Evaluasi Efektivitas Ekstrak Otak ikan Patin dalam Menginduksi Pemijahan Ikan Lele Sangkuriang, Clarias sp.

EVALUASI EFEKTIVITAS EKSTRAK OTAK IKAN PATIN
DALAM MENGINDUKSI PEMIJAHAN
IKAN LELE SANGKURIANG, Clarias sp.

UJANG SUBHAN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Efektivitas Ekstrak Otak Ikan
Patin dalam Menginduksi Pemijahan Ikan Lele Sangkuriang, Clarias sp., adalah
benar hasil karya yang belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada

Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2011

Ujang Subhan
C151080151

ABSTRACT

Ujang Subhan. Evaluation of the Effectivity of Patin Brain Extract to Induce
Spawning of Sangkuriang Catfish, Clarias sp. Supervised by Muhamad Zairin
Junior, Irzal Effendi and Sukaya Sastrawibawa.
The availability of fish juvenile with high quality and quantity is a key
factor in aquaculture. Important development in fish breeding has been developed.
Patin, Pangasianodon hypopthalmus brain extract has been known to contain
GnRH that could stimulate the pituitary gland to secrete gonadotropin hormone.
The aim of this research is to evaluate the effectivity of Patin brain extract to
induce Sangkuriang catfish, Clarias sp. Spawning. This research showed that the
dose of Patin brain extract with 200 mg/kg of brood catfish was the lowest dose to

give the best result of Sangkuriang catfish, Clarias sp. spawning with the degree
of spawning of 66,66%, spawning latency time of 9,25 ± 1,06 hour, egg diameter
of 1,51± 0,09 mm, spawning fecundity of 11,38 ± 0,87%, fertility rate of 90,63 ±
9,50 and hatching rate of 76,3 ± 6,14%. The degree of spawning had the highest
value (P80
9,13
2,85

Tidak kanibal
90 – 95
Moina sp
Daphnia sp
Tubifex sp

Tidak kanibal
90 – 95
Moina sp
Daphnia sp
Tubifex sp


Sumber : Sunarma (2004)
Perkembangan Ovari pada Ikan Betina
Ovarium ikan merupakan sepasang organ yang memanjang dalam rongga
perut. Rongga-rongga ovarium dikelilingi oleh mesovarium dan project posterior
melalui sepasang oviduct yang terhubung ke genital papila (Mananos et al.,
2009). Dinding ovari tebal (tunica albugenia) yang berisi banyak pembuluh –
pembuluh darah jaringan elastis dan otot licin membentuk lapisan ovigerous
(Lagler, 1977).

Pada lapisan ini oosit mengalami berbagai fase gametogenesis

sampai ova matang (telur) yang dilepaskan ke rongga ovarium atau rongga perut
(misalnya, salmon) pada saat ovulasi dan kemudian ke lingkungan eksternal
selama pemijahan (Mananos et al., 2009)
Menurut Ntiba dan Jaccarini (1990) perkembangan ovarium biasanya
terdiri dari beberapa tingkatan yang didasarkan pada pengamatan makroskopis
dan mikroskopis. Secara mikroskopis, perkembangan telur diamati untuk menilai
perkembangan ovarium, antara lain dengan melihat tebalnya indung telur,

pembuluh darah, inti, butiran minyak, vesikel dan kuning telur. Sedangkan secara

makroskopis, pengamatan ovarium ditentukan dengan mengamati indung telur,
ukuran butir telur, dan volume rongga perut (Sumantadinata, 1990). Ovari pada
ikan terbentuk setelah berumur 60 hari. Selama 2 – 3 bulan berikut ovari hanya
berisi oogonia yang berasal dari se-sel benih primordial (Bromage dan
Cumaratungga, 1988). Sel-sel benih membelah secara mitosis sehingga
menghasilkan oogonia primer dan sekunder. Selanjutnya membentuk populasi sel
oogonia yang dapat muncul menjadi oosit dan segera menjadi telur (Selman dan
Walace,1989).
Perubahan bentuk dari oogonia sekunder menjadi oosit dikenal sebagai
oogenesis. Saat itu terjadi pertumbuhan sitoplasma dan inti sel di dalam oosit.
Selama perubahan itu diiringi pula oleh perubahan folikel (Bromage dan
Cumaratungga, 1988). Selanjutnya pertumbuhan oosit ikan dibagi sebagai berikut:
1. Pertumbuhan primer (Previtellogenesis)
2. Pertumbuhan sekunder (Exogenous vitellogenesis)
3. Pertumbuhan tertier (Maturasi, hidrasi dan ovulasi)
Proses Maturasi
Siklus reproduksi pada ikan betina dibagi ke dalam periode pertumbuhan
oosit (gametogenesis atau vitelogenesis) dan periode maturasi (Mananos et al.,
2009; Mylonas dan Zohar, 2001). Pada kebanyakan spesies non-mamalia, oosit
mencapai ukuran akhir selama vitellogenesis dan memulai tahap pematangan serta

ovulasi bila ada stimulasi hormonal yang mencukupi (Carnevali et al., 2006).
Namun seperti pada kebanyakan vertebrata, oosit ikan teleost yang sudah
mencapai pertumbuhan akhir belum dapat dibuahi dan harus mencapai tahap akhir
penyelesaian pembelahan meiotik dan perubahan struktur oosit. Proses tersebut
meliputi

GVBD

(germinal

vesicle

breakdown),

kondensasi

kromosom,

pembentukan spindel meiotik pertama, pelepasan polar bodi pertama (Nagahama,
1987) dan pembentukan microphyle sebagai saluran masuknya sperma ketika

terjadi fertilisasi (Thomas et al., 2002).
Semua proses tersebut dikendalikan oleh sistem syaraf pusat sebagai
respon terhadap perubahan lingkungan (Carnevali et al., 2006) dengan peran tiga

mediator utama: gonadotropin (GTH), MIH (maturation-inducing hormone) dan
MPF (maturation-promoting factor) (Nagahama, 1987). Sinyal lingkungan yang
ditangkap

sistem

syaraf

direspon

hipothalamus

dengan

mengeluarkan


gonadotropin releasing factor (GnRH) yang menstimulasi pelepasan pituitari
gonadotropin, GtH I atau FSH (follicle stimulating hormone) dan GtH II atau LH
(luteinizing hormone) (Carnevali, et al., 2006). Menurut Suzuki et al. dalam
Yaron (1995), kedua substansi tersebut menstimulasi sekresi estradiol dari folikel
tetapi GtH II lebih potensial menstimulasi sekresi 17,20-P dari folikel
postvitellogenik.
Pengaruh umpan-balik sex steroid digunakan pada tingkat pituitari dan
otak untuk memungkinkan terjadinya integrasi dengan isyarat lingkungan untuk
merangsang terjadinya peningkatan GtH-II preovulatory pada ikan cyprinid (Aida
dalam Peter dan Yu, 1997). Peran utama yang mengatur sekresi GtH-II dari
pituitari adalah GnRH (gonadotropin-releasing hormone), dalam bentuk [Trp7,
Leu8]-GnRH (salmon GnRH atau sGnRH), pGlu-His-Trp-Ser-Tyr-Gly-Leu-ArgPro-Gly-NH2 (mamals GnRH atau mGnRH), [His5, Trp7, Tyr8]-GnRH (chicken
GnRH-II atau cGnRH-II), [His5, Leu7, Asn8]-GnRH (catfish GnRH atau
cfGnRH) dan [Ser8]-GnRH (seabream GnRH atau sbGnRH) (Peter dan Yu,
1997).
Steroid penginduksi maturasi tidak beraksi sebagai steroid tipikal melalui
reseptor intraseluler melainkan mengikat reseptor permukaan sel (Carnevali et al.,
2006). Pengikatan MIH pada reseptor membrannya diikuti oleh pembentukan
MPF pada ooplasma dimana memediasi aksinya pada proses meiotik (Yaron,
1995). Secara hormonal, akhir proses vitellogenesis berpuncak pada pembentukan

17a-hydroxyprogesteron yang terjadi pada sel theca, dimana steroid ini berdifusi
ke dalam sel granulosa dan dikonversi menjadi 17a,20b-dihydroxy-4-pregnen-3one yang merupakan hormon penginduksi maturasi (MIH) pada kebanyakan
spesies ikan (Nagahama, 1987). Pada Atlantic croacker dan Sotted sea trout
(Trant dan Thoman, 1989), Striped bass (King et al., 1995), Toadfish (Modesto
dan Canario, 1995), Gillhead sea bream (Canario et al., 1995) dan Turbot
(Muginier et al., 1995) MIH diperankan oleh 17a,20b,21-trihydroxy-4-pregnen-3one (Yaron, 1995; Peter dan Yu, 1997).

Walaupun secara umum MIH dipertimbangkan sebagai subtansi mediator
penting dan mencukupi untuk proses penerusan meiotik, beberapa substansi lain
juga dapat memediasi dan turut mengatur proses ini. Beberapa substansi tersebut
antara lain: insulin-like growth factor (IGF), activin, epidermal growth factor
(EGF), transforming growth factor a (TGFa) dan oestrogen sintesis. Pada folikel
ovari red seabream, IGF I merupakan penginduksi kuat kemampuan maturasi
(Kagawa dalam Patino dan Sullivan, 2002) dan merangsang aktifitas reseptor
MIH pada membran oosit yang sejalan dengan peningkatan kemampuan maturasi
pada spotted seatrout (Thomas et al., 2002). Activin A, activin B, EGF dan TGFa
merangsang kemampuan maturasi oosit pada folikel ovari ikan zebra, sedangkan
co-treatment substansi tersebut dengan follistatin, yang merupakan protein
pengikat activin, dapat menekan pengaruh activin juga gonadotropin pada
kemampuan induksi maturasi (Pang dan Ge dalam Patino dan Sulivan, 2002).

Selama periode maturasi akhir oosit, pada sitoplasma terjadi perubahanperubahan penting untuk proses fertilisasi dan perkembangan embrio. Proteolisis
kedua terjadi selama penerusan meiotik yang serentak dengan hidrasi pada oosit
dengan tingkat yang luar biasa pada beberapa ikan laut dan perairan payau (Patino
dan Sullivan, 2002). Selama proses hidrasi, terjadi peningkatan volume oosit dan
kandungan air dari 50-70% pada oosit menjadi 90% pada telur (Thorsen et al
dalam Carnevali et al., 2006). Asam amino bebas yang berasal dari lipovitellin,
phosvitin dan komponen-b’ nampaknya berperan sebagai efektor osmotik yang
mengatur hidrasi oosit dan membentuk pool nutrisi yang dapat berdifusi untuk
mendukung perkembangan awal embrio (Patino dan Sullivan, 2002). Proteolisis
telur selama maturasi oosit juga berhubungan dengan aktifasi enzim lisosom,
diantaranya enzim cathepsin B, D dan L (Carnevali et al., 2006).
Proses Ovulasi
Mananos et al. (2009) mengemukakan bahwa ovulasi merupakan
kelanjutan dari proses perkembangan oosit (gametogenesis atau vitelogenesis) dan
pematangan oosit (maturasi) dalam siklus reproduksi ikan (Gambar 2). Pada
kebanyakan ikan teleost, ovulasi dihubungkan dengan peningkatan sekresi GtH-II
yang merangsang ovulasi sejumlah besar oosit (Peter dan Yu, 1997).

Gambar 2. Proses perkembangan oosit dan maturasi serta ovulasi
pada ikan betina (Mananos et al., 2009)

Pada ikan maskoki, perubahan tingkat serum GtH-II berkorelasi dengan
konsentrasi GnRH pada area otak pituitari selama periode preovulatori (Peter dan
Yu, 1997). Injeksi in vivo pituitari homogen meningkatkan sensitifitas folikel
ovari ikan mas terhadap progestin maturasi yang dikenal sebagai MIH (Jalalabert,
et al. dalam Patino et al., 2003). Injeksi gonadothropin (HCG, 100 IU/ikan) dapat
menghasilkan rangsangan terhadap alur progestin dengan adanya peningkatan
yang signifikan pada progesteron, 17-hydroxyprogesteron dan 17a,20bdihydroxy-4-pregnen-3-one bersamaan dengan terjadinya proses ovulasi pada ikan
lele, Heteropneustes fossilis (Mishra dan Joy, 2006).
Pada proses penerusan meiotik, ovulasi diperlukan aktifasi transkripsi
MIH-dependent yang diatur oleh inti reseptor MIH (Patino dan Sullivan, 2002).
Walaupun penerusan meiotik dapat diinduksi oleh beragam rangsangan dengan
alur transduksi yang berbeda, induksi ovulasi lebih spesifik dan secara umum
terbatas pada rangsangan peningkatan aktifitas protein kinase C (PKC) dan
metabolisme asam amino. Sebagai contoh, IGF-I dapat merangsang terjadinya

kemampuan maturasi dan penerusan meiotik tetapi tidak dapat merangsang
ovulasi pada folikel ovari ikan red seabream (Patino dan Sullivan, 2002).
Menurut Patino et al. (2003) MIH dapat berperan langsung merangsang
ovulasi atau secara tidak langsung dengan merangsang faktor dari pituitari
bertanggung jawab untuk menginduksi kemampuan folikel ovari untuk ovulasi.

Peran tidak langsung MIH ditunjukkan pada percobaan Goetz et al. (1983).
Peningkatan poduksi prostaglandin F2a (PGF) yang dapat menginduksi ovulasi
pada oosit matang pada ikan, terjadi pada inkubasi folikel ovari ikan yellow perch
ketika diekspose pada MIH, 17a,20b-dihydroxy-4-pregnen-3-one (Goetz et al.,
1983).
Ovulasi berhubungan dengan adanya kerusakan pada germinal folikel
(GVBD) dan pemecahan serta pelepasan oosit yang sudah matang (Patino dan
Sullivan, 2002). Selain peran MIH, gonadothrophin dan 2-hydroxyoestradiol juga
dilaporkan dapat merangsang kemampuan ovulasi secara langsung. Inkubasi in
vitro fragmen ovari ikan Atlantic croacker pada medium 5 IU hCG tanpa
dilanjutkan dengan inkubasi pada MIH dapat tetap merangsang kemampuan
pematangan oosit dan ovulasi (Patino et al., 2003). Pada inkubasi in vitro folikel
utuh ikan lele pada medium 5 mM 2-hydroxyoestradiol dapat merangsang sintesis
17a,20b-dihydroxy-4-pregnen-3-one dan menghasilkan pengaruh signifikan pada
GVBD (Mishra dan Joy, 2006).
Menurut Mananos et al. (2009) ovum yang akan ovulasi dapat tetap berada
dalam ovarium atau rongga perut untuk periode waktu sebelum pemijahan. Ovum
mempunyai kemampuan untuk mempertahankan kematangan selama beberapa
waktu, tetapi apabila tidak terjadi pemijahan maka ovum mengalami “ over-ripe”
(terlalu matang) melalui proses degenerasi. Hal ini merupakan pertimbangan
penting dalam melakukan stripping telur dan inseminasi buatan, karena striping
harus dilakukan sebelum over-ripe terjadi. Pada kondisi tertentu kegagalan dalam
melakukan striping akan menyebabkan kematian induk. Selang waktu antara
ovulasi dan over-ripe sangat bervariasi di antara ikan, mulai dari hitungan menit
(misalnya, striped bass, morone ) sampai hari (misalnya, salmon) dan sangat
tergantung pada suhu air. Pada Clarias macrocephalus selang waktu antara
ovulasi dan over-ripe adalah 10 jam (Mollah dan Tan, 1983).

Otak dan Pengaturan Hormon Reproduksi
Otak merupakan organ yang sangat penting dalam sistem reproduksi,
karena otak berperan sebagai salah satu organ tempat hormon mengalir dalam
mengatur siklus reproduksi dalam sumbu brain-pituitari gonad (BPG) atau yang
disebut titik pangkal reproduksi (Gambar 3).

Gambar 3. Otak dan hormon yang dihasilkan dalam
pengaturan reproduksi (Mananos et al., 2009).
Pada sumbu ini, hypophyisis gonadotropin (GTHs), follicle-stimulating
hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) berperan utama dalam mengontrol
endokrin reproduksi.

Sekresi dari dua GTHs dikendalikan oleh otak melalui

rangsangan gonadotropin releasing hormone (GnRH) (Mananos et al., 2009).
Neuropeptide ini merupakan sistem primer yang mengatur reproduksi, bertindak
sebagai integrator informasi eksternal (misalnya, lingkungan) dan mengirim
neuroendokrin untuk mengatur sumbu reproduksi (Mananos et al. dan Bernier et
al., 2009). Dalam sumbu ini GnRH bekerja langsung pada kelenjar pituitari untuk
merangsang FSH dan Sekresi LH yang dilepaskan ke dalam aliran darah untuk
bekerja pada gonad, di mana mereka merangsang sintesis hormon steroid gonad,
yang merupakan faktor utama perkembangan gonad (Bromage dan Robert, 1995;
Amano, 1997; Bosma et al., 1997; Sherwood dan Adam, 2005; Chen dan Fernald,
2008; Mikolajczyk et al., 2008; Mananos et al. dan Bernier et al., 2009). GtH
berperan dalam dalam proses perkembangan gonad termasuk pertumbuhan oosit
dan maturasi, ovulasi dan pemijahan (Bromage dan Robert, 1995). Selanjutnya

Mananos et al. (2009) mengemukakan bahwa GtH terdiri dari follicle stimulating
hormon (FSH/GtH I) dan luteinizing hormon (LH/GtH II) untuk mengontrol
proses gametogenesis dan produksi sex steroid (Gambar 4).

Gambar 4. Hormon dan perubahan gonad dalam siklus
reproduksi ikan (Mananos et al., 2009)
GnRH tersusun atas 10 asam amino (Chen dan Fernald, 2008; White dan
Colleagues dalam Bernier, 2009) yang pertama kali ditemukan di dalam otak
mamalia dan awalnya bernama Luteinizing Hormon-Releasing Hormon (LHRH),
karena berfungsi melepas LH (Matuso et al. dan Burgus et al. dalam Cabrita et
al., 2009). Itu juga yang kemudian dinamai mamalia GnRH (mGnRH), nama yang
lebih tepat rangsangan pada sekresi FSH dan LH ( Cabrita et al, 2009). Bentuk
GnRH lainnya telah diisolasi dan dikarakterisasi dari otak spesies lain, dan sampai
sekarang ada 24 bentuk GnRH (Kah et al., 2007)(Tabel 2).

Tabel 2. Struktur asam amino dari 24 bentuk GnRH pada kelompok vertebrata
yang berbeda.
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

pGlu

His

Trp

Ser

Tyr

Gly

Leu

Arg

Pro

Gly-NH2

Guenia pig (pg GnRH)

-

Tyr

-

-

-

-

Val

-

-

Chicken-1 (cGnRH-1

-

-

-

-

-

-

Gln

-

-

Vertebrates
Mammalian (mGnRH)

Chicken-II (cGnRH-II

-

-

-

-

His

-

Trp

Tyr

-

-

Frog (fgGnRH)

-

-

-

-

-

-

-

Trp

-

-

Salmon (sGnRH)

-

-

-

-

-

-

Trp

Leu

-

-

Catfish (cfGnRH)

-

-

-

-

His

-

-

Asn

-

-

Seabream (sbGnRH)

-

-

-

-

-

-

-

Ser

-

-

Herring (hgGnRH)

-

-

-

-

His

-

-

Ser

-

-

Medaka (mdGnRH)

-

-

-

-

Phe

-

-

Ser

-

-

Whitefish (whGnRH)

-

-

-

-

-

-

Met

Am

-

-

Dogfish (dfGnRH)

-

-

-

-

His

-

Trp

Leu

-

-

Lamprey I (lGnRH-I)

-

-

-

-

His

-

Trp

Leu

-

-

Lamprey-III (lGnRH-III

-

-

Tyr

-

Leu

Glu

Trp

Lys

-

-

Tunicate I (tGnRH-I)

-

-

-

-

Asp

Tyr

Phe

Lys

-

-

Tunicate II

-

-

-

-

Leu

Cys

His

Ala

-

-

Tunicate III

-

-

-

-

-

Glu

Phe

Met

-

Tunicate IV

-

-

-

-

Asn

Gln

-

Thr

-

-

Tunicate V

-

-

-

-

-

Glu

Tyr

Ser

-

-

TunicateVI

-

-

-

-

Lys

-

Tyr

Ser

-

-

Tunicate VII

-

-

-

-

-

Ala

-

Ala

-

-

Tunicate VIII

-

-

-

-

Leu

Ala

-

Ala

-

-

Tunicate IX

-

-

-

-

Asn

Lys

-

Ala

-

-

Octopus GnRH (Asn, Tyr)

-

-

Phe

-

Asn

-

Trp

His

-

-

Invertebrates

Keterangan : mGnRH digunakan sebagai acuan. GnRH Gurita adalah satu-satunya varian dengan
12 asam amino, Asn-Tyr penyisipan di ujung N. Medaka GnRH (mdGnRH) juga
dikenal sebagai pejerrey GnRH (pjGnRH) (Mananos et al., 2009)

Dari jumlah bentuk GnRH tersebut, 14 ditemukan pada vertebrata, 9 pada
tunica (Adams et al, 2002) dan satu dalam cephalopod (Iwakoshi, 2002) Semua
GnRHs

adalah

decapeptides

kecuali

GnRH

gurita

yang

merupakan

dodecapeptide, ada sedikit variasi dalam sekuen asam amino (Sherwood dan
Adam, 2005; Mananos et al., 2009). Setiap GnRH baru telah diidentifikasi nama
spesies yang pertama ditemukan
Berdasarkan analisis filogenetik preproGnRH menunjukkan bahwa
GnRHs dapat

diklasifikasikan kedalam empat

kelompok: GnRH1, GnRH2,

GnRH3 dan GnRH4 ( Lethimonier et al., 2004; Sherwood dan Adam, 2005; Tello
et al., 2008). Ikan teleost mengandung tiga kelompok pertama, sementara lamprey

-

terwakili didalam kelompok keempat (Mananos et al., 2009).

Selanjutnya

Mananos et al. (2009) mengatakan bahwa urutan asam amino pada bentuk
GnRH2 dan GnRH3 bersifat tetap, sedangkan struktur GnRH1 bervariasi dari
seluruh spesies vertebrata. Semua vertebrata memiliki dua atau tiga bentuk yang
berbeda GnRH. Mungkin tidak mengherankan bahwa GnRH memiliki bentuk
distribusi yang berbeda di dalam otak dan pituitari dari ikan (Lethimonier et al.,
2004). GnRH1 dan GnRH3 terletak pada bagian ventral forebrain, sedangkan
GnRH2 pada midbrain.
Amano et al. (1994) dalam Amano et al. (1997) kandungan GnRH setiap
bagian otak ikan berbeda, pada bagian optic tektum dan dorsal thalamus pada ikan
salmon betina mempunyai kandungan sGnRH yang lebih tinggi dibandingkan
dengan cGnRH (Gambar 4).

Gambar 5. Kandungan sGnRH dan cGnRH-II pada setiap bagian otak ikan Masu
salmon betina. Pada skema diagram bagian otak masu salmon menunjukkan
perbedaan kandungan GnRH. a, olfactory bulbs; b, telencephalon
termasuk POA; c, medio-basal hypothalamus; d, optic tectum-thalamus and
dorsal hypothalamus; e, cerebellum; f, medulla oblongata; g, pituitari.
(Amano et al., 1994)
Secara umum GnRH diperlukan untuk proses reproduksi, akan tetapi
GnRHs berperan juga dalam neuromodulatory (Kah et al., 2007). GnRH1
berfungsi untuk mengatur reproduksi melalui pelepasan gonadotropin (Amano,
2004), growth hormon pada kelenjar pituitari (Marchant et al. dalam Chen dan
Fernald, 2008) dan juga mengatur prolactin (Weber et al., 1997) dan somatolactin
(Kakizawa et al., 1997).

GnRH-2 tidak memiliki peran langsung dalam

pengendalian sekresi GTH pada hipofisis, akan tetapi dari beberapa studi telah
menunjukkan bahwa cGnRH mampu merangsang LH release dari hipofisis
(Chang et al., 2009). Selain itu, GnRH2 yang diwakili oleh cGnRH atau cGnRHII berperan dalam memainkan perilaku reproduksi dan mengendalikan nafsu
makan dan metabolisme (Kah et al., 2007). Pada GnRH3 merupakan sistem yang
unik pada ikan dan mengkode untuk satu peptid yaitu salmon GnRH (sGnRH)
(Bernier, 2009). Fungsi GnRH3 pada terminal syaraf, meskipun belum jelas tetapi
diduga berperan dalam perilaku reproduksi (Ogawa et al., 2006).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari April 2010 sampai Januari 2011, di
Laboratorium Pembenihan Ikan Ciparanje dan Laboratorium Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Padjadjaran, Jatinangor - Sumedang.
Bahan
Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk ikan lele
Sangkuriang (Parent Stock) berasal dari Balai Pengembangan Budidaya Air
Tawar Subang milik pemerintah Propinsi Jawa Barat. Bobot induk ikan lele betina
berkisar 650 – 1000 g atau rata-rata 769 ,88 ± 62,17 g dan panjang 41 – 53 atau
rata-rata 46,25 ± 1,69 cm, sedangkan induk ikan lele jantan berkisar 650 – 1100 g
atau rata-rata 802,083 ± 129,63g dan panjang 46 – 58,5 atau rata-rata 52,15 ± 3,74
cm. Jumlah induk yang dipelihara terdiri atas 140 ekor betina dan 60 ekor jantan.
Induk ikan lele Sangkuriang dipelihara untuk proses pematangan gonad di Kolam
Pembenihan Ikan Ciparanje, FPIK, Unpad. Induk ikan lele ditempatkan di kolam
beton ukuran 2x2,5x1m dengan kepadatan 5 kg/m2 selama 60 hari dan diberi
pakan pelet dengan kadar protein sekitar 28 – 30%. Pemberian pakan dilakukan
dua kali sehari, yaitu pada pukul 08.00 WIB dan 15.00 WIB sebanyak 2% dari
bobot tubuh.
Bahan hormon yang digunakan dalam penelitian ini adalah otak ikan patin
siam, Pangasianodon hypopthalmus dengan berat 560 – 900 mg. Ikan patin siam
yang digunakan berukuran 500 – 2000 g atau rata-rata1225 ± 410,61g dan
panjang berkisar 35 – 58 atau rata-rata 46,28 ± 5,42 cm. Jumlah ikan patin siam
yang digunakan sebanyak 40 ekor berasal dari pembudidaya di daerah Saguling
Kab. Bandung Barat.

Otak ikan patin dibagi kedalam dua kelompok yaitu

kelompok otak patin yang telah dipisahkan setiap bagiannya dan otak yang utuh,
selanjutnya ditimbang sesuai dengan dosis perlakuan. Otak digerus pada gelas
penggerus dan ditambahi larutan NaCl fisiologis 0,9%. Campuran tersebut diaduk
merata dan disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Bagian

supernatan dari larutan diambil untuk disuntikkan pada induk betina ikan lele
Sangkuriang.
Metode
Seleksi induk
Jumlah total induk betina ikan lele Sangkuriang yang diseleksi selama
penelitian adalah 83 ekor dari 140 ekor. Kegiatan seleksi induk terbagi dalam
5 kali kegiatan penelitian, yaitu pada bulan Juli 2010 sampai bulan Januari 2011.
Jumlah dan ukuran induk ikan yang digunakan selama penelitian bervariasi, tetapi
kematangan gonad ikan relatif sama (Tabel 3, Tabel 4 dan Lampiran 1).
Tabel 3. Jumlah dan ukuran induk betina ikan lele Sangkuriang betina yang
digunakan dalam penelitian
Waktu
Penelitian
Juli

Jumlah Induk
Bobot (g)
(ekor)
15
650 ± 00

Panjang (cm)
41- 43 ± 0,60

Agustus

20

757,5 ± 49,44

45,05 ± 1,57

September

15

723,33 ± 75,28

46,93 ± 3,97

Oktober

12

745,23 ± 83,82

44,33 ± 1,61

Januari

21

840,47