Journal Pendidikan Sains Maret 2014

(1)

PENDIDIKAN SAINS

JURNAL

Universitas Muhammadiyah Semarang

Diterbitkan Oleh:

Program Studi Pendidikan Kimia

Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam

Volume 02, Nomor 01, Maret 2014

ISSN

2339-0786

Jurnal

Pendidikan Sains

Volume

2

Nomor

1

Halaman

1-42

Semarang

Maret 2014


(2)

JURNAL PENDIDIKAN SAINS

PELINDUNG

REKTOR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

PENANGGUNG JAWAB

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Muhammadiyah Semarang

PEMBINA REDAKSI

Ketua Program Studi Pendidikan Kimia FMIPA UNIMUS

REDAKTUR PELAKSANA

1. Andari Puji Astuti, S.Pd., M.Pd. 2. Eko Yuliyanto, S.Pd.Si., M.Pd.

3. Fitria Fatichatul Hidayah, S.Si., M.Pd. 4. Muhamad Imaddudin, S.Pd.,M.Pd.

DEWAN REDAKSI

1. Dr. Eny Winaryati, M.Pd. (Universitas Muhammadiyah Semarang) 2. Dr. Sri Haryani, M.Si. (Universitas Negeri Semarang)

ALAMAT REDAKSI:

JURNAL PENDIDIKAN SAINS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA,

FMIPA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG Jl. Kedungmundu Raya No.22, Semarang

Telp. (024)76740231, 76740231 Email: pkim.unimus@yahoo.co.id


(3)

JURNAL PENDIDIKAN SAINS

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………. i

REDAKTUR……….………….………. ii PENGANTAR REDAKSI……….. iii 1 Anggun Zuhaida, Sri Haryani, Endang Susilaningsih Penyusunan Asesmen Metakognisi Calon Guru

Kimia Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah……….………. 1 2 Eny Winaryati, Kompetensi Pengawas Dalam Supervisi Akademik Pada SMP Di Kota Semarang

………. 6

3 Restiana Purwaningtyas, Ashadi, Suparmi

Pembelajaran kimia menggunakan pendekatan

sains teknologi masyarakat ditinjau dari kreativitas dan kemampuan Berpikir kritis...

14

4 Fitria Fatichatul Hidayah Karakteristik panduan praktikum kimia fisika bervisi-sets Untuk

e i gkatka ketera pila proses sai s………..……….. 20 5 Muhamad Imaduddin,Fitria Fatichatul Hidayah, Andari Puji Astuti, Deskripsi Pedagogical Content

Knowledge Guru Kimia Menggunakan Komponen Model Pentagon………..……… 26 6 Siti Sarah, Maryono Keefektivan Pembelajaran Berbasis Potensi Lokal dalam Pembelajaran Fisika


(4)

PENGANTAR REDAKSI

Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas diterbitkannya Jurnal Pendidikan Sains

Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Muhammadiyah Semarang edisi perdana Oktober 2013.

Jurnal Pendidikan Sains ini memuat artikel yang membahas aspek, pendidikan kimia,

pendidikan fisika, pendidikan biologi, pendidikan IPA, dan inovasi-inovasi pembelajaran.

Tim redaksi menerima artikel ilmiah dari hasil penelitian, laporan studi kasus, kajian, dan

tinjauan pustaka.

Terbitnya jurnal pendidikan ini menjadikan suatu indikator bahwa program studi

pendidikan kimia sangat peduli terhadap perkembangan dan inovasi-inovasi pada

pendidikan Sains(Fisika, Kimia dan Biologi). Selain itu adanya Jurnal Pendidikan Sains

menunjukkan bahwa para dosen pendidikan kimia sudah membudayakan meneliti dan

mempublikasikan hasil penelitian. Program Studi Pendidikan Kimia juga mengajak pihak

lain berpartisipasi dalam penerbitan jurnal ini baik universitas lokal ataupun tingkat

nasional.

Guna meningkatkan kualitas jurnal pendidikan Kimia, tim redaksi menerima kritik

dan saran untuk memperbaharui inovasi pada Jurnal Pendidikan Kimia. Kami selaku tim

redaksi mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap tim redaksi dan pihak-pihak

yang terkain atas dedikasi dan kerjasamanya dalam upaya mewujudkan penerbitan Jurnal

Pendidikan Kimia.

Semarang, 01 Maret 2014


(5)

PENYUSUNAN ASESMEN METAKOGNISI CALON GURU KIMIA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

1)

Anggun Zuhaida, 2)Sri Haryani, 3)Endang Susilaningsih e-mail: anggunchemist@gmail.com

1

Mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA, Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. 2,3

Dosen Program Studi Pendidikan IPA, Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. Abstrak

Proses pembelajaran merupakan suatu sistem yang memiliki beberapa komponen diantaranya adalah tujuan, materi, media, metode dan evaluasi. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap sistem pembelajaran tersebut adalah guru. Kompetensi profesional seorang calon guru agar dapat menguasai konsep pembelajaran secara luas dan mendalam dapat dikembangkan dengan mengetahui kemampuan metakognisi dari seorang calon guru. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu asesmen metakognisi bagi para mahasiswa calon guru kimia melalui pembelajaran berbasis masalah. Subjek uji coba dalam penelitian ini adalah 31 mahasiswa sebuah PTN di Semarang menggunakan rancangan one group pretest-posttest design. Asesmen yang dikembangkan disusun berdasarkan indikator metakognisi meliputi asesmen tes essay, asesmen kinerja, asesmen sikap dan asesmen diri. Hasil penelitian pada tes uraian menunjukkan adanya kenaikan kemampuan metakognisi secara umum dengan pengujian N-gain sebesar 0.5 (kategori sedang), hasil observasi kinerja pada saat praktikum dan observasi sikap dalam diskusi dan presentasi menunjukkan penilaian yang positif dengan level ―baik dan sangat baik‖, sedangkan hasil angket penilaian diri menunjukkan hasil yang meningkat dengan N-gain sebesar 0.45 (kategori sedang). Secara keseluruhan melalui suatu pembelajaran berbasis masalah, mahasiswa calon guru kimia mengalami kenaikan keterampilan metakognisi yaitu pada keterampilan ―evaluasi‖.

Kata kunci: Asesmen, Metakognisi, Pembelajaran Berbasis Masalah PENDAHULUAN

Proses pembelajaran merupakan suatu sistem yang memiliki beberapa komponen diantaranya adalah tujuan, materi, media, metode dan evaluasi. Dengan demikian, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap sistem pembelajaran tersebut, diantaranya adalah guru, siswa, sarana dan prasarana dan sebagainya. Salah satu faktor yang dianggap sangat mempengaruhi sistem pembelajaran adalah faktor guru. Hal ini dikarenakan, guru merupakan ujung tombak yang berhubungan langsung dengan peserta didik sebagai subjek dan objek belajar (Sanjaya, 2009:50).

Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,

dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditetapkan untuk melaksanakan amanat UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyatakan

kompetensi professional merupakan komponen yang harus dimiliki oleh seorang guru untuk dapat menyampaikan materi kepada peserta didik dengan baik. Kompetensi profesional seorang guru adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam.

Kompetensi profesional seorang calon guru agar dapat menguasai konsep pembelajaran secara luas dan mendalam dapat dikembangkan dengan mengetahui kemampuan metakognisi dari seorang calon guru. Haryani (2011:9) menyebutkan bahwa peningkatan penguasaan konsep diikuti dengan peningkatan metakognisi, dan sebaliknya, peningkatan metakognisi diikuti dengan peningkatan penguasaan konsep. Metakognisi juga memiliki peran penting untuk membantu calon guru dalam mengelola pembelajarannya kelak dan mengembangkan lingkungan belajar yang kondusif.

Pengembangan metakognisi penting dilakukan, karena metakognisi adalah kunci dalam pencapaian pemahaman kimia agar lebih bermakna dan lebih tahan lama. Calon guru, diharuskan untuk dapat melatih metakognisinya agar dapat mengelola pembelajarannya kelak


(6)

(Cooper, 2009:240). Metakognisi calon guru yang berkembang dapat diukur dengan menggunakan suatu alat ukur berupa suatu asesmen. Asesmen merupakan suatu bagian yang terintegrasi dengan perencanaan dan proses pelaksanaan pembelajaran. Mueller (2005) menjelaskan bahwa berbagai metode asesmen harus mampu mengukur semua aspek yang peserta didik ketahui dan peserta didik lakukan. Asesmen harus mampu mengukur tingkat pengetahuan peserta didik dalam mengaplikasikan ilmunya secara efektif dan kreatif, selanjutnya berbagai hasil asesmen dianalisis untuk menentukan penilaian bagi peserta didik. Asesmen juga diharapkan dapat menstimulasi peserta didik untuk melakukan kegiatan dalam rangka meningkatkan kemampuan individual dengan mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.

Penggunaan asesmen metakognisi dengan tujuan untuk mengukur metakognisi yang berkembang pada calon guru. Pengembangan metakognisi dapat dilakukan dengan pengorganisasian lingkungan belajar dan kemampuan dalam pemecahan masalah. Dikemukakan oleh Haryani (2011:144) bahwa melalui model praktikum kimia analisis instrumen berbasis masalah dapat dijadikan sebagai pendekatan alternatif untuk dapat meningkatkan metakognisi bagi calon guru kimia. Hmelo dalam Downing (2010:77) menyatakan pembelajaran berbasis masalah pada dasarnya memerlukan cara yang berbeda dalam menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah, dan melibatkan proses metakognitif. Pembelajaran berbasis masalah merupakan cara belajar yang mendorong pemahaman lebih dalam dari suatu materi, dan juga merupakan pembelajaran berorientasi masalah di mana peserta didik tidak hanya mendapatkan pengetahuan dasar, tetapi juga dapat mengalami bagaimana menggunakan pengetahuan mereka untuk memecahkan masalah dalam dunia nyata (Bilgin, 2009:154). Asesmen metakognisi melalui pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan tujuan untuk mengukur metakognisi calon guru kimia. Target utama dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester 4 (angkatan 2011) pada PTN di Semarang yang mempunyai kemampuan heterogen. Mahasiswa calon guru yang pada hakikatnya nanti diharapkan dapat menjadi seorang guru yang memenuhi kompetensi guru

sehingga dapat mentransfer ilmu yang dimiliki dengan baik.

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun asesmen metakognisi melalui pembelajaran berbasis masalah pada perkuliahan Kimia Organik II (materi ajar Benzena) bagi calon guru kimia. Harapan dari penelitian ini adalah dapat memberikan kontribusi dalam mengetahui kemampuan metakognisi calon guru kimia dan dapat meningkatkan kualitas lulusan calon guru kimia yang dapat dengan baik mengorganisir pembelajarannya kelak.

METODE PENELITIAN

Metode pre experimental dengan one group pretest-posttest design digunakan dalam penelitian ini, dan perbedaan antara tes awal dan tes akhir diasumsikan sebagai efek perlakuan. Penelitian dilakukan di Program Studi Tadris Kimia Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Walisongo Semarang, dengan subyek penelitian 31 orang mahasiswa.

Data yang diperoleh terdiri atas data kualitatif yaitu berupa hasil asesmen kinerja dan sikap (lembar observasi) dan asesmen diri (angket), serta data kuantitatif berupa hasil tes uraian. Hasil tes uraian dan angket dianalisis menggunakan N-gain, sedangkan data kualitatif dianalisis secara deskriptif persentase. Pengukuran metakognisi dilakukan dengan menggunakan asesmen tes essay, kinerja, sikap dan diri yang mengandung indikator-indikator metakognisi yang dikembangkan dari tipe-tipe Metakognisi Schraw dan Dennison (1994:472-474) yang meliputi beberapa keterampilan metakognisi: (a) pengetahuan deklaratif, (b) pengetahuan prosedural, (c) pengetahuan kondisional, (d) planning, (e) manajemen informasi, (f) monitoring, (g) debugging dan (h) evaluasi.

HASIL DAN DISKUSI

Pembelajaran kimia organik berbasis masalah pada penelitian ini dirancang untuk meningkatkan metakognisi dan keterampilan pemecahan masalah mahasiswa calon guru pada materi benzena. Masalah yang harus diselesaikan mahasiswa melalui diskusi dan praktikum dapat berasal dari dosen, namun juga dapat berasal dari mahasiswa setelah dikonsultasikan dengan dosen. Dari masalah yang diberikan dosen serta masalah yang berasal dari mahasiswa, selanjutnya secara berkelompok mahasiswa menentukan masalah open ended sebagai berikut: (1) penggunaan asam benzoat


(7)

pada makanan, (2) penggunaan fenol sebagai desinfektan (3) penggunaan pewarna diazo sebagai pewarna tekstil (4) penggunaan sakarin sebagai pemanis buatan, (5) penggunaan DDT sebagai pestisida, dan (6) penggunaan natrium alkil benzena sulfonat sebagai detergen.

Gambar 1. Hasil Analisis Perubahan

Ketercapaian Indikator Metakognisi Peserta Didik

*Ket. IT: indikator tercapai, SBIT: sebagian besar indikator tercapai, SKIT: sebagian kecil indikator tercapai, TMI: tidak mencapai indikator

Gambar 1 menunjukkan hasil ketercapaian indikator metakognisi melalui tes essay pada pra dan pasca pembelajaran, dapat diketahui bahwa porsi TMI pada pasca pembelajaran jauh lebih sedikit dibandingkan pra pembelajaran. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kemampuan yang signifikan dari peserta didik. Pada pra pembelajaran kategori yang muncul hanya TMI dan SKIT, sedangkan pada pasca pembelajaran sudah mulai muncul kategori SBIT dan IT. Hasil tersebut menunjukkan dengan penggunaan asesmen metakognisi melalui pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan metakognisi peserta didik.

Hasil dari pretest yang diperoleh menunjukkan rerata sebesar 21,2 dan data terdistribusi normal. Sedangkan hasil posttest, rerata yang didapatkan sebesar 75,8 dan data juga terdistribusi normal. Berdasarkan rerata pretest dan posttest menunjukkan kenaikan sebesar 54,6 sehingga diperoleh N-gain sebesar 0,5 yang termasuk dalam kategori sedang. Indikator metakognisi yang paling tinggi diperoleh pada indikator menyusun dan menginterpretasikan data atau pernyataan yang ada, indikator tersebut merupakan salah satu indikator yang terdapat pada keterampilan metakognisi: Evaluasi.

Gambar 2: Hasil Analisis Asesmen Kinerja Mahasiswa dalam Praktikum

*Ket. SB: sangat baik, B: baik, CB: cukup baik, KB: kurang baik

Gambar 2 menjelaskan bahwa hasil kinerja mahasiswa pada praktikum pembuatan aspirin menunjukkan hasil yang sangat baik diperoleh 5 mahasiswa, baik 23 mahasiswa dan cukup baik 3 mahasiswa. Sedangkan pada praktikum KLT: nitrasi fenol menunjukkan hasil yang sangat baik diperoleh 2 mahasiswa, baik 23 mahasiswa dan cukup baik 6 mahasiswa. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pencapaian kinerja pada praktikum aspirin lebih tinggi, hal ini dikarenakan pada praktikum aspirin tidak diperlukan keterampilan khusus untuk penggunaan instrumen alat tertentu seperti pada praktikum Kromatografi lapis tipis. Hasil kinerja dari pelaksanaan kedua praktikum menunjukkan ketercapaian yang baik secara umum dengan ditunjukkannya tidak ada mahasiswa yang masuk dalam kategori kurang baik. Hal tersebut disebabkan karena pada saat sebelum pelaksanaan praktikum mahasiswa diberikan kesempatan untuk diskusi dan memecahkan permasalahan yang kira-kira akan mereka hadapi saat praktikum. Sehingga pada saat pelaksanaan praktikum mahasiswa lebih mudah untuk melakukannya.

Indikator metakognisi yang paling tinggi pada asesmen kinerja adalah pada indikator mengetahui apa yang dibutuhkan untuk belajar dengan baik. Indikator tersebut masuk dalam keterampilan metakognisi: planning.

30

4 1

7 0

9 0

11

0 5 10 15 20 25 30 35

pra pembelajaran pasca pembelajaran IT

SBIT

SKIT

TMI

6 3

23

23

2 5

0 5 10 15 20 25 30 35

KLT Aspirin

SB

B

CB


(8)

Gambar 3. Hasil Asesmen Sikap dalam Diskusi dan Presentasi Pemecahan Masalah

Gambar 3 menunjukkan bahwa pencapaian mahasiswa terhadap penggunaan asesmen sikap dalam diskusi menunjukkan baik secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh pencapaian mahasiswa yang hanya pada kategori sangat baik (5 mahasiswa), baik (16 mahasiswa) dan cukup baik (10 mahasiswa). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada saat pelaksanaan diskusi dan pemecahan masalah mahasiswa cenderung antusias untuk mengikuti dan memiliki keinginan yang besar untuk dapat mengetahui apa yang disampaikan oleh teman-temannya.

Indikator metakognisi yang paling tinggi adalah pada indikator: memahami tujuan belajar, menyusun dan menginterpretasikan data atau pertanyaan yang ada. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa sudah memiliki keterampilan metakognitif berupa pengetahuan deklaratif untuk memahami tujuan belajar sehingga menjadikan mahasiswa dapat memahami tujuan belajarnya dan dapat mengevaluasinya dengan menginterpretasikan data yang ada.

Gambar 4. Hasil Angket Penilaian Diri: Pra Pasca Pembelajaran

Gambar 5: Hasil Angket Penilaian Diri: Pra Pasca Praktikum

Berdasarkan Gambar 4 dan 5 menunjukkan perubahan ke arah yang positif pada perubahan kemampuan metakognisi mahasiswa pada saat perkuliahan maupun praktikum. Selain itu, perubahan ke arah positif juga dapat dilihat dari hasil N-gain angket penilaian diri saat pembelajaran sebesar 0,29 (rendah) dan 0,45 (sedang) pada saat praktikum. Meskipun gain pada angket perkuliahan merupakan kategori rendah, tetapi dari hasil pencapaian menunjukkan ke arah positif dengan meningkatnya jumlah kategori sangat baik dan menurunnya kategori kurang baik. Pada angket penilaian diri saat praktikum menunjukkan harga gain yang lebih tinggi jika dibandingkan gain pada saat perkuliahan, hal ini dikarenakan siswa lebih tertarik dengan pemecahan masalah melalui kegiatan praktikum dibandingkan dengan pemecahan masalah hanya melalui diskusi dan presentasi di dalam kelas.

Indikator metakognisi yang paling tinggi pada asesmen diri melalui perkuliahan adalah merencanakan beberapa strategi untuk memecahkan masalah (keterampilan metakognisi: planning), memecahkan permasalahan yang dihadapi dengan baik (keterampilan metakognisi: evaluasi) dan mengembangkan strategi belajar yang berbeda bergantung pada situasi (keterampilan metakognisi: pengetahuan prosedural). Sedangkan asesmen diri pada saat praktikum menunjukkan kenaikan indikator metakognisi yang paling tinggi adalah: mengetahui tingkat kemampuan yang telah dimiliki dan membuat ringkasan tentang apa yang telah dipelajari (keterampilan metakognisi: evaluasi), serta menghubungkan informasi yang didapat dengan teori yang ada (keterampilan metakognisi: manajemen informasi).

5

16

10

0 5 10 15 20

SB B CB KB

jumlah peserta didik

4 2

9 10

15

11 3

8

0 10 20 30 40

Pra praktikum Pasca praktikum

sangat baik

baik

cukup

kurang

6 5

8 6

14

13

3 7

0 5 10 15 20 25 30 35

Pra pembelajaran

Pasca Pembelajaran

sangat baik

baik

cukup


(9)

SIMPULAN

Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, asesmen metakognisi yang dikembangkan berdasarkan indikator-indikator metakognisi melalui pembelajaran berbasis masalah meliputi asesmen tes essay, kinerja, sikap dan diri dengan menggunakan instrumen tes (soal uraian) serta non tes (lembar observasi dan angket). Kedua, hasil penggunaan asesmen metakognisi pada instrumen tes berupa soal uraian menghasilkan gain 0,5 (kategori sedang), asesmen kinerja dan sikap dengan menggunakan lembar observasi secara umum menunjukkan hasil positif dengan level ―baik dan sangat baik‖ serta asesmen diri menghasilkan gain pada pelaksanaan perkuliahan 0,29 (rendah) dan pada praktikum 0,45 (sedang). Terakhir, keterampilan metakognisi secara umum meningkat pada indikator keterampilan planning dan evaluasi. Daftar Pustaka

Bilgin, Ibrahim, Erdal Senocak, Mustafa Sozbilir. The Effects of Problem-Based Active Learning in Science Education on Students’ Academic Achievement, Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 5: 153-164, (2009)

Cooper. Design and Validation of an Instrument To Assess Metacognitive Skillfulness in Chemistry Problem Solving. Journal of Chemical Education, 86: 240-245, (2009)

Downing, Kevin. Problem-Based Learning and Metacognition. Asian Journal Education & Learning, 1: 75-96, (2010)

Haryani, Sri. Pengembangan Model Praktikum Analitik Instrumen Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Metakognisi Mahasiswa Calon Guru. UPI, Bandung, (2011)

Mueller, J. The Authentic Assessment Toolbox: Enhancing Student Learning Through Online Faculty Development. North Central College, 1: 1-7, (2005)

Schraw, Dennison. Assesmen Metacognitive Awareness. Department of Educational Psychology. University of Nebraska, Lincoln, (1994)


(10)

KOMPETENSI PENGAWAS DALAM SUPERVISI AKADEMIK PADA SMP DI KOTA SEMARANG

Eny Winaryati

Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS) Jl. Kedungmundu Raya No. 18 Semarang.

Email: enie.weye@gmail.com ABSTRAK

Ada dua hal yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah, yaitu: kualifikasi dan kompetensi. Kompetensi yang harus dimiliki meliputi enam yaitu: kompetensi kepribadian, supervisi manajerial, supervisi akademik, evaluasi pendidikan, penelitian dan pengembangan, dan kompetensi sosial. Tanggung jawab pengawas sekolah adalah meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar/bimbingan dan hasil prestasi belajar/bimbingan siswa dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Terlebih di era globalisasi ini, tuntutan tanggung jawab seorang pengawas sekolah menjadi semakin berat. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: mengetahui gambaran pengawas dalam supervisi akademik pada SMP di kota Semarang.

Hasil penelitian diperoleh beberapa temuan penilaian terhadap kompetensi pengawas sekolah dalam supervisi akademik yaitu terkait dengan: (1) pembimbingan kepala sekolah pada tiap mata pelajara dari rumpun mta pelajaran yang relevan; (2) berkenaan dengan tugasnya untuk membimbig guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran berdasarkan pengembangan KTSP; (3) pembimbingan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan. Berdasarkan beberapa temuan diatas, perlu dicari solusinya, agar hubungan antara supervisor dan supervisee dapat berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan, melalui penilaian multirater (berdasarkan teori 360 degree feedback). Harapannya agar pengawas sekolah mengetahui kekurangan dan adanya perbaikan di masa depan. Kata Kunci: pengawas, supervisi, semarang

PENDAHULUAN

Berdasarkan permendiknas no. 12 tahun 2007, tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah. Ada dua hal yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah, yaitu: kualifikasi dan kompetensi. Kompetensi yang harus dimiliki meliputi enam yaitu: kompetensi kepribadian, supervisi manajerial, supervisi akademik, evaluasi pendidikan, penelitian dan pengembangan, dan kompetensi sosial. Kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan diatas dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah.

Berkenaan dengan kompetensi supervisi akademik, seorang pengawas harus memiliki kemampuan untuk membina, mengarahkan, membimbing guru agar dapat mengelola kelas dengan professional, mendidik siswanya agar berakhlak mulia, memiliki kreativitas dan inovasi dalam proses pembelajaran, dapat mengkreasi pembelajaran menjadi bermakna.

Gurulah yang sering berhadapan dengan siswa. Menjadi hal yang sangat mungkin, jikan

guru menjadi panutan dan idola bagi muridnya. Guru tidak hanya dituntut pengajaran saja, tetapi juga pendidikan. Tuntutan guru yang professional dan berdedikasi menjadi suatu keharusan dan kunci keberhasilan siswanya. Guru memiliki posisi yang sangat penting dan menetukan. Guru merupakan garda terdepan dalam keterlaksanaan proses pemelajaran di sekolah. Guru merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas kualitas dan kebermaknaan proses pemelajaran di dalam kelas. Guru adalah pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik (UU no 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen).

Hal diatas sejalan dengan keputusan Menpan No. 118 tahun 1996 menyatakan bahwa pengawas sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan kepengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang telah ditunjuk/ditetapkan. Tanggung jawab pengawas sekolah adalah meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar/bimbingan dan hasil prestasi


(11)

belajar/bimbingan siswa dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Terlebih di era globalisasi ini, tuntutan tanggung jawab seorang pengawas sekolah menjadi semakin berat.

Persoalan yang terkait tentang pengawas sekolah adalah, pengawas sekolah sering dijadikan masa tunggu untuk memperpanjang masa pensiun. Hal ini sudah bukan rahasia di sunia pendidikan kita. Kemampuan pengawas yang belum atau tidak memadai, terutama untuk mendorong guru agar dapat mengkreasi pembelajaran yang bermakna dengan berbagai strategi pembelajaran, lebih banyak tidak tergarap. Pembelajaran kontekstual yang menjadi keharusan dewasa ini, menjadi tanggung jawab yang harus dipikirkan oleh guru dengan segala keterbatasannya. Terlebih dengan lemahnya monitoring, dan evaluasi yang dilakukan oleh pengawas, maka unsur pembinaan dan motivasi pada guru menjadi rendah. Hal ini diperkuat dengan banyaknya sekolah yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga pengawas sekolah kurang mengetahui secara nyata situasi pembelajaran di kelas. Sementara itu pengawas BP dan pengawas mata pelajaran/rumpun mata pelajaran belum dapat dilaksanakan secara merata pada hampir setiap sekolah. Realisasi pengawas mata pelajaran serumpun membutuhkan jumlah pengawas yang lebih banyak. Pelaksanaannya diserahkan oleh masing-masing daerah. Sudah barang tentu tergantung kebijakan kepala daerah setempat.

Rumusan masalahnya adalah bagaimana gambaran kompetensi pengawas dalam supervisi akademik pada SMP di kota Semarang?. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: mengetahui gambaran kompetensi pengawas dalam supervisi akademik pada SMP di kota Semarang.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantittaif dalam bidang pendidikan. Penelitian dilakukan di wilayah kota Semarang. Subyek penelitian adalah SMP di Kota Semarang, yang terdiri dari : 1) Kepala Sekolah SMP di Kota Semarang; 2) Guru IPA SMP di Kota Semarang. Dalam rangka mengumpulkan data, dilakukan pengukuran dengan menggunakan Instrumen atau alat ukur. Instrumen/alat ukur variabel penelitian ini adalah nontes, meliputi: a) Instrumen penilaian oleh kepala sekolah terhadap kompetensi pengawas sekolah; b)

Instrumen penilaian guru IPA terhadap kompetensi pengawas sekolah. Pengukuran dengan menggunakan skala likert 1-5 (sangat setuju- Sangat Tidak setuju).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penilaian kompetensi pengawas sekolah SMP kaitannya dalam supervisi akademik di wilayah kota Semarang, dalam penelitian ini dilakukan oleh kepala sekolah dan guru IPA. Hal ini dimaksudkan bagaimana supervisee menerima atau menanggapi supervisi yang dilakukannya selama ini. Penilaian ini didasarkan pada dimensi-dimensi, yang dirinci dalam beberapa indikator.

1. Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.

2. Memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik dan kecenderungan

perkembangan proses

pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis. 3. Membimbing guru dalam menyusun silabus

tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis berlandaskan standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP.

4. Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan yang dapat mengembangkan berbagai potensi siswa melalui mata-mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.

5. Membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.

6. Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pela-jaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di seko-lah menengah yang sejenis.

7. Membimbing guru dalam mengelola,

merawat, mengembangkan dan

menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran


(12)

dalam rumpun mata pelajaran yang relevandi sekolah menengah yang sejenis.

8. Memotivasi guru untuk memanfaatkan

teknologi informasi dalam

pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaan yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.

Pembahasan dalam penelitian ini dibagi dua: 1) penilaian dari kepala sekolah; 2) penilaian dari guru IPA SMP. Pembahasan didasarkan dari totalitas nilai pada tiap dimensi. Harapannya akan diperoleh gambaran dari tiap dimensi tentang kompetensi pengawas sekolah dalam supervisi akademik. Berdasarkan dimensi diatas ada beberapa kalimat kunci berkenaan dengan kompetensi kepala sekolah yakni: 1) Membimbing berkenaan dengan perkembangan tiap mata pelajaran; 2) Melakukan pembimbingan tiap mata pelajaran; 3) Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran berdasarkan prinsip KTSP; 4) Membimbing dalam penggunaan strategi pembelajaran; 5) membimbing menyusun RPP; 5) Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran; 6) Membimbing guru dalam pemanfaatan media pembelajaran;7) Memotivasi guru dalam pemanfaatan TI.

Pengawas dapat memperkaya kemampuannya di lapangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan, seperti mengajar, administrasi, dan fungsi dukungan emosional. Pengawas diperlukan adalah untuk menyediakan bimbingan. Fungsi dukungan emosional dari pengawas diperlukan, terutama ketika yang di-supervisee sedang mengalami problem lingkungan dalam dirinya, dan hubungan diantara mereka. Bila pengawasan dapat member dukungan rasa aman, mereka menjadi tidak ragu. Ketidakamanan, kekhawatiran tentang kesalahan, atau kecemasan yang dialami menjadi hilang. Pengawas harus menggunakan kesempatan, terutama untuk mendengarkan, memberikan perspektif dan klarifikasi teori dan praktek.

Attachment Theory, menjelaskan bahwa dalam hubungan sosial, pengawasan perilaku manusia dipengaruhi banyak faktor sebelumnya. Perhatian terhadap perilaku, mengarah pada pola kedekatan/hubungan sehingga dapat menawarkan lensa baru untuk pengawasan dan dapat memenuhi tujuan sebagai berikut: 1) dapat memberikan lensa untuk mengenali dan menilai kebaikan antara yang di supervisee dengan supervisor dalam hal pola relasional dan

aliansi-kerja; 2) dapat meningkatkan kemampuan bidang pengawasan, melalui eksplorasi kebutuhan daripada dukungan kebutuhan; 3) dapat meningkatkan pemahaman tentang bagaimana proses pembelajaran itu dilakukan, agar tidak terhambat oleh masalah relasional; 4) dapat meningkatkan keterampilan mediasi problem pengawasan di lapangan; 5) dapat memperkuat peran awal pada kantor bidang pendidikan melalui pendalaman pemahaman tentang masalah relasional yang serius pada clien.

Attachment Theory dapat meningkatkan sebuah pemahaman tentang hubungan pengawasan, melalui model internalisasi kedekatan kepengawasan yang dipengaruhi oleh gaya relasional mereka. Harapannya adalah terjalinnya hubungan yang aman, akan ditemukan lingkungan yang aman untuk belajar, memfasilitasi mereka untuk mengeksplorasi dan pertumbuhan profesionalnya. (Susanne Bennett, Loretta Vitale Saks, 2006).

a. Penilaian Kepala Sekolah terhadap Pengawas Sekolah tentang Supervisi.

Responden dalam penelitian ini adalah guru, dan kepala sekolah. Total sampel adalah 41 SMP, 14 SMP Negeri, dan 27 SMP swasta. Jika didasarkan dari jumlah sekolah yang ada, seharusnya perbandingannya adalah 1 SMP Negeri : 3 SMP Swasta. Namun dalam penelitian ini perbandingan yang digunakan adalah 1 SMP Negeri : 2 SMP Swasta. Hal ini didasarkan dengan alasan, karena banyak SMP swasta yang memiliki jumlah murid sangat sedikit, sehingga kualifaksinya kurang memenuhi. Ada beberapa sekolah SMP yang bisa dikatakan ―mati segan hidup tak mau‖. Responden dipilih dari masing-masing sub rayon sebanyak lima sekolah. Responden menilai koompetensi kepala sekolah terkait dengan kapasitasnya sebagai supervisi akademik yang dilakukannya. Hasil penilaian tertera pada tabel ddan gambar beikut ini.

Tabel 2. Rata-rata penilaian kepala sekolah tentang supervisi pengawas sekolah Nomor Dimensi Jmh

Indikator

Nilai rata-rata

1 1 3 indikator 4,34

2 2 2 indikator 4,02

3 3 2 indikator 3,98

4 4 3 indikator 4,15


(13)

6 6 2 indikator 3,89

7 7 3 indikator 4,08

8 8 2 indikator 4,38

Skor total 32,91

Rata-rata nilai 4,11

Gambar 1. Grafik Rata-rata penilaian kepala sekolah tentang supervisi yang dilakukan oleh pengawas sekolah Penilaian terendah pada dimensi 2,3, dan 6. Item nomor 2 tentang kompetensi pengawas sekolah dalam melakukan pembimbingan pada tiap mata pelajaran dari rumpun mata pelajaran yang relevan. Item nomor 3 tentang kompetensi pengawas sekolah berkenaan dengan tugasnya untuk membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran berdasarkan pengembangan KTSP. Item nomor 6 tentang komptensi pengawas untuk melakukan pembimbingan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan.

Nilai paling rendah terdapat pada item nomor 6. Padahal kegiatan ini sangat penting untuk mengarahkan dan membimbing guru dalam pembelajaran. Terlebih dalam pembelajaran IPA guru dintuntut untuk mendayagunakan fungsi laboratorium sebagai bagian central kegiatan pembelajaran. Karena dari laboratoriumlah para ilmuan bekerja untuk mendapatan temuan-temuan.

Pengalaman laboratorium harus menjadi bagian integral dari pembelajaran sains. The American Chemical Society ( ACS) merekomendasikan bahwa sekitar 30% waktu instruksional harus dikhususkan untuk pekerjaan laboratorium. The American Association for the Advancement of Science (AAAS) menyatakan "Belajar ilmu pengetahuan secara efektif

memerlukan langsung keterlibatan dengan fenomena dan banyak diskusi tentang bagaimana menafsirkan pengamatan. Baik NSTA dan the National Research Council’ (NRC) percaya bahwa laboratorium yang berkualitas adalah yang menyediakan bagi siswanya pengalaman dengan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan fenomena alam dan dengan data yang dikumpulkan oleh orang lain. Sesuai dengan tahapan perkembangan

laboratorium pengalaman yang

mengintegrasikan laboratorium, kuliah, diskusi, dan membaca tentang ilmu pengetahuan sangat penting bagi siswa dari segala usia dan tingkat kemampuannya (Froschauer, 2007, hal 2).

Jika pembimbingan dari pengawas kepada guru masih ditemukan adanya masalah, hal ini dapat menurunkan kualitas guru dalam pembelajaran. Harapannya adalah hubungan antara pengawas dan yang diawasi terjalin dalam suasana yang menyenangkan, sehingga dapat berdampak pada keberhasilan belajar siswa. Linda S Moore, Alan J Dettlaff & Tracy J Dietz (2004), menyampaikan dalam penelitiannya bahwa pembelajaran tidak akan terjadi jika ada factor yang menghambat hubungan pengawasan. Sementara pertumbuhan literatur terfokus pada pentingnya pengawasan perilaku dan keterampilan dalam pengawasan lapangan. Penelitian menunjukkan bahwa kualitas hubungan antara supervisor dan supervisee merupakan faktor utama dalam hal keberhasilan di lapangan.

Hubungan positif di atas memiliki pengaruh kuat terhadap kinerja daripada kemampuan. Menggunakan Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) untuk memeriksa hubungan antara tipe kepribadian dan beberapa variable. Handley (1982) menemukan korelasi yang signifikan antara supervisor pelatihan dan kepuasan peserta latihan dalam pengawasan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa mengenali perbedaan di awal proses pengawasan dapat meningkatkan kepuasan dan menghindari potensi masalah dalam hubungan pengawasan. Literatur menunjukkan bahwa siswa yang memiliki pengalaman lapangan positif lebih memungkinkan untuk mencapai tujuan belajar mereka dengan layanan yang efektif. Kepuasan pengalaman lapangan lebih memungkinkan meningkatkan pembelajaran, meningkatkan motivasi, dan meningkatkan keterlibatan siswa dalam pengalaman lapangan. 3,60

3,80 4,00 4,20 4,40

1 2 3 4 5 6 7 8

Penilaian Kepala Sekolah terhadap Supervisi Pengawas Sekolah


(14)

b. Penilaian Guru terhadap Pengawas Sekolah tentang Supervisi

Marion Bogo; Judith Globemian; Tamara Sussman, (2004) menyampaikan bahwa supervisi kelompok dalam pekerjaan sosial dan konseling memberikan penegasan pentingnya mengembangkan dan mempertahankan iklim kelompok yang produktif dan proses di mana siswa menampilan jati diri mereka sehingga saling melengkapi dan interaktif dalam mengejar tujuan belajar. Di bidang pendidikan medis kelompok belajar berbasis masalah semakin digunakan, belajar melalui dinamika kelompok pada siswa baru-baru ini memperoleh perhatian. Studi yang secara khusus menangani persepsi mahasiswa dalam kelompok ditemukan bahwa nilai siswa kelompok belajar dan memiliki tujuan yang jelas, komunikasi antara siswa terbuka, dan fasilitator yang fleksibel untuk melakukan umpan balik pada kelompok.

Hasil temuan di atas bila di aplikasikan pada peran pengawas dalam supervisi pembelajaran menjadi sangat penting. Bagaimana agar tercipta iklim kelompok yang kondusif bagi guru untuk mengembangkan potensinya. Penilaian guru IPA SMP di kota Semarang tentang kompetensi pengawas sekolah diperlihatkan pada tabel dan gambar berikut ini.

Tabel 2. Rata-rata penilaian kepala sekolah tentang supervisi yang dilakukan oleh pengawas sekolah

Nomor Dimensi Jmh Indikator

Nilai rata-rata

1 1 3 indikator 4,04

2 2 2 indikator 3,73

3 3 2 indikator 4,1

4 4 3 indikator 4,15

5 5 1 indikator 4,02

6 6 2 indikator 3,76

7 7 3 indikator 4,1

8 8 2 indikator 4,32

Skor total 32,22

Rata-rata nilai 4,0275

Gambar 2. Grafik Rata-rata penilaian guru tentang supervisi yang dilakukan oleh pengawas sekolah

Dari gambar diatas terlihat bahwa penilaian terendah pada dimensi 2 dan 6. Item nomor 2 tentang kompetensi pengawas sekolah dalam melakukan pembimbingan pada tiap mata pelajara dari rumpun mata pelajaran yang relevan. Item nomor 6 tentang komptensi pengawas untuk melakukan pembimbingan

dalam melaksanakan kegiatan

pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan. Ke-2 item ini skornya sanagat mencolok bila dibandingkan dengan item yang lainnya. Bila proses pembimbingan dari pengawas sekolah kepada guru masih dirasa ada hambatan, maka ini akan berpengaruh terhadapkualitas pembelajaran dan akan berdampak lebih lanjut pada kualitas belajar siswanya.

Konsep pembelajaran dewasa ini adalah CBSA (cara Belajar Siswa Aktif) sehingga konsep belajar yang dapat mendorong siswa berprikir kritis menjadi bagian yang tidak boleh ditinggalkan. Todd Campbell, Chad Bohn (2008) menyampaiakn tentang empat prinsip yang mendukung lingkungan belajar yang efektif. Keempat prinsip tersebut adalah:

1) Pembelajaran berpusat pada siswa, seberapa pengetahuan awal siswa sebelum siswa masuk kels.

2) Pengetahuan berpusat lingkungan: lingkungan yang membantu siswa belajar dengan pemahaman melalui terlibat dengan ide-ide ilmiah dalam menelaah suatu ilmu.

3) Penilaian untuk mendukung pembelajaran: penilaian yang digunakan untuk mendukung pembelajaran melalui umpan balik melalui penilaian formatif.

4) Berpusat lingkungan

masyarakat: lingkungan yang ditandai oleh kesempatan dan motivasi untuk 3

3,5 4 4,5

1 2 3 4 5 6 7 8

Penilaian Guru terhadap Supervisi Pengawas Sekolah


(15)

berinteraksi dan mendengar rekan-rekan. Dalam penelitian ini ketika mempertimbangkan pembelajar berpusat lingkungan, Desain Pelajaran dan Implementasi sehingga ada keuntungan dimasa depan. Ejauh mana

siswa terlibat untuk

mengkomunikasikan ide-ide mereka kepada orang lain.

Hubungan supervisor dan supervisee sangat berperan dalam keberhasilan pembelajaran. Kekurang efektifnya hubungan ini akan berpengaruh pada kualitas pendidikan kita. Linda S Moore; Alan J Dettlaff; Tracy J Dietz (2004) menyampaikan dalam penelitian bahwa kualitas hubungan antara instruktur lapangan dan mahasiswa merupakan faktor utama dalam hal keberhasilan siswa di lapangan. Lazar dan Mosek (1993) menemukan bahwa hubungan positif antara instruktur lapangan dan mahasiswa memiliki pengaruh kuat pada peringkat instruktur lapangan tersebut terhadap kinerja siswa daripada kemampuan siswa. Studi tambahan menunjukkan bahwa gaya pengawasan dan karakteristik memiliki efek signifikan pada siswa evaluasi pengalaman secara keseluruhan.

Berkenaan dengan masih adanya persoalan tentang kompetensi pengawas dalam pembimbingan dalam mata pelajaran dan pembimbingan di aboratorium, lapangan maupun kelas, maka adanya solusi untuk mengatasinya. Misalnya perlu adanya perubahan/revormasi tentang teknik dan strategi pendekatan pengawasan. Church, Allan H; Waclawski, Janine ( 1998), menyampaikan hasil penelitiannya bahwa pengukuran kinerja telah menjadi alat utama untuk mengukur aktivitas kerja dan mendokumentasikan perubahan perilaku untuk peningkatan kualitas total, pembelajaran organisasi, rekayasa ulang proses bisnis dan perampingan. Penilaian standar proses kinerja sebagai tolok ukur manajerial tradisional perlu dilakukan perubahan. Taylor menyampaikan gagasan pengukuran - terutama dari berbagai sumber dan perspektif - telah menjadi salah satu tanda-tanda vital organisasi modern dalam hal penilaian kinerja. Sebagian besar penekanan mengenai metode penilaian multirater didasarkan pada keyakinan sederhana dan perubahan lama organisasi, pelatihan dan pengembangan, dan profesional manajemen sumber daya manusia bahwa umpan balik ditingkatkan kesadaran diri dari individu yang

menerima itu. Sebuah diskusi tentang pendekatan multirater untuk pengukuran kinerja disajikan.

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan.

a.Berkenaan dengan jumlah variabel dan indikator:

1) Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP (3 indikator).

2) Memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP (2 indikator).

3) Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis berlandaskan standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP (2 indikator).

4) Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan yang dapat mengembangkan berbagai potensi siswa melalui mata-mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP (3 indikator)..

5) Membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP (1 indikator)..

6) Membimbing guru dalam

melaksanakan kegiatan

pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pela-jaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP (2 indikator).

7) Membimbing guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata


(16)

pelajaran yang relevan di SMP (3 indikator).

8) Memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaan yang relevan di sekolah menengah yang sejenis (2 indikator).

b. Nilai terendah dari penilaian terhadap kompetensi pengawas sekolah dalam supervisi akademik diperoleh temuan-temuan sebagai berikut:

1) Penilaian dari kepala sekolah terhadap pengawas sekolah pada:

 Dimensi nomor 2 berisi tentang kompetensi pengawas sekolah dalam melakukan pembimbingan pada tiap mata pelajara dari rumpun mta pelajaran yang relevan.

 Dimensi nomor 3, tentang kompetensi pengawas sekolah berkenaan dengan tugasnya untuk membimbig guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran berdasarkan pengembangan KTSP.

 Dimensi nomor 6 berisi tentang komptensi pengawas

untuk melakukan

pembimbingan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan 2) Penilaian dari guru IPA terhadap

pengawas sekolah pada:

 Dimensi 2 berisi: kompetensi pengawas sekolah dalam melakukan pembimbingan tiap mata pelajara dari rumpun mapel yang relevan.

 Dimensi nomor 6 berisi tentang komptensi pengawas

untuk melakukan

pembimbingan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas,laboratorium, dan atau di lapangan) untuk tiap mata

pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan 2. Saran

Dari beberapa temuan diatas, perlu dicari solusinya, agar hubungan antara supervisor dan supervisee dapat berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan, melalui penilaian multirater (berdasarkan teori 360 degree feedback). Harapannya agar pengawas sekolah mengetahui kekurangan dan adanya perbaikan di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Bafadal, (1992). Supervisi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Church, Allan H; Waclawski, Janine ( 1998) Making multirater feedback systems work. Quality Progress31. 4 (Apr 1998) 81-89.

Depdiknas. (2001). Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (Buku 1).Jakarta: Depdiknas.

---. (2002). Kurikulum berbasis kompetensi, kebijakan umum, pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Puskur Balitbangdiknas. ---.(2003). Undang-undang Nomor 20,

Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

---.(2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19, Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan.

---.(2007). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 13 , Tahun 2007, tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah.

---.(2007). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 12, Tahun 2007, tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.

---.(2007). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16, Tahun 2007, tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Ekosusilo, Madyo. (1998). Supervisi

pengajaran dalam latar budaya jawa. Sukoharjo: Univet Bantara Press.

Froschauer, L (2007). Testimony. Retrieved April 27, 2007, Web site:

http://democrats.science.house.gov/


(17)

research/08mar/froschauer_testimony. Pdf

Glatthorn, Allan A.(1990). Supervisory Leadeship: Introduction to Instructional Supervision. USA: HarperCollins Publishers.

Glickman, Carl. D. (1981). Developmental Supervision: Alternative Practice for Helping Teacherss Improve Instruction. Alexandria: ASCD Kimball Wills, John T Lovell (1975).

Supervision For Better Schools. New Jersey: Prentice-Hall.

Lazar,A., & Mosek, A. (1993). The influence of the field instructor-student relationship on evaluations of studends practice. The cllinical supervisor, 11(1),111-120. Marion Bogo; Judith Globemian; Tamara

Sussman, 2004. SPECIAL SECTION: FIELD EDUCÆfl0N IN SOCIAL WORK THE FIELD INSTRUCTOR AS GROUP WORKER: MANAGING TRUST AND COMPETITION IN GROUP SUPERVISION. Journal ofSocial Work Education: Winter; 40, 1; ProQuest Sociology pg. 13

Mardapi, Djemari. (2008). Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Jogjakarta: Mitra Cendekia

Mike Savoie, 2010. A Guidebook for Peer Evaluation. College of the Arts. Valdosta State University

Oliva, Peter. F. (1984). Supervison for Today’s School. 2nd Edition. New York: Longman.

Pidarta, Made. (2009). Supervisi Pendidikan Kontekstual. Jakarta. Rineka Cipta.

Sergiovanni, T.J. Ed. (1982). Supervision of Teaching. Alexandria: ASCD

Sahertian, Piet A. (2000). Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta

Susanne Bennett; Loretta Vitale Saks (2006). A CONCEPTUAL APPLICATION OF ATTACHMENT THEORY AND RESEARCH TO T. Journal ofSocial Work Education: 42, 3; ProQuest Sociology pg. 669


(18)

PEMBELAJARAN KIMIA MENGGUNAKAN PENDEKATAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT DITINJAU DARI KREATIVITAS DAN KEMAMPUAN

BERPIKIR KRITIS

Restiana Purwaningtyas, Ashadi)1, Suparmi)2

1,2

Pendidikan Sains Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret restiana.purwaningtyas@yahoo.com

The purposes of the research were to know the difference between student cognitive achievement who learnt chemistry learning achievement using Science Technology Society between student who had high and low creativity, between student who had high and low critical thinking and their interaction. The research used experimental method. The data was collected using test for cognitive achievement, creativity and critical thingking and questionnaire for student affective achievement. The data was analyzed using non-parametric Kruskal Wallis.

Based on the results of data analysis it can be concluded that: 1) there was difference in students’ cognitive achievement between student who had high and low creativity, 2) there was no difference in students’ cognitive achievement between student who had high and low critical thinking, 3) there was an interaction between STS with creativity toward student’s cognitive achievement, 4) there was no an interaction between STS with critical thinking toward students' cognitive achievement, 5) there was no interaction between creativity and critical thingking toward student’s cognitive achievement.

Keywords: Science Technology Society, Creativity, Critical Thinking, Acid Base, Student Cognitif Achievement.

PENDAHULUAN

Pendidikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, mulai dari lahir hingga mati. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 menyatakan ―pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara‖. Berdasarkan UU Sisdiknas tersebut bisa disimpulkan bahwa pendidikan merupakan semua kegiatan apa saja baik dilakukan secara sadar dari yang mula-mula tidak tahu menjadi tahu.

Sejalan dengan perkembangan sains, teknologi dan perubahan lingkungan, seharusnya pendidikan juga mengalami perkembangan, oleh karena itu kurikulum dalam pendidikan seharusnya juga mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan kondisi.Kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan dari tahun ke tahun berdasarkan evaluasi dan kondisi yang ada. Hingga saat ini kurikulum yang berlaku adalah kurikulum KTSP,

kurikulum ini merupakan evaluasi dari kurikulum KBK. Munif Chatib (2010:28) menyatakan ―keberadaan KTSP yang filosofisnya sekolah diharapakan mampu menyusun kurikulum dan silabusnya sendiri merupakan tahap awal untuk kemajuan pendidikan di Indonesia‖. Berlakunya kurikulum KTSP sejak tahun 2007 yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum KBK diharapkan mampu mengatasi kesurutan kreativitas guru karena kurikulum itu dibuat oleh sekolah, oleh para guru.

Dalam kurikulum yang

dikembangkan, sains dalam pembelajaran di Sekolah Menengah Atas mempunyai peran yang cukup tinggi dalam sehari-hari dan bagaimana proses aplikasi yang didapat dalam setiap materi yang telah diajarkan. Kimia mempunyai karakteristik bersifat abstrak pada sebagian materi, matematik, dan eksperimen, sarat dengan konsep, mulai dari konsep sederhana sampai dengan konsep yang lebih kompleks dan abstrak. Sehingga, sangat diperlukan sebuah pemahaman yang benar terhadap konsep dasar yang membangunnya. Banyaknya konsep kimia yang bersifat abstrak yang harus diserap siswa dalam waktu yang relatif terbatas dan kurang menariknya penyampaian materi


(19)

menyebabkan banyak siswa enggan untuk mempelajari kimia lebih dalam dan menjadikan mata pelajaran kimia hal ini bisa dilihat dari nilai ujian dan tes semester.

Dibawah ini disajikan nilai siswa kelas XI IPA semester 1 dan angket tingkat kesukaran mata pelajaran kimia kelas XI semester 2 SMA N 2 Sragen tahun 2010/2011.

Tabel 1.1. Nilai Semester 1 kelas XI Kimia SMA N 2 Sragen

Kelas Rerata KKM < KKM >KKM

IPA 1 71,32 72 55,88 44,12

IPA 2 71,61 72 30,5 69,6

IPA 3 71,57 72 72,72 27,27

IPA 4 73,76 72 29,4 60,6

IPA 5 72,705 72 44,12 55,88 Berdasarkan nilai pada tabel, bisa dilihat ternyata masih banyak siswa kelas XI IPA SMA Negeri 2 Sragen yang nilainya dibawah KKM, KKM rendah dimungkinkan karena siswa sudah tidak tertarik terlebih dahulu dengan kimia yang cenderung banyak hafalan dan sebagian bersifat abstrak, masih banyak siswa yang menganggap bahwa materi asam basa cukup sulit, siswa memang sudah mengetahui materi asam basa, akan tetapi contoh yang nyata dikehidpan belum mengetahuinya, sehingga banyak yang hanya menghafal dan tidak tersimpan di memori dalam jangka panjang, sehingga pembelajaran terutama materi asam basa sebagai konsep dari materi selanjutnya (hidrolisis dan penyangga) harus lebih inovatif agar siswa lebih bisa memahami dan yang paling penting tidak hanya memahami konsep tetapi juga mengetahui aplikasinya dalam teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat.

Penyebab rendahnya KKM disebabkan oleh beberapa faktor, baik dari faktor guru, siswa, dan faktor lain yang tidak bisa terkontrol. Dari faktor guru dimungkinkan belum menggunakan suatu alat bantu yang dapat diintegrasikan pada seluruh kegiatan belajar mengajar dan menuntut guru untuk lebih kreatif dalam pelaksanaan proses KBM sehingga pembelajaran masih konvensional, oleh karena itu berdasarkan kurikulum KTSP guru dituntut menggunakan pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Salah satu pembelajaran inovatif adalah Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat. Sebelum adanya pendekatan STM, pembelajaran sains dilaksanakan berdasarkan textbook approach

dimana pembelajaran difokuskan pada instruksi pada buku. Namun, pembelajaran menggunakan textbook approach tidak membantu memahamkan konsep dan kemampuan berfikir tingkat tinggi.

Pada dasarnya sebagian anak sudah mengetahui suatu materi, akan tetapi mereka belum mengetahui aplikasinya oleh sebab itu dibutuhkan suatu pendekatan yang mengajak anak untuk berfikir, proses mengajak anak untuk berfikir dan menemukan aplikasi konsep sains itu sendiri di pembelajaran, maka dalam aplikasinya di pembelajaran dikembangkan pendekatan STM.

Salah satu tujuan pembelajaran di sekolah adalah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Penggunaan pendekatan pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu peningkatan hasil belajar siswa. Selain itu, ada faktor lain sebagai penentu keberhasilan siswa yang belum diperhatikan oleh para guru dalam merancang kegiatan belajar mengajar sehingga proses belum maksimal yang juga menyebabkan rendahnya KKM terutama dalam pendekatan pembelajaran yang bersifat inquiry yaitu kemampuan berfikir kritis, kreativitas siswa, kemampuan guru dalam menyampaikan materi pelajaran, dan penggunaan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan materi.

Kreativitas sangat diperlukan dalam proses pembelajaran, karena biasanya orang yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, memiliki kegembiraan dan menyukai aktivitas yang kreatif. Kreativitas juga sangat dibutuhkan dalam metode proyek, karena dalam metode proyek siswa mencari penyelesaian suatu masalah yang telah mereka temukan dengan cara atau metode yang telah mereka dapat dari berbagai sumber, ketepatan sumber terhadap suatu masalah dan bagaimana solusi yang ditawarkan memerlukan kreativitas dalam mengkaitkannya.

Selain kreativitas, yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah kemampuan berfikir kritis siswa, kemampuan berfikir kritis merupakan integrasi beberapa bagian pengembangan kemampuan, seperti pengamatan (observasi), analisis, penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan persuasi. Kemampuan berfikir kritis siswa dalam materi asam basa juga mempunyai peranan penting, terutama pada sub bab pengertian asam basa menurut para ahli yang sering membuat siswa miskonsepsi, peranan


(20)

berfikir kritis sangat diperlukan agar tidak terjadi banyak miskonsepsi diantara siswa.

Dari alasan tersebut, diharapkan para guru mampu menyajikan materi-materi kimia dengan lebih menarik, menyenangkan dan mampu membangkitkan motivasi siswa dalam belajar sehingga diharapkan akan mudah dalam memahami. Salah satu pokok bahasan kimia di Sekolah Menengah Atas adalah materi asam basa. Materi ini merupakan materi yang sarat dengan konsep dan berkaitan untuk materi selanjutnya yaitu Hidrolisis, Buffer, Ksp, sehingga perlu penanaman konsep yang utuh dan benar karena materi ini penting sebagai awal dari konsep siswa untuk memahami konsep kimia pada materi berikutnya. SMA Negeri 2 Sragen adalah salah satu dari sekian banyak Sekolah Menengah Atas yang ada di kabupaten Sragen. Dilihat dari inputnya, sekolah ini menjaring siswa-siswa dari sekolah dasar yang memiliki tingkat prestasi yang sedang keatas. Pembelajaran

sains kimia yang sekarang dilakukan di sekolah masih menggunakan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered).

Berdasarkan uraian di atas penulis bermaksud mengadakan penelitian tentang perbedaan prestasi belajar siswa menggunakan pendekatan Pembelajaran Kimia dengan Sains Teknologi Masyarakat (STM) ditinjau dari kemampuan berfikir kritis dan kreativitas siswa.

METODE PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian ini akan dilaksanakan di kelas XI SMA NEGERI 2 SRAGEN Tahun Ajaran 2011/2012. Untuk try out instrument penelitian bertempat di SMA 2 SRAGEN dengan asumsi memiliki jenjang yang setara dan instrument penelitian tidak diketahui oleh siswa yang menjadi objek penelitian.

Tabel 1.2 Desain Penelitian Berfikir

Kritis(B)

Kreativitas (C)

Pendekatan STM (A) Tinggi

(B1)

Tinggi (C1) AB1C1

Rendah(C2) AB1C2

Rendah (B2)

Tinggi (C1) AB2C1

Rendah(C2) AB2C2

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hipotesis pertama

Berdasarkan data yang diperoleh terdapat perbedaan prestasi siswa yang memiliki kreativitas tinggi dan rendah. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Teresa M. Amabile, dkk (1996) hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan antara kreativitas tinggi dan rendah dalam suatu proyek kerja lingkungan.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa perbedaan kreativitas berhubungan dengan prestasi belajar asam basa. Sedangkan studi hubungan antara kreativitas dengan pendidikan oleh Jr. Daniel Fasko (2001), menyatakan dari studi ini diketahui bahwa kreativitas sangat dibutuhkan dalam pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman sehingga hasil belajar akan meningkat.

Secara teori, siswa yang memiliki kreativitas tinggi akan memperoleh hasil belajar yang baik, begitupula sebaliknya, namun pada kenyataan dilapangan dalam

penelitian ini berbeda, anak yang memiliki kreativitas rendahlah yang memiliki hasil belajar yang lebih baik, hal ini dimungkinkan karena interaksi yang dibangun oleh anak dalam kelompok, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mihaly Csikszentmihalyi (2006) bahwa kondisi sosial orang mempunyai pengaruh yang bagus dan bagian penting dalam perkembangan kreativitas, semakin banyak ketidakseragaman atau perbedaan, semakin tidak fokus. Hal ini dimungkinkan setiap kelompok yang terdiri dari siswa yang sebagian besar mempunyai kreativitas yang tinggi, jika dalam kelompok banyak yang kreativ akan banyak pula ide, perbedaan dalam penyelesaian masalah seperti yang disampaikan Mihaly Csikszentmihalyi menjadi tidak fokus, begitu halnya jika setiap kelompok sebagian besar mempunyai kreativitas yang rendah justru sedikit terjadi perbedaan sedikit ide, sehingga penyelesaian masalh menjadi lebih fokus.

2. Hipotesis kedua

Berpikir kritis adalah suatu aktifitas kognitif yang berkaitan dengan penggunaan nalar. Gardner dalam Doaa A. El-Demerdash (2011) mengidentifikasikan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menghasilkan pemikir kritis dengan memelihara kecakapan kemampuan berfikir kritis, kecakapan berupa kekonsistenan motivasi diri untuk memecahkan masalah dan mendiskusikan dengan berfikir.


(21)

Berdasarkan uji non parametrik Kruskall Wallis tidak ada perbedaan prestasi belajar siswa yang memiliki kemampuan berfikir kritis tinggi dan rendah. Hasil dari penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Doaa A. El-Demerdash bahwa pengembangan berfikir kritis mempunyai pengaruh dalam strategi pembelajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan kemampuan berfikir siswa tidak menghambat siswa dalam pembelajaran. Perbedaan hasil penelitian ini dimungkinkan karena banyak faktor, sehingga tidak bisa sebagai acuan akan tetapi tetap digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pengetahuan.

3. Hipotesis ketiga

Pada uji hipotesis keempat ini ada interaksi antara pembelajaran menggunakan STM dengan kreativitas siswa terhadap prestasi belajar. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa yang mempunyai kreativitas tinggi lebih baik jika diberi pembelajaran dengan STM, meskipun terdapat interaksi, tetapi tidak sesuai dengan dugaan pada hipotesis, hal ini diduga siswa yang memiliki kemapuan rendah dalam mengerjakan tugas yang diberikan mengikuti prosedur yang ada (memegang konsep taat asas) dalam buku yang mereka temukan dan gunakan sehingga miskonsepsi dimungkinkan sangat kecil, sehingga hasil prestasi belajar lebih baik, selain itu dimungkinkan adanya beberapa faktor yang tidak bisa dikontrol oleh peneliti selama penelitian berlangsung.

4. Hipotesis keempat

Berdasarkan data yang diperoleh terdapat interaksi antara pembelajaran menggunakan STM dengan kemampuan berfikir kritis siswa terhadap prestasi belajar. Berdasarkan nilai rerata siswa dapat disimpulkan bahwa pendekatan STM jika diberikan pada siswa yang mempunyai kemampuan berfikir kritis tinggi akan memperoleh prestasi belajar yang tinggi, sedangkan siswa yang mempunyai kemampuan berfikir kritis rendah bisa meningkat.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Doaa A. El-Demerdash, dkk mengenai strategi pembelajaran dan kecakapan berfikir kritis

mahasiswa keperawatan yaitu strategi pembelajaran yang diberikan mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan kemampuan berfikir kritis siswa dan sejalan dengan keahlian mereka. Begitu pula halnya Linden (2008) dalam Doaa A. El-Demerdash (2011) dalam studinya efek dari pembelajaran dengan praktek dan pembelajaran tradisonal terhadap kemampuan berfikir kritis siswa menyatakan bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan praktek merupakan suatu standar pembelajaran interaktiv dan pembelajaran dengan praktek berpusat pada kemampuan berfikir kritis siswa.

Menurut Mrs. Rajeshwari dari India (2011)menyatakan bahwa dengan menerapkan pembelajaran proyek dalam kelas bertujuan agar siswa menemukan banyak sumber informasi yang dapat membantu mereka dalam memahami topic lebih dalam dan mempunyai sudut pandang yang tidak umum, dalam mencari berbagai informasi tersebut membutuhkan kemampuan berfikir kritis. Jadi dapat disimpulkan siswa yang mempunyai kemampuan berfikir kritis tinggi akan lebih baik jika diberi pembelajaran dengan pendekatan STM. Dalam yayasan pendidikan Oracle (Oracle Eduxcation Foundation, 2011) siswa yang mempunyai kemampuan berfikir kritis tinggi apabila diberi pembalajaran dengan STM menggunkan metode proyek mempunyai hasil belajar yang lebih baik. 5. Hipotesis kelima

Berdasarkan perhitungan statistic didapatkan ada interaksi antar kreativitas dan kemampuan berfikir kritis siswa terhadap prestasi. Kreativitas dan kemampuan berfikir kritis merupakan komponen dalam ThinkQuest, yaitu platform pembelajran online yang dikembangkan Oracle Education Foundation. Yang mana menurut Senor Gonzales dalam paper yang disiapkan oleh SRI International Menlo Park CA (2011) menyatakan bahwa pentingnya ThinkQuest pada pembentukan konsep dalam pembelajaran sains, yang artinya kreativitas dan berfikir kritis merupakan komponen yang penting dalam proses pembelajaran untuk membentuk konsep sains pada siswa dan juga pada guru.

Menurut perspektif konstruktivisme, pembelajaran dikelas dilihat sebagai proses konstruksi pengetahuan oleh siswa, sehingga


(22)

siswa harus berperan aktif. Dalam proses ini siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan analisis dan pemikiran ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu dan masa kini, sehingga kreativitas dan kemampuan berfikir kritis sangat berperan dalam proses ini agar tercapai proses belajar yang merupakan proses aktif untuk mengkonstruksi ilmu pengetahuan sehingga didapatkan hasil belajar yang maksimal. Namun, kemampuan berfikir kritis dan kreativitas merupakan faktor internal siswa yang berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan antara kreativitas dan kemampuan berfikir siswa merupakan hal yang berdiri sendiri, sehingga tidak berhubungan, siswa yang mempunyai kemampuan berifkir kritis tinggi belum tentu memiliki kreativitas yang tinggi dan begitupula sebaliknya.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada perbedaan prestasi belajar siswa yang memiliki kreativitas tinggi dan rendah. Hasil menunjukkan bahwa, nilai rerata siswa yang memiliki kreativitas tinggi adalah 70,77 dan siswa yang memiliki kreativitas rendah adalah 76.

2. Tidak ada perbedaan prestasi belajar siswa yang memiliki kemampuan berfikir kritis tinggi dan rendah.

Hasil nilai rerata menunjukkan siswa yang memiliki kemampuan berfikir kritis tinggi adalah 74,63 dan siswa yang memiliki kemampuan berfikir kritis tinggi 73,83, yang artinya nilai rerata siswa yang memiliki kemampuan berfikir tinggi > dari siswa yang memiliki kemampuan berfikir rendah.

3. Ada interaksi antara pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM dengan kreativitas siswa terhadap prestasi belajar siswa. Nilai rerata menunjukkan siswa yang memiliki kreativitas rendah memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi.

4. Ada interaksi antara pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM dengan kemampuan berfikir kritis siswa terhadap prestasi belajar siswa

5. Tidak ada interaksi antara kemampuan

berfikir kritis dengan kreativitas siswa terhadap prestasi belajar siswa.

B. Rekomendasi

Rekomendasi dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran STM bisa digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, sehingga pembelajaran ini bisa sebagai salah satu pilihan untuk diaplikasikan dalam pembelajaran. 2. Dalam merancang proses

pembelajaran perlu memperhatikan kemampuan berfikir kritis dan kreativitas siswa, dengan harapan siswa yang kemampuan berfikir kritis dan kreativitasnya tinggi dapat belajar optimal, sedangkan siswa yang kemampuan berfikir kritis dan kreativitasnya rendah dapat meningkatkan prestasi belajarnya. 3. Hasil penelitian ini dapat digunakan

sebagai acauan untuk penelitian yang sejenis dengan pokok bahasan yang lain seperti hidrolisis, penyangga, Ksp, koloid, elektrokimia dan lainnya yang dapat dilaksanakan di laboratorium dan banyak aplikasinya di masyarakat. 4. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan menambah variabel yang lain seperti kemampuan menggunakan alat, sikap ilmiah, motivasi berprestasi, kepedulian terhadap lingkungan dan lain sebagainya. DAFTAR PUSTAKA

Akpinar, Ercan. 2009. Students’ attitudes toward science and technology: an investigation of gender, grade level, and academic achievement. Journal Reading. Turkey; Dokuz Eyliil University.

Amabile, Teresa M. dkk. 1996. Assesing the work environment for creativity. Journal reading. California: California School of Professional Psycology

Csikszentnihalyi, Mihaly. 2006. A Systems Perspective on Creativity. Cambridge: Cambridge University Press.

Daniel, Fasko Jr. 2001. Education and Creativity. Bowling Green State University. Creativity Research Journal.


(1)

Pendidikan karakter juga seharusnya memiliki karakteristik yang menampakan pendidikan karakter berbasis living values (nilai-nilai hidup). Living values yang dimaksud adalah nilai-nilai hidup dasar agar nilai-nilai tersebut mudah diinternalisasikan dan diimplementasikan [8]. Oleh sebab itu, pendidikan karakter berbasis living values memerlukan suatu model pembelajaran konstekstual, artinya pembelajaran yang mengintegrasikan living values ke dalam materi, metode, media, sumber pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.

Living values itu sendiri merupakan program pendidikan nilai. Program ini menyajikan berbagai macam aktivitas pengalaman dan metodologi praktis bagi para guru dan fasilitator untuk membantu anak-anak dan para remaja mengeksplorasi dan mengembangkan nilai-nilai kunci pribadi dan sosial, yaitu kedamaian, penghargaan, cinta, tanggung jawab, kebahagiaan, kerja sama, kejujuran, kerendahan hati, toleransi, kesederhanaan, dan persatuan [4]. Adapun living values yang dapat dikembangkan di Indonesia karena sesuai dengan karakteristik bangsa ada 13, yaitu religius, kejujuran, toleransi, berkelakuan baik, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, cinta tanah air, menghargai prestasi, bekerja sama, dan tanggung jawab [8].

Pendidikan berbasis living values adalah sebuah program pendidikan nilai yang komprehensif. Program global yang inovatif ini menawarkan pelatihan, metodologi praktis dan berbagai kegiatan nilai pengalaman kepada pendidik, fasilitator, orang tua, dan pembimbing untuk membantu mereka memberikan kesempatan bagi anak-anak guna menggali dan mengembangkan nilai-nilai universal. Selain itu, pendidikan berbasis living values bertujuan menyediakan prinsip-prinsip panduan dan peralatan guna mengembangkan pribadi secara keseluruhan, mengakui bahwa individu terdiri dari dimensi fisik, intelektual, emosional, dan spiritual.

Living values yang diintegrasikan dalam pendidikan karakter seyogyanya disesuaikan dengan potensi lokal setempat, sehingga siswa merasa dirinya menjadi bagian penting dan memiliki kebermaknaan tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh sikap dan perilaku siswa terhadap dirinya sendiri dan orang lain sebagai imbas program literasi values and emotional [6]. Pada akhirnya, siswa diharapkan menjadi generasi penerus yang akan melestarikan potensi lokal yang ada.

Menurut Kevin Ryan, indikator karakter dapat dilihat dari tiga (3) hal berikut. (1) Knowing the good, yaitu mengetahui yang baik. (2) Loving the good atau

mencintai atau menyukai yang baik. (3) Doing the good atau berbuat yang baik [5].

D. Keefektivan Pembelajaran

Keefektivan dengan kata dasar efektif merujuk pada rasio antara output terhadap input. Keefektivan merupakan ukuran yang menyatakan sejauh mana sasaran dalam hal ini kuantitas, kualitas, dan waktu yang telah dicapai. Masalah keefektivan biasanya berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dan rencana yang telah disusun sebelumnya.

Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dan siswa dengan melibatkan beberapa unsur tersebut perlu diupayakan agar dapat terlaksana dengan efektif. Pembelajaran efektif meliputi hal-hal berikut: 1) pembelajaran konsisten dengan kurikulum, 2) program yang telah direncanakan dilaksanakan oleh guru tanpa mengalami hambatan dan kesulitan yang berarti, 3) siswa melakukan kegiatan belajar belajar sesuai dengan program yang telah ditentukan tanpa mengalami hambatan dan kesulitan yang berarti, 4) guru memotivasi belajar siswa, 5) siswa aktif mengikuti kegiatan pembelajaran, 6) interaksi timbal balik antara guru dan siswa, 7) guru terampil dalam mengajar, dan 8) kualitas hasil belajar yang dicapai oleh para siswa [15].

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang akan digunakan berupa quasi eksperimen, yaitu control-group pre-test post-test design. Variabel bebas berupa penggunaan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal. Adapun variabel terikat berupa living values siswa. Subjek penelitian ini adalah siswa SMA kelas X SMA Negeri 1 Kertek, Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Adapun penelitian ini dirancang selama 1 tahun. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu: (1) angket untuk mengetahui living values siswa dan (2) observasi untuk mengetahui living values yang tertanam pada siswa. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) uji kesamaan kemampuan awal untuk mengetahui apakah kedua kelompok (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol) dalam keadaan sama atau tidak. Statistik uji yang digunakan dalam uji keseimbangan adalah uji-t; (2) uji normalitas untuk mengetahui apakah sampel penelitian ini berasal dari populasi yang normal atau tidak; (3) uji homogenitas untuk menguji apakah sampel-sampel tersebut berasal dari populasi yang homogen atau tidak; (4) uji hipotesis.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Uji kesamaan rata-rata

Tabel 1. Hasil uji-t living values (kejujuran, kerjasama, dan tanggung jawab) Independent Samples Test


(2)

Levene's Test for Equality

of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the

Difference

F Sig. T Df

Sig. (2-tailed)

Mean Differenc

e

Std. Error Differenc

e Lower Upper PRE.KEJUJUR

-AN

Equal variances assumed

.126 .725 2.224 33 .033 1.83333 .82453 .15582 3.5108 4 Equal

variances not assumed

2.133 24.0 01

.043 1.83333 .85961 .05920 3.6074 7

PRE.KERJAS A-MA

Equal variances assumed

.006 .941 -1.052 33 .301 -.88095 .83755 -2.58496 .82305

Equal variances not assumed

-1.036 26.5 58

.310 -.88095 .85027 -2.62693 .86502

PRE.TANG-GUNGJAWA B

Equal variances assumed

2.166 .151 2.462 33 .019 1.73810 .70600 .30173 3.1744 6 Equal

variances not assumed

2.723 32.6 03

.010 1.73810 .63834 .43879 3.0374 0

Berdasarkan nilai signifikansi dari masing-masing data living values di atas, maka dapat diketahui bahwa semuanya memiliki nilai signifikansi (p > 0,05). Artinya, bahwa dua kelas yang diambil

sebagai kelas eksperimen (KE) dan kelas kontrol (KK) memiliki kesamaan rata-rata, sehingga memenuhi syarat untuk digunakan dalam penelitian.

2. Uji Normalitas

Tabel 2. Hasil uji normalitas living values siswa kelas X SMA N 1 Kertek Tests of Normality

KELA S

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

POS.KEJUJURAN KE .149 21 .200* .953 21 .386

KK .321 14 .000 .838 14 .015

POS.KERJASAMA KE .193 21 .040 .921 21 .091

KK .192 14 .174 .930 14 .309

POS.TANGGUNG.JAW AB

KE .203 21 .024 .919 21 .082


(3)

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa masing-masing pasangan living values memiliki tingkat signifikansi yang berbeda, yaitu p < 0,05 (tidak terdistribusi normal) dan p > 0,05 (terdistribusi normal). Dengan demikian, maka uji homogenitas tidak perlu dilakukan. Sebagai konsekuensinya, maka data dianalisis mengikuti statistik nonparametrik.

3. Pengujian hipotesis

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan living values antara KE dan KK digunakan uji Wilcoxon. Prinsip penggunaan uji Wilcoxon adalah membandingkan skor dari dua group yang tidak berhubungan satu dengan yang lain, dengan tujuan apakah kedua group tersebut memiliki rerata yang sama atau tidak.

Berikut hasil analisisnya menggunakan SPSS. Tabel 3. Hasil uji beda living values kejujuran, kerja sama, dan tanggung jawab pada KK dan KE

Test Statisticsc KK.KEJUJURA

N - KE.KEJUJURA

N

KK.KERJASAM A - KE.KERJASAM

A

KK.TANGGUNG.JAW AB -

KE.TANGGUNG.JAW AB

Z -1.420a -.238b -2.673a

Asymp. Sig. (2-tailed) .156 .812 .008

a. Based on positive ranks. b. Based on negative ranks. c. Wilcoxon Signed Ranks Test


(4)

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan kejujuran dan kerja sama siswa yang belajar menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal dan tanpa menggunakan perangkat berbasis potensi lokal. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi (p > 0,05) yaitu masing-masing 0,156 (untuk kejujuran) dan 0,812 (untuk kerja sama). Sebaliknya, aspek tanggung jawab antara siswa yang belajar menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal dan tanpa menggunakan perangkat berbasis potensi lokal memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi (p < 0,05), yaitu 0,008. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan tahun sebelumnya pada siswa kelas X SMA N 1 Wonosobo (sekolah dengan kategori tinggi) [14]. Perbedaan hasil penelitian antara siswa kelas X di SMA N 1 Wonosobo dan SMA N 1 Kretek dikarenakan living values siswa akan tumbuh maupun tidak berkaitan erat dengan lingkungan tempat siswa berada, baik lingkungan keluarga maupun sekolah. Dengan demikian, sekolah yang berbeda dengan atmosfer belajar berbeda tentunya akan mempengaruhi melekat tidaknya living values siswa sebagai salah satu produk pembelajaran. Sebagai salah satu sekolah dengan kategori tinggi, SMA N 1 Wonosobo menerapkan pola disiplin dan sportif baik dalam pelaksanaan program sekolah maupun kegiatan belajar. Dengan demikian, siswa SMA N 1 Wonosobo terbiasa dituntut dan dilatih kemandiriannya dalam belajar. Hal ini sangat sesuai dengan pola pembelajaran inquiry terbimbing yang di setting dalam membelajarkan fisika berbasis potensi lokal yang ada dalam perangkat pembelajaran. Pola ini menjadikan siswa memiliki motivasi yang kuat dalam belajar dan berprestasi. Adapun, SMA N 1 Kretek sebagai salah satu sekolah dengan kategori sedang menerapkan pola belajar yang sedikit lebih lunak dibanding SMA N 1 Wonosobo. Hal ini dikarenakan, siswa yang belajar di SMA N 1 Kretek merupakan siswa yang tidak berhasil masuk SMA dengan kategori tinggi karena

itulah yang menjadikan living values yang dimiliki siswa berbeda. Meskipun demikian, ada kesamaan antara pola yang terjadi dari kedua hasil penelitian ini, yaitu keduanya memiliki kecenderungan yang sama bahwa pengaruh yang pembelajaran berbasis potensi lokal hanya berlaku di masing-masing sekolah. Dengan demikian, hasil ini tidak dapat digeneralisasi.

4. Keefektivan pembelajaran dalam meningkatkan living values

Efektivitas pembelajaran dapat dilihat dari selisih rata-rata skor pretest dan postes di masing-masing kelas, yaitu KE dan KK. Berikut hasilnya.

Tabel 4. Keefektivan peningkatan living values melalui pembelajaran berbasis

potensi lokal Living Values KE KK Kejujuran 1,71 2,29 Kerjasama 1,24 0,36 Tanggung jawab 0,76 0,43

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa pada aspek kejujuran pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal kurang efektif. Sebaliknya, pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal ternyata efektif dalam meningkatkan kerja sama dan tanggung jawab siswa dalam belajar.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tidak ada perbedaan living values kejujuran dan kerjasama siswa kelas X SMA A yang belajar dengan menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal dan yang belajar tanpa menggunakan perangkat permbelajaran berbasis potensi lokal. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05 (p > 0,05), yaitu 0,156 (kejujuran) dan 0,812 (kerja sama). Sebaliknya, ada perbedaan tanggung jawab antara siswa yang belajar menggunakan perangkat pembelajaran berbasis potensi lokal dengan siswa yang belajar tanpa perangkat tersebut dengan signifikansi (p < 0,05), yaitu 0,008. (2) Peningkatan living values kejujuran dan kerjasama melalui pembelajaran fisika


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Dikti yang telah mendanai penelitian ini. Selain itu, terima kasih ditujukan kepada kepala sekolah, guru fisika, dan siswa kelas X SMA N 1 Kretek atas kesempatan yang diberikan untuk melaksanakan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Saputra, 22,6% Remaja Indonesia Penganut Seks Bebas, 2007. Website:

http://news.detik.com/read/2007/05/31 /175112/787950/10/226-remaja-

indonesia-penganut-seks-bebas?nd771104bcj, diakses tanggal 12 November 2013.

[2]. BSNP, Panduan Penyusunan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP, 2006. [3]. D. Arowolo, The Effects of Western

Civilisation And Culture on Africa, Afro Asian Journal of Social Sciences, Vol. 1, No. 1 Quarter IV, 2010. [4]. D. Tillman, Living Green Values

Activities for Children and Young Adults A Special Rio+20 Edition, Switzerland, Association for Living Values Education International (ALIVE), 2012.

[5]. E. A. Tuerah, Manajemen Pengembangan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan dalam rangka Memantapkan Karakter Bangsa di Sulawesi Utara. Proceeding Konaspi VII, Universitas Negeri Yogyakarta, 31 Oktober-3 November 2012, pp 59-73.

[6]. K. E. Hassan and R. Kahil, The Effect of Living Values: An Educational Program on Behaviors and Attitudes of Elementary Students in a Private School in Lebanon, Early Childhood Education Journal, Vol. 33, No. 2, 2005.

[7]. Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan dan Karakter Bangsa. Jakarta: Pusat Kurikulum, 2010. [8]. K. Komalasari, The Living

Values-Based Contextual Learning to Develop the Students' Character, Journal of

Social Sciences, 8 (2), 2012, pp. 246-251.

[9]. M. H. Romanowski, 2005, Through The Eyes Of Teachers: High School Teachers' Experiences With Character Education‖, ProQuest Education Journals, vol. 34, 2005, pp. 6-23. [10]. M. Tyson, Memutuskan Mata Rantai

Aksi Tawuran Antar Pelajar, Website: http://metro.kompasiana.com/2012/09/

27/memutuskan-mata-rantai-aksi-tawuran-antar-pelajar-491076.html,

diakses tanggal 12 November 2013. [11]. N. Sudjana, Metode Statistik.

Bandung, Tarsito, 2005.

[12]. P. Hariyadi, Penguatan Industri Penghasil Nilai Tambah Berbasis Potensi Lokal peranan Teknologi Pangan untuk Kemandirian Pangan, Jurnal PANGAN, Vol. 19, No. 4, 2010, pp. 295-301.

[13]. R. Mungmachon, Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure‖, International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 2, No. 13, 2012, pp. 174-181.

[14]. S. Sarah dan Maryono. (2013),

Pengembangan Perangkat

pembelajaran Berbasis Potensi Lokal untuk Meningkatkan Living Values Siswa SMA di Kabupaten Wonosobo, Jurnal Teknologi Technoscience, vol.6, 2014, pp 185-194.

[15]. T. P. Kurniawan, Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Praktek Kesehatan Reproduksi Remaja Di SMA Negeri 1 Purbalingga Kabupaten Purbalingga. Tesis. UNDIP, Semarang, 2008.

[16]. Y. T. Winarto. ―Family Education and Culture in Indonesia: The Complex, Intermingled, And Dynamic Phenomena‖. Makalah yang telah dipresentasikan di konferensi international di Universitas Chai Yi Thailand. 26-27 Oktober, 2006


(6)