The Empowerment of Creative Economy Craftsmen of Silk Handicraft in Villages in South Sulawesi Province

PEMBERDAYAAN PENGRAJIN EKONOMI KREATIF
KERAJINAN SUTERA DI PERDESAAN
PROVINSI SULAWESI SELATAN

HELDA IBRAHIM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul
“Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera di Perdesaan
Provinsi Sulawesi Selatan” adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan
Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada
Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan atau sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Helda Ibrahim
I361090011



Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

RINGKASAN
HELDA IBRAHIM, Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan
Sutera di Perdesaan Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh SITI
AMANAH, PANG S. ASNGARI dan NINUK PURNANINGSIH.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk

melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pengrajin
ekonomi kreatif adalah orang yang bekerja dibidang kegiatan pembuatan
kerajinan sutera yang mengubah barang dasar jadi atau setengah jadi dari barang
yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup untuk meningkatkan pendapatannya. Pemberdayaan memberikan setiap
orang kesempatan untuk mendapat dan menerima ketrampilan dan tanggung
jawab tambahan. Sejumlah pembinaan dan pengembangan diperlukan ketika
seseorang berharap ingin menguasai ketrampilan tertentu. Proses pemberdayaan
tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap, namun memerlukan proses yang cukup
menyita waktu, hal ini karena kemampuan dan motivasi setiap orang berbeda.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba di
Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu daerah yang
mengembangkan usaha ekonomi kreatif. Penelitian ini dilakukan terhadap semua
pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif. Alasan
dipilihnya pengrajin ekonomi kreatif untuk daerah Kabupaten Wajo dan
Kabupaten Bulukumba adalah (1) memiliki perkembangan produk, (2) menyerap
tenaga kerja, dan (3) menghasilkan produk dari seluruh usaha ekonomi kreatif
yang bercirikan etnis Bugis dan etnis Makassar.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku
kewirausahaan pengrajin sutera sebagai pelaku utama ekonomi kreatif dalam

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk : (1) Memetakan tingkat kemampuan pengrajin ekonomi kreatif
dalam menjamin keberlanjutan usaha berdasarkan pada dimensi ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan serta perilaku usaha ekonomi kreatif di Provinsi
Sulawesi Selatan; dan (2) Menganalisis faktor penentu keberlanjutan usaha
pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif di Provinsi
Sulawesi Selatan; (3) Mendesain model pemberdayaan usaha pengrajin ekonomi
kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei, studi
literatur dan wawancara. Survei lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data
primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan
menggunakan metoder survei yang dilaksanakan dengan pengamatan dan
pengukuran lapangan dan wawancara mendalam (indept interview) serta Fokus
Group Diskusi (FGD). Data sekunder diperoleh dari dokumentasi laporan dari
berbagai instansi terkait. Metode pengumpulan data untuk menyusun kerangka
keberlanjutan dan penilaian keberlanjutan menggunakan metode multidimensional
scalling (MDS) dalam software Rap-UEK hasil modifikasi Rapfish. Untuk faktor
penentu keberlanjutan menggunakan analisis prospektif.
Hasil penelitian menunjukkan kerangka keberlanjutan usaha pengrajin
ekonomi kreatif dibutuhkan untuk melakukan penilaian terhadap keberadaan dan

keberlanjutan usaha terutama dalam menghadapi perkembangan ekonomi, sosial,

lingkungan, kelembagaan dan perilaku kewirausahaan. Kerangka umum
keberlanjutan usaha ekonomi kreatif dalam penelitian ini dibangun berdasarkan
dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan dan perilaku kewirausahaan.
Simulasi Rap-UEK untuk mengetahui nilai keberlanjutan usaha pengrajin
ekonomi kreatif yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan nilai kurang
berkelanjutan (48,97 %). Berdasarkan analisis faktor pengungkit dalam Rap-UEK
terdapat faktor-faktor pengungkit yang perlu diperhatikan berdasarkan hasil
analisis leverage pada Dimensi Ekonomi: (1) penjualan pada satu tempat, (2)
kurang melakukan pengembangan produk, dan (3) kurang melakukan promosi
produk UEK. Pada Dimensi Sosial tampak bahwa UEK (1) Merupakan usaha
turun temurun, (2) Kurangya sosialisasi dari pemerintah, (3) Terbatasnya
pelatihan dari pemerintah, dan (4) Kurangnya pelatihan dari organisasi. Pada
Dimensi Lingkungan: (1) Pengetahuan tentang dampak pewarnaan, (2) Dampak
penyediaan bahan baku, (3) Kurangnya pelatihan tentang lingkungan, dan (4)
Kurang mengetahui cara melestarikan lingkungan. Dimensi Kelembagaan yakni :
(1) Penentuan harga di lembaga, (2) Membenahi mekanisme tata pengaturan atau
aturan main di lembaga sosial, dan (3) Hubungan secara vertikal. Pada Dimensi
Perilaku Kewirausahaan UEK: (1) pemahaman cara menjalankan peluang UEK,

(2) pemahaman cara membuat corak sutera terbaru, dan (3) identifikasi secara
teliti UEK.
Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa dari 17 atribut yang
memberikan pengaruh pada keberlanjutan usaha diperoleh 10 faktor kunci yaitu :
sumber permodalan, penjualan pada satu tempat, telepon rumah, peningkatan
produk Usaha Ekonomi Kreatif, pengembangan produk, aturan main di lembaga,
penentuan harga di lembaga, pelatihan oleh pemerintah, sosialisasi oleh
pemerintah dan hubungan vertikal. Berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan
pemangku kebijakan diperoleh lima faktor kunci yang menjadi strategi
keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif adalah: lapangan usaha,
peningkatan ekspor, penyerapan tenaga kerja, kordinasi dengan instansi lain, dan
peningkatan produk UEK. Deskripsi keadaan dari masing-masing faktor dominan
berdasarkan hasil analisis gabungan antara analisis keberlanjutan (pengaruh antar
faktor) dan analisis kebutuhan (perubahan yang diinginkan) diperoleh enam faktor
penentu keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif yaitu: penjualan pada satu
tempat, koordinasi intansi, sumber permodalan, peningkatan produk usaha
Ekonomi Kreatif, lapangan usaha, pengembangan produk.
Strategi dan model pemberdayaan yang dilakukan pada pengrajin ekonomi
kreatif adalah meningkatkan keberdayaan melalui faktor yang dominan yaitu
penjualan pada satu tempat, kordinasi dengan instansi pemerintah, sumber

permodalan, peningkatan produk UEK dan pengembangan produk serta perluasan
usaha sedangkan faktor penentu keberlanjutan usaha melakukan perbaikan
dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan serta perilaku kewirausahaan.
Model pemberdayaan dapat memberikan penguatan mekanisme dalam lembaga
organisasi pengrajin ekonomi kreatif yang didukung oleh unsur penunjang dari
pemerintah daerah, organisasi non pemerintah (lembaga keuangan) perusahaan,
perguruan tinggi, LSM, lembaga penelitian dan koperasi.
Kata kunci : Pemberdayaan, pengrajin ekonomi kreatif, kerajinan sutera

SUMMARY
HELDA IBRAHIM, The Empowerment of Creative Economy Craftsmen of
Silk Handicraft in Villages in South Sulawesi Province. Counselors: SITI
AMANAH, PANG S. ASNGARI and NINUK PURNANINGSIH
Community empowerment is an effort to improve standard and status of a
community stratum that currently within the poverty and backwardness. Creative
economy craftsman (silk) is a person who work in the making of silk handicraft
by changing the raw material or unfinished goods into valuable goods to fulfil
their needs and increase their income. Empowerment is beneficial for the
development and utilization of talent and skill of every individual. Many works
are designed and built by a group or organization hoping that members of the

group or organization can utilize the situation to improve their performance.
However, only small proportion of their ability that leads to desperateness.
Empowerment can overcome traditional obstacles by supporting economy
creative craftsmen who face different situation from the past; therefore, allow
them to have improvement in relation to their attitude in livelihood.
Empowerment gives opportunity to everyone to obtain and receive additional
skills and responsibilities. Empowerment process needs time because a different
skill and motivation. Therefore, integrative study is needed to gain information
about things that underlie the empowerment of creative economy craftsmen.
The research is conducted in Wajo and Bulukumba Regencies in South
Sulawesi Province, which is area of creative economy business development. The
research is conducted to all creative economy craftsmen as the prominent actor of
creative economy. Reasons in selecting Wajo and Bulukumba Regencies as the
research location are: (1) the areas have product development, (2) they absorb
employment, (3) they produce product from all creative economy business with
characteristic of Bugis and Makassar ethics.
In general, the research aims to analyze entrepreneurship behavior of silk
craftsmen as the prominent actor of creative economy in increasing their income
and prosperity. In specific, the research aims to: (1) map the ability level of
creative economy craftsmen in securing their business sustainability based on

economic, social, environmental and institutional dimensions and the behavior of
creative economy business in South Sulawesi Province; (2) analyze the
determinant factors of business sustainability of creative economy craftsmen as
the prominent actors of creative economy in South Sulawesi Province; and (3)
design an empowerment model of creative economy craftsmen as the prominent
actor of creative economy in South Sulawesi Province.
The research is conducted using survey method, literature study and
interview. Field survey is conducted to collect primary and secondary data.
Survey method is used to collect primary data using field observation and
measurement, in-depth interview and FGD. Secondary data is obtained from
report documentation of various related institutions. Data collection method used
to formulate sustainability frame and sustainability assessment is
multidimensional scaling (MDS) method in Rapfish-modified Rap UEK software.
In term of the determinant factors of sustainability, prospective analysis is used.
Research results show that sustainability frame of creative economy
craftsmen business is needed in order to evaluate the business sustainability

especially in facing social, economic, environmental and institutional
developments and entrepreneurship behavior. General frame of the sustainability
of creative economy business in this research is built based on economic, social,

environmental and institutional dimensions and entrepreneurship behavior.
Rap-UEK simulation to find out about the sustainability grade of creative
economy craftsmen business in South Sulawesi Province shows less sustainability
value of 48.97%. Based on leverage factors analysis in Rap-UEK there are
leverage factors high light according to leverage analysis result. In economic
dimension, the leverage factors are: (1) one place sale, (2) less product
development, and (3) less promotion on UEK product. In social dimension, it is
showed that UEK (1) is a hereditary business, (2) received less socialization from
the government, (3) limited training from the government and (4) less training
from the organization. In environmental dimensions, the factors are: (1)
knowledge on the impact of coloration, (2) the impact of raw material supply, (3)
less training on environment, and (4) less knowledge on environmental
preservation. In term of institutional dimension the leverage factors are: (1)
pricing within the institution, (2) ordering the mechanism of regulation or rule of
the game in social institutions, and (3) vertical relationship. Whereas, for
entrepreneurship behavior dimension the leverage factors are: (1) understanding
on how to utilize opportunity of UEK, (2) understanding on how to make new silk
motif, and (3) identifying UEK thoroughly.
Prospective analysis result shows that from 17 attributes influencing
business sustainability, there are 10 key factors: capital sources, one place sale,

home telephone, product of creative economy business, product development, rule
of the game in the institutions, pricing within the institutions, governmental
training, governmental socialization, and vertical relationship. Based on result of
identification on the need of policy maker, there are five key factors that can be
used as strategy for business sustainability of creative economy craftsmen, which
are business field, increase in export, employment absorption, coordination with
other institutions and increase in product. Description on each dominant factor
based on composite analysis between sustainability analysis (influence among
factors) and need analysis (the desired change) is as follow: there are six
determinant factors of business sustainability of creative economy craftsmen,
which are one place sale, institutional coordination, capital sources, increase in
creative economy business product, business field, and product development.
The empowerment strategy and model conducted on economy creative
craftsmen is improving the sustainability through the dominant factors of one
place sale, coordination with governmental institutions, capital sources, increase
in UEK product, product development and business expansion and through the
determinant factors of business sustainability by improvement on economic,
social, environmental, and institutional dimensions and entrepreneurship behavior.
Empowerment model can give reinforcement mechanism in organizational
institution of creative economy craftsmen sustained by supporting elements of

regional or local government, non-governmental organization (financial
institutions), firms, higher education (universities), non-governmental
organization, research organizations and cooperative.
Keywords : The Empowerment, Creative Economy Craftsmen, Silk Handicraft

@Hak Cipta Milik IPB Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEMBERDAYAAN PENGRAJIN EKONOMI KREATIF
KERAJINAN SUTERA DI PERDESAAN
PROVINSI SULAWESI SELATAN

HELDA IBRAHIM

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi
Penguji Ujian Tertutup : 1. Dr. Dr. Ir. Suharno, M.Adev
(Staf pengajar Agribisnis Fakultas Ekonomi dan
Manajemen IPB ).
2. Dr Ir. Djuara P. Lubis, MS
(Staf pengajar Fakultas Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat IPB ).
Penguji Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. A. Majdah Agus Arifin Numang, Msi.
(Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan).
2. Dr. Ir. Suharno, M.Adev
(Staf pengajar Agribisnis Fakultas Ekonomi dan
Manajemen IPB ).

Judul Disertasi

:

Pemberdayaan Pengrajin Ekonomi Kreatif
Kerajinan Sutera di Perdesaan Provinsi Sulawesi
Selatan

Nama

:

Helda Ibrahim

NIM

:

I361090011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc.
Ketua

Prof. Dr. Pang S. Asngari
Anggota

Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, MSi
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

Tanggal Ujian: 18 Desember 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan segala rahmat dan
karuniaNya memungkinkah penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah disertasi
ini. Rangkaian tahapan penelitian ini yang berjudul “Pemberdayaan Pengrajin
Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera di Perdesaan Provinsi Sulawesi Selatan.”
Karya ilmiah ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam
lingkup Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan di Sekolah
Pascasarjana IPB, Bogor.
Dengan selesainya penulisan karya ilmiah ini, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Siti Amanah, MSc selaku ketua Komisi
Pembimbing serta Prof. Dr. Pang S.Asngari dan Dr.Ir. Ninuk Purnaningsih, MSi
selaku anggota Komisi, serta Prof. Dr. Ir.Darwis S. Gani, MA (almarhum) yang
telah banyak memberikan arahan dan masukan sejak pemilihan topik penelitian
sampai pada tersusunnya laporan penelitian ini. Ucapan terima kasih pula
disampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Ibu Dr.
Ir. Siti Amanah, MSc dan Sekertaris program studi Ibu Dr.Ir. Ninuk Purnaningsih,
MSi yang banyak memberikan arahan dan saran selama penulis menjadi
mahasiswa program doktoral pada program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan.
Selanjutnya disampaikan terimakasih kepada Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Islam Makassar, Rektor Universitas Islam Makassar dan Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan Nasional yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada
jenjang S3 di IPB melalui beasiswa BPPS. Kemudian, ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya disampaikan kepada Pemda Kabupaten Wajo dan Bulukumba
serta responden pengrajin ekonomi kreatif, tim enumerator dan para narasumber
yang telah bersedia memberikan informasi. Terkhusus kepada adik Ir. Irham, Ir.
A. Kathy MP dan Ir. Fatma serta semua pihak yang telah banyak membantu pada
saat survei dan pengumpulan data lapangan untuk pelaksanaan penelitian ini.
Penghormatan dan ucapan terima kasih atas doa dan kasih sayang yang
tidak pernah putus dari Ayahanda (almarhum) H. Ibrahim dan Ibunda Hj. IL
Rahman, suami tercinta Dr. Ir. Ahmad Rifqi Asrib, MT dan putra putri penulis
Ainun Nida Rifqi, Muhammad Luthfi Asrib, Ainun Rizqah Rifqi atas
pengorbanannya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada rekan-rekan
mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan,
khususnya untuk angkatan 2009 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama
menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada segenap
karyawan Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang telah memberikan
bantuan dan dukungan selama menempuh pendidikan S3 serta sahabat dan kerabat
serta pihak-pihak yang telah mendukung penulis secara moral dan material.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena itu saran dan kritikan yang dapat memberikan perbaikan sangat diharapkan
untuk menjadikan lebih baik dan berkualitas. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua terutama bagi yang membutuhkannya.
Bogor, Januari 2014
Penulis
Helda Ibrahim

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

xix

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
14
14
14

II. TINJAUAN PUSTAKA
Ekonomi Kreatif
Pemberdayaan
Strategi Pemberdayaan
Peranan Penyuluhan
Perubahan Berencana
Faktor Pendukung Usaha Ekonomi Kreatif
Peran Pelaku Pemberdayaan
Perilaku Kewirausahaan
Kelembagaan
Konsep Keberlanjutan Usaha
Aspek Sosial Budaya
Budaya dan Ekonomi Kreatif

17
17
29
33
35
35
36
38
41
42
45
48
54

III ASPEK SOSIAL BUDAYA PENGRAJIN EKONOMI KREATIF
KERAJINAN SUTERA DI KABUPATEN WAJO DAN BULUKUMBA
PROVINSI SULAWESI SELATAN
55
Pendahuluan
56
Metode Penelitian
Hasil
59
Pembahasan
59
Simpulan
74
IV. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA PENGRAJIN
EKONOMI KREATIF KERAJINAN SUTERA DI PERDESAAN
PROVINSI SULAWESI SELATAN
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan

75
77
83
83
95

V. FAKTOR PENENTU KEBERLANJUTAN USAHA
PENGRAJIN EKONOMI KREATIF KERAJINAN SUTERA
DI PERDESAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan

96
97
102
102
112

VI. STRATEGI PEMBERDAYAAN PENGRAJIN EKONOMI KREATIF
KERAJINAN SUTERA DI PERDESAAN PROVINSI SULAWESI
SELATAN
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan

113
114
118
118
145

VII. PEMBAHASAN UMUM

146

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

150

DAFTAR PUSTAKA

152

LAMPIRAN

165

RIWAYAT HIDUP

201

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

Posisi Model Penelitian
Sampel Penelitian
Gambaran lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Selatan
Profil Pengrajin Ekonomi Kreatif berdasarkan ciri-ciri demografi
Kerangka Sampel Penelitian
Kategori Status Keberlanjutan Usaha Pengrajin Ekonomi Kreatif
Kerajinan Sutera berdasarkan indeks hasil análisis RAP-UEK
Analisis Keberlanjutan nilai Stress dan R2 pada Pengrajin Ekonomi
Kreatif Kerajinan Sutera
Perbedaan analisis Keberlanjutan Pengrajin Ekonomi Kreatif
Kerajinan Suteradengan análisis Monte Carlo
Pedoman Penilaian analisis Prospektif
Pengaruh langsung antar faktor
Gabungan faktor-faktor kunci yang mempunyai pengaruh besar
Variabel-variabel kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi
di masa yang akan datang
Hasil analisis skenario
Uraian masing-masing skenario strategi pengrajin
Ekonomi Kreatif secara berkelanjutan
Perubahan kondisi faktor-faktor dominan pemberdayaan pengrajin
ekonomi kreatif secara berkelanjutan
Skenario strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif
berkelanjutan
Penerapan strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif
Perubahan skoring atribut pada skenario I
Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario I
Perubahan skoring atribut pada skenario II
Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario II
Perubahan skoring atribut pada skenario III
Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario III
Indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan skenario I, II, III pada
pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan
Rancangan strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif
Materi pokok penyuluhan pada dimensi perilaku kewirausahaan
ekonomi kreatif
Materi penyuluhan tentang keberlanjutan usaha

12
16
60
70
79
81
91
92
100
101
108
117
118
119
119
120
121
123
124
125
126
127
128
129
134
138
139

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39

Alur berpikir proses penelitian pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif
Kerangka berpikir operasional antar peubah penelitian
Peta Road Map penelitian
Pergeseran Orientasi Ekonomi Dunia Barat
Model Pengembangan Ekonomi Kreatif
Kreativitas Ekonomi
Interelasi dari ke 5 lingkaran : hasil kreativitas + 4 modal
Sistem Klasifikasi Industri Kreatif dari macam-macam model
Klasifikasi Industri Kreatif menurut Unctad
Pemegang Kepentingan Ekonomi Kreatif
Elemen Pembangunan Berkelanjutan
Indikator Keberlanjutan Kerangka Wuppertal
Peta Provinsi Sulawesi Selatan
Denah lokasi pengrajin ekonomi kreatif di Desa Darubiah
Corak kain sutera khas Bugis
Corak kain sutera khas Makassar
Alur berpikir proses penelitian keberlanjutan ekonomi kreatif
Prinsip analisis MDS menggunakan modifikasi software RAP-UEK
Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pemberdayaan pelaku usaha
ekonomi kreatif kerajinan sutera pada skala 0-100%
Ilustrasi diagram laying-layang indeks keberlanjutan
Hasil analisis RAP-UEK Dimensi Ekonomi
Hasil analisis leverage Dimensi Ekonomi
Hasil analisis RAP-UEK Dimensi Sosial
Hasil analisis leverage Dimensi Sosial
Hasil analisis RAP-UEK Dimensi Lingkungan
Hasil analisis leverage Dimensi Lingkungan
Hasil analisis RAP-UEK Dimensi Kelembagaan
Hasil analisis leverage Dimensi Kelembagaan
Hasil analisis RAP-UEK Dimensi Perilaku Kewirausahaan
Hasil analisis leverage dimensi Perilaku kewirausahaan
Gabungan penilaian analisis keberlanjutan
Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Ekonomi
Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Sosial
Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Lingkungan
Hasil Analisis Monte Carlo pada Dimensi Kelembagaan
Hasil Analisis Monte Carlo pada Perilaku Kewirausahaan
Kerangka berpikir operasional antar peubah penelitian
Penentuan tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor
Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan
análisis keberlanjutan pengrajin ekonomi kreatif

8
10
13
17
20
23
24
26
27
28
46
47
59
62
64
64
78
81
82
82
83
84
85
86
87
88
88
89
90
91
92
93
93
94
94
95
98
101
105

40 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan
Análisis kebutuhan stakeholders
41 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan
análisis gabungan keberlanjutan dan kebutuhan stakeholders
42 Kerangka berpikir operasional antar peubah penelitian
43 Skenario strategi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di
Provinsi Sulawesi Selatan
44 Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario I
45 Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario II
46 Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III
47 Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan
48 Bagan interaksi antar atribut dalam pemberdayaan pengrajin ekonomi
kreatif
49 Model pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif di perdesaan

107
109
116
122
124
126
128
129
130
133

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Jumlah Unit Usaha, Tenaga Kerja dan Investasi menurut Jumlah
Sentra Industri Kecil di Kabupaten Wajo
Jumlah Unit Usaha, Tenaga Kerja dan Inverstasi menurut Jenis Sentra
Industri Kecil di Kabupaten Bulukumba
Peta administrasi Kabupaten Wajo
Peta administrasi Kabupaten Bulukumba
Peta Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba
Peta Kecamatan Sabbangparu Kabupaten Wajo
Peta Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo
Peta Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo
Peta Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo
Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Kelurahan Mattirotappareng
Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Desa Attakae

Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Desa Pakkana dan UjungE
Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Desa Tosora
Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Desa Sompe
Denah Lokasi Pengrajin Ekonomi kreatif Kelurahan Bira
Jumlah penduduk di Kabupaten Wajo
Jumlah penduduk di Kabupaten Bulukumba
Proses Pembuatan Kain Sutera
Indikator dimensi ekonomi
Indikator dimensi sosial
Indikator dimensi kelembagaan
Indikator dimensi lingkungan
Indikator dimensi perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif
Dimensi ekonomi dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi
kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan
Dimensi sosial dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi
kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan
Dimensi lingkungan dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi
kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan
Dimensi kelembagaan dan atribut keberlanjutan usaha pengrajin
ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan
Dimensi perilaku ekonomi kreatif dan atribut keberlanjutan usaha
pengrajin ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan
Kebutuhan stakeholders sebagai pelaku industri sutera
Sekilas pandang pengrajin ekonomi kreatif dari Desa Bira
Sekilas wajah pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo
Foto lokasi penelitian di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba
Lokasi penanaman daun murbei

165
165
166
166
167
167
167
168
168
168
169
169
169
170
170
171
171
172
175
176
176
176
177
178
181
182
183
184
185
186
188
189
190

34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46

Ulat sutera telah menjadi kokon
Perangkapan benang
Pewarnaan Sutera
Melakukan Tous Benang Sutera
Persiapan menenun pengrajin ekonomi kreatif
Pembuatan Corak pada Sutera
Alat ATBM yang digunakan Pengrajin Ekonomi Kreatif
Benang yang digunakan sebagai pengganti benang sutera
Hasil Tenun Pengrajin Ekonomi Kreatif
Kerajinan Sutera yang di pasarkan oleh pengusaha
Kerajinan Sutera batik yang mulai diproduksi
Foto bersama Tokoh masyarakat, Penyuluh Lapangan dan Pengusaha
Pemasaran Kerajinan Sutera di Provinsi Sulawesi Selatan

190
191
192
193
193
194
195
195
196
197
198
199
200

I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penduduk Indonesia yang berjumlah 243 juta jiwa, sekitar 30% hidup di
perdesaan dan 11,66% (sekitar 28,59 juta orang) hidup dalam kondisi miskin
(Bank Dunia, 2012). Upaya menurunkan tingkat kemiskinan telah dimulai awal
tahun 1970-an diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan
Bantuan Desa (Bandes). Upaya tersebut mengalami tahapan jenuh pada
pertengahan tahun 1980-an, yang berarti upaya penurunan kemiskinan di tahun
1970-an belum maksimal, sehingga jumlah orang miskin pada awal 1990-an
kembali naik.
Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan
bersifat multidimensi. Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan harus
dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat,
dan dilaksanakan secara terpadu mulai dari pangan, kesehatan, pendidikan sampai
kepada usaha ekonomi kreatif yang terus menerus diupayakan penanganannya
oleh seluruh pihak menyeluruh dan berkelanjutan yang disesuaikan dengan
keadaan masyarakat lokal setempat.
Konsep Ekonomi Kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era
ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan
mengandalkan ide dan pengetahuan dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai
faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia
mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari
yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) menjadi berbasis SDM, dari era
pertanian ke era industri dan informasi. Alvin Toffler (Tim Design Indonesia,
2008) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi
kedalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi
pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah gelombang
ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat merupakan
gelombang ekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide dan gagasan kreatif.
Namun demikian konsep tentang Ekonomi Kreatif, rupanya bukan konsep
yang sama sekali baru. Secara tersirat dalam risalah klasiknya tahun 1911, melalui
Theorie der Wirtschaftlichen Entwicklungen (Teori Pembangunan Ekonomi),
Schumpeter mengusulkan sebuah teori tentang “creative destruction.” Teori ini
menyatakan bahwa perusahaan baru dengan spirit kewirausahaan muncul dan
menggantikan perusahaan lama yang kurang inovatif. Fenomena ini selanjutnya
mengarahkan dinamika kehidupan dunia usaha ke tingkat pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi. Mungkin yang berbeda saat ini, konsep tentang ekonomi kreatif
tampak lebih eksplisit yang menandai era baru peradaban dan terdefinisikan
dengan baik, serta secara faktual ekonomi kreatif merupakan fenomena dan tren
pilihan alternatif terutama dalam memberikan kontribusi pada pertumbuhan
ekonomi global di era millenium ke tiga ini. Secara lebih lugas Howkins
mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai kegiatan ekonomi yang input dan
outputnya adalah gagasan atau dalam satu kalimat yang singkat, esensi dari
kreativitas adalah gagasan. Agaknya baik konsep kewirausahaan maupun konsep
ekonomi kreatif terdapat unsur benang merah yang sama, yakni terdapat konsep
kreatif, ide atau gagasan serta konsep inovasi (Pangestu, 2008).
1

2

Oleh karena itu dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan tercermin pada sasaran pembangunan ekonomi yang semula
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi kerakyatan, kini mulai bergeser pada
pertumbuhan ekonomi kreatif. Keseriusan Pemerintah Indonesia dalam
mengembangkan ekonomi kreatif ditandai dengan keluarnya Inpres No. 6 Tahun
2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif yang berisi instruksi Presiden
kepada Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, seluruh Gubernur
dan Bupati/Walikota yang intinya agar mendukung kebijakan pengembangan
Ekonomi Kreatif tahun 2009-2015, utamanya dalam pengembangan kegiatan
ekonomi yang mendasarkan pada kreativitas, ketrampilan daya kreasi dan daya
cipta dengan menyusun serta melaksanakan rencana aksi mendukung suksesnya
pengembangan ekonomi kreatif tersebut. Disamping itu, berdasarkan Perpres
N0.92/2011 pada tanggal 21 Desember 2011, telah dibentuk Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan visi untuk mewujudkan kesejahteraan
dan kualitas hidup masyarakat Indonesia dengan menggerakkan kepariwisataan
dan ekonomi kreatif. Dukungan ini diharapkan untuk lebih berkembang ke arah
pelaku Utama Ekonomi Kreatif, sehingga akan berpengaruh secara nyata terhadap
pemulihan ekonomi Indonesia.
Dalam usaha ekonomi kreatif terdapat pelaku utama ekonomi kreatif yang
berbasis lokal dengan keanekaragaman budaya. Melalui hal tersebut, diharapkan
pelaku utama ekonomi kreatif menghadapi tantangan globalisasi dengan tidak
menghilangkan identitas budaya yang dimiliki. Dirlanuddin (2010) menemukan
lemahnya petani menekuni usaha dan kurang mampu menjalin hubungan dari
berbagai pihak pada pola usaha industri agro.
Potensi usaha ekonomi kreatif sangatlah besar dalam meningkatkan
kreativitas berbasis kearifan lokal, daya kreativitas yang tinggi dan sisi
penjaminan produk dan pemasaran. Dengan adanya potensi yang ada memberikan
peluang bagi pelaku utama ekonomi kreatif dalam memberikan kontribusi
ekonomi yang nyata, menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun citra dan
identitas bangsa, mengembangkan ekonomi berbasis kepada sumber daya yang
terbarukan, menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan
kompetitif suatu bangsa, dan dapat memberikan dampak sosial yang positif.
Pangsa pasar yang dijanjikan untuk usaha ekonomi kreatif ini masih terbuka
sangat lebar, dan akan memiliki kecenderungan meningkat. Oleh karena itu
diperlukan pola hubungan kemitraan, sebagaimana dikemukakan oleh
Purnaningsih (2006) tentang kebutuhan bermitra yang diharapkan petani dapat
dipenuhi melalui pola kemitraan meliputi kebutuhan pemasaran, pinjaman modal
dan kebutuhan pembinaan.
Guna mendukung program ekonomi kreatif yang berkelanjutan sangat
dibutuhkan upaya-upaya pembinaan untuk mendorong terjadinya perubahan
perilaku pada individu, kelompok, komunitas ataupun masyarakat agar mereka
tahu, mau dan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya (Kuncoro
(2008); Amanah (2007); Astuti et al. (2008); Murtadlo (2012) ).
Kontribusi usaha ekonomi kreatif cukup besar terhadap Produk Domestik
Bruto yaitu rata-rata pada tahun 2002-2009 adalah sebesar 6,3% atau setara
dengan 104,6 triliun rupiah (nilai konstan) dan 152,5 triliun rupiah (nilai
nominal). Usaha ini telah mampu menyerap tenaga kerja rata-rata tahun 20022009 sebesar 5,4 juta dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8%. Tahun 2004 adalah

3

era keemasan bagi usaha ekonomi kreatif di Indonesia. Pada saat itu pertumbuhan
mencapai 8,17%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi
nasional saat itu sebesar 5,03%. Rata-rata pertumbuhan usaha ekonomi kreatif
tahun 2002-2009 sebesar 0,74% sehingga terjadi fluktuasi yang sangat tinggi.
Pemilihan strategi kebijakan dalam mengembangkan ekonomi kreatif khususnya
kerajinan sutera memberikan kontribusi yang terus meningkat dalam beberapa
tahun terakhir, yakni pada 2010 mencapai Rp 472,8 triliun dan mampu menyerap
11,49 juta tenaga kerja dan pada 2011 naik menjadi Rp 526 triliun dengan serapan
11,51 juta tenaga kerja. Tahun 2012 ditargetkan menjadi Rp 573,4 triliun dengan
serapan 11,57 juta tenaga kerja (Pangestu, 2008).
Hal ini menunjukkan bahwa usaha ini tumbuh dengan kuat dan
berkembang jika didukung dengan kondisi usaha dan lingkungan usaha yang
kondusif. Walaupun rata-rata pertumbuhan sektor usaha ekonomi kreatif tahun
2002-2009 hanyalah sebesar 0,74%, namun terdapat beberapa subsektor usaha
ekonomi kreatif yang memiliki pertumbuhan usaha yang baik, yaitu : subsektor
arsitektur, permainan interaktif, layanan komputer & piranti lunak, riset dan
pengembangan, periklanan, kerajinan, desain serta musik (Tim Design Indonesia,
2008).
Penelitian ini memfokuskan pada pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif
sebagai pelaku utama ekonomi kreatif di perdesaan dengan melibatkan peran
pelaku pemberdayaan dan kelembagaan yang ada di perdesaan. Salah satu upaya
strategi dalam menjawab masalah ketidakberdayaan dan kemiskinan masyarakat
adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat akan
memungkinkan terjadinya peningkatan peran kemampuan masyarakat untuk
menjangkau sumber daya disekitarnya. Peran masyarakat dapat terwujud melalui
pemberdayaan yang disesuaikan dengan potensi lokal baik sumber daya alam
maupun sumber daya manusia.
Dewasa ini harus diakui bahwa pengrajin ekonomi kreatif mengalami
keterpurukan pada umumnya dikarenakan berbagai hal, termasuk di antaranya
hasil produksinya semakin tersisihkan oleh produk-produk serupa yang dihasilkan
secara massal, oleh pabrik-pabrik yang sudah menggunakan teknologi modern.
Seiring dengan kondisi ini perubahan yang terjadi pada pengrajin
sebagai pelaku utama ekonomi kreatif berlangsung sangat cepat. Peran pengrajin
ekonomi kreatif menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh penyuluh
maupun pelaku pemberdayaan masyarakat. Kepedulian penyuluh maupun pelaku
pemberdayaan bekerja sama dengan pemerintah, pihak swasta dan Perguruan
Tinggi dipandang sangat penting, terutama untuk membantu para pengrajin
ekonomi kreatif yang mengalami kemunduran usahanya. Hasil penelitian Utami
(2007) menunjukkan adanya hubungan dalam pemberdayaan usaha kecil industri
kulit dengan perilaku kewirausahaan.
Menurut Widjajanti (2011) dan Rifai (2013), bahwa peran pelaku
pemberdayaan yakni membantu pelaku utama untuk mengorganisasikan diri,
berdaya, berkembang, mampu menghasilkan produk daya saing, mandiri,
bertanggung jawab dalam membantu komunitas, meningkatkan daya mereka
sendiri sehingga semakin mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, lebih
berdaya menolong dirinya sendiri, semakin berperan dalam memperkuat
ketahanan sosial akan semakin mantap menjembatani pencapaian tujuan dengan
berbagai kualitas pemberdayaan sesuai dengan sumber daya alam, budaya dan tipe

4

interaksi sosial. Oleh karena itu kompetensi peran pelaku pemberdayaan sangat
diharapkan sebagai orang yang mampu berkomunikasi, memotivasi,
memfasilitasi, memobilisasi, dan pengembangan jaringan kerja serta sebagai
pelaku dalam mengembangkan kelembagaan masyarakat.
Hal ini sesuai dengan implementasi UU No. 16/2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) yang mengamanatkan
potensi sumberdaya Indonesia agar dapat dimanfaatkan bagi kemajuan,
kemakmuran, dan kesejahteraan bangsa dan negara secara berkelanjutan sehingga
diperlukan adanya sumber daya manusia yang kompeten dan profesional.
Provinsi Sulawesi Selatan dengan ibukota Makassar, memiliki kedudukan
sebagai pusat pelayanan dan pengembangan di kawasan timur Indonesia. Hal ini
membuat Provinsi Sulawesi Selatan berusaha keras untuk mengelola berbagai
potensi kreatif yang ada. Apalagi jika dikaitkan dengan kebesaran kota Makassar
di masa lalu, maka kota ini merupakan salah satu kota besar di dunia dengan
keterbukaan aksesnya terhadap daerah perdagangan internasional.
Keunggulan komparatif yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan seperti
letak geografis, potensi sumber daya alam, dan infrastruktur sosial ekonomi, tidak
akan memberikan manfaat yang berarti tanpa dipertahankan dengan keunggulan
kompetitif. Keberadaan keunggulan ini akan menjadi pondasi utama untuk
membangun ekonomi kreatif Sulawesi Selatan yang berdaya saing tinggi.
Keunggulan kompetitif yang harus dibangun adalah laju produksi dan
perdagangan komoditas unggulan yang tinggi, ketahanan ekonomi kota yang kuat,
iklim usaha dan investasi yang kondusif serta kesempatan kerja dan usaha yang
tinggi. Sampai saat ini, subsektor ekonomi kreatif yang diperhatikan dan
dikembangkan dengan baik oleh Provinsi Sulawesi Selatan salah satunya adalah
subsektor kerajinan sutera.
Perkembangan ekonomi kreatif di Provinsi Sulawesi Selatan masih dalam
taraf pengembangan. Dukungan pemerintah masih diharapkan menjadi stimulus
untuk pengembangan ekonomi kreatif. Salah satu bentuk dukungan pemerintah
adalah dengan penyiapan anggaran sebesar 33 miliar untuk tahun 2013. Anggaran
ini dialokasikan untuk mendukung kegiatan ekonomi kreatif dengan 15 sektor
pengembangan (Tim Design Indonesia, 2008) yakni jasa periklanan, arsitektur,
seni rupa, kerajinan, desain, mode, film, musik, seni pertunjukkan, penerbitan,
riset dan pengembangan, software, TV dan Radio, Mainan dan Video Game.
Berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sepanjang
2012 usaha ekonomi kreatif telah memberikan kontribusi 7,74 persen terhadap
perekonomian di setiap daerah, terkhusus pada penyerapan tenaga kerja hingga
menghasilkan komoditas ekspor. Salah satu kesulitan ekonomi kreatif untuk
berkembang di daerah karena belum adanya badan yang khusus menangani sektor
tersebut pada tingkat kabupaten maupun provinsi. Padahal idealnya, pelaku utama
kreatif diwadahi sektor kepariwisataan daerah baik tingkat kabupaten dan kota
maupun provinsi, sehingga jika struktur organisasi sudah jelas maka para pelaku
ekonomi kreatif akan semakin mudah untuk menikmati berbagai program serta
mendapatkan kejelasan anggaran untuk pengembangannya.
Program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf)
bahwa sentra pengembangan industri kreatif di Indonesia adalah Jakarta,
Yogyakarta, Bali, Bandung dan Sulsel yang diproyeksikan pada 2013 sudah
mampu mengaplikasikan struktur organisasi ekonomi kreatif di lingkup

5

kepariwisataan. Kemenparekraf juga telah memetakan 33 provinsi di Indonesia
terkait pengembangan industri kreatif dalam dua kategori yang dinilai dari segi
kreativitas dan ciri khas ke wilayahannya.
Kabupaten Wajo dan Bulukumba yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan
merupakan daerah pertenunan sutera yang paling banyak digeluti oleh pelaku
utama ekonomi kreatif. Hal ini dilatar belakangi oleh produk kain sutera yang
mempunyai nilai kegunaan yang dipadukan dengan nilai estetika budaya
setempat. Perpaduan nilai tersebut menghasilkan profil tersendiri yang mencirikan
produk kain sutera khas Wajo dari Kabupaten Wajo dan khas Bira dari Kabupaten
Bulukumba.
Salah satu alasan mengapa bahan sutera tumbuh dan berkembang di daerah
ini mengingat peminat kain sutera bukan hanya di kalangan wanita tetapi kalangan
pria pun gemar menggunakan bahan sutera. Terlebih pada setiap perhelatan acaraacara adat, baik acara pengantin maupun pesta adat lainnya masih didominasi oleh
bahan sutera, sehingga tak heran jika permintaan pasar sangat tinggi meskipun
harga bahan yang terbuat dari sutera cukup tinggi.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah perkembangan usaha ekonomi
kreatif sangat dipengaruhi oleh perkembangan motif dan model dari sutera. Oleh
karena permintaan produk dengan model yang berkembang terus menuntut
kreativitas dan inovasi produk yang tinggi (Tim Brown, 2008). Kenyataan yang
ada menunjukkan bahwa pelaku utama ekonomi kreatif memiliki variasi produk
yang sangat monoton sehingga kadang timbul kejenuhan dari konsumen. Hal ini
terkait pula dengan rendahnya kapasitas pelaku utama ekonomi kreatif dalam hal
perencanaan, keberlanjutan usaha dan rendahnya keberpihakan lingkungan.
Pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan usaha ekonomi kreatif
adalah pendekatan individu dengan tujuan mewujudkan aspirasi dan kebutuhan
usaha melalui konsep pemberdayaan, kelembagaan dan usaha ekonomi kreatif.
Untuk pengembangan keberlanjutan di masa akan datang diperlukan adanya suatu
model pemberdayaan yang mampu meningkatkan kemampuan pengrajin
ekonomi kreatif sebagai pelaku utama sehingga mampu berkolaborasi dengan
pendukung usaha lainnya dan mandiri serta berkelanjutan dengan kualitas sumber
daya manusia yang dapat memperbaiki kesejahteraan rumah tangganya melalui
usaha ekonomi kreatif.
Masalah Penelitian
Pemberdayaan berasal dari bahasa lnggris, empowerment. Power dapat
diartikan sebagai kekuasaan (executive power), atau kekuatan (pushing power),
atau daya (horse power). Dengan pemahaman mengenai hakekat power bahwa
untuk memajukan secara nyata mereka yang tertinggal, yang berada di lapisan
yang paling bawah dalam suatu kondisi ketimpangan, adalah dengan
membangkitkan keberdayaan mereka, sehingga memiliki bagian dari power, yang
memungkinkan memperbaiki kehidupan dengan kekuatan sendiri. lnilah konsep
empowerment atau pemberdayaan. Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari
dalam, tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari
luar.

6

Pemberdayaan memiliki tujuan dua arah. Pertama, melepaskan belenggu
kemiskinan dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat
dalam struktur kekuasaan. Keduanya harus ditempuh, dan menjadi sasaran dari
upaya pemberdayaan (Kartasasmita, 1996). Pemberdayaan masyarakat bukan
membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada program-program
pemberian (charity), karena pada dasarnya suatu dinikmati, harus dihasilkan atas
usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan
demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat dan membangun
kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara
sinambung. Oleh karena pemberdayaan menyangkut perubahan bukan hanya
kemampuan, melainkan juga sikap.
Pemberdayaan masyarakat tidak hanya akan menghasilkan emansipasi
ekonomi dan politik masyarakat di lapisan bawah, tetapi akan menjadi wahana
transformasi budaya. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan memiliki
keyakinan yang lebih besar akan kemampuan dirinya. Ia tidak lagi harus
menyerah kepada nasib, bahwa kemiskinan adalah bukan takdir yang tidak dapat
diatasi. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat,
disiplin, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok upaya
pemberdayaan ini. Pemberdayaan masyarakat membuka pintu pada proses
akulturasi, yaitu perpaduan nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama yang
menggambarkan jati diri. Nilai lama yang relevan dapat tetap dipertahankan,
karena diyakini tidak perlu mengganggu proses modernisasi yang berlangsung
dalam dirinya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu warga
masyarakat, melainkan juga pranata-pranatanya.
Demikian pula pembaharuan institusi sosial dan pengintegrasiannya ke
dalam kegiatan pembangunan serta peran masyarakat di dalamnya. Melalui proses
budaya itu pula keberdayaan masyarakat akan diperkuat dan diperkaya, dan
dengan demikian akan makin kuat pula aksesnya kepada sumber power. Melalui
proses spiral itu, maka akan tercipta masyarakat yang berkeadilan, karena
konstelasi kekuasaan sudah dibangun di atas landasan pemerataan (Kartasasmita,
1996).
Menurut Nauman et al. (2009), pemberdayaan seringkali didefinisikan
memberi orang kesempatan untuk membuat keputusan-keputusan dengan
memperluas otonomi pengambilan keputusan. Nielsen dan Christian (2003)
menjelaskan bahwa empowerment dapat sebagai penyebaran informasi,
memberikan pengetahuan bagi seluruh elemen-elemen yang dibutuhkan sehingga
penting memberi mereka keahlian dan informasi.
Menurut Bird (1996), berbagai penelitian telah berhasil memetakan
permasalahan industri kecil namun aspek perilaku usaha ekonomi kreatif belum
mendapat perhatian khusus. Peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas
dengan ide, talenta, desain, inovatif, kreatif dan berdaya saing serta bermutu akan
membawa pengrajin ekonomi kreatif ke usaha ekonomi kreatif yang berkelanjutan
dalam meningkatkan pendapatan pengrajin ekonomi kreatif.
Suatu komunitas yang memiliki aktivitas produktif dalam
mengembangkan usahanya, akses permodalan merupakan salah satu syarat
penting dalam aktivitas ekonomi. Lambannya perkembangan industri sutera
disebabkan karena harga bahan baku yang relatif mahal dan tidak stabil serta
sulitnya mendapatkan bahan baku benang sutera yang berkualitas tinggi utamanya

7

benang produksi lokal sehingga membutuhkan upaya dari pihak yang
berkompeten untuk terus berupaya mengatasi hal tersebut. Permodalan dan akses
informasi yang masih terbatas sehingga kondisi tersebut dapat diindikasikan
menghambat keberdayaan pengrajin ekonomi kreatif. Fenomena lain adalah
kekurang-akuratan pemerintah Kabupaten Wajo dan Bulukumba dalam
mengindentifikasi dan menganalisis permasalahan yang dihadapi oleh pengrajin
ekonomi kreatif.
Berbagai permasalahan yang masih dijumpai yaitu belum adanya klasifikasi
harga terhadap produk sehingga dapat menimbulkan persepsi yang keliru terhadap
produk sutera yang dihasilkan, akses sumber permodalan disebabkan karena
tingkat keyakinan perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya untuk mendanai
kegiatan usahanya masih rendah, belum berjalannya dengan baik kelembagaan
yang menghimpun pelaku utama ekonomi kreatif, belum tertatanya dengan baik
pemasaran produk sutera utamanya dalam pemasaran luar daerah dan pulau Jawa
sehingga sering menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, belum adanya
upaya maksimal dalam perlindungan hak cipta utamanya kreasi motif dan desain
yang mengakibatkan kerugian bagi pengrajin ekonomi kreatif yang berorientasi
terhadap usaha ekonomi kreatif, serta variasi produk yang sangat monoton. Oleh
karena sebagai pengrajin ekonomi kreatif dalam mencapai tujuan meningkatkan
kesejahteraan hidupnya maka diharapkan mampu menuju proses penumbuhan
daya cipta (kreativitas) yang lebih beragam dan pembinaan yang dapat diterapkan
di segala sisi kehidupan.
Melihat berbagai tantangan permasalahan yang telah diuraikan,
menunjukkan bahwa pemberdayaan memerlukan adanya dukungan pemerintah,
lembaga pemberdayaan dan pihak swasta sehingga diharapkan dapat mendukung
ciri khas kabupaten penghasil sutera khususnya untuk Kabupaten Wajo dan
Bulukumba. Berdasarkan hal tersebut mak