Pembuatan komposit magnet oksida besi-karbon aktif sebagai adsorben Cs dan Sr

ABSTRAK
ANIS ARIYANI. Pembuatan Komposit Magnet Oksida Besi-Karbon Aktif sebagai
Adsorben Cs dan Sr. Dibimbing oleh BETTY MARITA SOEBRATA dan ADEL FISLI.
Oksida besi dan komposit magnet oksida besi-karbon aktif telah dibuat
menggunakan metode kopresipitasi pada suhu 70oC. Nisbah oksida besi-karbon aktif
yang digunakan 1:1, 1:2, dan 1:3. Komposit magnet dibuat untuk mendapatkan bahan
penjerap yang dapat merespons medan magnet sehingga dapat dipisahkan dari medium
berair melalui teknik pemisahan magnet sederhana. Hasil karakterisasi menggunakan
difraksi sinar-X menunjukkan kesamaan puncak difraksi oksida besi dan komposit
magnet dengan puncak khas basis data program PCDFWIN nomor arsip 11-0614 yang
merupakan oksida besi dari fase magnetit (Fe3O4). Nilai magnetisasi hasil pengukuran
magnetometri getar cuplikan pada sampel oksida besi dan komposit magnet yang dibuat
berturut-turut sebesar 76.59, 25.6, 18.9, serta 11 emu/g. Penurunan nilai magnetisasi
disebabkan oleh jumlah fraksi oksida besi yang semakin berkurang. Pencirian
menggunakan mikroskop elektron payaran memperlihatkan bentuk partikel kecil dari
oksida besi. Mikrostruktur karbon aktif berupa pori-pori besar, sedangkan pada komposit
magnet terlihat partikel kecil oksida besi yang menutupi dan mengelilingi pori-pori
karbon aktif. Pengukuran luas permukaan menggunakan alat Brunauer, Emmett, dan
Teller menunjukkan penurunan luas permukaan pada karbon aktif yang telah terkomposit
oksida besi. Uji adsorpsi memperlihatkan kapasitas penjerapan Cs dan Sr terbesar terjadi
pada jumlah adsorben 0.0125 g dan konsentrasi awal 200 ppm. Keadaan pH optimum

penjerapan Cs terjadi pada pH 7, sedangkan penjerapan Sr lebih rendah, yaitu pada pH 6.

ABSTRACT
ANIS ARIYANI. Preparation of Iron Oxide-Activated Carbon Magnetic Composite as
Adsorbent for Cs and Sr. Supervised by BETTY MARITA SOEBRATA and ADEL
FISLI.
Iron oxide and iron oxide-activated carbon magnetic composites have been
prepared by co-precipitation method at temperature 70oC. The magnetic composite were
prepared with ratios of 1:1, 1:2, and 1:3 by weight. The magnetic composites were made
to obtain adsorbent which can be responsive to magnetic field so that it can be separated
by simple magnetic procedure. The result from X-ray diffraction characterization showed
a similarity of diffraction peak of iron oxide and magnet composite with specific peak in
PCDFWIN program data base no 11-0614, which is iron oxide of magnetite (Fe3O4).
Magnetization value of iron oxide and magnetic composites measured by vibrating
sample magnetometer were 76.59, 25.6, 18.9, and 11 emu/g, respectively. Magnetization
value decreased due to the lowering iron oxide fraction in the sample. Characterization
using scanning electron microscope showed little particle of iron oxide. Microstructure of
activated carbon showed large pores, while magnetic composite revealed iron oxide
particles that cover and surround on the pores of the activated carbon. Surface area
measured by Brunauer, Emmett, and Teller equipment showed decreasing surface areas

of the activated carbon after composited with iron oxide. Adsorption experiment showed
that higher Cs and Sr adsorption capacity occured at adsorbent 0.0125 g and initial
concentration 200 ppm. Optimum pH for Cs adsorption occured at pH 7, while that of Sr
adsorption was lower at pH 6.

PENDAHULUAN
Saat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi
nuklir telah banyak dimanfaatkan pada bidang
penelitian, pertanian, kesehatan, industri, dan
lain-lain. Pemanfaatan teknologi nuklir dapat
meningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
manusia, tetapi terdapat pula potensi bahaya
radiasi terhadap lingkungan hidup. Bahaya
radiasi tersebut berasal dari limbah radioaktif
yang ditimbulkan dari kegiatan industri nuklir
(Suryantoro 2006). Sesium dan strontium
merupakan radionuklida hasil fisi bahan bakar
yang dominan dalam limbah nuklir dan sangat
berbahaya bagi makhluk hidup, karena dapat
menyebabkan gangguan kesehatan bahkan

kematian. Hal ini dikarenakan Cs dan Sr yang
bersifat radioaktif memiliki waktu paruh
relatif panjang, yaitu 30 tahun (137Cs) dan 29.1
tahun (90Sr) (Khan et al. 1995). Radionuklida
tersebut dapat masuk ke dalam rantai makanan
melalui media udara, air, dan tanah (Tjahaja
dan Sukmabuana 2008).
Oleh karena itu, diperlukan suatu
penanganan
khusus
untuk
mencegah
kontaminasi
lingkungan
oleh
kedua
radionuklida tersebut. Salah satunya adalah
dengan menggunakan material penjerap atau
adsorben karbon aktif. Penelitian dengan
karbon aktif untuk menjerap Cs dan Sr telah

dilakukan oleh Alarifi dan Hanafi (2010),
serta oleh Chegrouche et al. (2009), yang
menjerap Sr di dalam medium berair. Kedua
penelitian di atas menyimpulkan bahwa Cs
dan Sr dapat terjerap dengan baik pada karbon
aktif karena adanya gugus karbonil pada sisi
aktif karbon aktif. Namun, penjerapan pada
kedua penelitian di atas menggunakan metode
tumpak sehingga diperlukan penyaringan
untuk memisahkan karbon aktif dengan
larutan adsorbat. Penyaringan tersebut
membutuhkan waktu lama dan diperlukan
penyaring yang dapat menahan seluruh ukuran
karbon aktif, sehingga diperlukan modifikasi
terhadap karbon aktif, yaitu dengan
mengompositkan partikel magnet oksida besi.
Magnetit atau Fe3O4 merupakan salah satu
fase oksida besi yang memiliki sifat magnet
terbesar di antara fase-fase lainnya
(Sulungbudi et al. 2006) sehingga karbon

aktif yang telah terkomposit magnetit dapat
merespons medan magnet dan akan
memudahkan proses pemisahannya. Penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Oliveira et
al. (2002), membuat komposit magnet oksida
besi-karbon aktif sebagai adsorben berbagai
kontaminan, dan Castro et al. (2009) membuat
komposit karbon aktif-oksida besi sebagai

adsorben atrazin di dalam medium berair.
Secara umum, terjadi penurunan luas
permukaan yang mengakibatkan penurunan
kapasitas penjerapan pada komposit karbon
aktif-oksida besi. Namun, hal ini diimbangi
dengan kemudahan pada proses pemisahan,
yaitu dengan memanfaatkan sifat magnet dari
komposit karbon aktif-oksida besi.
Penelitian
ini
bertujuan

membuat
komposit magnet oksida besi-karbon aktif
sehingga didapat komposit yang memiliki dua
sifat dari material penyusunnya, yaitu
kemampuan menjerap yang baik dari karbon
aktif dan kemampuan merespons medan
magnet dari oksida besi sehingga akan
memudahkan proses pemisahan karbon aktif
di dalam medium berair. Selanjutnya,
pencirian komposit dilakukan dengan
menggunakan berbagai instrumen, yaitu
difraksi sinar-X (XRD) untuk menentukan
fase oksida besi yang terbentuk, nilai
magnetisasi dengan magnetometri getar
cuplikan (VSM), alat Brunauer, Emmett, dan
Teller (BET) untuk menentukan luas
permukaan, serta mikroskop elektron payaran
(SEM) untuk mengetahui mikrostruktur
permukaan komposit.
Uji penjerapan dilakukan untuk melihat

pengaruh penjerapan komposit magnet oksida
besi-karbon aktif terhadap Cs dan Sr dengan
menggunakan metode tumpak. Parameter
yang digunakan dalam uji adsorpsi ini adalah
ragam jumlah adsorben, ragam pH larutan,
dan ragam konsentrasi awal kation Cs serta
Sr. Konsentrasi Cs dan Sr yang tersisa di
dalam larutan setelah penjerapan berlangsung
ditentukan
menggunakan
spektroskopi
serapan atom (AAS).

TINJAUAN PUSTAKA
Karbon Aktif
Arang atau karbon aktif dapat dihasilkan
dari bahan-bahan yang mengandung karbon
atau dari arang dengan aktivasi secara fisik
menggunakan CO2 atau uap air, atau secara
kimia mengggunakan bahan kimia untuk

mendapatkan permukaan yang lebih luas.
Luas permukaan karbon aktif berkisar antara
300 dan 3500 m2/g. Oleh karena itu, karbon
aktif memiliki kemampuan menjerap yang
baik terhadap berbagai kontaminan. Karbon
aktif dapat menjerap secara selektif gas dan
senyawa-senyawa kimia tertentu bergantung
pada volume pori-pori serta luas permukaan
(Sembiring dan Sinaga 2003).

PENDAHULUAN
Saat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi
nuklir telah banyak dimanfaatkan pada bidang
penelitian, pertanian, kesehatan, industri, dan
lain-lain. Pemanfaatan teknologi nuklir dapat
meningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
manusia, tetapi terdapat pula potensi bahaya
radiasi terhadap lingkungan hidup. Bahaya
radiasi tersebut berasal dari limbah radioaktif
yang ditimbulkan dari kegiatan industri nuklir

(Suryantoro 2006). Sesium dan strontium
merupakan radionuklida hasil fisi bahan bakar
yang dominan dalam limbah nuklir dan sangat
berbahaya bagi makhluk hidup, karena dapat
menyebabkan gangguan kesehatan bahkan
kematian. Hal ini dikarenakan Cs dan Sr yang
bersifat radioaktif memiliki waktu paruh
relatif panjang, yaitu 30 tahun (137Cs) dan 29.1
tahun (90Sr) (Khan et al. 1995). Radionuklida
tersebut dapat masuk ke dalam rantai makanan
melalui media udara, air, dan tanah (Tjahaja
dan Sukmabuana 2008).
Oleh karena itu, diperlukan suatu
penanganan
khusus
untuk
mencegah
kontaminasi
lingkungan
oleh

kedua
radionuklida tersebut. Salah satunya adalah
dengan menggunakan material penjerap atau
adsorben karbon aktif. Penelitian dengan
karbon aktif untuk menjerap Cs dan Sr telah
dilakukan oleh Alarifi dan Hanafi (2010),
serta oleh Chegrouche et al. (2009), yang
menjerap Sr di dalam medium berair. Kedua
penelitian di atas menyimpulkan bahwa Cs
dan Sr dapat terjerap dengan baik pada karbon
aktif karena adanya gugus karbonil pada sisi
aktif karbon aktif. Namun, penjerapan pada
kedua penelitian di atas menggunakan metode
tumpak sehingga diperlukan penyaringan
untuk memisahkan karbon aktif dengan
larutan adsorbat. Penyaringan tersebut
membutuhkan waktu lama dan diperlukan
penyaring yang dapat menahan seluruh ukuran
karbon aktif, sehingga diperlukan modifikasi
terhadap karbon aktif, yaitu dengan

mengompositkan partikel magnet oksida besi.
Magnetit atau Fe3O4 merupakan salah satu
fase oksida besi yang memiliki sifat magnet
terbesar di antara fase-fase lainnya
(Sulungbudi et al. 2006) sehingga karbon
aktif yang telah terkomposit magnetit dapat
merespons medan magnet dan akan
memudahkan proses pemisahannya. Penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Oliveira et
al. (2002), membuat komposit magnet oksida
besi-karbon aktif sebagai adsorben berbagai
kontaminan, dan Castro et al. (2009) membuat
komposit karbon aktif-oksida besi sebagai

adsorben atrazin di dalam medium berair.
Secara umum, terjadi penurunan luas
permukaan yang mengakibatkan penurunan
kapasitas penjerapan pada komposit karbon
aktif-oksida besi. Namun, hal ini diimbangi
dengan kemudahan pada proses pemisahan,
yaitu dengan memanfaatkan sifat magnet dari
komposit karbon aktif-oksida besi.
Penelitian
ini
bertujuan
membuat
komposit magnet oksida besi-karbon aktif
sehingga didapat komposit yang memiliki dua
sifat dari material penyusunnya, yaitu
kemampuan menjerap yang baik dari karbon
aktif dan kemampuan merespons medan
magnet dari oksida besi sehingga akan
memudahkan proses pemisahan karbon aktif
di dalam medium berair. Selanjutnya,
pencirian komposit dilakukan dengan
menggunakan berbagai instrumen, yaitu
difraksi sinar-X (XRD) untuk menentukan
fase oksida besi yang terbentuk, nilai
magnetisasi dengan magnetometri getar
cuplikan (VSM), alat Brunauer, Emmett, dan
Teller (BET) untuk menentukan luas
permukaan, serta mikroskop elektron payaran
(SEM) untuk mengetahui mikrostruktur
permukaan komposit.
Uji penjerapan dilakukan untuk melihat
pengaruh penjerapan komposit magnet oksida
besi-karbon aktif terhadap Cs dan Sr dengan
menggunakan metode tumpak. Parameter
yang digunakan dalam uji adsorpsi ini adalah
ragam jumlah adsorben, ragam pH larutan,
dan ragam konsentrasi awal kation Cs serta
Sr. Konsentrasi Cs dan Sr yang tersisa di
dalam larutan setelah penjerapan berlangsung
ditentukan
menggunakan
spektroskopi
serapan atom (AAS).

TINJAUAN PUSTAKA
Karbon Aktif
Arang atau karbon aktif dapat dihasilkan
dari bahan-bahan yang mengandung karbon
atau dari arang dengan aktivasi secara fisik
menggunakan CO2 atau uap air, atau secara
kimia mengggunakan bahan kimia untuk
mendapatkan permukaan yang lebih luas.
Luas permukaan karbon aktif berkisar antara
300 dan 3500 m2/g. Oleh karena itu, karbon
aktif memiliki kemampuan menjerap yang
baik terhadap berbagai kontaminan. Karbon
aktif dapat menjerap secara selektif gas dan
senyawa-senyawa kimia tertentu bergantung
pada volume pori-pori serta luas permukaan
(Sembiring dan Sinaga 2003).

2

Karbon aktif bersifat sangat aktif dan akan
menjerap apa saja yang kontak dengannya,
terutama logam berat. Logam yang dijerap
akan melekat pada permukaan karbon aktif
secara fisik (ikatan van der Waals) maupun
secara kimia (ikatan kovalen atau ikatan
ionik). Selain itu, karbon aktif memiliki
jaringan berpori yang sangat luas dan dapat
berubah-ubah
bentuk
sehingga
dapat
menerima molekul pengotor berukuran besar
maupun kecil (Arifin 2008).
Karbon aktif dibedakan menjadi dua
macam, yaitu karbon aktif sebagai pemucat
dan sebagai penjerap uap. Karbon aktif
sebagai pemucat berbentuk serbuk yang
sangat halus dengan diameter pori mencapai
1000 Ǻ, digunakan dalam fase cair, berfungsi
sebagai pemindah zat-zat pengganggu yang
dapat menyebabkan warna dan bau, serta
dapat diperoleh dari bahan baku serbuk
gergaji dan ampas pembuatan kertas.
Sementara, karbon aktif sebagai penjerap uap
berbentuk granul, sangat keras, berdiameter
10–200 Ǻ, berpori halus, digunakan dalam
fase gas, berfungsi untuk memperoleh kembali
pelarut, sebagai katalis, untuk memisahkan
dan memurnikan gas, serta dapat diperoleh
dari bahan baku tempurung kelapa, tulang,
batu bata, dan bahan-bahan yang memiliki
struktur keras.
Oksida Besi
Oksida besi termasuk salah satu mineral
dalam tanah. Mineral-mineral oksida besi
bersifat amfoter dan memiliki daya serap yang
tinggi (Notodarmojo 2005). Oksida besi
memiliki empat fase yaitu magnetit (Fe3O4),
magemit ( -Fe2O3), hematit (α-Fe2O3), dan
geotit (FeO(OH)). Hanya magnetit dan
magemit yang bersifat magnet (Gong et al.
2009).
Hematit merupakan mineral berwarna
merah yang terdapat dalam jumlah banyak
pada batuan dan tanah (Teja dan Koh 2009).
Mineral ini dapat bersifat antiferomagnetik
pada suhu di bawah -10 oC (Hadi 2009). Tipe
oksida besi yang lain, yaitu geotit, memiliki
ciri fisik berwarna kuning kecokelatan dan
juga bersifat antiferomagnetik.
Secara fisik, magnetit berwarna hitam.
Struktur magnetit dapat dilihat pada Gambar
1. Sementara itu, magemit berwarna cokelat
kemerah-merahan.
Fase
magnetit
dan
magemit memiliki sifat magnet yang baik,
maka sering digunakan dalam berbagai
aplikasi, misalnya dalam aplikasi biomedis
sebagai ’contrast agent’ untuk pencitraan
resonans magnet (MRI) dan dapat digunakan

sebagai penjerap logam berat dalam
pengolahan air, terutama fase magnetit
(Fe3O4) yang memiliki sifat megnet terbesar
atau ferimagnetik.

Gambar 1 Struktur magnetit.
Sifat Kemagnetan Bahan (Geo 2007)
Sifat kemagnetan bahan dikelompokkan
menjadi lima golongan, yaitu diamagnetik,
paramagnetik, feromagnetik, ferimagnetik,
dan antiferomagnetik. Bahan diamagnetik
memiliki elektron-elektron yang berpasangan
sehingga tidak menghasilkan momen magnet.
Contoh bahan diamagnetik ialah tembaga,
perak, emas, kalsit (CaCO3), dan air.
Bahan paramagnetik memiliki elektronelektron yang tidak berpasangan dengan
rangkaian spin yang tidak beraturan sehingga
memiliki sifat kemagnetan yang kecil,
contohnya
antara
lain
magnesium,
molibdenum, litium, dan tantalum. Di sisi
lain, sifat feromagnetik dimiliki oleh bahan
yang elektron-elektronnya tidak berpasangan
dengan spin yang tersusun secara paralel.
Karena itu, sifat kemagnetannya sangat besar,
contohnya adalah besi, nikel, dan kobalt.
Bahan ferimagnetik juga memiliki
elektron-elektron yang tidak berpasangan.
Namun, spin elektron tersusun secara
antiparalel dengan besar momen spin yang
berbeda. Total momen magnet yang positif
membuat
sifat
kemagnetannya
besar,
contohnya adalah magnetit, magemit,
MnFe2O4, Fe7S8, Fe3S4, dan -FeOOH. Sifat
antiferomagnetik dimiliki oleh bahan yang
memiliki elektron-elektron tidak berpasangan
dengan spin yang tersusun antiparalel dan
momen setiap spin saling meniadakan
sehingga momen magnet totalnya nol. Contoh
bahan antiferomagnetik adalah hematit, FeS,
FeTiO2, dan α-FeOOH.
Komposit
Komposit ialah material baru yang terbuat
dari dua atau lebih material berbeda yang bila
digabungkan memiliki sifat lebih baik dari
material asli. Bahan komposit antara lain
bertujuan meningkatkan sifat individu bahan
seperti kekuatan, struktur, stabilitas sifat

3

kimia dan fisika, sehingga diperoleh bahan
baru dengan mutu yang lebih baik (Fisli et al.
2007).
Strontium
Strontium (Sr) merupakan salah satu unsur
dalam tabel periodik yang banyak ditemukan
pada batuan, tanah, minyak, dan batu bara.
Selain itu, Sr juga ditemukan di dalam
mineralnya seperti kalestit (SrSO4), dan
strontianit (SrCO3). Sr digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan berbagai macam
produk keramik dan gelas, pewarna cat, lampu
flouresens, dan obat-obatan. Strontium
memiliki empat bentuk isotop yang stabil di
alam, yaitu 84Sr, 86Sr, 87Sr, dan 88Sr. Bentuk
stabil Sr tidak berbahaya pada dosis kurang
dari 4000 μg/L di dalam air minum, tetapi
berbahaya bagi pertumbuhan tulang pada
anak-anak (Gerberding 2004).
Sr memiliki bentuk yang aktif atau bersifat
radioaktif yaitu 90Sr. Bentuk aktif ini berasal
dari limbah hasil pembelahan bahan bakar
nuklir dan letusan senjata-senjata nuklir. 90Sr
sangat berbahaya bagi makhluk hidup, karena
dapat memancarkan partikel- dan memiliki
waktu paruh yang panjang, yaitu 29 tahun.
Radionuklida ini dapat masuk ke dalam tubuh
makhluk hidup melalui tanah, udara, dan air
(Tjahaja dan Sukmabuana 2008). Jika berada
di atas ambang batas radiasi (8 pikocurie/L air
minum), 90Sr dapat menyebabkan gangguan
kesehatan bagi makhluk hidup termasuk
manusia. Gangguan kesehatan tersebut dapat
berupa penyakit anemia, kerusakan pada
tulang, penggumpalan darah, bahkan penyakit
berbahaya seperti kanker tulang, kanker kulit,
dan leukemia.
Sesium
Sesium merupakan logam yang banyak
terdapat pada mineral polusit. Sebanyak 13%
sesium oksida terkandung di dalam mineral
tersebut. 133Cs merupakan logam stabil yang
menyerupai merkuri, karena pada suhu kamar
(± 28 oC) berwujud cair. Selain itu, Cs juga
mudah bereaksi jika kontak dengan air dingin.
Cs dalam bentuk stabil digunakan sebagai
bahan pembuatan keramik dan gelas serta
sebagai alat optik, sedangkan Cs yang bersifat
radioaktif dapat digunakan sebagai bahan
sterilisasi pada produk makanan (Butterman
et. al. 2005).
Unsur ini memiliki sebelas bentuk isotop
yang bersifat radioaktif. Namun, hanya tiga
bentuk isotop yang memiliki waktu paruh
panjang, yaitu 134Cs, 135Cs, dan 137Cs. Isotopisotop ini memancarkan radiasi sinar- dengan

waktu paruh masing-masing 2.1, 2.3 х 106,
dan 30 tahun, sedangkan isotop lainnya hanya
memiliki waktu paruh dua minggu.
Radionuklida ini dapat masuk ke dalam tubuh
makhluk hidup karena mudah terserap oleh
daun
tumbuhan
yang
tanahnya
terkontaminasi. Selain itu, Cs juga dapat
masuk ke dalam tubuh makhluk hidup melalui
makanan, minuman, dan udara. Ancaman
kesehatan bagi manusia jika terkontaminasi
Cs adalah penyakit kanker.
Adsorpsi
Adsorpsi atau penjerapan merupakan
proses perpindahan massa dari fase gerak
(fluida pembawa adsorbat) ke permukaan
adsorben (penjerap). Proses ini terjadi akibat
adanya gaya tarik-menarik antara molekul
adsorbat (zat yang akan dijerap) dan tapaktapak aktif di permukaan adsorben. Ada tiga
tahapan dasar dalam penjerapan, yaitu
terjerapnya adsorbat pada bagian luar
adsorben, bergeraknya adsorbat menuju poripori adsorben, dan terjerapnya adsorbat pada
dinding bagian dalam adsorben.
Penjerapan terjadi melalui dua cara, yaitu
fisisorpsi dan kimisorpsi. Molekul-molekul
dalam fase cair diikat pada permukaan fase
padat oleh gaya tarik-menarik pada
permukaan padatan (adsorben). Hal ini
mengatasi energi kinetik antarmolekul
kontaminan dalam fluidanya. Fisisorpsi terjadi
karena adanya antaraksi van der Waals antara
adsorbat dan substrat. Menurut Wonorahardjo
(2006), proses ini dapat terjadi secara bolakbalik akibat adanya sistem kesetimbangan di
permukaan
dan
tidak
mengakibatkan
perubahan struktur dalam partikel-partikel
yang berinteraksi. Sementara itu, kimisorpsi
terjadi jika partikel yang melekat pada
permukaan membentuk ikatan kimia (ikatan
kovalen) dan cenderung mencari tempat yang
memaksimumkan bilangan koordinasinya
dengan adsorben. Molekul yang mengalami
proses kimisorpsi dapat terpisah karena
adanya tuntutan valensi atom permukaan yang
tidak terpenuhi (Atkins 1999). Ciri lain
kimisorpsi ialah adanya perubahan energi
yang cukup signifikan yang mengakibatkan
perubahan reaksi kimia secara permanen dan
bersifat tidak dapat balik.
Mekanisme penjerapan suatu zat diawali
dengan adanya molekul adsorbat yang
berdifusi melalui suatu lapisan batas ke
permukaan luar adsorben (difusi eksternal).
Sebagian kecil terjerap di permukaan luar,
sebagian besarnya berdifusi lebih lanjut ke
dalam pori-pori adsorben (difusi internal).

4

Jika kapasitas penjerapan masih cukup besar,
maka akan ada yang terjerap dan terikat di
permukaan. Namun, jika permukaan sudah
dalam keadaan jenuh atau mendekati jenuh
maka akan terjadi dua hal, yaitu terbentuk
lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya di atas
lapisan pertama adsorbat
(adsorpsi
multilapisan) atau tidak terbentuk lapisan
kedua dan seterusnya; adsorbat yang belum
terjerap kembali berdifusi ke dalam fluida
pembawa adsorbat (Wijayanti 2009).
Faktor-faktor
yang
memengaruhi
penjerapan adalah sifat fisika dan kimia
adsorben (luas permukaan, pori-pori, dan
komposisi kimia), sifat fisika dan kimia
adsorbat (ukuran partikel, polaritas molekul,
dan komposisi kimia), jumlah adsorben,
konsentrasi adsorbat dalam fluida, sifat fluida,
dan suhu, serta lamanya proses penjerapan.
Adsorben yang baik memiliki kapasitas
penjerapan yang tinggi. Kapasitas penjerapan
dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Q=

xV

Keterangan:
Q
V
C1
C2
m

= kapasitas penjerapan per bobot
molekul (mg/g)
= volume larutan (ml)
= konsentrasi awal larutan (mg/L)
=` konsentrasi akhir larutan (mg/L)
= bobot adsorben (g)

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
karbon aktif komersial, FeCl3.6H2O (p.a
Merck), FeSO4.7H2O (p.a Merck), NaOH (p.a
Merck), HCl, CsNO3 (p.a Merck), Sr(NO3)2
(p.a Merck), dan air demineralisasi.
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan
kaca, shaker, hot plate dan pengaduk magnet,
pH meter, XRD Shimadzu XD-610, VSM
Oxford tipe 1.2T, alat BET, SEM Philip, dan
AAS Analys 400.
Metode
Penelitian ini terdiri atas tiga tahapan,
yaitu pembuatan oksida besi dan komposit
magnet oksida besi-karbon aktif (OB:KA),
pencirian oksida besi serta komposit magnet
OB:KA, dan uji adsorpsi komposit magnet
OB:KA terhadap Cs+ dan Sr2+ (Lampiran 1).

Pembuatan Oksida Besi (Lee et al. 2004)
Sebanyak 600 ml larutan garam besi yang
terdiri atas 7.6 g FeCl3.6H2O dan 3.9 g
FeSO4.7H2O diaduk serta dipanaskan hingga
mencapai suhu 70 oC. Setelah itu, 100 ml
larutan NaOH 5 M ditambahkan tetes demi
tetes sehingga terbentuk endapan berwarna
hitam. Endapan yang terbentuk dicuci dengan
air demineralisasi lalu dikeringkan di dalam
oven pada suhu 100 oC selama 3 jam.
Pembuatan Komposit Magnet (Oliviera et
al. 2002)
Suspensi karbon aktif dibuat dengan
mencampurkan 6.5 g karbon aktif dengan 300
ml air demineralisasi lalu dipanaskan hingga
mencapai suhu 70 oC. Sebanyak 300 ml
larutan garam besi yang terdiri atas 7.6 g
FeCl3.6H2O dan 3.9 g FeSO4.7H2O
ditambahkan ke dalam campuran tersebut.
Campuran lalu diaduk selama 30 menit
sebelum ditambahkan 100 ml NaOH 5 M tetes
demi tetes sehingga diperoleh komposit
OB:KA dengan nisbah bobot 1:2 (Lampiran
2). Komposit yang terbentuk dicuci dengan air
demineralisasi lalu dikeringkan di dalam oven
pada suhu 100 oC selama 3 jam. Selain itu,
dibuat juga komposit magnet dengan nisbah
bobot oksida besi dan karbon aktif 1:1 dan
1:3.
Kode
sampel
yang digunakan
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kode sampel komposit magnet
Kode sampel
Nisbah bobot OB:KA
Sampel A
Karbon aktif
Sampel B
Oksida Besi
Sampel C
OB:KA (1:1)
Sampel D
OB:KA (1:2)
Sampel E
OB:KA (1:3)
Pencirian
Sampel dicirikan menggunakan XRD
untuk menentukan fase oksida besi yang
terbentuk. Sifat magnet dan nilai magnetisasi
ditentukan dengan menggunakan VSM, alat
BET untuk menentukan luas permukaan, dan
SEM untuk melihat mikrostruktur permukaan
sampel.
Uji Penjerapan
Uji adsorpsi dengan parameter jumlah
adsorben diawali dengan menimbang sebesar
0.0125, 0.025, 0.05, 0.075, dan 0.1 g masingmasing sampel A, C, D, dan E dan
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang
berbeda. Lalu ditambahkan 50 ml larutan Cs +
dan Sr2+ 50 ppm (Lampiran 3) kemudian
penjerapan dilakukan dengan waktu kontak

4

Jika kapasitas penjerapan masih cukup besar,
maka akan ada yang terjerap dan terikat di
permukaan. Namun, jika permukaan sudah
dalam keadaan jenuh atau mendekati jenuh
maka akan terjadi dua hal, yaitu terbentuk
lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya di atas
lapisan pertama adsorbat
(adsorpsi
multilapisan) atau tidak terbentuk lapisan
kedua dan seterusnya; adsorbat yang belum
terjerap kembali berdifusi ke dalam fluida
pembawa adsorbat (Wijayanti 2009).
Faktor-faktor
yang
memengaruhi
penjerapan adalah sifat fisika dan kimia
adsorben (luas permukaan, pori-pori, dan
komposisi kimia), sifat fisika dan kimia
adsorbat (ukuran partikel, polaritas molekul,
dan komposisi kimia), jumlah adsorben,
konsentrasi adsorbat dalam fluida, sifat fluida,
dan suhu, serta lamanya proses penjerapan.
Adsorben yang baik memiliki kapasitas
penjerapan yang tinggi. Kapasitas penjerapan
dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Q=

xV

Keterangan:
Q
V
C1
C2
m

= kapasitas penjerapan per bobot
molekul (mg/g)
= volume larutan (ml)
= konsentrasi awal larutan (mg/L)
=` konsentrasi akhir larutan (mg/L)
= bobot adsorben (g)

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
karbon aktif komersial, FeCl3.6H2O (p.a
Merck), FeSO4.7H2O (p.a Merck), NaOH (p.a
Merck), HCl, CsNO3 (p.a Merck), Sr(NO3)2
(p.a Merck), dan air demineralisasi.
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan
kaca, shaker, hot plate dan pengaduk magnet,
pH meter, XRD Shimadzu XD-610, VSM
Oxford tipe 1.2T, alat BET, SEM Philip, dan
AAS Analys 400.
Metode
Penelitian ini terdiri atas tiga tahapan,
yaitu pembuatan oksida besi dan komposit
magnet oksida besi-karbon aktif (OB:KA),
pencirian oksida besi serta komposit magnet
OB:KA, dan uji adsorpsi komposit magnet
OB:KA terhadap Cs+ dan Sr2+ (Lampiran 1).

Pembuatan Oksida Besi (Lee et al. 2004)
Sebanyak 600 ml larutan garam besi yang
terdiri atas 7.6 g FeCl3.6H2O dan 3.9 g
FeSO4.7H2O diaduk serta dipanaskan hingga
mencapai suhu 70 oC. Setelah itu, 100 ml
larutan NaOH 5 M ditambahkan tetes demi
tetes sehingga terbentuk endapan berwarna
hitam. Endapan yang terbentuk dicuci dengan
air demineralisasi lalu dikeringkan di dalam
oven pada suhu 100 oC selama 3 jam.
Pembuatan Komposit Magnet (Oliviera et
al. 2002)
Suspensi karbon aktif dibuat dengan
mencampurkan 6.5 g karbon aktif dengan 300
ml air demineralisasi lalu dipanaskan hingga
mencapai suhu 70 oC. Sebanyak 300 ml
larutan garam besi yang terdiri atas 7.6 g
FeCl3.6H2O dan 3.9 g FeSO4.7H2O
ditambahkan ke dalam campuran tersebut.
Campuran lalu diaduk selama 30 menit
sebelum ditambahkan 100 ml NaOH 5 M tetes
demi tetes sehingga diperoleh komposit
OB:KA dengan nisbah bobot 1:2 (Lampiran
2). Komposit yang terbentuk dicuci dengan air
demineralisasi lalu dikeringkan di dalam oven
pada suhu 100 oC selama 3 jam. Selain itu,
dibuat juga komposit magnet dengan nisbah
bobot oksida besi dan karbon aktif 1:1 dan
1:3.
Kode
sampel
yang digunakan
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kode sampel komposit magnet
Kode sampel
Nisbah bobot OB:KA
Sampel A
Karbon aktif
Sampel B
Oksida Besi
Sampel C
OB:KA (1:1)
Sampel D
OB:KA (1:2)
Sampel E
OB:KA (1:3)
Pencirian
Sampel dicirikan menggunakan XRD
untuk menentukan fase oksida besi yang
terbentuk. Sifat magnet dan nilai magnetisasi
ditentukan dengan menggunakan VSM, alat
BET untuk menentukan luas permukaan, dan
SEM untuk melihat mikrostruktur permukaan
sampel.
Uji Penjerapan
Uji adsorpsi dengan parameter jumlah
adsorben diawali dengan menimbang sebesar
0.0125, 0.025, 0.05, 0.075, dan 0.1 g masingmasing sampel A, C, D, dan E dan
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang
berbeda. Lalu ditambahkan 50 ml larutan Cs +
dan Sr2+ 50 ppm (Lampiran 3) kemudian
penjerapan dilakukan dengan waktu kontak

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Oksida Besi dan Komposit
Magnet
Oksida besi dibuat menggunakan metode
kopresipitasi pada suhu 70 oC, yaitu melalui
pencampuran Fe3+ dan Fe2+ dengan
penambahan larutan basa (NaOH) sehingga
terbentuk Fe(OH)2 dan Fe(OH)3. Pemanasan
pada suhu 70 oC menyebabkan proses
pelepasan air atau hidrasi pada hidroksida besi
sehingga terbentuk oksida besinya. Jumlah
Fe3+ dan Fe2+ yang dicampurkan didasarkan
pada nisbah mol 2:1. Nisbah mol Fe3+ dan
Fe2+ (2:1) merupakan stoikiometri yang
dibutuhkan untuk membentuk oksida besi dari
fase magnetit atau Fe3O4.
Pembuatan komposit oksida besi pada
karbon aktif diawali dengan penjerapan ionion Fe2+ dan Fe3+ oleh karbon aktif. Ion-ion
tersebut membentuk endapan hidroksida besi
atau Fe(OH)2 dan Fe(OH)3 lalu membentuk
oksida besi karena proses hidrasi pada
pemanasan di suhu 70 oC sehingga terbentuk

oksida besi yang terkomposit pada struktur
karbon aktif.
Fe2++ 2Fe3++ 8OHFe(OH)2 + 2Fe(OH)3
FeO.Fe2O3 atau Fe3O4 + 4H2O
Pencirian
Pencirian
dengan
XRD
bertujuan
menentukan fase oksida besi yang terbentuk
pada sampel. Gambar 2 memperlihatkan pola
difraksi sampel A, B, C, D, dan E. Pola XRD
tersebut dapat dijelaskan dengan melihat
puncak-puncak khas yang dihasilkan dari
setiap sampel. Kemudian, puncak-puncak
tersebut dibandingkan dengan puncak khas
basis data program PCDFWIN versi 1.30
International Centre for Diffraction Data
tahun 1997.

1600
1400
1200
A

1000
Intensitas

selama 24 jam. Setelah itu, filtrat dipisahkan
dari sampel C, D, dan E dengan cara
mendekatkan batang magnet permanen pada
permukaan Erlenmeyer. Konsentrasi filtrat
ditentukan
menggunakan
Spektroskopi
Serapan Atom (AAS).
Ragam pH larutan dilakukan dengan cara
menimbang sampel A, C, D, dan E masingmasing sebesar 0.05 g lalu dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer. Sebanyak 50 ml larutan
Cs+ dan Sr2+ 50 ppm ditambahkan lalu diatur
pH 2-10. Setelah itu, penjerapan dilakukan
dengan waktu kontak selama 24 jam lalu
filtrat dipisahkan dari sampel C, D, dan E
dengan cara mendekatkan batang magnet
permanen pada permukaan Erlenmeyer.
Konsentrasi filtrat ditentukan menggunakan
Spektroskopi Serapan Atom (AAS).
Ragam konsentrasi awal Cs+ dan Sr2+
dilakukan dengan menimbang masing-masing
0.05 g sampel A, C, D, dan E. Sebanyak 50 ml
larutan Cs+ dan Sr2+ dengan variasi
konsentrasi 10, 25, 50, 100, dan 200 ppm
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan
penjerapan dilakukan dengan waktu kontak
selama 24 jam. Setelah itu, filtrat dipisahkan
dari sampel C, D, dan E dengan cara
mendekatkan batang magnet permanen pada
permukaan Erlenmeyer. Konsentrasi filtrat
ditentukan
menggunakan
Spektroskopi
Serapan Atom (AAS).

800
B

600
400

C

200

D

0

E

0

20

40

60

80

100

βθ
Gambar 2 Pola XRD pada sampel A, B, C,
`D, dan E.
Sampel A (karbon aktif) memiliki
kesamaan puncak dengan basis data nomor
arsip 02-0456 (Tabel 2). Nomor
arsip
tersebut merupakan puncak khas untuk pola

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Oksida Besi dan Komposit
Magnet
Oksida besi dibuat menggunakan metode
kopresipitasi pada suhu 70 oC, yaitu melalui
pencampuran Fe3+ dan Fe2+ dengan
penambahan larutan basa (NaOH) sehingga
terbentuk Fe(OH)2 dan Fe(OH)3. Pemanasan
pada suhu 70 oC menyebabkan proses
pelepasan air atau hidrasi pada hidroksida besi
sehingga terbentuk oksida besinya. Jumlah
Fe3+ dan Fe2+ yang dicampurkan didasarkan
pada nisbah mol 2:1. Nisbah mol Fe3+ dan
Fe2+ (2:1) merupakan stoikiometri yang
dibutuhkan untuk membentuk oksida besi dari
fase magnetit atau Fe3O4.
Pembuatan komposit oksida besi pada
karbon aktif diawali dengan penjerapan ionion Fe2+ dan Fe3+ oleh karbon aktif. Ion-ion
tersebut membentuk endapan hidroksida besi
atau Fe(OH)2 dan Fe(OH)3 lalu membentuk
oksida besi karena proses hidrasi pada
pemanasan di suhu 70 oC sehingga terbentuk

oksida besi yang terkomposit pada struktur
karbon aktif.
Fe2++ 2Fe3++ 8OHFe(OH)2 + 2Fe(OH)3
FeO.Fe2O3 atau Fe3O4 + 4H2O
Pencirian
Pencirian
dengan
XRD
bertujuan
menentukan fase oksida besi yang terbentuk
pada sampel. Gambar 2 memperlihatkan pola
difraksi sampel A, B, C, D, dan E. Pola XRD
tersebut dapat dijelaskan dengan melihat
puncak-puncak khas yang dihasilkan dari
setiap sampel. Kemudian, puncak-puncak
tersebut dibandingkan dengan puncak khas
basis data program PCDFWIN versi 1.30
International Centre for Diffraction Data
tahun 1997.

1600
1400
1200
A

1000
Intensitas

selama 24 jam. Setelah itu, filtrat dipisahkan
dari sampel C, D, dan E dengan cara
mendekatkan batang magnet permanen pada
permukaan Erlenmeyer. Konsentrasi filtrat
ditentukan
menggunakan
Spektroskopi
Serapan Atom (AAS).
Ragam pH larutan dilakukan dengan cara
menimbang sampel A, C, D, dan E masingmasing sebesar 0.05 g lalu dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer. Sebanyak 50 ml larutan
Cs+ dan Sr2+ 50 ppm ditambahkan lalu diatur
pH 2-10. Setelah itu, penjerapan dilakukan
dengan waktu kontak selama 24 jam lalu
filtrat dipisahkan dari sampel C, D, dan E
dengan cara mendekatkan batang magnet
permanen pada permukaan Erlenmeyer.
Konsentrasi filtrat ditentukan menggunakan
Spektroskopi Serapan Atom (AAS).
Ragam konsentrasi awal Cs+ dan Sr2+
dilakukan dengan menimbang masing-masing
0.05 g sampel A, C, D, dan E. Sebanyak 50 ml
larutan Cs+ dan Sr2+ dengan variasi
konsentrasi 10, 25, 50, 100, dan 200 ppm
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan
penjerapan dilakukan dengan waktu kontak
selama 24 jam. Setelah itu, filtrat dipisahkan
dari sampel C, D, dan E dengan cara
mendekatkan batang magnet permanen pada
permukaan Erlenmeyer. Konsentrasi filtrat
ditentukan
menggunakan
Spektroskopi
Serapan Atom (AAS).

800
B

600
400

C

200

D

0

E

0

20

40

60

80

100

βθ
Gambar 2 Pola XRD pada sampel A, B, C,
`D, dan E.
Sampel A (karbon aktif) memiliki
kesamaan puncak dengan basis data nomor
arsip 02-0456 (Tabel 2). Nomor
arsip
tersebut merupakan puncak khas untuk pola

6

difraksi karbon (grafit) pada program
PCDFWIN versi 1.30 (Lampiran 4).
Tabel 2 Puncak XRD karbon aktif
Sampel
Puncak (βθ)
Karbon (graphite)
26.506
PCPDFWIN
43.472
Nomor 02-0456
44.599
26.678
Sampel A
43.20
44.502
Oksida besi hasil sintesis pada penelitian
ini (sampel B) memiliki kesamaan puncak
dengan basis data nomor arsip 11-0614
(Lampiran 5) yang merupakan oksida besi dari
fase magnetit atau Fe3O4 (Tabel 3).
Tabel 3 Puncak XRD oksida besi
Sampel
Puncak (βθ)
18.277
30.105
Magnetit (Fe3O4)
35.451
PCPDFWIN
43.123
Nomor 11-0614
53.478
57.012
62.585
74.603
18.468
30.278
35.541
Sampel B
43.24
53.62
57.26
62.839
74.480
Kesamaan puncak ini menunjukkan bahwa
sampel B merupakan magnetit. Selain itu,
berdasarkan Oliviera et al. (2002), jarak
bidang pendifraksi atau d = 2.50, 2.91, dan
1.60 Å menunjukkan keberadaan magnetit.
Hal ini sesuai dengan jarak bidang pendifraksi
yang didapat pada sampel B yaitu d = 2.52,
2.94, dan 1.60 Å.
Gambar 2 juga menunjukkan kesamaan
pola XRD sampel C, D, dan E dengan pola
XRD sampel B. Hal ini menunjukkan terdapat
magnetit pada sampel C, D, dan E. Kesamaan
pola difraksi ketiga sampel tersebut dengan
sampel B dapat diperjelas dengan melihat
puncak-puncak khas yang dihasilkan dari
setiap sampel (Lampiran 6). Keberadaan
magnetit pada sampel C, D, dan E dibuktikan
pula dengan melihat kesamaan puncak
sampel-sampel tersebut dengan basis data
nomor arsip 11-0614. Dengan demikian, dapat

dikatakan di dalam struktur karbon aktif telah
terkomposit partikel magnetit.
Namun, terjadi pelemahan pola difraksi
sampel C, D, dan E seiring dengan
berkurangnya fraksi oksida besi pada sampel
(Gambar 2). Hal ini dikarenakan oksida besi
yang terbentuk ditutupi keberadaannya oleh
karbon aktif yang jumlahnya semakin
meningkat. Selain itu, melemahnya pola XRD
sampel C, D, dan E juga dapat disebabkan
oleh terbentuknya fase oksida besi selain
magnetit, yaitu hematit. Sampel C, D, dan E
memiliki kesamaan puncak dengan basis data
nomor arsip 13-0534 (Lampiran 7) yang
menunjukkan fase oksida besi hematit atau αFe2O3 (Tabel 4). Menurut Oliveira et al.
(2002), jarak bidang pendifraksi d = 2.70 Å
menunjukkan keberadaan hematit. Hal ini
sesuai dengan bidang pendifraksi yang
dimiliki oleh sampel C, D, dan E masingmasing d = 2.66, 2.68, dan 2.69 Å.
Tabel 4 Puncak XRD pada sampel C, D, E,
dan hematit
Sampel
Puncak
(βθ)
Hematit
(α-Fe2O3)
PCPDFWIN
33.279
Nomor 13-0534
Sampel C
33.616
Sampel D
33.40
Sampel E
33.238
Melemahnya pola difraksi sampel C, D,
dan E juga dibuktikan dengan hasil pencirian
menggunakan VSM. VSM digunakan untuk
mengukur nilai magnetisasi dan sifat magnet
sampel. Sampel yang akan diukur diberikan
medan magnet sebesar 1 Tesla dengan
kecepatan tertentu. Jika sampel bersifat
magnet, maka sampel akan mengalami
magnetisasi sehingga menghasilkan momen
magnet. Momen magnet yang dihasilkan akan
menentukan sifat magnet dan nilai
magnetisasi sampel.
Hasil pencirian sampel B, C, D, dan E
menggunakan VSM dapat dilihat pada
Gambar 3. Nilai magnetisasi paling besar
dimiliki oleh sampel B yaitu 76.59 emu/g.
Nilai magnetisasi yang besar pada sampel B
sesuai dengan hasil pencirian dengan XRD
sampel tersebut tersusun atas magnetit, fase
oksida besi yang memiliki sifat magnet
tertinggi (Sulungbudi et al. 2006). Magnetit
termasuk bahan ferimagnetik, yang spin
elektronnya tidak berpasangan memberikan
medan magnet total yang besar.

7

100
80

B

Momen Magnet (emu/g)

60
40
C
D
E

20
0
-1

-0.5

-20

0

0.5

1

-40

Selain itu, lebih kecilnya nilai magnetisasi
hasil VSM dari nilai yang seharusnya juga
dikarenakan oleh adanya ion Fe2+ dan Fe3+ di
dalam struktur karbon aktif yang masih
berbentuk ion. Hal ini disebabkan oleh
terhalangnya ion Fe2+ dan Fe3+ oleh oksida
besi yang lebih dahulu terbentuk di dalam
struktur pori berlapis karbon aktif.
Pencirian menggunakan SEM bertujuan
mengetahui
perbedaan
mikrostruktur
permukaan oksida besi (sampel B), karbon
aktif (sampel A), dan karbon aktif yang telah
terkomposit oksida besi (sampel D). Keadaan
struktur permukaan ketiga sampel tersebut
dapat dilihat pada Gambar 4–6. Gambar 4
menunjukkan keadaan permukaan sampel B
yang memperlihatkan bahwa sampel B terdiri
dari partikel-partikel kecil oksida besi.

-60
-80
-100
Medan magnet (Tesla)
Gambar 3 Hasil pencirian sampel B, C, D,
```````````````dan E menggunakan VSM.
Sampel C, D, dan E berturut-turut
memiliki nilai magnetisasi sebesar 26.5, 18.9,
dan 11 emu/g. Nilai ini lebih kecil dari
perhitungan yang didasarkan pada nilai
magnetisasi sampel B per jumlah oksida besi
pada setiap komposisi sampel C, D, dan E
atau nilai yang seharusnya (Tabel 5). Hal ini
disebabkan oleh terbentuknya fase oksida besi
yang lain, yaitu hematit. Hematit merupakan
fase oksida besi yang tidak memiliki sifat
magnet sehingga jumlah Fe2+ atau Fe3+ yang
merupakan prekusor pembentukan magnetit
berkurang. Menurut Kahani et al. (2007), nilai
magnetisasi sangat dipengaruhi oleh jumlah
magnetit di dalam suatu sampel sehingga
berkurangnya magnetit yang terbentuk akan
berpengaruh pula pada nilai magnetisasinya.
Tabel 5 Nilai magnetisasi sampel A, C, D,
`````````````dan E
Sampel
Hasil
Hasil
VSM
seharusnya
(emu/g)
(emu/g)
A
76.59
C
26.5
38.30
D
18.9
25.53
E
11
19.15

Gambar 4 Foto SEM sampel B.

Gambar 5 Foto SEM sampel A.

Gambar 6 Foto SEM sampel D.

8

Gambar 5 dan 6 juga menunjukkan secara
jelas perbedaan struktur permukaan sampel A
dengan D. Pori-pori sampel A terlihat lebih
besar bila dibandingkan dengan sampel D.
Selain itu, permukaan sampel D tampak lebih
padat dibandingkan dengan sampel A. Hal ini
dikarenakan sebagian permukaan karbon aktif
pada sampel D dikelilingi dan ditutupi oleh
partikel-partikel kecil oksida besi.
Luas permukaan sampel A, B, C, D, dan
E yang diukur menggunakan alat BET dapat
dilihat pada Gambar 7.

Hasil pencirian dengan menggunakan
XRD, VSM, dan SEM menunjukkan bahwa
proses pengompositan partikel oksida besi
(magnetit) pada karbon aktif menghasilkan
suatu material baru yang dapat berperan
sebagai penjerap dan juga bersifat magnet,
yaitu komposit oksida besi-karbon aktif atau
OB-KA. Sifat magnet yang dimiliki sampel
ini akan memudahkan proses pemisahan
karbon aktif dari medium berair. Hal ini
dikarenakan
komposit
OB:KA
dapat
dikendalikan pergerakannya melalui tarikan
oleh batang magnet permanen (Fisli et al.
2007) (Gambar 8).

1200.00
1057.00

Luas permukaan (m²/g)
`````

1000.00

800.00

712.57
638.40

600.00

400.00
219.59
200.00
74.04
0.00
A

B

C
Sampel

D

E

Gambar 7 Luas permukaan sampel A, B, C,
`dan D
Luas permukaan sampel A lebih besar
daripada sampel C, D, dan E. Hal ini
menunjukkan bahwa pengompositan partikel
oksida besi ke dalam struktur karbon aktif
akan menutupi permukaan karbon aktif dan
karena itu, menurunkan luas permukaan
(Tabel 6). Sampel E memiliki luas permukaan
yang lebih besar daripada sampel C dan D.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin sedikit
jumlah oksida besi yang terkomposit, maka
luas permukaan sampel akan semakin besar.
Tabel 6 Penurunan luas permukaan sampel A,
```````````C, D, dan E
Penurunan
Luas
luas
permukaan
Sampel
permukaan
2
(m /g)
(%)
A
1057.00
C
219.59
79.23
D
638.40
39.60
E
712.57
32.59

Gambar 8 Sampel A, B, C, D, dan E yang
`didekatkan
dengan
magnet
`permanen.
Uji Penjerapan
Ragam Jumlah Adsorben
Gambar 9 menunjukkan pengaruh jumlah
adsorben terhadap penjerapan Cs+. Kapasitas
penjerapan terbesar terjadi pada jumlah
sampel A, C, D, dan E sebesar 0.0125 g, yaitu
berturut-turut 42.19, 18.35, 18.31, dan 15.23
mg/g (Lampiran 8). Pengaruh jumlah
adsorben terhadap kapasitas penjerapan Sr2+
dapat dilihat pada Gambar 10. Kapasitas
penjerapan sampel A, C, D, dan E berturutturut sebesar 22.84, 22.44, 17.99, dan 20.34
mg/g (Lampiran 9). Kapasitas penjerapan
terbesar ini juga terjadi pada jumlah sampel
A, C, D, dan E sebesar 0.0125 g.

9

menurun karena
semakin banyak.

45.0

35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0

0.025

0.05
0.075
0.1
Jumlah adsorben (g)

Sampel A
Sampel D

0.125

Sampel C
Sampel E

Gambar 9
Pengaruh jumlah adsorben
````````````````````terhadap
kapasitas
````````````````````penjerapan `Cs+.
25.0

Kapasitas penjerapan (mg/g)

20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0.000

adsorben

yang

Ragam Kondisi pH Larutan
Komposit magnet oksida besi-karbon aktif
yang digunakan pada uji penjerapan ragam
pH larutan adalah OB:KA 1:2 (sampel D)
dengan karbon aktif (sampel A) sebagai
pembanding. Penggunaan
sampel D
dikarenakan sampel ini memiliki luas
permukaan dan nilai magnetisasi yang besar
bila dibandingkan dengan dua sampel lainnya.
Pengaruh pH terhadap kapasitas penjerapan
sampel A dan D dengan Cs+ sebagai adsorbat
dapat dilihat pada Gambar 11. Kapasitas
penjerapan sampel A dan D terhadap Cs+
semakin meningkat seiring peningkatan pH
(Lampiran 10). Kapasitas penjerapan paling
besar terjadi pada saat pH=5 dengan kapasitas
penjerapan sebesar 6.55 mg/g. Namun,
kapasitas penjerapan sampel A menurun pada
pH=6. Penjerapan kembali meningkat pada
pH 7-10, karena pada pH tersebut terbentuk
endapan CsOH sehingga kapasitas penjerapan
meningkat.
Sementara itu, kapasitas penjerapan
sampel D paling besar saat pH=7, yaitu
sebesar 5.40 mg/g. Terjadi penurunan
kapasitas penjerapan saat pH=8, namun
meningkat kembali pada pH 9-10. Hal ini
dikarenakan pada pH 9-10 terbentuk endapan
CsOH
sehingga
kapasitas
penjerapan
meningkat.
12.0

0.025

0.050

0.075

0.100

0.125
10.0

Jumlah adsorben (g)
Sampel A

Sampel C

Sampel D

Sampel E

Gambar 10
Pengaruh jumlah adsorben
````````````````terhadap
kapasitas
``````````````````` `penjerapan Sr2+.
Hasil uji penjerapan dengan ragam jumlah
adsorben
terhadap
Cs+
dan
Sr2+
menggambarkan bahwa kapasitas penjerapan
menurun ketika jumlah adsorben ditingkatkan.
Pada jumlah adsorben tertentu, adsorbat dan
adsorben mengalami keadaan jenuh: tidak ada
lagi adsorbat yang dapat terjerap pada
adsorben. Dalam kondisi ini, peningkatan
jumlah adsorben tidak akan berdampak pada
peningkatan jumlah adsorbat yang terjerap
(peningkatan
kapasitas
penjerapan).
Sebaliknya, kapasitas penjerapan akan

Kapasitas penjerapan (mg/g)

Kapasitas penjerapan (mg/g)``

40.0

jumlah

8.0
6.0
4.0
2.0
0.0
0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

pH
Sampel A

Sampel D

Gambar 11 Pengaruh pH terhadap kapasitas
`penjerapan Cs+.
Gambar 12 memperlihatkan pengaruh pH
terhadap penjerapan sampel A dan D dengan
adsorbat Sr2+. Kapasitas penjerapan sampel A

10

dan D juga mengalami peningkatan seiring
dengan meningkatnya pH (Lampiran 11).
Sampel A dan D memiliki kapasitas
penjerapan paling besar pada pH=6, yaitu
berturut-turut sebesar 11.28 dan 8.90 mg/g.
Namun, kapasitas penjerapan sampel A
menurun pada pH 7-8 dan meningkat kembali
pada pH 9-10. Sedangkan, sampel D
mengalami penurunan kapasitas penjerapan
pada pH=7 dan meningkat kembali pada pH
8-10. Peningkatan kapasitas penjerapan
sampel A dan D pada pH basa dikarenakan
telah terbentuknya endapan Sr(OH)2.

(untuk Sr2+) (Lampiran 12 dan 13). Hal ini
sesuai dengan pernyataan Qaiser et al. 2007
bahwa kapasitas penjerapan akan meningkat
seiring dengan peningkatan konsentrasi awal
ion logam. Kondisi ini terjadi karena semakin
besar konsentrasi awal Cs+ dan Sr2+ yang
diberikan, akan semakin banyak pula Cs+ dan
Sr2+ yang terjerap pada sampel. Hal ini terjadi
bila keberadaan tapak aktif sampel masih
memungkinkan untuk menjerap Cs+ dan Sr2+
yang konsentrasi atau jumlahnya semakin
meningkat.
30.0
Kapasitas penjerapan (mg/g)

20.0

Kapasitas penjerapan (mg/g)

18.0
16.0
14.0
12.0
10.0
8.0
6.0

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0

4.0

0

2.0

50

100

150

200

250

Konsentrasi awal (ppm)

0.0
0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

Sampel A
Sampel D

pH
Sampel D

Gambar 12 Pengaruh pH terhadap kapasitas
````````
penjerapan Sr2+.
Kapasitas penjerapan sampel A dan D
terhadap Cs+ dan Sr2+ meningkat seiring
dengan peningkatan pH. Hal ini dikarenakan
pada pH asam terjadi kompetisi antara H+
dengan Cs+ dan Sr2+ untuk terjerap pada
sampel (Qaiser et al. 2007) sehingga jumlah
Cs+ dan Sr2+ yang terjerap sedikit. Seiring
dengan peningkatan pH, jumlah H+ akan
semakin sedikit sehingga kapasitas penjerapan
akan meningkat.
+

2+

Ragam Konsentrasi Awal Cs dan Sr
Pengaruh ragam konsentrasi awal Cs+ dan
2+
Sr terhadap besarnya kapasitas penjerapan
dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Gambar
tersebut
memperlihatkan
peningkatan
kapasitas
penjerapan
seiring
dengan
meningkatnya konsentrasi awal Cs+ dan Sr2+.
Kapasitas penjerapan sampel A, C, D, dan E
terbesar terjadi pada konsentrasi awal Cs+ dan
Sr2+ sebesar 200 ppm, yaitu berturut-turut
23.95, 9.34, 12.06, dan 7.84 mg/g (untuk Cs +)
serta 22.51, 23.94, 23.34, dan 16.26 mg/g

Gambar 13 Pengaruh konsentrasi awal Cs+
`````````````````terhadap kapasitas penjerapan
`````````````````Cs+.
30.0
Kapasitas penjerapan (mg/g)

Sampel A

Sampel C
Sampel E

25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
0

50

100
150
200
Konsentrasi awal (ppm)
Sampel A
Sampel D

250

Sampel C
Sampel E

Gambar 14 Pengaruh konsentrasi awal Sr2+
````````````terhadap kapasitas penjerapan
```````````````` Sr2+.

11

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Oksida besi dan komposit magnet oksida
besi-karbon aktif dibuat dengan metode
kopresipitasi pada suhu 70 oC. Nisbah oksida
besi-karbon aktif yang dibuat, yaitu 1:1, 1:2,
dan 1:3. Pencirian terhadap oksida besi dan
komposit magnet oksida besi-karbon aktif
dilakukan untuk menentukan fase oksida besi
yang terbentuk dan mengetahui pengaruh
pengompositan oksida besi ke dalam karbon
aktif. Oksida besi dan komposit magnet
oksida besi-karbon aktif memiliki kesamaan
puncak pola XRD dengan puncak no arsip 110614 yang merupakan magnetit (Fe3O4).
Pengukuran
mengggunakan
VSM
menunjukkan bahwa oksida besi dan komposit
magnet oksida besi-karbon aktif bersifat
magnet. Namun, nilai magnetisasi pada
komposit magnet oksida besi-karbon aktif
menurun seiring dengan berkurangnya jumlah
oksida besi yang terkomposit pada karbon
aktif. Hasil foto SEM memperlihatkan pori
permukaan karbon aktif ditutupi dan
dikelilingi oleh partikel kecil oksida besi.
Terkompositnya oksida besi pada karbon aktif
berpengaruh terhadap menurunnya luas
permukaan pada sampel. Uji penjerapan
memperlihatkan kapasitas penjerapan Cs dan
Sr terbesar terjadi pada jumlah adsorben
0.0125 g dan konsentrasi awal 200 ppm.
Keadaan pH optimum penjerapan Cs terjadi
pada pH 7, sedangkan penjerapan Sr lebih
rendah, yaitu pada pH 6.

Saran
Perlu dilakukan uji adsorpsi dengan
parameter ragam waktu kontak. Selain itu,
perlu pula dilakukan penentuan kondisi
optimum penjerapan menggunakan metode
rancangan acak lengkap faktorial dan
penentuan isoterm adsorpsi.

Fakultas Teknik Kimia, Universitas Islam
Syekh Yusuf.
Atkins PW. 1999. Kimia Fisika Edisi ke-4.
Kartohadiprodjo II, penerjemah; Jakarta:
Erlangga. Terjemahan dari: Physical
Chemistry 4th Edition.
Butterman WC, Brooks WE, Reese RG. 2005.
Mineral commodity profiles: Cesium.
[terhubung
berkala]
http://pubs.usgs.gov/of/2004/1432/20041432.pdf. [21 Okt 2010].
Castro CS, Guerreiro MC, Goncalves M,
Oliveira LCA, Anastacia AS. 2009.
Activated carbon/iron oxide composites
for the removal of atrazine from aqueous
medium. J Hazardous Mat 164:609–614.
Chegrouche S, Mellah A, dan Barkat M.
2009. Removal of strontium from
aqueous solutions by adsorption onto
activated
carbon:
kinetic
and
thermodynamic
studies.
J
Desalination 235:306–318.
Fisli A, Hamsah D, Wardiyati S, Ridwan.
2007.
Pengaruh
suhu
pembuatan
nanokomposit oksida besi bentonit. J
Sains Mat Indones 2:145-149.
Gerberding JL. 2004. Toxcicological profile
for strontium. Atlanta: Agency for Toxic
Substances and Disease Registry.
Gong J, Wang B, Zeng G, Yang C, Niu C,
Niu Q, Zhou W, dan Liang Y. 2009.
Removal of cationic dyes from aqueous
solution using magnetic multi-wall
carbon nanotube nanocomposite as
adsorbent. J Hazardous Mat 164:15171522.
Geo. 2007. Classes of Magnetic Materials.
[terhubung berkala]http//www.geo.umn.e
du.html. [27 Jul 2010].

DAFTAR PUSTAKA
Alarifi A dan Hanafi HA. 2010. Adsorption of
cesium, thalium, strontium, and cobalt
radionuclides using activat