Dampak Kebijakan Pemerintah dan Perubahan Faktor Ekonomi Terhadap Penawaran dan Permintaan Tepung Terigu di Indonesia

(1)

(KASUS DI KABUPATEN KARAWANG, JAWA BARAT)

SITI TARBIAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahwa semua pernyataan dalam tugas akhir yang berjudul :

KAJIAN TINGKAT PENDAPATAN PETANI SAWAH IRIGASI DENGAN DIVERSIFIKASI POLA TANAM

(KASUS DI KABUPATEN KARAWANG, JAWA BARAT)

merupakan hasil gagasan dan hasil kajian saya sendiri di bawah bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tugas akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis diperguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juni 2009

Siti Tarbiah F 052044125


(3)

Diversifikasi Pola Tanam (Kasus di Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Dibimbing oleh SAPTA RAHARJA dan BUDI PURWANTO.

Kabupaten Karawang memiliki luas 91.090 Ha sawah dan 87% diantaranya merupakan sawah irigasi, yang berarti areal sawah seluas 80.774 ha memperoleh air sepanjang tahun dan seharusnya sepanjang waktu itu pula dapat diusahakan untuk bercocok tanam sehingga Indeks Pertanaman (IP) maksimum (IP 300) dapat tercapai. Hasil kajian di daerah contoh di Desa Citarik, Kecamatan Tirtamulya, Kabupaten Karawang terhadap 20 responden yang mewakili 5 kelompok tani, dalam pemanfaatan sawah garapannya belum maksimum ditunjukkan dari rataan nilai IP yang hanya mencapai 230.

Tujuan tugas akhir ini adalah (1) Mengidentifikasi keragaan pola tanam di lahan sawah irigasi kabupaten Karawang; (2) Merumuskan tingkat pendapatan usaha tani lam menurut pola tanam yang berlaku di Kabupaten Karawang; (3) Menyusun strategi pemanfaatan lahan sawah irigasi yang berbasis pada pemenuhan permintaan pasar dan pendapatan usaha tani yang lebih stabil, dengan berbagai alternatif pola tanam yang rasional di Kabupaten Karawang.

Kajian dilakukan terhadap usahatani beberapa petani sawah irigasi di Desa Citarik Kecamatan Tirta Mulya Kabupaten Karawang. Kajian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2007. Pengambilan contoh dilakukan dengan teknik purposif dan data primer diperoleh dari wawancara dan kuesioner, serta data sekunder diperoleh melalui penulusuran berbagai pustaka, dari institusi terkait seperti BPS dan lainnya.

Data yang terkumpul dianalisis secara kuantitatif dengan bantuan program Microsoft Excel, kemudian disajikan secara tabulasi dan diuraikan secara deskriptif. Data kuantitatif digunakan untuk analisis finansial yaitu pendapatan usahatani dan B/C rasio serta analisis tingkat pemanfatan sawah petani responden, sedangkan untuk data kualitatif digunakan analisis deskriptif dan analisis strategi dengan pendekatan SWOT.

Hasil kajian menunjukkan bahwa pola tanam yang dilakukan responden terbagi atas 7 pola tanam, yaitu (1) Padi – Padi – Jagung manis, (2) Padi–Padi– Cabe, (3) Padi– Padi–Kedelai, (4) Padi-Padi–Gambas, (5) Padi-Padi–Caisim, (6) Padi–Padi–Kacang panajang dan (7) Padi–Padi–Padi. Walaupun sebagian besar responden merupakan petani yang melakukan usahatani diversifikasi pada MK 2, namun lahan yang diusahakan relatif lebih kecil, yaitu 28,22% dari total garapan dengan 1 komoditi, sehingga hasil perhitungan mencerminkan bahwa indeks diversifikasi (ID) di daerah ini masih relatif rendah. Nilai ID dianggap tinggi, bila mendekati nol. ID pada daerah kajian berkisar 0,5556 – 1,0000.

Tingkat rataan pendapatan usahatani diversifikasi atas biaya total secara berurutan dari yang tertinggi, yaitu : (1) Pola tanam Padi–Padi– Cabe dengan nilai Rp. 33.035.600,-(2) Padi–Padi–Caisim Rp. 31.835.278; (3) Padi–Padi–Kedelai Rp. 28.259.722,-, (4) Padi–Padi–Jagung manis Rp. 24.832.179; (5) Padi–Padi– Kacang panjang Rp. 24.796.752,- dan (6) Padi–Padi–Gambas Rp. 24.272.904,-. Nilai B/C rasio tertinggi diperoleh pada usahatani dengan pola tanam Padi– Padi–


(4)

terbaik, maka strategi yang perlu dilakukan untuk peningkatan pendapatan petani sawah irigasi dengan diversifikasi pola tanam adalah mengakses kredit murah dan mudah untuk membiayai usahatani yang dikelola, dengan urutan pilihan pola tanam kedelai, caisim, kacang panjang, padi-padi-jagung manis dan padi-padi-cabe.


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

SITI TARBIAH

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(7)

Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : Siti Tarbiah Nomor Pokok : F 052044125

Program Studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA Ir. Budi Purwanto, ME (Ketua) (Anggota)

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Industri Kecil Menengah

Prof.Dr.Ir.H.Musa Hubeis MS,Dipl.Ing.DEA. Prof.Dr.Ir.H.Khairil A. Notodiputro, MS


(8)

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga tugas akhir yang berjudul Kajian Tingkat Pendapatan Petani Sawah Irigasi dengan Diversifikasi Pola Tanam (Kasus di Kabupaten Karawang, Jawa Barat) berhasil diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah (PS. MPI), Sekolah Pascasarjana (SPs), Institut Pertanian Bogor (IPB).

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak akan tersusun tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA, selaku pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan, dorongan, motivasi dan pengarahan selama kegiatan kajian dan penulisan tugas akhir ini.

2. Ir. Budi Purwanto, ME, selaku pembimbing anggota yang juga telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama penulis melakukan kajian dan penulisan tugas akhir ini.

3. Dr.Illah Sailah, MS, yang secara khusus telah memberikan dorongan, bimbingan dan motivasi selama kegiatan kajian dan penulisan tugas akhir ini.

4. Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan yang sangat berarti guna kesempurnaan Tugas Akhir ini.

5. Seluruh dosen pengajar dan staf, serta karyawan PS. MPI, SPs IPB yang telah banyak membantu selama kuliah berlangsung.

6. Suami dan anak-anakku, yang dengan tulus mendorong dengan doa dan pengorbanan yang tiada henti baik moril maupun materiil sejak masa studi di MPI hingga penyelesaian tugas akhir ini .

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas kerja sama dan informasi yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis berharap bahwa tugas akhir ini dapat memberikan dukungan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, walaupun tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan bagi perbaikan dan penyempurnaan tugas akhir ini di masa mendatang.

Bogor, Juni 2009 Penulis


(9)

Penulis dilahirkan di Indramayu Jawa Barat pada tanggal 27 Agustus 1962 sebagai anak ke lima dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Abdul Muin Rais dan Ibu Mar’atul arief.

Tahun 1980 penulis lulus dari SMA Negeri Indramayu jurusan IPA, kemudian mengikuti pendidikan ikatan dinas dari Departemen Pertanian di Akademi Perikanan Jakarta, lulus tahun 1984 kemudian langsung ditugaskan di Biro Pengendalian Produksi Peternakan dan Perikanan, Sekretariat Badan Pengendali BIMAS Jakarta. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana dari Sekolah Tinggi Perikanan pada Jurusan Budidaya Perikanan dan lulus pada tahun 1989. Penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Industri Kecil Menengah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, pada tahun 2006.

Penulis bekerja sejak tahun 1984 sampai sekarang di Departemen Pertanian. Penulis bekerja sebagai staf di Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian pada Pusat Ketersediaan Produksi Pangan.


(10)

ABSTRACT ... i

RINGKASAN………. ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1. LATAR BELAKANG ... 1

2. PERUMUSAN MASALAH ... 5

3. TUJUAN ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

1. DIVERSIFIKASI PRODUK PANGAN ... 7

a. Pengertian diversifikasi ... 8

b. Ukuran diversifikasi ... 10

c. Pola diversifikasi ... 11

2. USAHATANI ... 12

3. ANALISIS IMBANGAN PENERIMAAN DAN BIAYA ... 14

4. PENELITIAN TERDAHULU ... 14

III. METODE KERJA ... 17

1. LOKASI DAN WAKTU... 17

2. PENGUMPULAN DATA ... 18

3. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ... 18

4. BATASAN OPERASIONAL ... 21

III. HASIL DAN PEMBAHASAN... 24

1. KEADAAN UMUM ... 24

a. Gambaran Umum Kabupaten Karawang ... 24

b. Kondisi Umum Demografis ... 24

c. Kondisi Umum Bidang Pertanian ... 26

2. ASPEK YANG DIKAJI... 28

a. Karakteristik Demografi Responden... 28

b. Keragaan Diversifikasi di Lahan Sawah ... 30

c. Tingkat Pendapatan Usahatani Menurut Pola Tanam………. 34

d. Strategi Pemanfaatan Lahan Sawah Irigasi………. 43

KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

1. KESIMPULAN ... 59

2. SARAN ... 60


(11)

(12)

1. Luas panen, produksi, dan produktivitas padi di Indonesia ... 3

2. Matriks SWOT ... 21

3. Frekuensi petani dan luas tanam menurut musim kering dua dan komoditi yang diusahakan di Kabupaten Karawang... 30

4. Keragaan sebaran petani dan luas tanam menurut pola tanam ... 31

5. Nilai IP dan ID respoden... 33

6. Rataan biaya tunai per ha usahatani responden menurut pola tanam di kabupaten Karawang pada tahun 2007 ... 34

7. Rataan biaya diperhitungkan per ha menurut pola tanam di Kabupaten Karawang pada tahun 2007 ... 35

8. Rataan pengeluaran total responden per ha menurut pola tanam di Kabupaten Karawang pada tahun 2007... ... 35

9. Rataan pendapatan responden per ha atas biaya tunai menurut pola tanam di Kabupaten Karawang pada tahun 2007... 36

10.Rataan pendapatan per ha atas biaya total menurut pola tanam di Kabupaten Karawang pada tahun 2007 ... 37

11.Nilai B/C ratio usahatani berdasarkan pola tanam ... 38

12.Korelasi Pearson hubungan tingkat pendapatan responden dengan beberapa aspek demografi dan biaya usaha ... .... 39

13.Tingkat pendapatan responden dilihat dari tingkat biaya usaha ... 39

14.Tingkat pendapatan responden dilihat dari usia ... 40

15.Tingkat pendapatan responden dilihat dari tingkat pendidikan ... . 41

16.Tingkat pendapatan responden dilihat dari jumlah keluarga ... 42

17.Analisis alternatif pemilihan pola tanam ... 45

18.Matriks analisis SWOT diversifikasi pola tanam... 52

19.Tingkat kepentingan unsur SWOT ... 56


(13)

Nomor Halaman


(14)

Nomor Halaman

1. Identitas Responden ... ... 64

2. Analisa Usahatani Musim Hujan (Rp/ha)... ... 65

3. Analisa Usahatani Musim Kering Satu (Rp/ha)... 68

4. Analisa Usahatani Musim Kering Dua (Rp/ha)... ... 71

5. Kuesioner (Petani/Kelompok tani)... 74


(15)

1. Diversifikasi Produk Pangan

Sawah irigasi merupakan lahan potensial untuk usahatani. Ketersediaan air sepanjang tahun memungkinkan penanaman dapat dilakukan sepanjang tahun dengan berbagai variasi komoditas. Pemilihan suatu komoditas yang diusahakan petani didasarkan pada beberapa pertimbangan, namun apapun pilihan komoditasnya, usahatani tersebut harus memberikan keuntungan pada petani yang bersangkutan.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, termasuk perbaikan dan penambahan sarana dan prasarana irigasi dengan nilai investasi besar untuk mendukung peningkatan produksi. Sementara itu, kemajuan teknologi penelitian yang mendukung peningkatan produksi di lahan irigasi sudah banyak dihasilkan namun penerapannya belum optimal dan terfokus hanya pada tanaman monokultur padi dan ironisnya terjadi penurunan produktivitas padi di lahan sawah irigasi dan berakibat langsung pada tingkat pendapatan petani.

Pakpahan (1989) menyebutkan bahwa diversifikasi merupakan perluasan dari suatu produk yang diusahakan selama ini ke produk baru yang sebelumnya tidak diusahakan. Adapun beberapa tujuan dalam melakukan diversifikasi, antara lain (1) meminimumkan risiko, (2) menghindari akibat buruk dari fluktuasi ekonomi, dan (3) sebagai sumber pertumbuhan baru. Perkembangan diversifikasi usahatani dan pilihan pola tanam bersifat dinamis, sangat dipengaruhi faktor-faktor teknis, sosial ekonomi dan kebijakan. Kinerja dan perilaku petani dalam melakukan diversifikasi usahatani dan pilihan pola tanam adalah sangat kompleks.

Peluang diversifikasi produksi pangan pada lahan sawah irigasi cukup besar dan dapat memberikan nilai ekonomis yang cukup tinggi, dikarenakan : 1. Ketersediaan air yang cukup sepanjang waktu sangat mendukung untuk

budidaya tanaman, perikanan dan peternakan;

2. Jaringan irigasi yang memadai dari pemanfaatan air untuk usahatani dapat diatur sesuai kebutuhan.


(16)

3. Pola dan tata tanam dapat diatur, sehingga dapat memberikan keuntungan yang optimal.

4. Biaya produksi dan risiko kegagalan relatif rendah. 5. Penerapan teknologi lebih terjamin.

6. Aksesibilitas dan infrastruktur (jalan, jembatan, telekomunikasi, pasar) relatif baik.

Menurut Pakpahan (1989), hubungan antara diversifikasi dengan keuntungan atau pendapatan petani bersifat kondisional. Disadari bahwa persyaratan aspek teknis adalah sangat menentukan (necessary condition), tetapi dukungan lingkungan sosial ekonomi dan kebijakan memegang peranan penting dan merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) yang menentukan. Diversifikasi pertanian di tingkat usahatani akan berkembang secara luas bila didukung oleh prakondisi aspek teknis, sosial ekonomi, dan kebijakan yang kondusif.

Peningkatan pendapatan petani sawah irigasi di Karawang sangat potensial terjadi dengan tetap menjaga mutu lahan dan produktivitasnya melalui peningkatan intensitas pemanfaatan lahan hingga mencapai IP maksimal, serta pemilihan komoditas yang beragam atau diversifikasi pola tanam yang mendasarkan pada permintaan pasar dan harga yang menguntungkan dengan tetap memperhatikan budaya setempat, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi serta antisipasi bila terjadi panen raya atas suatu komoditas.

a. Pengertian Diversifikasi

Berbagai pendapat para ahli tentang definisi diversifikasi telah diulas secara luas oleh Pakpahan (1990). Beberapa definisi tersebut adalah : (1) ‘rural diversification is a process of broadening and strengthening the income sources of rural household. The process extends from the introduction of new crop and technologies into traditional farmingsystems to the development of off-farm jobs in small scale rural industries…….At this level of generality rural diversification can be viewed as a gradual and invietable process’; (2) diversifikasi berarti perluasan dari suatu produk yang diusahakan selama ini ke produk atau industri baru yang


(17)

sebelumnya tidak diusahakan. Ini dilakukan untuk meminimumkan risiko, untuk menghindari akibat buruk dari fluktuasi ekonomi, dan atau sebagai sumber pertumbuhan perusahaan; (3) ‘diversification is one of the precautions which resource administration or mergers can use in adjusting to an uncertainty situation. The logic is inherent…… Where choice must be made in respect to a future characterized by imperfect knowledge’. Dari tiga definisi di atas menunjukkan adanya definisi yang beragam tergantung konteks permasalahannya. Definisi diversifikasi Bank Dunia lebih mengkaitkan dengan permasalahan pembangunan pedesaan atau transformasi struktur ekonomi pedesaan.

Joshi et al., (2003) mengatakan diversifikasi sebagai pergeseran sumber daya dari satu tanaman (ternak) menjadi campuran tanaman atau ternak, untuk mengurangi kegagalan akibat risiko alam dan meningkatkan hasil dari tiap komoditas yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Definisi diversifikasi ini menekankan pentingnya perubahan sumber daya bernilai rendah menjadi komoditas yang bernilai tinggi, dengan direfleksikan sebagai peningkatan tingkat spesialisasi kedalam aktifitas yang bernilai tinggi, umumnya di tingkat usahatani, sedangkan menurut Kasryno, dkk, (2004), dilihat dari segi ekonomi, diversifikasi bertujuan memperkecil risiko yang disebabkan oleh dinamika harga dan faktor ekonomi lainnya, serta perubahan iklim; dari segi pemanfaatan sumber daya, diversifikasi berpeluang meningkatkan pemanfaatan sdm, peningkatan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta pemanfaatan sda dan modal dan dari segi budidaya, diversifikasi dapat memperkecil pengaruh iklim dan dapat memperkecil intensitas serangan hama penyakit tanaman melalui pemutusan siklus.

Secara umum dari berbagai definisi diversifikasi dapat diterangkan sebagai berikut : (1) pergeseran sumber daya dari kegiatan usahatani ke non-usahatani; (2) penggunaan sumber daya dalam skala besar berupa campuran dari berbagai komoditas dan kegiatan yang menunjangnya, dan (3) perubahan sumber daya dari komoditas pertanian bernilai rendah ke komoditas pertanian bernilai tinggi (Hayami and Otsuka, 1992),


(18)

sedangkan alasan melakukan diversifikasi adalah untuk (1) memaksimalkan efisiensi penggunaan sumber daya terutama efisiensi penggunaan lahan dan waktu, simbiosis dalam usaha dan intensifikasi penggunaan tenaga kerja; (2) mengurangi risiko produksi, harga dan pendapatan; (3) merespon perubahan permintaan untuk berbagai komoditas pertanian yang diakibatkan oleh perubahan pendapatan per kapita dan elastisitas pendapatan terhadap permintaan dari berbagai komoditas pertanian; dan (4) mempertahankan kesuburan lahan dan mengurangi kerusakan ekosistem. Pengertian diversifikasi dalam tulisan ini terkait dengan masalah penganekaragaman komoditi pada kegiatan usahatani yang dapat mendukung pendapatan (usaha) rumah tangga di pedesaan.

b. Ukuran Diversifikasi

Diversifikasi dapat diukur melalui beberapa metode tergantung dari tujuan studi. Beberapa di antaranya adalah (1) Index of maximum proportion; (2) Herfindal Index; (3) Simpson Index; (4) Ogive Index; (5) Entropy Index; dan (6) Composite Entropy Index (Kelley et al., 1995; Pandey and Sharma, 1996; Ramesh Chand, 1996 dalam Rachman, 2006). Masing-masing metode ini mempunyai kekurangan dan kelebihan, maka dari itu, ketepatan pemilihan dan penggunaan ukuran diversifikasi tergantung pada tujuan analisis.

Sementara itu, Strout (1975) merumuskan lima buah indeks diversifikasi untuk mengukur keragaan diversifikasi dalam konteks usahatani, dengan mengukur indeks tumpang sari (simultaneous cropping) dan indek tumpang gilir (sequential cropping). Kelima indeks tersebut adalah (1) Multiple Cropping Index (MCI); (2) Diversity index (DI); (3) Harvest Diversity Index (HDI); (4) Land Utilization Index (LUI); dan (5) Simultaneous Cropping Index (SUI). Lima indeks diversifikasi tersebut antara lain telah digunakan oleh Tim Studi Diversifikasi (Puslitbang Sosek Pertanian, 2003) dalam menganalisis tingkat atau derajat diversifikasi usahatani di lahan sawah di lima Kabupaten sentra produksi padi di Jawa.


(19)

c. Pola diversifikasi

Pola diversifikasi di Asia secara umum dapat diungkapkan sebagai berikut : (1) sektor pertanian di Asia Selatan secara bertahap terdiversifikasi dalam bentuk komoditas dengan nilai tinggi, seperti buah-buahan, sayuran, ternak dan hasil olahan ikan; (2) kebanyakan diversifikasi muncul hanya dengan sedikit dukungan dari pemerintah karena kebijakan pemerintah masih terobsesi dengan swasembada sereal; (3) walaupun masih fokus pada produksi pangan, terjadi perubahan secara perlahan-lahan pada komoditas dengan nilai tinggi (high value commodity) yang direfleksikan dengan meningkatnya produksi buah-buahan, sayuran, ternak dan produk ikan; (4) perkembangan produksi komoditas alternatif tersebut dikendalikan oleh permintaan (demand-driven), tidak seperti padi atau tanaman pangan lainnya yang bersifat supply-driven; (5) introduksi benih/bibit unggul (hibrida) dan unggul baru, serta sarana dan prasarana seperti irigasi (pompanisasi), pasar dan jalan merupakan faktor kunci yang menentukan dan mempengaruhi status diversifikasi.

Implikasi diversifikasi dapat dianalisis pada kinerja ketahanan pangan, kesempatan kerja dan devisa (export earnings). Pada tingkat makro, ketahanan pangan tidak memberikan pengaruh yang berlawanan terhadap diversifikasi. Untuk mempercepat proses diversifikasi pertanian, diperlukan pengaturan kembali kelembagaan yang dapat mengintegrasikan produksi dan pasar dengan tepat.

Pertanian di Indonesia masih didominasi oleh pertanian keluarga skala kecil, sehingga upaya untuk meningkatkan pendapatan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki petani adalah dengan diversifikasi usaha. Luas garapan yang sempit mendorong petani memaksimalkan pendapatan dengan cara meningkatkan sistem tanam, intensitas tanam dan pola tanam. Upaya peningkatan produksi padi secara monokultur tidak sinergi dengan peningkatan pendapatan petani. Dengan kata lain insentif bagi petani untuk mendukung peningkatan produksi padi tidak memadai (Sumaryanto, 2004).


(20)

Diversifikasi usaha merupakan alternatif untuk meningkatkan usahatani. Fagi dan Partohardjono (2004) mengatakan ada lima strategi pertanian rumah tangga yang dapat diupayakan untuk meningkatkan pendapatan atau mengurangi kemiskinan, yaitu (1) intensifikasi pola produksi; (2) penganekaragaman produksi dan pengolahan hasil; (3) perluasan pertanaman atau peningkatan jumlah kepemilikan tanah; (4) peningkatan pendapatan dari luar pertanian baik yang berbasis pertanian maupun non pertanian; dan (5) usaha luar sektor pertanian apabila potensi sumber daya tidak prospektif. Namun Simatupang (2004) mengatakan bahwa kebanyakan petani padi enggan melakukan diversifikasi produksi usahataninya. Salah satu alasannya adalah jaminan ketahanan pangan rumah tangganya yang akan turun, jika tidak menanam padi.

Pada dasarnya sejak dulu petani Indonesia sudah menerapkan diversifikasi pertanian untuk memenuhi beragam kebutuhan konsumsi keluarga. Diversifikasi usahatani masa depan diupayakan sesuai dengan dinamika permintaan pasar dan peningkatan pendapatan petani. Sinergi kebijakan pembangunan pertanian melalui intensifikasi dan diversifikasi usahatani dapat dilakukan dengan perencanaan pola tanam optimal disertai komoditas bernilai ekonomi tinggi.

Kasryno, dkk, (2004) menyimpulkan bahwa pola usaha pertanian dan diversifikasi dipengaruhi oleh potensi sumber daya, jangkauan petani pada teknologi maju, dinamika permintaan pangan, kebijakan investasi dan kebijakan ekonomi makro dan mikro pemerintah. Diversifikasi pertanian menghendaki desentralisasi manajemen pembangunan, karena intinya adalah optimalisasi pemanfaatan sumber daya pertanian.

2. Usahatani

Hernanto (1989) mendefinisikan usahatani sebagai satuan organisasi produksi di lapangan pertanian dimana terdapat lahan yang mewakili alam, unsur tenaga kerja yang bertumpu pada anggota keluargatani, unsur modal yang beraneka ragam jenisnya dan unsur pengelolaan atau manajemen yang peranannya dibawakan oleh seorang yang disebut petani. Keempat unsur ini tidak dapat dipisahkan karena kedudukannya dalam usahatani sama-sama


(21)

penting. Pengenalan dan pemahaman keempat unsur pokok tersebut diperlukan karena berkaitan dengan kepemilikan dan penguasaan faktor produksi.

Dalam pertanian tingkat keuntungan dapat diukur dengan pendapatan usahatani yang umumnya digunakan untuk mengevaluasi kegiatan suatu usahatani dengan tujuan untuk membantu perbaikan pengelolaan usahatani. Analisis pendapatan bertujuan untuk menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan dapat menggambarkan keadaan yang akan datang (Hernanto, 1989).

Banyak cara untuk mengukur pendapatan (Soekartawi, dkk 1986), diantaranya pendapatan bersih usaha dan pendapatan tunai usahatani. Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari selisih antara penerimaan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Penerimaan kotor usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Sedangkan pengeluaran total usahatani adalah nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi.

Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Pendapatan tunai usahatani merupakan selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani. Penerimaan tunai usahatani didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Sedangkan pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah yang dibayar untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

Pendapatan tunai usahatani merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai. Pengeluaran produksi dalam usahatani dapat dibedakan atas :


(22)

1) Pengeluaran tetap adalah pengeluaran yang besar kecilnya tidak tergantung kepada besar kecilnya produksi

2) Pengeluaran variabel adalah pengeluaran yang berhubungan dengan jumlah produksi

b. Berdasarkan yang langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri dari : 1) Pengeluaran tunai adalah pengeluaran tetap dan pengeluaran variabel

yang dibayar tunai selama proses produksi berlangsung. Pengeluaran tunai ini berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani.

2) Pengeluaran tidak tunai (diperhitungkan) adalah pengeluaran tetap dan pengeluaran variabel yang tidak dikeluarkan secara tunai oleh petani dan merupakan balas jasa untuk tenaga kerja keluarga dan modal yang dipakai dan pengelolaan dalam kegiatan usahatani.

3. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (B/C rasio)

Analisis imbangan penerimaan dan biaya digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan relatif dari suatu kegiatan usahatani berdasarkan perhitungan finansial. Nilai B/C total menunjukkan pendapatan kotor yang diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk berproduksi. Nilai B/C tidak mempunyai satuan. Nilai B/C yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa penambahan satu rupiah biaya akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar dari satu. Semakin besar nilai B/C maka semakin baik kedudukan ekonomi usahatani tersebut. Kedudukan ekonomi tersebut penting karena dapat dijadikan penilaian dalam mengambil keputusan (Hernanto, 1989).

4. Penelitian terdahulu

Berdasarkan penelitian Basa dan Effendi (1981) bahwa dampak pengembangan pola tanam introduksi terhadap produksi dan pendapatan menurut kategori irigasi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pada lahan sawah dengan kategori ketersediaan air irigasi 10 bulan, sumber tambahan pendapatan pola tanam introduksi adalah adanya tambahan nilai produksi


(23)

palawija dan peningkatan produktivitas padi sawah musim hujan (MH) yang diperkirakan sebagai dampak dari perbaikan kesuburan tanah sebagai akibat pertanaman palawija (kedelai) pada musim tanam sebelumnya. Penjelasan yang sama juga berlaku bagi lahan sawah dengan kategori ketersediaan air 7-9 bulan. Berdasarkan pola tanam padi walik jerami (MK-1) dan kedelai pada MK-2, pendapatan usahatani meningkat 38,5% dan 108,7% dibandingkan dengan pola tanam petani. Pada lahan sawah dengan kategori ketersediaan air irigasi 5 bulan, padi kedua yang ditanam secara walik jerami memberikan hasil yang lebih tinggi karena ditanam lebih awal sehingga terhindar dari cekaman kekeringan pada akhir pertumbuhannya. Pola introduksi memberikan peningkatan pendapatan dengan kisaran 56,7-69,9%.

Sudana (1993) melakukan penelitian tentang prospek usahatani kedelai pada MK-2 di sawah irigasi golongan air II di Karawang seluas 21 ha dengan melibatkan 40 rumah tangga petani pada Juni-September 1992, menyatakan sebagai berikut : (1) peluang pengembangan kedelai di sawah irigasi golongan I dan II adalah cukup besar, serta sesuai secara teknis. Waktu tanam sebaiknya paling lambat akhir Juli, dan dianjurkan untuk menggunakan varietas umur genjah dengan umur maksimal 80 hari; (2) secara finansial usahatani kedelai dengan teknologi anjuran lebih menguntungkan (Rp 1.239.500 vs Rp 572.750/ha) dan produktivitasnya dapat ditingkatkan menjadi dua kali produktifitas petani (2.330 kg/ha vs 1.085 kg/ha). Analisis efisiensi pemanfaatan modal menunjukkan bahwa teknologi anjuran ini layak untuk diterapkan karena nilai B/C rasio mencapai 2,50.

Hasil penelitian Pirngadi dan Permadi (1996) menyatakan bahwa (a) pola tanam introduksi dapat meningkatkan hasil setara gabah menjadi 13,5 ton/ha dibandingkan dengan pola tanam padi-padi-bera yang hanya menghasilkan 9,3 ton setara gabah/ha; (b) biaya produksi pola tanam anjuran meningkat 34,7% menjadi Rp. 454.930/ha, tetapi dengan tingkat keuntungan 58,8% lebih tinggi (Rp 721.500/ha vs Rp 454.400/ha); (c) terjadi peningkatan efisiensi pemanfaatan modal yang diindikasikan oleh adanya peningkatan B/C dari 1,35 menjadi 1,59; dan (d) produktivitas kacang hijau tertinggi (1,500-1,620 ton/ha) dicapai dengan penerapan paket teknologi yang mencakup tanpa


(24)

olah tanah (TOT), perbaikan drainase, cara tanam tunggal, pemupukan pupuk urea, TSP dan KCl masing-masing 150 kg/ha, penyiangan, pemberian mulsa, pengairan serta pengendalian hama dan penyakit.


(25)

1. Latar Belakang

Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat dimanfaatkan untuk tiga kali pertanaman tanaman semusim dengan berbagai variasi komoditas, yang pemilihannya dapat disesuaikan pada permintaan pasar dengan tetap mempertimbangkan agroklimat dan budaya/kebiasaan petani setempat.

Investasi pemerintah untuk membangun sawah irigasi cukup mahal, antara lain untuk pembangunan waduk, jaringan irigasi serta pemeliharaannya, namun sampai saat ini masih banyak ditemukan pemanfaatan sawah irigasi yang belum optimal (Anonim, 2004). Optimalisasi pemanfaatan sawah irigasi tidak saja melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) dengan keragaman komoditas tetapi juga melalui upaya integrasi dengan komoditas lain seperti perkebunan, perikanan dan peternakan (Indeks Diversifikasi/ID).

Pemerintah membangun saluran irigasi menyebar pada setiap propinsi. dan mengairi sawah dengan luasan berbeda. Di Pulau Jawa total luas lahan sawah irigasi teknis 1,53 juta ha (Anonim, 2006). Berdasarkan data tersebut, sawah irigasi teknis terluas terdapat di propinsi Jawa Timur (0,67 juta ton), kemudian diikuti Jawa Barat (0,40 juta ha) dan Jawa tengah (0,38 juta ha), sedangkan pada tingkat kabupaten sawah irigasi teknis terluas terdapat di kabupaten Karawang yaitu sebesar 81.698 ha (Anonim, 2005).

Dalam satu tahun secara teori sawah irigasi setidaknya dapat dimanfaatkan untuk tiga kali pertanaman (IP) = 300) dengan berbagai variasi komoditas tanaman semusim, namun berdasarkan studi (Pasandaran, dkk, 2003) pemanfaatan lahan sawah irigasi di Jawa yang di hitung dengan IP hanya berkisar 171 – 179. Sedangkan studi pemanfaatan sawah irigasi di Kabupaten Karawang berkisar IP 180 – IP 250 dengan variasi tanaman yang masih rendah (Anonim, 2006). Angka-angka tersebut menunjukan belum maksimalnya pemanfaatan lahan sawah irigasi tersebut sekaligus


(26)

menunjukkan masih adanya peluang peningkatan produksi melalui peningkatan indeks pertanaman.

Sejarah pembangunan sawah irigasi tidak terlepas dari keinginan untuk berswasembada beras dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, berbagai sumber daya untuk mendukung hal tersebut telah diinvestasikan antara lain; (a) investasi pada penelitian dan pengembangan pertanian sehingga adanya terobosan teknologi biologi dan kimia yang terkenal dengan sebutan revolusi hijau; (b) investasi sarana dan prasarana irigasi dan perluasan areal pertanian, dan (c) kebijakan-kebijakan yang mendukung seperti perdagangan, harga dan subsidi (Badan Litbang, 2004).

Indonesia dinyatakan berswasembada beras pada tahun 1985. Keberhasilan swasembada beras disebabkan antara lain oleh dukungan pemerintah yang memprioritaskan pembangunan pertanian disertai kebijakan makro yang mendukung, terobosan teknologi baru budidaya padi sawah dan kebijakan intensifikasi pertanian (BIMAS) yang mengatur penerapan teknologi secara sentralistik. Namun demikian, swasembada beras hanya dapat dipertahankan sampai tahun 1993. Intensifikasi melalui program BIMAS berakhir disebabkan meningkatnya kerusakan lingkungan disertai resistensi hama terhadap pestisida yang disebabkan konsumsi pestisida dan pupuk kimia yang berlebih (Badan Litbang, 2004). Beberapa program untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi padi telah dilakukan namun degradasi lahan terutama pada sawah produktif yang selama ini digunakan untuk intensifikasi usahatani padi berkembang sangat lambat (Tabel 1).

Selama hampir tiga puluh dua tahun pola konsumsi makan masyarakat Indonesia yang mulanya sangat bervariasi bergeser kearah yang seragam dengan menempatkan nasi sebagai makanan pokok, sehingga kebijakan pemanfaatan sawah irigasi pun secara langsung maupun tidak langsung diarahkan pada usahatani padi, hal tersebut terus berlanjut, sehingga seakan-akan telah menjadi budaya dimana petani selalu menanam padi, walaupun secara ekonomis hal tersebut tidak menguntungkan, bahkan kadang merugi. Kondisi tersebut apabila terus berlanjut akan makin menurunkan tingkat kesejahteraan petani.


(27)

Tabel 1. Luas panen, produksi dan produktivitas padi di Indonesia dari tahun 1995-2007

Tahun Luas Panen

(ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (ku/ha)

1995 11.438.764 49.744.440 43,48

1996 11.569.729 51.101.506 44,17

1997 11.140.594 49.377.054 44,32

1998 11.730.325 49.236.692 41,90

1999 11.963.204 50.866.387 42,52

2000 11.793.475 51.898.852 44,01

2001 11.500.000 50.461.000 43,88

2002 11.521.166 51.489.694 44,69

2003 11.488.034 52.137.604 45,38

2004 11.922.974 54.088.468 45,36

2005 11.839.060 54.151.097 45,74

2006 11.786.430 54.454.937 46,20

2007 11.757.845 55.127.430 46,89

Laju pertumbuhan

(%/th)

0,20 0,83 0,60

Sumber : BPS, 2007

Dilihat dari beberapa aspek, dimana pertanian Indonesia umumnya adalah pertanian keluarga skala kecil dengan rataan kepemilikan 0,35 ha (Anonim, 2005), maka peningkatan pendapatan yang dapat dilakukan berkaitan dengan usahanya adalah mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki, dengan melakukan diversifikasi usaha. Keuntungan diversifikasi pertanian adalah (a) berdasarkan aspek ekonomi, diversifikasi bertujuan untuk memperkecil resiko usaha karena aspek harga dan faktor ekonomi lainnya; (b) dari segi teknik budidaya dapat berarti mengurangi risiko gagal produksi; (c) dari pemanfaatan sumber daya yang dimiliki diversifikasi berpeluang meningkatkan pemanfaatannya, baik sumber daya manusia (SDM) berupa peningkatan kesempatan kerja dan berusaha, maupun sumber daya alam (SDA); (d) sistem budidaya pertanian sangat dipengaruhi oleh musim, diversifikasi pertanian dapat memperkecil pengaruh musim, disamping itu diversifikasi juga dapat memperkecil serangan hama penyakit, karena dengan diversifikasi yang dilakukan melalui pergiliran tanaman dapat memutus siklus hama dan penyakit; dan (e) diversifikasi konsumsi yang merupakan salah satu


(28)

program pemerintah di bidang pertanian disamping ketahanan pangan, memberikan peluang pasar kepada petani sawah irigasi agar memanfaatkan lahannya untuk berbudidaya sumber karbohidrat selain padi.

System of rice intensification (SRI) merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan (Deptan, 2007 dalam Simarmata, 2007). Gagasan SRI pada mulanya dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Fr Henri de Laulanie, S.J. Pengembangan SRI juga dilakukan melalui uji coba di berbagai negara Asia, termasuk Asia Selatan maupun Asia Tenggara. Di Indonesia gagasan SRI juga telah diuji coba dan diterapkan di beberapa Kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi serta Papua.

Penerapan gagasan SRI berdasarkan pada enam komponen penting : (1) Transplantasi bibit muda, (2) Bibit ditanam satu batang, (3) Jarak tanam lebar, (4) Kondisi tanah lembab (irigasi berselang), (5) Melakukan pendangiran (penyiangan), (6) Hanya menggunakan bahan organik (kompos). Hasil penerapan gagasan SRI di lokasi penelitian (Kabupaten Garut dan Ciamis), menunjukkan bahwa : (1) Budidaya padi model SRI telah mampu meningkatkan hasil dibanding budidaya padi model konvensional, (2) Meningkatkan pendapatan, (3) Terjadi efisiensi produksi dan efisiensi usahatani secara finansial, (4) Pangsa harga pasar produk lebih tinggi sebagai beras organik. Sekalipun demikian, konsep SRI masih belum dapat diterima serta masih menimbulkan polemik dan kontroversial dalam penerapannya hampir di semua tempat maupun di lembaga terkait, termasuk IRRI sebagai Lembaga Penelitian Padi Internasional (Wardana, dkk, 2005).

Namun dengan meningkatnya harga pupuk dan pestisida kimia serta semakin rusaknya lingkungan sumberdaya telah mendorong petani di beberapa tempat mempraktekan sistem pendekatan SRI. Peluang pengembangan SRI ke depan juga didukung oleh tuntutan globalisasi dan konsumen internasional terhadap budidaya padi ekologis ramah lingkungan, kemudian dengan sistem penyuluhan yang mudah dimengerti, juga terkait


(29)

dengan kondisi peningkatan semua input produksi serta kebutuhan produk organik. Kendala pengembangan dalam skala luas, terkait dengan ketersediaan bahan-bahan organik, tenaga kerja tanam model SRI, serta kemauan dari petani sendiri (Djinis, dkk, 2008).

2. Perumusan Masalah

Perkembangan diversifikasi usahatani dan pilihan pola tanam bersifat dinamis, sangat dipengaruhi faktor-faktor teknis, sosial ekonomi dan kebijakan. Kinerja dan perilaku petani dalam melakukan diversifikasi usahatani dan pilihan pola tanam adalah sangat kompleks. Menurut Pakpahan (1989), hubungan antara diversifikasi dengan keuntungan atau pendapatan petani bersifat kondisional. Disadari bahwa persyaratan aspek teknis adalah sangat menentukan (necessary condition), tetapi dukungan lingkungan sosial ekonomi dan kebijakan memegang peranan penting dan merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) yang menentukan. Diversifikasi pertanian di tingkat usahatani akan berkembang secara luas bila didukung oleh prakondisi aspek teknis, sosial ekonomi, dan kebijakan yang kondusif.

Peningkatan curah hujan secara langsung akan mempengaruhi ketersediaan air, baik air irigasi maupun air tanah. Peningkatan jumlah curah hujan cenderung meningkatkan pangsa areal padi atau menurunkan indeks diversifikasi. Selain faktor teknis, diduga pula bahwa faktor harga padi dan koefisien variasi harga relatif padi terhadap harga komoditas pesaing utama yang semakin tinggi akan menyebabkan peningkatan areal padi atau penurunan indeks diversifikasi. Untuk wilayah yang mempunyai pangsa pendapatan padi masih relatif dominan maka kenaikan pendapatan pertanian akan menyebabkan peningkatan areal padi atau penurunan tingkat diversifikasi.

Tingkat pemanfaatan sawah yang belum maksimal, serta rendahnya peningkatan produktivitas lahan berpengaruh pada pendapatan petani. Oleh karena itu, kajian tingkat pendapatan petani sawah irigasi dengan diversifikasi pola tanam di kabupaten Karawang, Jawa Barat menjadi perlu untuk memberikan gambaran alternatif petani dalam penggunaan input dan


(30)

faktor-faktor produksi secara efisien, yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dan pendapatan petani melalui perhitungan pemanfaatan lahan sawah irigasi baik IP maupun ID dan perhitungan tingkat pendapatan usahatani menurut pola tanam. Secara sistematis, permasalahan dalam peneltiian ini adalah :

a. Bagaimana keragaan pola tanam di lahan sawah irigasi kabupaten Karawang?

b. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani menurut pola tanam yang berlaku di kabupaten Karawang?

c. Bagaimana alternatif strategi pemanfaatan lahan sawah irigasi dengan berbasis pada pemenuhan permintaan pasar dan pendapatan usahatani yang lebih stabil, dengan berbagai alternatif pola tanam yang rasional di Kabupaten Karawang?

3. Tujuan Kajian

1. Mengidentifikasi keragaan pola tanam di lahan sawah irigasi kabupaten Karawang

2. Merumusan tingkat pendapatan usahatani menurut pola tanam yang berlaku di kabupaten Karawang;

3. Menyusun strategi pemanfaatan lahan sawah irigasi dengan berbasis pada pemenuhan permintaan pasar dan pendapatan usahatani yang lebih stabil, dengan berbagai alternatif pola tanam yang rasional di Kabupaten Karawang.


(31)

1. Lokasi dan Waktu

Kajian dilakukan terhadap usahatani beberapa petani sawah irigasi di desa Citarik kecamatan Tirta Mulya Kabupaten Karawang. Pemilihan lokasi terutama didasarkan pada luas sawah irigasi didasarkan pada data statistik. Kabupaten Karawang merupakan salah satu wilayah yang memiliki sawah irigasi teknis terluas di Indonesia dan sampai saat masih merupakan sentra produksi beras sehingga dijadikan daerah penyanggah pemenuhan kebutuhan beras Indonesia. Selain itu, daerah kajian merupakan pelaksana kegiatan diversifikasi lahan pada tahun 2007. Kajian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2007.

2. Pengumpulan data

Pengumpulan data dalam kajian ini menggunakan metode survei. Data kajian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner (Lampiran 1). Materi yang ditanyakan secara ringkas sebagai berikut :

a. Kepemilikan lahan.

b. Pola tanam, serta alasan melaksanakan pola tersebut. c. Hasil usaha dan biaya yang dikeluarkan.

d. Permasalahan dalam kegiatan uasaha taninya.

Pengambilan contoh dilakukan dengan teknik purposif (purposive sampling), yakni menentukan contoh penelitian dengan cara memilih atau menunjuk anggota populasi secara sengaja untuk dijadikan contoh. Secara metodologis, teknik ini memiliki kelemahan apabila hasil penelitian akan dilakukan generalisasi. Namun, dikarenakan penelitian ini merupakan studi kasus yang tidak dimaksudkan untuk dilakukan generalisasi, maka penggunaan teknik purposif ini dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis.

Penentuan contoh dimulai dari penentuan kecamatan-kecamatan sampel, diikuti dengan penentuan desa-desa contoh yang dilakukan secara


(32)

purposif dengan dasar bahwa lokasi terpilih merupakan salah satu daerah dengan areal sawah irigasi terluas di Kabupaten Karawang.

Data sekunder diperoleh melalui penulusuran berbagai pustaka yang ada meliputi :

a. Data potensi dan pemanfaatan sawah irigasi.

b. Data produksi dan produktivitas berbagai komoditi yang diusahakan pada sawah irigasi.

c. Informasi peraturan dan dukungan kebijakan. d. Informasi lain yang berkaitan dengan tujuan kajian.

3. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara kuantitatif dengan bantuan program Microsoft Excel, kemudian disajikan secara tabulasi dan diuraikan secara deskriptif. Untuk data kualitatif digunakan analisis deskriptif dan analisis strategi dengan pendekatan SWOT. Untuk data kuantitatif digunakan pendapatan usahatani, B/C rasio, analisis tingkat pemanfaatan sawah irigasi. a. Analisis Pendapatan

Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan atas seluruh biaya tunai (pendapatan tunai) dan pendapatan atas biaya total (pendapatan total). Secara umum pendapatan diperhitungkan sebagai penerimaan dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkan. Penerimaan usahatani padi merupakan nilai dari total penjualan produksi yang dihasilkan.

Tingkat pendapatan usahatani dapat dinyatakan dalam persamaan matematika sebagai berikut :

) (BT BD

NP− +

=

π ...(1) dimana :

π : pendapatan/keuntungan

NP : nilai produk merupakan hasil perkalian jumlah output dengan harga (Rp)

BT : biaya tunai (Rp)

BD : biaya diperhitungkan (Rp) NP-BT : pendapatan atas biaya tunai (Rp) NP-(BT+BD) : pendapatan atas biaya total (Rp)


(33)

100% x Lahan Baku Luas setahun selama tanam Luas = IP

= = k i S D 1 2 1

Analisis pendapatan usahatani selalu disertai dengan pengukuran efisiensi. Untuk mengetahui efisiensi suatu usahatani terhadap penggunaan satu unit input dapat digambarkan oleh nilai rasio penerimaan dan biaya yang merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima usahatani dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi.

Tunai Biaya Total TB Pendapa Total tunai biaya atas rasio C

B/ = tan( )

Biaya Total TR Penerimaan Total total biaya atas rasio C

B/ = ( )

dimana :

Jika B/C > 1, usahatani tersebut menguntungkan untuk diusahakan Jika B/C < 1, usahatani tersebut tidak menguntungkan untuk diusahakan Jika B/C= 1, usahatani tersebut menguntungkan atau tidak menguntungkan b. Analisis Tingkat Pemanfaatan Lahan Sawah Irigasi

Untuk menggambarkan seberapa besar lahan sawah irigasi dimanfaatkan dilakukan dengan menghitung IP dan ID. Penghitungan IP dengan menggunakan rumus berikut :

Untuk mengetahui derajat diversifikasi digunakan indeks Herfindal. Indeks ini mempunyai nilai nol sampai dengan satu. Makin dekat dengan nol berarti makin tinggi tingkat diversifikasi penggunaan lahan sawah dan nilai satu menunjukkan bahwa tanaman yang diusahakan dilahan sawah tersebut monokultur, atau tidak dilakukan diversifikasi. Rumus Herfindal adalah:

dimana :

D indeks diversifikasi


(34)

c. Analisis Matriks Strategi

Dalam analisis ini menggali informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai unsur pelaku (stakeholder) diawali dari kelompoktani, penyuluh, peneliti dan aparat pemerintah, sehingga ditemukan berbagai kesimpulan dalam suatu matriks mengenai kekuatan (strength), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman (threat) untuk ditemukan strategi pemanfaatan lahan sawah irigasi usahatani (Rangkuti, 2005).

Matriks SWOT digunakan untuk menyusun strategi. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategi, yaitu strategi S-O, strategi W-O, strategi W-T dan strategi S–T, seperti terlihat pada Tabel 2.

Terdapat 8 tahapan dalam membentuk matriks SWOT, yaitu : 1. Menentukan faktor-faktor peluang eksternal kelompoktani. 2. Menentukan faktor-faktor ancaman eksternal kelompoktani. 3. Menentukan faktor-faktor kekuatan internal kelompoktani. 4. Menentukan faktor-faktor kelemahan internal kelompoktani.

5. Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi S – O.

6. Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi W – O.

7. Sesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi S – T.

8. Sesuaikan kelemahan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi W – T.


(35)

Tabel 2. Matriks SWOT Internal

Eksternal

Kekuatan (S) Faktor-faktor kekuatan

Kelemahan (W) Faktor-faktor kelemahan

Peluang (O) Faktor-faktor peluang

strategi S-O

Gunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

strategi W-O

Atasi kelemahan dengan memanfaatan peluang Ancaman (T)

Faktor-faktor ancaman

strategi S-T

Gunakan kekuatan untuk menghindari ancaman

strategi W-T

Meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

Sumber : David, 1997.

Keterangan: 1. Strategi S-O

Strategi ini dibuat berdasarkan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

2. Strategi S-T

Strategi ini adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman

3. Strategi W-O

Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

4. Strategi W-T

Strategi ini berdasarkan kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

d. Batasan Operasional Kajian

1. Luas lahan garapan adalah luas areal sawah yang digunakan untuk usahatani padi satuan yang digunakan adalah hektar (ha).

2. Diversifikasi produksi adalah upaya peningkatan produksi melalui penganekaragaman tanaman dan atau usahatani dengan aneka ragam tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan atau perikanan. 3. IP adalah pola atau tata tanam yang diusahakan dalam kurun waktu


(36)

4. ID adalah tingkat keragaman usahatani yang diusahakan dalam satu pola tanam lahan tertentu pada periode satu tahun, mempunyai nilai 0 – 1.

5. Modal adalah barang ekonomi berupa lahan, bangunan, alat-alat mesin, tanaman di lapangan, sarana produksi dan uang tunai yang digunakan untuk menghasilkan padi.

6. Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi baik untuk pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, penyemprotan, pemeliharaan dan pemanenan. Tenaga kerja dibedakan menjadi tenaga kerja dalam keluarga dengan tenaga kerja luar keluarga yang disetarakan dengan hari kerja pria (HKP) dengan hari kerja 5 jam.

7. Produksi total adalah hasil yang didapat dari luas lahan tertentu, diukur dalam ton.

8. Produktivitas, hasil yang diperoleh dari satu hektar luasan lahan, diukur dalam kuintal per hektar (ku/ha).

9. Biaya tunai, besarnya nilai uang yang dikeluarkan petani untuk membeli pupuk, benih, obat-obatan dan upah tenaga kerja luar keluarga. Biaya yang digunakan untuk membayar pajak dan penyusutan alat-alat pertanian termasuk dalam biaya tetap tunai, satuan yang digunakan adalah rupiah (Rp).

10.Biaya yang diperhitungkan adalah pengeluaran untuk pemakaian input milik sendiri dan pemakaian tenaga kerja dalam keluarga berdasarkan tingkat upah yang berlaku.

11.Biaya total, penjumlahan dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan.

12.Harga produk, harga komoditas ditingkat petani dalam satu musim panen, satuan yang digunakan adalah rupiah per kilogram (Rp/kg). 13.Penerimaan usahatani merupakan nilai produksi yang diperolah dari

produk total dikalikan dengan harga jual di tingkat petani, satuan yang digunakan adalah rupiah (Rp).


(37)

14.Pendapatan usahatani atau keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dan biaya usahatani. Perhitungan pendapatan dilakukan atas biaya tunai dan biaya total. Pendapatan atas biaya tunai merupakan selisih penerimaan usahatani dengan biaya tunai, sedangkan pendapatan atas biaya total merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya total.


(38)

1. KEADAAN UMUM

a. Gambaran Umum Kabupaten Karawang

Visi dan Misi Kabupaten Karawang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Karawang yang sejahtera melalui pembangunan di bidang pertanian dan industri yang selaras dan seimbang berdasarkan iman dan taqwa. Visi tersebut memberikan pandangan bahwa bidang pertanian dan industri dijadikan tumpuan penopang kesejahteran bagi masyarakat Kabupaten Karawang. Sedangkan misi Kabupaten Karawang yang tertuang dalam peraturan daerah No.10 tahun 2006 adalah :

1) Meningkatkan mutu dan kuantitas pendidikan

2) Meningkatkan cakupan layanan dan mutu kesehatan masyarakat

3) Mengembangkan ekonomi kerakyatan pada sektor pertanian dengan pola agroindustri yang didukung oleh sektor industri lainnya

4) Meningkatkan pembangunan infrastruktur wilayah 5) Meningkatkan mutu angkatan kerja dan peluang kerja

6) Meningkatkan pelayanan, pembinaan kehidupan beragama, kesadaran hukum dan hak asasi manusia

7) Menciptakan tata pemerintahan Kabupaten Karawang yang bersih dan berwibawa

8) Mengutamakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan pada seluruh kegiatan pembangunan

9) Pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender

b. Kondisi umum demografis

Jumlah Penduduk Kabupaten Karawang mencapai 2.017.367 jiwa pada tahun 2006, dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk (LPP) sebesar 2,26% dengan komposisi penduduk sebagai berikut :

1) Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin.

Komposisi penduduk Kabupaten Karawang menurut jenis kelamin pada tahun 2006 sebagai berikut : jumlah penduduk laki-laki


(39)

sebanyak 1.007.124 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 1.010.243 jiwa. Dengan demikian berdasarkan gender dapat dikatakan seimbang dengan rasio 49,9% : 50,1%.

2) Komposisi penduduk berdasarkan struktur usia.

Komposisi penduduk Kabupaten Karawang berdasarkan usia pada tahun 2006 sangat bervariasi dimana mayoritas penduduknya berusia 5-9 tahun sebesar 213.684 jiwa atau sekitar 10,59% dan 10-14 tahun sebesar 203.800 jiwa atau sekitar 10.10%. Data tersebut juga memperlihatkan bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada usia sekolah dasar.

Jumlah penduduk usia produktif atau usia 15-64 tahun sebesar 1.395.633 jiwa atau sekitar 69,18%. Berdasarkan komposisi piramida penduduk juga dapat dilihat angka beban ketergantungan (dependency ratio) sebagai perbandingan penduduk usia produktif 15-64 tahun (diukur dari penduduk usia kerja) dengan penduduk usia tidak produktif (usia< 15 tahun - >64 Tahun). Pada tahun 2006 nilai dependency ratio menunjukkan angka 45% yang berarti bahwa dari seratus orang usia produktif menanggung beban sekitar 45 orang yang tidak produktif. Jika dibandingkan dengan angka dependency ratio pada tahun 2005 sebesar 50% (100 orang menanggung beban sekitar 50 orang) sehingga memperlihatkan perubahan tingkat beban ketergantungan yang semakin baik.

3) Komposisi penduduk berdasarkan lapangan usaha.

Pada tahun 2006 jumlah penduduk bekerja berdasarkan lapangan usaha sebanyak 728.775 orang. Dari Jumlah tersebut sebesar 258.047 orang atau sekitar 35,41% bekerja pada lapangan usaha pertanian dan perikanan. Pada lapangan usaha perdagangan memberikan kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja sebesar 174.872 orang atau 24,00%. Sedangkan pada lapangan usaha industri menyerap tenaga kerja 125.539 orang atau 17,23%.


(40)

4) Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan.

Sektor pendidikan merupakan salah satu program prioritas pembangunan. Hal ini tidak terlepas dari kondisi tingkat pendidikan masyarakat yang masih relatif rendah, padahal mutu SDM masyarakat merupakan faktor determinan dalam keberhasilan pembangunan. Jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang berpendidikan kurang atau setara SD berjumlah 1.160.736 orang atau 69 % dari total jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas. Hal ini memberikan gambaran bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki sebagian besar penduduk di Kabupaten Karawang berada pada tingkat sekolah dasar.

c. Kondisi umum bidang pertanian

Masyarakat mengenal Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi Jawa Barat yang sampai saat ini julukan itu masih dipertahankan, hal ini tentunya terkait dengan kebijaksanaan provinsi Jawa Barat yang memfungsikan Karawang sebagai lahan pertanian padi sawah. Penggunaan Lahan di Kabupaten Karawang dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Lahan sawah meliputi lahan berpengairan teknis, setengah teknis dan berpengairan sederhana dan (b) Lahan kering terdiri dari lahan untuk bangunan dan halaman sekitar, tegal/kebun/ladang/huma, padang rumput, tambak, kolam/tebet/empang, lahan yang sementara tidak diusahakan, lahan untuk tanaman kayu-kayuan dan perkebunan negara/swasta.

Luas seluruh lahan di Kabupaten Karawang adalah 175.327 Ha dengan rincian : Lahan sawah seluas 91.090 Ha dan Lahan kering seluas 76.909 Ha. Dari jumlah tersebut, 36,68% digunakan untuk bangunan dan halaman sekitarnya. Adapun komposisi penggunaan lahan tahun 2006 adalah : (a) Pertanian Padi Sawah 89,614 Ha, (b) Pekarangan dan Bangunan 18,351 Ha, (c) Tegal/Kebun 15,782 Ha, (d) Pertambakan 12.831 Ha, (e) Hutan Negara 15.323 Ha, (f) Ladang/Huma 3,172 Ha, (g) Kawasan/Zona Industri 11.920,1 Ha, (h) Penggembalaan 2,152 Ha, (i) Perkebunan 793 Ha, (j) Hutan Rakyat 598 Ha, (k) Lahan Yang Diusahakan


(41)

411 Ha, (l) Kolam/Empang 150 Ha, (m) Rawa-rawa 40 Ha dan (n) Lain-lain 4.189.9 Ha.

Pada tahun 2006, produksi padi mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2005 dengan besar kenaikan 4,45%, yaitu dari 1.149.702 ton pada tahun 2005 menjadi 1.200.810 ton pada tahun 2006. Begitu pula untuk luas panen mengalami kenaikan sebesar 4,69% dan produktivitas per hektar mengalami kenaikan hingga 0,02%, yaitu dari 6,434 ton/Ha pada tahun 2005 menjadi 6,435 ton/Ha.

Untuk produktivitas tanaman palawija diantaranya kacang tanah dan kacang hijau mengalami penurunan masing-masing 62,38% dan 59,83% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Turunnya produktivitas tanaman kacang tanah dan kacang hijau juga dibarengi dengan penurunan luas panen. Produktivitas tanaman jagung, ketela rambat, ketela pohon dan kacang kedelai mengalami kenaikan masing-masing 15.418,75% untuk jagung, 1.246,67% untuk ketela rambat, 11,52% untuk ketela pohon dan 924,73 untuk kacang kedelai.

Untuk tanaman sayuran sebagian besar mengalami penurunan, yaitu petsai/sawi 28,74%, kacang panjang 56,44%, cabe 42,68%, terung 76,13%, mentimun 41,34% dan kangkung 53,56%. Sedangkan jamur merang dan bayam mengalami kenaikan masing-masing 9,28% dan 31,25%. Tanaman buah-buahan yang paling dominan dan merata di setiap kecamatan adalah mangga, jambu biji, jambu air, nangka, pepaya dan pisang sedangkan buah-buahan lainnya hanya ada di beberapa kecamatan saja.

Struktur biaya dan usaha tani. Biaya produksi terbesar yang dikeluarkan untuk usaha tani adalah biaya produksi tanaman padi yang mencapai 67,88% dari nilai produksinya dibandingkan usaha pertanian lainnya. Dari seluruh pengeluaran tersebut, persentase pengeluaran untuk upah buruh dan biaya pengairan dan sewa lahan merupakan pengeluaran terbesar, yaitu 38,26% dan 17,96%. Sedangkan untuk biaya pupuk dan pestisida hanya 6,66% dan 2,71%.


(42)

Produksi padi Karawang tidak lepas dari dukungan sistem pengairan yang memadai. Pertanian padi sawah di wilayah ini, sebagian besar didukung oleh sistem pengairan teknis. Luas lahan yang berpengairan teknis sekitar 87% atau 80.774 hektar.

Saluran irigasi di Karawang terdiri dari Saluran Induk Tarum Utara dari Bendungan Walahar, Saluran Induk Tarum Barat dan Saluran Induk Tarum Timur dari Bendungan Curug. Selain tiga saluran induk itu daerah ini juga memiliki saluran irigasi yang sumber airnya berasal dari Bendungan Cibeet serta Bendungan Barugbug dan Pundog di Kabupaten Purwakarta. Dengan kondisi pengairan yang tertata rapi, musim kemarau tak terlalu berpengaruh terhadap produksi padi.

Selain hasil industri dan padi, produk lain yang berpotensi dikembangkan adalah jamur merang. Dengan luas lahan sawah separuh dari luas wilayah, Karawang kaya akan jerami. Hasil limbah padi ini menjadi bahan baku yang potensial bagi produksi jamur merang.

2. ASPEK YANG DIKAJI

a. Karakteristik Demografi Responden

Karakterisitik yang dikaji dalam penelitian ini adalah karakteristik demografi, yaitu faktor demografi petani dalam rangka meningkatkan pendapatan petani sawah irigasi dengan diversifikasi pola tanam. Analisis demografi responden diperlukan untuk mengetahui sifat dan komposisi yang didasarkan pada usia, tingkat pendidikan dan pendapatan (Engel et al, 1994). Kajian ini melibatkan responden yang berjumlah 20 orang, yaitu responden yang berstatus pemilik dan penggarap lahan sawah dengan diversifikasi pola tanam. Aspek demografi yang dikaji dari responden adalah tingkat pendidikan, jumlah anggota dalam keluarga, pekerjaan sampingan dan usia.

1) Tingkat Pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terbanyak responden adalah SD (75%) dan berikutnya adalah SMA (15%) dan SMP (10%). Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap


(43)

Dagang 35%

Perangkat desa 5%

supir 5%

Buruh 10%

Bertani 45%

penerimaan dan pengolahan informasi yang diperoleh. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka pola pikirnya pun akan semakin sistematis dan ingin mendapatkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi dirinya (Sumarwan, 2003).

2) Jumlah anggota dalam keluarga

Jumlah keluarga responden berkaitan erat dengan jumlah pengeluaran yang digunakan keluarga dalam mengkonsumsi atau membelanjakan barang dan jasa. Jumlah anggota keluarga dapat mencerminkan tingkat produktivitas suatu keluarga, semakin kecil jumlah anggota keluarga biasanya berkecenderungan produktivitasnya tinggi. Dalam hal ini, jumlah anggota keluarga kurang dari 4 mendominasi responden (70%). Jumlah anggota keluarga responden antara 4 sampai 5 orang (25%) dan lebih dari 5 orang (5%).

3) Pekerjaan Sampingan

Presentase responden didominasi oleh petani sebagai pekerjaan utama (45%). Responden lainnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proporsi pekerjaan responden.

4) Usia

Responden terbesar adalah petani usia produktif yaitu berusia kurang dari 40 tahun (40%) dan berikutnya adalah usia 41-50 tahun (45%) dan lebih dari 50 tahun (15%).


(44)

b. Keragaan Diversifikasi Di Lahan Sawah

1) Sebaran Petani dan Luas Tanam Menurut Musim dan Komoditi Pada Musim Hujan (MH) dan Musim Kering pertama (MK1) semua petani responden (100 %) menanam padi pada seluruh luas lahan yang digarapnya (20,20 ha), sedangkan pada Musim Kering kedua (MK 2) responden melaksanakan usahatani dengan komoditi yang lebih beragam tetapi luas lahan yang digarapnya relative kecil sebagaimana terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Frekuensi petani dan luas tanam menurut musim kering dua dan komoditi yang diusahakan di Kabupaten Karawang

Komoditas Musim Kering 2

n % Ha %

Jagung manis 8 40 3,35 16,58

Cabe 1 5 0,10 0,50

Kedelai 1 5 0,20 0,99

Gambas 2 10 0,40 1,98

Caisim 2 10 0,25 1,24

Kacang Panjang 5 25 0,80 3,96

Padi 1 5 0,60 2,97

Total 20 100 5,70 28,22

Berdasarkan sebaran petani responden dapat dilihat nilai prosentasi penggunaan lahan pada MK2 tertinggi adalah komoditi jagung manis (16,58%) dan selanjutnya kacang panjang. Penyebaran prosentasi komoditas bergerak mulai dari 0,99%-16,58%. Secara umum alasan petani mengusahakan komoditas non padi (jagung, cabe, kedelai, gambas, caisim dan kacang panjang) khususnya pada MK 2 adalah (1) adanya keterbatasan air irigasi, (2) memutus siklus hama dan (3) mengoptimalkan penggunaan lahan.

2) Sebaran Petani dan Luas Tanam Menurut Pola Tanam

Setelah teridentifikasi berbagai jenis komoditi penyusun pola tanam yang diusahakan petani di daerah penelitian pada setiap musim, dapat diidentifikasi kombinasi pilihan komoditas tersebut dalam satu tahun. Keragaan sebaran petani dan luas tanam menurut pola tanam dapat dilihat pada Tabel 4.


(45)

Tabel 4. Keragaan sebaran petani dan luas tanam menurut pola tanam Luas (ha)

Jenis pola tanam

Frekuensi petani

(%)

MH & MK1

MK2 Total %

Padi-Padi-Jagung manis 40 19,60 3,35 22,95 49,89 Padi-Padi-Cabe 5 2,5 0,10 2,60 5,65 Padi-Padi- Kedelai 5 1,20 0,20 1,40 3,04 Padi-Padi-Gambas 10 6,0 0,40 6,40 13,91 Padi-Padi- Caisim 10 1,30 0,25 1,55 3,37 Padi-Padi- Kacang panjang 25 8,60 0,80 9,40 20,43 Padi -Padi-Padi 5 1.20 0,60 1,80 3,70

Total 100 40,40 5,70 46,10 100

Kombinasi pilihan komoditi yang diusahakan petani pada setiap musim dalam waktu satu tahun didefinisikan sebagai pola tanam. Berdasarkan sebaran petani responden dapat dilihat nilai persentasi penggunaan lahan tertinggi pada pola tanam Padi–Padi–Jagung manis (49,89%), selanjutnya Kacang panjang (20,43%) dan Padi-Padi-Gambas (13,91%). Penyebaran presentase komoditas bergerak mulai dari 3,04% sampai dengan 49,89%.

3) Keragaan Indeks Pertanaman dan Indeks Diversifikasi di Tingkat Petani

Ketersediaan air sepanjang tahun di lahan sawah irigasi memungkinkan kegiatan budidaya tanaman dapat dilakukan sepanjang tahun juga, dengan tetap memperhatikan mutu lahan tersebut melalui pengaturan waktu tanam dan pemilihan variasi komoditi.

Seberapa besar pemanfaatan lahan sawah dapat diukur dengan nilai IP, sampai saat ini nilai pemanfaatan lahan yang dianggap optimum adalah IP 300, yang berarti bahwa pemanfaatan lahan tersebut dalam satu tahun mencapai 3 kali luas baku lahan dimaksud. Pemanfaatan lahan secara optimal dengan variasi tanaman yang baik dapat berdampak pada produktivitas lahan. Hasil kajian yang dilakukan mencatat hanya 15 % responden saja yang secara optimal memanfaatkan lahannya atau memiliki nilai IP 300, sisanya bervariasi antara IP 108 – IP 250 yang dapat dilihat pada Tabel 5.


(46)

Variasi pertanaman dalam satu tahun dapat diukur dengan nilai ID. Rumus Herfindal menyatakan bahwa indeks diversifikasi mempunyai nilai nol sampai dengan satu. Makin dekat dengan nol menggambarkan bahwa tanaman yang diusahakan pada satu luasan lahan lebih beragam, sedangkan nilai satu menunjukkan bahwa tanaman yang diusahakan di lahan sawah tersebut monokultur.

Tabel 5 memperlihatkan bahwa diversifikasi tanam responden masih sangat rendah, usahatani komoditi selain padi memang dilakukan hampir seluruh petani pada musim kering kedua, namun hanya memanfaatkan luas lahan yang kecil bila dibandingkan dengan luas baku lahan sehingga hampir tidak berpengaruh secara nyata terhadap ID. Penyebaran presentase diversifikasi pola tanam/ID bergerak mulai dari 0.5556-1,0.


(47)

Tabel 5. Nilai IP dan ID Responden Responden Luas lahan milik/garap (ha) Komoditi yang ditanam Luas Tanam (ha) Pangsa (S) Pangsa kuadrat (S2) ID IP

Pet 1 1,5 Padi 3,00 0,8571 0,7346 0,7550 233

Jagung mns 0,50 0,1429 0,0204

Pet 2 1,25 Padi 2,50 0,9615 0,9245 0,9260 208

Cabe 0,10 0,0385 0,0015

Pet 3 1,3 Padi 1,20 0,9231 0,8521 0,8725 108

Kedelai 0,20 0,1429 0,0204

Pet 4 1 Padi 2,00 0,9091 0,8265 0,8348 220

Gambas 0,20 0,0909 0,0083

Pet 5 0,3 Padi 0,60 0,8000 0,6400 0,7800 250

Caisim 0,15 0,2000 0,0400

Pet 6 1 Padi 2,00 0,9253 0,8562 0,8585 210

Kac. Pjng 0,10 0,0476 0,0023

Pet 7 0,7 Padi 1,40 0,6667 0,4447 0,5558 300

Jagung mns 0,70 0,3330 0,1111

Pet 8 0,85 Padi 1,70 0,8293 0,6877 0,7168 241

Jagung mns 0,35 0,1707 0,0291

Pet 9 3 Padi 6,00 0,9231 0,8521 0,8570 217

Jagung mns 0,50 0,0769 0,0059

Pet 10 0,35 Padi 0,70 0,8750 0,7656 0,7812 229

Caisim 0,10 0,1250 0,0156

Pet 11 1,3 Padi 2,60 0,8965 0,8037 0,8144 223

Kac. Pjng 0,30 0,1034 0,0107

Pet 12 0,4 Padi 0,80 0,6667 0,4445 0,5556 300

Jagung mns 0,40 0,3333 0,1111

Pet 13 1 Padi 2,00 0,8696 0,7562 0,7732 230

Jagung mns 0,3 0,1304 0,0170

Pet 14 0,35 Padi 0,70 0,6667 0,4445 0,5556 300

Jagung mns 0,35 0,3333 0,1111

Pet 15 2 Padi 4,00 0,8889 0,7901 0,7936 213

Jagung mns 0,25 0,0588 0,0035

Pet 16 2 Padi 4,00 0,9756 0,9518 0,9524 210

Gambas 0,20 0,0476 0,0023

Pet 17 0,7 Padi 1,40 0,9333 0,8710 0,8754 214

Kac. Pjng 0,10 0,0667 0,0044

Pet 18 1 Padi 2,00 0,9090 0,8265 0,8348 220

Kac. Pjng 0,20 0,0909 0,0083

Pet 19 0,3 Padi 0,60 0,8571 0,7346 0,7550 233

Kac. Pjng 0,10 0,1429 0,0204

Pet 20 0.6 Padi 1,60 1,0000 1,0000 1,0000 267


(48)

c. Tingkat Pendapatan Usahatani Menurut Pola Tanam 1) Biaya Usahatani

Dalam analisis pendapatan usahatani, biaya usahatani yang dikeluarkan dibagi dua, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani secara tunai terdiri atas biaya penggunaan input, upah tenaga kerja luar keluarga dan lain-lain (biaya sewa/sakap, pengairan, pajak, dan lainnya).

Tabel 6. Rataan biaya tunai per ha usahatani responden menurut pola tanam di Kabupaten Karawang pada tahun 2007

Rp/ha/tahun

Pola Tanam Musim Hujan

Musim Kering1

Musim Kering2

Biaya Tunai/ Tahun Padi-padi-gambas 5.539.717 6.118.104 7.179.375 18.837.196 Padi-padi-cabe 3.381.200 3.142.000 10.790.000 17.313.200 Padi-padi-caisim 3.635.357 3.727.976 9.018.333 16.381.667 Padi-padi-kc panjang 2.454.044 2.408.816 8.723.333 13.586.193 Padi-padi-kedelai 2.748.056 2.772.222 3.323.333 8.843.611 Padi-padi-jagung

manis 2.671.285 2.630.325 3.559.330 8.860.940 Sumber : data diolah, 2007

Pola tanam yang memerlukan biaya tunai tertinggi per ha adalah Padi-Padi-Gambas, kemudian dua pola tanam lainnya adalah Padi-Padi-Cabe dan Padi-Padi-Kacang Panjang (Tabel 6). Hal tersebut memberikan gambaran bahwa untuk melakukan usaha tani dengan pola tanam tersebut petani didaerah ini harus mempersiapkan biaya yang lebih besar.

Selain biaya tunai, komponen yang termasuk dalam biaya usaha dalam analisis ini adalah biaya yang diperhitungkan. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya yang sebetulnya tidak dikeluarkan oleh petani secara langsung yaitu berupa biaya tenaga kerja keluarga. Sebenarnya petani tanpa mengeluarkan biaya diperhitungkanpun proses usaha sudah berjalan dan menghasilkan, namun demikian, dalam sistem akuntansi biaya, tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga sendiri wajib diperhitungkan.


(49)

Tabel 7. Rataan biaya diperhitungkan per ha menurut pola tanam di Kabupaten Karawang pada tahun 2007

Rp/ha/tahun

Pola Tanam Musim Hujan Musim Kering 1 Musim Kering 2 Biaya Diperhitungkan/ Tahun Padi-padi-cabe 224.000 352.000 12.650.000 13.226.000 Padi-padi-gambas 140.000 270.000 6.575.000 6.985.000 Padi-padi-caisim 476.190 595.238 4.000.000 5.071.429 Padi-padi-kc

panjang 365.231 452.630 2.433.333 3.251.194 Padi-padi-kedelai 233.333 233.333 1.250.000 1.716.667 Padi-padi-jagung

manis 315.721 375.830 899.226 1.590.777

Sumber : data diolah, (2007).

Tabel 7 merupakan biaya yang diperhitungkan untuk mengelola usahatani dilahan sawah irigasi pada masing-masing pola tanam, terlihat bahwa penggunaan tenaga kerja keluarga tertinggi per tahun terjadi pada usahatani dengan pola tanam Padi-Padi-Cabe, dan selanjutnya Padi-Padi-Gambas dan Padi-Padi-Caisim, sehingga pada beberapa pola tanam tersebut pendapatan riil keluarga seharusnya lebih besar. Setelah diketahui biaya tunai dan biaya diperhitungkan, maka diperoleh gambaran rataan biaya total masing-masing pola tanam (Tabel 8).

Tabel 8. Rataan pengeluaran total responden per ha menurut pola tanam di Kabupaten Karawang pada tahun 2007

Rp/ha/tahun

Pola Tanam Musim Hujan Musim Kering 1 Musim Kering 2 Biaya Total/ Tahun Padi-padi-cabe 3.605.200 3.494.000 23.440.000 30.539.200 Padi-padi-gambas 5.679.717 6.388.104 13.754.375 25.822.196 Padi-padi-caisim 4.111.548 4.323.214 13.018.333 21.453.095 Padi-padi-kc panjang 2.819.275 2.861.446 11.156.667 16.837.387 Padi-padi-kedelai 2.981.389 3.005.556 4.573.333 10.560.278 Padi-padi-jagung

manis 2.987.007 3.006.154 4.458.557 10.451.718 Sumber : data diolah, (2007).


(50)

2) Analisis Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan atas seluruh biaya tunai (pendapatan tunai) dan pendapatan atas biaya total (pendapatan total). Secara umum pendapatan atau keuntungan diperhitungkan sebagai penerimaan dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkan. Penerimaan usahatani merupakan nilai dari total penjualan produksi yang dihasilkan.

Pendapatan atas biaya tunai adalah pendapatan petani atas biaya-biaya tunai yang benar-benar dikeluarkan. Nilai pendapatan atas biaya tunai dan biaya diperhitungkan dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10.

Total pendapatan atas biaya tunai tertinggi dalam satu tahun per ha terjadi pada pola tanam Padi-Padi-Cabe. Dua pola tanam lainnya yang memberikan pendapatan besar kepada petani di wilayah kajian adalah pola tanam Padi-Padi-Padi dan Padi-Padi-Caisim, sedangkan pendapatan terendah terjadi pada pola tanam Padi-Padi-Kacang panjang.

Tabel 9. Rataan pendapatan responden per ha atas biaya tunai menurut pola tanam di Kabupaten Karawang pada tahun 2007.

Rp/ha/tahun Pola Tanam Musim

Hujan

Musim Kering 1

Musim Kering 2

Pendapatan Tunai/ Tahun Padi-padi-jagung

manis 90.079.559 60.159.024 61.145.071 211.383.654 Padi-padi-kc panjang 62.957.208 42.015.856 35.266.667 140.239.730 Padi-padi-caisim 22.997.143 15.464.048 35.352.222 73.813.413 Padi-padi-gambas 16.840.567 9.313.992 36.361.250 62.515.808 Padi-padi-cabe 13.153.600 7.498.000 25.610.000 46.261.600 Padi-padi-kedelai 17.251.944 11.297.778 1.426.667 29.976.389

Sumber : data diolah, (2007).

Pendapatan/keuntungan atas biaya total adalah pendapatan petani yang diperoleh dari penerimaan dikurangi dengan seluruh biaya petani yang diperhitungkan dengan uang. Dalam praktek petani hanya memperhitungkan pendapatan berdasarkan hasil yang diperolehnya


(1)

Adanya peluang program perbaikan infrastruktur, jaminan ketersediaan sarana produksi dan memanfaatkan potensi pasar yang bagus dan dapat menciptakan kestabilan harga seharusnya memberikan mereka semangat untuk melaksanakan diversifikasi pola tanam. Untuk mendapatkan hasil maksimal dalam kaitannya dengan peningkatan pendapatan, memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara efesien (lahan, air, SDM dan teknologi) untuk melakukan usahatani dengan komoditi mengacu pada permintaan pasar merupakan perumusan strategik yang harus dilakukan.

ii) Strategi S-T (kombinasi S1-S4 dengan T1-T2)

Strategi ini didapatkan dengan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki petani/kelompoktani dalam mengantisipasi ancaman yang ada. Berdasarkan hasil analisis perumusan strategi yang harus diambil adalah petani harus pelakukan pemilihan komoditi yang diusahakan secara selektif dengan memperhatikan iklim yang akhir-akhir ini mengalami pergesaran musim, serta memperhatikan potensi pasar.

Petani/kelompoktani sudah seharusnya meninggalkan kebiasaan menanam satu komoditi secara terus menerus atau bahkan tidak menggarap lahannya (diberakan) jika menurutnya tanaman yang biasa ditanam akan tidak memberikan keuntungan, atau secara bersama-sama dalam satu hamparan yang luas menanam satu komoditi yang sama karena

pengalaman musim yang lalu komoditi tersebut

menguntungkan. Beragamnya komoditi yang ditawarkan dengan masing-masing dalam jumlah yang tidak terlalu besar, akan meningkatkan posisi tawar komoditinya.

iii) Strategi W-O (kombinasi W1-W5 dengan O1-O4)

Strategi ini didapatkan dengan usaha menekan atau meminimalisasi kelemahan yang dimiliki kelompoktani untuk


(2)

memanfaatkan peluang yang ada saat ini. Keterbatasan modal merupakan masalah yang dihadapi pada hampir sebagian besar petani Indonesia dari waktu ke waktu. Dengan berbagai keterbatasan antara lain kepemilikan lahan yang kecil atau tanpa lahan, memang tidak mudah bagi petani untuk mengakses skim-skim kredit pertanian dari lembaga-lembaga keuangan yang meminjamkan modal usaha dengan mensyaratkan adanya agunan terutama lahan usahanya, walaupun mereka mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melakukan usahatani dengan gambaran pasar dan harga yang baik.

Kondisi keterbatasan modal akan terus terjadi bila tidak ada bantuan dari pihak lain terutama pemerintah, maka strategi yang harus diusahakan adalah mengakses kredit yang murah dan mudah bagi petani untuk membiayai usahatani yang dikelola dengan komoditi mengacu pada permintaan pasar dan ketersediaan lahan.

Mekanisme penyaluran dan pengembalian kredit dilakukan melalui kelompok. Besarnya kredit ditentukan berdasarkan rencana definitif kerja yang diajukan masing-masing petani dan disetujui oleh petugas yang ditunjuk, pola tanggungrenteng dalam pengembalian kredit, dan kewajiban menyimpan sebagian kecil keuntungan dapat menjadi salah satu cara penguatan modal usaha petani melalui kelompok. iv) Strategi W-T (kombinasi W1-W4 dengan T1-T5)

Strategi ini didapatkan melalui usaha meminimalisasi kelemahan yang dimiliki serta mengantisipasi ancaman atau untuk menghadapi kemungkinan ancaman yang ada dari lingkungan eksternal.

Kelemahan yang dimiliki seperti keterbatasan modal, skala pemilikan lahan yang sempit, biaya produksi yang cenderung bertambah tinggi dan potensi ancaman yang dihadapi akan membuat petani semakin tidak berdaya dalam


(3)

berusahatani, sehingga yang dibutuhkan adalah intervensi langsung dalam rangkaian kegiatan usahatani tersebut, yang dimulai dari bentuk bantuan modal atau penyiapan sarana produksi, penentuan komoditi sampai pemasaran produk. Untuk itu, perumusan strategi yang diperlukan adalah “mengembangkan pola kemitraan dengan perusahaan yang memerlukan produk pertanian dengan saling menguntungkan”.

Dengan pola kemitraan yang saling menguntungkan diharapkan usahatani yang dilakukan petani/kelompoktani dapat berjalan dan petani dapat menikmati hasil usahanya, karena mitra dapat membantu hal-hal seperti : (1) Bersama-sama petani menentukan komoditi dan standar mutu produk yang akan diusahakan dengan mengacu pada permintaan pasar; (2) Menyediakan sarana produksi sesuai dengan kebutuhan; (3) Menerima produk dengan harga yang telah disepakati dan (4) Membantu memasarkan produk.

iii. Pemilihan Alternatif Strategi

Setelah diperoleh beberapa alternatif strategi kebijakan untuk mendukung pemanfaatan lahan sawah irigasi dengan diversifikasi pola tanam, selanjutnya dilakukan pemilihan alternatif strategi kebijakan yang paling efektif untuk diimplementasikan.

Pemilihan alternatif strategi tersebut dilakukan dengan cara memberikan bobot pada setiap unsur SWOT yang telah diidentifikasi sesuai dengan tingkat kepentingannya. Tingkat kepentingan dari unsur SWOT diberi bobot 1- 5 (Rangkuti, 2005). Tingkat kepentingan ini didasarkan pada penilaian beberapa pakar sebagai responden (Tabel 19).


(4)

Tabel. 19. Tingkat Kepentingan Unsur SWOT

Unsur SWOT Kepentingan

Strengths (S)

S1. Penguasaan teknologi budidaya pertanian S2. Penggunaan tenaga kerja keluarga S3. Ketersediaan air

S4. Menguntungkan

4 3 3 5

Weakness (W)

W1.Keterbatasan modal W2. Skala kepemilikan lahan

W3. Biaya produksi tinggi

5 5 5

Opportunities (O)

O1. Program perbaikan infrastruktur O2. Ketersediaan sarana produksi O3. Potensi pasar

O4. Kestabilan harga

3 4 5 5

Threats (T)

T1. Membanjirnya produk pertanian impor T2. Iklim tidak menentu

T3. Ketidakberpihakan pemerintah dalam kebijakan

3 4 4

Setelah pembobotan terhadap unsur-unsur SWOT dilakukan, maka langkah selanjutnya menentukan nilai kepentingan dari setiap alternatif strategi yang diperoleh dalam analisis SWOT yang berdasarkan jumlah akumulasi keterkaitan antar unsur SWOT yang menghasilkan strategi tersebut (Tabel 20). Selanjutnya dari hasil penjumlahan itu, masing-masing alternatif strategi diberi peringkat (ranking) yang merupakan urutan strategi terbaik berdasarkan kondisi pertanian di Kabupaten Karawang. Alternatif strategi yang terpilih untuk diimplementasikan diambil dari 3 rangking tertinggi, yaitu rangking 1, 2 dan 3 (Rangkuti, 2005).

Keterangan ; 1 = Sangat tidak penting 2 = Tidak penting 3 = Sedang 4 = Penting 5 = Sangat penting


(5)

Tabel 20. Penentuan alternatif strategi terbaik

Alternatif Strategi Keterkaitan Kepentingan Rangking

Strategi S-O

1. Meningkatkan produktivitas 2. Memanfaatkan sumber daya

yang tersedia baik lahan, air dan SDM untuk melakukan usahatani (S1,S2,S4 ; O1,O2,O3) (S1,S2,S3; O1,O3,O4) 24 23 2 3 Strategi W-O

1. Penyediaan kredit murah mudah diakses petani

2. Diversifikasi pola tanam dengan komoditi mengacu pada permintaan pasar dan ketersediaan lahan. (W1,W3; O1, O2,O3,O4) (W1,W2; O1,O2,O3) 27 22 1 4 Strategi S-T

1. Mempertahankan dan menjaga mutu produk yang dihasilkan

2. Pemilihan komoditi yang diusahakan secara selektif

(S1,S2,S4; T1,T2,T3) (S1,S3; T2,T3) 21 15 5 8 Strategi W-T

1. Meningkatkan mutu produk

2. Mengembangkan pola kemitraan yang saling menguntungkan. (W1,W3; T1,T2,T3) (W1,W2; T1, T3 ) 20 17 6 7

Berdasarkan rangking dari analisis SWOT yang dilakukan dalam kajian ini, dapat diperolah empat alternatif strategi kebijakan yang harus dilakukan, yaitu (1) penyediaan kredit murah dan mudah diakses petani; (2) meningkatkan produktivitas; (3) memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara optimal; dan (4) diversifikasi pola tanam denan mengacu pada permintaan pasar dan ketersediaan lahan. Keempat strategi kebijakan seharusnya dilakukan dalam satu kesatuan, sehingga dapat mendukung peningkatan pendapatan petani melalui kegiatan usahatani diversifikasi, dengan titik berat pada strategi mengakses kredit murah dan mudah bagi petani untuk membiayai usahataninya, sehingga dapat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya lahan dan air secara efesien.


(6)

Peningkatan pendapatan yang berkelanjutan dari usahatani tidak saja akan menguntungkan bagi pelaku usaha pertanian, tetapi juga sangat mendukung ketahanan pangan nasional. Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sebagai sumber pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, pengentasan kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan nasional, apalagi berdasarkan sensus pertanian 2003 terjadi peningkatan jumlah rumah tangga pertanian 19,38% selama kurun waktu 10 tahun, sehingga total rumah tangga yang bergantung pada bidang pertanian sebagai sumber penghasilannya pada tahun 2003 mencapai 24.868.675. Untuk ketahanan pangan selama kurun waktu 1970-2001 besarnya rataan ratio produksi domestik terhadap pemenuhan ketersediaan atau kebutuhan pangan nasional cukup baik hingga mencapai 99% (PSE, 2003).