Sebagai Seorang Faqih Syaikh Qardhawi

Kontribusi Qardhawi Ada dua hal yang menjadi main stream aktivitas hidupnya. Pertama adalah aktivitasnya sebagai seorang intelektual dalam bidang fikih faqih dan kedua adalah aktivitasnya yang sangat signifikan dalam shahwah dan harakah Islamiyah. Bagi Qardhawi, ilmu yang diraihnya di Al-Azhar adalah bekalnya dalam menggali khazanah Islam, sedangkan yang didapatkannya di lapangan bersama Ikhwan adalah bekal utamanya dalam menjalani dunia pergeraklan Islam harakah dan shahwahIslamiyah. proyek besar yang terus menerus digarap oleh Qardhawi dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat.

a. Sebagai Seorang Faqih

Ada beberapa daerah yang dikenal sebagai kawasan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah ataupun Hanbaliyah. Walaupun demikian, madzhab Imam Syafi’i adalah madzhab yang dianut oleh mayoritas masyarakat Mesir, terutama di perkampungan. Secara historis, hal tersebut disebabkan karena Imam Syafi’i pernah tinggal lama di Mesir sampai meninggal dunia dan di negeri ini pula beliau melahirkan qaul jadid, yaitu pendapat-pendapat yang sangat berbeda dengan yang pernah difatwakannya semasa di Irak qaul qadîm. Di Mesir masih tumbuh subur berpuluh-puluh tarikat sufi yang di antaranya adalah Ahmadiyah bukan Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Rifa’iyah, Burhamiyah, ditambah puluhan tarikat lainnya yang merupakan cabang dari lima tarikat besar tersebut. Sikapnya dalam memperlakukan fikih, ia memilih metode fikihnya dengan semangat moderasi wasathiyah, toleransi tasâmuh, lintas madzhab dan selalu menghendaki kemudahan bagi umat taisîr, serta mengakses penggalian hukum secara langsung dari sumbernya yang asli, yaitu al-Quran dan sunnah shahihah. Formula yang dibangunnya adalah mengenai perlunya sebuah fikih baru fiqh jadîd yang akan dapat membantu menyelesaikan persoalan umat. Adapun fikih baru yang dibangunnya antara lain adalah sebuah fikih terdiri dari: 1. Keseimbangan fiqh al-Muwâzanah. Adalah sebuah metode yang dilakukan dalam mengambil keputusan hukum, pada saat terjadinya pertentangan dilematis antara maslahat dan mafsadat atau antara kebaikan dan keburukan, karena menurutnya, di zaman kita sekarang ini sudah sangat sulit mencari sesuatu yang halal seratus persen atau yang haram seratus persen. untuk mendapatkan kemaslahan yang lebih besar, atau kerusakan temporer yang boleh dilakukan untuk mempertahankan kemaslahatan yang kekal, bahkan kerusakan yang besar pun dapat dipertahankan jika dengan menghilangkannya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. 2. Fikih realitas Fiqh Wâqi’î. Adalah sebuah metode yang digunakan untuk memahami realitas dan persoalan-persoalan yang muncul di hadapan kita, sehingga kita dapat menerapkan hukum sesuai dengan tuntutan zaman. 3. Fikih prioritas Fiqh al-Aulawiyât. adalah sebuah metode untuk menyusun sebuah sistem dalam menilai sebuah pekerjaan, mana yang seharusnya didahulukan atau diakhirkan. 4. Fiqh al-Maqâshid al-Syarî’ah, yaitu fikih yang dibangun atas dasar tujuan ditetapkannya sebuah hukum. Metode ini ditujukan bagaimana memahami nash-nash syar’i yang juz’î dalam konteks maqâshid al-Syarî’ah dan mengikatkan sebuah hukum dengan tujuan utama ditetapkannya hukum tersebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik dunia maupun akhirat. 5. Fikih perubahan Fiqh al-Tagyîr. Adalah sebuah metode untuk melakukan perubahan terhadap tatanan masyarakat yang tidak Islami dan mendorong masyarakat untuk melakuakn perubahan tersebut. Menurutnya, melakukan ijtihad adalah sebuah kewajiban agama kolektif fardlu kifâyah, artinya pada setiap zaman harus ada seseorang yang mampu dan mau melakukannya, bahkan bagi mereka yang sudah mencapai kemampuan untuk melakukanya, ijtihad adalah sebuah kewjiban indifidual fardhu ain. beberapa kode etik ijtihad yang harus menjadi acuan utama para mujtahid. antara lain: 1. Dalam melakukan ijtihad, hendaknya seseorang telah memiliki perangkat-perangkat utama yang diperlukan dalam berijtihad. 2. Dalam melakukan ijtihad, hendaklah seorang mujtahid selalu independen dan tidak berada di bawah tekanan pihak manapun. Adapun kode etik yang berhubungan dengan objek ijtihad adalah sebagai berikut: 1. Hendaknya ijtihad yang dilakukan hanya pada wilayah-wilayah yang dzannî, baik dzannî dilâlah maupun dzannî al-Tsubît. Dengan demikian kita tidak diperkenankan untuk berijtihad pada persoalan- persoalan yang qathî, karena persoalan yang didasarkan pada dalil qath’i, bukan merupakan wilayah ijtihad. 2. Ijtihad dapat dilakukan baik dalam tema-tema yang benar-benar baru ijtihâd insyâ’î maupun dalam memilih pendapat yang argumennya paling kuat, paling sesuai dengan Maqâshid al- Syarî’ah dan paling maslahat bagi umat.

b. Dalam Dunia Dakwah Harakah Dan Shahwah Islamiyah