Prediction of the Onset of Rainy Seasons in South Sulawesi Province Using Sea Surface Temperature Anomaly Data.

i

PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI PROVINSI
SULAWESI SELATAN MENGGUNAKAN DATA
ANOMALI SUHU MUKA LAUT

ALIMATUL RAHIM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prediksi Awal Musim Hujan Di
Provinsi Sulawesi Selatan Menggunakan Data Anomali Suhu Muka Lautadalah
karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir
tesis ini
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dan karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013

Alimatul Rahim
NIM G251090011

iv

RINGKASAN
ALIMATUL RAHIM. Prediksi Awal Musim Hujan di Provinsi Sulawesi
Selatan Menggunakan Data Anomali Suhu Muka Laut.Dibimbing Oleh RINI
HIDAYATI dan AKHMAD FAQIH.
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi padi
nasional dengan menyumbangkan 7% dari total produksi padi nasional.
Peningkatan produksi padi sangat tergantung pada ketersediaan air. Sering kali
kebutuhan air selalu dikaitkan dengan kejadian awal musim hujan, karena apabila

kejadian awal musim hujan maju atau mundur maka akan mempengaruhi
ketersediaan air dan jadwal tanam. Terkait dengan hal tersebut, untuk mengurangi
kerugian petani dan menjaga tingkat stabilitas pangan di Indonesia, maka dicari
suatu cara atau metode yang akurat dalam memprediksi awal musim hujan.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara AMH Sulawesi
Selatan dengan AnoSML kawasan Pasifik dan Perairan Sulawesi, menentukan
domain prediktor SML yang mempengaruhi awal musim hujan di wilayah
Sulawesi Selatan dan menyusun model prediksi awal musim hujan di wilayah
Sulawesi Selatan berdasarkan data anomali suhu muka laut di Kawasan Pasifik
dan Perairan Sulawesi.
Penelitian dilakukan menggunakan data curah hujan harian observasi selama
30 tahun (1980-2010) di Provinsi Sulawesi Selatan yang bersumber dari
stasiun/pos hujan, data anomali suhu muka laut (AnoSML) pada empat domain,
yaitu : SML kawasan Nino 3, kawasan Nino 3.4, kawasan Nino 4 dan perairan
Sulawesi. Analisis data dilakukan secara bertahap yaitu dimulai dengan
pemeriksaan data hujan harian observasi dan pemilihan stasiun/pos hujan yang
akan digunakan dalam penyusunan model prediksi awal musim. Kemudian
penentuan awal musim hujan dilakukan dengan menyusun data hujan harian
menjadi data lima harian (pentad) dengan mentode Moron (2008). Hasil
perhitungan awal musim hujan dilanjutkan dengan analisis PCA dimana PC yang

dihasilkan digunakan untuk membuat analisis cluster (kelompok) stasiun hujan.
Data AnoSML pada 4 domain yang digunakan adalah data bulan AnoSML pada
bulan Juni, Juli, Agustus dan September selama 30 tahun yang digunakan untuk
menyusun analisis korelasi antara awal musim hujan pada masing-masing cluster
terhadap data AnoSML. Tahap selanjutnya adalah penyusunan model regresi
antara awal musim hujan pada tiap cluster dan anomali suhu muka laut, serta
verifikasi model regresi yang telah diperoleh.
Berdasarkan hasil pemeriksaan data hujan harian observasi dengan
ketersediaan data >70%, diperoleh 45 stasiun terpilih untuk digunakan pada
analisis berikutnya dari total 208 stasiun yang terdapat pada lokasi penelitian.
Hasil perhitungan AMH menunjukkan bahwa pada setiap stasiun/pos hujan
mempunyai AMH yang beragam. Rata-rata AMH untuk seluruh stasiun/pos hujan
jatuh pada Julian Date (JD) ke-348 atau sekitar tanggal 14 Desember. Stasiun/pos
hujan yang memiliki nilai JD yang paling tinggi yaitu awal datang musim hujan
jatuh pada tahun berikutnya dari awal perhitungan AMH (1 Agustus) adalah
Stasiun BPP.Panincong (PNCG) Kabupaten Soppeng dengan nilai JD ke-473 atau
tanggal 18 April, sedangkan stasiun/pos hujan yang memiliki nilai JD yang paling
kecil adalah stasiun BPP.Keera (KERA) Kabupaten Wajo dengan nilai JD ke-278

v


atau tanggal 5 Oktober. Hasil analisis komponen utama terhadap nilai AMH
diperoleh 6 (enam) komponen utama (PC) yang menjelaskan keragaman data ±
80%. Berdasarkan hasil pengelompokan PC menggunakan analisis cluster, di
wilayah penelitian diperoleh tiga cluster (kelompok) stasiun/pos hujan. Pada
Cluster 1 terdapat 13 stasiun/pos hujan yang tersebar pada 9 (sembilan) kabupaten
yaitu Kabupaten Bantaeng, Bulukumba, Enrekang, Gowa, Luwu, Maros, Pinrang,
Soppeng dan Wajo. Pada Cluster 2 terdapat 10 stasiun/pos hujan yang tersebar di
Kabupaten Barru, Bulukumba, Enrekang, Gowa, Luwu, Makassar, Maros,
Soppeng, Takalar dan Wajo. Pada Cluster 3 terdiri dari 12 stasiun/pos hujan yang
tersebar di Kabupaten Bulukumba, Jeneponto, Gowa, Luwu, Maros, Pangkep,
Pinrang, Soppeng, Takalar.
Nilai rata-rata AMH pada tiap cluster di Sulawesi Selatan memiliki nilai
yang berbeda. Pada cluster 1 nilai rata-rata kejadian AMH jatuh pada JD ke-344
(10 Desember) dengan nilai simpangan baku yang diperoleh sebesar 30. Pada
Cluster 2, nilai rata-rata AMH jatuh pada JD ke-318 (14 November) dengan nilai
simpangan baku yang diperoleh lebih kecil dari nilai simpangan baku pada
Cluster 1 yaitu sebesar 16. Pada Cluster 3, nilai simpangan baku yang diperoleh
cukup bagus jika dibandingkan dengan nilai simpangan baku yang diperoleh dari
Cluster 1 dan Cluster 2. Pada Cluster 3 diperoleh nilai simpangan baku sebesar 7

dengan nilai rata-rata AMH jatuh pada JD ke-403 (7 Februari).
Kejadian AMH di Sulawesi Selatan sangat dipengaruhi oleh kejadian ElNino dan La-Nina. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa pada tahun-tahun El-Nino
(1982, 1991 dan 1997), kejadian AMH mundur ditahun berikutnya (cluster 1 dan
3), sedangkan pada tahun-tahun La-Nina (1988, 1996 dan 1998) kejadian AMH
maju dari normalnya (cluster 1 dan 2).
Distribusi spasial korelasi pada Cluster 1 dan 2 menunjukkan adanya
hubungan korelasi nyata pada selang kepercayaan 95% antara AMH wilayah
Sulawesi Selatan dengan AnoSML bulan Juni, Juli Agustus dan September (JJAS)
kawasan Pasifik dan wilayah perairan Sulawesi. Pada Cluster 3, tidak terdapat
korelasi nyata pada semua wilayah domain penelitian.
Domain prediktor kawasan Pasifik (grid dengan koordinat: 148oBB, 12oLS)
memiliki pengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap kejadian AMH
wilayah Sulawesi Selatan dibandingkan dengan domain yang lain. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,82.Domain wilayah Perairan
Sulawesi yang memiliki pengaruh terhadap AMH di wilayah Sulawesi Selatan.
Pernyataan ini dikuatkan dengan grid yang mempengaruhi AMH di Cluster 1 dan
3, yaitu grid 128oBT, 2oLU dan 126oBT, 2oLU koordinat merupakan wilayah
Perairan Sulawesi. Walaupun demikian, AMH tiap cluster di wilayah Sulawesi
Selatan memiliki tingkat hubungan dan sensifitas yang berbeda-beda terhadap
AnoSML kawasan Pasifik dan perairan Sulawesi.

Berdasarkan verifikasi hasil model prediksi dari tahun 2006, 2007, 2008,
dan 2009 pada setiap Cluster diperoleh bahwa nilai RMSE yang paling kecil
terdapat pada Cluster 3 dengan nilai RMSE sebesar 3, sedangkan nilai RMSE
pada Cluster 1 dan Cluster 2 diperoleh nilai RMSE secara berturut sebesar 16 dan
29. Hal ini menunjukkan bahwa pada Cluster 3 memiliki ketepatan prediksi
AMH lebih baik dibandingkan dengan Cluster 1 dan Cluster 2.

SUMMARY
ALIMATUL RAHIM. Prediction of the Onset of Rainy Seasons in South
Sulawesi Province Using Sea Surface Temperature Anomaly Data. Under
supervision of RINI HIDAYATI and AKHMAD FAQIH.
The Province of South Sulawesi is one of the centers for national paddy
production with 7% contribution from total paddy production in national level.
The increasing of paddy production depends on the water availability. Moreover,
the water availability is always associated with the onset of rainy seasons, because
if an area has the forward or backward of onset of rainy season, it will influence
the water availability and crop calendar. In order to onset of rainy seasons, to
reduce the farmer’s loss and to protect the food stability level in Indonesia, it
needs to identified the areas which have the sensitivity for the onset of rainy
season’s variability to climate control factors like ENSO and IOD. This research

has been conducted to study the correlation between onset of rainy seasons
(AMH) in South Sulawesi and sea surface temperature anomaly (AnoSML) in
Pacific Ocean and Sulawesi Sea, to determine the domain of sea surface
temperature predictor which has influence the onset of rainy seasons in South
Sulawesi and to develop the onset of rainy season model prediction in South
Sulawesi based on the sea surface temperature anomaly in Pacific Ocean and
Sulawesi Sea.
This research has been conducted using daily rainfall data during 30 years
(1980-2010) from rainfall stations in South Sulawesi, sea surface temperature
anomaly data for 4 domains i.e. Nino 3 region, Nino 3.4, Nino 4 and Sulawesi Sea
on June, July, August and September (JJAS) during 30 years. The first analysis of
data was conducted with the examination of observation daily rainfall data and
selection of rainfall stations which are used for the development of the rainy
season onset prediction model. Further analysis was conducted to determine the
onset of rainy seasons using Moron’s method (five days of daily rainfall
data/pentad analysis). The result of pentad analysis was used to calculate Principle
Component Analysis (PCA) which was used to determine the cluster of rainfall
stations. The correlation analysis was then calculated between the onset rainy
seasons on each cluster and AnoSML data on JJAS. The last analysis was
conducted for development of onset rainfall season model prediction and

verification of the model.
Based on the checking of observation daily rainfall data with the data
availability >70%, there were 45 chosen stations for onset of the rainy season
analysis. The result of AMH analysis showed that the average of AMH for whole
stations was on the 348th Julian Date (JD) or on 14th December. The highest AMH
was obtained at Stasiun BPP. Panincong (PNCG) in Soppeng District with 473th
Julian Date or on 18th April. Otherwise, the lowest AMH was obtained at Stasiun
BPP. Keera (KERA) in Wajo District with 278th Julian date or on 5th October. The
result of PCA analysis showed that there were six PCs which were explained
variability of data ± 80%. Based on the PC clustering, there were 3 clusters of
rainfall stations. Cluster 1 has 13 rainfall stations which are spread in 9 districts
i.e. Bantaeng District, Bulukumba, Enrekang, Gowa, Luwu, Maros, Pinrang,
Soppeng and Wajo District. On Cluster 2, there are 10 rainfall stations which are

spread in Barru District, Bulukumba, Enrekang, Gowa, Luwu, Makassar, Maros,
Soppeng, Takalar and Wajo District. On Cluster 3, there are 12 rainfall stations in
Bulukumba District, Jeneponto, Gowa, Luwu, Maros, Pangkep, Pinrang, Soppeng,
Takalar.
The average of AMH at each cluster in South Sulawesi has different value.
On cluster 1, the average of AMH is on 344th Julian Date (JD) or on 10 December

with the standard deviation is 30. On Cluster 2, the average of AMH is on 318th
JD or on 14 November with standard deviation value is smaller than in Cluster 1
(standard deviation=16). On Cluster 3, the standard deviation value is the higher
than Cluster 1 and Cluster 2. This result showed that Cluster 3 has a high
sensitivity to ENSO events.
The spatial distribution of correlation on Cluster 1 and 2 showed the
significant correlation at 95% confidence level between AMH in South Sulawesi
and AnoSML in Pacific Ocean and Sulawesi Sea on June, July, August and
September (JJAS). On Cluster 3, the significant correlation only found on June
which is concentrated on East Indonesia, whereas there was no significant
correlation with Pacific Ocean and Sulawesi Sea on July, August and September.
The domain predictor in Pacific Ocean (coordinate: 148oW, 12oS) has more
significant influence at 95% confidence level to AMH in South Sulawesi than
other domains. This result was showed with the highest correlation value (0.82).
The domain of Sulawesi Sea has the influence to AMH in South Sulawesi. This
statement is strengthened by grid which has influence AMH on Cluster 2 and 3
i.e. grid 28oBT, 2oLU and 126oBT, 2oLU (grid of Sulawesi Sea). Moreover, AMH
on each cluster in South Sulawesi has different correlation level and sensitivity to
AnoSML in Pacific Ocean and Sulawesi Sea.
Based on the verification of onset prediction model using four years data

(2006, 2007, 2008, and 2009) on each cluster, the result showed that the smallest
error (RMSE) found on the Cluster 3 with RMSE=3, while RMSE for Cluster 1
and Cluster 2 respectively is 16 and 29. This showed that linear regression model
is good enough to used for predict the AMH on Cluster 3 which has a small
standard deviation.

Keywords: Onset of the Rainy Seasons, AnoSML, PCA, Cluster, RMSE

vi

@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian,penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
peninjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB


vii

PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI PROVINSI
SULAWESI SELATAN MENGGUNAKAN
DATA ANOMALI SUHU MUKA LAUT

ALIMATUL RAHIM

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Rahmat Hidayat, SSi MSc

xi

PRAKATA
Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas rahmat dan hidayah-Nya, penyusunan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Ucapan terima kasih yang sangat besar penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Rini
Hidayati, MS., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr.Akhmad Faqih,
S.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang banyak memberikan arahan,
bimbingan, dan berbagai masukan dalam penyusunan, pengolahan serta hasil dari
penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada
orang tua tercinta H. La Ipandja dan Hj. Wa Djamria, Kakak dan Adik-adikku
serta semua keluarga yang senantiasa mendoakan, memberikan dorongan dan
semangat kepada penulis, Istri tersayang; Mamenun atas cinta, kasih sayang, dan
semangat yang sangat luar biasa besar kepada penulis, staf dan rekan – rekan
program pasca sarjana Klimatologi Terapan – IPB
Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Sains pada program studi Klimatologi Terapan, Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.Judul yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Prediksi Awal
Musim Hujan di Provinsi Sulawesi Selatan Menggunakan Data Anomali Suhu
Permukaan Laut.Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan bagi para
pemangku kepentingan di Provinsi Sulawesi Selatan terutama kepada para petani
dalam menentukan awal musim hujan.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna sehingga
masih membutuhkan untuk tambahan masukan, saran, kritik maupun perbaikan
yang membangun sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
oleh orang lain dan masyarakat umum. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
untuk khalayak luas.

Bogor, Juni 2013

Alimatul Rahim

xii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv 
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv 
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi 
1.  PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 
Latar Belakang



Tujuan Penelitian



Luaran Penelitian



Manfaat Penelitian



2.  TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3 
Keragaman Iklim Indonesia



Pengaruh Sirkulasi Atmosfer Meridional



Pengaruh Sirkulasi Atmosfer Zonal



El Nino Southern Oscillation Index (ENSO)



Dipole Mode (DM)



Pengaruh Suhu Muka Laut (SML)



Definisi Awal Musim Hujan (AMH)



Aplikasi dan Perkembangan Model Prediksi AMH



Kondisi Lokasi Penelitian

10 

3.  METODOLOGI ............................................................................................. 12 
Lokasi

12 

Data dan Alat

12 

Prosedur Pengolahan Data

13 

Pemeriksaan dan Pemilihan Stasiun/Pos Hujan

13 

Penentuan Awal Musim Hujan

14 

Perhitungan Principal Component Analysis (PCA)

14 

Analisis Kelompok (Cluster)

15 

Analisis Korelasi dan Regresi

16 

Pemilihan Model

16 

Verifikasi Model

16 

Penanggalan Julian Date (JD)

17 

4.  HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................... 19 
Pemilihan Stasiun/Pos Hujan

19 

Penentuan Awal Musim Hujan (AMH)

19 

xiii

Analisis Kelompok (Cluster)

20 

Pola AMH Cluster 1

23 

Pola AMH Cluster 2

25 

Pola AMH Cluster 3

25 

Korelasi AMH dengan Anomali SML

26 

Peta Korelasi Cluster 1

28 

Peta Korelasi Cluster 2

29 

Peta Korelasi Cluster 3

31 

Penyusunan Model Prediksi AMH di Sulawesi Selatan

32 

Model prediksi AMH

32 

Pemilihan Model Prediksi AMH Terbaik

33 

Verifikasi Hasil Model Prediksi

34 

5.  SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 37 
Simpulan

37 

Saran

37 

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 38 
LAMPIRAN .......................................................................................................... 41 

xiv

DAFTAR TABEL
4.1

Pengelompokan stasiun/pos hujan berdasarkan hasil analisis
cluster awal musim hujan di Provinsi Sulawesi Selatan

22

Nilai parameter distribusi AMH (simpangan baku dan rata-rata)
pada masing-masing cluster

24

4.3

Grid AnoSML terpilih berdasarkan nilai korelasi nyata

33

4.4

Model prediksi terbaik antara AMH dengan AnoSML

34

4.2

xv

DAFTAR GAMBAR
2.1

(a).Sel Hadley dan (b). Sirkulasi Meridional (Sirkulasi Hadley)

4

2.2

Daerah-daerah Muson

5

2.4

Skema Sirkulasi Walker sepanjang ekuator pada kondisi nonENSO.Suhu muka laut sepanjang barat-timur (zonal) sepanjang
ekuator dapat dilihat pada panel bawah.

6

Pola spasial anomali suhu permukaan laut (SML) dan medan
angin permukaan pada saat Dipole Mode.

7

Tiga wilayah iklim Indonesia berdasarkan hasil Double
Corelation Method (metode korelasi berganda). Wilayah A (garis
tebal) wilayah muson selatan, wilayah B (garis putus-putus-titik)
wilayah semi-muson, wilayah C (garis putus-putus) wilayah anti
muson.

10

Pola puncak musim pada wilayah hujan A. Garis tebal
menunjukkan siklus hujan tahunan, sedangkan garis putus-putus
menunjukkan simpangan baku (standard deviation) di atas dan di
bawah rata-rata.

11

3.1

Sebaran stasiun/pos hujan wilayah Sulawesi Selatan

12

3.2

Wilayah domain penelitian

13

4.1

Peta sebaran stasiun terpilih dengan persentase data >70%.

19

4.2

Rata-rata awal musim hujan pada setiap stasiun/pos hujan.

20

4.3

Hasil analisis cluster kejadian AMH Sulawesi Selatan

21

4.4

Cluster AMH Sulawesi Selatan

23

4.5

Pola AMH Cluster 1

24

4.7

Pola AMH Cluster 3

26

4.8

Hasil rata-rata, maksimun dan minimum AMH Cluster 1

27

4.9

Hasil rata-rata, maksimun dan minimum AMH pada Cluster 2

27

4.10 Hasil rata-rata, maksimun dan minimum AMH pada Cluster 3

27

4.12 Distribusi korelasi nyata AMH dengan AnoSML pada Cluster 2

30

4.13 Distribusi korelasi nyata AMH dengan AnoSML pada Cluster 3

32

4.14 Nilai RMSE dan perbandingan antara kejadian AMH Observasi
dengan AMH Model pada Cluster 1

35

4.15 Nilai RMSE dan perbandingan antara AMH observasi dengan
AMH Model pada Cluster 2.

36

4.16 Nilai RMSE dan perbandingan antara AMH observasi dengan
AMH Model pada Cluster 3

36

2.5
2.6

2.7

DAFTAR LAMPIRAN
1. Penanggalan Julian Date (JD)

41

2. Daftar Stasiun/Pos Hujan di Provinsi Sulawesi Selatan

42

3. Daftar Stasiun/Pos Hujan terpilih yang memiliki ketersediaan data
diatas 70 %

47

4. Awal Musim Hujan (AMH) pada stasiun/pos hujan terpilih

49

5. Hasil komponen utama (PCA) AMH

51

6. Scaree Plot Kelompok Stasiun/Pos Hujan

52

7. Pola curah hujan bulanan dimasing-masing cluster

52

 

1

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Letak geografis Indonesia yang berada di antara Samudera Pasifik dan
Samudera India, dan benua Asia-Australia menyebabkan iklim Indonesia
dipengaruhi oleh kedua benua dan kedua samudera tersebut. Salah satu parameter
hubungan keterkaitan antara atmosfer dengan lautan adalah suhu muka laut yang
berperan besar dalam pembentukan uap air di atmosfer dan pembentukan awan
hingga terjadinya hujan. Penyimpangan nilai suhu muka laut dari nilai normalnya
dapat menjadi salah satu indikator keragaman iklim , khususnya curah hujan di
Indonesia. Keragaman curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh tiga wilayah
Anomali Suhu Muka Laut (AnoSML); yaitu di bagian barat dan timur Samudera
India (Indian Ocean Dipole Mode, IODM), di kawasan Pasifik Tropis bagian
tengah dan timur, dan di perairanIndonesia (Swarinoto et al. 2009).
Penelitian dengan memanfaatkan data AnoSML di Samudera Pasifik dan
pengaruhnya terhadap variabilitas curah hujan telah banyak dilakukan (misal:
Aldrian et al. (2006), Boer (2003), Phillips et al. (1998), dan Chiew et al.
(1998)). Dalam studi-studi tersebut ditunjukkan bahwa kenaikan dan penurunan
suhu muka laut di Samudera Pasifik yang diasosiasikan dengan El Nino dan La
Nina mempunyai korelasi kuat dengan varibilitas curah hujan. Di Indonesia, pada
tahun-tahun El Nino curah hujan akan mengalami penurunan yang cukup drastis
sehingga terjadi kekeringan yang berkepanjangan. Sebaliknya pada tahun-tahun
La Nina, dimana curah hujan berlimpah, sehingga pada tahun-tahun tersebut
terjadi curah hujan yang cukup tinggi.
Kondisi suhu muka laut di wilayah Indonesia merupakan hal yang penting
untuk mengetahui keragaman distribusi hujan. Hubungan ini telah diidentifikasi
dan diselidiki oleh Aldrian and Susanto (2003). Selanjutnya, Aldrian et al. (2004)
melakukan simulasi dengan modeling yang menunjukkan bahwa suhu permukaan
laut di wilayah Indonesia menentukan kegiatan konvektif dan proses penguapan
di seluruh wilayah Indonesia.
Hubungan antara AnoSML Kawasan Pasifik dan AnoSML perairan
Indonesia terhadap penentuan awal musim hujan (AMH) dan panjang musim telah
dianalisis oleh Swarinoto et al. (2009). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
AnoSML Indonesia sangat berperan terhadap maju-mundur awal dan panjang
pendek musim hujan di Provinsi Ambon. Demikian halnya dengan AnoSML Nino
3.4 mempunyai pengaruh nyata terhadap awal musim hujan dan panjang periode
musim hujan di Provinsi Ambon. Di Sulawesi, anomali curah hujan di sejumlah
stasiun mempunyai korelasi nyata terhadap AnoSML Nino 3 pada musim
kemarau dan beberapa stasiun lainnya berkorelasi nyata pada musim hujan.
Umumnya wilayah yang curah hujannya berkorelasi nyata tersebut terletak agak
jauh dari garis khatulistiwa baik di bagian selatan maupun utara ekuator
(Gunawan et al. 2003).
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi tanaman
pangan (padi) khususnya wilayah Indonesia bagian Timur dengan
menyumbangkan 7 % dari total produksi padi nasional (Boer et al. 2011). Tingkat
keberhasilan dan kegagalan panen tiap tahun bergantung pada ketersediaan air..

2

Sering kali kebutuhan air dibidang pertanian selalu dikaitkan dengan kejadian
awal musim hujan, karena apabila kejadian awal musim hujan maju atau mundur
maka akan mempengaruhi ketersediaan air dan jadwal tanam. Hubungan
keterkaitan ini mendorong adanya sistem prediksi iklim sehingga kejadian awal
musim hujan dapat diketahui. Kemajuan sistem prediksi iklim global telah banyak
dikembangkan, namun hasilnya tidak dapat langsung diaplikasikan untuk skala
regional sehingga perlu dikembangkan model prediksi iklim musiman yang
disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Terkait dengan hal tersebut, maka perlu
dicari suatu cara atau metode yang akurat dalam menentukan awal musim hujan
dan kemungkinan hubungannya dengan AnoSML di kawasan Pasifik dan perairan
sekitarnya. Melalui penelitian ini, diharapkan hubungan antara AMH dan
AnoSML dikedua wilayah tersebut dapat diketahui, sehingga kejadian AMH di
wilayah Sulawesi Selatan dapat diprediksi dengan akurat.
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari hubungan antara AMH Sulawesi Selatan dengan AnoSML
kawasan Pasifik dan Perairan Sulawesi.
2. Mengidentifikasi domain prediktor AnoSML yang mempengaruhi awal
musim hujan di wilayah Sulawesi Selatan.
3. Menyusun model prediksi awal musim berdasarkan data AnoSML di sekitar
Kawasan Pasifik dan Perairan Sulawesi.
Luaran Penelitian
Luaran dari penelitian ini adalah: (1) informasi awal musim hujan di
Provinsi Sulawesi Selatan menggunakan kriteria Moron et al. (2008a); dan (2)
model prediksi awal musim hujan di Provinsi Sulawesi Selatan menggunakan data
AnoSML kawasan Pasifik dan perairan Sulawesi.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang awal
musim hujan kepada instansi pemerintah daerah yaitu Dinas Pertanian dan
Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan dan para petani dalam melakukan
perencanaan kegiatan pertanian seperti pola tanam dan pengairan

3

2. TINJAUAN PUSTAKA
Keragaman Iklim Indonesia
Wilayah Indonesia mempunyai letak geografis yang strategis, Indonesia
berada di wilayah khatulistiwa, di antara Benua Asia dan Australia, dan di antara
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Kondisi tersebut, menyebabkan curah
hujan Indonesia memiliki keragaman yang cukup tinggi.Keragaman curah hujan
Indonesia ini dipengaruhi oleh fenomena sirkulasi atmosfer baik global, regional
maupun lokal. Menurut Bayong (2004), sirkulasi atmosfer yang terjadi di
Indonesia terdiri dari tiga sirkulasi, yaitu sirkulasi atmosfer meridional (Sirkulasi
Hadley1) yang ditandai dengan adanya sifat monsunal, sirkulasi atmosfer zonal
(Sirkulasi Walker2) yang antara lain diindikasikan oleh fenomena El Nino
Southern Oscilation (ENSO) dan Dipole Mode (DM), serta sirkulasi atmosfer
lokal (konveksi). Ketiga sirkulasi yang terjadi di wilayah Indonesia tersebut dapat
berlangsung secara bersamaan atau berlainan antar wilayah.Akibat pengaruh
sirkulasi atmosfer terhadap keragaman curah hujan Indonesia tersebut, pada
akhirnya juga mempengaruhi kejadian awal musim hujan dan musim kemarau
yang berbeda-beda baik dari segi waktu maupun wilayah di Indonesia.
Pengaruh Sirkulasi Atmosfer Meridional
Pada dasarnya, sirkulasi meridional terbentuk karena adanya udara naik di
ekuator (proses konvergensi udara) yang berasal dari belahan bumi utara dan
selatan dan turun di wilayah kutub (Bayong et al. 2002).Adanya udara naik
tersebut menyebabkan hujan di daerah tropis, dimana hujan lebat ini terjadi di
sepanjang pita daerah konvergensi intertropis yang bergerak ke sebelah utara dan
ke sebelah selatan ekuator mengikuti gerakan matahari. Daerah konvergensi
intertropis merupakan sumber energi yang menggerakkan sirkulasi atmosfer tropis
melalui panas laten kondensasi yang dilepaskan (Gambar 1). Sebagian energi
panas ini di bagian atas konvergensi intertropis dibawa ke arah kutub sebagai
energi potensial yang diubah menjadi energi panas terutama oleh subsidensi di
sekitar lintang 300 pada kedua belahan bumi utara dan selatan (Bayong et al.
2002). Sirkulasi atmosfer meridional ini antara lain ditandai dengan adanya sifat
monsunal (muson).

1

Nama Sirkulasi Hadley diambil dari nama George Hadley (meteorologist
berkebangsaan Inggris) atas jasanya dalam mengemukakan teori pertukaran angin
akibat perbedaaan tekanan.
2
Nama Sirkulasi Walker didedikasikan kepada Sir Gilbert Walker -Direktur
jenderal Observatori India Meteorological Department (1902-1924)- orang yang
berjasa meneliti pola tekanan yang dijadikan sebagai identifikasi suatu osilasi
atmosfir

4

(a)

(b)

Gambar 2.1 (a).Sel Hadley dan (b). Sirkulasi Meridional (Sirkulasi Hadley)
(sumber :http://www.cco.gov.co)
Kejadian muson merupakan salah satu fenomena atmosfer global yang
mempengaruhi awal musim di wilayah Indonesia.Muson adalah angin yang
disebabkan oleh adanya perbedaan sifat fisis antara lautan dan daratan, dimana
arahnya berbalik secara musiman (minimal 3 bulan). Pembalikan tersebut
membutuhkkan gaya gradien tekanan yang disebabkan oleh beda tekanan
atmosfer. Hasil beda fisis lautan dan daratan menyebabkan lautan lebih lambat
panas jika ada radiasi matahari dan lebih lambat dingin jika tidak ada radiasi
matahari. Pergerakan semu matahari dapat membalikkan arah gaya gradient
tekanan dari daratan ke lautan menghasilkan perubahan arah angin musiman atau
muson sehingga beda panas utara-selatan yang sangat penting diperkirakan antara
benua Asia dan Samudera Hindia. Untuk wilayah Indonesia, angin muson
ditimbulkan oleh pola tekanan di benua Asia dan Australia.Jika angin berhembus
dari arah barat laut (Northwest) atau menuju pantai (daratan), maka di Indonesia
terjadi periode musim hujan.Sebaliknya jika berhembus dari arah tenggara
(Southeast) atau menuju lepas pantai (lautan), maka di Indonesia terjadi musim
kemarau (Bayong et al. 2002).
Menurut Ramage (1971), daerah muson merupakan daerah dimana angin
yang dominan berbalik arah paling sedikit 120o antara bulan Januari dan Juni.
Januari adalah maksimum musim dingin dan Juli adalah maksimum musim panas
di belahan bumi utara (BBU).Daerah-daerah yang meliputi Afrika, Asia dan
Australia adalah daerah yang memenuhi kriteria angin yang berbalik arah dan
kriteria hujan muson yang terletak pada 25o LS – 35o LU dan 30o BB – 170o BT
(Gambar 2.2).Berdasarkan Gambar 2.2 dapat ditunjukkan bahwa Indonesia
termasuk dalam wilayah muson.

5

Gambar 2.2 Daerah-daerah Muson (dimodifikasi dari Ramage 1971)

Pengaruh Sirkulasi Atmosfer Zonal
El Nino Southern Oscillation Index (ENSO)
Sirkulasi Zonal merupakan sirkulasi vertikal (Wyrtki 1975) yang sangat
besar, diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu muka laut antara bagian timur
dengan bagian barat ekuatorial Pasifik.Interaksi ini ditandai dengan kenaikan
udara di sekitar pasifik bagian barat dekat benua maritim Indonesia dan penurunan
udara di samudera pasifik bagian Timur lepas pantai Amerika Selatan (Gambar
2.3).Intensitas sirkulasi ini dikendalikan oleh variasi Suhu Muka Laut (SML) di
samudera pasifik bagian Timur dan bagian Barat.Pada kondisi normal, sirkulasi
zonal diketahui berada di atas Benua Maritim Indonesia (BMI) yang dikenal
sebagai wilayah konvergensi (Bayong 1999).
Perbedaan SML kemudian dialihkan ke dalam atmosfir dalam bentuk
perubahan tekanan atmosfer.Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa ada kopel
(perangkai) yang kuat antara lautan dan atmosfer yang disebut dengan El
NinoSouthern Oscilation (ENSO). Dalam tahun-tahun ENSO terjadi penurunan
(subsidensi) massa udara diatas benua maritim Indonesia dan awan konvektif
bergerak ke pasifik bagian tengah, sehingga sebagian besar wilayah Indonesia
mengalami kekeringan atau musim kemarau panjang.

6

Gambar 2.3 Skema Sirkulasi Walker sepanjang ekuator pada kondisi nonENSO.Suhu muka laut sepanjang barat-timur (zonal) sepanjang
ekuator dapat dilihat pada panel bawah (dimodifikasi dari Wyrtki
1982).
Fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tinggi hujan tetapi juga
mempengaruhi masuknya awal musim kemarau atau akhir musim hujan yang
tergantung pada waktu pembentukan, lama dan intensitasnya.Dari data yang
tercatat, saat tahun-tahun ENSO mengakibatkan musim kemarau lebih panjang
dan musim hujan lebih pendek. Pada umumnya pada periode El-Nino awal musim
hujan di wilayah yang bertipe iklim muson mengalami keterlambatan, sebaliknya
pada saat berlangsungya fenomena La-Nina, akhir musim hujan mengalami
keterlambatan atau awal masuknya musim kemarau mundur. Dampak kekeringan
tahun ENSO di Indonesia tercatat hampir dirasakan seluruh Indonesia kecuali
untuk beberapa tempat yang pengaruh ekuatorialnya lebih kuat (Boer
2003).Pengaruh ENSO terutama pada tahun El Nino dan La Nina mempunyai
pengaruh terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia (Hamada et al. 2002).
Dipole Mode (DM)
Fenomena lain yang turut mempengaruhi keragaman iklim Indonesia adalah
Dipole Mode (DM). Kejadian DM ditandai dengan adanya anomali SML yang
lebih dingin dari normalnya yang muncul di pantai barat Sumatera (Samudera
Hindia bagian timur), sementara di Samudera Hindia bagian barat terjadi
pemanasan dari biasanya. Suatu indeks sederhana telah digunakan
Saji et al. (1999) untuk menganalisis kejadian DM tersebut.Indeks ini berupa
dipole anomali SML yang didefinisikan sebagai perbedaan anomali SML

7

Samudera Hindia bagian barat (50o – 70o BT, 10o LS – 10o LU) dan Samudera
Hindia bagian timur (90o – 110o BT, 10o LS).

Gambar 2.4 Pola spasial anomali suhu permukaan laut (SML) dan medan angin
permukaan pada saat Dipole Mode (dimodifikasi dari Saji et al.
1999).
Siklus DM menurut Saji et al. (1999) (Gambar 2.4) diawali dengan
munculnya anomali SML negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa
pada bulan Mei-Juni, bersamaan dengan itu terjadi anomali angin tenggara yang
lemah disekitar Jawa dan Sumatera. Selanjutnya pada bulan Juli-Agustus, anomali
negatif SML terus menguat dan cakupannya meluas sampai ke ekuator di
sepanjang pantai Jawa hingga pantai barat Sumatera, sementara itu mulai muncul
pula anomali positif SML di Samudera Hindia bagian barat. Adanya dua kutub di
Samudera Hindia ekuator ini, semakin memperkuat anomali angin tenggara di
sepanjang ekuator dan pantai barat sumatera.Siklus ini mencapai puncaknya pada
bulan Oktober, dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan NovemberDesember.
Pengaruh Suhu Muka Laut (SML)
Pada skala yang lebih besar, hubungan antara lautan dan atmosfir di
Kawasan Pasifik dikenal sebagai El Nino-Southern Oscilation (ENSO).ENSO
berkaitan dengan kejadian curah hujan yang terjadi antar tahun.Kejadian ENSO
merupakan periode panas pada bagian barat ekuatorial dari Samudera Pasifik yang
berpengaruh terhadap iklim global pada skala waktu beberapa tahun sampai
sepuluh tahun (Amarasekera et al. 1997).
ENSO teridentifikasi memberikan pengaruh terhadap pertanian di
Zimbabwe, dimana terdapat korelasi kuat antara SML Nino 3 terhadap pola
pertanian gandum. Tahun-tahun dimana anomali SML bernilai Positif (El Nino),
maka curah hujan dan produksi gandum di Zimbabwe berada di bawah nilai ratarata, namun sebaliknya jika SML bernilai negatif (La Nina) maka curah hujan dan
produksi gandum berada di atas rata-rata (Phillips et al. 1998).
Penelitian lain tentang pengaruh SML terhadap curah hujan di bagian utara
Mauritania dilakukan oleh Ahmedou et al. (2008). Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa SML Samudera Atlantik, Samudera India dan Laut

8

Mediterania memiliki korelasi yang nyata dengan curah hujan di Mauritania
Utara.
ENSO juga mempengaruhi variabilitas curah hujan di wilayah Indonesia.
Menurut Aldrian et al. (2006), ENSO mempengaruhi curah hujan di wilayah
Maluku terutama pada bulan Juni. Selain itu, ENSO juga mempengaruhi curah
hujan di wilayah Indonesia bagian selatan pada bulan Juli sampai November.
Pengaruh ini akan sangat sensitif pada tahun-tahun kejadian El Nino dan La Nina.
Wilayah yang paling sensitif dipengaruhi oleh ENSO adalah wilayah Maluku,
dimana wilayah ini menerima efek ENSO lebih lama yaitu mulai dari bulan Juni
sampai bulan Desember.
Kebutuhan data suhu muka laut pada saat ini sangat penting untuk
peramalan cuaca. Curah hujan yang tinggi di Indonesia sejak pertengahan tahun
2010 sampai akhir tahun 2010, disebabkan karena fenomena tingginya SML di
perairan Indonesia. Salah satu penyebab tingginya SML di perairan Indonesia
antara lain karena terjadinya fenomena varibilitas iklim La Nina di Samudera
Pasifik. La Nina merupakan kondisi suhu dimana permukaan laut di Kawasan
Pasifik lebih rendah dari Kawasan Darwin Australia. Selain itu World
Meteorological Organization (WMO) pada akhir tahun 2010 juga secara resmi
telah merilis hasil analisis suhu muka laut daratan dan lautan, dan menyatakan
bahwa tahun 2010 adalah tahun terpanas yang tercatat dalam sejarah observasi
cuaca dan iklim.
Definisi Awal Musim Hujan (AMH)
Awal musim hujan (AMH) dapat dijelaskan oleh sebaran penerima curah
hujan menurut waktu yang terjadi pada suatu tempat. Kondisi klimatologis akan
dijadikan sebagai ciri atau indikator AMH, sehingga dapat ditetapkan definisi
yang tepat. Salah satu definisi AMH di wilayah Indonesia didasarkan pada
ketentuan yang dibuat oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) yaitu awal musim hujan ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian
telah lebih dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya. Sebaliknya
awal musim kemarau ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian kurang dari 50
mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya.
Di bidang pertanian, AMH merupakan informasi yang penting dalam
penentuan waktu dan pola tanam. Definisi AMH bidang pertanian untuk wilayah
Sahel Afrika yaitu apabila curah hujan setelah 15 Mei tercatat > 20 mm dalam 2
hari berturut-turut tanpa diikuti 7 hari dry spell atau curah hujan < 5 mm dalam
periode 20 hari (Marteu et al. 2007). Di Filipina, secara rata-rata awal musim
hujan terjadi pada pertengahan bulan Mei, dimana awal musim hujan
didefinisikan sebagai jumlah curah hujan selama 5 hari secara berturut-turut tidak
kurang dari 40 mm dan tidak diikuti oleh 15 hari dry spell atau curah hujan kurang
dari 5 mm selama 30 hari (Moron et al. 2008b). Definsi AMH yang kemungkinan
lebih cocok digunakan pada bidang pertanian di Indonesia adalah apabila curah
hujan setelah 1 Agustus tercatat > 40 mm dalam 5 hari berturut-turut tanpa diikuti
10 hari dry spell atau curah hujan < 5 mm dalam periode 10 hari selama 30 hari
(Moron et al. 2008a).

9

Aplikasi dan Perkembangan Model Prediksi AMH
Pemanfaatan informasi awal musim hujan pada suatu wilayah sangat
dibutuhkan, terutama pada bidang pertanian. Pada proses pertumbuhan fisiologi
tanaman hingga dihasilkan produksi tanaman, informasi awal musim hujan
menjadi input utama dalam manajemen penanaman, baik dalam perencanaan pola
tanaman, pengairan, pemberian pupuk, pengendalian hama dan seterusnya.
Sehingga dengan adanya informasi awal musim hujan diharapkan resiko gagal
panen akibat pengaruh iklim dapat dikurangi.
Pengembangan model prediksi AMH untuk wilayah Indonesia telah banyak
dilakukan dengan menggunakan beragam metode. Penelitian Hamada et al. (2002)
menggunakan analisis statistika dengan menghitung curah hujan lima harian
(pentad) dari stasiun hujan di Indonesia dan kaitannya dengan ENSO. Penentuan
pentad dalam satu tahun dilakukan dengan membagi menjadi 73 pentad, dimana
pentad pertama (pentad 1) dimulai dari tanggal 30 Juni hingga 4 Juli dan pentad
terakhir (pentad 73) antara tanggal 25 Juni hingga 29 Juni tahun berikutnya. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh ENSO terutama pada tahun
El Nino dan La Nina terhadap kejadian awal musim dan variablitias hujan di
wilayah Indonesia.Untuk wilayah Sulawesi, lamanya hujan dan jumlah curah
hujan pada musim hujan lebih kecil pada tahun El Nino dibandingkan La Nina.
Pada tahun El Nino, awal musim hujan terlambat selama 4 pentad (lima harian)
dibandingkan rata-ratanya, yaitu menjadi pentad 33 atau awal bulan Desember,
sedangkan musim hujannya lebih pendek 10 pentad dibandingkan rata-ratanya
(Hamada et al. 2002). Pada tahun La-Nina, awal musim hujan dimulai pada
pentad 28 (tengah bulan Nopember) dan berakhir pada pentad 54 (Akhir Maret).
Prediksi AMH lainnya dikembangkan oleh Moron et al. (2008a)
menggunakan analisis pentad (lima harian) sejumlah 40 mm untuk wilayah
Indonesia menggunakan data Global Summary of the Day (GSOD) dan CMAP.
Struktur awal musim hujan mengindikasikan terdapat keterlambatan datangnya
awal musim hujan di bagian barat Indonesia dengan loadingEmphrical Ortogonal
Function (EOF) yang cukup tinggi pada pola muson, menurun dengan lemah
hingga bagian selatan Indonesia. Nilai skill yang diperoleh cukup tinggi dari
wilayah selatan Sumatera, Kalimantan dan Timor, yaitu >0.5 dan meningkat
hingga 0.8.
Analisis tentang pengaruh suhu muka laut di perairan India, Indonesia dan
Pasifik terhadap AMH di Jawa juga telah dilakukan oleh Marjuki (2011).Pada
studi tersebut digunakan analisis hujan sepuluh harian (dasarian) berdasarkan
kriteria BMKG.Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan linear antara
AMH dan SML di perairan India, Indonesia dan Pasifik. Hal ini mengindikasikan
bila terjadi kenaikan SML di perairan India dan Pasifik yang berasosiasi dengan
kejadian IOD dan ENSO, maka AMH di Jawa secara umum akan mundur dari
normalnya. Sejalan dengan itu, bila terjadi kenaikan SML I perairan Indonesia
yang berasosiasi dengan kejadian konveksi laut lokal, maka AMH di Jawa secara
umum maju dari normalnya (Marjuki 2011).

10

Kondisi Lokasi Penelitian
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki luas 4.666.453 hektar atau sekitar 31 %
dari luas wilayah Sulawesi, dan sekitar 3 % dari luas wilayah Indonesia (BPS,
2005) yang terdiri dari 23 kabupaten dan kota. Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
berbatasan dengan Sulawesi Barat pada bagian Utara, Selat Makassar di bagian
Barat, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di bagian timur dan Laut Flores pada
bagian Selatan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aldrian dan Susanto (2003)
tentang pengelompokan 3 (tiga) wilayah curah hujan di Indonesia dengan
menggunakan rentang data curah hujan bulanan antara tahun 1961-1993 (32
tahun), menyatakan bahwa Sulawesi Selatan secara umum masuk dalam kategori
wilayah A (Gambar 2.5). Wilayah A dipengaruhi oleh iklim muson3 dan mendapat
pengaruh kuat dari 2 (dua) muson yaitu muson basah yang bergerak dari barat ke
timur (NW) pada bulan November sampai bulan Maret (NDJFM), dan muson
kering yang bergerak dari timur ke selatan (SE) pada bulan Mei sampai bulan
September (MJJAS). Masih pada penelitian yang sama, pada bulan JJA (Juni-JuliAgustus) dan SON (September-Oktober-Nopember), curah hujan di wilayah A
memiliki korelasi positif dengan pengaruh SML lokal (Laut Timor) dan
berkorelasi positif juga dengan pengaruh zona konvergen pasifik selatan (SPCZ),
namun berkorelasi negatif dengan El-nino Southern Osilation (ENSO). Pola hujan
di wilayah A mempunyai satu puncak musim hujan (DJF) dan satu puncak musim
kemarau (JJA) yang ditunjukkan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.5 Tiga wilayah iklim Indonesia berdasarkan hasil Double Corelation
Method (metode korelasi berganda). Wilayah A (garis tebal) wilayah
muson selatan, wilayah B (garis putus-putus-titik) wilayah semimuson, wilayah C (garis putus-putus) wilayah anti muson
(dimodifikasi dari Aldrian & Susanto 2003).
3

Iklim muson dicirikan dengan memiliki satu puncak dan satu lembah curah
hujan dalam setahun.

11

Gambar 2.6 Pola puncak musim pada wilayah hujan A. Garis tebal menunjukkan
siklus hujan tahunan, sedangkan garis putus-putus menunjukkan
simpangan baku (standard deviation) di atas dan di bawah rata-rata
(dimodifikasi dari Aldrian & Susanto 2003).
Menurut BMKG (2011), awal musim hujan pada daerah Zona Musim
(ZOM) di Indonesia akan jatuh pada bulan September 2011. Selanjutnya prakiraan
BMKG menyebutkan bahwa prospek awal musim hujan 2011/2012 dari 220
ZOM, diprakirakan masuk pada sekitar dasarian I – III September 2011 termasuk
ZOM di Sulawesi. Prediksi ini didasarkan pada pemantauan 3 (tiga) faktor pemicu
curah hujan di Indonesia yaitu wilayah sebelah timur Indonesia (Pasifik ekuator),
wilayah sebelah barat Indonesia (Samudera Hindia) dan wilayah Indonesia
(lokal).
Penelitian yang lebih spesifik tentang variabilitas curah hujan di Sulawesi
Selatan dilakukan oleh Gunawan et al. (2003), menggunakan pemodelan regional
(REMO) dengan rentang data selama 14 tahun (1979-1993). Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa awal musim kering di Sulawesi Selatan terjadi pada bulan
April, sedangkan awal musim basah terjadi pada bulan November.

3. METODOLOGI
Lokasi
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Klimatologi - Institut Pertanian
Bogor (IPB). Seluruh rangkaian penelitian meliputi studi pustaka atau literatur,
pengumpulan data penelitian, pengolahan data dan penulisan tesis. Lokasi
penelitian meliputi seluruh kabupaten Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 28
kabupaten/kota yang diwakili oleh 208 pos hujan permukaan. Gambaran spasial
sebaran stasiun/pos hujan di wilayah Sulawesi Selatan ditunjukkan pada
Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Sebaran stasiun/pos hujan wilayah Sulawesi Selatan
Data dan Alat
Perangkat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat
notebook dengan perangkat lunak pengolah data Matlab versi 11, pengolah data
spasial Surfer 8, pengolah data Spread sheet Minitab 15, Microsoft Excel, dan
Microsoft Word.

13

Data penelitian yang digunakan adalah data Anomali Suhu Muka Laut
(AnoSML) periode Juni, Juli, Agustus, September (JJAS) dimana pada periode
tersebut merupakan periode musim kemarau. Data AnoSML diperoleh dari
institusi National Oceanic & Atmospheric Administration (NOAA) National
Climatic Data Center (NCDC) ERSST V.3b (Smith et al. 2008 dan Xue et al.
2003) (http://www.iridl.ldeo.columbia.edu). Series data yang digunakan adalah
periode 30 tahun dari tahun 1981 – 2010 skala bulanan, dengan resolusi spasial
2ox 2o.
Data Anomali Suhu Muka Laut (AnoSML) yang digunakan terdiri dari 4
(empat) domain yaitu : (1) Perairan Sulawesi terletak pada 4o LU – 10o LS dan
114o – 128o BT (pengambilan koordinat tersebut dilakukan untuk mencakup
wilayah perairan secara keseluruhan); (2) Kawasan Nino 3; terletak pada 5o LU –
5o LS dan 90o – 150o BB; (3) Kawasan Nino 3.4; terletak pada 5o LU – 5o LS dan
120o – 170o BB; dan (4) Kawasan Nino 4; terletak pada 5o LU – 5o LS dan 160o
BT – 150o BB.
Wilayah domain yang digunakan dalam analisis, masing-masing
ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Wilayah domain penelitian
Data sekunder lainnya adalah data curah hujan harian seluruh kabupaten di
Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 208pos hujan dengan periode pengamatan
selama 30 tahun (1981-2010) (sumber: BMKG). Periode data tahun 1981 – 2009
digunakan untuk membuat analisis awal musim serta penyusunan model prediksi
awal musim.
Prosedur Pengolahan Data
Pemeriksaan dan Pemilihan Stasiun/Pos Hujan
Pemilihan stasiun hujan ditujukan untuk menentukan stasiun – stasiun pada
wilayah studi yang akan digunakan untuk menentukan awal musim. Pemilihan
stasiun hujan dilakukan melalui tahapan (Gambar 33) yaitu:
a. Langkah pertama adalah melakukan pengumpulan seluruh data stasiun hujan
dan data curah hujan di wilayah studi, pemeriksaan koordinat dan status
keaktifan stasiun hujan, pembuatan peta plot data stasiun hujan untuk

14

mengetahui sebaran stasiun hujan secara spasial, dan pemeriksaan data time
series hujan baik pada stasiun tertentu maupun terhadap stasiun hujan lainnya.
b. Langkah kedua dilakukan untuk memperoleh persentase ketersediaan
(coverage data) data di setiap stasiun pada periode 1981-2009. Persentase
yang digunakan adalah lebih dari 70% untuk dapat merepresentasikan kondisi
hujan pada tiap stasiun periode harian. Time series data yang kurang lengkap
dapat diterima untuk analisis hujan bulanan dengan ketersediaan data
sedikitnya 70% (Rudolf 2005).
Penentuan Awal Musim Hujan
1. Penyusunan data lima harian
Penyusunan data lima harian (pentad) dilakukan pada stasiun terpilih yang
mempunyai persentase ketersediaan data lebih dari 70%, yang diikuti dengan
penyusunan data curah hujan dasarian selama 30 hari secara berturut-turut dengan
periode 29 tahun (1981-2009). Perhitungan ini ditujukan untuk menghindari
kejadian “hujan palsu” dimana jumlah curah hujan selama lima hari tidak
mencapai 40 mm. Perhitungan pentad dimulai dari tanggal 1 Agutus karena pada
bulan Agustus sampai September merupakan awal musim kemarau di Indonesia
(Aldrian & Susanto 2003).
2. Penentuan Awal Musim Hujan
Penentuan awal musim hujan dalam penelitian ini dilakukan dengan kriteria
Moron et al. (2008a). Berdasarkan kriteria ini, penentuan awal musim hujan
dihitung berdasarkan akumulasi curah hujan harian selama 5 hari (pentad) yang
jumlahnya minimal 40 mm (CH Pentad ≥ 40 mm) (syarat pertama), dan tidak
diikuti oleh jumlah curah hujan dasarian (10 hari) kurang dari 5 mm selama 30
hari (syarat kedua). Sebagai contoh, perhitungan awal musim hujan di mulai dari
tanggal 1 Agustus sampai 5 Agustus, jumlah curah hujan di atas 40 mm (syarat
pertama terpenuhi), kemudian menghitung jumlah curah hujan dasarian pertama
yaitu dari tanggal 1 Agustus sampai 10 Agustus yang jumlahnya tidak kurang dari
5 mm dan diikuti oleh dasarian berikutnya dari tanggal 2 Agustus sampai 11
Agustus selama 30 hari (syarat kedua terpenuhi), maka tanggal 1 Agustus
ditetapkan sebagai awal musim hujan. Jika salah satu dari dua syarat tersebut tidak
terpernuhi maka perhitungan awal musim hujan dilanjutkan pada tanggal 2
Agustus dengan syarat yang sama dengan perhitungan awal musim hujan untuk
tanggal 1 Agustus. Perhitungan ini dilakukan pada setiap pos hujan di lokasi
penelitian yang berjumlah 45 pos hujan.
Perhitungan Principal Component Analysis (PCA)
Tujuan utama metode PCA adalah untuk mereduksi sejumlah data dengan
variasi yang besar ke dalam beberapa bentuk variabel baru (Wigena 2010). Data
yang dihitung dalam PCA merupakan data AMH pada setiap stasiun. Persamaan
yang digunakan untuk menyatakan matriks pengurangan tiap varibel dengan rataratanya dinyatakan sebagai berikut:

15

..
.

..
.

… (1)

Variabel baru um menunjukkan jumlah maksimum variasi dengan
sebelumnya dengan menghitung eigenvector. Sehingga komponen utama dapat
dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
… (2)
Elemen eigenvector adalah bobot aij dan biasanya di