Pengolahan Air Limbah Industri Laundry dengan Metode Koagulasi Kimia dan Elektrokimia

PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI LAUNDRY
DENGAN METODE KOAGULASI KIMIA DAN
ELEKTROKIMIA

FANTY RACHMAH

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTAIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengolahan Air
Limbah Industri Laundry dengan Metode Koagulasi Kimia dan Elektrokimia
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Fanty Rachmah
NIM F34090045

ABSTRAK
FANTY RACHMAH. Pengolahan Air Limbah Industri Laundry dengan Metode
Koagulasi Kimia dan Elektrokimia. Dibimbing oleh SUPRIHATIN.
Air limbah industri laundry ditangani dengan metode koagulasi kimia dan
elektrokimia. Tujuan penelitian ini adalah sebagai penentuan pengolahan air
limbah industri laundry yang terbaik, mengetahui kandungan parameter pencemar
air limbah hasil olahan kedua metode tersebut, penambahan dosis koagulan yang
optimum dengan metode koagulasi kimia, dan kombinasi terbaik dari tegangan
listrik dan waktu kontak operasi yang optimum pada proses elektrokimia. Pada
proses koagulasi kimia, sampel ditambahkan PAC dan Alum serta diaduk dengan
kecepatan pengadukan 120 rpm dalam waktu 1 menit dan 45 rpm selama 30 menit.
Perlakuan sampel dilakukan dengan dan tanpa pengaturan pH awal. Pengamatan
menunjukkan adanya penurunan seluruh parameter pencemar air. Dosis koagulan
terbaik pada limbah yang digunakan kembali (alternatif 1) adalah 800 mg/liter dan

sekitar 200 mg/liter hingga 600 mg/liter untuk Alum. Sedangkan pada hasil
pengolahan limbah yang dibuang langsung ke lingkungan (alternatif 2) dihasilkan
penambahan dosis koagulan terbaik pada dosis 20 mg/l untuk PAC dan 200 mg/l
untuk alum dengan dan tanpa pengaturan pH. Biaya bahan untuk alternaif 1
adalah pada koagulan PAC dosis 800 mg/l dengan biaya bahan Rp 8000/m3 dan
sekitar Rp 900/m3 hingga Rp 2700/m3 untuk alum dengan dosis alum sekitar 200
hingga 600 mg/liter. Pada alternatif 2 biaya terendah adalah pada PAC dengan
dosis 20 mg/l dan biaya bahan sebesar Rp 20/m3. Proses elekrokimia sampel
diberi tegangan listrik 9, 12, 15, 18, dan 24 V dan dikombinasikan dengan waktu
15, 30, 45, dan 60 menit. Pengamatan menunjukkan peningkatan nilai pH, warna,
kekeruhan, TSS, dan COD serta penurunan kadar fosfat dan kadar deterjen pada
proses elektrokimia berturut-turut hingga 1.30 mg/liter dan 0.08 mg/liter.
Kata kunci: koagulai kimia, elektrokimia, air limbah industri laundry.

ABSTRACT
FANTY RACHMAH. Wastewater Treatment of Laundry Industrial with
Chemical Coagulation and Electrochemical Methods. Supervised by
SUPRIHATIN.
The wastewater of laundry industrial have handle it with chemical
coagulation and electrochemical. The observation of this case as good as

experiment about the wastewater of laundry industry, knowledge content
parameters of wastewater from processed by both methods, learn additional
coagulant dose have optimum with methode of chemical coagulation, than as
good as combination from electrical power and time of power electric shock
optimum operation for electrochemical process. Process of chemical coagulation

such as added with PAC and alum stirred with 120 rpm about 1 minute and 30
minute for 45 rpm. There is electric power 9, 12, 15, 18, and 24 voltages
combined with the specific time (15, 30, 45, and 60 minute). The second
processing of analyzed the results of water pollution like pH, colours, turbidity,
TSS, COD, phosphate-up, and level of detergent. Observation produce the rate of
reduction of phosphate and detergent in successive electrochemical process until
1.30 mg/liter and 0.08 mg/liter. The best of alternative coagulant dose from
wastewater that can be reused (alternative 1) is 800 mg/liter for PAC and around
200 mg/liter until 600 mg/liter for alum. Whereas, coagulant doses from the
wastewater directly discharged into the environment (alternative 2) as good as
about 20 mg/liter for PAC and 200 mg/liter for alum with pH and without pH.
Cost of materials for alternative 1 is the coagulant PAC doses 800 mg/liter with
cost materials Rp 8000/m3 and around Rp 900/m3 until Rp 2700/m3 for alum with
doses about 200 until 600 mg/liter. The alternative 2 have a lowest cost around 20

mg/liter for PAC doses and cost materials about Rp 20/m3.
Keywords: chemical coagulation, electrochemical, wastewater of laundry
industrial.

PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI LAUNDRY
DENGAN METODE KOAGULASI KIMIA DAN
ELEKTROKIMIA

FANTY RACHMAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Judul Skripsi: Pengolahan Ai, Limbah Industri Laundry dengan Metode
Koagulasi Kimia dan Elektrokimia
: Fanty Rachmah
Nama
: F34090045
NIM

Disetujui oleh

Prof Dr lng lr Suprihatin
Pembimbing

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Pengolahan Air Limbah Industri Laundry dengan Metode
Koagulasi Kimia dan Elektrokimia
Nama
: Fanty Rachmah
NIM

: F34090045

Disetujui oleh

Prof Dr Ing Ir Suprihatin
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi berjudul “Pengolahan Air Limbah
Industri Laundry dengan Metode Koagulasi Kimia dan Elektrokimia” berhasil
diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan selama
Februari sampai Juli 2013 ini adalah pengolahan air limbah.

Penulisan menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa
kepada:
1.
Prof Dr Ing Ir Suprihatin selaku Pembimbing Akademik atas perhatian dan
bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi
2.
Ayahanda Dadang Kusnawan dan Ibunda Sri Suryati beserta keluarga besar
atas doa, semangat, dan kasih sayangnya
3.
Aulia, Fatia, Agus dan Alfian selaku sahabat atas bantuan dan dukungan
yang telah diberikan
4.
Moh. Nasarullah dan keluarga besar TIN 46 atas semangat dan kebersamaan
yang telah diberikan
5.
Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Fanty Rachmah


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA


3

Limbah Cair Industri Laundry

3

Deterjen dan Senyawa Penyusunnya

3

Surfaktan

4

Metode Pengolahan Limbah Cair

5

Pengolahan Limbah Cair Secara Kimia


5

Koagulasi Kimia

6

Jar test

8

Elektrokimia

9

METODE

11

Bahan

11

Alat

12

Metodologi

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

16

Metode Koagulasi Kimia

16

Metode Elektrokimia

24

SIMPULAN DAN SARAN

29

Simpulan

29

Saran

30

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

42

DAFTAR TABEL
1 Jenis-jenis surfaktan pada deterjen
2 Perbandingan antara parameter pencemar air dengan standar baku mutu
air bersih dan dosis koagulan yang dipilih
3 Perbandingan antara parameter pencemar air dengan standar baku mutu
limbah cair dan dosis koagulan yang dipilih
4 Perbandingan antara dosis koagulan yang dipilih dengan besar biaya
bahan pada alternatif 1
5 Perbandingan antara dosis koagulan yang dipilih dengan besar biaya
bahan pada alternatif 2

4
23
23
24
24

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Penggunaan surfaktan di seluruh dunia
Proses pengikatan koloid oleh koagulan
Proses elektrokimia
Rancangan unit proses elektrokimia
Proses Koagulasi Kimia
Skema penelitian pengolahan air limbah laundry dengan metode
koagulasi kimia
Proses Elektrokimia dengan katoda alumunium
Skema penelitian pengolahan air limbah laundry dengan metode
koagulasi kimia
Grafik nilai pH terhadap penambahan dosis koagulan
Grafik nilai kekeruhan terhadap penambahan dosis koagulan
Grafik nilai warna terhadap penambahan dosis koagulan
Grafik nilai TSS terhadap penambahan dosis koagulan
Grafik nilai COD terhadap penambahan dosis koagulan
Grafik kadar fosfat terhadap penambahan dosis koagulan
Grafik kadar deterjen terhadap penambahan dosis koagulan
Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai pH
Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai
kekeruhan
Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai
warna
Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai TSS
Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap nilai COD
Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap
konsentrasi fosfat
Grafik pengaruh variasi tegangan dan waktu kontak terhadap
konsentrasi deterjen

5
7
10
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
21
22
25
25
26
27
27
28
29

DAFTAR LAMPIRAN
1 Standar baku mutu air bersih berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 416/MEN.KES/PER/IX/1990
2 Standar baku mutu limbah cair industri berdasarkan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor : KEP-51/MENLH/10/1995
3 Spesifikasi PAC
4 Spesifikasi Alum
5 Perhitungan metode elektrokimia
6 Metode analisis parameter pencemar air limbah

33
34
35
36
37
40

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan pesat industri laundry berpengaruh besar terhadap
lingkungan sekitarnya. Limbah yang dihasilkan memiliki kandungan polutan di
atas rata-rata air baku. Oleh sebab itu, perlu penanganan lebih lanjut agar air
limbah dapat digunakan kembali untuk kegiatan produksi dan tidak mencemari
lingkungan di sekitar lokasi pembuangan limbah.
Deterjen merupakan bahan utama yang digunakan pada industri laundry.
Produk yang disebut deterjen ini meliput semua bahan pembersih sintetik yang
terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Pada umumnya deterjen
mengandung bahan-bahan seperti, surfaktan, builder (pembentuk), filler (pengisi),
dan additives.
Kemampuan detergen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang
menempel pada kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri
yang menyebabkan infeksi dan meningkatkan umur pakaian sudah tidak
diragukan lagi. Banyak manfaat penggunaan deterjen menjadikannya benda
penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Namun,
perlu diakui bahwa bahan kimia yang digunakan dalam detergen dapat
menimbulkan dampak negatif, baik terhadap kesehatan maupun lingkungan
sekitar. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen adalah surfaktan dan
builders. Kedua bahan tersebut diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan
tidak langsung terhadap manusia dan lingkungan (Yuliarti 2008).
Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit menjadi kasar, hilangnya
kelembaban alami yang ada pada permukaan kulit dan meningkatkan
permeabilitas permukaan luar. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kulit
manusia hanya mampu memiliki toleransi kontak dengan bahan kimia dengan
kandungan 1% LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) dan AOS (Alpha Olein
Sulfonate) yang berakibat iritasi ringan pada kulit. Surfaktan kationik bersifat
toksik jika tertelan dibandingkan dengan surfaktan anionik dan non-ionik. Sisa
bahan surfaktan yang terdapat dalam detergen dapat membentuk chlorbenzene
pada proses kloronisasi pengolahan air minum PDAM. Chlorbenzene merupakan
senyawa kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan (Yuliarti 2008).
Deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan
yang mengakibatkan penurunan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan
oksigennya rendah. Keberadaan busa-busa di permukaaan air menjadi salah satu
penyebab terbatasnya kontak udara dan air sehingga menurunkan oksigen terlarut.
Hal ini menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan mendatangkan
kematian.
Builders yang paling banyak dimanfaatkan di dalam deterjen adalah fosfat.
Fosfat memegang peranan penting dalam produk deterjen, yaitu sebagai pelunak
air. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion
kalsium dan magnesium. Berkat aksi pelunaknya, efektivitas daya cuci deterjen
meningkat. Fosfat yang biasa dijumpai pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly
Phosphate (STPP). Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya
merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan makhluk hidup. Namun,

2
dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat menyebabkan pengkayaan unsur
hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air sehingga badan air kekurangan
oksigen akibat pertumbuhan alga (phytoplankton) yang berlebihan yang
merupakan makanan bakteri. Populasi bakteri yang berlebihan akan menggunakan
oksigen yang terdapat dalam air sampai suatu saat terjadi kekurangan oksigen di
badan air dan pada akhirnya justru membahayakan kehidupan makhluk air dan
sekitarnya (Yuliarti 2008).
Menurut Morse et al. (1993) yang dikutip oleh Saefumillah (2003), senyawa
fosfat yang masuk ke dalam air berasal dari antara lain 10% berasal dari proses
alamiah di lingkungan itu sendiri (background source), 7% dari industri, 11% dari
deterjen, 17% dari pupuk pertanian, 23% dari limbah manusia, dan yang terbesar
32% dari limbah peternakan. Melihat besarnya konsumsi deterjen oleh masyarakat
dan industri, maka air limbah domestik maupun limbah industri yang
menggunakan deterjen sangat potensial mencemari lingkungan perairan, terutama
air buangan dari deterjen yang mengandung fosfat harus diolah terlebih dahulu
sebelum dibuang ke badan air. Oleh karena itu harus ditangani segera, dengan
dicari alternaif teknik pengolahannya.

Perumusan Masalah
1. Pengaruh pengolahan air limbah indusri laundry secara kimia dan fisika.
2. Pemilihan metode yang terbaik dilihat dari segi penurunan parameter
pencemar air.

Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : i) untuk membandingkan proses
pengolahan air limbah secara kimia dan fisika, ii) mengetahui kandungan
parameter pencemar air limbah hasil olahan kedua metode tersebut meliputi pH,
warna, kekeruhan, TSS, COD, kadar fosfat dan kadar deterjen, iii) untuk
mengetahui penambahan dosis koagulan yang optimal dalam pengolahan air
limbah industri laundry melalui proses koagulasi kimia, serta iv) kombinasi
terbaik dari tegangan listrik dan waktu kontak operasi pada proses elektrokimia
terhadap efisiensi pengurangan parameter pencemar air limbah.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah untuk menurunkan kandungan parameter
pencemar air limbah sehingga air limbah dapat digunakan kembali untuk kegiatan
produksi, sebagai alternatif metode pengolahan air limbah dan untuk menurunkan
biaya pengolahan pengolahan.

3
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada pengolahan air limbah industri laundry
yang dihasilkan pada PT Aura Petra Jaya, Bekasi Timur. Kegiatan penelitian
yang dilakukan meliputi karakterisasi air limbah industri laundry, pengolahan
air limbah dengan metode koagulasi kimia dan elektrokimia, serta hasil
pengolahan air limbah dengan metode koagulasi kimia dan elektrokimia
dianalisis. Pengujian terdiri atas pH, kekeruhan, warna, TSS, COD, kadar fosfat
dan kadar deterjen.

TINJAUAN PUSTAKA
Limbah Cair Industri Laundry
Proses laundry menghasilkan air limbah yang berasal dari bleaching
(pemucat), water softener, dan surfactant (Turk et al. 2005). Konsentrasi, jenis
dan jumlah zat kimia yang ditambahkan selama proses laundry tergantung pada
jenis bahan yang akan dibersihkan dan jumlah bahan yang akan dibuang ke
permukaan tanah. Surfaktan mempunyai kemampuan yang unik untuk
menyisihkan padatan yang larut maupun tidak larut dalam air. Regulasi dan
kepedulian terhadap lingkungan, menginginkan agar konsentrasi surfaktan pada
effluen harus direduksi sampai tingkat tertentu yang aman terhadap lingkungan.
Air limbah dari proses laundry dilaporkan mengandung bahan (zat) yang kotor,
mineral oil, logam berat, dan material berbahaya yang mempunyai kandungan
COD antara 1200 sampai dengan 20,000 mg/liter. Komposisi air limbah laundry
terdiri dari air 80%, surfaktan 5%, polifosfat 8%, penstabil busa 1,2%, senyawa
silica 1%, karbonsimetilselulose 0,2% dan sodium sulfat 4,6% (Fair 1968).
PT Aura Petra Jaya merupakan industri yang bergerak di bidang jasa
pencucian atau laundry. Industri ini membutuhkan air dalam jumlah yang cukup
banyak dalam proses pencuciannya. Air yang digunakan untuk proses tersebut
akan dikeluarkan lagi sebagai cairan buangan atau limbah cair. Seperti yang telah
diketahui bahwa untuk mencuci suatu bahan memerlukan bahan penghilang noda
atau sering disebut sebagai deterjen. Limbah cair yang dari hasil proses pencucian
mengandung beberapa komponen penyusun deterjen yang menjadi sumber
pencemaran bagi lingkungan sekitar (Yuliarti 2008).

Deterjen dan Senyawa Penyusunnya
Deterjen merupakan suatu senyawa yang termasuk dalam zat aktif
permukaan (surface active agent) yang digunakan sebagai zat pencuci. Senyawa
sintetik ini tidak hanya digunakan dalam keperluan rumah tangga, tetapi juga
industri tekstil, kosmetik, obat-obatan, logam, kertas dan karet, karena sifatsifatnya dalam hal dispersi (pelarutan), pencucian dan emulsi (Austin 1986).
Bahan deterjen yang umum digunakan adalah Dodecyl Benzen Sulfonat. Di dalam

4
air, deterjen akan mengalami ionisasi membentuk komponen bipolar aktif yang
akan mengikat ion Ca dan atau Mg pada air sadah. Untuk dapat membersihkan
kotoran dengan baik, deterjen diberikan bahan pembentuk yang bersifat alkalis.
Contoh bahan pembentuk yang bersifat alkalis yaitu Natrium tripoliposfat
(Wardhana 2001).
Deterjen mengandung sekitar 25 macam bahan (ingredient) yang dapat
dikelompokkan sebagai 1) surfaktan, 2) builder, 3) bleaching agents dan 4)
additives (Smulders 2002). Tiap komponen tersebut mempunyai peran spesifik
dalam proses pencucian. Surfaktan merupakan kelompok yang sangat penting
dalam deterjen, dan hampir semua deterjen mengandung surfaktan.

Surfaktan
Surfaktan merupakan senyawa yang larut dalam air yang dapat dibedakan
atas 1) surfaktan anionik 2) surfaktan nonionik 3) surfaktan kationik dan 4)
surfaktan amfoterik. Tabel 1 memperlihatkan jenis-jenis surfaktan yang biasanya
terdapat dalam deterjen.
Tabel 1 Jenis-jenis surfaktan pada deterjen
Rumus Bangun

No.

Surfaktan

1

Alkil
(polietilen)
glikol Ethers
Alkilsulfonat

Non ionic

3

Dialkildimetilamonium Chloride

Kationik

4

Betaines

2

Sumber : Smulders (2002).

Jenis Surfaktan

Anionik

Amfoterik

5
Gambar 1 menampilkan jenis-jenis surfaktan yang banyak digunakan dalam
deterjen. Di Asia Pasifik dan Amerika Latin, Linear Alkylbenzene Sulfonate
(LAS) merupakan senyawa surfaktan anionik yang banyak digunakan dalam
deterjen.

Gambar 1 Penggunaan surfaktan di seluruh dunia (Smulders 2002)

Metode Pengolahan Limbah Cair
Teknologi pengolahan air limbah adalah kunci dalam memelihara
kelestarian lingkungan. Apapun macam teknologi pengolahan air limbah industri
yang dibangun harus dapat dioperasikan dan dipelihara oleh perusahaan setempat.
Berbagai teknik pengolahan air buangan untuk menyisihkan bahan polutannya
telah dicoba dan dikembangkan selama ini.
Menurut Wardhana (2001) teknik-teknik pengolahan air buangan yang telah
dikembangkan tersebut secara umum terbagi menjadi tiga metode pengolahan:
1. Pengolahan secara kimia
2. Pengolahan secara fisika
3. Pengolahan secara biologi
Untuk suatu jenis air buangan tertentu, ketiga metode pengolahan tersebut dapat
diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau secara kombinasi.

Pengolahan Limbah Cair Secara Kimia
Pengolahan limbah cair secara kimia dilakukan untuk memisahkan partikel–
partikel koloid zat padat tersuspensi yang halus dan senyawa lain yang sulit
dipisahkan dengan cara pengolahan fisika (Supriyati 1991). Prinsip yang

6
digunakan untuk mengolah limbah cair secara kimia adalah menambahkan bahan
kimia (koagulan) yang dapat mengikat bahan pencemar yang dikandung air
limbah, kemudian memisahkannya (mengendapkan atau mengapungkan).
Kekeruhan dalam air limbah dapat dihilangkan melalui penambahan atau
pembubuhan sejenis bahan kimia yang disebut flokulan. Pada umumnya bahan
seperti aluminium sulfat (tawas), fero sulfat, poli ammonium klorida atau poli
elektrolit organik dapat digunakan sebagai flokulan. Untuk menentukan dosis
yang optimal, flokulan yang sesuai dan pH yang digunakan dalam proses
pengolahan air limbah, secara sederhana dapat dilakukan dalam laboratorium
dengan menggunakan jar test yang merupakan model sederhana dari proses
koagulasi. Dalam pengolahan limbah cara ini, hal yang penting harus diketahui
adalah jenis dan jumlah polutan yang dihasilkan dari proses produksi. Umumnya
zat pencemar industri kain terdiri atas tiga jenis yaitu padatan terlarut, padatan
koloidal, dan padatan tersuspensi (Supriyati 1991).
Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan
membubuhkan elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan
muatan koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga
akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor dilakukan
dengan membubuhkan larutan alkali (air kapur misalnya) sehingga terbentuk
endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit. Endapan
logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10.5 dan untuk hidroksiapatit pada
pH > 9.5. Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom
hidroksida [Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan
membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5). Penyisihan bahan-bahan
organik beracun seperti fenol dan sianida pada konsentrasi rendah dapat dilakukan
dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl2), kalsium permanganat, aerasi, ozon
hidrogen peroksida. Pada dasarnya kita dapat memperoleh efisiensi tinggi dengan
pengolahan secara kimia, akan tetapi biaya pengolahan menjadi mahal karena
memerlukan bahan kimia (Notoatmodjo 2003).

Koagulasi Kimia
Salah satu metode yang banyak digunakan dalam pretreatment dari industri
laundry adalah teknik koagulasi kimia yang diikuti dengan flotasi menggunakan
udara (Dissolved Air Flotation) (Ciabatti et al. 2009). Koagulasi kimia adalah
salah satu proses kimia yang digunakan untuk menghilangkan bahan cemaran
yang tersuspensi atau dalam bentuk koloid. Partikel-partikel koloid ini tidak dapat
mengendap sendiri dan sulit ditangani oleh perlakuan fisik. Pada proses ini,
koagulan dan air limbah yang akan diolah dicampurkan dalam suatu wadah atau
tempat kemudian dilakukan pengadukan secara cepat agar diperoleh campuran
yang merata distribusi koagulannya sehingga proses pembentukan gumpalan atau
flok dapat terjadi secara merata pula. Kemudian terbentuk flok-flok lembut yang
dapat disatukan. Penggoyahan partikel koloid ini akan terjadi apabila elektrolit
yang ditambahkan dapat diserap oleh partikel koloid sehingga muatan partikel
menjadi netral. Penetralan muatan partikel oleh koagulan hanya mungkin terjadi
jika muatan partikel mempunyai konsentrasi yang cukup kuat untuk mengadakan

7
gaya tarik menarik antara partikel koloid. Keefektifan proses ini bergantung pada
konsentrasi serta jenis koagulan, pH dan temperatur.
Teknik koagulasi adalah pengolahan yang telah lama dikenal yaitu dengan
cara menambahkan senyawa kimia seperti garam-garam Al3+ dan Fe3+ atau
senyawa polimer organik. Koagulasi adalah metode untuk menghilangkan bahanbahan limbah dalam bentuk koloid, dengan menambahkan koagulan. Dengan
koagulasi, partikel-partikel koloid akan saling menarik dan menggumpal
membentuk flok (Suryadiputra 1995). Proses pengikatan partikel koloid dapat
dilihat pada Gambar 2.
Tujuan pengadukan cepat adalah untuk mempercepat dan menyeragamkan
penyebaran zat kimia melalui air yang diolah. Koagulan yang umum digunakan
adalah alumunium sulfat, feri sulfat, fero sulfat dan PAC.

Gambar 2 Proses pengikatan koloid oleh koagulan (CG)
Pengadukan cepat yang efektif sangat penting ketika menggunakan
koagulan logam seperti alum dan ferric chloride, karena proses hidrolisisnya
terjadi dalam hitungan detik dan selanjutnya terjadi adsorpsi partikel koloid.
Waktu yang dibutukan untuk zat kimia lain seperti polimer (polyelectrolites),
chlorine, zat kimia alkali, ozone, dan potassium permanganat, tidak optimal
karena tidak mengalami reaksi hidrolisis.
Menurut Sawyer dan McCarty (1978) terdapat tiga tahapan penting yang
diperlukan dalam proses koagulasi yaitu : tahap pembentukan inti endapan, tahap
flokulasi, dan tahap pemisahan flok dengan cairan.
a.
Tahap Pembentukan Inti Endapan
Pada tahap ini diperlukan zat koagulan yang berfungsi untuk penggabungan
antara koagulan dengan polutan yang ada dalam air limbah. Agar penggabungan
dapat berlangsung diperlukan pengadukan dan pengaturan pH limbah.
Pengadukan dilakukan pada kecepatan 60-100 rpm selama 1-3 menit; pengaturan
pH tergantung dari jenis koagulan yang digunakan, misalnya untuk : Alum pH 68, Fero Sulfat pH 8-11, Feri Sulfat pH 5-9, dan PAC pH 6-9.3.
b.
Tahap Flokulasi
Pada tahap ini terjadi penggabungan inti inti endapan sehingga menjadi
molekul yang lebih besar, pada tahap ini dilakukan pengadukan lambat dengan
kecepatan 40-50 rpm selama 15-30 menit. Untuk mempercepat terbentuknya flok
dapat ditambahkan flokulan misalnya polielektrolit. Polielektrolit digunakan
secara luas, baik untuk pengolahan air proses maupun untuk pengolahan air
limbah industri. Polielektrolit dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu nonionik,
kationik dan anionik; biasanya bersifat larut air. Sifat yang menguntungkan dari
penggunaan polielektrolit adalah : volume lumpur yang terbentuk relatif lebih

8
kecil, mempunyai kemampuan untuk menghilangkan warna, dan efisien untuk
proses pemisahan air dari lumpur (dewatering).
c.
Tahap Pemisahan Flok dengan Cairan Flok
Tahap pemisahan flok dengan cairan flok yang terbentuk selanjutnya harus
dipisahkan dengan cairannya, yaitu dengan cara pengendapan atau pengapungan.
Bila flok yang terbentuk dipisahkan dengan cara pengendapan, maka dapat
digunakan alat clarifier, sedangkan bila flok yang terjadi diapungkan dengan
menggunakan gelembung udara, maka flok dapat diambil dengan menggunakan
skimmer. Image clarifier berfungsi sebagai tempat pemisahan flok dari cairannya.
Clarifier diharapkan lumpur benar-benar dapat diendapkan sehingga tidak
terbawa oleh aliran air limbah yang keluar dari clarifier, untuk itu diperlukan
perencanaan pembuatan clarifier yang akurat. Kedalaman clarifier dipengaruhi
oleh diameter clarifier yang bersangkutan. Misalkan dibuat clarifier dengan
diameter lebih kecil dari 12 m, diperlukan kedalaman air dalam clarifier minimal
sebesar 3.0 m.
Koagulasi, dengan penambahan koagulan aluminium sulfat akan
menghasilkan reaksi kimia dimana muatan-muatan negatif yang saling tolak
menolak disekitar partikel terlarut berukuran koloid akan ternetralisasi oleh ionion positif dari koagulan dan akhirnya partikel-partikel koloid akan saling menarik
dan menggumpal membentuk flok. Reaksi kimia yang terjadi adalah sebagai
berikut:
Al2(SO4)
Al3+ + SO42- .............................................. (1)
3+
Al + H2O
AlOH2+ + H+ .............................................. (2)
22+
SO4 + Ca
CaSO4
............................................. (3)
Al2(SO4)2.18H20 + 3Ca (HCO3)2
2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2
+18 H20 .......................(4)
Flok-flok kemudian akan beragregasi. Ketika pertumbuhan flok sudah
cukup maksimal (massa, ukuran), flok-flok ini akan mengendap ke dasar
reservoir, sehingga terbentuk dua lapisan pada reservoir, yaitu lapisan air jernih
pada bagian atas reservoir dan lapisan endapan flok yang menyerupai lumpur
pada dasar reservoir (Budiman 2008).

Jar test
Jar test adalah rangkaian test untuk mengevaluasi proses-proses koagulasi
dan flokulasi serta menentukan dosis pemakaian bahan kimia. Pada pengolahan
air bersih atau air limbah dengan proses kimia selalu dibutuhkan bahan kimia
tertentu pula untuk menurunkan kadar polutan yang ada di dalam air atau air
limbah. Penambahan bahan kimia tidak dapat dilakukan sembarang, harus dengan
dosis yang tepat dan bahan kimia yang cocok serta harus memperhatikan pHnya.
Sehingga jar test bertujuan untuk mengoptimalkan pengurangan polutan dengan :
1. Mengevaluasi koagulan dan flokulan.
2. Menentukan dosis bahan kimia.
3. Mencari pH yang optimal.

9
Untuk melakukan jar test, dapat digunakan alat flok tester yang dilengkapi
dengan gelas piala dan pengadukan yang sempurna. Menurut Dedy (1993) analisis
jar test pada dasarnya dibagi dalam tiga tahap, yaitu :
1. Pembubuhan bahan koagulan.
2. Dengan perkiraan jumlah bahan koagulan yang ditambahkan, dilakukan
percobaan dengan variasi kondisi pH.
3. Dengan kondisi pH yang telah dipilih, dilakukan optimisasi dengan
dosis koagulan yang tepat yang harus ditambahkan.
Air mengandung partikel-partikel koloid yang terlalu ringan untuk
mengendap dalam waktu singkat. Partikel-partikel koloid tersebut tidak dapat
menyatu menjadi partikel yang lebih besar karena pada umumnya partikel-partikel
tersebut bermuatan elektris yang sama, sehingga dibutuhkan penambahan bahan
kimia seperti koagulan yang dapat mendestabilkan partikel-partikel koloidal.
Koagulasi adalah proses adsorpsi dari koagulan terhadap partikel koloid sehingga
menyebabkan destabilisasi partikel. Proses ini biasa disebut proses netralisasi.
Koagulasi yang efektif terjadi pada selang pH tertentu. Penggunaan
koagulan logam seperti aluminium dan garam-garam besi secara umum dapat
mendekolorisasi air limbah yang mengandung komponen-komponen organik.
Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan pada partikel tersuspensi dan
koloid. Flokulasi adalah aglomerasi dari partikel yang terdestabilisasi dan koloid
menjadi partikel terendapkan.
Ketika koagulan direaksikan dengan air limbah, partikel-partikel koloid
yang terdapat dalam limbah tersebut akan membentuk agregasi atau
penggabungan partikel kecil untuk membentuk partikel yang lebih besar, sebagai
akibat dari adanya perbedaan muatan antara partikel koloid dengan koagulan.
Proses koagulasi saja terkadang belum cukup untuk mengendapkan agregat
tersebut secara cepat. Penambahan polimer akan mempengaruhi kestabilan
molekul dari agregat yang terbentuk, sehingga ketika molekul dalam keadaan
tidak stabil polimer akan mudah untuk berikatan dengan agregat yang nantinya
akan membentuk agregasi baru atau disebut juga flok. Flok-flok tersebut akan
saling bergabung membentuk flok yang lebih besar. Flok-flok yang terbentuk
mempunyai berat molekul yang lebih besar dari molekul air sebagai akibat dari
penambahan polimer, sehingga flok tersebut akan dengan mudah mengendap.

Elektrokimia
Elektrokimia merupakan suatu proses koagulasi kontinyu dengan
menggunakan arus listrik searah melalui peristiwa elektrokimia, yaitu gejala
dekomposisi elekrolit, dimana salah satu elektrodanya adalah aluminium ataupun
besi. Proses ini akan terjadi reaksi reduksi, dimana logam-logam akan direduksi
dan diendapkan di kutub negatif, sedangkan elektroda positif (Al3+) akan
teroksidasi menjadi [Al(OH)3] yang berfungsi sebagai koagulan (Prabowo 2011).

10
Gambar 3 menunjukkan proses elektokimia.

Gambar 3 Proses Elektrokimia (Holt 2001 dalam Hudori 2008)
Elektrokimia merupakan salah satu metode pengolahan air dimana pada
anoda terjadi pelepasan koagulan aktif berupa ion logam (biasanya aluminium
atau besi) ke dalam larutan, sedangkan pada kaoda terjadi reaksi elektrolisis
berupa pelepasan gas hidrogen (Holt et al. 2004).
Interaksi yang terjadi di dalam larutan yaitu: (1) migrasi menuju muatan
elektroda yang berlawanan (elektroforesis) dan netralisasi muatan, (2) kation atau
ion hidroksil membentuk endapan dengan pengotor, (3) interaksi kation logam
dengan ion OH- membentuk sebuah hidroksida dengan sifat adsorpsi yang tinggi
selanjutnya berikatan dengan polutan, (4) oksidasi polutan sehingga sifat
toksiknya berkurang (Holt et al. 2004).
Prinsip kerja yang terjadi pada elektrokimia sama seperti teori double layer
yaitu pembentukan flokulasi partikel bersifat adsorbsi, koagulan bermuatan positif
akan menyerap ion negatif limbah seperti nitrit, fosfat, dan senyawa organik
lainnya dan membentuk flok yang membantu proses penurunan COD (Holt et al.
2004).
Dalam sebuah reaktor yang merupakan sel elektrokimia, dimana dalam
reaktor tersebut disusun elektroda – elektroda yang akan kontak dengan air yang
akan diolah. Elektroda dalam proses elektrokimia merupakan salah satu alat untuk
menghantarkan atau menyampaikan arus listrik ke dalam larutan agar larutan
tersebut terjadi suatu reaksi (perubahan kimia). Elektroda tempat terjadinya reaksi
reduksi disebut katoda, sedangkan tempat terjadinya reaksi oksidasi disebut anoda
(Prabowo 2011).

11
Menurut Susetyaningsih (2008), pada katoda, ion H+ dari suatu asam akan
direduksi menjadi gas hidrogen yang akan bebas sebagai gelembung – gelembung
gas.

Larutan yang mengalami reduksi adalah pelarut (air) dan terbentuk gas hidrogen
(H2) pada katoda

Pada Anoda yang biasanya terbuat dari logam aluminium akan mengalami
oksidasi

Ion OH- dari basa akan mengalami oksidasi membentuk gas oksigen (O2)

Jika dalam larutan limbah mengandung ion – ion logam lain maka ion-ion logam
akan direduksi menjadi logamnya dan terdapat pada batang katoda.
Besarnya kuat arus dan tegangan listrik yang diberikan pada saat proses
elektrokimia berlangsung akan mempengaruhi flok-flok yang dihasilkan. Semakin
besar kuat arus dan tegangan yang diberikan semakin banyak pula flok-flok
dihasilkan yang dapat mengikat kontaminan pada limbah. Jarak antar plat
elektroda sangat berpengaruh pada proses penurunan konsentrasi TSS. Semakin
dekat jarak antar elektroda maka penurunan konsentrasi TSS lebih besar, sehingga
dapat dikatakan penggunaan jarak antar elektroda yang berbeda mempunyai
pengaruh terhadap penurunan konsentrasi TSS. Disebabkan semakin jauh jarak
antar elektroda maka lintasan perputaran arus listrik semakin sedikit sehingga
efisiensi proses penurunan konsentrasi TSS yang terjadi semakin kecil.

METODE
Bahan
Penelitian ini menggunakan air limbah yang diambil dari PT Aura Petra
Jaya yang bergerak dibidang laundry. Air limbah dari industri ini mengandung
beberapa komponen dari deterjen khususnya surfaktan dan fosfat. Bahan-bahan
lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia yang
digunakan untuk keperluan pengujian meliputi PAC, Alum, larutan H2SO4 0,02%,
larutan ammonium molybdat, larutan SnCl2, gliserol, air destilata, larutan K2Cr2O7,
pereaksi COD H2SO4, indikator ferroin, indikator PP, larutan Ferro Alumunium
Sulfat (FAS) 0,1 M, chloroform, larutan pencuci, methylene blue, H2SO4 1 N dan
NaOH 1 N.

12
Alat
Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah
rangkaian peralatan uji jar test untuk penentuan dosis koagulan optimum. Pada
pengujian pengolahan limbah cair dengan teknik elektrokimia yang terdiri dari
power supply yang terhubung dengan 2 buah elektroda alumunium dengan ukuran
masing-masing 15 cm x 5 cm x 0.4 cm, gelas piala berukuran 1 liter, dan magnetic
stirrer. Alat yang digunakan untuk pengujian antara lain: spektrofotometer, COD
reactor, Automatic N Distillator, pH meter, botol sampel berbagai ukuran, serta
berbagai alat gelas.

Gambar 4 Rancangan unit proses elektrokimia

Metodologi
Tahap awal penelitian dimulai dari pengambilan sampel. Penelitian
dilanjutkan dengan melakukan karakterisasi mutu air limbah meliputi pH, warna,
kekeruhan, TSS, COD, kadar fosfat, dan kadar deterjen. Prosedur penelitian dapat
dilihat pada Lampiran 27.
Selanjutnya dilakukan pengujian jar test untuk mengetahui dosis optimum
penambahan koagulan. Koagulan yang digunakan adalah PAC dan alum. Pada
proses koagulasi Jar test digunakan untuk mencari beberapa dosis yang
dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang optimal. Proses koagulasi ini dengan
pengadukan cepat (120 rpm) dalam waktu 1 menit supaya terjadi turbulensi yang
baik agar bahan kimia dapat menangkap partikel-partikel koloid dan pengadukan
lambat (45 rpm) selama 30 menit. Setelah selesai dengan proses koagulasi, terjadi
proses penggabungan partikel-partikel yang tidak stabil sehingga membentuk flok
yang lebih besar dan lebih cepat dapat dipisahkan. Flok yang terbentuk sering
terjadi tidak begitu bagus sehingga dibutuhkan bahan kimia atau tambahan yang
dapat membantu penggabungan flok-flok tersebut sehingga menjadi flok yang
lebih besar. Metode koagulasi kimia dapat dilihat pada Gambar 5.

13
Pada proses koagulasi kimia ini dilakukan dua perlakuan pada sampel.
Perlakuan pertama adalaah air limbah tanpa pengaturan pH dan perlakuan kedua
adalah air limbah dengan pengaturan pH. Pada perlakuan kedua, sebelum sampel
diolah dengan proses koagulasi kimia, air limbah dimasukan dalam wadah besar
(bak plastik) dan ditambahkan larutan NaOH hingga mencapai pH 7.
Penelitian dilakukan dengan metode trial and error yaitu penambahan
dosis koagulan PAC dan alum secara bertahap hingga diperoleh hasil koagulan
PAC berkisar 0 hingga 2000 mg/liter tanpa pengaturan pH awal dan pada sampel
dengan pengaturan pH awal berkisar 0 hingga 1400 mg/liter. Sedangkan dosis
koagulan alum tanpa pengaturan pH awal berkisar 0 hingga 3400 mg/liter dan
alum pada sampel yang dilakukan pengaturan pH awal berkisar 0 hingga 1800
mg/liter.

Gambar 5 Proses koagulasi kimia
Setelah dilakukan pengujian jar test dilakukan analisis laboratorium
terhadap parameter pH, warna, kekeruhan, TSS, COD, kadar fosfat, dan kadar
deterjen. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan Ms. Excell untuk melihat
efisiensi pengolahan secara kimia terhadap masing-masing parameter tersebut.

14
Gambar 6 menunjukkan tahapan penelitian tentang pengolahan air limbah laundry
dengan metode koagulasi kimia.

Gambar 6 Skema penelitian pengolahan air limbah laundry
dengan metode koagulasi
Selanjutnya dilakukan proses elektrokimia terhadap air limbah industri
laundry. Faktor yang dikaji pada penelitian ini adalah jenis limbah yang
digunakan (air limbah PT Aura Petra Jaya), variasi tegangan (9 V, 12 V, 15 V, 18
V, dan 24 V), dan waktu kontak operasi (15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60
menit). Pemilihan variasi tegangan didasarkan pada penelitian sebelumnya
(Windika 2012) yang berhasil menggunakan variasi tegangan tersebut pada
pengolahan limbah cair industri pangan. Prinsip pengolahan air limbah dengan
teknik elektrokimia adalah dengan cara penggumpalan dan pengendapan partikelpartikel halus yang ada dalam air menggunakan energi listrik. Proses elektrokimia
dilakukan pada bejana elektrolisis yang di dalamnya terdapat dua penghantar arus
listrik searah yang disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan limbah sebagai
elektrolit. Apabila dalam suatu larutan elektrolit ditempatkan dua elektroda dan
dialiri arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu gejala
dekomposisi elektrolit, yaitu ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima
elektron yang direduksi dan ion negatif (anion) bergerak ke anoda dan
menyerahkan elektron yang dioksidasi.

15
Setelah itu membentuk flok yang mampu mengikat kontaminan dan partikelpartikel dalam limbah. Arus listrik dialirkan dengan aliran searah (DC) pemasok
arus (power supply). Tegangan arus listrik diatur sesuai dengan variasi yang
dikehendaki. Tegangan arus listrik disalurkan melalui kabel yang berujung pada
elektroda dan dicelupkan pada media, dalam hal ini air limbah industri laundry
(Gambar 7).

Gambar 7 Proses elektrokimia dengan katoda Aluminium
Elektroda yang digunakan adalah aluminium dengan ukuran 15 cm x 1.5 cm
x 0.3 cm. Tegangan arus listrik menyebabkan elektroda melepaskan unsur-unsur
yang membantu penggumpalan. Dengan menggumpalnya bahan terlarut dalam
media limbah cair maka akan terbentuk flok dan mengendap ke bawah ataupun
mengapung pada bagian atas. Bahan yang menggumpal merupakan bahan-bahan
pencemar yang terdapat pada limbah.

16
Berikut tahapan proses elektrokimia :

Gambar 8 Skema penelitian pengolahan air limbah laundry dengan
metode elektrokimia

HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode Koagulasi Kimia
pH
Gambar 9 memperlihatkan bahwa pH mengalami penurunan baik pada
sampel dengan pengaturan pH awal maupun tanpa dilakukan pengaturan. Namun,
penurunan nilai pH tanpa pengaturan pH awal lebih besar dibandingkan dengan
sampel dengan pengaturan pH awal. pH mempunyai peranan penting dalam
keberlangsungan proses koagulasi kimia. pH ditentukan dan diukur dari
kandungan H+ dan OH- yang terkandung dalam air. Keberadaan ion ini dalam air
akan mengubah partikel koloid menjadi lebih positif atau lebih negatif (Shammas
2005). Penurunan pH ini diakibatkan oleh koagulan yang dibubuhkan memiliki
sifat asam.

17
Penambahan koagulan berbanding lurus dengan perubahan penurunan pH,
semakin besar dosis koagulan yang ditambahkan maka penurunan pH akan
semakin besar.
10,00
8,00

PAC tanpa
Pengaturan pH

pH

6,00
4,00

Alum tanpa
pengaturan pH

2,00

PAC dengan
pengaturan pH

0,00
0

1000

2000

3000

4000

Alum dengan
pengaturan pH

Dosis Koagulan (mg/liter)

Gambar 9 Grafik nilai pH terhadap penambahan dosis koagulan
Pada penggunaan PAC sebagai koagulan, pH air hasil pengolahan lebih
kecil mengalami penurunan dibanding koagulan aluminium sulfat. Hal ini dapat
dilihat dari reaksi yang terjadi sebagai berikut:
Aluminium sufat :
PAC :
Reaksi di atas menunjukkan bahwa pada reaksi hidrolisis, aluminium
sulfat dalam air melepas ion H+ sebanyak 6 H+, sedangkan pada reaksi hidrolisis
PAC hanya dilepaskan 1 buah ion H+. Hal ini akan menyebabkan pH air yang
menggunakan aluminium sulfat akan bersifat lebih asam daripada yang
menggunakan koagulan PAC (Budiman 2008).
Kekeruhan
Kekeruhan adalah keadaan suatu cairan tidak dapat meneruskan cahaya
yang dipaparkan disebabkan oleh partikel yang terperangkap dalam air yang
terdiri dari bahan-bahan anorganik dan organik yang terkandung dalam air seperti
lumpur dan bahan yang dihasilkan oleh buangan industri yang dapat menimbulkan
efek terhadap kesehatan, estetika dan proses desinfeksi. Materi organik penyebab
kekeruhan yang ada di air permukaan dapat digunakan sebagai makanan oleh
bakteri, dan menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menambah
kekeruhan. Nutrien anorganik seperti nitrogen dan fosfor biasanya berasal dari air
buangan atau pertanian juga menambah tingkat kekeruhan air permukaan (Sawyer
dan Clair 1994).
Gambar 10 menunjukkan bahwa nilai kekeruhan mengalami penurunan dari
nilai kekeruhan awal sebesar 92.5 FTU hingga mencapai nilai 2 FTU untuk
koagulan PAC dengan dosis 1200 mg/liter dan 4 FTU untuk koagulan alum
dengan dosis 1400 mg/liter pada sampel tanpa pengaturan pH awal. Hal ini

18
disebabkan oleh semakin banyak partikel koloid dalam air yang dinetralkan
dengan muatan positif pada koagulan, sehingga filtrat air menjadi lebih jernih.
Filtrat air menjadi lebih jernih tersebut karena partikel koloid dalam air sebagai
penyebab kekeruhan bereaksi dengan muatan positif dari koagulan yang kemudian
membentuk flok yang dapat mengendap.
Penambahan koagulan merupakan penambahan kation untuk menetralisasi
muatan negatif partikel koloid dalam air sehingga terjadi gaya Van der Waals,
sehingga partikel koloid terflokulasi. Ditunjukkan bahwa dosis koagulan di atas
1400 mg/liter untuk PAC dan alum tanpa pengaturan pH awal akan mengalami
kenaikan nilai kekeruhan kembali sedangkan untuk sampel dengan pengaturan pH
awal akan mengalami kenaikan nilai kekeruhan kembali pada dosis di atas 1200
mg/liter untuk PAC dan di atas 1000 mg/liter untuk alum. Hal ini disebabkan oleh
kation yang dilepaskan terlalu berlebih daripada yang dibutuhkan oleh partikel
koloid dalam air yang bermuatan negatif untuk membentuk flok. Akibatnya akan
terjadi penyerapan kation yang berlebih oleh partikel koloid dalam air
sehingga partikel koloid akan bermuatan positif dan terjadi gaya tolak-menolak
antara partikel, sehingga flok tidak terbentuk yang mengakibatkan larutan menjadi
semakin keruh dan nilai turbiditas air menjadi meningkat.

Kekeruhan (FTU)

100
80

PAC tanpa
pengaturan pH

60
40

Alum tanpa
pengaturan pH

20

PAC dengan
pengaturan pH

0
0

1000

2000

3000

4000

Alum dengan
pengaturan pH

Dosis Koagulan (mg/liter)

Gambar 10 Grafik nilai kekeruhan terhadap penambahan dosis koagulan
Warna
Warna air yang terdapat di alam sangat bervariasi, misalnya air di rawarawa berwarna kuning, coklat atau kehijauan. Air sungai biasanya berwarna
kuning kecoklatan karena mengandung lumpur. Air limbah yang mengandung
besi (Fe) dalam jumlah banyak berwarna coklat kemerahan. Warna air yang tidak
normal biasanya merupakan indikasi terjadinya pencemaran air. Warna pada air
dapat disebabkan oleh materi tersuspensi dan materi organik terlarut. Warna yang
disebabkan oleh materi tersuspensi adalah warna semu (apparent color) dan
warna yang disebabkan oleh material organik dalam bentuk koloid disebut warna
sejati (true color) (Sawyer dan Clair 1994).
Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai warna mengalami penurunan yang
cukup besar hingga bernilai 4.5 PtCo untuk PAC dan 11 PtCo untuk alum. Hal ini
dikarenakan dosis koagulan yang ditambahkan sudah sesuai dengan kebutuhan

19
adsorpsi zat warna pada air limbah. Dapat dilihat pula penggunaan PAC lebih
menurunkan nilai warna pada sampel dibandingkan dengan penggunaan alum.
Namun, pada dosis koagulan tertentu warna akan naik kembali namun masih
berada di bawah nilai warna pada sampel yang belum diperlakukan. Penurunan
penghilangan warna disebabkan oleh dosis yang ditambahkan melebihi kebutuhan
adsorpsi sehingga kelebihan koagulan menyebabkan larutan menjadi jenuh keruh
kembali. Berbeda halnya pada hasil penurunan warna pada sampel yang dilakukan
pengaturan pH awal. Penurunan warna untuk koagulan alum lebih baik
dibandingkan koagulan PAC. Begitu pula dengan dosis koagulan alum yang
ditambahkan lebih kecil dibandingkan sampel tanpa diatur pH yaitu pada dosis
600 mg/liter.
Penurunan warna akan terus terjadi sampai penurunan tersebut mencapai
titik terendahnya. Titik terendah ini diindikasikan kondisi optimum dari dosis
koagulan yang diberikan. Penurunan warna terjadi akibat muatan positif yang
diberikan kedalam air sehingga terjadi proses netralisasi dan adsorpsi patikel
warna dalam air. Muatan positif ini berasal dari koagulan yang diberikan kedalam
air baku sehingga partikel koloid yang bermuatan negatif dapat ternetralisasi
sehingga terbentuk flok yang dapat terendapkan. Keberhasilan penyisihan warna
sangat ditentukan oleh proses tumbukan antara partikel koloid yang telah
dikoagulasi, sehingga mampu membentuk partikel flok yang berukuran lebih
besar dan kompak, sehingga mudah diendapkan (Lindu 2001).

Warna (PtCo)

500
400

PAC tanpa
pengaturan pH

300
200

Alum tanpa
pengaturan pH

100

PAC dengan
pengaturan pH

0
0

1000

2000

3000

4000

Alum dengan
pengaturan pH

Dosis Koagulan (mg/liter)

Gambar 11 Grafik nilai warna terhadap penambahan dosis koagulan
TSS
Padatan tersuspensi merupakan parameter penting dalam kualitas air
minum untuk keberlangsungan hidup manusia dan kehidupan di air (Ginting
1992). Total Suspended Solid (TSS) adalah residu dari padatan total yang
tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2μm atau lebih besar dari
ukuran partikel koloid. TSS terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun
beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik
tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan sebagainya (Nasution 2008) .
TSS merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang
heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan

20

TSS (mg/liter)

dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan (Tarigan
dan Edward 2003). TSS umumnya dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan.
TSS memberikan kontribusi untuk kekeruhan dengan membatasi penetrasi cahaya
untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan. Oleh karena itu nilai kekeruhan tidak
dapat dikonversi ke nilai TSS.
Gambar 12 menunjukkan bahwa penambahan alum dan PAC dapat
menurunkan nilai TSS. Penurunan nilai TSS terbaik terletak pada koagulan PAC
dengan dosis 1200, dan 1400 mg/liter yang mencapai nilai 2 mg/liter dan untuk
alum nilai TSS terbaik yaitu 6.5 mg/liter pada dosis 1400 mg/liter. Pada sampel
dengan pengaturan pH awal untuk koagulan alum meningkatkan kembali nilai
TSSnya pada dosis di atas 600 mg/liter.
80
70
60
50
40
30
20
10
0

PAC tanpa
pengaturan pH
Alum tanpa
pengaturan pH
PAC dengan
pengaturan pH
0

1000

2000

3000

4000

Alum dengan
pengaturan pH

Dosis Koagulan (mg/liter)

Gambar 12 Grafik nilai TSS terhadap penambahan dosis koagulan
COD
COD merupakan kuantitas atau jumlah oksidan yang bereaksi dengan
sampel pada kondisi tertentu. Jumlah oksidan yang terpakai sebanding dengan
kebutuhan oksigen. Senyawa organik dan anorganik di dalam sampel adalah
subyek yang teroksidasi tetapi senyawa organik lebih dominan. COD sering
digunakan sebagai ukuran kuantitas polutan di dalam suatu air limbah. Sumber
COD pada limbah adalah oli atau pelumas atau minyak, surfaktan, emulcat, cat
dan logam-logam oksidator, dimana material-material ini di dalam air limbah
dalam bentuk tersuspensi, teremulsi, terkoloid, dan terlarut (Mukimin 2006).
Gambar 13 menunjukkan hasil sampel yang telah diperlakukan
menjadikan nilai COD dibawah 100 mg/liter. Pada sampel yang ditambahkan
koagulan PAC dengan dosis 1200 mg/liter memiliki nilai COD terendah yaitu
9.83 mg/liter. Sedangkan pada koagulan alum dengan dosis 1000 mg/liter dan
nilai COD sebesar 9.83 mg/liter. Penurunan nilai COD untuk sampel tanpa
pengaturan pH awal lebih tinggi daripada sampel dengan pengaturan pH awal
untuk kedua koagulan. Namun, kadar COD dapat naik kembali.

21
140
COD (mg/liter)

120

PAC tanpa
pengaturan pH

100
80

Alum tanpa
pengaturan pH

60
40

PAC dengan
pengaturan pH

20
0
0

1000

2000

3000

4000

Alum dengan
pengaturan pH

Dosis Koagulan (mg/liter)

Gambar 13 Grafik nilai COD terhadap penambahan dosis koagulan
Fosfat
Kandungan fosfat yang tinggi menyebabkan suburnya alga dan tanaman
lainnya. Pertumbuhan alga yang subur akan menghalangi kelancaran arus air
(Gintings