Pemanfaatan Karbon Aktif dari Biji Alpukat (Persea americana Mill.) sebagai Adsorben Logam Besi dan Tembaga dalam Limbah Cair Sawit

(1)

PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI

BIJI ALPUKAT (

Persea americana

Mill.) SEBAGAI

ADSORBEN LOGAM BESI DAN TEMBAGA

DALAM LIMBAH CAIR SAWIT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NANDA MAULIDAYANTI

NIM 111501081

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI

BIJI ALPUKAT (

Persea americana

Mill.) SEBAGAI

ADSORBEN LOGAM BESI DAN TEMBAGA

DALAM LIMBAH CAIR SAWIT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NANDA MAULIDAYANTI

NIM 111501081

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI

BIJI ALPUKAT (

Persea americana

Mill.) SEBAGAI

ADSORBEN LOGAM BESI DAN TEMBAGA

DALAM LIMBAH CAIR SAWIT

OLEH:

NANDA MAULIDAYANTI

NIM 111501081

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 29 Mei 2015

Disetujui Oleh: Pembimbing I,

Sri Yuliasmi, S. Farm, M. Si., Apt. NIP 198207032008122002

Panitia Penguji,

Drs. Fathur Rahman Harun, M. Si., Apt. NIP 195201041980031002

Sri Yuliasmi, S. Farm, M. Si., Apt. NIP 198207032008122002

Drs. Nahitma Ginting, M. Si., Apt NIP 195406281983031002

Dra. Masria Lasma Tambunan, M.Si., Apt. NIP 195005081977022001

Pembimbing II,

Prof. Dr. Muchlisyam, M. Si., Apt. NIP 195006221980021001

Medan, Juni 2015 Disahkan oleh Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M. Si., Apt. NIP 195807101986012001


(4)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat serta

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan

skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Karbon Aktif dari Biji Alpukat (Persea

americana Mill.) sebagai Adsorben Logam Besi dan Tembaga dalam Limbah

Cair Sawit”. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara.

Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dekan Prof. Dr. Sumadio

Hadisahputra, Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M. Si., Apt., selaku Wakil Dekan I Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah menyediakan fasilitas kepada

penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sri Yuliasmi, S. Farm., M. Si., Apt.

dan Bapak Prof. Dr. Muchlisyam, M. Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang

telah mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran, memberikan petunjuk dan

saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Drs. Fathur

Rahman Harun, M. Si., Apt., Bapak Drs. Nahitma Ginting, M. Si., Apt., dan Ibu

Dra. Masria Lasma Tambunan, M. Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah

memberikan kritik, saran, dan arahan untuk menyempurnakan skripsi ini. Bapak

dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi yang telah mendidik selama perkuliahan,


(5)

vi

serta Bapak Drs. Ismail, M. Si., Apt. selaku penasehat akademik yang

membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.

Penulis juga mengucapakan terima kasih dan penghargaan yang tiada

terhingga kepada Ayahanda Zainuddin dan Ibunda Malawati, yang telah

memberikan cinta dan kasih sayang yang tak ternilai dengan apapun, pengorbaan

baik materi maupun motivasi beserta doa yang tulus yang tidak pernah berhenti.

Adikku tercinta Erika Melinda Putri, Rizki Arifani, dan Nadia Maghdalena serta

seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan semangat.

Sahabat-sahabat terbaikku Husna, Fhatma, Tari, Tiwi, Arie, Silvia, Eka, Nisa, serta

teman-teman Farmasi 2011 serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu

persatu yang telah banyak membantu hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis

menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis

berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2015 Penulis,

Nanda Maulidayanti NIM 111501081


(6)

vii

PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI BIJI ALPUKAT (Persea americana Mill.) SEBAGAI

ADSORBEN LOGAM BESI DAN TEMBAGA DALAM LIMBAH CAIR SAWIT

ABSTRAK

Karbon aktif merupakan karbon amorf yang dihasilkan dari bahan berkarbon tinggi. Salah satu bahan yang digunakan untuk membuat karbon aktif adalah biji alpukat (Persea americana Mill.) yang masih kurang pemanfaatannya. Karbon aktif dapat dimanfaatkan sebagai adsorben terhadap logam berat dalam limbah cair sawit. Tujuan penelitian ini adalah memanfaatkan karbon aktif dari biji alpukat sebagai adsorben logam berat dan mengetahui pengaruh konsentrasi karbon aktif terhadap adsorpsi logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dari limbah cair sawit.

Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan karbon aktif dari biji alpukat

(Persea americana Mill.) dengan menggunakan aktivator asam fosfat dan

karbonisasi pada suhu 500˚C selama 4 jam. Karbon aktif yang terbentuk

kemudian di uji daya adsorpsi terhadap logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dari limbah cair sawit. Dalam penetapan daya adsorpsi terhadap logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) digunakan karbon aktif dengan jumlah yang bervariasi yaitu: 100 mg, 200 mg, 300 mg, dan 400 mg dan kadar logam di ukur menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom.

Hasil penelitian menunjukkan penambahan karbon aktif sebanyak 100 mg, 200 mg, 300 mg, dan 400 mg secara berturut-turut memberikan adsorpsi sebanyak 47,11 %, 48,08 %, 54,48 % dan 61,24 % terhadap logam besi (Fe) dan 32,22 %, 58,99 %, 76,67 %, dan 100 % terhadap logam tembaga (Cu).

Kata kunci : Karbon aktif, biji alpukat, adsorben alami, logam, limbah cair sawit


(7)

viii

UTILIZATION OF ACTIVATED CARBON FROM AVOCADO (Persea americana Mill.) SEED AS IRON AND COPPER METALS ADSORBENT

IN PALM LIQUID WASTE ABSTRACT

Activated carbon is an amorphous carbon produced from high-carbon material. One of them is avocado (Persea americana Mill.) seed which still less utilization. Activated carbon can be utilized as an adsorbent to heavy metals in the palm liquid waste. The purpose of this research is to utilizing activated carbon from avocado seed as an adsorbent to heavy metals and to know the influence of the concentration of activated carbon to sorption of iron (Fe) and copper (Cu) metals from palm liquid waste.

In this research, activated carbon were prepared from avocado (Persea americana Mill.) seed using phosphoric acid as activator and carbonization at

500˚C for 4 hours. The later formed activated carbon is examined the adsorption to iron (Fe) and copper (Cu) metal from palm liquid waste. In the determination of adsorption to iron (Fe) and copper (Cu) metal is used activated carbon with varying amounts as follows: 100 mg, 200 mg, 300 mg, and 400 mg and metal content measured using Atomic Absorption Spectrofotometer.

The result showed the addition of 100 mg, 200 mg, 300 mg, and 400 mg of activated carbon in a row gives sorption as much as sebanyak 47.11 %, 48.08 %, 54.48 % and 61.24 % to iron (Fe) metal and 32.22 %, 58.99 %, 76.67 %, and 100 % to copper (Cu) metal.

Keyword: activated carbon, avocado seed, natural adsorbent, metal, industrial liquid waste


(8)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... ….. i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Alpukat ... 6

2.1.1 Sistematika Alpukat ... 6

2.1.2 Nama Lain ... 6

2.1.3 Daerah Asal dan Penyebaran Alpukat ... 7

2.1.4 Biji Alpukat ... 7


(9)

x

2.2 Karbon Aktif ... 8

2.3 Limbah ... 14

2.4 Logam Berat ... 16

2.4.1 Besi (Fe) ... 18

2.4.2 Tembaga (Cu) ... 19

2.5 Spektrofotometer Serapan Atom ... 20

2.6 Validasi Metode Analisis ... 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

3.2 Alat ... 26

3.3 Bahan ... 26

3.4 Prosedur Penelitian ... 26

3.4.1 Sampel ... 26

3.4.1.1 Metode Pengambilan Sampel ... 27

3.4.1.2 Identifikasi Sampel ... 27

3.4.1.3 Penyiapan Sampel ... 27

3.4.2 Pembuatan Karbon Aktif ... 27

3.4.3 Uji Penyerapan Logam pada Limbah Cair Sawit ... 28

3.4.3.1 Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan Baku Logam Besi ... 28

3.4.3.2 Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan Baku Logam Tembaga ... 28

3.4.3.3 Proses Destruksi Basah ... 29

3.4.3.4 Pengukuran Kadar Logam ... 29

3.4.3.5 Perhitungan Kadar Logam ... 30

3.4.4 Uji Statistik ... 30


(10)

xi

3.4.5 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 31

3.4.6 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali (% Recovery) ... 32

3.4.7 Uji Presisi ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

3.1 Hasil Identifikasi Sampel ... 34

3.2 Penentuan Linearitas Kurva Kalibrasi Besi (Fe) dan Tembaga (Cu) ... 34

3.3 Adsorpsi Besi (Fe) dan Tembaga (Cu) pada Limbah Cair Sawit ... 35

3.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi... 39

3.5 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali (% Recovery) ... 40

3.6 Uji Presisi ... 41

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

4.1 Kesimpulan ... 42

4.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN ... 46


(11)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Komposisi biji alpukat ... 8

Tabel 2.2 Kandungan mineral limbah cair sawit ... 15

Tabel 4.1 Kadar rata-rata dan persen adsorpsi besi (Fe) dan tembaga

(Cu) dalam limbah cair sawit yang di analisis ... 36

Tabel 4.2 Hasil uji Anava besi (Fe) dan tembaga (Cu) ... 38

Tabel 4.3 Batas deteksi dan batas kuantitasi besi (Fe) dan tembaga

(Cu) ... 39

Tabel 4.4 Uji persen perolehan kembali (recovery) kadar besi (Fe) dan tembaga (Cu) ... 40

Tabel 4.5 Nilai simpangan baku dan simpangan baku relatif besi

(Fe) dan tembaga (Cu) dalam sampel ... 41


(12)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Buah Alpukat ... 6

Gambar 2.2 Komponen Spektrofotometer Serapan Atom ... 22

Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Fe ... 34

Gambar 4.2 Kurva Kalibrasi Cu ... 35

Gambar 4.3 Diagram Batang Kadar Logam dalam Limbah Sawit ... 37


(13)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Bagan Alir Pembuatan Karbon Aktif ... 46

Lampiran 2. Bagan Alir Proses Destruksi Basah ... 47

Lampiran 3. Bagan Alir Pembuatan Larutan Sampel Besi (Fe) ... 48

Lampiran 4. Bagan Alir Pembuatan Larutan Sampel Tembaga (Cu) ... 49

Lampiran 5. Data Kalibrasi Besi (Fe) dengan Spektrofotometer Serapan Atom, Perhitungan Regresi dan Koefisien

Korelasi (r) ... 49

Lampiran 6. Data Kalibrasi Tembaga (Cu) dengan Spektrofotometer Serapan Atom, Perhitungan Regresi

dan Koefisien Korelasi (r) ... 50

Lampiran 7. Hasil Analisis Kadar Besi (Fe) dalam Limbah Sawit ... 52

Lampiran 8. Hasil Analisis Kadar Tembaga (Cu) dalam Limbah Sawit ... 54

Lampiran 9. Contoh Perhitungan Kadar Besi (Fe) dalam Limbah

Sawit Sebelum Penambahan Karbon Aktif ... 56

Lampiran 10. Contoh Perhitungan Kadar Tembaga (Cu) dalam

Limbah Sawit Sebelum Penambahan Karbon Aktif ... 57

Lampiran 11. Perhitungan Statistika Kadar Besi (Fe) dalam Limbah

Sawit Sebelum Penambahan Karbon Aktif ... 58

Lampiran 12. Perhitungan Statistika Kadar Tembaga (Cu) dalam

Limbah Sawit Sebelum Penambahan Karbon Aktif ... 60

Lampiran 13. Data Kadar Rata-rata dan Persen Adsorpsi Besi (Fe)

dan Tembaga (Cu) dalam Limbah Sawit ... 62

Lampiran 14. Contoh Perhitungan Persen Penyerapan Logam Besi

(Fe) dan Tembaga (Cu) ... 63

Lampiran 15. Hasil Uji Beda Kadar Logam Besi (Fe) Berdasarkan

Analisis Variansi (Anava) ... 64

Lampiran 16. Hasil Uji Beda Kadar Logam Tembaga (Cu)

Berdasarkan Analisis Variansi (Anava) ... 66


(14)

xv

Lampiran 17. Perhitungan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi Besi

(Fe) Persamaan Garis Regresi Y = 0,01758x – 0,0013 .. 68

Lampiran 18. Perhitungan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi Tembaga (Cu) Persamaan Garis Regresi: Y = 0,00001022857x + 0,00000761908 ... 59

Lampiran 19. Hasil Analisis Kadar Besi (Fe) Setelah Penambahan Larutan Baku pada Limbah Sawit ... 70

Lampiran 20. Hasil Analisis Kadar Tembaga (Cu) Setelah Penambahan Larutan Baku pada Limbah Sawit ... 71

Lampiran 21. Contoh Perhitungan Uji Perolehan Kembali Kadar Besi (Fe) dalam Limbah Sawit ... 72

Lampiran 22. Contoh Perhitungan Uji Perolehan Kembali Kadar Tembaga (Cu) dalam Limbah Sawit ... 73

Lampiran 23. Perhitungan Simpangan Baku Relatif (RSD) Kadar Besi (Fe) dalam Limbah Sawit ... 74

Lampiran 24. Perhitungan Simpangan Baku Relatif (RSD) Kadar Tembaga (Cu) dalam Limbah Sawit ... 75

Lampiran 25. Tabel Distribusi t ... 76

Lampiran 26. Hasil Identifikasi Biji Alpukat ... 77

Lampiran 27. Biji Alpukat ... 78

Lampiran 28. Karbon Aktif ... 78

Lampiran 29. Neraca analitik BOECO ... 79

Lampiran 30. Elga Purelab UHQ ... 79

Lampiran 31. Tanur Bibby Stuart ... 80

Lampiran 32. Alat Spektrofotometer Serapan Atom Hitachi Z-2000 ... 80


(15)

vii

PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI BIJI ALPUKAT (Persea americana Mill.) SEBAGAI

ADSORBEN LOGAM BESI DAN TEMBAGA DALAM LIMBAH CAIR SAWIT

ABSTRAK

Karbon aktif merupakan karbon amorf yang dihasilkan dari bahan berkarbon tinggi. Salah satu bahan yang digunakan untuk membuat karbon aktif adalah biji alpukat (Persea americana Mill.) yang masih kurang pemanfaatannya. Karbon aktif dapat dimanfaatkan sebagai adsorben terhadap logam berat dalam limbah cair sawit. Tujuan penelitian ini adalah memanfaatkan karbon aktif dari biji alpukat sebagai adsorben logam berat dan mengetahui pengaruh konsentrasi karbon aktif terhadap adsorpsi logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dari limbah cair sawit.

Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan karbon aktif dari biji alpukat

(Persea americana Mill.) dengan menggunakan aktivator asam fosfat dan

karbonisasi pada suhu 500˚C selama 4 jam. Karbon aktif yang terbentuk

kemudian di uji daya adsorpsi terhadap logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dari limbah cair sawit. Dalam penetapan daya adsorpsi terhadap logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) digunakan karbon aktif dengan jumlah yang bervariasi yaitu: 100 mg, 200 mg, 300 mg, dan 400 mg dan kadar logam di ukur menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom.

Hasil penelitian menunjukkan penambahan karbon aktif sebanyak 100 mg, 200 mg, 300 mg, dan 400 mg secara berturut-turut memberikan adsorpsi sebanyak 47,11 %, 48,08 %, 54,48 % dan 61,24 % terhadap logam besi (Fe) dan 32,22 %, 58,99 %, 76,67 %, dan 100 % terhadap logam tembaga (Cu).

Kata kunci : Karbon aktif, biji alpukat, adsorben alami, logam, limbah cair sawit


(16)

viii

UTILIZATION OF ACTIVATED CARBON FROM AVOCADO (Persea americana Mill.) SEED AS IRON AND COPPER METALS ADSORBENT

IN PALM LIQUID WASTE ABSTRACT

Activated carbon is an amorphous carbon produced from high-carbon material. One of them is avocado (Persea americana Mill.) seed which still less utilization. Activated carbon can be utilized as an adsorbent to heavy metals in the palm liquid waste. The purpose of this research is to utilizing activated carbon from avocado seed as an adsorbent to heavy metals and to know the influence of the concentration of activated carbon to sorption of iron (Fe) and copper (Cu) metals from palm liquid waste.

In this research, activated carbon were prepared from avocado (Persea americana Mill.) seed using phosphoric acid as activator and carbonization at

500˚C for 4 hours. The later formed activated carbon is examined the adsorption to iron (Fe) and copper (Cu) metal from palm liquid waste. In the determination of adsorption to iron (Fe) and copper (Cu) metal is used activated carbon with varying amounts as follows: 100 mg, 200 mg, 300 mg, and 400 mg and metal content measured using Atomic Absorption Spectrofotometer.

The result showed the addition of 100 mg, 200 mg, 300 mg, and 400 mg of activated carbon in a row gives sorption as much as sebanyak 47.11 %, 48.08 %, 54.48 % and 61.24 % to iron (Fe) metal and 32.22 %, 58.99 %, 76.67 %, and 100 % to copper (Cu) metal.

Keyword: activated carbon, avocado seed, natural adsorbent, metal, industrial liquid waste


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hampir semua orang mengenal alpukat karena buah ini dapat ditemukan

di pasar-pasar setiap saat, tanpa mengenal musim. Menurut sejarahnya, tanaman

alpukat berasal dari daerah tropik Amerika. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang

ahli botani Soviet, memastikan sumber genetik tanaman alpukat berasal dari

Meksiko bagian selatan dan Amerika Tengah, kemudian menyebar ke berbagai

negara yang beriklim tropik (Rukmana, 1997).

Bagian tanaman alpukat yang banyak dimanfaatkan adalah buahnya

sebagai makanan buah segar. Selain itu pemanfaatan daging buah alpukat yang

biasa dilakukan masyarakat Eropa adalah digunakan sebagai bahan pangan yang

diolah dalam berbagai masakan. Manfaat lain dari daging buah alpukat adalah

untuk bahan dasar kosmetik (Anonim, 2000).

Alpukat merupakan buah yang diminati masyarakat karena rasanya yang

nikmat dan memiliki nilai gizi yang tinggi. Akan tetapi biji alpukat hanya

menjadi limbah yang dibuang dan masih kurang pemanfaatannya. Biji alpukat

mengandung pati, gula pereduksi, serat, arabinosa, pentosa, dan protein

(Weatherby, 1934). Pati dan selulosa merupakan polisakarida bermassa molekul

tinggi yang terdiri dari senyawa karbon, hidrogen, dan oksigen (Marzuki, et al.,

2010).

Karbon aktif merupakan karbon amorf, yang dapat dihasilkan dari

bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara

khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Karbon aktif bisa dibuat


(18)

2

dari tongkol jagung, ampas penggilingan tebu, tempurung kelapa, sekam padi,

serbuk gergaji, kayu keras dan kulit singkong karena banyak mengandung

senyawa karbon. Metode aktivasi yang umum digunakan dalam pembuatan

karbon aktif dapat dilakukan secara aktivasi fisika dan aktivasi kimia. Aktivasi

fisika biasanya dilakukan dengan pemanasan arang pada suhu 800-900˚C atau dengan uap dan CO2. Sedangkan aktivasi kimia dengan menggunakan

bahan-bahan kimia seperti H2SO4, NaCl, HCl, NaOH, KOH, dan H3PO4 (Sembiring dan

Sinaga, 2003). Menurut Wulandari, et al. (2014) dan Farid (2011), H3PO4

merupakan aktivator terbaik dibandingkan HCl dan KOH karena memberikan

profil penyerapan yang lebih baik.

Beberapa bahan yang telah digunakan untuk pembuatan karbon aktif dan

aplikasinya, diantaranya adalah karbon aktif dari batu bara sebagai adsorben

methylene blue (Saragih, 2008), limbah sagu sebagai adsorben logam timbal

(Karthika, et al., 2010), batang jagung sebagai adsorben logam tembaga

(Suhendra, 2010), sekam padi untuk menurunkan kadar besi dalam air sumur

(Sitanggang, 2010) dan sebagai pengolah air limbah gasifikasi (Yuliati dan

Susanto, 2011), tongkol jagung untuk menurunkan kadar besi (Simbolon, 2011),

batang pisang untuk adsorpsi logam kromium (Widihati, et al., 2012), dan

tempurung kelapa sawit untuk penyerapan logam kadmium dan timbal (Gultom,

2014).

Kelapa sawit mengandung mineral nitrogen, fosfor, kalium, magnesium,

kalsium, tembaga, besi, zink, dan mangan (Ngan, 2000). Beberapa mineral

seperti nitrogen dan fosfor dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara untuk

tanaman perkebunan (Budianta, 2005) dan beberapa lagi bersifat toksik seperti


(19)

3

logam tembaga, besi, zink, dan mangan (Widowati, et al., 2008). Limbah cair

yang berasal dari proses pengolahan kelapa sawit, yang menggunakan beberapa

peralatan yang terbuat dari bahan logam ditambah lagi dengan penggunaan suhu

yang relatif tinggi dikhawatirkan limbah cair tersebut mengandung logam-logam

transisi terutama Fe dan Cu yang dapat mencemari lingkungan yaitu yang

bersumber dari wadah ataupun peralatan yang digunakan (Sembiring, 2004).

Logam berat dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan

manusia, tergantung pada bagian mana dari logam berat tersebut yang terikat

dalam tubuh serta besarnya dosis paparan. Efek toksik dari logam berat mampu

menghalangi kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh,

menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen, atau karsinogen bagi manusia

ataupun hewan (Widowati, et al., 2008).

Kadar logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dapat ditetapkan secara

gravimetri dan volumetri (Treadwell, 1961) dan spektroskopi serapan atom.

Spektroskopi serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur

logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat sekelumit (ultratrace). Cara

analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak

tergantung pada bentuk molekul dari logam dari sampel tersebut. Cara ini cocok

untuk analisis sekelumit logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi (batas

deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaannya relatif sederhana, dan

interferensinya sedikit (Gandjar dan Rohman, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk memanfaatkan

biji alpukat yang memiliki kandungan karbon yang tinggi menjadi karbon aktif

dan di uji efektivitasnya terhadap adsorpsi logam besi dan tembaga dalam


(20)

4

limbah cair sawit. Kadar logam besi dan tembaga dalam limbah cair sawit di

ukur menggunakan alat Spektrofotometer Serapan Atom.

1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah karbon aktif yang dihasilkan dari biji alpukat (Persea americana

Mill.) mampu mengadsorpsi logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dalam

limbah cair sawit?

2. Apakah jumlah karbon aktif yang ditambahkan terhadap limbah cair

sawit berpengaruh terhadap jumlah logam besi (Fe) dan tembaga (Cu)?

1.3 Hipotesis

1. Karbon aktif yang dihasilkan dari biji alpukat (Persea americana Mill.)

mampu mengadsorpsi logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dalam limbah

cair sawit.

2. Semakin tinggi konsentrasi karbon aktif yang ditambahkan semakin

sedikit logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) yang terdapat dalam limbah

cair sawit.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk membuat karbon aktif dari biji alpukat (Persea americana Mill.)

yang masih kurang pemanfaatannya.

2. Untuk menentukan pengaruh konsentrasi karbon aktif yang ditambahkan

terhadap jumlah logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) yang terdapat dalam

limbah cair sawit.


(21)

5

1.5 Manfaat Penelitian

1. Dapat meningkatkan pemanfaatan biji alpukat (Persea americana Mill.)

sebagai sumber karbon aktif yang lebih murah dan mudah didapat.

2. Dapat mengetahui pengaruh konsentrasi karbon aktif yang ditambahkan

terhadap jumlah logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) yang terdapat dalam

limbah cair sawit.


(22)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alpukat

2.1.1 Sistematika Alpukat

Menurut Anonim (2000), klasifikasi tanaman alpukat adalah sebagai

berikut:

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Ranales

Familia : Lauraceae

Genus : Persea

Species : Persea americana Mill. Gambar 2.1 Buah Alpukat

2.1.2 Nama Lain

Berbagai daerah di Indonesia menyebut buah ini dengan nama yang

berbeda, yaitu Jawa Barat (alpuket atau alpukat); Jawa Timur/Jawa Tengah

(alpokat); Batak (boah pokat, jamboo pokat); dan Lampung (advokat, jamboo

mentega, jamboo pooan, pookat). Nama asing buah alpukat pun berbeda-beda.

Di Inggris disebut Avocado; Belanda (Advocaat); Spanyol (Ahuaca-te atau

Aguacate), Perancis (Avocat, Avocatier, Poire, d’avocat); dan Jerman (Abakato, Advogato-birne, Agnacatebaum, Avocato-birne, Avogate-birne) (Indriani dan

Sumiarsih, 1993).


(23)

7

2.1.3 Daerah Asal dan Penyebaran Alpukat

Tanaman alpukat bukan tanaman asli Indonesia. Lahan pusat

penyebarannya jauh di belahan bumi sebelah barat, menyebar di dataran rendah

dan dataran tinggi Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Pada abad ke-14 dan

ke-15 awal pembudidayaan dan pengembangan tanaman ini telah dilakukan oleh

dua suku Indian kuno, suku Aztek di Meksiko dan suku Inca di Peru.

Diperkirakan tanaman ini telah berada di Indonesia sekitar abad ke-18, yang di

bawa oleh para pengelana. Mereka telah menanam biji atau secara tak sengaja

mendatangkan bibit atau biji alpukat ke bumi Nusantara (Kalie, 1997).

Di Indonesia tanaman alpukat tumbuh menyebar di dataran rendah

sampai ketinggian 1.500 m dpl atau lebih inggi lagi, dengan iklim basah merata

sepanjang tahun sampai tipe iklim yang mencapai 1-6 bulan kering. Pada

wilayah-wilayah yang memiliki iklim 1-6 bulan kering ini air lahan memegang

peranan utama dan merupakan faktor penentu keberhasilan pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Pada wilayah ini tanaman alpukat hanya akan tumbuh

bila air lahan berada di sekitar 2 m di bawah permukaan tanah, selebihnya

tanaman tidak akan tumbuh. Luasnya daerah penyebaran tumbuh alpukat

disebabkan oleh sifat genetis masing-masing varietas yang berasal dari

leluhurnya pada habitat tumbuh asalnya. Ada varietas alpukat yang cocok untuk

dataran rendah, dataran tinggi, dan ada yang untuk dataran lebih tinggi lagi

(Kalie, 1997).

2.1.4 Biji Alpukat

Buah alpukat mempunyai biji yang berkeping dua, sehingga termasuk

dalam kelas Dicotyledoneae. Kepingan ini mudah terlihat apabila kulit bijinya


(24)

8

dilepas atau dikuliti. Kulit biji umumnya mudah lepas dari bijinya. Pada saat

buah masih muda, kulit biji ini menempel pada daging buahnya. Bila buah telah

tua, biji akan terlepas dengan sendirinya. Umumnya sifat ini dijadikan salah satu

tanda kematangan buah (Indriani dan Sumiarsih, 1993).

Menurut Weatherby (1934), komposisi biji alpukat dapat dilihat pada

Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi Biji Alpukat

Air 50,4%

Berat Basah Berat Kering

Abu 1,3% 2,7%

Protein 2,5% 5,0%

Gula Pereduksi 1,6% 3,2% Gula Non Pereduksi 0,6% 1,2%

Pati 29,6% 60,0%

Pentosa 1,6% 3,3%

Arabinosa 2,0% 4,1%

Ekstrak Eter 1,0% 2,0%

Serat 3,7% 7,2%

Senyawa lain 5,6% 11,3%

Adapun 5,6% senyawa lain adalah fenol dan tanin yang merupakan senyawa

alkohol.

2.2 Karbon Aktif

Arang merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95%

karbon, dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan

pemanasan pada suhu tinggi. Ketika pemanasan berlangsung, diusahakan agar

tidak terjadi kebocoran udara didalam ruangan pemanasan sehingga bahan yang

mengandung karbon tersebut hanya terkarbonisasi dan tidak teroksidasi

(Sembiring dan Sinaga, 2003).


(25)

9

Arang selain digunakan sebagai bahan bakar, juga dapat digunakan

sebagai adsorben (penyerap). Daya serap ditentukan oleh luas permukaan

partikel dan kemampuan ini dapat menjadi lebih tinggi jika terhadap arang

tersebut dilakukan aktivasi dengan bahan-bahan kimia ataupun dengan

pemanasan pada temperatur tinggi. Dengan demikian, arang akan mengalami

perubahan sifat-sifat fisika dan kimia. Arang yang demikian disebut sebagai

karbon aktif (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Karbon aktif merupakan karbon amorf, yang dapat dihasilkan dari

bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara

khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Luas permukaan karbon

aktif berkisar antara 300-3500 m2/gram dan ini berhubungan dengan struktur

pori internal yang menyebabkan karbon aktif mempunyai sifat sebagai adsorben.

Karbon aktif dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau

sifat adsorpsinya selektif, tergantung pada besar atau ukuran pori-pori dan luas

permukaan. Daya serap karbon aktif sangat besar, yaitu 25- 1000% terhadap

berat karbon aktif (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Karbon aktif dibagi atas 2 tipe, yaitu karbon aktif sebagai pemucat dan

sebagai penyerap uap. Karbon aktif sebagai pemucat, biasanya berbentuk serbuk

yang sangat halus, diameter pori mencapai 1000A0, digunakan dalam fase cair,

berfungsi untuk menghilangkan zat-zat penganggu yang menyebabkan warna

dan bau yang tidak diharapkan, membebaskan pelarut dari zat-zat penganggu

dan kegunaan lain yaitu pada industri kimia (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Karbon aktif sebagai penyerap uap, biasanya berbentuk granular atau

pellet yang sangat keras diameter pori berkisar antara 10-200 A0, tipe pori lebih


(26)

10

halus, digunakan dalam fase gas, berfungsi untuk memperoleh kembali pelarut,

katalis, pemisahan dan pemurnian gas. Diperoleh dari tempurung kelapa, tulang,

batu bara. Arang tulang dibuat dalam bentuk granular dan digunakan sebagai

pemucat larutan gula. Demikian juga dengan karbon aktif yang digunakan

sebagai penyerap uap dapat diperoleh dari bahan yang mempunyai densitas

kecil, seperti serbuk gergaji (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Proses pembuatan arang aktif menurut Sembiring dan Sinaga (2003)

terdiri dari tiga tahap yaitu:

a. Dehidrasi: proses penghilangan air.

Bahan baku dipanaskan sampai temperatur 170°C.

b. Karbonisasi: pemecahan bahan-bahan organik menjadi karbon.

Temperatur diatas 170°C akan menghasilkan CO, CO2 dan asam asetat. Pada

temperatur 275°C, dekomposisi menghasilkan tar, metanol dan hasil

sampingan lainnya. Pembentukan karbon terjadi pada temperatur 400–600 0C c. Aktivasi: dekomposisi tar dan perluasan pori-pori.

Dapat dilakukan dengan uap atau CO2 sebagai aktivator

Proses aktivasi merupakan hal yang penting diperhatikan disamping

bahan baku yang digunakan. Aktivasi adalah suatu perlakuan terhadap arang

yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan

hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang

mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya

bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi (Sembiring dan

Sinaga, 2003).


(27)

11

Menurut Sembiring dan Sinaga (2003), metode aktivasi yang umum

digunakan dalam pembuatan karbon aktif adalah:

a. Aktivasi kimia: proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik

dengan pemakaian bahan-bahan kimia

b. Aktivasi fisika: proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik

dengan bantuan panas, uap dan CO2.

Untuk aktivasi kimia, aktivator yang digunakan adalah bahan-bahan

kimia seperti: hidroksida logam alkali, garam-garam karbonat, klorida, sulfat,

fosfat dari logam alkali tanah dan khususnya ZnCl2, asam-asam anorganik

seperti H2SO4 dan H3PO4. Untuk aktivasi fisika, biasanya arang dipanaskan

didalam furnace pada temperatur 800-900°C. Oksidasi dengan udara pada

temperatur rendah, merupakan reaksi eksoterm sehingga sulit untuk

mengontrolnya. Sedangkan pemanasan dengan uap atau CO2 pada temperatur

tinggi merupakan reaksi endoterm, sehingga lebih mudah dikontrol dan paling

umum digunakan (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Karbon aktif sebagai pemucat, dapat dibuat dengan aktivasi kimia. Bahan

baku dicampur dengan bahan-bahan kimia, kemudian campuran tersebut

dipanaskan pada temperatur 500-900°C. Selanjutnya didinginkan, dicuci untuk

menghilangkan dan memperoleh kembali sisa-sisa zat kimia yang digunakan.

Akhirnya, disaring dan dikeringkan. Bahan baku dapat dihaluskan sebelum atau

setelah aktivasi (Sembiring, 2003).

Karbon aktif sebagai penyerap uap, juga dapat dibuat dengan aktivasi

kimia. Sebagai contoh, digunakan serbuk gergaji sebagai bahan dasar dan

H3PO4, ZnCl2, K2S atau KCNS sebagai aktivator. Biasanya, seratus bagian


(28)

12

bahan baku yang telah dihaluskan dicampur dengan larutan yang mengandung

50-100 bagian aktivator. Kemudian dipanaskan dalam pencampur mekanik

untuk menguapkan air, selanjutnya campuran yang masih panas tersebut

dibentuk menjadi blok blok, dihancurkan kembali dan dikarbonisasi pada

500-900°C, didinginkan, dicuci untuk menghilangkan dan memperoleh kembali

bahan-bahan kimia yang digunakan untuk selanjutnya dikeringkan (Sembiring

dan Sinaga, 2003).

Sifat karbon aktif yang paling penting adalah daya serap. Menurut

Sembiring dan Sinaga (2003), ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya

serap adsorpsi, yaitu :

a. Sifat Adsorben

Karbon aktif yang merupakan adsorben adalah suatu padatan berpori,

yang sebagian besar terdiri dari unsur karbon bebas dan masing- masing

berikatan secara kovalen. Dengan demikian, permukaan karbon aktif bersifat

non polar. Selain kompisisi dan polaritas, struktur pori juga merupakan faktor

yang penting diperhatikan. Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan,

semakin kecil pori-pori karbon aktif, mengakibatkan luas permukaan semakin

besar. Dengan demikian kecepatan adsorpsi bertambah. Untuk meningkatkan

kecepatan adsorpsi, dianjurkan agar menggunakan karbon aktif yang telah

dihaluskan. Jumlah atau dosis karbon aktif yang digunakan, juga diperhatikan.

b. Sifat Serapan

Banyak senyawa yang dapat diadsorpsi oleh karbon aktif, tetapi

kemampuannya untuk mengadsorpsi berbeda untuk masing- masing senyawa.

Adsorpsi akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya ukuran molekul


(29)

13

serapan dari struktur yang sama, seperti dalam deret homolog. Adsorpsi juga

dipengaruhi oleh gugus fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur

rantai dari senyawa serapan.

c. Temperatur

Dalam pemakaian karbon aktif dianjurkan untuk menyelidiki temperatur

pada saat berlangsungnya proses. Karena tidak ada peraturan umum yang bisa

diberikan mengenai temperatur yang digunakan dalam adsorpsi. Faktor yang

mempengaruhi temperatur proses adsorpsi adalah viskositas dan stabilitas termal

senyawa serapan. Jika pemanasan tidak mempengaruhi sifat-sifat senyawa

serapan, seperti terjadi perubahan warna mau dekomposisi, maka perlakuan

dilakukan pada titik didihnya. Untuk senyawa volatil, adsorpsi dilakukan pada

temperatur kamar atau bila memungkinkan pada temperatur yang lebih kecil.

d. pH (Derajat Keasaman)

Untuk asam-asam organik, adsorpsi akan meningkat bila pH diturunkan

yaitu dengan penambahan asam-asam mineral. Ini disebabkan karena

kemampuan asam mineral untuk mengurangi ionisasi asam organik tersebut.

Sebaliknya bila pH asam organik dinaikkan yaitu dengan menambahkan alkali,

adsorpsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam.

e. Waktu Kontak

Bila karbon aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu

untuk mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding terbalik

dengan jumlah karbon aktif yang digunakan. Seisin ditentukan oleh jumlah

karbon aktif, pengadukan juga mempengaruhi waktu singgung. Pengadukan

dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada partikel karbon aktif untuk


(30)

14

bersinggungan dengan senyawa serapan. Untuk larutan yang mempunyai

viskositas tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih lama.

2.3 Limbah

Limbah dalam konotasi sederhana dapat diartikan sebagai sampah.

Limbah atau dalam bahasa ilmiahnya disebut juga dengan polutan, dapat

digolongkan atas beberapa kelompok berdasarkan pada jenis, sifat dan

sumbernya. Berdasarkan pada jenis, limbah dikelompokkan atas golongan

limbah padat dan limbah cair. Berdasarkan pada sifat yang dibawanya, limbah

dikelompokkan atas limbah organik dan limbah an-organik. Sedangkan bila

berdasarkan pada sumbernya, limbah dikelompokkan atas limbah rumah tangga

atau limbah domestik dan limbah industri (Palar, 2008).

Pencemaran yang dapat ditimbulkan oleh limbah ada bermacam-macam

bentuk. Ada pencemaran berupa bau, warna, suara, dan bahkan pemutusan mata

rantai dari suatu tatanan lingkungan hidup atau penghancuran suatu jenis

mikroorganisme yang pada tingkat akhirnya akan menghancurkan tatanan

ekosistemnya. Pencemaran yang dapat menghancurkan tatanan lingkungan

hidup, biasanya berasal dari limbah-limbah yang sangat berbahaya dalam arti

memiliki daya racun (toksisitas) yang tinggi. Limbah-limbah yang sangat

beracun pada umumnya merupakan limbah kimia, apakah itu berupa

persenyawaan-persenyawaan kimia atau hanya dalam bentuk unsur atau ionisasi.

Biasanya senyawa kimia yang sangat beracun bagi organisme hidup dan

manusia adalah senyawa-senyawa kimia yang mempunyai bahan aktif dari

logam-logam berat. Daya racun yang dimiliki oleh bahan aktif dari logam berat

akan bekerja sebagai penghalang enzim dalam proses fisiologis atau


(31)

15

metabolisme tubuh, sehingga proses metabolime terputus. Di samping itu bahan

beracun dari senyawa kimia juga dapat terakumulasi atau menumpuk dalam

tubuh, akibatnya timbul masalah keracunan kronis (Palar, 2008).

Bentuk dari pencemaran akibat buangan industri adalah pencemaran

yang ditimbulkan oleh limbah industri yang mengandung logam berat. Sebagai

contoh adalah terjadinya peningkatan kadar merkuri (Hg) dalam perairan Teluk

Jakarta (Palar, 2008).

Limbah utama dari industri pengolahan kelapa sawit adalah limbah padat

dan limbah cair. Limbah cair industri pengolahan kelapa sawit mempunyai

potensi untuk mencemarkan lingkungan karena mengandung parameter

bermakna yang cukup tinggi. Salah satu parameter yang dapat digunakan

sebagai tolak ukur penilaian kualitas air adalah kandungan logam berat

(Manurung, 2004).

Menurut Ngan (2000), kandungan mineral dalam limbah cair sawit dapat

dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Kandungan mineral limbah cair sawit

Mineral Konsentrasi (mg/L)

Fosfor 180

Kalium 2.270

Magnesium 615

Kalsium 439

Besi 46,5

Mangan 2

Tembaga 0,89

Menurut Ditjen PPHP (2006), pengolahan limbah cair sawit bertujuan

untuk menurunkan kadar limbah agar memenuhi baku mutu lingkungan yang

disyaratkan. Proses pengolahan Limbah Pabrik Kelapa Sawit (LPKS) terdiri dari


(32)

16

perlakuan awal dan pengendalian lanjutan. Perlakuan awal meliputi segregasi

aliran, pengurangan minyak di tangki pengutipan minyak (fat-pit), penurunan

suhu limbah dari 70-80˚C menjadi 40-45˚C melalui menara atau bak pendingin. Setelah segregasi aliran limbah pada PKS kapasitas olah 60 ton TBS/jam,

volume air limbah yang diolah berkurang menjadi 700-750 m3/hari.

2. 4 Logam Berat

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terpisahkan dari

benda-benda yang berasal dari logam. Logam digunakan untuk membuat alat

perlengkapan rumah tangga, seperti sendok, garpu, pisau, dan berbagai jenis

peralatan rumah tangga lainnya. Pesatnya pembangunan dan penggunaan

berbagai bahan baku logam bisa berdampak negatif, yaitu munculnya kasus

pencemaran yang melebihi batas sehingga mengakibatkan kerugian dan

meresahkan masyarakat yang tinggal di daerah perindustrian maupun

masyarakat pengguna produk industri tersebut. Hal ini dapat terjadi karena

sangat besarnya resiko terpapar logam berat maupun logam transisi yang

bersifat toksik dalam dosis atau konsentrasi tertentu (Widowati, et al., 2008).

Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria

yang sama dengan logam-logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang

dihasilkan bila logam berat ini berikatan dan atau masuk ke dalam tubuh

organisme hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya

menimbulkan efek-efek khusus pada makhluk hidup. Dapat dikatakan bahwa

semua logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan meracuni tubuh

makhluk hidup. Namun demikian, meski semua logam berat dapat

mengakibatkan keracunan atas makhluk hidup, sebagian dari logam-logam berat


(33)

17

tersebut tetap dibutuhkan oleh makhluk hidup. Kebutuhan tersebut berada dalam

jumlah yang sangat sedikit. Tetapi bila kebutuhan dalam jumlah yang sangat

kecil itu tidak terpenuhi, maka dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan

hidup dari setiap makhluk hidup (Palar, 2008).

Menurut Widowati, et al. (2008), berdasarkan tingkat kebutuhannya,

logam berat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:

1. Logam berat esensial; yakni logam dalam jumlah tertentu yang sangat

dibutuhkan oleh organisme. Dalam jumlah yang berlebihan, logam

tersebut bisa menimbulkan efek toksik. Contohnya adalah Zn, Cu, Fe,

Co, Mn, dan lain sebagainya.

2. Logam berat tidak esensial; yakni logam yang keberadaannya dalam

tubuh masih blom diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik seperti

Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain.

Logam berat dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan

manusia, tergantung pada bagian mana dari logam berat tersebut yang terikat

dalam tubuh serta besarnya dosis paparan. Efek toksik dari logam berat mampu

menghalangi kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh,

menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen, atau karsinogen bagi manusia

maupun hewan (Widowati, et al., 2008).

Kegiatan manusia yang bisa menambah polutan bagi lingkungan berupa

kegiatan industri, pertambangan, pembakaran bahan bakar, serta kegiatan

domestik lain yang mampu meningkatkan kandungan logam di lingkungan

udara, air, dan tanah. Pencemaran logam, baik dari industri, maupun kegiatan

domestik, akhirnya sampai ke sungai/laut dan selanjutnya mencemari manusia


(34)

18

melalui ikan, air minum, atau air sumber irigasi lahan pertanian sehingga

tanaman sebagai sumber pangan manusia tercemar logam (Widowati, et al.,

2008).

2.4.1 Besi (Fe)

Besi adalah logam dalam kelompok makromineral di dalam kerak bumi,

tetapi termasuk kelompok mikro dalam sistem biologi. Pada sistem biologi

seperti hewan, manusia, dan tanaman, logam ini bersifat esensial, kurang stabil,

dan secara perlahan berubah menjadi fero (FeII) atau feri (FeIII) (Darmono,

2010).

Tempat pertama dalam tubuh yang mengontrol pemasukan Fe ialah di

dalam usus halus. Bagian usus ini berfungsi untuk absorpsi dan sekaligus juga

sebagai eksresi Fe yang tidak diserap. Besi dalam usus diabsorpsi dalam bentuk

feritin, dimana bentuk fero lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk feri. Feritin

masuk ke dalam darah dan berubah bentuk menjadi senyawa transferin. Dalam

darah tersebut besi mempunyai status sebagai besi trivalen yang kemudian

ditransfer ke hati atau limfa yang kemudian disimpan dalam organ tersebut

dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Toksisitas terjadi bilamana terjadi

kelebihan Fe (kejenuhan) dalam ikatan tersebut (Darmono, 2010).

Keracunan Fe ini dapat menyebabkan permeabilitas dinding pembuluh

darah kapiler meningkat sehingga plasma darah merembes keluar. Akibatnya,

volume darah menurun, dan hipoksia jaringan menyebabkan asidosis. Penelitian

pada hewan menunjukkan bahwa toksisitas akut dari Fe ini menyebabkan

lamanya proses koagulasi darah (Darmono, 2010).


(35)

19

2.4.2 Tembaga (Cu)

Tembaga dengan nama kimia cupprum dilambangkan dengan Cu. Unsur

logam ini berbentuk kristal dengan warna kemerahan. Dalam tabel periodik

unsur-unsur kimia, tembaga menempati posisi dengan nomor atom (NA) 29 dan

mempunyai bobot atau berat molekul (BA) 63,546 (Palar, 2008).

Secara alamiah, Cu dapat masuk ke dalam suatu tatanan lingkungan

sebagai akibat dari berbagai peristiwa alam. Unsur ini dapat bersumber dari

peristiwa pengikisan (erosi) dari batuan mineral. Sumber lain adalah debu-debu

atau partikulat-partikulat Cu yang ada dalam lapisan udara, yang di bawa turun

oleh air hujan. Melalui jalur non-alamiah, Cu masuk ke dalam suatu tatanan

lingkungan aktivitas manusia. Jalur dari aktivitas manusia ini untuk

memasukkan Cu ke dalam tatanan lingkungan ada bermacam-macam pula.

Sebagai contoh adalah buangan industri yang memakai Cu dalam proses

produksinya, industri galangan kapal karena digunakannya Cu sebagai campuran

bahan pengawet, industri pengelolaan kayu, buangan rumah tangga, dan lain

sebagainya (Palar, 2008).

Gejala yang timbul pada keracunan Cu akut adalah mual,

muntah-muntah, mencret, sakit perut hebat, hemolisis darah, hemoglobinurua, nefrosis,

kejang dan akhirnya mati. Pada keracunan kronis, Cu tertimbun dalam hati dan

dapat menyebabkan hemolisis. Kejadian hemolisis ini disebabkan oleh

tertimbunnya H2O2 dalam sel darah merah sehingga terjadi oksidasi dari lapisan

sel dan akibatnya sel menjadi pecah (Darmono, 2010).


(36)

20

2.5 Spektrofotometer Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar

oleh atom-atom netral, dan sinar yang diserap biasanya sinar tampak atau sinar

ultraviolet (Gandjar dan Rohman, 2007).

Spektrofotometri serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif

unsur-unsur mineral dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat sekelumit

(ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur mineral dalam suatu

sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul mineral dalam sampel

tersebut. Cara ini cocok untuk analisis sekelumit mineral karena mempunyai

kepekaan yang tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaanya relatif

sederhana, dan interferensinya sedikit (Gandjar dan Rohman, 2007).

Metode spektrofotometri serapan atom berprinsip pada absorpsi cahaya

oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu,

tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai

cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik

suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih

banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke

tingkat eksitasi (Khopkar, 1985).

Menurut Gandjar dan Rohman (2007), bagian instrumentasi

spektrofotometer serapan atom adalah sebagai berikut:

a. Sumber Sinar

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow

cathode lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung


(37)

21

suatu katoda dan anoda. Katoda berbentuk silinder berongga yang dilapisi

dengan mineral tertentu.

b. Tempat Sampel

Dalam analisis dengan spektrofotometer serapan atom, sampel yang akan

dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan

azas. Ada berbagai macam alat yang digunakan untuk mengubah sampel

menjadi uap atom-atom, yaitu:

1. Dengan nyala (Flame)

Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa cairan menjadi

bentuk uap atomnya dan untuk proses atomisasi. Suhu yang dapat dicapai oleh

nyala tergantung pada gas yang digunakan, misalnya untuk gas asetilen-udara

suhunya sebesar 22000C. Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah

campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi.

2. Tanpa nyala (Flameless)

Pengatoman dilakukan dalam tungku dari grafit. Sejumlah sampel diambil

sedikit (hanya beberapa µL), lalu diletakkan dalam tabung grafit, kemudian

tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus

listrik pada grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisis berubah

menjadi atom-atom netral dan pada fraksi atom ini dilewatkan suatu sinar yang

berasal dari lampu katoda berongga sehingga terjadilah proses penyerapan

energi sinar yang memenuhi kaidah analisis kuantitatif .


(38)

22 c. Monokromator

Monokromator merupakan alat untuk memisahkan dan memilih spektrum

sesuai dengan panjang gelombang yang digunakan dalam analisis dari sekian

banyak spektrum yang dihasilkan lampu katoda berongga.

d. Detektor

Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui

tempat pengatoman.

e. Readout

Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai

pencatat hasil. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva yang

menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi.

Gambar 2.2 Komponen Spektrofotometer Serapan Atom (Harris, 2007)

Gangguan-gangguan (interference) pada Spektrofotometri Serapan Atom

adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsur yang

dianalisis menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan

konsentrasinya dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2007). Secara luas dapat Lampu

Katoda Berongga

Monokromator Detektor Amplifier

Readout

Analit sampel dalam beker Nyala

Bahan Pembakar

Udara


(39)

23

dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni interferensi spektral dan interferensi

kimia (Khopkar, 1985).

Interferensi spektral disebabkan karena tumpangasuh absorpsi antara

spesies pengganggu dan spesies yang diukur, karena rendahnya resolusi

monokromator. Interferensi kimia dapat mempengaruhi jumlah atau banyaknya

atom yang terjadi di dalam nyala. Gangguan kimia disebabkan karena adanya

reaksi kimia selama atomisasi, sehingga mengubah sifat absorpsi (Khopkar,

1985).

2.6 Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap

parameter tertentu berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan

bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya

(Harmita, 2004).

Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi

metode analisis adalah sebagai berikut:

a. Kecermatan

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil

analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai

persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan

ditentukan dengan dua cara, yaitu metode simulasi dan metode penambahan

baku (Harmita, 2004).

Metode simulasi (Spiked-placebo recovery) merupakan metode yang

dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit bahan murni ke dalam

suatu bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo), lalu campuran tersebut


(40)

24

dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan

(kadar yang sebenarnya) (Harmita, 2004).

Metode penambahan baku (standard addition method) merupakan

metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit dengan

konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode

yang akan divalidasi. Hasilnya dibandingkan dengan sampel yang dianalisis

tanpa penambahan sejumlah analit. Persen perolehan kembali ditentukan dengan

menentukan berapa persen analit yang ditambahkan ke dalam sampel dapat

ditemukan kembali (Harmita, 2004).

b. Keseksamaan (presisi)

Keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku relatif atau

koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi merupakan ukuran yang

menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual ketika suatu metode

dilakukan secara berulang untuk sampel yang homogen. Keseksamaan dapat

dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility) (Harmita, 2004).

c. Selektivitas (Spesifisitas)

Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang

hanya mengukur zat tertentu secara cermat dan seksama dengan adanya

komponen lain yang ada di dalam sampel (Harmita, 2004).

d. Linearitas dan rentang

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon

baik secara langsung maupun dengan bantuan transformasi matematika,


(41)

25

menghasilkan suatu hubungan yang proporsional terhadap konsentrasi analit

dalam sampel (Harmita, 2004).

e. Batas deteksi (Limit of detection) dan batas kuantitasi (Limit of

quantitation)

Batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat

dideteksi yang masih memberikan respon signifikan, sedangkan batas kuantitasi

merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi

kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).


(42)

26

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Organik dan Laboratorium

Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Waktu penelitian

dilakukan pada bulan Oktober 2014 – Januari 2015

3.2 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat alat Spektrofotometer

Serapan Atom (SSA) (Hitachi Z-2000), oven (Dynamica), tanur (Bibby Stuart),

neraca analitik (BOECO), Purelab UHQ (ELGA), hot plate, alat-alat gelas, kurs

porselin, botol kaca, alumunium foil, kertas saring Whatman No. 42, dan

spatula.

3.3 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas pro

analisis keluaran E. Merck yaitu HNO3 65% v/v, H3PO4 85% v/v, larutan

standar besi (konsentrasi 1000 µg/ml), larutan standar tembaga (konsentrasi

1000 µg/ml), dan akua demineralisata.

3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Sampel

Sampel yang digunakan adalah biji alpukat dan limbah cair sawit.


(43)

27

3.4.1.1 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel biji alpukat dilakukan secara purposif dari

Takengon Kabupaten Aceh Tengah pada bulan September 2014.

Limbah cair sawit yang digunakan adalah limbah dari unit deoiling ponds

yang diambil dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan.

3.4.1.2 Identifikasi Sampel

Identifikasi sampel (biji buah) dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) Bogor.

3.4.1.3 Penyiapan Sampel

Biji buah alpukat (Persea americana Mill.) yang sudah terkumpul,

selanjutnya dibersihkan dengan cara dicuci menggunakan air, kemudian

dipotong menjadi bagian yang lebih kecil (± 0,5 cm) dan dikeringkan pada

lemari pengering.

3.4.2 Pembuatan Karbon Aktif

Sebanyak 100 gram biji alpukat yang telah kering ditambahkan H3PO4

85 % sebanyak 50 ml, dan dikeringkan pada suhu 105˚C selama ±24 jam. Kemudian dimasukkan ke tanur suhu 150-500˚C dengan kenaikan suhu

5˚C/menit. Setelah dicapai suhu yang dikehendaki dipertahankan suhu 1-4 jam. Karbon aktif yang terbentuk di ambil dan didinginkan pada suhu ruang. Karbon

aktif yang dihasilkan dihaluskan hingga lolos mesh 80 (Suhendra, 2010).


(44)

28

3.4.3 Uji Penyerapan Logam pada Limbah Cair Sawit

3.4.3.1 Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan Baku Logam Besi

Larutan baku besi (1000 µg/ml) dipipet sebanyak 1 ml, di masukkan ke

dalam labu tentukur 100 ml dan di cukupkan hingga garis tanda dengan akua

demineralisata (konsentrasi larutan 10 µg/ml).

Larutan untuk kalibrasi besi dibuat dengan memipet 2,5 ml; 5,0 ml; 7,5

ml; 10,0 ml; dan 12,5 ml dari larutan baku 10 µg/ml, masing-masing di

masukkan ke dalam labu tentukur 25 ml dan dicukupkan hingga garis tanda

dengan akua demineralisata. Diperoleh larutan dengan konsentrasi 1 µg/ml; 2

µg/ml; 3 µg/ml; 4 µg/ml; dan 5 µ g/ml lalu di ukur pada panjang gelombang

248,3 nm.

3.4.3.2 Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan Baku Logam Tembaga

Larutan baku tembaga (1000 µg/ml) dipipet sebanyak 1 ml, di masukkan

ke dalam labu tentukur 100 ml dan di cukupkan hingga garis tanda dengan akua

demineralisata (konsentrasi larutan 10 µg/ml) (LIB I). Dari LIB I dipipet

sebanyak 5 ml di masukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan dicukupkan

hingga garis tanda dengan akua demineralisata (konsentrasi larutan 1 µ g/ml)

(LIB II).

Larutan untuk kalibrasi tembaga di buat dengan memipet 0,5 ml; 1,0

ml; 1,5 ml; 2,0 ml; dan 2,5 ml dari LIB II, masing-masing dimasukkan kedalam

labu tentukur 50 ml dan di cukupkan hingga garis tanda dengan akua

demineralisata. Diperoleh larutan dengan konsentrasi 10 ng/ml; 20 ng/ml; 30

ng/ml; 40 ng/ml; dan 50 ng/ml lalu di ukur pada panjang gelombang 324,7 nm.


(45)

29

3.4.3.3 Proses Destruksi Basah

Limbah sawit dibagi menjadi 5 kelompok yang masing-masing 20 ml

dan salah satunya tidak diberikan karbon aktif, sedangkan 4 kelompok lainnya

masing-masing ditambahkan karbon aktif sebanyak 100 mg, 200 mg, 300 mg,

dan 400 mg. Campuran didiamkan selama 3 jam, kemudian campuran ini

disaring menggunakan kertas saring.

Filtrat limbah dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu ditambahkan 5 ml

HNO3 65% dibiarkan selama ± 24 jam kemudian dipanaskan pada suhu 100˚C

sampai larutan berubah menjadi jernih dan didinginkan. Larutan hasil destruksi

dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan ditambahkan akua demineralisata

hingga garis tanda. Disaring dengan kertas saring Whatman No. 42 dan 5 ml

filtrat pertama dibuang untuk menjenuhkan kertas saring kemudian larutan

selanjutnya ditampung ke dalam botol (Raimon, 1993).

3.4.3.4 Pengukuran Kadar Logam a. Pengukuran Logam Besi

Untuk pengukuran logam besi, larutan hasil destruksi di pipet 5 ml di

masukkan ke dalam labu tentukur 25 ml, kemudian dicukupkan dengan akua

demineralisata hingga garis tanda (faktor pengenceran = 25ml/5ml = 5 kali).

Kemudian larutan ini di ukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer

serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm (Gandjar dan Rohman, 2007).

b. Pengukuran Logam Tembaga

Untuk pengukuran logam tembaga digunakan larutan hasil destruksi

(faktor pengenceran = 1). Larutan ini di ukur absorbansinya menggunakan


(46)

30

spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 324,7 nm (Gandjar dan

Rohman, 2007).

3.4.3.5 Perhitungan Kadar Logam

Konsentrasi logam ditentukan berdasarkan persamaan garis regresi linier

dari kurva kalibrasi (y = ax + b). Kadar logam dalam sampel ditentukan

menggunakan rumus:

Kadar logam (µg/ml) dalam sampel = x V x F

Vs

Keterangan : C = Konsentrasi larutan sampel (µg/ml)

V = Volume larutan dalam sampel

Fp = Faktor pengenceran

Vs = Volume sampel (ml)

3.4.4 Uji Statistik

Kadar besi dan tembaga yang diperoleh dari hasil pengukuran

masing-masing larutan sampel dianalisis dengan metode standar deviasi. Menurut

Sudjana (2005) perhitungan standar deviasi dapat dihitung dengan rumus

sebagai berikut:

SD =

1 -n

X -Xi 2

Keterangan :

Xi = Kadar sampel

X = Kadar rata-rata sampel

n = Jumlah perlakuan


(47)

31

Untuk mengetahui diterima atau tidaknya data penelitian, maka data yang di

peroleh di analisis secara statistik dengan uji distribusi t.

Untuk mencari t hitung digunakan rumus:

t hitung =

n SD

X Xi

/

dan untuk menentukan kadar logam di dalam sampel dengan interval kepercayaan 95%, α = 0.05, dk = n-1, dapat digunakan rumus:

Kadar Logam: µ =

X

± (t(α/2, dk) x SD / √n )

Keterangan:

X = Kadar rata-rata sampel

SD = Standar Deviasi

dk = Derajat kebebasan (dk = n-1)

α = Interval kepercayaan n = Jumlah perlakuan

3.4.5 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam

sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi.

Batas kuantitasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel

yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada

kondisi operasional metode yang digunakan (Gandjar dan Rohman, 2007).

Menurut Harmita (2004), batas deteksi dan batas kuantitasi ini dapat

dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Simpangan Baku (SY/X) =

2

2

 

n Yi Y


(48)

32 Batas deteksi (LOD) = S /

sl e

Batas kuantitasi (LOQ) = S /

sl e

3.4.6 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali (% Recovery)

Menurut Harmita (2004), uji perolehan kembali (recovery) dilakukan

dengan metode penambahan larutan standar (standar additional method).

Larutan baku yang ditambahkan yaitu 10 mL larutan baku besi (konsentrasi 10

µg/mL) dan 0,1 mL larutan baku tembaga (konsentrasi 10 µ g/mL).

Untuk uji perolehan kembali logam besi, sebanyak 20 mL limbah cair

sawit dimasukan kedalam erlenmeyer 100 mL kemudian ditambahkan 10 mL

larutan baku besi (konsentrasi 10 µg/mL). Sedangkan untuk uji perolehan

kembali logam tembaga, sebanyak 20 mL limbah cair sawit dimasukan kedalam

erlenmeyer 100 mL kemudian ditambahkan 0,1 mL larutan baku tembaga

(konsentrasi 10 µ g/mL).

Kemudian dilanjutkan dengan prosedur destruksi basah seperti yang telah

dilakukan sebelumnya. Proses pengukuran uji perolehan kembali dilakukan

sama dengan prosedur perhitungan kadar logam. Kadar baku yang ditambahkan

ke dalam sampel (C*A) dapat dihitung dengan persamaan:

C ∗

A

=

KLB x VLB

VS

Keterangan:

C*A = Kadar baku yang ditambahkan ke dalam sampel (µg/mL)

KLB = Konsentrasi larutan baku (µg/mL)

VLB = Volume larutan baku yang ditambahkan (mL)


(49)

33 VS = Volume sampel (mL)

Menurut Harmita (2004), persen perolehan kembali dapat dihitung dengan

rumus dibawah ini:

Persen perolehan kembali =CFC∗− CA

A x 100%

Keterangan:

CF = kadar analit dalam sampel setelah penambahan bahan baku (µg/mL)

CA = kadar analit dalam sampel sebelum penambahan bahan baku (µg/mL)

C*A = kadar analit yang ditambahkan kedalam sampel (µg/mL)

3.4.7 Uji Presisi

Menurut Harmita (2004), keseksamaan atau presisi diukur sebagai

simpangan baku relatif atau koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi

merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji

individual ketika suatu metode dilakukan secara berulang untuk sampel yang

homogen. Nilai simpangan baku relatif yang memenuhi persyaratan

menunjukkan adanya keseksamaan metode yang dilakukan.

Menurut Harmita (2004), rumus untuk menghitung simpangan baku

relatif sebagai berikut:

RSD = 100%

X SD

Keterangan:

X = Kadar rata-rata sampel

SD = Standar Deviasi

RSD = Relative Standard Deviation


(50)

34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Sampel

Hasil identifikasi biji alpukat telah dilakukan di Bidang Botani Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor adalah alpukat (Persea americana

Mill.) dari famili Lauraceae. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 26,

halaman 77.

4.2 Penentuan Linearitas Kurva Kalibrasi Besi (Fe) dan Tembaga (Cu) Kurva kalibrasi logam Fe dan Cu diperoleh dengan cara mengukur

absorbansi dari larutan standar Fe dan Cu pada panjang gelombang

masing-masing yaitu 248,3 nm dan 324,7 nm. Berdasarkan hasil pengukuran kurva

kalibrasi untuk logam Fe diukur pada rentang konsentrasi 1 µ g/ml sampai 5

µg/ml diperoleh persamaan regresi yaitu Y = 0,01758X – 0,0013 dan untuk logam Cu diukur pada rentang konsentrasi 10 ng/ml sampai 50 ng/ml diperoleh

persamaan regresi Y = 0,00001022857X + 0,00000761908. Kurva kalibrasi larutan standar Fe dan Cu dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.

Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Fe Y = 0,01758X - 0,0013

R = 0.9998

-0.02 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1

0 1 2 3 4 5 6

A

b

so

r

b

a

n

si

Konsentrasi (µg/mL)


(51)

35

Gambar 4.2 Kurva Kalibrasi Tembaga

Berdasarkan kurva di atas diperoleh hubungan yang linear antara

konsentrasi dengan absorbansi, dengan koefisien korelasi (r) besi sebesar 0,9998

dan tembaga sebesar 0,9993. Menurut Ermer dan McB.Miller (2005),

apabila nilai r ≥ 0,97 dapat diterima dan memenuhi kriteria validasi. Data hasil pengukuran absorbansi larutan baku besi dan tembaga dan perhitungan

persamaan garis regresi dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 50 dan

Lampiran 6, halaman 51.

4.3 Adsorpsi Besi (Fe) dan Tembaga (Cu) pada Limbah Cair Sawit

Sampel yang telah di preparasi diukur pada spektrofotometri serapan atom

pada panjang gelombang 248,3 nm untuk besi (Fe) dan 324,7 nm untuk tembaga

(Cu). Konsentrasi logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dalam sampel ditentukan

berdasarkan persamaan garis regresi kurva kalibrasi larutan baku masing-masing

logam. Data dan contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 52

sampai dengan Lampiran 10, halaman 57.

Uji penyerapan karbon aktif terhadap logam besi (Fe) dan tembaga (Cu)

pada limbah cair sawit dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometer

Serapan Atom (SSA) dengan metode destruksi basah menggunakan HNO3 65%.

Jumlah karbon aktif yang ditambahkan pada limbah cair sawit bervariasi yaitu: Y = 0.00001022857X + 0,00000761908

R = 0.9993

0 0.0001 0.0002 0.0003 0.0004 0.0005 0.0006

0 10 20 30 40 50 60

A

b

so

r

b

a

n

si

Konsentrasi (ng/mL)


(52)

36

100 mg, 200 mg, 300mg, dan 400 mg; hal ini untuk menentukan pengaruh

jumlah karbon aktif yang digunakan terhadap adsorpsi logam dari limbah cair

sawit.

Analisis dilanjutkan dengan perhitungan statistik (Perhitungan dapat

dilihat pada Lampiran 11, halaman 58 dan Lampiran 12, halaman 60). Kadar

rata-rata dan persen adsorpsi besi (Fe) dan tembaga (Cu) dalam limbah cair

sawit yang di analisis dapat dilihat di Tabel 4.1 dan diagram batang kadar logam

dalam limbah sawit dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Tabel 4.1 Kadar rata-rata dan persen adsorpsi besi (Fe) dan tembaga (Cu) dalam limbah cair sawit yang di analisis

No Karbon Aktif (mg)

Besi (Fe) Tembaga (Cu) Kadar rata-rata (µg/ml) Persen Penyerapan (%) Kadar rata-rata (ng/ml) Persen Penyerapan (%) 1 0 57,5456 ±

0,4048

- 115,0487 ±

4,4178 - 2 100 30,4316 ±

0,7467 47,11

77,9793 ±

5,9970 32,22 3 200 29,8745 ±

0,1804 48,08

47,1716 ±

5,8843 58,99 4 300 26,1891 ±

0,1538 54,48

26,8349 ±

2,2739 76,67 5 400 22,3025 ±

0,1305 61,24 - 100

Gambar 4.3 Diagram Batang Kadar Logam dalam Limbah Sawit 0 20 40 60 80 100 120 140

0 mg 100 mg 200 mg 300 mg 400 mg

K a d a r Lo g a m Karbon Aktif Besi (µg/ml) Tembaga (ng/ml)


(53)

37

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa penambahan karbon aktif pada limbah

cair sawit dapat menurunkan kadar logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dalam

limbah tersebut. Adapun kadar logam besi (Fe) sebelum penambahan karbon

aktif adalah 57,5456 ± 0,4048 µg/ml dan kadar logam tembaga (Cu) sebelum

penambahan karbon aktif adalah 115,0487 ± 4,4178 ng/ml. Setelah penambahan

karbon aktif sebanyak 100 mg terjadi penurunan kadar logam pada limbah cair

sawit, yaitu 30,4316 ± 0,7467 µg/ml logam besi (Fe) dan 77,9793 ± 5,9970

ng/ml. Selanjutnya, dengan bertambahnya jumlah karbon aktif yang

ditambahkan kadar logam dalam limbah cair sawit terus berkurang. Hal ini

disebabkan karena dengan bertambahnya jumlah karbon aktif maka luas

permukaan adsorben pun bertambah. Semakin besar luas permukaan karbon

aktif maka semakin besar molekul yang diadsorpsi oleh karbon aktif

(Besselievre, 1976), sehingga semakin banyak logam yang dapat di adsorpsi

oleh karbon aktif.

Tabel 4.2 Hasil uji Anava besi (Fe) dan tembaga (Cu)

No Karbon Aktif (mg)

Besi (Fe) Tembaga (Cu) Kadar rata-rata

(µg/ml) p

Kadar

rata-rata (ng/ml) P 1 0 57,5456 ±

0,4048

- 115,0487 ±

4,4178 - 2 100 30,4316 ±

0,7467 0,000*

77,9793 ±

5,9970 0,000* 3 200 29,8745 ±

0,1804 0,000*

47,1716 ±

5,8843 0,000* 4 300 26,1891 ±

0,1538 0,000*

26,8349 ±

2,2739 0,000* 5 400 22,3025 ±

0,1305 0,000* - 0,000* Keterangan :

* berbeda bermakna terhadap karbon aktif 0 mg pada p ≤ 0,05 (p) signifikansi


(54)

38

Tabel 4.2 merupakan hasil analisis statistik menggunakan Anava dan uji

lanjutan Tukey. Pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa ada perbedaan yang

bermakna (p ≤ 0,05) kadar logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) antara limbah cair

sawit sebelum penambahan karbon aktif, penambahan karbon aktif 100 mg, 200

mg, 300 mg, dan 400 mg. Hal ini menunjukkan penambahan karbon aktif

memberikan penurunan kadar logam secara bermakna dari limbah cair sawit.

Hasil uji Analisis Variansi logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dapat dilihat pada

Lampiran 15, halaman 64 dan Lampiran 16, halaman 66.

Persen penyerapan logam besi (Fe) dengan penambahan karbon aktif 100

mg, 200 mg, 300 mg, dan 400 mg secara berturut-turut adalah 47,11%; 48,08%;

54,48%; dan 61,24%. Persen penyerapan logam tembaga (Cu) dengan

penambahan karbon aktif 100 mg, 200 mg, 300 mg, dan 400 mg secara

berturut-turut adalah 32,22%; 58,99%; 76,67%; dan 100%. Dari persen penyerapan

kedua logam tersebut dapat dilihat bahwa 400 mg karbon aktif dapat menyerap

semua logam tembaga yang ada dalam limbah jika dibandingkan dengan loga m

besi yang hanya menyerap 61,24% logam besi. Hal ini di sebabkan karena

jumlah logam besi yang terdapat dalam limbah cair sawit lebih banyak daripada

logam tembaga, sehingga karbon aktif sebanyak 400 mg belum mampu

menyerap semua logam besi. Dalam limbah sawit ini juga, tidak hanya

mengandung logam besi dan tembaga saja, limbah ini juga mengandung logam

alumunium, fosfor, nitrogen dan lainnya. Hal ini memungkinkan karbon aktif

juga menyerap logam-logam lainnya, karena karbon aktif tidak bekerja secara

spesifik terhadap satu jenis logam saja.


(55)

39

4.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Berdasarkan data kurva kalibrasi besi (Fe) dan tembaga (Cu) diperoleh

batas deteksi dan batas kuantitasi untuk kedua logam tersebut. Batas deteksi dan

batas kuantitasi besi (Fe) dan tembaga (Cu) dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Batas deteksi dan batas kuantitasi besi (Fe) dan tembaga (Cu)

No. Mineral Batas Deteksi Batas Kuantitasi 1. Besi (Fe) 0,132952 µg/mL 0,443174 µg/mL 2. Tembaga (Cu) 2,28083 ng/mL 7,60278 ng/mL

Dari hasil perhitungan diperoleh batas deteksi untuk besi (Fe) dan tembaga

(Cu) masing-masing sebesar 0,132952 µg/mL dan 2,28083 ng/mL, sedangkan

batas kuantitasinya sebesar 0,443174 µg/mL dan 7,60278 ng/mL.

Dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa semua hasil yang diperoleh

pada pengukuran sampel berada diatas batas deteksi dan batas kuantitasi kecuali

penambahan karbon aktif 400 mg terhadap logam tembaga (Cu) berada di bawah

batas deteksi dan batas kuantitasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada

penambahan karbon aktif sebanyak 400 mg dapat menyerap semua logam

tembaga yang ada dalam limbah cair sawit, karena tidak terdeteksinya logam

tembaga pada saat pengukuran. Perhitungan batas deteksi dan batas kuantitasi

dapat dilihat pada Lampiran 17, halaman 68 dan Lampiran 18, halaman 69.

4.5 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali ( % Recovery)

Hasil uji persen perolehan kembali (% recovery) kadar besi (Fe) dan

tembaga (Cu) setelah penambahan masing-masing larutan baku besi (Fe) dan

tembaga (Cu) dalam sampel dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut ini.


(56)

40

Tabel 4.4 Uji persen perolehan kembali (% recovery) kadar besi (Fe) dan tembaga (Cu)

No. Logam yang dianalisis Konsentrasi dalam sampel sebelum penambahan baku

(CA)

Konsentrasi bahan baku yang

ditambahkan

(C*A)

Konsentrasi setelah penambahan baku

(CF)

% Recovery

CF-CA C*A

1. Besi (Fe) 22,3025 µg/ml

5 µg/ml 27,0900 µg/ml

99,63

2. Tembaga (Cu)

4,6553 ng/ml

50 ng/ml 54,3527 ng/ml

99,39

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata hasil uji

perolehan kembali (recovery) berturut-turut untuk kandungan besi (Fe) adalah

99,63 %, untuk kandungan tembaga (Cu) 99,39 %. Persen recovery tersebut

menunjukkan kecermatan kerja yang memuaskan pada saat pemeriksaan kadar

besi (Fe) dan tembaga (Cu) dalam sampel. Hasil uji perolehan kembali

(recovery) ini memenuhi syarat akurasi yang telah ditetapkan, jika rata-rata hasil

perolehan kembali (recovery) berada pada rentang 80-120% (Ermer dan McB.

Miller, 2005). Hasil uji perolehan kembali (recovery) kadar besi (Fe) dan

tembaga (Cu) setelah penambahan masing-masing larutan baku dan contoh

perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 19, halaman 70 sampai Lampiran 22,

halaman 73.

4.6 Uji Presisi

Nilai simpangan baku dan simpangan baku relatif untuk besi (Fe) dan

tembaga (Cu) dalam limbah cair pabrik dapat dilihat pada Tabel 3.4, sedangkan

perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 23, halaman 74 dan Lampiran 24,

halaman 75.

X 100%


(57)

41

Tabel 4.5 Nilai simpangan baku dan simpangan baku relatif besi (Fe) dan tembaga (Cu) dalam sampel

No. Logam Simpangan Baku Simpangan Baku Relatif 1. Besi (Fe) 6,0553 6,07 % 2. Tembaga (Cu) 8,1825 8,23 %

Berdasarkan Tabel 3.4 di atas, dapat dilihat nilai simpangan baku (SD)

untuk logam besi (Fe) 6,0553 dan untuk logam tembaga (Cu) 8,1825, sedangkan

nilai simpangan baku relatif (RSD) yang diperoleh sebesar 6,07 % untuk besi (Fe) dan 8,23 % untuk tembaga (Cu). Menurut Harmita (2004), nilai simpangan baku relatif (RSD) untuk analit dengan kadar part per million (ppm) adalah tidak

lebih dari 16 % dan untuk analit dengan kadar part per billion (ppb) RSDnya

adalah tidak lebih dari 32%. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa

metode yang dilakukan memiliki presisi yang baik.


(58)

42

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

a. Karbon aktif yang dibuat dari biji alpukat (Persea americana Mill.)

mampu mengadsorpsi logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) dari limbah cair

sawit.

b. Makin tinggi konsentrasi karbon aktif yang ditambahkan semakin sedikit

logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) yang di terdapat dalam limbah cair

sawit. Penambahan karbon aktif sebanyak 400 mg ke limbah cair sawit

memberikan penyerapan optimum terhadap logam besi (Fe) dan tembaga

(Cu) yaitu 61,24 % terhadap logam besi (Fe) dan 100 % terhadap logam

tembaga (Cu).

2.2 Saran

Disarankan pada penelitian selanjutnya memanfaatkan bahan-bahan lain

yang bersifat sebagai adsorben seperti kulit pisang.


(59)

43

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2000). Alpukat/Avokad (Persea americana Mill/ Persea gratissima

Gaerth). Sistem Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, BAPPENAS. Jakarta. Halaman 1 dan 3.

Besselievre, E.B., dan Schwartz, M. (1976). The treatment of industrial wastes.

Edisi II. Tokyo: McGraw-Hill kogakusha, Ltd. Halaman 179.

Budianta, D. (2005). Potensi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit sebagai Sumber Hara untuk Tanaman Perkebunan. Jurnal Dinamika Pertanian. 20(3): 273-282.

Darmono. (2010). Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta: UI Press. Halaman 153-155.

Ditjen PPHP. (2006). Pedoman Pengolahan Limbah Industri Kelapa Sawit.

Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian. Halaman 11, 26-28.

Ermer, J., dan McB.Miller, J.H. (2005). Method Validation in Pharmaceutical Analysis. Weinheim: Wiley-Vch Verlag GmbH & Co. KgaA. Halaman 171.

Farid, F. (2011). Adsorpsi Batu Bara Terhadap Ion Timbal. Jurnal Sains dan Matematika. 3(1).

Gandjar, I.G., dan A. Rohman. (2007). Kimia Analisis Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 298-312, 468.

Gultom, E.M. (2014). Aplikasi Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa Sawit dengan Aktivator H3PO4 untuk Penyerapan Logam Cd dan Pb. Skripsi. Fakultas Teknik. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Harris, D.C. (2007). Quantitative Chemistry Analysis. USA: Craig Bleyer. Halaman 455.

Harmita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metoda dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. 1(3): 117-135.

Indriani, Y.H., dan Sumiarsih, E. (1993). Alpukat. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 1-2, 9.

Karthika, C., Vennilamani, N., Pattabhi, S., dan Sekar, M. (2010). Utilization of Sago Waste as an Adsorbent for the Removal of Pb(II) from Aqueous Solution: Kinetic and Isotherm Studies. International Journal of

Engineering Science and Technology. 2(6): 1867-1879.


(1)

75

Lampiran 24. Perhitungan Simpangan Baku Relatif (RSD) Kadar Tembaga (Cu) dalam Limbah Cair Sawit

No % Perolehan Kembali (Xi) (Xi-X ) (Xi-X )2

1 94,50 4,89 23,9121

2 109,17 9,78 95,6484

3 109,17 9,78 95,6484

4 94,50 4,89 23,9121

5 89,61 9,78 95,6484

6 99,39 0 0

Ʃ 596,34 334,7694

X 99,39

SD =

1 -n X -Xi 2

=

1 6 334,7694  = 8,1825

RSD = x

X SD

_ 100%

=

100%

99,39 8,1825

x

= 8,23 %


(2)

76 Lampiran 25. Tabel Distribusi t


(3)

77 Lampiran 26. Hasil Identifikasi Biji Alpukat


(4)

78 Lampiran 27. Biji Alpukat

Lampiran 28. Karbon Aktif


(5)

79 Lampiran 29. Neraca analitik BOECO

Lampiran 30. ELGA Purelab UHQ


(6)

80 Lampiran 31. Tanur Bibby Stuart

Lampiran 32. Alat Spektrofotometer Serapan Atom Hitachi Z-2000