Vektor Potensial Filariasis Dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah

VEKTOR POTENSIAL FILARIASIS DAN HABITATNYA DI
DESA MANDOMAI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH

M. RASYID RIDHA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Vektor Potensial
Filariasis dan Habitatnya di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi
Kalimantan Tengah” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2016
M Rasyid Ridha
NIM B252140101

RINGKASAN
M RASYID RIDHA. Vektor Potensial Filariasis Dan Habitatnya Di Desa
Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh UPIK
KESUMAWATI HADI dan ELOK BUDI RETNANI.
Kejadian Filariasis limfatik saat ini masih tinggi diberbagai daerah di
Indonesia. Desa Mandomai diketahui merupakan daerah endemik filariasis di
Kabupaten Kapuas. Jumlah kasus filariasis di Kabupaten Kapuas tahun 2009
terdapat 5 kasus, 2010 terdapat 2 kasus, 2011 terjadi pengkatan (21 kasus) dan 2012
serta 2013 masing-masing 16 kasus. Sejak tahun 2008 Kabupaten Kapuas telah
melakukan pengobatan massal dan berakhir tahun 2012, namun jumlah kasus
hingga 5 tahun terakhir tetap tinggi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui keragaman jenis nyamuk, kepadatan
nyamuk, aktivitas menggigit dan perilaku istirahat (resting), infeksi mikrofilaria pada
nyamuk, infeksi mikrofilaria pada penduduk dan mengetahui tipe habitat jentik

nyamuk. Penelitian dilakukan selama 4 (empat) bulan di Desa Mandomai,
Kabupaten Kapuas. Kegiatan yang dilakukan adalah penangkapan nyamuk dengan
teknik human landing collection dan resting di dalam dan di luar rumah,
pembedahan nyamuk, pengambilan sediaan darah jari dan kapiler, dan identifikasi
habitat nyamuk.
Hasil penelitian menunjukkan ragam jenis nyamuk di Desa Mandomai
terdiri atas 13 jenis yaitu Culex bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx.
tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mansonia uniformis, Mn. dives,
Mn. annulata, Anopheles barbirostris, An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae.
aegypti dan Armigeres subalbatus. Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus lebih bersifat
eksofagik, eksofilik dan endofilik. Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus
lebih bersifat eksofagik dan eksofilik. Kelimpahan nisbi, frekuensi spesies dan
dominasi spesies yang tinggi yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus
dan Cx. quinquefasciatus, sedangkan kepadatan nyamuk yang tinggi yaitu Cx.
bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus. Kepadatan
nyamuk lebih tinggi terjadi di dalam rumah dibandingkan dengan di luar rumah.
Kepadatan nyamuk berbanding lurus dengan indeks curah hujan, suhu dan
kelembaban, namun berdasarkan perhitungan statistik tidak ditemukan adanya
hubungan.
Cx. bitaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada

pukul 18.00 – 19.00 dan di dalam rumah pada pukul 23.00 – 24.00. Cx.
tritaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada pukul 21.00
– 22.00 dan 19.00 – 20.00, sedangkan di dalam rumah pada pukul 21.00 – 22.00.
Cx. quinquefasciatus mempunyai aktivitas menggigit pada pukul 23.00 – 24.00 di
luar rumah, sedangan di dalam rumah pada pukul 20.00 – 21.00. Cx.
bitaeniorhynchus mempunyai perilaku istirahat pada pukul 22.00 – 23.00 baik di
dalam dan diluar rumah. Cx. tritaeniorhynchus mempunyai perilaku istirahat di luar
rumah pada pukul 03.00 – 04.00 dan di dalam rumah pada pukul 24.00 – 01.00. Cx.
quinquefasciatus mempunyai perilaku istirahat di luar rumah pada pukul 23.00 –
24.00 dan di dalam rumah pada pukul 20.00 – 21.00.

Larva infektif (L3) tidak ditemukan pada nyamuk yang dibedah. Perkiraan
umur populasi Cx. bitaeniorhynchus adalah 38.9 hari, Cx. tritaeniorhynchus 23.9
hari dan Cx quinquefasciatus 14.3 hari, sehingga dapat berpotensi menjadi vektor
filariasis.
Hasil Pemeriksaan darah jari ditemukan 2 (0.02%) orang positif dari 110
orang yang diperiksa. Umur penderita positif berada pada rentang 46-65.
Periodisitas mikrofilaria bersifat non periodik di dalam darah tepi, namun tidak
selalu dijumpai pada setiap periode pemeriksaan selama 24 jam (sepanjang hari),
khususnya pada jam 12.00, 22.00 dan 24.00. Tipe perindukan yang diamati

berjumlah 24 buah dengan proporsi positif jentik yaitu kolam ikan 25%, kolam
sekolah 100%, selokan 11%, kubangan 28%, sawah 100% dan penampung karet
50%. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan di Desa Mandomai terdapat 3
jenis nyamuk yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx.
quinquefasciatus yang berpotensi sebagai vektor filariasis dan ditemukan habitat
yang mendukung keberadaan nyamuk.
Kata kunci: Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus,
filariasis

SUMMARY
M. RASYID RIDHA. Potential Vectors of Filariasis and Habitat in Mandomai
Villige Kapuas Districk Kalimantan Tengah Province. Supervised by UPIK
KESUMAWATI HADI and ELOK BUDI RETNANI
Lymphatic filariasis cases in some area in Indonesia currently are still high.
Mandomai Village in Kapuas District is a filariasis endemic area with the highest
cases. There were 5 cases of filariasis in 2009, 2 cases in 2010, 21 cases in 2011
and both of 2012 and 2013 respectively 16 cases. Since 2008 Kapuas has conducted
mass drug assesment and ended in 2012, but the number of cases last up to 5 years
are still high.
The aims of this study were to determine the various species of mosquitoes,

density, biting activity and resting, infection of microfilariae in mosquito,
microfilariae infection in community and habitat characteristics of filariasis vectors.
This study was conducted over four months in Mandomai village, Kapuas. The
mosquitoes were collected by human landing collection (HLC) indoors and
outdoors, and by indoors and outdoors resting collections, dissecting mosquitoes,
blood collected by finger prick and capillaries, and and identification of the
breeding type.
The result showed that there were 13 species i.e. Culex bitaeniorhynchus,
Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni,
Mansonia uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, Anopheles barbirostris, An.
balabacensis, Aedes albopictus, Ae. aegypti and Armigeres subalbatus. Cx.
bitaeniorhynchus was exophagic, endophilic and exophilic species. Cx.
quinquefasciatus and Cx. tritaeniorhynchus were belong to exophagic and
exophilic species. There were 3 species which high in densitiy i.e Cx.
bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus and Cx. quinquefasciatus. Indoor density
were higher than outdoor. Mosquito density were directly proportional to the index
of rainfall, temperature and humidity, there were no relationship on statistical.
Cx. bitaeniorhynchus have biting activity indoor were highest at 6 pm to 7
pm and outdoor were highest at 11 pm to 12 pm; 9 pm to 10 pm and 7 pm to 8 pm
in indoor and 9 pm to 10 pm in outdoor, respectively on Cx. tritaeniorhynchus; 11

pm to 12 pm in outdoor and 8 pm to 9 pm in indoor, respectively on Cx.
quinquefasciarus. Cx. bitaeniorhynchus have behaviour resting indoor and outdoor
were highest at 11 pm to 12 pm both indoor and outdoor; 3 am to 4 am in outdoor
and 12 pm to 1 am in indoor, respectively on Cx. tritaeniorhynchus; 11 pm to 12
pm in outdoor and 8 pm to 9 pm in indoor, respectively on Cx. quinquefasciatus.
Infective larvae (L3) not found in mosquitoes were dissecting.The estimate
of age population (longevity) were 38.9 days for Cx. bitaeniorhynchus, 23.9 days
for Cx. tritaeniorhynchus and 14.3 days for Cx. quinquefasciatus. Those three
species were potentially became filariasis vectors.
The results of fingers blood tests were found 2 (0.02%) positive votes from
110 people examined. Positive patients age were in the range 46 – 65. The
microfilaria periodicity is non periodic microfilariae in the peripheral blood, but not
always found in each inspection period for 24 hours (during the day), specifically
at 12:00 hours, 22:00 and 24.00. Type of breeding places were observed of 24

pieces with positive presentation of mosquitoe larva i.e 25 % for ponds, 100% for
schhol pounds, 11% for puddles, 28% for ditches, 100% for paddy fields and 50%
for latex sap falling container.
Based on these data can conclude In Mandomai Village there were found
three species potentially vectors i.e. Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus

and Cx. quinquefasciatus and also their breeding places.
Keywords: Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, filariasis

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

VEKTOR POTENSIAL FILARIASIS DAN HABITATNYA DI
DESA MANDOMAI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH

M. RASYID RIDHA


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : drh Fadjar Satrija MSc PhD

Scanned by CamScanner

Judul Tesis

:

Nama

NRP

:
:

Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya Di Desa
Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan
Tengah
M. Rasyid Ridha
B252140101
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof drh Upik Kesumawati Hadi MS Ph D
Ketua

Dr drh Elok Budi Retnani MS
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dekan SekolahPascasarjana

Prof Drh Upik Kesumawati Hadi MS Ph D

Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dengan judul “Vektor Potensial Filariasis Dan Habitatnya Di Desa
Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah” dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. drh. Upik Kesumawati Hadi,
MS, Ph. D dan Ibu Dr. drh. Elok Budi Retnani, MS selaku pembimbing. Di samping
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada dr Hijaz Nuhung M. Sc sebagai Kepala
Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Bapak dr. Paisal M. Biomed beserta Tim
Peneliti dari Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, serta Ibu Ninik SKM MM dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas yang telah membantu selama pengumpulan
data.
Terima kasih pula penulis ucapkan kepada teman – teman seperjuangan PEK
2014 yang banyak memberikan masukan, bantuan, dan semangat serta motivasi (
Bang Umar, Bang Irpan, Bos Simba, Bang Zoel, Pak Anto, Firman, Bang Wiro,
Pak Alan, Evi, Lisa, Novi, Milda dan Mba Nindya) Kita adalah teman seperjuangan,
semangat kuliah dan praktek bersama takkan pernah terlupakan, sukses temanteman.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Kedua orang tua (H.
Zainuddin S. PdI dan Dra. Hj. Siti Aisyah M. Pd) dan Mertua (Nurjali S. Pd, MM
dan Ida Rosanti), Istri tercinta Nur Afrida Rosvita SKM, terimakasih atas do’a dan
pengertiannya, Kedua putra tersayang “Pangeran Kecil” (Muhammad Naufal
Rakha dan Muhammad Fathan Abidzar Al Ghifary), terimakasih atas segala do’a
dan motivasi serta dukungannya.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, namun
penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2016

M Rasyid Ridha

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

vi
vi
vi

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2. TINJAUAN PUSTAKA
Filariasis
Endemisitas Filariasis
Peran Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis
Pengendalian Filariasis

3
3
4
7
8

3. METODE PENELITIAN
Tempat Penelitian
Waktu Penelitian
Rancangan Penelitian
Cara Kerja
Analisis Data

8
8
9
9
9
12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaman jenis nyamuk
Kepadatan nyamuk
Aktivitas menggigit dan resting
Infeksi mikrofilaria pada nyamuk
Infeksi filaria pada penduduk
Tipe habitat perindukan larva

14
20
24
31
32
34

5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

38
39
41
44

DAFTAR TABEL

Halaman

1

2

3

4

5

6

7
8
9

Jumlah dan persentase nyamuk yang tertangkap dengan berbagai
metode penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
Komposisi keanekaragaman nyamuk yang tertangkap dengan
berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
Kelimpahan nisbi, frekuensi spesies, dominansi spesies dengan
umpan orang dan light trap berdasarkan jenis nyamuk di Desa
Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September
– Desember 2015)
Kepadatan nyamuk yang menggigit per orang per jam (man hour
density/MHD) setiap bulan di Desa Mandomai, Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
Kepadatan nyamuk per orang per jam (man hour density/MHD)
dan Kepadatan nyamuk perorang perhari (man bitting rate/MBR)
berdasarkan lokasi penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
Paritas, proporsi parus dan perkiraan umur nyamuk di Desa
Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September
– Desember 2015)
Prevalensi filariasis berdasarkan katagori umur (tahun) di Desa
Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas
Periodisitas mikrofilaria Brugia malayi pada penderita di Desa
Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas
Tipe Perindukan jentik nyamuk di Desa Mandomai, Kec.
Kapuas Barat Kabupaten Kapuas

18

19

20

21

22

32
32
34
36

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4

5

Endemisitas Filariasis di Indonesia 2014
1) Peta Pulau Kalimantan, 2) Peta Kabupaten Kapuas
Penangkapan nyamuk dengan penangkapan human landing
collection (HLC)/bare leg collection (BLC)/Umpan orang
Jenis nyamuk dari genus Culex. a. Culex quinquefasciatus;
b. Culex gellidus; c. Culex tritaeniorhynchus; d. Culex
hutchinsoni; e. Culex bitaeniorhynchus.
Jenis nyamuk dari genus Mansonia. a. Mn. annulata; b. Mn.
uniformis; c. Mn. dives.

Halaman
5
9
10

16
17

6
7
8
9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

Jenis nyamuk dari genus Anopheles. a. Anopheles
balabacensis; b. Anopheles barbirostris
Jenis nyamuk dari genus Aedes. a. Aedes albopictus; b. Aedes
aegypti
Armigeres subalbatus
Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan indeks curah
hujan (ICH) (September – Desember 2015) di Desa
Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah
Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan suhu rata-rata
(September – Desember 2015) di Desa Mandomai,
Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan
Tengah
Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan kelembaban ratarata (September – Desember 2015) di Desa Mandomai,
Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan
Tengah
Perilaku aktivitas menggigit Mansonia spp. dengan umpan
orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa
Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
(September –
Desember 2015)
Perilaku aktivitas menggigit Culex spp. dengan umpan orang
luar(UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa
Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
(September - Desember 2015)
Perilaku aktivitas menggigit Aedes spp. dengan umpan orang
luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa
Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
(September – Desember 2015)
Perilaku aktivitas menggigit Anopheles spp. dengan umpan
orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa
Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
(September –
Desember 2015)
Perilaku aktivitas menggigit Armigeres subalbatus dengan
umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di
Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
(September – Desember 2015)
Perilaku resting Mansonia spp. di luar (RL) dan di dalam
(RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan
Tengah (September – Desember 2015)
Perilaku resting Culex spp. di luar (RL) dan di dalam (RD)
di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
(September – Desember 2015)
Perilaku resting Aedes spp. di luar (RL) dan di dalam (RD)
di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
(September – Desember 2015)

18
18
19

25

25

26

27

28

29

29

29

30

31

31

20

21

22
23

24

Perilaku resting Anopheles spp. di luar (RL) dan di dalam
(RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan
Tengah
(September – Desember 2015)
Fluktuasi Armigeres subalbatus di luar (RL) dan di dalam
(RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan
Tengah (September – Desember 2015)
Pengambilan darah Jari (1 dan 2), Spesies Brugia malayi
pada pemeriksaan Mikroskopis (3 dan 4)
Peta distribusi perindukan jentik di Desa mandomai
Kecamatan Kapuas Barat Desa Mandomai Kec. Kapuas
Barat Kabupaten Kapuas
Tipe perindukan nyamuk di di Desa mandomai Kecamatan
Kapuas Barat Desa Mandomai Kabupaten Kapuas
(September – Desember 2015). A dan B. Selokan; C.
Limbah Buangan Rumah Tangga; D. Sawah; E. Kolam
Sekolah; F. Kolam Ikan; G. Perkebunan Karet; H. Kolam
Ikan

31

32
35

37

39

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

4

5
6
7

8
9
10
11
12
13

Naskah Penjelasan Penelitian
Persetujuan Setelah Penjelasan/Inform Consent
Jumlah Rata-Rata Nyamuk yang tertangkap dengan
penangkapan HLC di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
Jumlah Rata-rata Nyamuk yang tertangkap dengan
penangkapan Resting DesaMandomai, Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah (September – Desember 2015).
Kegiatan Penelitian
Hasil Pemeriksaan Darah Jari
Pengukuran kedalaman, pH, Salinitas dan Suhu setap bulan
(September – Desember 2015) pada beberapa tipe perindukan
yang ditemukan di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat
Kabupaten Kapuas
Perhitungan Uji Korelasi Indeks curah hujan, Suhu dan
kelembaban dengan Kepadatan Nyamuk
Perhitungan Periodisitas
Titik Koordinat Pengambilan Data GPS
Rekomendasi Ijin Penelitian dari Pemkab. Kapuas
Persetujuan Etik (Ethical Approval) dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan, Badan Litbangkes
Jumlah Penderita Filariasis Menurut Provinsi di Indonesia
Tahun 2010 – 2014

Halaman
45
46

47

48
49
50

53
54
56
57
58
59
60

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Filariasis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh cacing filaria dan
ditularkan nyamuk sebagai vektor. Filariasis dapat menimbulkan dampak berupa
penurunan produktivitas kerja, beban keluarga dan menimbulkan kerugian ekonomi
bagi negara karena dapat menyebabkan kecacatan menetap. Kecacatan yang
disebabkan oleh filariasis merupakan kecacatan terbesar kedua di dunia setelah
kecacatan mental (WHO 2011).
Data WHO (2011) menunjukkan terdapat 83 negara dengan jumlah 1.3
miliar penduduk yang berisiko tertular filariasis dan lebih dari 60 % negara-negara
tersebut berada di Asia Tenggara. Diperkirakan lebih dari 120 juta orang
diantaranya sudah terinfeksi, sebanyak 43 juta orang menunjukkan gejala klinis
berupa pembengkakan di kaki atau lengan (lymphoedema) atau anggota tubuh
lainnya. Penyakit ini tersebar luas terutama di pedesaan dan dapat menyerang
semua golongan umur, laki-laki dan perempuan. Kerugian ekonomi akibat
ketidakmampuan yang disebabkan oleh filariasis adalah 67 % dari total pengeluaran
rumah tangga perbulan (Evans et al. 1993), selain itu Ramaiah et al. (2000)
melaporkan perkiraan kerugian ekonomi di India akibat filariasis mencapai US$
842 juta pada penderita kronis dan akut.
Cacing penyebab filariasis ada 3 spesies yaitu: Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor utama filariasis tipe W. bancrofti adalah
dari Culex spp. (di daerah urban dan semi urban), Anopheles spp. (di daerah rural)
dan Aedes spp. (di Kepulauan Pasifik), sedangkan filariasis tipe Brugia malayi
ditularkan dari berbagai spesies Mansonia spp., namun pada beberapa daerah juga
di temukan pada Anopheles spp. (WHO 2015).
Nyamuk Culex quinquefasciatus dan Armigeres subalbatus dengan PCR
(polymerase chain reaction), dapat dideteksi keberadaan B. malayi (Yahya et al.
2014). Sementara itu, An. barbirostris merupakan vektor penting B. malayi yang
terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan (Soeyoko 2002).
Ughasi et al. (2012) menyatakan bahwa Ma. africana dan Ma. uniformis merupakan
vektor W. bancrofti di Ghana. Kley and Rajan (2002) mencatat vektor Brugia spp.
terdiri atas An. nigerrimus, An. peditaenitus, An. vagus, An. subpictus, Cx.
quinquefasciatus, Cx. annulirostris, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. orchracea, Ma.
annulata, Ma. annulifera, Ma. bonneae, Ma. dives, Ma. indiana, Ma. uniformis dan
Ar. subalbatus.
Kasus filariasis terdapat di seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Tengah,
hingga tahun 2011 terdapat 44 kasus filariasis di antaranya Kabupaten Sukamara
13 kasus, Kotawaringin Timur 3 kasus, Seruyan 2 kasus, Kapuas 16 kasus, Pulang
Pisau 5 kasus dan Barito Selatan 5 kasus (Dinkes Provinsi Kalteng 2012). Kasus
filariasis di Kabupaten Kapuas tahun 2009 terdapat 5 kasus, 2010 terdapat 2 kasus,
2011 terjadi pengkatan (21 kasus) dan 2012 serta 2013 masing-masing 16 kasus.
Sejak tahun 2008 Kabupaten Kapuas telah melakukan pengobatan massal dan
berakhir tahun 2012, namun jumlah kasus hingga 5 tahun terakhir masih tinggi.
Transmission assesment survei (TAS) sebagai survey evaluasi untuk mengetahui
adanya penularan baru dilakukan pada 1542 anak sekolah dasar (SD) pada tahun
2013. Hasil survey TAS ditemukan 17 anak positif filariasis (Dinkes Kabupaten
Kapuas 2014)

2

Kasus tertinggi di Kabupaten Kapuas terdapat pada Kecamatan Kapuas
Barat khususnya di Desa Mandomai yang merupakan daerah endemis filariasis, hal
tersebut kemungkinan karena terdapat nyamuk yang berpotensi sebagai vektor dan
topografi yang mendukung terjadinya penyebaran serta terdapatnya reservoir.
Kasus filariasis di Desa Mandomai mengindikasikan masih terjadi transmisi, selain
itu belum pernah dilakukan penelitian tentang vektor filariasis sehingga data
mengenai vektor dan habitanya di Kabupaten Kapuas belum diketahui. Data
keanekaragaman jenis dan karakteristik habitat perkembangbiakan vektor sangat
diperlukan dalam upaya perencanaan pengendalian filariasis. Berdasarkan latar
belakang tersebut diperlukan observasi data dasar mengenai ragam jenis nyamuk
dan kaitannya sebagai vektor filariasis, mendeteksi kasus baru filariasis disekitar
penderita serta periodisitasnya pada daerah endemis filariasis di Desa Mandomai
Kabupaten Kapuas.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi keragaman nyamuk, cara
penangkapan, kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominasi spesies, menganalisis
hubungan kepadatan nyamuk dengan indeks curah hujan, suhu dan kelembaban,
mengetahui waktu aktivitas menggigit dan perilaku istirahat (resting). Pada manusia
dilakukan kegiatan untuk mengetahui prevalensi filariasis dan melakukan analisis
periodisitas filariasis. Tempat perindukan nyamuk di indentifikasi dengan
mengetahui tipe habitat jentik nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas,
Provinsi Kalimantan Tengah.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar
tentang pengendalian filariasis yang efektif dan efesien di Desa Mandomai,
Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Filariasis
Filariasis limfatik merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh
cacing filaria melalui berbagai jenis nyamuk sebagai vektor. Tiga spesies cacing
penyebab filariasis yaitu W. bancrofti, B. malayi dan B. timori. Brugia malayi
mempunyai penyebaran paling luas di Indonesia. B. timori hanya terdapat di
Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil
di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan W. bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali,
NTB dan Papua
Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi enam tipe yaitu
Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) memiliki periodisitas nokturna dan
ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang baik di air
limbah rumah tangga. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) memiliki
periodisitas nokturnal dan ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk Anopheles.
Brugia malayi subperiodik nokturnal, nyamuk penularnya adalah Mansonia spp.
yang banyak ditemukan di daerah rawa. B.malayi periodik nokturna, nyamuk
penularnya adalah An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan. Brugia
malayi nonperiodik, nyamuk penularnya adalah Ma. bonneae dan Ma. uniformis
yang ditemukan di hutan rimba. Brugia timori tipe periodik nokturna, nyamuk
penularnya An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa
Tenggara Timur, Maluku Tenggara (Soeyoko 2004).
Daur hidup cacing filaria ada 2 yaitu di dalam tubuh penderita (manusia)
dan di dalam tubuh nyamuk. Penderita filariasis mengandung cacing dewasa jantan
dan betina dalam tubuhnya. Tempat yang disukai adalah kelenjar getah bening
dalam rongga sekitar pinggul dan pangkal paha. Telur-telur dieram dalam uterus
cacing dewasa betina hingga mencapai stadium embrio aktif yang kemudian
dilepaskannya ke dalam saluran getah bening menuju saluran darah dan tumbuh
menjadi embrio yang berbentuk lurus, bergerak aktif, melepaskan selaput membran
pembungkus atau mikrofilaria (panjang 250 – 300 µm serta diameter sama dengan
diameter butir darah merah). Mikrofilaria dapat berada dalam peredaran darah
perifer menurut waktu sesuai dengan jenis mikrofilaria itu. Di Indonesia
periodisitas ini terdapat di malam hari antara pukul 21.00 malam hari sampai
dengan 2.00 dini hari (Ziebeg 2013).
Mikrofilaria yang berada di dalam darah perifer akan terhisap oleh nyamuk
pada waktu nyamuk menggigit. Di dalam tubuh vektor larva-larva ini tidak
memperbanyak diri. Pertumbuhan larva sejak dihisap oleh nyamuk hingga menjadi
infektif memerlukan waktu 10 – 14 hari, tergantung dari spesiesnya. Migrasi ke
mulut (probosis) nyamuk terjadi apabila telah menjadi larva infektif. Larva infektif
(L3) keluar dari kelenjar ludah nyamuk pada saat nyamuk betina menggigit manusia
dan jatuh di kulit serta masuk ke tubuh melewati luka yang telah dibuat oleh
probosis nyamuk (Kazura 2002).
Seseorang dapat tertular filariasis limfatik apabila orang tersebut mendapat
gigitan nyamuk infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva instar 3 atau L3.
Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari
probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk
menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan

4

bergerak menuju sistim limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak
mudahnya penularan filariasis limfatik dari satu orang ke orang lain pada suatu
wilayah tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi
filariasis limfatik, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali
(Kazura 2002).
Gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh cacing dewasa atau
perkembangannya sangat bervariasi dan mempunyai spektrum yang luas serta
tergantung masing-masing individu dan spesiesnya.. Penduduk yang berasal dari
daerah nonendemik filariasis apabila terkena infeksi pada umumnya akan
menunjukkan gejala-gejala lebih berat dan munculnya lebih cepat dari penduduk
setempat. Gejala klinis filariasis malayi muncul lebih cepat dari pada filariasis
bancrofti (WHO 1987). Gejala klinis pada infeksi dengan B. malayi dan B. timori
lebih nyata. Pada stadium akut limfadenitis sering terjadi di daerah inguinal pada
kelenjar limfe superfisial, dapat terjadi berulang-ulang terutama setelah bekerja
berat. Gejala klinis filariasis bancrofti pada stadium akut dapat terjadi peradangan
terutama pada saluran limfe genital seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis yang
sifatnya periodik dan setiap kali serangan hanya berlangsung beberapa hari.
limfedema dan elefantiasis pada penderita filaria bancrofti lebih jarang dijumpai
jika dibandingkan dengan filaria malayi dan filaria timori. Kelainan fisik dapat
terjadi pada tungkai, lengan, skrotum, vulva dan payudara. Berbeda dengan filaria
malayi dan timori, pada filaria bancrofti dapat terjadi pembengkakan seluruh
tungkai atau lengan dengan ukuran sampai tiga kali dari keadaan normal (Partono
1987).
Endemisitas Filariasis
Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke
tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di
beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Berdasarkan
laporan Kementerian Kesehatan tahun 2014, tiga provinsi dengan jumlah kasus
terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)(2.359 orang), Nusa
Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan
kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi
Utara (30 orang). Kejadian filariasis di NAD sangat menonjol bila dibandingkan
dengan provinsi lain dan merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di
seluruh Indonesia (Kemenkes 2014). Hal ini memerlukan perhatian untuk ditindak
lanjuti dan dicari kemungkinan penyebabnya.

5

Gambar 1. Endemisitas Filariasis di Indonesia 2014
Data Kementerian Kesehatan (2014) berdasarkan kabupaten, pada tahun
2013 terdapat tiga kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah Aceh Utara
(1 353 kasus), Manokwari (667 kasus) dan Mappi (652 kasus). Berdasarkan data
kabupaten tahun 2013, 87% kabupaten/kota mempunyai kasus klinis filariasis pada
range 1-100 kasus, 5.9 % kab / kota tidak memiliki kasus klinis filariasis, 5.2% pada
range 101-200 kasus, 1.2 % pada range 201 – 700 kasus dan 0.2 % pada range >
700 kasus.
Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0 % - 40 %. Dengan
endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan
endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota.
Dari hasil survei tersebut, hingga tahun 2014, kabupaten/kota yang endemis
filariasis adalah 335 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada di Indonesia
(67%), 3 kabupaten/kota yang tidak endemis filariasis (0.6 %), dan 176
kabupaten/kota yang belum melakukan survei endemisitas filariasais. Pada tahun
2014 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan survei
tahun 2013, jumlah kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi 356
kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota di Indonesia atau sebesar 71.9 %
sedangkan 139 kabupaten/kota (28.1 %) tidak endemis filariasis, seperti tampak
pada Gambar 1.
Peran Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis
Larva filaria berkembang di dalam tubuh nyamuk secara siklo
developmental atau bertahap dari larva instar 1 (L1), L2 dan menjadi larva infektif
(L3). Perkembangan mikrofilaria di dalam tubuh nyamuk tidak konstan.
Mikrofilaria dapat meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah mikrofilaria yang
dihisap. Hal ini dikenal dengan istilah fenomena fasilitasi. Mikrofilaria juga dapat
berkurang yang dikenal dengan fenomena limitasi. Fasilitasi dan limitasi
mempengaruhi epidemiologi dan pengendalian filariasis linfatik (Pichon 2002).
Fenomena limitasi (negative density dependence) terjadi pada beberapa jenis vektor
nyamuk culicinae (Pichon 2002; Subramanian et al. 1998 dalam Pichon 2002),
sedangkan fenomena fasilitasi (positive density dependence) ditemukan pada
beberapa jenis vektor Anophelinae (Pichon 2002; Southgate dan Bryan 1992 dalam

6

Pichon 2002). Prod’hon et al. (1980) dalam Pichon (2002) melaporkan Ae. aegypti
dan Cx. quinquefasciatus yang merupakan vektor filariasis di Tahiti hanya mampu
menampung masing-masing 10 dan 68 larva W. bancrofti di dalam tubuhnya,
sedangkan Southgate dan Bryan (1992) dalam Pichon (2002) melaporkan An.
gambiae dan An. arabiensis yang merupakan vektor filariasis di Gambia mampu
menampung W. bancrofti masing-masing sebanyak 128 dan 42 mikrofilaria.
Migrasi mikrofilaria ke dalam saluran pencernaan nyamuk dapat terhalang
oleh adanya gigi-gigi tajam dan keras (sclerotinized teeth) yang terdapat pada
cibarial armature dan pharyngeal armature pada nyamuk dan simuliidae (Bain et
al. 1974 dalam McGreevy et al. 1978). Dengan demikian mikrofilaria yang
melewati kedua armature tersebut mati karena terluka. McGreevy et al. (1978)
berhasil mengukur proporsi mikrofilaria yang terbunuh oleh kedua armature
tersebut pada nyamuk vektor secara alami dan laboratorium.
Mikrofilria Brugia yang terhisap Anopheles spp. dan Aedes spp. dipengaruhi
oleh keberadaan cibarial armature. Kerusakan maksimal pada mikrofilaria Brugia
terjadi pada Anopheles spp. yang mempunyai kedua armature tersebut. Disini, 92
– 96 % mikrofilaria terluka dan 61 83 % mati (amotile) setelah terhisap. Sebaliknya
kerusakan minimal terjadi pada mikrofilaria Brugia di Aedes spp., yang hanya
memiliki pharyngeal armature, tanpa cibarial armature. Disini, 9 – 12 %
mikrofilaria terluka dan 6 – 12 % mati (amotile) (McGreevy et al. 1978).
Aktivitas terbang merupakan aspek perilaku vektor yang dirubah oleh
parasit. Parasit bersaing secara langsung dengan inang vektor secara metabolik dan
mengurangi kemampuan aktivitas terbang vektor. Misalnya pada lalat tsetse yang
terinfeksi parasit, aktifitas terbangnya berkurang sebesar 15% (Bursell 1981 dalam
Rowland and Lindsay 1986).
Rowland and Lindsay (1986) mencatat aktivitas terbang sirkadian Aedes
aegypti L. yang terinfeksi Brugia pahangi selama 16 hari berurutan menggunakan
acoustic actoghraph. Aktivitas terbang terbang dari nyamuk kontrol yang tidak
terinfeksi meningkat sampai maksimum 3 hari setelah menghisap darah, kemudian
menurun sedikit dan tetap stabil selama durasi eksperimen. Aktivitas terbang pada
nyamuk yang terinfeksi parasit sementara berkurang selama 2 hari setelah mengisap
mikrofilaria pada kucing. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh migrasi parasit dari
usus tengah ke otot terbang. Karena larva parasit berkembang pada otot terbang
selama 3 – 6 hari maka aktivitas harian dari semua nyamuk kembali pada level
kontrol. Aktivitas pada hari ke 7 – 8 nyamuk yang terinfeksi mikrofilaria dengan
jumlah tiga belas atau lebih turun drastis menjadi sekitar 10% dibandingkan dengan
kontrol. Perubahan ini bertepatan dengan munculnya larva stadium infektif dari otot
terbang. Keberadaan larva yang sedikit, tidak mengganggu aktivitas terbang.
Karena berkurangnya kemampuan terbang, nyamuk yang terinfeksi berat
kemungkinan sedikit berperan dalam transmisi filariasis.
Eleminasi Filariasis
Kerugian akibat filariasis menyebabkan cacat permanen. Cacat fisik
permanen umumnya lebih banyak ditemukan pada laki-laki karena lebih sering
keluar rumah yang berkaitan dengan pekerjaannya, hal tersebut mengakibatkan
laki-laki kemungkinan kontak dengan nyamuk lebih besar, sehingga berpengaruh
terhadap sosial ekonomi keluarga. Penderita filariasis juga mempunyai beban

7

psikososial, hidupnya terisolasi dari pergaulan masyarakat karena merasa malu
menderita cacat fisik, angka perceraian akan meningkat bagi yang sudah
berkeluarga dan kesulitan mendapatkan pasangan bagi yang belum berkeluarga
(WHO 1994). Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat filariasis tersebut, maka
penyakit tersebut perlu dilakukan pemberantasan.
Eleminasi filariasis perlu dilakukan secara global. WHO sebagai organisasi
kesehatan dunia dengan program global programme to eliminate lymphatic
filariasis (GPELF) bertujuan untuk menghilangkan penyakit sebagai masalah
kesehatan masyarakat pada tahun 2020 dengan 2 pilar utama. Pengobatan massal
diberikan kepada semua orang disemua daerah endemik dengan dosis tunggal dosis
(dua macam obat) sekali setahun selama minimal 5 tahun. Target untuk eliminasi
filariasis limfatik didasarkan pada upaya pengendalian yang telah dilakukan
dibeberapa negara endemis dan dilaporkan dalam kurun waktu 2000 – 2009 dan
rencana strategis 2010 – 2020 (WHO 2011) .
Program eliminasi filariasis di Indonesia merupakan salah satu program
prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Tujuan umum dari program
eliminasi filariasis adalah filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia pada tahun 2020. Tujuan khusus program adalah : a) menurunnya
angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1 % di setiap
kabupaten/kota; b) mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Program
akselerasi eliminasi filariasis diupayakan sampai dengan tahun 2020, dilakukan
dengan bertahap lima tahunan yang dimulai tahun 2010. Pemberian obat massal
pencegahan (POMP) filariasis selama 5 tahun dimaksudkan untuk mengurangi dan
membunuh mikrofilaria yang berada di dalam darah agar tidak terjadi transmisi.
Anak usia < 2 tahun, ibu hamil, ibu menyusui, sakit berat, kasus kronis filariasis,
balita marasmus, kwasiorkor, gizi buruk sebaiknya pengobatannya ditunda untuk
menghidari efek samping berlebih yang ditimbulkan (Kemenkes 2014).
Strategi pengendalian filariasis limfatik secara umum yang telah dilakukan
WHO (1997) dan telah diaplikasikan di berbagai negara adalah sebagai berikut: 1)
Menurunkan angka penularan dengan cara mengobati inangnya agar terjadi
penurunan jumlah mikrofilaria di dalam darah dan mencegah kontak antara inang
dengan vektor dan menurunkan jumlah populasi vektor. Upaya menurunkan jumlah
populasi vektor dianjurkan untuk memanfaatkan toksin yang dapat menutup
permukaan air sehingga dapat membunuh stadium larva nyamuk, dan
penyemprotan insektisida, insecticide impregnated bed nets yang keduanya dapat
membunuh stadium dewasanya. 2) Melakukan perawatan penderita yang
menunjukkan gejala akut atau kronik dan mencegah terjadinya infeksi samping.
Obat yang dianjurkan adalah topikal antibiotika dan anti jamur. 3) Melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan program pengendalian filariasis.
Pengobatan massal pada penderita dianjurkan dengan berbagai macam cara
yaitu: dosis tunggal diethyl carbamazine citrate (DEC) 6 mg/kg berat badan/hari
selama 12 hari, ivermectin 400 g/kg berat badan sekali dalam satu tahun,
kombinasi ivermectin 400 g/kg berat badan + DEC 6 mg/kg berat badan sekali
dalam satu tahun, DEC 400 mg sekali dalam setahun atau menggunakan garam
DEC (DEC fortified-salt): 0.15 % - 0.3 % jangka lama (WHO 2013).

8

3 METODE PENELITIAN
Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat,
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Gambar 2).

1

2
Gambar 2 1) Peta Pulau Kalimantan (sumber : http://mapsof.net/uploads/staticmaps/kalimantan.png); 2) Peta Kabupaten Kapuas; (sumber :
http://shindoka.org/Peta+Kab+Kapuas.JPEG)
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan September – Desember 2015 di Desa
Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan
Tengah

9

Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan
cross sectional. Kegiatan yang dilakukan adalah 1). Penangkapan Nyamuk, 2)
Identifikasi Nyamuk, 3) Pembedahan Nyamuk untuk Identifikasi vektor, 4)
Pengamatan kepadatan Nyamuk, 5) Pengambilan sediaan darah jari pada penduduk,
6) Pengamatan Periodisitas dan, 7) Survei Karakteristik habitat 8) Pengambilan titik
koordinat dengan GPS.
Cara Kerja
Penangkapan nyamuk dengan human landing collection (HLC) dan resting
Koleksi nyamuk menggunakan umpan orang atau human landing collection
(HLC) untuk mengetahui kepadatan (densitas) nyamuk yang kontak dengan
manusia dan resting untuk mengetahui perilaku nyamuk istirahat (Gambar 3)
(WHO 2015). Penangkapan nyamuk dilakukan pada 3 rumah dengan jumlah
kolektor masing-masing rumah berjumlah 2 orang yaitu 1 orang di dalam dan 1
orang di luar rumah. Penangkapan nyamuk dilakukan selama semalam dimulai
pukul 18.00 - 06.00. Setiap jam terdiri atas 45 menit penangkapan dengan umpan
orang dan 10 menit dilakukan dengan penangkapan resting dengan menggunakan
aspirator. Penangkapan dengan penangkapan HLC dan resting dilakukan di dalam
rumah (umpan orang dalam / UOD) (dinding dalam / DD) dan di luar rumah
(umpan orang luar / UOL) (dnding luar / DL). Nyamuk yang tertangkap melalui
HLC dan resting di identifikasi di bawah mikroskop stereo menggunakan kunci
identifikasi morfologi bergambar nyamuk Anopheles (O’Connor dan Soepanto
2013a), nyamuk Aedes (O’Connor dan Soepanto 2013b), nyamuk Culex (O’Connor
dan Soepanto 2000a) dan nyamuk Mansonia (O’Connor dan Soepanto 2000b).

A

B

Gambar 3 Penangkapan nyamuk dengan penangkapan human landing collection
(HLC)/bare leg collection (BLC). A. Kader Penangkap nyamuk; B.
Bagian kaki yang digunakan sebagai umpan

10

Penangkapan Nyamuk Menggunakan Light Trap.
Penangkapan dilakukan dengan menggunakan “light trap” model CDC
pada kandang hewan. light trap diletakkan sebanyak 1 buah di kandang sapi dengan
ketinggian 1½ m dari permukaan tanah dan diletakkan pada tempat gelap (jauh dari
sumber cahaya lainnya). Pemasangan light trap dilakukan pada pukul 18.00 –
06.00. Setelah light trap dipadamkan pada pagi hari, nyamuk yang terperangkap
diambil dengan sebuah alat penghisap (aspirator) dan dipindahkan ke paper cup.
Nyamuk yang masih hidup dibius/dibunuh dengan menggunakan kloroform
selanjutnya di identifikasi hingga tingkat spesies dengan menggunakan kunci
identifikasi bergambar nyamuk Anopheles (O’Connor dan Soepanto 2013a),
nyamuk Aedes (O’Connor dan Soepanto 2013b), nyamuk Culex (O’Connor dan
Soepanto 2000a) dan nyamuk Mansonia (O’Connor dan Soepanto 2000b)..
Pembedahan Nyamuk
Pembedahan nyamuk dilakukan dengan menggunakan jarum seksi di bawah
mikroskop. Sebelumnya kaki dan sayapnya dilepaskan terlebih dahulu agar tidak
mengganggu saat pembedahan, kemudian ditambahkan larutan garam fisiologis
(GF) dan diteteskan di atas kaca objek/slide. Setelah itu, nyamuk diletakkan di atas
kaca objek yang telah diteteskan larutan GF. Abdomen segmen ketujuh ditarik
dengan jarum seksi sampai ovariumnya kelihatan dan terendam larutan GF. Setelah
itu, ovarium dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 x. Nyamuk parus
(pernah bertelur) diteruskan dengan pembedahan seluruh bagian tubuh, sedangkan
jika nulliparus (tidak pernah bertelur) tidak diteruskan. Nyamuk parus kemudian
dihancurkan dengan jarum bedah, sehingga bagian tubuhnya terpisah menjadi kecilkecil dan semua bagian tubuh tersebut terendam larutan GF. Nyamuk diamati
dengan menggunakan mikroskop, apabila ditemukan cacing maka akan tampak
bergerak. Pergerakan cacing tergantung stadiumnya, instar larva 1 - 2 pendek,
gemuk, gerakannya lambat. Larva 3 (infektif), panjang dan gerakannya cepat.
Apabila terdapat mikrofiaria diambil dengan menggunakan jarum bedah di
bawah mikroskop. Hasil identifikasi dicatat berapa mikrofilaria yang ditemukan per
individu nyamuk untuk menghitung infection rate dan infective rate (WHO 2011).
Pemeriksaan Mikrofilarimia dengan Survei Darah Jari.
Pengambilan survei darah jari (SDJ) dilakukan pada penduduk yang berada
disekitar penderita (hasil pemeriksaan transmission assesment survei/TAS) secara
sukarela. SDJ dilakukan pada bulan Desember 2015. Pengambilan SDJ pada
penduduk dilakukan pada malam hari mulai pada pukul 20.00. Pemeriksaan darah
dilakukan dengan cara tusuk jari. Pelaksanaan survei darah jari dilaksanakan
dengan menusuk ujung jari kedua, ketiga atau keempat yang sebelumnya
dibersihkan dengan kapas alkohol 70 % hingga kering. Jari yang telah diberikan
alcohol kemudian ditusuk dengan lancet sampai darah menetes keluar, pada tetesan
darah pertama yang keluar dihapus dengan kapas kering, kemudian darah
berikutnya dihisap dengan tabung kapiler tanpa heparin sebanyak 60 µl. Darah
kemudian diteteskan ke atas kaca benda, dilebarkan sehingga membentuk sediaan
darah tebal dan berbentuk oval dengan diameter 2 cm, setelah dikeringkan selama
1 malam dengan cara penyimpanan yang aman dari serangga, keesokan harinya di-

11

hemolisis dengan air selama beberapa menit sampai warna merah hilang, kemudian
dibilas dengan air dan dikeringkan. Sediaan darah kemudian difiksasi dengan
methanol selama 1-2 menit dan dikeringkan, kemudian diwarnai dengan giemsa
yang telah dilarutkan di dalam cairan buffer pH 7.2 (1 tablet buffer dilarutkan dalam
100 cc aquadest) dengan perbandingan 1 : 14 selama 15 menit. Sedian sarah
kemudian dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Sediaan darah diperiksa di
bawah mikroskop dengan pembesaran rendah (10 x 10) untuk menentukan jumlah
mikrofilaria. Pembesaran tinggi (10 x 40) untuk menentukan jenis/spesiesnya
(WHO 2013).
Survei Periodisitas Mikrofilaremia
Kasus mikrofilaremia yang diperiksa ulang periodisitas mikrofilarianya
dipilih berdasarkan kesukarelaan. Penderita yang bersedia melakukan suvei
periodisitas yaitu 1 orang dari 2 penderita. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 12 kali
yaitu pukul 08.00, 10.00, 12.00, 14.00, 16.00, 18.00, 20.00, 22.00, 24.00, 02.00,
04.00 dan 06.00. Pada tiap pemeriksaan periodisitas, diambil darah dari ujung jari
sebanyak 20 µl menggunakan lancet dan mikropipet. Pewarnaan sediaan darah
sama seperti prosedur pada survei darah jari. Hasil pewrnaan kemudian periksa dan
dihitung jumlah mikrofilaria dari setiap jam pemeriksaan.
Pengamatan Karakteristik Habitat Larva
Pengamatan karakteristik habitat dilakukan pada bulan berupa: tumbuhan air,
predator alami, jentik yang ditemukan, serangga lain, jarak terhadap permukiman,
ekosistem sekitar, kondisi air, dasar perairan, kedalaman, pH, salinitas dan suhu.
Pengamatan habitat jentik dilakukan di semua jenis perairan baik alamiah maupun
buatan yang diduga sebagai tempat perkembangbiakan. Pencidukan dilakukan
merata mewakili luas perairan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan
cidukan atau pipet. Jentik yang didapat dari setiap jenis perairan di masukkan
kedalam gelas plastik dan diberi label berdasarkan tanggal penelitian. Jentik yang
ditemukan kemudian diidentifikasi dengan melihat ciri morfologi jentik sampai
pada tahap genus.
Pemetaan dengan Software Arc GIS
Pemetaan dilakukan pada tempat yang di identifikasi terdapat jentik.
Pemetaan ini dilakukan dengan cara merekam koordinat lokasi sampel yang
disimpan dalam bentuk WPT (waypoint) dengan GPS Garmin, kemudian
melakukan database management system antara data keruangan dengan data atribut
menggunakan software MS Excell dan disimpan dalam format yang sama dengan
format software GIS, kemudian dibuat peta tematik dalam bentuk distribusi dengan
Arc GIS 10.1. Hasil pengolahan dalam bentuk peta distribusi tempat perindukan.
Analisis Data
Data hasil penelitian yang didapatkan akan dilakukan pengolahan dan
tabulasi dalam bentuk grafik dan tabel, kemudian akan dilakukan analisis secara
analitik dan diskriptif. Pengaruh indeks curah hujan (ICH), suhu dan kelembaban

12

dengan kepadatan nyamuk dianalisis secara statistik menggunakan uji korelasi
pearson dengan tingkat keprcayaan 95 % (α = 5 %) menggunakan SPSS 16.00.
Indeks Curah Hujan (ICH)
Indeks curah hujan :
Jumlah curah hujan x hari hujan

jumlah hari pada bulan yang bersangkutan

%

Kelimpahan Nisbi, Frekuensi Spesies dan Dominansi Spesies
Kepadatan nyamuk spesies tertentu dengan beberapa penangkapan
penangkapan yang dinyatakan dalam kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap dan
angka dominansi nyamuk (Sigit 1968).
Kelimpahan nisbi :
J

J

Frek. Spesies :

a

a

a

ya

ya

ya

a

a

a

a

x 100%

Jumlah bulan tertangkapnya nyamuk spesies tertentu
Jumlah bulan penangkapan

Dominansi spesies : Kelimpahan nisbi x Frekuensi spesies.
Kepadatan Nyamuk Pada Orang

Kepadatan populasi nyamuk dapat diketahui dari hasil penangkapan di daerah
penelitian, maka data yang diperoleh dihitung menurut rumus yaitu (WHO 2013):
Man hour density (MHD) :
Jumlah nyamuk yang ditangkap dengan umpan orang
Lama penangkapan/ jam x Jlh penangkap xJlh wkt penangkapan
Man bitting rate (MBR) :
Jumlah nyamuk yang ditangkap dengan umpan orang
Lama penangkapan/ jam x Jumlah malam x Jumlah umpan orang

13

Proporsi parus (parity rate), peluang hidup dan umur relatif
Proporsi parus adalah persentase nyamuk yang pernah bertelur berdasarkan
hasil pembedahan kelenjar ovari dalam suatu periode penangkapan.
Parity rate :

Jumlah nyamuk pernah bertelur parus
Jumlah nyamuk yang diperiksa ovariumnya

Peluang hidup nyamuk setiap hari yang dinyatakan dalam % yang diperoleh
dari suatu perhitungan matematis dengan mengetahui proporsi parus dan siklus
gonotropik (Davidson 1954).
Rumus  Peluang hidup

(P) =

b

d

P : peluang hidup nyamuk setiap hari
b

: siklus gonotropik (hari)

d : Parus rate (porporsi nyamuk parus = %)
Hasil pengukuran : Peluang hidup nyamuk setiap hari ( % )
Umur relatif nyamuk di populasi adalah perkiraan umur nyamuk di
populasi yang dinyatakan dalam hari, yang diperoleh melalui suatu perhitungan
matematis dengan melakukan perhitungan setelah diketahuinya peluang hidup
nyamuk setiap hari (Davidson 1954; Drapper and Davidon 1952).
Keterangan :
1
Umur relatif di populasi :

log e : bilangan matematis tertentu
- log e p

p

: Peluang hidup nyamuk

Periodisitas Mikrofilaremia
Hasil pemeriksaan periodisitas mikrofilaria pada penderita dianalisis
dengan formula Aikat dan Das (1976) dalam Fontes et al. (2000).

14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keanekaragaman Jenis Nyamuk
4.1.1 Ragam Jenis Secara Morfologi
Jenis nyamuk yang ditemukan di Desa Mandomai terdiri atas Culex
quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx.
hutchinsoni, Mansonia uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, Anopheles barbirostris,
An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae. aegypti dan Armigeres subalbatus.
Cx. quinquefasciatus mempunyai ciri khas pada probosis tidak ada gelang
putih, tergit pada abdomen dengan gelang basal yang sempit dan integumen pada
pleuron berwarna pucat merata (Gambar 4a).
Cx. gellidus mempunyai ciri khas pada probosis terdapat gelang pucat.
Skutum tertutup sis