Potential of Active Fractions of Dysoxylum acutangulum Leaves as Botanical Insecticides against Crocidolomia pavonana

POTENSI FRAKSI AKTIF DAUN AMBALUN (Dysoxylum
acutangulum) SEBAGAI INSEKTISIDA BOTANI TERHADAP
Crocidolomia pavonana

AHMAD IZZUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Potensi Fraksi Aktif
Daun Ambalun (Dysoxylum acutangulum) sebagai Insektisida Botani terhadap
Crocidolomia pavonana adalah karya saya dengan arahan dari Komisi
Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Agustus 2011
Ahmad Izzuddin
NIM G451090031

ABSTRACT

AHMAD IZZUDDIN. Potential of Active Fractions of Dysoxylum acutangulum
Leaves as Botanical Insecticides against Crocidolomia pavonana. Under direction
of SUMINAR S. ACHMADI and DJOKO PRIJONO.
The purpose of this study was to evaluate the insecticidal activity and
characterize active fraction of Dysoxylum acutangulum leaves. Extraction of D.
acutangulum leaves was done by two methods, i.e. sequential extraction using nhexane, ethyl acetate, and methanol and direct extraction using methanol. In the
sequential extraction, methanol fraction was the most active so that methanol
extract from direct extraction was used in all further work. The direct methanol
extract was partitioned using n-hexane:methanol 95% (1:1). The direct methanol
extract of D. acutangulum leaves had strong insecticidal activity to Crocidolomia
pavonana larvae (LC50 = 0.24%, LC95 = 0.49%). Fractionation of this extract
using silica gel column chromatography yielded 10 fractions. Fraction 7 and 8 had
the strongest insecticidal activity to C. pavonana. Fraction 8 had lower LC50 and
LC95 (0.18% and 0.46%) than fraction 7. The result of phytochemical test, gas

chromatography-mass spectroscopy, and infrared spectroscopy analysis on
fraction 8 showed that the fraction contains steroid compounds.
Keywords: Crocidolomia pavonana, Dysoxylum acutangulum, insecticidal
activity, steroid.

RINGKASAN

AHMAD IZZUDDIN. Potensi Fraksi Aktif Daun Ambalun (Dysoxylum
acutangulum) sebagai Insektisida Botani terhadap Crocidolomia pavonana.
Dibimbing oleh SUMINAR S. ACHMADI dan DJOKO PRIJONO.
Ambalun (Dysoxylum acutangulum) merupakan salah satu tumbuhan famili
Meliaceae yang sangat potensial digunakan sebagai sumber insektisida botani.
Beberapa informasi dasar tentang aktivitas ekstrak bagian tumbuhan tersebut telah
diketahui. Ekstrak etanol kulit batang ambalun dilaporkan memiliki aktivitas
insektisida terhadap ulat krop kubis Crocidolomia pavonana. Fraksi kloroform
ekstrak daun dan rantingnya juga dilaporkan memiliki aktivitas yang tinggi
terhadap C. pavonana. Namun, senyawa aktif yang berperan belum diidentifikasi.
Oleh sebab itu tujuan penelitian ini ialah menguji aktivitas dan mengidentifikasi
golongan senyawa aktif daun ambalun yang berpotensi sebagai insektisida botani
Ekstraksi daun ambalun dilakukan dengan metode perendaman melalui dua

tahapan, yaitu ekstraksi bertingkat dan ekstraksi langsung dengan metanol dan
partisi. Ekstraksi bertingkat dilakukan secara berurutan dengan tiga jenis pelarut
berdasarkan perbedaan kepolaran, yaitu n-heksana, etil asetat, dan metanol.
Ekstraksi ini menghasilkan rendemen ekstrak n-heksana, etil asetat, dan metanol
masing-masing 6.13%, 4.98%, dan 4.44%. Sementara itu, ekstraksi langsung
dengan metanol menghasilkan rendemen 6.66%. Partisi menggunakan campuran
pelarut n-heksana dan metanol 95% dalam labu pemisah menghasilkan rendemen
ekstrak n-heksana-partisi dan metanol-partisi masing-masing 41.06% dan 64.38%.
Aktivitas insektisida uji dilakukan menggunakan metode residu pada daun
melalui dua tahapan, yaitu uji pendahuluan dan uji lanjutan. Larva instar 2 C.
pavonana digunakan sebagai serangga uji pada semua pengujian. Data mortalitas
kumulatif sejak awal sampai 6 hari setelah perlakuan (HSP) diolah dengan analisis
probit untuk menentukan hubungan antara konsentrasi ekstrak dan tingkat
kematian larva. Analisis probit dilakukan dengan menggunakan program POLOPC. Data lama perkembangan larva diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan
dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Ekstrak kasar teraktif difraksinasi menggunakan kromatografi kolom
dengan fase diam silika gel. Fase gerak yang digunakan adalah eluen terbaik hasil
kromatografi lapis tipis, yaitu campuran n-heksana dengan aseton dengan nisbah
7:3. Fraksi hasil pemisahan kromatografi diuji aktivitas insektisidanya. Fraksi
teraktif diidentifikasi berdasarkan hasil analisis dengan GC-MS dan FTIR.

Hasil uji pendahuluan dengan metode residu pada daun menunjukkan bahwa
perlakuan dengan ekstrak metanol-partisi pada konsentrasi 0.5% dapat mematikan
serangga uji 100%, sehingga ekstrak tersebut diuji lebih lanjut pada enam taraf
konsentrasi. Uji lanjutan dilakukan dua kali dan hasilnya digabungkan.
Penggabungan data hasil uji lanjutan pertama dan kedua dapat memperkecil
keragaman data. Mortalitas larva C. pavonana pada 1 HSP sangat rendah,
kemudian meningkat secara bertahap dari 2 HSP sampai 6 HSP dengan
peningkatan mortalitas yang tajam terjadi antara 3 dan 4 HSP. Hasil analisis
probit menunjukkan bahwa LC50 dan LC95 terhadap instar 2+3 lebih kecil
daripada LC50 dan LC95 terhadap instar 2, yang mencerminkan bahwa pada instar

3 masih terjadi peningkatan mortalitas yang cukup besar. LC50 dan LC95 metanolpartisi masing-masing 0.24% dan 0.49%. Perlakuan dengan ekstrak metanolpartisi daun ambalun tidak hanya berpengaruh pada kematian larva C. pavonana
akibat toksisitas ekstrak uji, namun juga berpengaruh pada perkembangan larva.
Lama perkembangan larva C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak daun
ambalun secara umum makin panjang dengan makin tingginya konsentrasi ekstrak
uji.
Fraksionasi ekstrak daun ambalun dengan kromatografi kolom
menghasilkan 10 fraksi. Hasil uji pendahuluan dengan metode residu pada daun
menunjukkan bahwa fraksi 7 dan fraksi 8 pada konsentrasi 0.5% dapat mematikan
serangga uji 100%, sehingga fraksi tersebut diuji lebih lanjut pada enam taraf

konsentrasi. Fraksi 7 dan 8 yang diperoleh dari hasil fraksinasi ekstrak metanol
daun ambalun memiliki aktivitas insektisida paling kuat di antara 10 fraksi yang
diperoleh. Nilai LC50 fraksi 8 lebih rendah daripada LC50 fraksi 7, sedangkan nilai
LC50 fraksi 7 lebih rendah daripada LC50 ekstrak daun ambalun. Namun nilai LC50
dan LC95 kedua fraksi tersebut tidak jauh berbeda dengan ekstrak metanol-partisi
sedangkan rendemen fraksi 7 dan 8 masing-masing hanya 5.92% dan 3.71%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa aktivitas insektisida ekstrak kasar bukan hanya
disumbangkan oleh kedua fraksi tersebut tetapi juga oleh fraksi lain dan campuran
berbagai komponen dalam ekstrak kasar kemungkinan bersifat sinergis.
Minyak mimba (Azadirachta indica, azadiraktin 6200 ppm) digunakan
sebagai pembanding positif ekstrak dan fraksi daun ambalun. Hasil uji
pendahuluan dengan metode residu pada daun menunjukkan bahwa mimba pada
konsentrasi 0.5% dapat mematikan serangga uji lebih dari 90%. Nilai LC50 dan
LC95 mimba terhadap larva C. pavonana lebih kecil dibandingkan nilai LC50 dan
LC95 ekstrak dan fraksi daun ambalun. Hal ini kemungkinan toksisitas senyawa
aktif dalam minyak mimba, yaitu azadiraktin, lebih tinggi daripada senyawa aktif
dalam ekstrak ambalun atau kandungan senyawa aktif dalam ekstrak ambalun
lebih rendah daripada kandungan azadiraktin dalam minyak mimba yang
digunakan.
Hasil pemeriksaan fitokimia pada fraksi 8 menunjukkan adanya senyawa

triterpenoid dan steroid, tetapi hasil analisis dengan GC-MS dan FTIR hanya
mendukung dugaan bahwa senyawa aktif yang bersifat insektisida dalam daun
ambalun termasuk golongan steroid.
Kata kunci: Crocidolomia pavonana, Dysoxylum acutangulum, aktivitas
insektisida, steroid.

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB.

POTENSI FRAKSI AKTIF DAUN AMBALUN (Dysoxylum
acutangulum) SEBAGAI INSEKTISIDA BOTANI TERHADAP
Crocidolomia pavonana


AHMAD IZZUDDIN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Gustini Syahbirin, MS.

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis

Nama Mahasiswa
NRP
Program Studi


: Potensi Fraksi Aktif Daun Ambalun (Dysoxylum
acutangulum) sebagai Insektisida Botani terhadap
Crocidolomia pavonana
: Ahmad Izzuddin
: G451090031
: Kimia

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Suminar S. Achmadi
Ketua

Ir. Djoko Prijono, MAgrSc.
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi Kimia


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Purwantiningsih Sugita, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: 8 Agustus 2011

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak Desember sampai Juli 2011 ini ialah Potensi
Fraksi Aktif Daun Ambalun (Dysoxylum acutangulum) sebagai Insektisida Botani
terhadap Crocidolomia pavonana.
Ucapan terima kasih yang tulus kepada Prof. Dr. Ir. Suminar S. Achmadi
selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. selaku
Anggota Komisi Pembimbing, atas segala curahan waktu, bimbingan, arahan,

serta dorongan moral kepada penulis, serta kepada Dr. Gustini Syahbirin, MS
selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran untuk perbaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pak Sobur, Bu Yeni, dan Pak
Agus Sudrajat atas segala kerja sama yang diberikan.
Terima kasih tak terhingga penulis ucapkan kepada bapak, ummi, Kak
Raihul Inayati, Maria Ulfa, S.Pd, M. Fathani, S.Pd.I, Adik Ulumuddin, Zainul
Islam, dan ananda Ihdina atas doa, dukungan, kepercayaan, dan kasih sayang yang
diberikan. Kepada Abdullah, M.Si., Achmad Muslim M.Si., Dadang Muhammad
Hasyim, M.Si., Muslih Abdul Mujib, M.Si., Saipudin Rahmatullah, M.Si., dan
teman-teman kimia angkatan 2009 penulis ucapkan terima kasih untuk segala
bantuan, dan semangat yang diberikan. Serta rekan-rekan di Laboratorium
Fisiologi dan Toksikologi Serangga Eka Candra Lina, M.Si., Herma Amalia, SP.,
Catur Hertika, S.Si., Nelly Nailufar, Ahmad Syifa, Hendi Irawan, Rizki
Arifiansyah, dan Sani Nihlatussania yang telah membantu memberi tenaga,
motivasi, saran, dan kebersamaan, penulis ucapkan terima kasih.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Agama Republik
Indonesia yang telah mendanai pendidikan penulis selama menjalani pendidikan
di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Agustus 2011
Ahmad Izzuddin

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bawak Bagik Desa Gunung Rajak, Kecamatan Sakra
Barat, Kabupaten Lombok Timur pada tanggal 22 Agustus 1983 dari pasangan
Bapak H. Abdul Wahab, A.Ma. dan Ibu Hj. Raihanun Ahmad. Penulis merupakan
anak ketiga dari lima bersaudara.
Tahun 2002 penulis lulus dari SMA Darun Najihin NW Bagik Nyala Desa
Gunung Rajak, Kecamatan Sakra Barat, Kabupaten Lombok Timur dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Mataram melalui jalur
Penerimaan Mahasiswa Jalur Khusus. Pendidikan sarjana ditempuh di Program
Studi Pendidikan Kimia Universitas Mataram, lulus pada tahun 2007. Sejak tahun
2007 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Madrasah
Tsanawiyah Nahdlatul Wathan Bagik Nyala. Pada tahun 2009 penulis mengikuti
seleksi Beasiswa Utusan Daerah (BUD) yang diselenggarakan oleh Kementerian
Agama Republik Indonesia dan diterima di Program Studi Kimia pada Program
Pascasarjana IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata
kuliah Kimia Dasar pada tahun ajaran 2010/2011.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................

xii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................

xiii

PENDAHULUAN ..................................................................................
Latar Belakang ...............................................................................
Tujuan Penelitian ...........................................................................
Manfaat Penelitian .........................................................................

1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
Senyawa Aktif dan Potensi Insektisida Genus Dysoxylum ............
Ambalun (Dysoxylum acutangulum) .............................................
Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Crambidae) ......................

3
3
3
5

BAHAN DAN METODE .......................................................................
Tempat Penelitian ..........................................................................
Serangga Uji ..................................................................................
Bahan Tanaman Uji .......................................................................
Penyiapan Tanaman Pakan ............................................................
Penentuan Kadar Air Daun Ambalun ............................................
Uji Fitokimia Daun dan Ekstrak Ambalun ....................................
Ekstraksi Daun Ambalun ...............................................................
Uji Aktivitas Insektisida ................................................................
Fraksionasi Ekstrak Teraktif dan Pencirian Fraksi Terpilih ..........

7
7
7
7
7
8
8
10
11
12

HASIL .....................................................................................................
Ekstrak Daun Ambalun ..................................................................
Toksisitas Ekstrak Ambalun ...........................................................
Pengaruh Bahan Uji terhadap Lama Perkembangan Larva C.
pavonana .......................................................................................
Eluen Terbaik dalam Kromatografi Lapis Tipis ............................
Fraksi Hasil Kromatografi Kolom .................................................
Toksisitas Fraksi Daun Ambalun ..................................................
Pengaruh Fraksi 7 dan 8 Ambalun terhadap Lama Perkembangan
Larva C. pavonana ........................................................................
Toksisitas Minyak Mimba .............................................................
Pengaruh Pemberian Minyak Mimba terhadap Perkembangan
Larva C. pavonana ........................................................................
Hasil Uji Fitokimia ........................................................................
Identitas Senyawa Aktif Daun Ambalun .......................................

14
14
14
18
19
20
21
24
25
27
28
29

Halaman
PEMBAHASAN ......................................................................................

31

SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................

36

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

37

LAMPIRAN ............................................................................................

43

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Hasil uji pendahuluan pengaruh ekstrak daun ambalun terhadap
mortalitas larva C. pavonana ..............................................................
2 Penduga parameter regresi probit hubungan konsentrasi-mortalitas
ekstrak daun ambalun terhadap larva C. pavonana ............................

15
18

3 Hubungan antara konsentrasi ekstrak metanol-partisi ambalun dan
lama perkembangan larva C. pavonana .............................................

19

4 Rendemen fraksi-fraksi ekstrak metanol-partisi daun ambalun hasil
kromatografi kolom ............................................................................
5 Hasil uji pendahuluan fraksi daun ambalun terhadap C. pavonana ...

20
21

6 Penduga parameter regresi probit hubungan konsentrasi-mortalitas
fraksi daun ambalun terhadap larva C. pavonana ..............................

24

7 Hubungan antara konsentrasi fraksi 7 dan 8 ambalun terhadap
lama perkembangan larva C. pavonana .............................................

25

8 Hasil uji pendahuluan minyak mimba terhadap C. pavonana ............

26

9 Penduga parameter regresi probit hubungan konsentrasi-mortalitas
minyak mimba terhadap larva C. pavonana .......................................

27

10 Hubungan antara konsentrasi minyak mimba dan lama perkembangan
larva C. pavonana ..............................................................................
11 Hasil uji fitokimia daun dan ekstrak ambalun ....................................

28
29

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Tumbuhan ambalun ............................................................................

4

2 Larva instar 3 Crocidolomia pavonana pada daun brokoli ................

5

3 Tingkat mortalitas larva akibat perlakuan ekstrak daun ambalun pada
uji lanjutan pertama (A); uji lanjutan kedua (B); gabungan uji lanjutan
pertama dan kedua (C) .......................................................................

17

4 Tingkat mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan fraksi 7 (A)
dan fraksi 8 (B) daun ambalun ...........................................................
5 Tingkat mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan minyak
mimba .................................................................................................

26

6 Kromatogram GC-MS fraksi 8 daun ambalun ...................................

30

7 Spektrum FTIR fraksi 8 daun Ambalun .............................................

30

8 Struktur senyawa (23S)-etilkoles-5en-3β-ol ......................................

34

23

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Hasil determinasi tumbuhan ambalun ................................................

43

2 Uji fitokimia daun dan ekstrak ambalun ............................................

44

3 Diagram alir ekstraksi daun ambalun ................................................

45

4 Diagram alir ekstraksi langsung dan partisi daun ambalun ................

46

5 Diagram alir fraksionasi ekstrak teraktif dan identifikasi fraksi terpilih
daun ambalun .....................................................................................

47

6 Kadar air daun ambalun ....................................................................

48

7 Kromatogram eluen terbaik ekstrak metanol-partisi dengan eluen nheksana:aseton 7:3 (a) dan fraksi hasil fraksionasi ekstrak metanol
daun ambalun (b) ................................................................................
8 Spektrum massa senyawa pada puncak dengan waktu retensi 23.56
menit dari fraksi 8 ekstrak daun ambalun ..........................................

48
49

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tumbuhan famili Meliaceae, Annonaceae, dan Piperaceae telah dikenal
sebagai sumber insektisida botani yang potensial. Ekstrak berbagai jenis
tumbuhan dalam famili tersebut memiliki aktivitas yang kuat terhadap serangga
sehingga potensial untuk dikembangkan sebagai sumber insektisida botani
(Prijono et al. 2006). Salah satu marga dari famili Meliaceae yang mendapat
perhatian untuk diteliti aktivitas insektisidanya ialah Dysoxylum.
Masyarakat banyak menggunakan tumbuhan dalam genus ini sebagai obat
tradisional, seperti distorsi wajah pada anak-anak, benjolan di bawah kulit, iritasi
kulit, dan sebagai obat untuk penyakit menular seksual (Laksmi et al. 2009).
Selain itu tumbuhan ini juga memiliki aktivitas sebagi racun ikan, antibakteri, dan
analgesik. Berbagai senyawa kimia telah diisolasi dari genus ini, seperti terpenoid
dan alkaloid. Terpenoid dari genus ini dilaporkan sitotoksik serta memiliki
aktivitas antitumor, antimakan, dan antibakteri (Fujioka et al. 1998; Luo et al.
2002; He et al. 2011), sedangkan senyawa alkaloidnya menunjukkan aktivitas
antiinflamasi dan imunomodulator (Naik et al. 1988).
Ekstrak metanol daun Dysoxylum malabaricum menunjukkan aktivitas
insektisida dan antioviposisi yang kuat terhadap nyamuk Anopheles stephensi
(Nathan et al. 2006). Selain itu senyawa 3β,24,25-trihidroksisikloartan dan
bedomilakton dari D. malabaricum dan D. beddomei mempengaruhi potensi
reproduksi nyamuk Anopheles stephensi dengan bertindak sebagai pencegah
oviposisi. Aktivitas hayati yang tinggi dari D. malabaricum dan D. beddomei bisa
dijadikan sebagai landasan dalam pengembangan bahan tumbuhan tersebut
sebagai insektisida botani (Nathan et al. 2008).
Penelitian aktivitas ekstrak tumbuhan ambalun (Dysoxylum acutangulum)
terhadap serangga masih terbatas di dalam negeri. Beberapa informasi dasar
tentang aktivitas ekstrak bagian tumbuhan tersebut telah diketahui. Ekstrak etanol
kulit batang tumbuhan ini dilaporkan memiliki aktivitas insektisida terhadap C.
binotalis dengan LC50 112.2 ppm (Prijono et al. 1999). Sementara itu, salah satu
fraksi aktif kulit batang ambalun memiliki aktivitas yang tinggi terhadap larva C.

2
pavonana dengan LC50 6.6 ppm (Prijono et al. 2001). Fraksi kloroform ekstrak
daun dan rantingnya juga dilaporkan memiliki aktivitas yang tinggi terhadap C.
pavonana (Aliyah et al. 2001).
Senyawa aktif insektisida yang terkandung di dalam bagian tumbuhan
ambalun belum pernah dilaporkan, namun Nishizawa et al. (1983) telah
mengidentifikasi senyawa (+)-8-hidroksikalamenena (golongan seskuiterpena
fenol) yang terkandung dalam biji ambalun sebagai senyawa aktif racun ikan dan
antibakteri. Selain itu, Ismail et al. (2009b) telah mengisolasi dua senyawa
triterpenoid baru dari daun ambalun, yaitu senyawa akutaksilina A dan B.
Penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan senyawa akutaksilina B aktif
sebagai antikanker, sedangkan aktivitasnya sebagai insektisida belum pernah
diuji. Syahputra (2001) melaporkan bahwa ekstrak etanol dan metanol kulit
batang serta ekstrak metanol ranting dan daun ambalun memiliki aktivitas
insektisida yang kuat terhadap C. pavonana, tetapi senyawa aktif yang berperan
belum diidentifikasi. Berdasarkan paparan tersebut, perlu dilakukan penelitian
tentang aktivitas insektisida daun ambalun terhadap C. pavonana disertai dengan
identifikasi golongan senyawa aktifnya.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menguji aktivitas dan mengidentifikasi
golongan senyawa aktif daun ambalun yang berpotensi sebagai insektisida botani.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang potensi
dan ciri senyawa bioaktif daun ambalun sebagai insektisida botani yang efektif
dan ramah lingkungan.
.

TINJAUAN PUSTAKA

Senyawa Aktif dan Potensi Insektisida Genus Dysoxylum
Penelitian tentang aktivitas tumbuhan Meliaceae selama hampir 40 tahun
terakhir telah menghasilkan banyak informasi baru. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa ekstrak dan/atau bahan aktif dari tidak kurang 54 jenis
tumbuhan Meliaceae memiliki aktivitas pada berbagai serangga. Keseluruhan
tumbuhan tersebut tercakup dalam 16 marga, antara lain Dysoxylum. Ekstrak atau
senyawa aktif dari tumbuhan tersebut dapat bersifat insektisida, antimakan, dan
penghambat perkembangan (Isman 1995; Mikolajczak et al. 1989; Nathan et al.
2008; Prijono et al. 2000).
Berbagai senyawa aktif dari tumbuhan marga Dysoxylum telah berhasil
diisolasi dan diidentifikasi, di antaranya senyawa aktif nimania-3 dari tumbuhan
D. malabaricum. Senyawa ini memiliki aktivitas antimakan dan insektisida yang
kuat terhadap serangga Pericillia riicini. Aktivitas insektisidanya hampir sama
dengan senyawa aktif azadiraktin-A tetapi dengan konsentrasi dua kali lipat
(Govindachari et al. 1999). Senyawa aktif lainnya adalah homoritrinan dan
dibenzazekina yang diisolasi dari tumbuhan D. lenticellare, yang memiliki
aktivitas sebagai insektisida terhadap larva Lucilia cuprina (Hart et al. 2001).
Senyawa aktif disoksilumin yang diisolasi dari batang tumbuhan D. hainannense
memiliki aktivitas antimakan terhadap larva Pieris rapae (Luo et al. 2002).
Nathan et al. (2009) melaporkan bahwa triterpena 3β,24,25-trihidroksisikloartan
dan bedomilakton dari tumbuhan D. malabaricum dan D. beddomei memiliki
aktivitas antimakan dan penghambat pertumbuhan yang kuat terhadap larva
Cnaphalocrocis medinalis.

Ambalun (Dysoxylum acutangulum)
Bioekologi
Tumbuhan yang berbentuk pohon ini (Gambar 1) di Indonesia dikenal
dengan sebutan ambalo, ambalun, membalo (Sumatra); ambalun, balau bunga
(Riau); sungkai (Minangkabau); melabun, malong, bongka chiamo (Bangka);

4
membalun, kayu kubu (Kalimantan); kayu trembalo, tembalo (Jawa); dan
ngersaweran (Kepulauan Aru) (Heyne 1987).

Gambar 1 Tumbuhan ambalun

Dari daun dan kulit batang ambalun telah diisolasi dan diperoleh empat
alkaloid kromona baru, yaitu krotakumina A-D, yang terdiri atas 5,7-dihidroksimetilkromon, cincin N-Me piperidina, dan rantai samping ester (Ismail et al.
2009a). Selain itu, dari hasil isolasi daun diperoleh dua jenis terpenoid, yaitu
akutaksilina A dan B dimana akutaksilina B menunjukkan aktivitas sitotoksik in
vitro terhadap sel leukemia premilostik darah manusia, sedangkan akutaksilina A
tidak menunjukkan aktivitas tersebut (Ismail et al. 2009b).
Potensi Insektisida Botani
Tumbuhan ambalun memiliki berbagai aktivitas hayati, salah satunya
aktivitas terhadap serangga. Beberapa informasi dasar tentang aktivitas ekstrak
bagian tumbuhan tersebut telah diketahui. Ekstrak etanol kulit batang tumbuhan
ini dilaporkan memiliki aktivitas penghambat perkembangan serangga yang kuat
terhadap C. pavonana [binotalis] dengan LC50 112 ppm (Prijono et al. 1999).
Lebih lanjut Prijono et al. (2000) melaporkan bahwa ekstrak kulit batang
tumbuhan ini bekerja terutama dengan menghambat perkembangan serangga yang
terkait dengan proses ganti kulit dan metamorfosis. Prijono et al. (2001) juga
melaporkan bahwa salah satu fraksi aktif kulit batang ambalun memiliki aktivitas
yang tinggi terhadap larva C. pavonana dengan LC50 6.6 ppm. Fraksi kloroform
ekstrak daun dan ranting ambalun dapat mematikan larva instar 2 C. pavonana

5
sampai 100% dengan LC50 108 ppm (Aliyah et al. 2001). Syahputra (2001) juga
melaporkan ekstrak metanol dan etanol kulit batang ambalun memiliki aktivitas
insektisida terhadap C. pavonana lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak metanol
ranting dan daun ambalun.

Crocidolomia pavonana (Lepidotera: Crambidae)
Crocidolomia pavonana (Gambar 2) yang sebelumnya dikenal sebagai C.
binotalis merupakan salah satu hama utama yang menyerang tanaman
Brassicaceae, seperti kubis, kubis bunga, kubis cina, mostar, lobak, dan sawi liar
(Kalshoven 1981). Hama ini diklasifikasikan ke dalam kelas Heksapoda, ordo
Lepidoptera, famili Crambidae, genus Crocidolomia, spesies C. pavonana.
Daerah persebaran meliputi Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika Selatan,
Australia, dan beberapa Kepulauan di Samudera Pasifik. Di Pulau Jawa, serangga
ini ditemukan baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi (Kalshoven 1981).

Gambar 2 Larva instar 3 Crocidolomia pavonana pada daun brokoli

Perkembangan C. pavonana bertipe holometabola (metamorfosis sempurna)
yang melewati empat fase, yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Telur serangga ini
diletakkan secara berkelompok di permukaan atas maupun permukaan bawah
daun. Setiap kelompok rata-rata terdiri atas 10 sampai 300 butir telur. Telur-telur
ini berwarna hijau dan setelah 2 atau 3 hari berubah warna menjadi merah
kecokelatan. Periode inkubasi telur 4-5 hari (Ooi & Keldermen 1979; Prijono &
Hassan 1992).

6
Setelah melewati fase telur, larva keluar dari telur. Fase larva C. pavonana
selama perkembangannya melewati empat instar. Larva instar 1 berwarna hijau
kekuning-kuningan pada bagian tubuhnya berukuran panjang 0.1 cm, kepala dan
toraks berwarna cokelat tua. Larva instar 2 berwarna hijau dan pada bagian kepala
terdapat garis melintang berwarna cokelat. Larva instar ini mulai aktif dan
menyebabkan kerugian. Larva instar 3 mempunyai tiga garis memanjang pada
bagian dorsal dan satu garis putih memanjang pada bagian sisi tubuh. Larva instar
4 berwarna hijau dengan panjang 12-25 mm dan lebar 1.5-2.0 mm (Prijono &
Hassan 1992).
Fase pupa berlangsung dengan cara membentuk benang sutera untuk
melindungi tubuhnya. Menurut Prijono & Hassan (1992), fase pupa berlangsung
selama 11-13 hari. Setelah itu terbentuk imago yang bersifat nokturnal (Kalshoven
1981). Imago ini memiliki toraks berwarna gelap dan abdomen berwarna merah
kecokelatan. Imago jantan mudah dikenal dengan adanya sisik berwarna
gelap/hitam pada tepi interior sayap depan. Rentang sayap imago betina sekitar 25
mm sedangkan imago jantan sekitar 24 mm. Ukuran tubuh imago jantan lebih
panjang (sekitar 11.4 mm) daripada yang betina (sekitar 9.6 mm). Imago betina
yang diberi makan larutan madu 10% menghasilkan telur 35-459 butir dan dapat
hidup selama 1-2 minggu. Siklus hidup imago betina sekitar 23-28 hari,
sedangkan imago jantan sekitar 24-29 hari (Prijono & Hassan 1992).
Larva C. pavonana sering digunakan sebagai hewan uji dalam pengujian
terhadap senyawa insektisida. Syahputra et al. (2004) menggunakan larva ini
untuk menguji aktivitas ekstrak etanol bagian tumbuhan Calophyllum soulattri.
Prijono et al. (2006) menggunakan larva ini untuk menguji aktivitas insektisida 43
jenis tumbuhan dari lima famili tumbuhan.
Tanaman yang bersifat insektisida terhadap hama C. pavonana sudah
banyak ditemukan, di antaranya tanaman famili Annonaceae seperti srikaya,
famili Meliaceae seperti mimba, serta famili Piperaceae seperti cabai jawa.
Perlakuan dengan ekstrak tersebut pada konsentrasi tidak lebih dari 0.5% dapat
mengakibatkan kematian larva sebesar 100% (Prijono et al. 2006).

BAHAN DAN METODE

Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia
FMIPA dan Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Serangga Uji
Serangga yang digunakan dalam pengujian ini adalah larva Crocidolomia
pavonana, yang diperoleh dari perbanyakan di Laboratorium Fisiologi dan
Toksikologi IPB. Serangga tersebut dipelihara menurut cara seperti yang
diuraikan oleh Prijono & Hassan (1992).

Bahan Tanaman Uji
Bahan tanaman yang digunakan adalah daun ambalun (Dysoxylum
acutangulum) tua tetapi masih berwarna hijau, yang berasal dari Hutan Penelitian
Yan Lappa, Desa Tepos, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Untuk keperluan
identifikasi tanaman, sampel tanaman dikirim ke Herbarium Bogoriense, Bogor.
Hasil identififikasi tanaman ditunjukkan pada Lampiran 1. Pada tahap awal daun
ambalun dibersihkan dengan air kemudian dikeringudarakan tanpa terkena cahaya
matahari langsung. Setelah kering, daun dihaluskan dengan menggunakan mesin
penghancur hingga diperoleh serbuk.

Penyiapan Tanaman Pakan
Daun brokoli yang digunakan sebagai pakan berasal dari penanaman di
polybag (kantung plastik hitam). Benih brokoli disemai pada nampan semai 50
lubang yang diisi media semai Super Metan. Pemupukan dengan pupuk majemuk
pelepasan perlahan NPK 22-8-4 (“Dekastar”) dilakukan bersamaan dengan
penyemaian, dengan dosis satu butir per lubang tanam. Bibit brokoli yang
berumur 4 minggu setelah semai dipindahkan ke polybag kapasitas 5 liter yang
diisi media tanam tanah dan pupuk kandang dengan nisbah 3:1. Tanaman
dipelihara setiap hari dengan melakukan penyiraman, penyiangan, dan

8
pengendalian hama secara mekanis jika ditemukan hama pada tanaman. Tanaman
yang berumur sekitar 2 bulan digunakan sebagai sumber pakan larva C. pavonana.

Penentuan Kadar Air Daun Ambalun
Cawan porselin dikeringkan pada suhu 105 °C dalam oven selama 30 menit,
kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Sebanyak 2 g daun
ambalun dimasukkan ke dalam cawan dan dipanaskan dalam oven pada suhu 105
°C selama 3 jam, kemudian cawan diangkat dan didinginkan dalam eksikator
selama 30 menit. Cawan dengan sampel ditimbang hingga diperoleh bobot
konstan (AOAC 2006). Persentase kadar air ambalun dihitung dengan persamaan:
Kadar air (%) =

× 100%

a = bobot sampel sebelum dikeringkan (g).
b = bobot sampel setelah dikeringkan (g).

Uji Fitokimia Daun dan Ekstrak Ambalun
Uji fitokimia dilakukan mengacu pada Harborne (1987). Kelompok
senyawa yang ingin diketahui dalam pengujian ini ialah alkaloid, flavonoid, tanin,
saponin, kuinon, triterpenoid, dan steroid. Sampel yang diuji ialah serbuk daun,
ekstrak daun, dan fraksi teraktif daun ambalun.

Uji Alkaloid
Sebanyak 500 mg sampel dilarutkan dalam 5 mL kloroform dan dibasakan
dengan beberapa tetes NH4OH, kemudian disaring ke dalam tabung reaksi.
Ekstrak kloroform kemudian ditambahi 10 tetes H2SO4 2 M lalu dikocok sehingga
terbentuk dua lapisan. Lapisan asam kemudian diteteskan pada pelat tetes dan
diuji berturut-turut dengan pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, dan pereaksi
Dragendrof. Uji positif bila didapat endapan berturut-turut putih, cokelat, dan
merah jingga.

Uji Flavonoid
Pada 500 mg sampel ditambahkan 10 mL air panas kemudian dididihkan
selama 5 menit dan disaring. Ke dalam 5 mL filtratnya ditambahkan 0.5 g serbuk

9
Mg, 1 mL HCl pekat, dan 1 mL amil alkohol kemudian dikocok dengan kuat. Uji
positif ditandai dengan munculnya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan
amil alkohol.

Uji Tanin
Sebanyak 500 mg sampel ditambahkan ke dalam 50 mL air panas dan
dididihkan selama 15 menit lalu disaring. Filtratnya ditambahi 10 mL FeCl3 1%.
Uji positif ditandai dengan munculnya warna hijau kehitaman.

Uji Saponin
Pada 500 mg sampel ditambahkan 10 mL air panas dan dididihkan selama 5
menit lalu disaring. Sebanyak 10 mL fitrat dikocok dalam tabung reaksi tertutup
selama 10 detik kemudian dibiarkan selama 10 menit. Adanya saponin
ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil.

Uji Kuinon
Sebanyak 500 mg sampel ditambahkan ke dalam 10 mL air panas dan
dididihkan selama 5 menit lalu disaring. Filtratnya ditambahi 3 tetes NaOH. Uji
positif ditandai dengan munculnya endapan merah.

Uji Triterpenoid dan Steroid
Uji ini menggunakan pereaksi Lieberman-Burchard. Pada pengujian ini,
sebanyak 500 mg sampel dimaserasi dengan 25 mL etanol panas selama 1 jam,
disaring dan residunya ditambahi eter. Filtrat ditambahi 3 tetes asam asetatanhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat secara berurutan. Larutan dikocok perlahan
dan dibiarkan beberapa menit. Uji positif ditandai dengan terbentuknya warna
merah atau ungu untuk triterpenoid dan warna hijau atau biru untuk steroid.
Diagram alir uji fitokimia ditampilkan pada Lampiran 2.

10
Ekstraksi Daun Ambalun
Ekstraksi Bertingkat dengan Tiga Jenis Pelarut
Ekstraksi daun ambalun dilakukan secara berurutan dengan tiga jenis pelarut
berdasarkan perbedaan kepolaran, yaitu n-heksana, etil asetat, dan metanol. Pada
tahap pertama, 1 kg serbuk daun ambalun diekstraksi dengan maserasi
menggunakan pelarut n-heksana (1:10 b/v) selama 24 jam. Hasil rendaman
disaring untuk memisahkan filtrat dan residunya. Residu direndam kembali
hingga larutan hasil penyaringan berwarna pudar (tidak berwarna). Seluruh filtrat
hasil maserasi ditambahi natrium sulfat anhidrat, kemudian diuapkan sehingga
didapatkan ekstrak n-heksana, sedangkan residunya diangin-anginkan agar
terbebas dari n-heksana. Residu kering dimaserasi dengan etil asetat, kemudian
disaring. Residu diekstraksi ulang dengan etil asetat hingga filtrat hasil
penyaringan tidak berwarna. Filtrat yang dihasilkan ditambahi natrium sulfat
anhidrat, kemudian diuapkan sehingga didapatkan ekstrak etil asetat, sedangkan
residunya di angin-anginkan agar terbebas dari etil asetat. Pada tahap terakhir,
residu kering dimaserasi dengan metanol. Hasil rendaman disaring, kemudian
dimaserasi kembali hingga filtratnya tidak berwarna. Seluruh filtrat ditambah
natrium sulfat anhidrat, kemudian diuapkan sehingga didapatkan ekstrak metanol.
Diagram alir ekstraksi ditunjukkan pada Lampiran 3.

Ekstraksi Langsung dengan Metanol dan Partisi
Sebanyak 300 g serbuk daun ambalun dimaserasi dalam pelarut metanol
dengan nisbah 1:10 (%b/v) selama 24 jam. Hasil rendaman disaring untuk
memisahkan filtrat dan residunya. Residu direndam kembali hingga larutan hasil
penyaringan berwarna pudar (tidak berwarna). Seluruh filtrat diuapkan sehingga
didapatkan ekstrak metanol. Ekstrak pekat yang dihasilkan dipartisi dalam
campuran pelarut n-heksana dan metanol 95% dalam labu pemisah. Fase metanol
dan fase n-heksana dipisah kemudian masing-masing diuapkan sehingga
didapatkan ekstrak n-heksana dan metanol hasil partisi. Diagram alir ekstraksi
ditunjukkan pada Lampiran 4. Semua ekstrak yang didapatkan dari kedua teknik
ekstraksi ini diuji fitokimia dan uji aktivitas insektisida awal. Rendemen ekstrak
dihitung dengan persamaan:

11
Rendemen ekstrak (%) =
a

: bobot ekstrak (g).

b

: bobot sampel kering (g).

ka

: kadar air.

× 100 %

Uji Aktivitas Insektisida
Pengujian Awal
Metode pengujian yang digunakan adalah metode residu pada daun (Prijono
et al. 2001). Pada tahap awal setiap ekstrak diuji pada konsentrasi 0.1% dan 0.5%
dengan tiga ulangan, dan pada setiap ulangan digunakan 15 ekor larva instar II C.
pavonana. Ekstrak n-heksana dan ekstrak etil asetat dilarutkan dalam pelarut
aseton, sedangkan ekstrak metanol dilarutkan dalam pelarut aseton-metanol (3:1).
Larutan ekstrak dioleskan pada kedua sisi permukaan potongan daun brokoli
(diameter 3 cm) masing-masing sebanyak 25 µL dengan menggunakan
mikrosemprit. Daun kontrol diolesi dengan pelarut saja dengan cara dan volume
yang sama. Setelah kering, dua potong daun dimasukkan ke dalam cawan petri
(diameter 9 cm) yang telah dialasi kertas tisu, kemudian 15 ekor larva C.
pavonana yang baru ganti kulit dimasukkan ke dalam cawan petri tersebut. Larva
dibiarkan makan daun perlakuan selama 48 jam, selanjutnya daun diganti dengan
daun segar yang bebas pestisida. Larva yang bertahan hidup dipelihara sampai
instar IV, sementara jumlah larva yang mati dicatat setiap hari.

Pengujian Lanjutan
Ekstrak yang paling aktif diuji lebih lanjut pada enam taraf konsentrasi yang
diharapkan dapat mengakibatkan kematian antara 0% dan 100% (ditentukan
berdasarkan uji pendahuluan). Konsentrasi yang digunakan adalah 0.1%, 0.18%,
0.26%, 0.34%, 0.42%, dan 0.5% untuk ekstrak dan 0.075%, 0.140%, 0.205%,
0.270%, 0.335%, dan 0.4% untuk fraksi. Cara pengujian dan pengamatan sama
seperti pada uji pendahuluan. Setiap taraf konsentrasi dan kontrol dalam uji
lanjutan terdiri atas enam ulangan, dan pada setiap ulangan digunakan 15 ekor
larva C. pavonana. Larva yang mati dicatat setiap hari dan larva yang bertahan
hidup diikuti perkembangannya setiap hari seperti pada pengujian awal.

12
Data mortalitas kumulatif sejak awal perlakuan diolah dengan analisis probit
(Finney 1971) untuk menentukan hubungan antara konsentrasi ekstrak dan tingkat
kematian larva. Analisis probit dilakukan dengan menggunakan program POLOPC (LeOra Software 1987). Data lama perkembangan larva diolah dengan sidik
ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Uji Pembanding Positif Minyak Mimba
Minyak mimba yang digunakan sebagai uji pembanding positif merupakan
formulasi insektisida botani berbentuk cair. Metabolit sekunder utama yang
berfungsi sebagai insektisida pada minyak mimba ialah azadiraktin yang terbentuk
secara alami dan tergolong dalam senyawa tetranotriterpenoid. Kadar azadiraktin
dalam minyak mimba yang digunakan adalah 6200 ppm.
Pengujian dilakukan melalui dua tahapan, yaitu uji pendahuluan dan uji
lanjutan. Konsentrasi yang digunakan pada uji pendahuluan ialah 0.05%, 0.1%,
dan 0.5%, sedangkan konsentrasi yang digunakan pada uji lanjutan ialah 0.1%,
0.18%, 0.26%, 0.34%, 0.42%, dan 0.5%. Cara pengujian dan pengamatan sama
seperti pada uji aktivitas ekstrak ambalun. Data mortalitas kumulatif sejak awal
perlakuan diolah dengan analisis probit (Finney 1971) untuk menentukan
hubungan antara konsentrasi ekstrak dan tingkat kematian larva. Analisis probit
dilakukan dengan menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987).
Data lama perkembangan larva diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan
dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Fraksionasi Ekstrak Teraktif dan Pencirian Fraksi Terpilih
Ekstrak

kasar

teraktif

sebanyak

4

g

difraksionasi

menggunakan

kromatografi kolom dengan fase diam silika gel. Fase gerak yang digunakan
adalah eluen n-heksana, aseton, dan metanol dengan metode step gradient
(peningkatan kepolaran) agar dengan peningkatan polaritas sistem eluen, semua
komponen akan terbawa lebih cepat. Setiap eluat ditampung dalam tabung reaksi
dengan volume masing-masing sebanyak 5 mL. Fraksi yang dihasilkan diuji
dengan kromatografi lapis tipis untuk menentukan jumlah fraksi yang terbentuk.
Fraksi hasil pemisahan kromatografi diuji aktivitas insektisidanya. Fraksi teraktif

13
diidentifikasi berdasarkan data spektroskopi GC-MS dan FTIR. Spektroskopi GCMS yang digunakan ialah spektrofotometer massa Agilent Technologies 5973
Auto Sampler GC dan 6890 MSD (GC-MS). Alat ini menggunakan HewlettPackard ultra 5 capilarry coloumn (0.25 mm × 30 m × 0.25 μm) sebagai fase diam
dan gas helium sebagai fase gerak. Alat dikondisikan pada suhu awal 100 °C
selama 5 menit kemudian dinaikkan sampai 330 °C dengan laju 4 °C/menit.
Volume injeksi 1 μL dan nisbah celah 104:1. Spektroskopi FTIR yang digunakan
FTIR jenis Perkin Elmer seri SpectrumOne dengan pelet KBr. Diagram alir
fraksionasi dan identifikasi fraksi terpilih ditunjukkan pada Lampiran 5.

HASIL

Ekstrak Daun Ambalun
Daun ambalun dengan kadar air 6.48% (Lampiran 6) yang diekstraksi secara
bertingkat menggunakan tiga jenis pelarut, yaitu n-heksana, etil asetat, dan
metanol, memiliki hasil ekstrak (rendemen) yang beragam. Ekstrak n-heksana
yang diperoleh sebesar 62.3862 g (6.13%), ekstrak etil asetat 45.1684 g (4.98%),
dan metanol 37.9333 g (4.44%).
Daun ambalun yang diekstraksi langsung dengan pelarut metanol
menghasilkan ekstrak 18.6122 g (6.66%). Ekstrak metanol sebanyak 17.5103 g
dipartisi dalam campuran metanol 95% dan n-heksana. Setelah kedua fase tersebut
dipisahkan diperoleh ekstrak metanol dan ekstrak n-heksana masing-masing
sebesar 10.5831 dan 6.7234 g dengan rendemen 64.38% dan 41.06% terhadap
ekstrak metanol-partisi.

Toksisitas Ekstrak Ambalun
Uji Pendahuluan
Hasil uji pendahuluan dengan metode residu pada daun menunjukkan bahwa
perlakuan dengan ekstrak metanol-partisi pada konsentrasi 0.5% dapat mematikan
serangga uji 100%. Fraksi n-heksana dan n-heksana-partisi pada konsentrasi 0.5%
mengakibatkan kematian serangga uji tidak lebih dari 9%. Ekstrak etil asetat hasil
ekstraksi bertingkat dan ekstrak metanol sebelum dipartisi pada konsentrasi 0.5%
mengakibatkan kematian serangga uji sekitar 69% dan 58% (Tabel 1).
Ekstrak metanol hasil ekstraksi bertingkat dan metanol-partisi pada
konsentrasi 0.5% memiliki aktivitas yang tinggi, masing-masing 93% dan 100%
sehingga ekstrak metanol-partisi diuji lebih lanjut pada enam taraf konsentrasi
terhadap larva instar 2. Pada penelitian ini ekstrak yang diuji lebih lanjut adalah
ekstrak teraktif, yaitu ekstrak metanol-partisi.

15
Tabel 1 Hasil uji pendahuluan pengaruh ekstrak daun ambalun terhadap
mortalitas larva C. pavonana
Perlakuan
Ekstrak n-heksana
Kontrol
0.1%
0.5%
Ekstrak etil asetat
Kontrol
0.1%
0.5%
Ekstrak metanol
Kontrol
0.1%
0.5%
Ekstrak metanol langsung
Kontrol
0.1%
0.5%
Ekstrak n-heksana-partisi
Kontrol
0.1%
0.5%
Ekstrak metanol-partisi
Kontrol
0.1%
0.5%
a

Mortalitas (%) a
Instar 2

Instar 2+3

0
6.67
8.89

0
6.67
8.89

0
2.22
35.56

0
6.67
68.89

0
6.67
73.33

0
11.11
93.33

0
4.44
24.00

0
6.67
57.78

0
0
2.22

0
6.67
8.89

0
11.11
75.56

0
17.78
100

Mortalitas pada 6 hari setelah perlakuan (HSP)

Uji Lanjutan
Hasil uji lanjutan pertama menunjukkan bahwa mortalitas larva C.
pavonana pada 1 hari setelah perlakuan (HSP) sangat rendah, kemudian
meningkat secara bertahap pada 2 HSP. Perlakuan dengan ekstrak daun ambalun
tidak segera mematikan larva uji. Kematian larva selalu terjadi menjelang atau
pada saat ganti kulit. Secara visual, larva gagal melepas kutikula instar
sebelumnya dan akhirnya mati.
Perkembangan mortalitas larva untuk semua taraf konsentrasi yang diuji
menunjukkan pola yang serupa. Pada hari pertama setelah perlakuan, hanya
beberapa ekor larva yang mati, kemudian secara bertahap meningkat pada

16
beberapa hari berikutnya. Pada konsentrasi 0.1% dan 0.18% tingkat kematian
larva mendekati nilai konstan sejak 4 HSP hingga akhir pengamatan. Sementara
itu, pada konsentrasi lainnya, tingkat kematian larva mendekati konstan sejak 5
HSP (Gambar 3A).
Perlakuan ekstrak uji pada konsentrasi 0.1%-0.5% mengakibatkan
mortalitas larva 4.44%-24.44% pada 3 HSP dan mortalitas meningkat menjadi
7.78%-100% pada 6 HSP. Secara umum tingkat kematian larva meningkat dengan
semakin tingginya konsentrasi. LC50 dan LC95 ekstrak daun ambalun terhadap
larva instar 2+3 (Tabel 2) lebih rendah dibandingkan dengan nilainya terhadap
larva instar 2.
Hasil uji lanjutan kedua tidak berbeda jauh dengan hasil uji lanjutan yang
pertama. Tingkat kematian larva pada uji lanjutan kedua juga berbanding lurus
dengan konsentrasi ekstrak uji. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, semakin
tinggi kematian larva uji. Selain itu, kematian larva uji pada setiap konsentrasi
meningkat sesuai dengan lama hari setelah pengamatan. Pada konsentrasi 0.18%
sampai 0.5% peningkatan kematian larva uji paling nyata terjadi pada 4 HSP,
sedangkan pada konsentrasi 0.1% kematian larva uji rata-rata terjadi setiap hari
(Gambar 3B).
LC50 dan LC95 ekstrak daun ambalun pada pengujian kedua ini tidak
berbeda jauh nilainya dibandingkan dengan nilai LC50 dan LC95 pada pengujian
pertama (Tabel 2). Nilai LC50 dan LC95 ekstrak daun ambalun terhadap larva
instar 2+3 pada pengujian kedua ini sebesar 0.23% dan 0.47%, yang juga lebih
rendah daripada nilainya terhadap larva instar 2, yaitu 0.34% dan 0.75% (Tabel
2).
Penggabungan data hasil uji lanjutan pertama dan kedua dapat memperkecil
keragaman data. Berdasarkan gabungan hasil uji lanjutan pertama dan hasil uji
lanjutan kedua, kematian larva uji terjadi setiap hari. Pada konsentrasi 0.18%0.5% peningkatan kematian larva uji paling nyata terjadi pada 4 HSP (Gambar
3C).

17
100

A
Mortalitas (%)

80
60
40
20
0
1

2

3

4

5

6

2

3

4

5

6

100

B
Mortalitas (%)

80
60
40
20
0
1

C

100

Mortalitas (%)

80
60
40
20
0
1

2

3

4

5

6

Waktu pengamatan (HSP)
Kontrol

0.10%

0.18%

0.26%

0.34%

0.42%

0.50%

Gambar 3 Tingkat mortalitas larva akibat perlakuan ekstrak daun ambalun pada
uji lanjutan pertama (A); uji lanjutan kedua (B); gabungan uji lanjutan
pertama dan kedua (C).

18
Tabel 2 Penduga parameter regresi probit hubungan konsentrasi-mortalitas
ekstrak daun ambalun terhadap larva C. pavonana.
Uji lanjutan
ke-, instar
Pertama
Instar 2
Instar 2+3
Kedua
Instar 2
Instar 2+3
Gabungan
Instar 2
Instar 2+3
a

LC50 (SK 95%) a LC95 (SK 95%) a
(%)
(%)

a ± GB a

b ± GB a

1.89 ± 0.19
3.06 ± 0.22

4.12 ± 0.36
4.92 ± 0.36

0.35 (0.29-0.43)
0.24 (0.18-0.29)

0.87 (0.62-1.98)
0.52 (0.39-0.99)

2.23 ± 0.21
3.38 ± 0.23

4.82 ± 0.41
5.34 ± 0.38

0.34 (0.29-0.41)
0.23 (0.17-0.29)

0.75 (0.57-0.42)
0.47 (0.36-0.95)

2.05 ± 0.14
3.21 ± 0.16

4.45 ± 0.27 0.346 (0.29-0.42)
5.12 ± 0.26 0.236 (0.18-0.29)

0.81 (0.59-1.66)
0.49 (0.37-0.95)

a = intersep regresi probit; b = kemiringan regresi probit; GB = galat baku; SK = selang
kepercayaan.

Pengaruh Bahan Uji terhadap Lama Perkembangan Larva C. pavonana
Perlakuan

dengaan

ekstrak

metanol-partisi

ambalun

tidak

hanya

berpengaruh pada kematian larva C. pavonana, namun juga berpengaruh pada
perkembangan larva (Tabel 3). Perkembangan larva tersebut berkaitan dengan
kemampuan larva berkembang menjadi instar berikutnya. Lama perkembangan
larva instar 2-4 yang diberi ekstrak daun ambalun konsentrasi 0.5% tidak dapat
ditentukan karena tidak satu pun larva uji yang mampu hidup dan berkembang
hingga instar 4. Hal ini terjadi pada uji lanjutan pertama dan kedua.
Perkembangan larva instar 2-3 akibat perlakuan ekstrak daun ambalun
pada uji lanjutan pertama lebih lambat antara 0.54 dan 2.20 hari dibandingkan
dengan kontrol dan perkembangan larva instar 2-4 pada konsentrasi 0.1%-0.42%
lebih lambat antara 0.17 dan 1.7 hari dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan
ekstrak daun ambalun pada uji lanjutan kedua mengakibatkan perpanjangan lama
stadium larva instar 2-3 antara 0.20 dan 1.85 hari dibandingkan dengan kontrol
dan perpanjangan lama stadium instar 2-4 pada konsentrasi 0.1%-0.42% berkisar
antara 0.39 dan1.36 hari dibandingkan dengan kontrol. Perpanjangan lama
perkembangan larva instar 2-3 akibat perlakuan ekstrak daun ambalun berkisar
antara 0.32 dan 2.05 hari dibandingkan dengan kontrol dan perpanjangan lama
perkembangan larva instar 2-4 pada konsentrasi 0.1%-0.42% berkisar antara 0.27
dan 1.2 hari dibandingkan dengan kontrol (Tabel 3).

19
Tabel 3 Hubungan antara konsentrasi ekstrak metanol-partisi ambalun dan lama
perkembangan larva C. pavonana
Perlakuan

Konsentrasi
(%b/v)

Ambalun
uji pertama

Kontrol
0.1
0.180
0.260
0.340
0.420
0.5

Ambalun
uji kedua

Kontrol
0.1
0.180
0.260
0.340
0.420
0.5

Gabungan
uji lanjutan
pertama dan
kedua

Kontrol
0.1
0.180
0.260
0.340
0.420
0.5

Rata-rata lama perkembangan ± SD (hari) a
Instar 2-3
2.16 ± 0.42 (90) e
2.60 ± 0.76 (86) d
3.36 ± 0.77 (83) c
3.39 ± 0.58 (66) c
3.60 ± 0.70 (42) c
4.04 ± 0.19 (28) b
4.36 ± 0.49 (12) a
2.08 ± 0.27 (90) c
2.28 ± 0.59 (88) c
2.85 ± 0.87 (80) b
3.09 ± 0.90 (70) b
3.75 ± 0.80 (55)