Hubungan Konsumsi Lemak dengan Kejadian Obesitas Orang Dewasa di Kota dan Kabupaten Bogor

HUBUNGAN KONSUMSI LEMAK DENGAN KEJADIAN
OBESITAS ORANG DEWASA DI KOTA DAN KABUPATEN
BOGOR

ULQI MUHAMAD IQBAL

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

i

ABSTRACT
ULQI MUHAMAD IQBAL. Correlation Between Fat Consumption and the Case
of Obesity in Bogor Rural and Urban Area. Supervised by FAISAL ANWAR and
IKEU EKAYANTI
Obesity has been becoming a global nutrition epidemic needing a serious
concern. This research aimed to estimate the consumption of fat in adult and its
relationship with the occurence of obesity in adult of Bogor rural and urban area.

Several obesity risk factors were also analyzed in this research. This research
was conducted by cross sectional design between June-September 2012. The
number of samples in this research was 96 respondents from age 20-65,
consisted of 48 samples from rural and 48 samples from urban area. The
consumption data was obtained by questionnaire of Food Recall 2x24 hours.
Based on the result, the average fat intake for samples in Bogor rural and urban
area was 48.7 ± 19 gram/day and 48.8 ± 19 gram/day, respectively. Analysis of
fat adequation level of samples showed that most of Rural samples was in
excessive status of fat intake (35.4% of samples) while most of Urban samples
was in adequate status of fat intake (35.4% of samples). There was no significant
different both in fat intake or fat adequation level between Rural and Urban
samples (p>0.05). However, pearson correlation test result showed that there
was significant correlation (p0.05).
Berdasarkan hasil analisis hubungan asupan lemak dengan obesitas, terdapat
hubungan yang signifikan (p0.05) antara asupan lemak sampel Kabupaten dengan sampel
Kota. Sebagian besar sampel di wilayah Kabupaten mengalami tingkat
kecukupan lemak berlebihan yaitu sebesar 35.4%. Sedangkan untuk wilayah
Kota sebagian besar sampel mengalami tingkat kecukupan lemak normal yaitu
sebesar 35.4%. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji independent Ttest, tingkat kecukupan lemak sampel Kabupaten tidak berbeda nyata dengan
tingkat kecukupan sampel Kota (p>0.05). kurang dari separuh sampel total

memiliki kebiasaan merokok (26.1%). Berdasarkan sebaran masing-masing
wilayah, jumlah sampel yang memiliki kebiasaan merokok di Kabupaten lebih
besar (31.2%) daripada sampel di Kota (20.9%) meskipun secara statistik
menggunakan uji independent T-test, tidak berbeda nyata (p>0.05).

iv

Kebiasaan minum minuman beralkohol selama satu bulan terakhir pada
sampel total sebesar 13.5%. Berdasarkan sebaran setiap wilayah, konsumsi
minuman beralkohol selama satu bulan terakhir di Kabupaten Bogor sebesar
10.4%, sedangkan konsumsi minuman beralkohol di Kota Bogor yaitu sebesar
16.7%. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji independent T-test, tidak
berbeda nyata (p>0.05). Terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi
lemak terhadap kejadian obesitas (p15 tahun meningkat dari tahun 2007 yaitu pada
laki-laki 13.9% menjadi 16.3%, sedangkan pada perempuan 23.8% menjadi
26.9%. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) juga menyebutkan bahwa
prevalensi obesitas orang dewasa umur >15 tahun di Provinsi Jawa Barat tahun
2010sebesar 7.7% pada laki-laki dan pada perempuan sebesar 17.9%, dengan
rata-rata sebesar 12.8% (Riskesdas 2010).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

penggunaan zat gizi (Almatsier 2001). Status gizi ini dapat dibedakan menjadi
status gizi kurang, status gizi baik/normal, dan status gizi lebih yang bukan tidak
mungkin

akan

mengarah

pada

obesitas.

Obesitas

merupakan

kondisi

ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa.
Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah simpanan kelebihan lemak,

namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh. Distribusi lemak dapat
meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai macam penyakit
degeneratif (WHO 2000). Beberapa faktor utama penyebab obesitas adalah
genetik, fisiologis, pola makan, dan gaya hidup (Jequier dan Tappy 1999).

2

Pola

makan

yang

kurang

sehat

merupakan

salah


satu

faktor

utamaterjadinya kegemukan atau obesitas. Konsumsi lemak yang terlalu tinggi
dari pola makan yang kurang sehat akan berpengaruh pada status gizi orang
dewasa. Hasil riset yang dilakukan oleh Bray dan Popkin (1998) menunjukkan
bahwa pengurangan asupan energi harian sebesar 10% dari lemak akan
berdampak pada pengurangan bobot tubuh sebesar 16 gram/hari (Bray & Popkin
1998).
Telah banyak diteliti bahwa konsumsi lemak harian pada orang dewasa
dalam jangka panjang berdampak pada kesehatannya, terutama terhadap resiko
terjadinya obesitas. Hal tersebut mungkin berkaitan dengan jenis makanan yang
dikonsumsi serta berhubungan pula dengan pola konsumsi pangan di
masyarakat. Masyarakat Jawa Barat tradisional cenderung memiliki pola makan
tinggi karbohidrat dan serat, yang berasal dari umbi, lalapan sayur-sayuran atau
buah. Meskipun demikian, saat ini terjadi perubahan kebiasaan makan dari
kebiasaan makan secara tradisional menjadi kebiasaan makan secara modern
yang kebarat-baratan dengan kandungan karbohidrat dan serat yang rendah

serta kandungan lemak yang tinggi. Perubahan kebiasaan makan tersebut juga
dapat dipengaruhi oleh pengetahuan serta tingkat ekonomi masyarakat.
Mengingat tingginya prevalensi obesitas di wilayah Jawa Barat pada tahun 2010,
maka perlu kiranya dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan konsumsi
lemak dengan kejadian obesitas di Bogor, Jawa Barat.

3

Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui besar kontribusi konsumsi lemak pada orang dewasa serta
hubungannya dengan kejadian obesitas orang dewasa di kota dan kabupaten
Bogor .
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:
1. Mengetahui karakteristik demografi dan sosial ekonomi sampel
2. Mempelajari kebiasaan makan sampel
3. Mempelajari konsumsi lemak sampel meliputi asupan lemak dan tingkat
kecukupan lemak sampel
4. Mempelajari gaya hidup sampel meliputi kebiasaan merokok selama satu

bulan terakhir dan minum minuman beralkohol
5. Menganalisis hubungan konsumsi lemak terhadap kejadian obesitas
6. Menganalisis faktor resiko obesitas pada sampel
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkini mengenai
konsumsi lemak pada orang dewasa dalam hal jumlah, komposisi lemak menurut
jenis makanan yang dikonsumsi, hubungan antara konsumsi lemak dengan
kejadian obesitas orang dewasa serta sejauh mana faktor sosial ekonomi dapat
mempengaruhi konsumsi lemak orang dewasa. Penelitian ini juga dapat
digunakan dalam pengembangan program penelitian dan pencegahan penyakit
degeneratif serta dapat memperkenalkan gaya hidup sehat.

TINJAUAN PUSTAKA
Lemak
Lemak adalah senyawa organik yang terdiri dari atom karbon (C),
hidrogen (H), dan oksigen (O). Lemak bersifat larut dalam pelarut lemak, seperti
benzen, eter, petroleum, dan sebagainya. Lemak yang mempunyai titik lebur
tinggi berbentuk padat pada suhu kamar disebut lemak, sedangkan yang
mempunyai titik lebur rendah berbentuk cair disebut minyak (Syafiq et al. 2009).
Lemak dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan

kandungan yang berbeda-beda.

Tetapi lemak dan

minyak sering

kali

ditambahkan dengan sengaja ke dalam bahan makanan dengan berbagai tujuan.
Dalam pengolahan bahan pangan, minyak dan lemak berfungsi sebagai media
penghantar panas, seperti minyak goreng, shortening (mentega putih), lemak
(gajih), mentega, dan margarin. Di samping itu, penambahan lemak dimaksudkan
juga untuk menambah kalori serta memperbaiki terkstur dan cita rasa bahan
pangan, seperti pada kembang gula, penambahan shortening pada pembuatan
kue-kue, dan lain-lain.
Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan (minyak kelapa,
kelapa sawit, kacang tanah, kacang kedelai, jagung, dan sebagainya), mentega,
margarin, dan lemak hewan (lemak daging dan ayam). Sumber lemak lain adalah
kacang-kacangan, biji-bijian, daging dan ayam gemuk, krim, susu, keju dan
kuning telur, serta makanan yang dimasak dengan lemak atau minyak. Sayur

dan buah (kecuali apokat) sangat sedikit mengandung lemak (Almatsier 2011).
Lemak merupakan salah satu komponen makanan multifungsi yang
sangat penting untuk kehidupan. Fungsi lemak dalam tubuh antara lain sebagai
sumber energi, bagian dari membran sel, mediator aktivitas biologis antar sel,
isolator dalam menjaga keseimbangan suhu tubuh, pelindung organ-organ tubuh,
serta pelarut vitamin A, D, E, dan K. Penambahan lemak dalam makanan
memberikan efek rasa lezat dan tekstur makanan menjadi lembut dan gurih. Di
dalam tubuh, lemak menghasilkan energi 2 kali lebih banyak dibandingkan
dengan protein dan karbohidrat, yaitu 9 kkal/gram lemak yang dikonsumsi.
Anjuran konsumsi lemak orang dewasa adalah 44-47 gr/hari (FAO 2008). Food
and Agriculture Organization tahun 2008 di kota Geneva menganjurkan asupan
lemak total dari konsumsi makanan sebesar 20-35% dari energi total.
Konsumsi lemak secara berlebihan berdampak buruk bagi kesehatan,
salah satu efek dari konsumsi lemak berlebihan adalah terjadi sindroma

5

metabolik. Sindroma metabolik merupakan sekumpulan gejala yang ditemukan
pada seseorang yang mengarah kepada timbulnya penyakit degeneratif seperti
diabetes mellitus, arterosklerosis, dan penyakit jantung koroner. Permasalah

sindroma metabolik terus berkembang yang erat kaitannya dengan perubahan
gaya hidup di masyarakat (Wiardani et al. 2011).
Hasil penelitian Widiardani et al (2011) menunjukkan konsumsi lemak
yang tidak baik melebihi anjuran persentase lemak yang dianjurkan dalam sehari
memiliki resiko 2.58 kali lebih besar terhadap kejadian sindroma metabolik,
dibandingkan dengan konsumsi lemak yang sesuai anjuran. Prevalensi sindroma
metabolik meningkat dengan bertambahnya usia sekitar 10% pada penduduk
usia 20 tahun dan mencapai 40% pada usia 60 tahun. Selain itu, resiko penyakit
ini lebih besar terjadi pada wanita, yang berarti peluangnya lebih besar terjadi
pada wanita dewasa. Meskipun demikian, hasil analisis terhadap data konsumsi
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas 2009) menunjukkan rata-rata
konsumsi lemak total penduduk Indonesia adalah 58.1 g/kap/hr pada tahun
2002, dan meningkat menjadi 61.5 g/kap/hr tahun 2007, dan 64.7 g/kap/hr tahun
2009. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2010, rata-rata konsumsi lemak
secara nasional 47.2 gram atau 25.6 persen dari total konsumsi energi atau lebih
dari anjuran Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG 2004) yakni 25
persen.
Komponen dasar lemak adalah asam lemak dan gliserol yang diperoleh
dari hasil hidrolisis lemak, minyak maupun senyawa lipid lainnya. Asam lemak
pembentuk lemak dapat dibedakan berdasarkan jumlah atom C (karbon), ada

atau tidaknya ikatan rangkap, jumlah ikatan rangkap, serta letak ikatan rangkap.
Berdasarkan struktur kimianya, asam lemak dibedakan menjadi asam lemak
jenuh (saturated fatty acid/SFA) dan asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty
acids). Asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SFA) yaitu asam lemak yang tidak
memiliki ikatan rangkap. Sementara itu, asam lemak yang memiliki ikatan
rangkap disebut sebagai asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty acids),
dibedakan menjadi Mono Unsaturated Fatty Acid (MUFA) memiliki satu ikatan
rangkap, dan Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA) dengan satu atau lebih ikatan
rangkap (Syafiq et al. 2009).

6

Status Gizi
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara
asupan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh.Status gizi dapat dikatakan baik
apabila pola makan kita seimbang artinya banyak dan jenis makanan yang kita
makan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Status gizi seseorang dipengaruhi
oleh banyak faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya
setempat. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang
cukup akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola
makannya sehari-hari (Depkes 2002). Status gizi sangat tergantung pada
konsumsi dan tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan
kuantitas makanan yang dimakan (Sediaoetama 1996).
Laporan Food Agriculture Organization tahun 2008 menyatakan bahwa
batasan berat badan normal orang dewasa ditemukan berdasarkan nilai body
mass indeks (BMI). Istilah body mass index diterjemahkan menjadi Indeks Masa
Tubuh (IMT). Indeks Masa Tubuh merupakan alat yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan. Usaha dalam mempertahankan berat
badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup
lebih panjang (Anggraeni 2012). Rumus perhitungan IMT adalah sebagai barikut:
IMT = BB(kg)/TB(m)2
Klasifikasi

IMT

berdasarkan

Departemen

Kesehatan

RI

(1994)

ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi IMT berdasarkan Depkes RI (1994)
IMT (kg/m2)
Kategori
27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat
Sumber : Depkes RI 1994

Keterangan
Kurus
Normal
Gemuk

Usia dewasa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu usia 19-29 tahun, 30-49
tahun, dan 50-64 tahun.. Kebutuhan gizi pada usia dewasa berubah sesuai
kelompok usia tersebut. Peranan gizi pada usia dewasa terutama adalah untuk
mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan. Makan merupakan salah satu
kesenangan dalam hidup. Memilih makanan secara bijak selama usia dewasa,
dapat menunjang kemampuan seseorang dalam menjaga kesehatan fisik,
emosional, mental, dan mencegah penyakit. Tujuan utama kesehatan gizi pada

7

usia dewasa adalah meningkatkan kesehatan secara menyuluruh, mencegah
penyakit, dan memperlambat proses menjadi tua (Soetardjo 2011 dalam
Almatsier 2011).
Dalam konteks kesehatan masyarakat, kegemukan pada orang dewasa
ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang telah disepakati secara
global. IMT dihitung berdasarkan berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan
tinggi badan (dalam meter) dikuadratkan (BB/TB2) (Hardinsyah 2007). Indeks
Massa Tubuh tidak berlaku untuk anak-anak dalam massa pertumbuhannya,
orang tua yang pengukuran TB-nya tidak memungkinkan, atlit dan individu yang
berotot, serta wanita hamil atau menyusui.
Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi
lemak pada jaringan adiposa. Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan
jumlah simpanan kelebihan lemak, namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh.
Distribusi lemak dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai
macam penyakit degeneratif (WHO 2000). Proses kejadiannya sedikit demi
sedikit dan umumnya melibatkan beberapa faktor yaitu faktor sosial, hormonal,
psikologis, dan genetik.
Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa
sebagian besar obesitas disebabkan karena adanya interaksi antara faktor
genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi
dan gizi. Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperan besar.
Apabila kedua orang tua mengalami obesitas, makan 80% anaknya menjadi
obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan
apabila kedua orang tua tidak obesitas, makakejadian obesitas menjadi 14%
(Hidayati et al. 2006). Orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang
gemuk pula. Dalam hal ini faktor genetik sangat menentukan jumlah unsur sel
lemak dalam lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara
otomatis akan diturunkan kepada bayi selama dalam kandungan. Tidak heran
bila bayi yang lahirmemiliki unsur lemak yang relatif sama besar dengan ibunya
(Zainun 2002). Penelitian yang dilakukan Badan Internasional Obesity Task
Force (IOTF) dari badan WHO yang mengurusi masalah kegemukan
menyebutkan bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian
obesitas, sedangkan 99% disebabkan oleh faktor lingkungan (WHO 2000).

Penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,
hipertensi, kanker, serta penyakit lainnya berkaitan erat dengan gaya hidup dan
proses menua. Sampel gaya hidup sehat adalah mengonsumsi makanan
seimbang, minum air putih, berolahraga secara teratur, tidak merokok, cukup
tidur, berteman dan bersosialisasi, selalu optimis, dan belajar seumur hidup (life
long learning). Pada usia dewasa seseorang perlu menjaga kadar gula darah,
kolesterol, dan tekanan darah dalam batas normal, serta berkonsultasi dengan
profesi kesehatan secara teratur. Menurut Worhington et al. (2000) secara
umum,

kunci

untuk

memaksimalkan

kesehatan

seumur

hidup

adalah

menciptakan keseimbangan antara status fisik, mental, psikologis, dan sosial.
Penilaian status gizi berfungsi untuk mengetahui apakah seseorang atau
sekelompok orang mempunyai gizi yang baik atau tidak. Beberapa cara yang
dapat digunakan untuk menilai status gizi antara lain adalah konsumsi makanan,
antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 1995). Antropometri sangat umum
digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara
asupan zat gizi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan
proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.
Kelebihan penilaian status gizi secara antropometri adalah prosedurnya
sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar; relatif
tidak membutuhkan tenaga ahli, alatnya murah, mudah dibawa, dan tahan lama,
metodenya tepat dan akurat, dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat
gizi di masa lampau, serta dapat mengidentifikasi status gizi baik, kurang dan
buruk karena telah ada ambang batas yang jelas. Adapun kelemahan dari
penilaian status gizi secara antropometri adalah tidak sensitif untuk mendeteksi
status gizi dalam waktu singkat; adanya faktor diluar gizi seperti penyakit,
genetik, dan penurunan penggunaan energi; adanya kesalahan pada saat
pengukuran sehingga dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas
pengukuran antropometri gizi (Supariasa et al. 2002).

KERANGKA PEMIKIRAN
Orang dewasa termasuk kedalam golongan yang berada dalam masa
pemeliharaan tubuh yang sangat aktif. Dalam kondisi ini, orang dewasa harus
mendapatkan makanan yang bergizi dalam kuantitas dan kualitas yang tepat.
Makanan bergizi tersebut harus mengandung berbagai macam zat gizi seimbang
yang berguna dalam pemeliharaan tubuhnya.
Keadaan sosial ekonomi yang meliputi pendidikan, pekerjaan dan
pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu khususnya diperkotaan dapat
menyebabkan perubahan gaya hidup. Perubahan gaya hidup yang dimaksudkan
adalah kebiasaan merokok dan perubahan kebiasaan makan. Perubahan
kebiasaan makan yang terjadi adalah adanya perubahan kebiasaan makan dari
kebiasaan makan secara tradisional dengan kandungan karbohidrat dan serat
tinggi dan lemak rendah menjadi kebiasaan makan secara modern yang kebaratbaratan dengan kandungan karbohidrat dan serat rendah serta lemak tinggi.
Perubahan kebiasaan makan tersebut juga dapat di pengaruhi oleh pengetahuan
gizinya.
Perubahan kebiasaan makan yang terjadi akan mempengaruhi konsumsi
pangannya, termasuk konsumsi lemak yang merupakan faktor utama yang
langsung mempengaruhi keadaan status gizi. Jika konsumsi pangan individu
tercukupi energi dan zat gizi lainnya, diharapkan dapat menghasilkan status gizi
yang baik dan terhindar dari masalah kesehatan kurang gizi. Sebaliknya, jika
individu tidak tercukupi semua kebutuhan energi dan zat gizinya maka akan
menghasilkan status gizi kurang dan bahkan rawan terhadap masalah kesehatan
kurang gizi begitupun apabila konsumsi pangan individu melebihi kebutuhannya
maka akan menghasilkan status gizi lebih bahkan obes (masalah gizi lebih).
Suplementasi gizi merupakan zat gizi yang disisipkan pada bahan pangan
lain yang bertujuan untuk bisa mencukupi zat gizi yang dibutuhkan bahkan dapat
mengganti zat gizi yang hilang untuk memperbaiki status gizi yang lebih baik.
Gaya hidup yang baik (berolahraga, tidak merokok, dsb) dapat terhindar dari
penyakit-penyakit degeneratif dan dapat menjaga status gizi yang lebih baik.
Akibat dari konsumsi pangan secara berlebihan khususnya lemak yang
tinggi berakibat terjadinya obesitas dan kemungkinan timbul penyakit-penyakit
degeneratif.

10

Karkteristrik Sosial Ekonomi (Sampel)
 Usia
 Jenis kelamin
 Pendapatan
 Besar Keluarga
 Pendidikan
 Pekerjaan

Kebiasaan Makan
 Frekuensi makan utama
 Frekuensi makan selingan

Konsumsi Zat Gizi
 Asupan zat gizi (lemak)

Pemberian suplemen
gizi

 Tingkat kecukupan zat gizi
(lemak)

Status Gizi
 Indeks Massa Tubuh (BB/TB)

Gaya Hidup

Penyakit Degeneratif

Keterangan:
= Variabel yang dianalisis
= Variabel yang tidak dianalisis
= Garis Hubungan yang dianalisis
= Garis Hubungan yang tidak dianalisis
Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan konsumsi lemak dengan kejadian
obesitas orang dewasa di kota dan kabupaten Bogor.

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan desain cross
sectional. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yaitu Kota Bogor dan Kabupaten
Bogor dengan pertimbangan kedua tempat memiliki karakteristik ekonomi yang
berbeda. Penentuan lokasi penelitian dilakukan karena beberapa alasan antara
lain: (1) Kemudahan akses ke lokasi penelitian, (2) Belum banyak penelitian yang
berkaitan dengan konsumsi lemak di lokasi tersebut dan (3) Keterjangkauan bagi
peneliti untuk melakukan penelitian tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Juni 2012 – September 2012. Penelitian ini merupakan bagian penelitian payung
yang berjudul “Asupan Fitosterol dari Pangan pada Masyarakat di Wilayah
Bogor”.
Jumlah dan Cara Pemilihan Sampel
Kriteria contoh atau sampel adalah orang dewasa laki-laki dan
perempuan yang tinggal di kota dan kabupaten Bogor. Kriteria inklusi sampel
dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan dewasa berusia 20-65 tahun,
sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit, serta bersedia untuk diwawancarai.
Berdasarkan kriteria awal, jumlah populasi penduduk dewasa tingkat kelurahan
dalam penelitian ini adalah 49.794 orang. Penentuan lokasi penarikan sampel
dilakukan secara acak yaitu masing-masing tiga kecamatan untuk wilayah kota
dan kabupaten Bogor. Di kota Bogor, penarikan sampel dilakukan di kecamatan
Bogor Tengah (Kelurahan Sempur), Bogor Timur (Kelurahan Katulampa), dan
Bogor Selatan (Kelurahan Sukasari). Sementara itu, penarikan sampel di
kabupaten Bogor dilakukan di kecamatan Dramaga (Kelurahan Cikarawang),
Ciampea (Kelurahan Cihideung Ilir). Jika besar populasi (N) diketahui, maka
perhitungan ukuran minimal sampel menggunakan pendekatan proporsi dengan
rumus Lemenshow et al. (1997) sebagai berikut:
n=

n=

Z2 x p (1 – p)N
d2(N - 1) + Z2 x p(1 - p)
1.962 x 0.128 (1 – 0.128) 49.794
0.12(49.794 – 1) + 1.962 x 0.128(1 – 0.128)

n= 42.8 ≈ 43

12

Keterangan :
Z = 1.96
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan
N = populasi penelitian
p= Prevalensi obesitas umur >15 tahun di Jawa Barat tahun 2010
berdasarkan Riskesdas (2010), yaitu 12.8%
d = estimasi galat (eror) yaitu 10% atau 0.1
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah subyek minimal adalah
sebanyak 43 orang. Untuk mengantisipasi sampel yang drop out dan
kemungkinan data bias maka ditambah 10% dari ukuran minimal sampel
sehingga menjadi 48 sampel per wilayah. Dengan demikian total sampel adalah
96 orang (48 orang untuk wilayah kabupaten dan 48 orang untuk wilayah kota
Bogor).
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi karakteristik sosial ekonomi (usia, jenis kelamin, pendapatan,
besar keluarga, pendidikan, dan pekerjaan), kebiasaan makan, konsumsi
pangan, status gizi, dan gaya hidup sampel. Data sekunder meliputi profil wilayah
Kota dan Kabupaten Bogor.
Tabel 2 menunjukkan jenis serta cara pengumpulan data primer. Data
primer diperoleh melalui wawancara terstruktur, yaitu dengan menggunakan
kuesioner. Data konsumsi dan kebiasaan makan sampel diperoleh dengan
menggunakan metode recall selama 2x24 jam. Data status gizi sampel diamati
dengan menggunakan metode antropometri, yaitu dengan penimbangan berat
badan dan pengukuran tinggi badan. Alat ukur penimbangan berat badan berupa
timbangan injak digital, sedangkan pengukuran tinggi badan menggunakan
microtoise. Data profil wilayah meliputi gambaran umum wilayah serta jumlah
penduduk yang dikumpulkan dari data Kota dan Kabupaten Bogor.

13

Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data primer
No

Variabel

Data yang dikumpulkan

Cara pengumpulan

1. Umur

1

2. Jenis kelamin
3. Pendapatan
4. Besar keluarga

Karakteristrik
sosial ekonomi

Wawancara dengan
menggunakan Kuisioner

5. Pendidikan
6. Pekerjaan
2

Kebiasaan Makan

3

Konsumsi zat gizi

4

Status gizi

5

Gaya Hidup

Frekuensi makan

Food recall 2x24 jam

1. Asupan zat gizi
2. Tingkat kecukupan
gizi
1.

Berat badan (kg)

2.

Tinggi badan (cm)

1.
2.

Kebiasaan merokok
Kebiasaan minum
minuman beralkohol

Food recall 2x24 jam
Pengukuran dengan
timbangan injak dan microtoise
Wawancara dengan
menggunakan Kuisioner

Pengolahan dan Analisis Data
Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry,dan analisis. Data
yang diperoleh dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia yang
selanjutnya

dilakukan

menggunakan

microsoft

pengolahan
excel.

data

Data

dengan

yang

sistem

diperoleh

komputerisasi

dianalisis

dengan

menggunakan program SPSS 17.0 for Windows. Uji hubungan antar variabel
dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Pearson. Analisis faktor resiko
obesitas menggunakan analisis regresi logistik.
Karakteristrik sosial ekonomi. Data karakteristrik sosial ekonomi
meliputi data usia, jenis kelamin, pendapatan, besar keluarga,pekerjaan, dan
pendidikan diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner. Usia sampel
dikelompokan berdasarkan Hurlock (1998), yaitu dewasa awal (21-40 tahun),
dewasa madya.(40-60 tahun), dan dewasa lanjut (>60 tahun). Besar keluarga
dikelompokkan berdasarkan Hurlock (1999) yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang),
keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥ 7 orang). Sementara itu,
pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan sampel masing-masing dibagi menjadi
beberapa kelompok untuk memudahkan interpretasi data.
Kebiasaan makan sampel. Data frekuensi makan dan jenis kelompok
pangan yang dikonsumsi sampel diperoleh melalui wawancara dengan
menggunakan kuesioner.

14

Konsumsi pangan sampel. Data jumlah dan jenis pangan aktual yang
dikonsumsi responden diperoleh melalui recall konsumsi pangan 2x24 jam.
kandungan zat gizi dalam pangan yang dikonsumsi oleh sampel dihitung dengan
menggunakan Daftar Konsumsi Bahan Makanan tahun 2010. Identifikasi
terhadap masalah konsumsi diamati melalui tingkat konsumsi yang merupakan
persentase konsumsi aktual sampel dengan Angka Kecukupan Gizi yang
dianjurkan berdasarkan WNPG tahun 2004. Asupan zat gizi dari bahan makanan
dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Hardinsyah & Briawan 2004):
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDD/100)
Keterangan:
KGij

: Kandungan zat gizi i dari pangan j dengan berat B gram

Bj

: Jenis pangan j (g)

Gij

: Kandungan zat gizi i dalam 100 g BDD pangan j

BDD

: Persen pangan j yang dapat dimakan (% BDD)
Untuk menghitung Angka Kecukupan Gizi (AKG) sampel digunakan

rumus:
AKGI = (Ba/Bs) x AKG
Keterangan:
AKGI = Angka kecukupan gizi sampel
Ba

= Berat badan aktual sehat (kg)

Bs

= Berat badan standar (kg)

AKG

= Angka kecukupan energi dan protein yang dianjurkan Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi (WNPG 2004).
Tingkat konsumsi zat gizi dihitung berdasarkan angka kecukupan zat gizi

yang dianjurkan menurut umur dan berat badan sehat (WNPG 2004), sedangkan
bagi individu dengan status gizi kurus atau gemuk, maka digunakan berat badan
ideal sehingga AKG individu kurus atau gemuk sama dengan AKG menurut
WNPG (2004). Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dapat diperoleh
dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan angka
kecukupan gizi sampel menggunakan rumus:
TKG = (K/AKGI) x 100
Keterangan:
TKG

= Tingkat kecukupan zat gizi

K

= Konsumsi zat gizi

AKGI = Angka kecukupan gizi sampel

15

Status gizi sampel. Status gizi diperoleh berdasarkan Indeks Massa
Tubuh (IMT) sampel. Data status gizi sampel diamati dengan menggunakan
metode antropometri, yaitu dengan penimbangan berat badan dan pengukuran
tinggi badan. Data berat badan dan tinggi badan sampel diformulasikan dalam
rumus Indeks Massa Tubuh untuk mengetahui status gizi sampel adalah sebagai
berikut,
IMT

=

Berat Badan (Kg) x 100 %
[Tinggi Badan (cm)]2

IMT diklasifikasikan berdasarkan kategori menurut Depkes RI (2002), yaitu kurus
(27.0).
Kebiasaan merokok. Sampel dikategorikan menjadi tidak pernah,
pernah, kadang-kadang, dan setiap hari merokok.
Kebiasaan minum minuman beralkohol. Sampel dikategorikan menjadi
minum dan tidak minum minuman beralkohol.
Klasifikasi kelompok obesitas untuk penentuan faktor resiko. Untuk
penentuan faktor resiko, sampel dibagi menjadi dua kategori yaitu obes dan tidak
obes berdasarkan status gizinya. Sampel dikategorikan obes jika IMT >25 kg/m2
dan dikategorikan tidak obes jika IMT