Populasi Ternak di Kabupaten Bogor ...............................
Penentuan Faktor Emisi ..................................................................
Hasil Perhitungan Emisi Metan .....................................................
Emisi Metan dari Fermentasi Enterik……………………...
Emisi Metan dari Manajemen Kotoran Ternak ...................
Hasil Perhitungan Emisi Dinitrogen Oksida ..................................
Emisi Gas Rumah Kaca di Kabupaten Bogor .................................

15
15
21
21
21
22
25

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................

44

UCAPAN TERIMA KASIH .....................................................................

45

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

46

LAMPIRAN ...............................................................................................

49

 

ix 

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1.

Populasi Ternak di Kabupaten Bogor Tahun 2009-2010 .....................

15

2.

Karakteristik Ternak di Kabupaten Bogor ...........................................

17

3.

Nilai Volatile Solid (VS) dan Jumlah Maksimum Metan yang
Dihasilkan (Bo) Berdasarkan Jenis Ternak ..........................................

19

Estimasi Persentase Sistem Manajemen Kotoran Tiap Ternak di
Kabupaten Bogor ..................................................................................

20

Kecamatan dengan Emisi Fermentasi Enterik Metan Terbesar dari
Sapi Perah di Kabupaten Bogor ...........................................................

22

Koefisien untuk Menghitung Emisi N2O Bedasarkan Jenis dan
Sistem Manajemen Kotoran Ternak .....................................................

24

Emisi N2O yang Dihasilkan Tiap Ternak di Kabupaten Bogor
Berdasarkan Perhitungan Model I dan Model II (Ton N2O) ................

25

8.

Emisi Total Berdasarkan Jenis Ternak .................................................

26

9.

Emisi Metan dan Dinitrogen Oksida Tiap Kecamatan di Kabupaten
Bogor Berdasarkan Model I dan Model II (Gg CO2) ...........................

27

4.
5.
6.
7.



DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.

Persentase Sumber Emisi Berdasarkan Model I dan Model II .......

Halaman
27

xi 

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1.

Definisi Sistem Manajemen Kotoran ternak ...................................

37

2.

Data Populasi Ternak Selain Unggas per Kecamatan di Kabupaten
Bogor Tahun 2010 ............................................................................

38

Data Populasi Ternak Unggas per Kecamatan di Kabupaten Bogor
Tahun 2010 .......................................................................................

40

Emisi CH4 yang Dihasilkan Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor
(Gg CO2) ..........................................................................................

42

Emisi N2O yang Dihasilkan Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor
(Gg CO2) ..........................................................................................

44

6.

Dokumentasi saat Observasi Lapang ...............................................

46

7.

Lembar Kuesioner Dinas Peternakan ...............................................

47

8.

Lembar Kuesioner Sapi Perah ..........................................................

48

9.

Lembar Kuesioner Sapi Potong Rakyat ...........................................

53

10.

Lembar Kuesioner Sapi Potong Feedlot ...........................................

55

11.

Lembar Kuesioner Sapi Babi ...........................................................

57

12.

Lembar Kuesioner Kambing/Domba ...............................................

58

13.

Lembar Kuesioner Unggas ...............................................................

59

3.
4.
5.

xii 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim yang terjadi beberapa tahun ini disebabkan oleh gas rumah
kaca yang berdampak pada pemanasan global. Fenomena pemanasan global menjadi
perhatian utama di berbagai negara. Tindakan mengurangi kegiatan yang dapat
menghasilkan gas rumah kaca perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif
dari pemanasan global. Beberapa jenis gas rumah kaca yang mempunyai kontribusi
besar terhadap pemanasan global antara lain karbondioksida, metan, dan dinitrogen
oksida. Berdasakan IPCC 2006, sektor penghasil gas rumah kaca dibagi menjadi lima
bagian, yaitu energi, industrial, pertanian, limbah, dan bagian lainnya diluar
pertanian.
Pertanian merupakan salah satu sektor penghasil gas rumah kaca, khususnya
subsektor peternakan. Peternakan mempunyai kontribusi sebesar 18% terhadap
pemanasan global (Steinfeld et al., 2006). Ternak ruminansia merupakan sumber
utama penghasil metan dimana secara alami terjadi di dalam pencernaannya, serta
populasinya yang tersebar banyak di dunia. Emisi metan tersebut dihasilkan dari
bakteri dalam mencerna pakan berserat. Selain metan, dinitrogen oksida juga
dihasilkan dari kotoran ternak. Dekomposisi kotoran akan menghasilkan gas metan,
sedangkan proses

nitrifikasi dan denitrifikasi oleh mikroba menghasilkan gas

dinitrogen oksida ke udara.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra peternakan yang berkontribusi
dalam pemenuhan permintaan daging wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pertumbuhan
populasi ternak di Kabupaten Bogor tahun 2010 mengalami peningkatan dari tahuntahun sebelumnya. Saat ini populasi ternak di Kabupaten Bogor untuk sapi potong,
sapi perah, kerbau, kuda, kambing, domba, babi, ayam broiler, ayam petelur, ayam
buras dan itik berturut-turut sebanyak 18.068, 7.288 , 19.908, 361, 119.337, 280.798,
4.734, 15.771.780, 4.371.042 dan 137.009 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Bogor, 2011). Bentuk usaha peternakan di Kabupaten Bogor terbagi
menjadi peternak rakyat dan peternak industri. Pola pemeliharaan serta pemberian
pakan secara tradisional dan berkualitas rendah banyak diterapkan pada peternakan
rakyat. Penggunaan pakan berkualitas rendah untuk ternak berpotensi dalam
peningkatan tingkat pemanasan global.



Salah satu upaya penanggulangan dampak pemanasan global adalah dengan
melakukan perhitungan (inventory) dan tindakan mitigasi. Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) adalah lembaga ilmiah internasional dalam penilaian
perubahan iklim. IPCC mengeluarkan metodologi untuk perhitungan estimasi gas
rumah kaca. Hasil penelitian Qurimanasari (2011) mengenai pendugaan emisi gas
rumah kaca dari sektor peternakan di Jawa Barat, menunjukan karakteristik ternak di
Jawa Barat mempunyai faktor emisi yang lebih besar dibandingkan dengan hasil dari
IPCC, dengan kegiatan pengurangan emisi (mitigasi) yang dilakukan adalah
perbaikan kualitas pakan. Wilayah yang terlalu luas menjadi salah satu kendala
dalam pengumpulan informasi mengenai peternakan. Berdasarkan hal tersebut,
perhitungan nilai dugaan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan perlu dilakukan
kembali dengan wilayah yang lebih terjangkau dan diharapkan mendapat data yang
lebih lengkap sehingga didapatkan nilai yang lebih akurat.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi pendugaan nilai emisi gas
metan dan dinitrogen oksida yang dihasilkan dari ternak sapi, kerbau, babi, kambing,
domba, kuda, dan unggas di Kabupaten Bogor.



TINJAUAN PUSTAKA
Pola Sebaran Populasi Ternak di Kabupaten Bogor
Berdasarkan data dari Dinas Peternakan provinsi Jawa Barat tahun 2010,
Kecamatan Cijeruk mempunyai populasi sapi perah terbesar di Kabupaten Bogor
sebesar 1707 ekor, diikuti Kecamatan Pamijahan dan Cisarua (1461 dan 1404 ekor),
sedangkan untuk populasi sapi potong terbesar berada di Kecamatan Rumpin sebesar
3980 ekor. Ternak domba merupakan ternak ruminansia terbesar di Kabupaten
Bogor, sebesar 61% total populasi diluar populasi unggas. Pada tahun 2010, terdapat
278 kelompok peternak yang terdata dari berbagai jenis ternak di Kabupaten Bogor.
Menurut Halomoan et al. (2010) sapi dari peternakan rakyat untuk mensuplai
kebutuhan pasar tradisional memiliki bangsa yang lebih beragam serta usia yang
lebih tua dibandingkan dengan sapi yang digemukan sistem feedlot untuk mensuplai
kebutuhan pasar khusus.
Sistem Pemeliharaan dan Pemberian Pakan Ternak di Kabupaten Bogor
Sistem pemeliharaan sapi potong dibagi menjadi pemeliharaan secara
intensif, ekstensif dan gabungan keduanya. Sistem pemeliharaan intensif adalah
sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus menerus
dengan sistem pemberian pakan cut and carry. Sistem pemeliharaan ekstensif
biasanya aktifitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan, dan penggemukan ternak
sapi dilakukan oleh satu orang yang sama di padang penggembalaan yang sama.
Sistem pemeliharaan semi ekstensif atau gabungan keduanya adalah dengan
menggembalakan ternak, namun pakan tetap disediakan oleh peternak (Parakkasi,
1999).
Ternak domba di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, dipelihara dengan
sistem pemeliharaan intensif menggunakan kandang panggung dan pakan yang
diberikan adalah rumput lapang, serta kotoran yang dihasilkan dijadikan pupuk
sebagai pemeliharaan lahan (Karyadi, 2008). Rabbani (2009) mengatakan dalam
penelitiannya bahwa ternak kerbau di Kabupaten Bogor sebagian besar dipelihara
secara ekstensif (86,7%), sedangkan kerbau yang dipelihara secara intensif sebesar
13,3%.



Pada ternak sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) sapi perah,
Kabupaten Bogor, dipelihara secara intensif (dikandangkan), dengan pemberian
pakan hijauan berkualitas rendah dan konsentrat yang kurang sesuai dengan
kebutuhan sapi perah. Cara pemberian pakan yang kurang baik menyebabkan
menurunya efisiensi dan produksi susu yang kurang maksimal (Sembada, 2012).
Emisi Metan dari Peternakan
Emisi metan dari fermentasi enterik telah menjadi perhatian industri pertanian
beberapa tahun terakhir disebabkan kontribusinya terhadap pemanasan global (Moss
et al., 2000). Emisi metan dari peternakan di bagi menjadi dua, yaitu emisi dari
fermentasi enterik dan emisi dari sistem manajemen kotoran ternak. Emisi metan dari
manajemen kotoran ternak cenderung lebih rendah dibandingkan dengan fermentai
enterik meskipun sistem manajmen kotoran ternak tersebut disimpan dalam bentuk
cairan (IPCC Report, 2006).
Metan dari proses fermentasi enterik dari ruminansia sekitar 11%-17% dari
metan global atau 17%-30% dari total metan antropogenik (Beauchemin et al.,
2007).  Metan dari sumber ini diproduksi oleh bakteri yang ada di saluran pencernaan
yang berperan mencena makanan yang berserat. Ternak melepaskan gas metan ke
atmosfer melalui mulut dan lubang hidung (nostrils). Proses fermentasi yang
berlangsung di dalam lambung ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kuda,
kambing, domba akan menghasilkan gas metan (Wood et al., 1998).
Pada prinsipnya, pembentukan gas metan di dalam rumen terjadi melalui
reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalis oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri
metanogenik (Thalib, 2008). Kondisi anaerob dalam rumen menimbulkan reaksi
oksidasi dalam ATP dan melepas hidrogen. Jumlah hidrogen yang dihasilkan
tergantung jenis makanan dan jenis mikroba rumen sebagai fermentasi pakan yang
menghasilkan produk akhir yang tidak sama dengan hidrogen yang dikeluarkan.
Misalnya, pembentukan asam propionat membutuhkan hidrogen sedangkan asam
asetat dan butirat melepas hidrogen. Metanogenesis adalah mekanisme oleh rumen
untuk menghindari akumulasi hidrogen. Hidrogen bebas menghambat dehidrogenasi
dan mempengaruhi proses fermentasi. Pemanfaatan hidrogen dan CO2 untuk
menghasilkan CH4 dilakukan oleh archea metanogen (Martin et al., 2008). Reaksi
yang terjadi dalam pembentukan metan dalam rumen adalah sebagai berikut :


CO2 + 4H2

CH4 + 2H2O

(methanogenesis)

Pakan dapat mempengaruhi rasio energi yang dikonversi menjadi metan.
Sistem pemberian pakan di Indonesia yang bervariasi menyebabkan perlunya
dilakukan perbaikan terhadap faktor emisi yang berdasar pada kondisi pakan
terutama bahan organik dan tingkat konsumsi energi. Selain itu, perbaikan faktor
emisi dari subsektor peternakan dapat juga dengan mempertimbangkan struktur
populasi ternak (Suryahadi et al., 2001). Hasil penelitian Harper et al. (1999)
menunjukan bahwa sapi yang digembalakan menghasilkan metan lebih besar
dibandingkan dengan sapi yang dikandangkan (feedlot). Hal tersebut menunjukan
bahwa sapi yang mendapatkan pakan berkualitas rendah dengan tinggi serat hijauan
akan menghasilkan lebih banyak metan dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan
berkualitas tinggi (konsentrat). Haryanto dan Thalib (2009) mengatakan besarnya
emisi metan yang dihasilkan ternak dapat dipengaruhi oleh faktor kualitas pakan,
status dan fisiologis ternak, serta lingkungan.
Gas metan juga akan dihasilkan melalui proses dekomposisi kotoran ternak
yang berlangsung secara anaerobik (Wood et al., 1998). Salah satu pengolahan
kotoran ternak yang digunakan adalah biogas. Biogas adalah campuran beberapa gas
yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas
yang dominan dihasilkan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2)
(Simamora, et al., 2005). Prinsip utama dari perhitungan emisi metan dari kotoran
ternak adalah banyaknya kotoran ternak yang diproduksi dan bagian dari kotoran
ternak tersebut yang terdekomposisi secara anaerobik. Total kotoran ternak yang
diproduksi dapat diestimasikan dengan menggunakan rata-rata produksi metan per
ekor ternak dan jumlah populasi ternak itu sendiri (IPCC, 2000).
Berdasarkan informasi dari Kementrian Lingkungan Hidup (2010) pada tahun
2000-2006 penghasil emisi metan dari fermantasi enterik di indonesia didominasi
oleh sapi potong (62,8%), kemudian kerbau (16%) dan kambing (10,4%), sedangkan
emisi metan dari manajemen kotoran ternak paling besar dihasilkan oleh babi
(46,1%), kemudian broiler (13,4%), dan sapi perah (10,3%).
Emisi Dinitrogen Oksida dari Peternakan
Selain metan, nitrogen yang dikeluarkan dari ekresi ternak (baik yang di
dalam urin maupun di dalam kotoran) melalui proses denitrifikasi akan menghasilkan


gas dinitrogen oksida (N2O) (Wood et al., 1998). Nitrogen oksida mempunyai efek
penting terhadap sistem iklim dan di dalam stratosfer (Wuebbles, 2009). Gas ini
merupakan gas rumah kaca potensial yang diproduksi tanah, sebagian besar
disebabkan proses mikrobiologi dari nitrifikasi (oksidasi amonia) dan denitrifikasi
reduksi nitrat. Proses pengendalian nitrogen dioksida tanah termasuk dengan
pengaturan denitrifikasi dan nitrifikasi (karbon, inorganik nitrogen, dan oksigen yang
dipengaruhi oleh kelembapan, porositas, dan struktur agregat tanah (Robertson dan
Groffman, 2007).
Emisi nitrogen oksida dari sistem manajemen kotoran ternak sangat berbeda
nyata antara tipe penggunaan sistem manajemen dan bisa juga emisi tidak langsung
dari bentuk nitrogen lain yang hilang dari sistem. Pendugaan produksi dinitrogen
oksida, baik langsung maupun tidak langsung, adalah dengan melihat penyimpanan
maupun perlakuan yang dilakukan terhadap kotoran ternak. Emisi dinitrogen oksida
secara langsung terjadi melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen yang
terkandung dalam kotoran ternak. Besarnya emisi dinitrogen oksida dari kotoran
ternak selama penyimpanan dan perlakuan tergantung dari kandungan nitrogen dan
karbon dalam kotoran ternak serta lamanya proses itu terjadi. Emisi dinitrogen
oksida secara tidak langsung dihasilkan dari nitrogen volatile hilang yang terjadi dari
bentuk amonia dan NOx. Fraksi dari ekskresi nitrogen organik memberikan proses
mineralisasi terhadap nitrogen amonia selama pengoleksian dan penyimpanan
kotoran ternak tergantung dari waktu dan rata-rata derajat temperatur (IPCC Report,
2006). Besar emisi dinitrogen oksida secara langsung dari manajemen ternak di
Indonesia lebih besar dibandingkan emisi secara tidak langsung, dengan ternak sapi
potong sebagai penghasil emisi tertinggi (Kementrian Lingkungan Hidup, 2010).
Manajemen Kotoran Ternak
Produksi metan bergantung terhadap tipe sistem manajemen kotoran ternak,
dimana secara umum dibagi menjadi sistem cairan dan kering. Sistem kering
melingkupi penyimpanan padatan, feedlot, penyimpanan di lubang, dan penyebaran
harian dari kotoran ternak. Sebagai tambahan, kotoran ternak yang tidak dikelola dari
ternak yang di gembalakan di lahan pastura tidak termasuk ke dalam kategori ini.
Manajemen kotoran ternak dengan dalam bentuk cair biasanya menggunakan air
untuk memudahkan penanganan kotoran ternak. Sistem ini mencakup laguna dan


penggunaan tangki untuk penyimpanan sampai digunakan untuk lahan. Sistem
kotoran ternak dalam bentuk cair menciptakan kondisi anaerobik ideal untuk
produksi metan. Menur mengalami dekomposisi lebih cepat saat iklim mendukung
untuk pertumbuhan bakteri. Sistem kotoran ternak dalam bentuk cairan pada
temperatur hangat akan meningkatkan proses pembentukan metan. Sistem kotoran
ternak dalam bentuk kering, hujan akan mempengaruhi produksi metan, dimana
cuaca basah memiliki tingkat emisi lebih tinggi dibandingkan saat panas (IPCC,
2000).
Kotoran ternak merupakan sumber daya yang berharga untuk menggantikan
pupuk kimia bila dimanfaatkan dengan benar. Pengelolaan kotoran ternak harus
dilakukan dengan hati-hati untuk meminimalkan bau, unsur hara yang hilang, serta
emisi, yang dapat menjadi sumber polusi. Informasi mengenai produksi serta
komposisi kotoran ternak terkait dengan jenis ternak dan pemberian pakan sangat
sedikit di Asia. Data terbaik yang bisa didapat untuk sekarang adalah berdasarkan
beberapa asumsi yang digunakan (IAEA, 2008). Sistem manajemen kotoran ternak
yang diterapkan pada peternakan sapi perah di Cisarua adalah 66,8% dengan disebar
harian dan 33,2% dimanfaatkan sebagai biogas (Zandos, 2011).
Mitigasi
Mitigasi adalah tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Tindakan
mitigasi dapat dijadikan pilihan teknis dan manajemen dalam usaha untuk
mengurangi

emisi gas rumah kaca dari peternakan. Bentuk tindakan mitigasi

berdasarkan manajemen dalam peternakan rakyat antara lain, (i) penyediaan naungan
dan air untuk mengurangi heat stress dari peningkatan temperatur, (ii) pengurangan
jumlah ternak, dengan jumlah ternak sedikit namun produktif dapat meningkatkan
efisiensi produksi dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari peternakan, (iii)
penyeleksian antara ternak besar dan kecil, (iv) peningkatan sumber air. Tindakan
mitigasi dari sektor peternakan tercapai dengan melakukan beberapa kegiatan antara
lain penyesuaian sistem pemberian pakan, manajemen kotoran ternak, dan
manajemen produksi bahan baku pakan. Beberapa tindakan mitigasi yang dapat
dilakukan seperti pemilihan bangsa ternak yang cepat tumbuh, peningkatan
manajemen pemberian pakan, perbaikan manajemen limbah, manajemen pastura, dan
penurunan produksi serta konsumsi produk peternakan (IFAD, 2009).


Mara et al. (2008) merekomendasikan beberapa teknologi alternatif untuk
menurunkan produksi metan akibat fermentasi pakan di dalam saluran pencernaan,
yaitu meningkatkan frekuensi pemberian pakan, meningkatkan jumlah konsentrat di
dalam ransum, memilih pakan yang mengandung karbohidrat non-struktural lebih
tinggi, penggunaan legum, perbaikan manajemen padang pengembalaan, penggunaan
biji-bijian pada silase, memanfaatkan tanaman yang mengandung saponin dan tanin
sebagai pendefaunasi protozoa di dalam rumen, dan penggunaaan feed aditif. 
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup tahun 2010 ada beberapa teknologi mitigasi
untuk sektor peternakan antara lain, peningkatan kualitas pakan, pemberian
suplementasi dalam pakan, pembibitan jangka panjang, dan bioenergi.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) adalah badan
internasional dalam penilaian perubahan iklim. Lembaga ini didirikan oleh United
Nations Environment Programme (UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia
(WMO) untuk menginformasikan pada dunia pandangan ilmiah yang jelas mengenai
keadaan saat ini dan pengetahuan dalam perubahan iklim dan potensi dampak
lingkungan dan sosial-ekonomi. Majelis Umum PBB mengesahkan kegiatan yang
dilakukan oleh WMO dan UNEP bersama-sama dalam membangun IPCC. IPCC
adalah lembaga ilmiah yang akan meninjau dan menilai informasi ilmiah, teknis dan
sosio-ekonomi terbaru diproduksi di seluruh dunia yang relevan untuk memahami
perubahan iklim. Tidak melakukan penelitian apapun juga tidak memantau data iklim
terkait atau parameter. Ribuan ilmuwan dari seluruh dunia memberikan kontribusi
pada pekerjaan dari IPCC atas dasar sukarela. Resensi adalah bagian penting dari
proses IPCC, untuk menjamin penilaian yang obyektif dan lengkap informasi saat
ini. IPCC bertujuan untuk mencerminkan berbagai pandangan dan keahlian.
Sekretariat mengkoordinasikan semua pekerjaan IPCC dan bekerjasama dengan
pemerintah. Hal ini didukung oleh WMO dan UNEP dan diselenggarakan di markas
WMO di Jenewa (IPCC, 2012).
IPCC 2006 guidelines menyediakan metodologi untuk estimasi perhitungan
emisi gas rumah kaca, terdiri dari lima jilid. Jilid pertama menggambarkan langkah
dasar dalam perkembangan inventaris dan petunjuk umum mengenai emisi gas
rumah kaca berdasarkan pengalaman dari tahun 1980. Jilid dua sampai lima


merupakan petunjuk untuk pendugaan dari berbagi sektor ekonomi. IPCC 2006
guidelines menyediakan petunjuk dalam metodologi pendugaan emisi dalam tiga
tingkat ketelitian, dari tingkat satu (tier 1), metode default, sampai tingkat tiga (tier
3), metode terperinci. Penggunaan metode tersebut dengan pendekatan menggunakan
pohon keputusan sebagai pedoman dalam pemilihan metode yang digunakan agar
sesuai dengan kondisi yang ada (IPCC, 2006).



MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di peternakan sapi potong, sapi perah, kambing,
domba, babi, kerbau, dan ayam broiler di Kabupaten Bogor dan Laboratorium
Komputer Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012.
Materi
Perangkat Lunak dan Data Pendukung
Perangkat lunak yang digunakan adalah Microsoft Excel. Sumber informasi
berupa data primer dan sekunder. Data primer didapatkan berdasarkan pengambilan
data langsung ke beberapa peternakan dari berbagai jenis ternak di Kabupaten Bogor.
Data sekunder berupa pustaka yang mendukung untuk penelitian ini.
Perangkat Pendukung
Spesifikasi komputer yang digunakan adalah AMD Athlon II X2 dual core @
3,0 Ghz, RAM dengan kapasitas 2 GB, dan Harddsik berkapasitas 80 GB. Peralatan
yang digunakan dalam pengambilan data adalah kuesioner (terlampir) dan alat tulis.
Prosedur
Pengumpulan Data
Pencarian data populasi ternak terkini di Kabupaten Bogor dan pengambilan
data langsung ke beberapa peternakan dengan wawancara serta penggunaan
kuesioner. Metode pengacakan menggunakan purposive sampling, yaitu teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011). Pertimbangan
yang digunakan adalah kecamatan dengan jumlah ternak yang besar dan lokasi
peternakan yang mudah dijangkau. Data yang diambil meliputi data populasi, jenis
sapi, jenis kelamin, status reproduksi, klasifikasi ternak berdasarkan umur, bobot
badan, pertambahan bobot badan, sistem pemberian pakan, produksi susu,
kandungan lemak susu, serta sistem manajemen kotoran ternak. Data yang tidak
didapat dari peternak dilengkapi dengan data yang berasal dari pustaka.
Sistem manajemen kotoran ternak yang dilakukan peternakan diklasifikasikan
berdasarkan IPCC (Lampiran 1). Pembagian persentase sistem manajemen kotoran

10 

ternak yang diterapkan peternakan dilakukan secara subjektif peneliti saat melakukan
survei maupun pustaka.
Observasi Lapang
Melakukan survei ke peternakan di Kabupaten Bogor untuk mengetahui
karakteristik ternak serta sistem manajemen kotoran ternak yang digunakan.
Peternakan yang dijadikan objek pengamatan yaitu peternakan sapi perah di
KUNAK, peternakan sapi potong lokal di Kecamatan Klapanunggal, peternakan sapi
potong PT. Rumpinary Agro Industry dan PT. Karya Anugrah Rumpin, peternakan
kambing dan domba Mitra Tani Farm dan Saung Tani Farm, peternakan babi di
Kecamatan Gunung Sindur, peternakan kerbau di Kecamatan Sukajaya, dan
peternakan ayam broiler di Kecamatan Parung.
Perhitungan dan Pengolahan Data
Penggunaan Microsoft Excel untuk perhitungan pendugaan faktor emisi
berdasarkan jenis ternak. Perhitungan menggunakan rumus yang terdapat dalam
IPCC tahun 2006. Nilai faktor emisi yang didapat dari perhitungan terbagi menjadi
faktor emisi default (Model I) dan enhanced (Model II), dimana pada Model II
menggunakan data yang didapat hasil pencarian baik obeservasi dari lapang langsung
maupun dari pustaka. Data yang tidak dapat ditemui pada keduanya akan
menggunakan data default yang dikeluarkan IPCC.
1) Perhitungan Emisi Metan
Emisi (Gg CH4) = populasi x (FE/106); dimana FE adalah faktor emisi
metan dalam satuan kg CH4/ekor/tahun.
2) Perhitungan Faktor Emisi Metan
Faktor emisi metan dari fermentasi enterik menggunakan pendekatan pada
nilai energi bruto dalam pakan yang dihasilkan ternak selain unggas dengan
rumus:
FE =

GE .

Ym
100

55,65

.

365

;

dimana FE adalah faktor emisi dari fermentasi enterik dengan satuan kg
CH4/ternak/tahun, GE adalah energi bruto dengan satuan MJ/ekor/tahun, Ym

11 

adalah faktor konversi metan dalam persen dan 55,65 merupakan koefisien
kandungan energi dari metan dalam satuan MJ/ kg CH4.
Nilai GE (energi bruto) bergantung kepada bobot badan, tingkat kecernaan,
sistem pemeliharaan, lama waktu kerja, pertambahan bobot badan, serta
produksi susu, tingkat laktasi, dan tingkat kebuntingan untuk ternak betina.
Faktor emisi metan yang dihasilkan dari manajemen kotoran ternak
menggunakan pendekatan pada nilai persentase sistem manajemen kotoran
ternak yang digunakan, serta karakteristik kotoran ternak ternak yang
dihasilkan dengan rumus:
FE = VS . 365 Bo

∑S,k

. 0,67

MCFS,k
100

. MSS,k ;

dimana FE adalah faktor emisi dari manajemen kotoran ternak dengan satuan
kg CH4/ternak/tahun, VS adalah padatan yang mudah melayang (volatile
solid) dengan satuan kg BK/ternak/hari, Bo adalah jumlah maksimal metan
yang dihasilkan oleh kotoran ternak dengan satuan m3CH4/kg VS, MCF
adalah faktor konversi metan berdasarkan tiap manajemen kotoran ternak
menurut suhu daerah dengan satuan %, dan MS adalah fraksi dari ternak
yang menggunakan sistem manajemen kotoran ternak berdasarkan suhu
wilayah.
Nilai default (Model I) IPCC faktor emisi metan dari fermentasi enterik dan
manajemen kotoran ternak sebagai berikut :
3) Emisi Dinitrogen Oksida
Emisi dinitrogen oksida secara langsung dari manajemen kotoran ternak
menggunakan perhitungan sebagai berikut:
Nm = Populasi . Nex .

%MMS
100

; dimana Nm adalah nilai emisi N2O dalam

kg N, Nex adalah rataan N yang diekskresikan dengan satuan
kgN/ekor/tahun, dan %MMS merupakan estimasi persentase penggunaan
manajemen kotoran ternak dalam persen.
N2OD(mm) = Nm . FE3 .

44
28

; dimana N2OD(mm) adalah emisi dinitrogen

oksida secara langsung dari manajemen kotoran ternak dengan satuan
kgN2O/tahun, Nm adalah nilai emisi N2O dalam kg N, FE3 adalah faktor

12 

emisi N2O langsung dengan satuan N2O-N/kgN, dan 44/28 adalah faktor
konversi dari (N2O-N)(mm) menjadi N2O(mm).
Emisi dinitrogen oksida dari manajemen secara tidak langsung diperoleh dari
penjumlahan perhitungan emisi N2O secara tidak langsung melalui volatile N
yang hilang dari manajemen kotoran ternak (N2Omm) dan N yang dapat
digunakan kembali untuk tanah, pakan, dan konstruksi dalam manajemen
kotoran ternak (N2Omms_avb). Perhitungan yang digunakan sebagai berikut :
N2OG(mm) = (Nvolatilization-MMS.FE4).44/28; dimana N2OG(mm) adalah emisi N2O
tidak langsung melalui penguapan N dari manajemen kotoran ternak dengan
satuan kgN2O/tahun, Nvolatilization-MMS adalah jumlah nitrogen yang hilang dari
penguapan NH3 dan NOx dalam satuan kgN/tahun, FE4 adalah faktor emisi
dari N yang terdeposisi dengan satuan kgN2O-N, 44/28 adalah faktor
konversi dari (N2O-N)(mm) menjadi N2O(mm).
Nvolatilization-MMS = ∑S ∑T Populasi . Nex . MS(S) .

FracGasMs
100

(S) ; dimana

Nvolatilization-MMS = jumlah nitrogen yang hilang dari penguapan NH3 dan NOx
dalam satuan kgN/tahun, Nex adalah rataan N yang diekskresikan dengan
satuan kgN/ekor/tahun, MS(S) adalah fraksi total eksresi nitrogen dengan
sistem manajemen kotoran ternak S, dan FracGasMs adalah persentase dari
nitrogen kotoran ternak ternak yang menguap menjadi NH3 dan NOx dalam
sistem manajemen kotoran ternak S dalam persen.
N2Omms_avb = ∑S ∑T Populasi . Nex . MS(S) .
+

1‐FracLossMs
100

(S)

Populasi . MS(S) . NBeddingMS ;

dimana N2Omms_avb adalah jumlah N dari manajemen kotoran ternak yang
diaplikasikan untuk manajemen tanah, pakan, bahan bakar, dan konstruksi
dengan satuan kgN/tahun, Nex adalah rataan N yang diekskresikan dalam
kgN/ekor/tahun, MS(S) adalah fraksi total eksresi nitrogen ternak dengan
sistem manajemen kotoran ternak S dalam persen, FracLossMS adalah
persentase dari nitrogen kotoran ternak ternak yang hilang dalam sistem
manajemen kotoran ternak S dalam persen, dan NBeddingMS meupakan jumlah
N dari bedding dengan satuan kgN/ekor/tahun.

13 

4) Perhitungan konversi emisi metan dan dinitrogen oksida ke bentuk karbon
diokasida. Ketetapan dari indeks GWP dengan angka konversi 1 metan = 23
karbon dioksida dan 1 dinitrogen oksida = 296 karbon dioksida. Angka
tersebut berdasarkan lamanya gas CH4 dan N2O selama 100 tahun di atmosfer
(IPCC, 2001).
Analisa Data
Perhitungan emisi metan dan nitrogen oksida dari berbagai jenis ternak
dilakukan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Hasil perhitungan
selanjutnya ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, serta dijelasakan secara
deskriptif.

14 

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Populasi Ternak di Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan yang merupakan wilayah strategis
dalam pengembangan usaha peternakan untuk memenuhi permintaan daging wilayah
Jabodetabek. Data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor tahun 2011
menunjukan populasi ternak terbesar tahun 2010 pada sektor ternak unggas yaitu
22.593.324 ekor yang didominasi oleh populasi ayam broiler, sedangkan pada ternak
ruminansia domba memiliki populasi terbesar sebanyak 280.798 ekor. Babi
mengalami peningkatan tertinggi sebesar 30,52%, diikiuti oleh ayam buras sebesar
23,45%. Data lengkap mengenai jumlah populasi ternak di Kabupaten Bogor
terdapat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Populasi Ternak di Kabupaten Bogor Tahun 2009-2010 (ekor)
No.

Jenis Ternak

Tahun
2010
7.288

Peningkatan (%)

1.

Sapi Perah

2009
7.131

2.

Sapi Potong

17.472

18.068

3,30%

3.

Kerbau

17.867

19.908

10,25%

4.

Babi

3.289

4.734

30,52%

5.

Kuda

361

361

6.

Kambing

114.832

118.797

3,34%

7.

Domba

278.068

280.798

0,97%

8.

Itik

133.667

137.009

2,44%

9.

Ayam Broiler

14.363.496 15.771.780

8,93%

10.

Ayam Layer

4.365.494

4.371.132

0,13%

11.

Ayam Buras

1.009.186

1.318.299

23,45%

12.

Ayam Ras Pembibit

984.227

995.104

1,09%

2,15%

0%

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)

Penentuan Faktor Emisi
Perhitungan faktor emisi menggunakan panduan dari IPCC (2006). IPCC
(2006) mempunyai tiga metode perhitungan berdasarkan tingkat ketelitiannya, yaitu
model I menggunakan data default dari IPCC, model II menggunakan beberapa data
15 

spesifik yang dapat mempengaruhi perhitungan faktor emisi, dan model III
menggunakan data lebih mendetail mengenai karakteristik ternak tersebut. Data
default merupakan data yang disediakan IPCC mengenai karakteristik setiap ternak
dan dihimpun berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan.
Perhitungan emisi menggunakan populasi ternak sebagai dasar perhitungan
baik pada model I maupun model II. Populasi pada perhitungan emisi adalah
populasi rata-rata pemeliharaan dalam setahun. Ternak sapi perah, sapi potong,
kerbau, kuda, babi, kambing dan domba diasumsikan dipelihara dalam setahun.
Ayam broiler, ayam buras, ayam petelur, dan itik diasumsikan mempunyai lama
pemeliharaan berturut-turut 35, 180 , 365 dan 180 hari.
Perhitungan model I tidak memperhatikan lebih lanjut mengenai populasi
maupun struktur populasi ternak. Populasi sapi perah diasumsikan tidak semua
merupakan betina dewasa, sehingga pada perhitungan Model II dilakukan
pendekatan menggunakan satuan ternak, untuk ternak pedet dan muda dikalikan
dengan 0,25 dan 0,5. Struktur populasi sapi perah yang digunakan di Kabupaten
Bogor meliputi Kecamatan Pamijahan dan Cisarua. Struktur populasi sapi perah di
Kecamatan Pamijahan berdasarkan data KPS Bogor (2009) adalah betina dewasa
(61%), jantan dewasa (5%), muda (14%), dan pedet (25%). Zandos (2011)
menyebutkan Kecamatan Cisarua memiliki struktur populasi betina dewasa (53%),
muda (24%), dan pedet (23%).
Populasi sapi potong yang terdata di Kabupaten Bogor diasumsikan
merupakan peternakan sapi potong rakyat lokal tanpa industri (Feedlot). Ternak sapi
potong menggunakan struktur populasi sapi lokal di Desa Singasari, Kecamatan
Jonggol, dimana besar persentase sapi betina dewasa (45%), jantan dewasa (3%),
muda (29%), dan pedet (23%) (Rachmawatie, 2005).
Perhitungan faktor emisi di Kabupaten Bogor menggunakan model II,
dimana data karakteristik ternak didapatkan dari obesrvasi lapang dan pustaka, serta
model I untuk membandingkan hasil perhitungan model II. Data default IPCC pada
model I menggunakan regional Asia berdasarkan letak geografis Kabupaten Bogor,
dengan temperatur rata-rata 28 °C. Perhitungan model II membutuhkan data spesifik
mengenai karakteristik ternak di Kabupaten Bogor, data yang digunakan adalah suhu
wilayah, struktur populasi, sistem pemeliharaan, sistem pemberian pakan, bobot

16 

badan, produksi susu, lemak susu, lama waktu kerja, dan manajemen kotoran ternak.
Data selain manajemen kotoran ternak, hanya didapatkan pada ternak sapi perah, sapi
potong dan kerbau, sehingga data default digunakan pada ternak lainnya.
Perhitungan faktor emisi metan dari fermentasi enterik, menggunakan
pendekatan pada energi bruto yang dihasilkan ternak. Energi bruto yang dihasilkan
dipengaruhi oleh konsumsi pakan serta karakteristik masing-masing ternak yang
meliputi sapi perah, sapi potong, dan kerbau. Nilai faktor emisi metan didapatkan
dari konversi energi bruto. Faktor konversi metan (Ym) yang digunakan untuk sapi
perah, sapi potong, dan kerbau sebesar 6,5. Pakan yang berkualitas dapat
menurunkan nilai faktor konversi tersebut. Metan mempunyai kandungan energi
didalamnya dengan nilai koefisien sebesar 55,65 MJ/ kg CH4.
Berdasarkan perhitungan model II, sapi perah mempunyai nilai faktor emisi
terbesar sebesar 93 kg CH4/ekor/tahun, lebih besar dibandingkan data default. Hal
tersebut disebabkan estimasi bobot badan dan produksi susu sapi perah pada data
default mempunyai nilai rendah dibandingkan karakteristik sapi perah di Kabupaten
Bogor, sehingga membutuhkan energi lebih tinggi dan menghasilkan emisi metan
yang lebih tinggi. Data mengenai karakteristik ternak serta faktor emisi yang
dihasilkan setiap ternak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Ternak di Kabupaten Bogor
Model I
Model II
Jenis
Ternak BB DE PS LS B WK EB FE BB DE PS
LS
B
WK
1 Sapi
350 60 4,5 4
80 160 68 390
60 9,3 3,9
80
Perah
2 Sapi
Potong
48
(Pastura)
Betina
300 60 1,1 4
45 106 46 266
56 1,1 3,45** 45
Dewasa
Jantan
400 60 113 48 250
56 Dewasa
Muda
200 60 84
36 117
56 Pedet
66
56 3 Kerbau
380 55 0,9 9
25 0,6 132 56 318* 56 0,9 9,65** 40* 0,5*
Babi
1

5
5  Kambing 30
6 Domba
45
5
35
7 Kuda
18
Keterangan : BB = Bobot badan (kg); DE = Tingkat kecernaan (%); PS = Produksi susu (kg/hari); LS
= Lemak susu (%); B = Kebuntingan (%); WK = Waktu kerja (jam/ekor/hari); EB = Energi Bruto
(MJ/ekor/hari); FE = Faktor emisi (kg CH4/ekor/tahun); FE = (Energi bruto x (Ym/100) x 365)/55,65
Sumber : *: Rabbani (2009), **: Sirait (1999)
No

17 

EB

FE

218

93
34

108

46

88

38

65
42
130

28
18
55
1
5
5
18

‐ 

Sapi potong di Kabupaten Bogor mempunyai faktor emisi sebesar 34 kg
CH4/ekor/tahun. Faktor emisi pada data default sebesar 48 kg CH4/ekor/tahun dan
berlaku untuk semua jenis sapi potong secara keseluruhan karena tidak
memperhatikan struktur populasi. Pakan berkualitas rendah pada dasarnya akan
menghasilkan emisi metan yang tinggi, namun bobot badan yang rendah pada sapi
potong di Kabupaten Bogor menyebabkan faktor emisinya lebih rendah
dibandingkan dengandata default. Kerbau menghasilkan faktor emisi yang tidak jauh
berbeda dengan data default, yaitu sebesar 55 kg CH4/ekor/tahun. Ternak babi,
kambing, domba dan kuda menggunakan faktor emisi dari data default.
Ternak tidak hanya menghasilkan emisi metan dari fermentasi enterik,
kotoran ternak juga mempunyai peran dalam menghasilkan emisi dari kotorannya.
Emisi metan dari kotoran ternak bergantung kepada jenis ternak, karateristik kotoran
ternak, serta manajemen kotoran ternak yang dilakukan pada peternakan.
Karakteristik Kotoran ternak ditentukan oleh padatan yang mudah melayang/volatile
solid (VS) yang diproduksi kotoran ternak itu sendiri dan jumlah maksimal metan
yang dihasilkannya (Bo). Produksi VS dari kotoran ternak dapat diperkirakan
berdasarkan konsumsi pakan dan kecernaan, sedangkan nilai Bo bervariasi menurut
jenis ternak dan pakan yang diberikan. Kotoran ternak yang becampur dengan
bedding (jerami, sebuk gergaji, litter) tidak dihitung dalam VS, karena bedding tidak
akan menambah produksi metan secara signifikan.
Ternak kerbau mempunyai nilai VS tertinggi sebesar 3,9 kg/ekor/hari,
sedangkan terendah pada ternak unggas sebesar 0,01 kg/ekor/hari. Nilai Bo tertinggi
terdapat pada unggas sebesar 0,36 m3CH4/kg VS, sedangkan terendah pada ternak
sapi potong dan kerbau sebesar 0,1 m3CH4/kg VS. Data lengkap nilai VS dan Bo tiap
ternak dapat dilihat pada Tabel 3.
Karakteristik sistem manajemen kotoran ternak meliputi jenis sistem yang
digunakan untuk mengelola kotoran tersebut dengan faktor konversi (MCF) yang
mencerminkan nilai Bo. Sistem MCF berkisar 0-100% dimana suhu dan waktu
retensi dalam pengelolaan memainkan peranan penting dalam perhitungan MCF.
Besar MCF setiap sistem manajemen kotoran ternak yang digunakan dapat dilihat
pada Lampiran 1.

18 

Tabel 3. Nilai Volatile Solid (VS) dan Jumlah Maksimum Metan yang Dihasilkan
(Bo) Berdasarkan Jenis Ternak
No

Jenis Ternak

VS (kg/ekor/hari)

Bo (m3CH4/kg VS)

1

Sapi Perah

2,8

0,13

2

Sapi Potong

2,3

0,1

3

Kerbau

3,9

0,1

4

Babi

0,3

0,29

5

Kuda

2,13

0,3

6

Kambing

0,35

0,13

7

Domba

0,32

0,13

8

Unggas

0,01

0,36

Sistem manajemen kotoran ternak pada peternakan Kabupaten Bogor
berdasarkan estimasi saat obesrvasi lapang. Sistem manajemen kotoran ternak yang
digunakan pada peternakan di Kabupaten Bogor adalah pastura, disebar harian,
disimpan dalam bentuk padatan, disimpan dalam bentuk cairan, dry lot, kompos, dan
dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Sistem manajemen kotoran ternak dengan pastura
adalah kotora