Analisis Efisiensi Tataniaga Ikan Kerapu Macan (Epinephellus Fuscoguttatus) Pada Kelompok Tani Sea Farming Di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

ANALISIS EFISIENSI TATANIAGA IKAN KERAPU MACAN
(Epinephellus fuscoguttatus) PADA KELOMPOK TANI SEA FARMING
DI KELURAHAN PULAU PANGGANG KECAMATAN KEPULAUAN
SERIBU UTARA KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

MUHAMMAD QUSTAM SAHIBUDDIN

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Efisiensi
Tataniaga Ikan Kerapu Macan (Epinephellus fuscoguttatus) Pada Kelompok Tani
Sea Farming di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah benar karya saya dengan arahan

dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Muhammad Qustam Sahibuddin
NIM H34114041

ABSTRAK
MUHAMMAD QUSTAM SAHIBUDDIN. Analisis Efisiensi Tataniaga Ikan
Kerapu Macan (Epinephellus fuscoguttatus) Pada Kelompok Tani Sea Farming di
Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh RATNA WINANDI.
Kegiatan budidaya ikan kerapu yang dilakukan oleh Kelompok Sea
Farming telah berjalan ± 9 tahun. Dimana kelompok Sea Farming telah mampu
memproduksi ikan kerapu macan dari tahun 2006 hingga September 2014
sebanyak 6.798,9 kg dengan nilai produksi sebesar Rp 857.715.000. Namun harga
ikan kerapu macan mengalami penurunan di tingkat pembudidaya. Tahun 2013

harga jual ikan kerapu macan per kg sebesar Rp 95.000 s.d Rp. 125.000 per kg.
Sedangkan pada tahun 2014, harga ikan kerapu macan berkisar Rp 90.000 s.d Rp
110.000 per kg. Sehingga Kelompok Sea Farming mengalami penurunan
pendapatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi tataniaga ikan
kerapu macan Kelompok Sea Farming berdasarkan analisis kualitatif dan
kuantitatif. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa tataniaga ikan kerapu
macan Kelompok Sea Farming memiliki tiga pola saluran tataniaga. Nilai margin
tataniaga terkecil terdapat pada pola tataniaga III (Rp 45,000). Nilai farmer’s
share terbesar dimiliki oleh saluran tataniaga pola III (67,86 persen), kemudian
nilai π/C ratio terbesar dimiliki oleh saluran tataniga pola III (2.42). Sehingga
saluran tataniaga pola III merupakan saluran yang efisien.
Keywords: Kelompok Sea Farming, ikan kerapu macan, tataniaga, Efisiensi.

ABSTRACT
MUHAMMAD QUSTAM SAHIBUDDIN . Efficiency Analysis of Tiger Grouper
Marketing (Epinephellus fuscoguttatus) on Farmers Group Sea Farming in Pulau
Panggang Village Kepulauan Seribu Utara Sub District Kepulauan Seribu District.
Guided by RATNA WINANDI .
Grouper aquaculture activities conducted by the Group of Sea Farming has
been running ± 9 years. Where the sea farming groups have been able to produce

tiger grouper from 2006 to September 2014 as much as 6798.9 kg with a
production value of Rp 857.715 million. But the price of tiger grouper decline in
the level of farmers. In 2013 the price of tiger grouper Rp 95,000 to Rp. 125,000
per kg. Whereas in 2014, the price of tiger grouper ranges from Rp 90,000 to Rp
110,000 per kg. So the sea farming group revenues decreased. This study aimed to
analyze marketing efficiency tiger grouper sea farming group based on qualitative
and quantitative analysis. Based on the analysis, it is known that the marketing of
tiger grouper sea farming group has three marketing channels. The smallest
marketing margin value contained in the channels III (Rp 45,000). The largest
farmer's share value contained in the channel III (67.86 percent), then the value of
π/C ratio contained in the channel III (2,42). So that the marketing channel III is
an efficient channel.
Keywords: Sea Farming Group, tiger grouper, marketing, efficiency.

ANALISIS EFISIENSI TATANIAGA IKAN KERAPU MACAN
(Epinephellus fuscoguttatus) PADA KELOMPOK TANI SEA FARMING
DI KELURAHAN PULAU PANGGANG KECAMATAN KEPULAUAN
SERIBU UTARA KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

MUHAMMAD QUSTAM SAHIBUDDIN


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Analisis Efisiensi Tataniaga Ikan Kerapu Macan (Epinephellus
fuscoguttatus) Pada Kelompok Tani Sea Farming di Kelurahan
Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu.
Nama
: Muhammad Qustam Sahibuddin
NIM

: H34114041

Disetujui oleh

Dr Ir Ratna Winandi, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, M.Si
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah tentang tataniaga,
dengan judul “Analisis Efisiensi Tataniaga Ikan Kerapu Macan (Epinephellus
fuscoguttatus) Pada Kelompok Tani Sea Farming di Kelurahan Pulau Panggang

Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu”.
Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2014 dan diselesaikan pada
pertengahan tahun 2015.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga
tercinta atas segala doa, kasih sayang serta dukungan kepada penulis selama ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Ratna Winandi,
MS selaku dosen pembimbing dan kepada Ibu Ir. Juniar Atmakusuma, MS serta
Ibu Anita Primaswari Widhiani, SP. M,Si selaku dosen penguji yang telah
memberikan banyak masukan dan saran kepada penulis. Disamping itu, penulis
juga ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
selaku penasehat utama PKSPL-IPB dan Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc
selaku kepala PKSPL-IPB berserta seluruh keluarga besar PKSPL-IPB yang telah
membantu dan memberikan dukungan kepada penulis selama ini. Terima kasih
juga penulis ucapkan kepada staff pendidik dan kependidikan Departemen
Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor yang
telah mendukung penulis selama masa perkuliahan. Dan kepada Kelompok Sea
Farming yang telah membantu penulis selama proses pengumpulan data, penulis
ucapkan terima kasih. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Fatin
Hamama Makarim dan teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan
dorongan dan semangat kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat kepada semua pihak.

Bogor, Juli 2015

Muhammad Qustam Sahibuddin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Rumusan Masalah

5

Tujuan Penelitian

7

Manfaat Penelitian

7

Ruang Lingkup Penelitian


8

TINJAUAN PUSTAKA
Teknik Budidaya Ikan Kerapu Dengan Sistem Keramba Jaring Apung

8
8

Sea Farming

10

Tataniaga

12

Saluran Tataniaga

14


Margin Tataniaga dan Farmer’s Share

16

Struktur Pasar

17

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Konseptual

19
19

Konsep Tataniaga

19

Lembaga Tataniaga


20

Saluran Tataniaga

21

Fungsi-Fungsi Tataniaga

23

Struktur dan Prilaku Pasar

24

Efisiensi Tataniaga

26

Keragaan Pasar

27

Margin Tataniaga

27

Farmer’s Share

28

Rasio Keuntungan dan Biaya

29

Kerangka Pemikiran Operasional

30

METODE

33

Lokasi dan Waktu Penelitian

33

Jenis dan Sumber Data

33

Metode Penarikan Contoh dan Pengumpulan Data

33

Metode Pengolahan dan Analisis Data

34

Analisis Saluran Tataniaga

34

Analisis Fungsi dan Lembaga Tataniaga

34

Analisis Struktur Pasar, Prilaku Pasar dan Pangsa Pasar

34

Analisis Keragaan Pasar

35

Analisis Margin Tataniaga

35

Analisis Farmer’s Share

36

Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya

36

Efisiensi Tataniaga
Definisi Operasional
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

37
37
38

Kelompok Sea Farming

38

Lokasi Budidaya Ikan Kerapu Macan Kelompok Sea Farming

39

Visi dan Misi Kelompok Sea Farming

39

Struktur Organisasi Kelompok Sea Farming

40

Kegiatan Budidaya Kerapu Macan Kelompok Sea Farming

42

Pengambilan Benih Ikan Kerapu Macan

42

Pemeliharaan Benih Ikan Kerapu Macan

43

Pemberian Pakan

43

Pencucian Ikan Kerapu Macan

44

Penyortiran Ikan Kerapu Macan

44

Pembersihan dan Penggantian Jaring Budidaya

45

Pemanenan Ikan Kerapu Macan Kelompok Sea Farming

45

Pemasaran Ikan Kerapu Macan Kelompok Sea Farming

45

Karateristik Responden Pembudidaya

46

Karateristik Responden Pedagang Pengumpul Lokal

50

HASIL DAN PEMBAHASAN

51

Lembaga Tataniaga

51

Saluran Tataniaga

52

Fungsi-Fungsi Tataniaga

58

Struktur Pasar

59

Struktur Pasar di Tingkat Pembudidaya

61

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Lokal

61

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Besar

62

Prilaku Pasar

62

Penentuan Harga

62

Sistem Pembayaran

63

Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga

64

Keragaan Pasar
Margin Tataniaga

65
66

Saluran Tataniaga Pola I

67

Saluran Tataniaga Pola II

68

Saluran Tataniaga Pola III

69

Farmer’s Share

69

Rasio Keuntungan dan Biaya

70

Efisiensi Tataniaga
SIMPULAN DAN SARAN

71
72

Simpulan

72

Saran

74

DAFTAR PUSTAKA

75

LAMPIRAN

77

RIWAYAT HIDUP

83

DAFTAR TABEL
1 Potensi lahan budidaya dan tingkat pemanfaatan di Indonesia (Ha)
2 Produksi perikanan budidaya berdasarkan jenis budidaya (Ton)
3 Nilai produksi perikanan budidaya berdasarkan jenis budidaya (Milyar
Rupiah)
4 Karateristik struktur pasar berdasarkan sudut penjual dan pembeli
5 Volume produksi ikan kerapu macan Kelompok Sea Farming tahun
2014
6 Persentase umur pembudidaya ikan kerapu macan Kelompok Sea
Farming Kel. Pulau Panggang
7 Tingkat pendidikan pembudidaya ikan kerapu macan kelompok Sea
Farming Kel. Pulau Panggang
8 Jenis pekerjaan utama pembudidaya ikan kerapu macan Kelompok Sea
Farming Kel. Pulau Panggang
9 Komposisi umur pedagang responden
10 Jumlah pembudidaya, pedagang pengumpul lokal, pedagang
pengumpul besar serta ikan kerapu macan pada masing-masing saluran
tataniaga
11 Fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh masing-masing lembaga
tataniaga ikan kerapu macan Kelompok Sea Farming di Kel. Pulau
Panggang
12 Margin tataniaga ikan kerapu macan Kelompok Sea Farming Kel.
Pulau Panggang
13 Perbandingan nilai margin pada masing-masing saluran tataniaga ikan
kerapu macan Kelompok Sea Farming
14 Persentase farmer's share pada setiap saluran tataniaga ikan kerapu
macan Kelompok Sea Farming di Kel. Pulau Panggang
15 Rasio keuntungan terhadap biaya pada tataniaga ikan kearapu macan
Kelompok Sea Farming di Kel. Pulau Panggang

2
2
2
19
47
48
49
49
50

58

58
67
68
70
70

DAFTAR GAMBAR
1 Jenis-jenis ikan kerapu macan
2 Volume dan nilai produksi ikan kerapu tahun 2010-2013
3 Harga ikan kerapu macan di tingkat pembudidaya (Kelompok Sea
Farming) dan di tingkat pengumpul lokal tahun 2013
4 Harga ikan kerapu macan di tingkat pembudidaya (Kelompok Sea
Farming) dan di tingkat pengumpul lokal tahun 2014
5 Keramba jaring apung
6 Kerangka konseptual sistem pemanfaatan sumber daya laut dangkal
berbasis sea farming di Kepulauan Seribu
7 Skema penyaluran hasil perikanan
8 Konsep margin pemasaran
9 Kerangka pemikiran operasional
10 Struktur organisasi Kelompok Sea Farming

3
4
6
6
8
11
23
28
32
40

11 Kegiatan pengambilan benih ikan kerapu macan oleh anggota
Kelompok Sea Farming
12 Kegiatan pemberian pakan ikan kerapu macan
13 Kegiatan pencucian ikan kerapu macan
14 Kegiatan penyortiran ikan kerapu macan
15 Kegiatan pemanenan ikan kerapu macan Kelompok Sea Farming
16 Skema saluran tataniaga ikan kerapu macan Kelompok Sea Farming
17 Kegiatan pedagang pengumpul lokal
18 Kegiatan pembongkaran ikan kerapu macan di Pelabuhan Muara Angke
19 Kegiatan pedagang pengumpul besar di Jakarta

43
43
44
44
46
53
54
55
56

DAFTAR LAMPIRAN
1 Lokasi penelitian
2 Lokasi budidaya ikan kerapu macan Kelompok Sea Farming
3 Fungsi-fungsi tataniaga pada masing-masing saluran tataniaga ikan
kerapu macan Kelompok Sea Farming
4 Biaya tataniaga ikan kerapu macan pada saluran tataniaga pola I
5 Biaya tataniaga ikan kerapu macan pada saluran tataniaga pola II
6 Biaya tataniaga ikan kerapu macan pada saluran tataniaga pola III
7 Efisiensi tataniaga pada tiap saluran tataniaga

78
79
80
80
81
81
82

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Laut merupakan anugerah terbesar yang dimiliki Bangsa Indonesia, dengan
anugerah tersebut Indonesia memiliki wilayah laut yang begitu luas terbentang
dari Sabang hingga Merauke yang meliputi laut teritorial, zona tambahan
(contiguous zone), Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sampai dengan Landas
Kontinen (continental shelf). Wilayah tersebut memiliki sumberdaya alam yang
sangat berlimpah, baik sumber daya terbaharukan (renewable resources) seperti
perikanan, terumbu karang dan mangrove maupun sumberdaya tak terbaharukan
(non-renewable resources) seperti minyak bumi, gas, mineral dan bahan tambang
lainnya yang tentunya dapat memberikan kontribusi berupa manfaat ekonomi
yang begitu tinggi, baik itu kepada masyarakat Indonesia maupun kepada
pembangunan nasional dimasa kini dan akan datang.
Sumber-sumber pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Bangsa Indonesia
pada dasarnya terdapat di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan lautan (Rokhmin
Dahuri Information Center, 2013). Dimana terdapat sepuluh sektor ekonomi yang
dapat dikembangkan, yaitu : (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3)
industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) energi
dan sumber daya mineral (ESDM), (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut,
(8) industri dan jasa maritim, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (10)
sumber daya kelautan non konvensional. Sepuluh sektor tersebut memiliki nilai
ekonomi yang diperkirakan mencapai U$D 1 triliun, sekitar 7 kali lipat APBN
2012 atau sedikit lebih besar dari PDB Indonesia pada Tahun 2012 1. Dengan
potensi tersebut, maka sangat wajar sekali jika sektor kelautan dan perikanan
seharusnya menjadi arus utama (mainstream) dalam kebijakan pembangunan
nasional di Indonesia.
Dari kesepuluh sektor ekonomi yang disebutkan diatas, sektor perikanan
budidaya merupakan salah satu sektor yang ikut memberikan kontribusi bagi
peningkatan pemanfaatan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Saat ini
perkembangan perikanan budidaya di Indonesia menunjukkan trend positif,
dimana potensi pengembangan sektor perikanan budidaya masih sangat terbuka
lebar. Menurut data Kelautan dan Perikanan Dalam Angka (2013) tercatat bahwa
potensi pengembangan kegiatan budidaya khususnya budidaya laut (marine
culture) sebesar 12.545.072 ha, dimana pada tahun 2012 baru dimanfaatkan
sebesar 178.435 ha atau sekitar 1,42 persen saja. Sehingga dengan demikian
masih terdapat peluang pengembangan kegiatan budidaya laut sebesar 12.366.637
ha (98,58 persen). Potensi lahan budidaya dan tingkat pemanfaatan di Indonesia
dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 1.

1

http://rokhmindahuri.info/2013/01/17/potensi-perikanan-indonesia-baru-tergarap-20-persen
[diakses tanggal 27 Maret 2013]

2
Tabel 1 Potensi lahan budidaya dan tingkat pemanfaatan di Indonesia (Ha)
No

Jenis Budidaya

Potensi 1)

1.
2.
3.
4.
5.

Tambak Brackishwater Pond
Kolam-Freshwater Pond
Perairan Umum-Inland Openwater
Sawah-Paddly Field
Laut-Marine Culture

2.963.717
541.000
158.125
1.536.289
12.545.072

Peluang
Pengembangan
2.306.371
409.324
156.327
1.380.096
12.366.637

Pemanfaatan 2)
657.346
131.776
1.798
156.193
178.435

Sumber : Kelautan dan Perikanan Dalam Angka (2013)
Keterangan :
1)
: Data berdasarkan buku statistik perikanan budidaya tahun 2009
2)
: Data berdasarkan buku statistik perikanan budidaya tahun 2012

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, jumlah
produksi perikanan budidaya tahun 2013 sebesar 13.703.369 ton dengan kenaikan
rata-rata dari tahun 2010 s.d 2013 sebesar 29.99 persen, dengan nilai mencapai Rp
145.292 milyar yang terdiri dari budidaya air tawar 3.411.221 ton, budidaya air
payau 1.522.420 ton dan budidaya laut sebesar 8.769.728 ton (Tabel 2).
Selanjutnya disebutkan, untuk kenaikan rata-rata tertinggi dari tahun 2010 s.d
2013 terdapat pada budidaya air tawar sebesar 41,42 persen diikuti oleh budidaya
laut 28,46 persen dan budidaya air payau 21,40 persen. Namun dilihat dari nilai
produksi pada rentan tahun yang sama, maka kenaikan rata-rata tertinggi terdapat
pada budidya laut sebesar 49,78 persen, diikuti oleh budidaya air tawar 41,41
persen dan budidaya air payau 7,61 persen (Tabel 3).
Tabel 2 Produksi perikanan budidaya berdasarkan jenis budidaya (Ton)
Jenis Budidaya

-

Volume perikanan budidaya
Budidaya air tawar
Budidaya air payau
Budidaya laut

2010
6.277.923
1.246.909
980.121
4.140.893

2011

2012

2013*

%

7.928.963
1.586.261
933.161
5.409.541

9.675.532
1.982.161
1.001.032
6.692.339

13.703.369
3.411.221
1.522.420
8.769.728

117,80
101,700
105,666
128,275

Kenaikan
Rata-Rata
2010-2013
(%)
29,99
41,42
21,40
28,46

Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2013 (diolah)
Keterangan :
*)
: Angka Sementara

Dengan capaian tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara ke dua
terbesar dunia sebagai produsen perikanan budidaya dengan memberikan share
sekitar 9.5 persen terhadap total produksi perikanan budidaya dunia (Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya, 2013)
Tabel 3 Nilai produksi perikanan budidaya berdasarkan jenis budidaya
(Milyar Rupiah)
Jenis Budidaya
Nilai produksi perikanan
budidaya
- Budidaya air tawar
- Budidaya air payau
- Budidaya laut

2010
63,418
24,053
16,637
22,728

2011

2012

66,543
25,526
15,456
25,561

75,923
31,175
16,573
28,175

Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2013 (diolah)
Keterangan :
*)
: Angka Sementara

2013*

%

145,292
61,095
20,336
63,861

153,53
139,27
166,24
165,72

Kenaikan
Rata-Rata
2010-2013 (%)
36,80
41,41
7,61
49,78

3
Salah satu komoditas primadona untuk kegiatan budidaya laut adalah ikan
kerapu (Epinephelus sp) (Effendi, 2004). Ikan kerapu merupakan komoditas yang
dijual dalam keadaan hidup, sehingga memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan dalam kondisi segar maupun beku, serta tekstur daging
yang lembut dan cita rasa yang lezat 2. Disamping itu harga ikan kerapu terbilang
cukup tinggi baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal tersebut
dikarenakan ikan kerapu termasuk ke dalam golongan ikan mahal (Effendi, 2004).
Harga ikan kerapu di dalam negeri saja untuk jenis kerapu bebek berkisar Rp
400.000 s.d Rp 500.000 per kg, dan kerapu macan Rp 150.000 s.d Rp 170.000 per
kg. Sedangkan untuk pasar di luar negeri seperti di China, harga ikan kerapu tikus
mencapai US$100 per kg 3. Walaupun harga ikan kerapu terbilang tinggi, namun
permintaan akan ikan mahal tersebut terus meningkat khususnya negara-negara di
kawasan Asia. Pada tahun 2013, volume ekspor ikan kerapu ke negara-negara di
kawasan Asia sebesar 12.666.843 Kg dengan nilai ekspor mencapai
US$ 36.585.357 (KKP, 2013). Dengan pencapaian tersebut, sangat wajar jika
Kementerian Kelautan dan Perikanan terus berusaha meningkatkan volume
produksi ikan kerapu dan menetapkan ikan tersebut sebagai salah satu komoditas
unggulan nasional.

Gambar 1 Jenis-jenis ikan kerapu (Effendi, 2004)
2

3

https://ikanmania.wordpress.com/2007/12/31/mengenal-pasar-ikan-kerapu-dihongkong/[diakses tanggal 3 Oktober 2013]
http://agrina-online.com/redesign2.php?rid=7&aid=2679 [diakses tanggal 3 Oktober 2013]

4
Trend produksi ikan kerapu di Indonesia sendiri dari tahun 2010 s.d 2013
mengalamai peningkatan. Hal tersebut dilihat dari kenaikan produksi rata-rata per
tahun sebesar 11,73 persen. Begitu juga dengan nilai produksi selama kurun
waktu yang sama menunjukan peningkatan dengan rata-rata kenaikan per tahun
sebesar 23,41 persen. Pada tahun 2013 produksi ikan kerapu sebesar 14.400 ton,
dengan nilai sebesar Rp 2.880 milyar rupiah dengan harga rata-rata sebesar Rp.
200.000. Pencapaian volume dan nilai produksi tersebut menjadikan Indonesia
sebagai negara terbesar ke tiga dunia penghasil ikan kerapu, dengan kontribusi
sekitar 12,1 persen terhadap total produksi ikan kerapu dunia sebesar 87.104 ton
(Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2013). Volume dan nilai produksi ikan
kerapu Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.
14,400

15,000
11,950

13,000
11,000

2,500

10,398 10,580

2,880

3,000
2,265

2,000

9,000

1,500

7,000

1,000

1,558
1,162

500

5,000
2010

2011

Volume Produksi (Ton)

2012

2013

2010

2011

2012

2013

Nilai Produksi (Milyar Rupiah)

Gambar 2 Volume dan nilai produksi ikan kerapu tahun 2010-2013
(Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2013)
Salah satu wilayah yang memiliki potensi untuk pengembangan budidaya
kerapu adalah Kabupaten Administrasi Kepualauan Seribu (KAKS). Kabupaten
tersebut merupakan daerah yang sangat berpotensi untuk pengembangan budidaya
ikan kerapu karena memiliki perairan berkarang yang luas. Perairan dengan
karakteristik berkarang merupakan habitat yang paling baik bagi ikan kerapu.
Salah satu perairan yang memiliki potensi pengembangan kegiatan budidaya di
Kepulauan Seribu adalah Perairan Goba Semak Daun, dengan luas sebesar 359.49
ha (PKSPL IPB, 2004). Disamping memiliki potensi pengembangan kegiatan
budidaya kerapu, perairan Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah yang
memiliki kontribusi dalam produksi ikan kerapu nasional. Pada tahun 2011
produksi ikan kerapu Kepulauan Seribu sebesar 7 ton, dan meningkat menjadi 9
ton pada tahun 2012 (Statistik Kelautan dan Perikanan, 2013).
Kepulauan Seribu merupakan suatu wilayah khas yang terletak di wilayah
Teluk Jakarta dengan berbagai potensi perikanan yang cukup beragam antara lain
ikan konsumsi, ikan hias, terumbu karang, serta mangrove. Sebagai wilayah
Kabupaten di Provinsi DKI Jakarta, maka Kabupaten Administratif Kepulauan
Seribu banyak memiliki karakteristik khas yang memerlukan pendekatan khusus
dalam proses pembangunannya. Demi mendukung pengembangan kegiatan
budidaya ikan kerapu tersebut, Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu melalui Suku Dinas Kelautan dan Pertanian menerapkan Program Sea
Farming di Perairan Semak Daun Kelurahan Pulau Panggang. Program tersebut
merupakan hasil kerjasama antara Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten

5
Administrasi Kepulauan Seribu dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) pada tahun 2003.
Implementasi program sea farming di Kelurahan Pulau Panggang berbasis
masyarakat, dimana pelaksanaannya melibatkan masyarakat lokal Kelurahan
Pulau Panggang. Konsep sea farming yang diterapkan di Kelurahan Pulau
Panggang terdiri dari tiga sub-sistem, dimana kegiatan budidaya kerapu berada
pada sub-sistem yang ke dua. Sehingga agar sub-sistem ke dua dapat berjalan
maka dibentuklah kelompok pembudidaya ikan kerapu yang diberi nama
Kelompok Sea Farming.
Kelompok Sea Farming merupakan kumpulan masyarakat lokal Kelurahan
Pulau Panggang, yang pada dasarnya berprofesi sebagai nelayan tradisional.
Kegiatan budidaya yang dilakukan oleh Kelompok Sea Farming menggunakan
teknik Keramba Jaring Apung atau biasa disebut KJA, dengan komoditas yang
dibudidayakan adalah ikan kerapu macan (Epinephellus fuscoguttatus). Pemilihan
teknik serta komoditas budidaya tersebut berdasarkan hasil kajian yang telah
dilakukan oleh PKSPL IPB pada tahun 2004.

Rumusan Masalah
Kegiatan budidaya ikan kerapu yang dilakukan oleh Kelompok Sea
Farming telah berjalan ± 9 tahun. Dimana kelompok Sea Farming telah
memproduksi ikan kerapu macan dari tahun 2006 hingga September 2014
sebanyak 6.798.9 kg dengan nilai produksi sebesar Rp 857.715.000 (PKSPL-IPB,
2014). Sebagian besar ikan kerapu macan yang dihasilkan oleh kelompok Sea
Farming dijual kepada pengumpul lokal di Pulau Panggang, walaupun ada juga
yang menjual langsung kepada pengumpul besar di Jakarta. Ikan kerapu macan
yang dihasilkan oleh Kelompok Sea Farming merupakan produk perikanan yang
dijual dalam keadaan hidup.
Kelompok Sea Farming dalam melaksanakan kegiatan budidaya ikan
kerapu macan menggunakan teknik Keramba Jaring Apung (KJA). Dalam
kegiatan budidaya tersebut PKSPL IPB menyediakan benih ikan kerapu macan
yang berkualitas dengan sistem pinjaman. Dimana anggota Kelompok Sea
Farming akan melunasi pinjaman benih tersebut setelah dilakukan pemanenan.
Disamping penyediaan benih yang berkualitas dengan sistem pinjaman,
Kelompok Sea Farming juga memperoleh fasilitas Keramba Jaring Apung. Sudah
tentunya kegiatan budidaya ikan kerapu macan yang dilakukan oleh Kelompok
Sea Farming tidak hanya sebatas memproduksi saja, namun bagaimana kegiatan
tersebut mampu memberikan kesejahteraan bagi Kelompok Sea Farming.
Sehingga jaminan harga terhadap komoditas ikan kerapu macan diharapkan
sebanding dengan kegiatan (fungsi tataniga) yang dilakukan oleh anggota
Kelompok Sea Farming selaku pembudidaya ikan kerapu macan.
Harga ikan kerapu macan di tingkat pembudidaya (Kelompok Sea Farming)
pada tahun 2013 berfluktuatif bahkan cenderung menurun pada tahun 2014.
Penurunan harga ikan kerapu macan di tingkat pembudidaya (Kelompok Sea
Farming) pada tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 3.

6
150
140

140 142 140

130
120

125
120

110

130
125
125
120
120
115
115

130
125

115

100

100
95 95 95 95 95

95 95
95

95

15-Jan-13
8-Feb-13
19-Mar-13
24-Apr-13
17-May-13
3-Jun-13
28-Jun-13
30-Jun-13
22-Jul-13
2-Aug-13
3-Aug-13
5-Aug-13
8-Aug-13
9-Aug-13
13-Oct-13
19-Oct-13
8-Nov-13
15-Nov-13
17-Nov-13
15-Dec-13

90

115 115
115
115
115

115 115

100

100 100
100

100

120

120
115

Harga Di Tingkat Pembudidaya (Rp 1000)
Harga Di Tingkat Pedagang Pengumpul Lokal (Rp 1000)

Gambar 3 Harga ikan kerapu macan di tingkat pembudidaya (Kelompok Sea
Farming dan di tingkat pengumpul lokal tahun 2013 (PKSPL-IPB, 2013)
Berdasarkan Gambar 3 di atas, diketahui bahwa harga jual terendah ikan
kerapu macan di tingkat Kelompok Sea Farming sebesar Rp 95.000 per kg s.d
Rp 125.000 per kg. Sedangkan pihak eksportir berani membayar ikan mahal
tersebut dengan harga Rp 170.000 s.d Rp 200.000 per kg. Kondisi harga ikan
kerapu macan tersebut (Gambar 3) belum pernah dialami baik itu oleh
pembudidaya ikan kerapu di Kelurahan Pulau Panggang pada umumnya maupun
oleh Kelompok Sea Farming sendiri. Ternyata kondisi tersebut masih berlangsung
memasuki tahun 2014. Dimana harga ikan kerapu macan di tingkat pembudidaya
hanya berkisar Rp 90.000 s.d Rp 110.000 per kg (Gambar 4).
.
125

125
115
105
95
85

120

120

125
105

100
90

95

125

120

125
120

120
110

100

95

95

95

Harga Di Tingkat Pembudidaya (Rp 1000)
Harga Di Tingkat Pedagang Pengumpul Lokal (Rp 1000)

Gambar 4 Harga ikan kerapu macan di tingkat pembudidaya (Kelompok Sea
Farming dan di tingkat pengumpul lokal tahun 2014 (PKSPL-IPB, 2014)
Penuruan harga yang terjadi pada komoditas ikan kerapu macan yang
dibudidayakan oleh Kelompok Sea Farming tentu berdampak secara langsung
terhadap menurunnya pendapatan Kelompok Sea Farming. Hal tersebut dapat
dilihat dari total pendapatan Kelompok Sea Farming, dimana pada tahun 2014
total pendapatan Kelompok Sea Farming sebesar Rp 132.935.500 dengan total
produksi sebanyak 1.373 kg, sedangkan pada tahun 2012 total pendapatan

7
Kelompok Sea Farming dengan volume produksi kurang lebih hampir sama
dengan volume produksi pada tahun 2014 adalah sebesar Rp 182.989.000.
Sehingga terjadi penurunan pendapatan sebesar 27.35 persen akibat dari
penurunan harga ikan kerapu macan di tingkat pembudidaya. Secara logika
penurunan pendapatan dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan seseorang
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari serta kemampuan dalam
mengembalikan pinjaman.
Kelompok Sea Farming tidak dapat berbuat banyak akibat dari penurunan
harga ikan kerapu macan, dan mau tidak mau mereka menerima harga tersebut.
Sikap yang ditunjukkan oleh Kelompok Sea Farming tersebut diakibatkan
keterbatasan informasi mengenai harga ikan kerapu macan yang berlaku di Jakarta
(pedagang pengumpul besar). Sudah tentunya kondisi tersebut dapat menghambat
proses pengembalian pinjaman benih Kelompok Sea Farming. Hal inilah yang
menarik perhatian penulis untuk mengetahui masalah-masalah yang terjadi dalam
kegiatan tataniaga ikan kerapu macan Kelompok Sea Farming sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem tataniaga ikan kerapu macan Kelompok Sea Farming ?
2. Fungsi-fungsi tataniaga apa saja yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
tataniaga yang terlibat pada pemasaran ikan kerapu macan Kelompok Sea
Farming ?
3. Bagaimana struktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga
tataniaga yang terlibat pada pemasaran ikan kerapu macan Kelompok Sea
Farming ?
4. Bagaimana efisiensi tataniaga ikan kerapu macan Kelompok Sea Farming
jika dilihat dari margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan
biaya ?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dari latar belakang serta perumusan masalah, maka
tujuan peneltian ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengidentifikasi saluran dan lembaga tataniaga ikan kerapu macan
Kelompok Sea Farming.
2.
Mengidentifikasi fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga
ikan kerapu macan Kelompok Sea Farming.
3.
Menganalisis struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar ikan kerapu
macan Kelompok Sea Farming.
4.
Menganalisis efisiensi sistem tataniaga ikan kerapu macan Kelompok Sea
Farming berdasarkan pendekatan margin tataniaga, farmer’s share dan rasio
keuntungan dan biaya.

Manfaat Penelitian
1.

Harapan penulis dari hasil peneitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi :
Anggota Kelompok Sea Sarming pada khususnya untuk dijadikan sebagai
rujukan dalam melakukan kegiatan tataniaga ikan kerapu macan.

8
2.

3.

Pihak-pihak yang terkait khususnya Suku Dinas Kelautan dan Pertanian
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebagai bahan informasi bagi
perencanaan dan penerapan kebijakan untuk meningkatkan efisiensi
tataniaga ikan kerapu macan di KAKS.
PKSP-IPB sebagai bahan pertimbangan dan rujukan untuk lebih
memaksimalkan kinerja Program Sea Farming.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan hanya pada ruang lingkup kegiatan tataniaga ikan
kerapu macan Kelompok Sea Farming. Dimana harga ikan kerapu macan yang
dijadikan acuan adalah harga yang berlaku pada saat penelitian ini dilaksanakan.

TINJAUAN PUSTAKA
Teknik Budidaya Ikan Kerapu Dengan Sistem Keramba Jaring Apung
Teknik budidaya dengan menggunakan metode keramba apung (cage
culture) atau dewasa ini lebih dikenal dengan nama Keramba Jaring Apung (KJA)
adalah membuat sebuah bangunan semi permanen di laut, bisa terbuat dari kayu
atau bambu dengan menempatkan jaring di kerangka KJA yang berbentuk kotak
dengan kedalaman 7-10 meter (Effendi, 2004). Sistem ini terdiri dari beberapa
komponen, seperti rangka, kantong jaring, pelampung, jalan inspeksi, rumah jaga
dan jangkar (Gambar 5). Rangka KJA bisa terbuat dari kayu, bambu, pipa paralon
atau alumunium. Rangka tersebut berfungsi sebagai tempat bergantungnya
kantong jaring, landasan jalan inspeksi dan rumah jaga (Effendi, 2004).

Gambar 5 Keramba Jaring Apung (Effendi, 2004)

9
Berkembangnya kegiatan budidaya ikan kerapu macan dengan teknik KJA
di Kelurahan Pulau Panggang dikarenakan kegiatan budidaya dengan sistem KJA
relatif lebih mudah untuk dilaksanakan, dimana ikan dapat dipelihara dengan
tingkat kepadatan yang tinggi tanpa khawatir akan kekurangan oksigen (PKSPL
IPB, 2004). Adapun beberapa kriteria persyaratan yang harus diperhatikan agar
kegiatan budidaya ikan kerapu macan dengan teknik KJA dapat berjalan dengan
baik adalah penentuan lokasi budidaya. Pemilihan ataupun penentuan lokasi
budidaya sangat menentukan keberhasilan kegiatan budidaya yang dijalankan,
dimana dalam penentuan lokasi budidaya harus memperhatikan beberapa aspek
(Soemarjati et al, 2015), antara lain :
1.
Perairan terlindung dari angin dan gelombang yang besar
Perairan yang disarankan untuk dijadikan lokasi budidaya yang memiliki
ketinggian gelombang tidak lebih dari 0,5 meter.
2.
Kedalaman perairan
Kedalaman perairan yang ideal untuk kegiatan budidaya kerapu macan
dengan teknik KJA adalah 5 s.d 15 meter.
3.
Dasar perairan
Dasar perairan lokasi kegiatan budidaya ikan kerapu macan sebaikanya
berkarang hidup dan berpasir putih.
4.
Jauh dari limbah pencemaran
Lokasi budidaya sebaiknya jauh dari sumber limbah, seperti limbah industri,
rumah tangga dan limbah tambak. Limbah-limbah tersebut dapat
mempengaruhi kualitas air disekitar lokasi budidaya.
5.
Tidak menggangu jalur pelayaran
Lokasi yang berdekatan dengan jalur pelayaran tidak hanya menggangu
pelayaran, tetapi juga dapat menggangu ikan peliharaan.
6.
Dekat dengan sumber pakan
Sumber pakan yang dekat dengan lokasi budidaya sangat penting, karena
pakan merupakan kunci keberhasilan budidaya ikan kerapu macan.
7.
Dekat dengan sarana dan prasarana transportasi
Tersedianya sarana transportasi yang baik dan mudah diakses adalah suatu
keuntungan tersendiri, karena memberikan kemudahan dalam hal
pengangkutan pakan dan hasil panen.
8.
Keamanan
Lokasi yang keamanannya kurang terjamin sebaiknya tidak dipilih untuk
lokasi pembesaran karena akan mengakibatkan seringnya terjadi pencurian.
Disamping pemilihan lokasi budidaya yang tepat, kualitas air juga perlu
diperhatikan. Dimana kualitas air memegang peranan penting dalam keberhasilan
suatu kegiatan budidaya yang dijalankan. Adapun kriteria kualitas air yang
dimaksud antara lain :
1.
Kecepatan arus
Kecepatan arus yang ideal untuk kegiatan budidaya ikan kerapu macan
adalah antara 0.15 – 0.30 m/detik.
2.
Kecerahan
Perairan yang tingkat kecerahannya sangat tinggi bahkan sampai tembus
dasar perairan merupakan indikator perairannya cukup jernih dan perairan
tersebut sangat baik untuk lokasi pembesaran. Kecerahan perairan lokasi
yang cocok untuk pembesaran kerapu macan adalah > dari 2 meter.

10
3.

Salinitas
Salinitas yang ideal untuk pembesaran ikan kerapu macan adalah 30 – 33 ppt.
4. Suhu
Perubahan suhu yang tinggi dalam suatu perairan laut akan mempengaruhi
proses metabolisme atau nafsu makan, aktifitas tubuh dan syaraf. Suhu
optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu macan adalah 27⁰C – 29⁰C.
5. Konsentrasi ion hidrogen (pH)
Ikan kerapu macan diketahui sangat baik petumbuhannya pada pH normal
air laut yaitu antara 8.0 – 8.2.
6. Oksigen terlarut
Konsentrasi oksigen dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi
pakan, dan mengurangi daya dukung perairan. Ikan kerapu macan dapat
hidup layak dalam karamba jaring apung dengan konsentrasi oksigen terlarut
lebih dari 5 ppm.
Langkah selanjutnya adalah pengadaan sarana budidaya, seperti pengadaan
jaring pemeliharaan, pelampung, jangkar, keramba, pengadaan benih, dan perahu.
Dalam pengelolaan kegiatan budidaya ikan kerapu, Sunyoto (1996) dalam
Mansyur K (2008) mengatakan pengelolaan kegiatan budidaya ikan kerapu terdiri
dari kegiatan berupa penebaran benih, pendederan, pembesaran, pemberian pakan
dan pengelolaannya, pencegahan terhadap penyakit, perawatan sarana dan
prasarana budidaya, pengamatan kualitas air, pemanenan, penanganan pasca
panen dan pemasaran.
Sudah tentunya agar kegiatan budidaya yang dijalankan dan dikembangkan
selain dapat memproduksi ikan dalam jumlah yang besar dan menguntungkan
(profitable), juga diharapkan dapat berkelanjutan dan ramah lingkungan serta
memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Maka usaha
budidaya laut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1). Setiap usaha
akuaklutur harus memenuhi skala ekonominya; 2). Penerapan Best Aquaculture
Practices (cara berbudidaya yang baik dan benar); 3). Penerapan integrated
supply-chain management; 4). Terus menerus melakukan inovasi dan
automatisasi; 5). Penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan
dan berkelanjutan; 6). Memberikan akses selebar-lebarnya kepada rakyat kecil
untuk dapat menjalankan usaha akuakultur industrial yang ramah lingkungan dan
inklusif 4.

Sea Farming
Kegiatan Sea farming sendiri telah dimulai sejak abad 17 di Jepang,
Norwegia dan Amerika Serikat. Kegiatan pelepasan larva ikan yang masih
mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887 dan kegiatan ini terus
berlanjut sampai dengan tahun 1967. Namun disatu sisi kegiatan sea farming yang
dilaksanakan di Norwegia tidak diikuti dengan evaluasi keberhasilan maupun
dampak kegiatan tersebut terhadap populasi ikan dan hasil tangkapan serta
dampak ekologi dari aktivitas yang sudah dilakukan (PKSPL-IPB, 2004).
4

PKSPL-IPB. 2012. Industrialisasi Perikanan Budidaya untuk Ketahanan Pangan dan
Kesejahteraan Rakyat. http://www.indomarine.or.id/detailnews.php?id=390&page=artikel
[diakses tanggal 20 Mei 2013]

11
Kusumastanto (komunikasi pribadi, 2013) mengatakan di Indonesia konsep
sea farming pertama kali diinisiasi dan dikembangkan oleh Pusat Kajian
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) pada
tahun 2003. Konsep tersebut (sea farming) terus dikembangkan dan mengalami
perubahan seiring dengan tindakan-tindakan perbaikan. Dimana kegiatannya
bukan hanya berfokus kepada penebaran bibit ikan semata tetapi lebih kepada
peningkatan pendapatan masyarakat dalam kegiatan usaha ekonomi serta
perbaikan kualitas sumberdaya dan lingkungan laut di wilayah sea farming.
PKSPL-IPB mendefinisikan konsep sea farming sebagai sistem
pemanfaatan ekosistem laut dangkal berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada
peningkatan stok sumberdaya ikan dan menjadi pendukung bagi kegiatan
pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan wisata
laut (PKSPL-IPB, 2006). Konsep sea farming sendiri merupakan sebuah sistem
yang terdiri dari tiga sub-sistem, yang mana ketiga sub-sistem tersebut tidak dapat
berdiri sendiri. Ketiga sub-sistem tersebut terdiri sub-sistem input, sub-sistem
marikultur (proses) dan sub-sistem output. Kerangka Konseptual Sistem
Pemanfaatan Sumberdaya Laut Dangkal Berbasis Sea Farming di Kepulauan
Seribu dapat dilihat pada Gambar 6.
Pada sub-sistem pertama terdapat faktor paling penting yaitu berfungsinya
demarcated fishing rights yang merupakan persyaratan batas sistem operasi sea
farming secara geografis (system boundary). Pada sub-sistem kedua adalah
kegiatan marikultur atau budidaya laut. Dimana yang termasuk dalam kegiatan
tersebut adalah kegiatan pembenihan, pendederan hingga pembesaran komoditas
yang dibudidayakan. Agar akselerasi sub-sistem marikultur ini dapat dilakukan
sesuai dengan tujuan, maka digunakan pendekatan community-based agribusiness
system (sistem agribisnis berbasis pada masyarakat, SABM). Dalam SABM ini,
fokus pelaku adalah masyarakat lokal sehingga diharapkan manfaat ekonomi
langsung maupun tidak langsung bermuara pada kesejahteraan masyarakat lokal
(PKSPL IPB, 2006). Sedangkan pada sub-sistem ketiga adalah sub-sistem output.
Pada sub-sistem ini komoditas sea farming diperdagangkan melalui sistem
distribusi dan perdagangan. Disatu sisi sub-sistem ini juga berfungsi sebagai
penyedia stok bagi kepentingan konservasi dan pengkayaan stok ikan (stock
enhancement).

Gambar 6 Kerangka konseptual sistem pemanfaatan sumber daya laut dangkal
berbasis sea farming di Kepulauan Seribu (PKSPL-IPB, 2010)

12
Konsep Sea Farming yang diterapkan dan dikembangkan di Kelurahan
Pulau Panggang Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu didefinisikan sebagai
sistem aktifitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok
sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan
sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata (PKSPL
IPB, 2006). Jadi secara keseluruhan konsep Sea Farming adalah bagaimana
memanfaatkan potensi kelautan dan perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat serta pelestarian sumber daya yang ada secara berkelanjutan.

Tataniaga
Tataniaga merupakan serangkaian kegiatan yang memberikan nilai tambah
sebagai akibat dari terjadinya aliran atau perpindahan produk baik barang maupun
jasa dari produsen sebagai penghasil menuju konsumen akhir yang membutuhkan
produk tersebut. Center for Coral Reef Studies Universitas Hasanuddin (2002)
mendefenisikan pemasaran atau tataniaga sebagai segala bentuk kegiatan yang
dilakukan dengan tujuan agar barang yang diproduksi dapat mengalir secara
langsung ke sektor konsumsi. Sedangkan Zulkarnaini (2010) mengartikan
tataniaga sebagai sebuah sistem yang mengatur perjalanan produk, baik barang
maupun jasa mulai dari produsen sampai ke konsumen akhir, dimana
memungkinkan terjadinya berbagai kegiatan yang bersifat produktif serta
melibatkan peran produsen dan konsumen. Sedangkan Sastrawidjaja, Triyanti. R
dan Hikmah (2012), mengatakan bahwa tataniaga terbentuk dikarenakan adanya
hubungan sosial sebagai interaksi antara satu pihak dengan pihak lainnya dan
membentuk jaringan yang mempertemukan teknologi, ekonomi dan norma di
tempat interaksi (tataniaga) antar etnis.
Limbong dan Sitorus (1987) mengartikan tataniaga sebagai serangkaian
kegiatan atau aktivitas yang bertujuan untuk menyalurkan barang atau jasa, mulai
dari titik produsen hingga ke konsumen. Konsep dasar yang melandasi adanya
kegiatan tataniaga adalah kebutuhan manusia. Sehingga tujuan dari tataniaga
adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia hingga puas.
Proses penyampaian sebuah produk mulai dari produsen hingga sampai ke
konsumen akhir dibutuhkan berbagai macam kegiatan atau tindakan yang
bertujuan agar memperlancar proses penyampaian barang atau jasa yang
dimaksud, dan kegiatan tersebut dikenal sebagai fungsi-fungsi tataniaga (Limbong
dan Sitorus (1987). Fungsi-fungsi tataniaga menurut Kohls dan Uhl (2002) dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1. Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan. Fungsi
pembelian mencakup kegiatan pencarian berbagai komoditas pertanian
sebagai sumber pasokan dan kegiatan lain yang berkaitan dengan pembelian
suatu barang. Sedangkan fungsi penjualan tidak hanya berkaitan dengan
penjualan produk dengan harga yang berlaku di pasar, namun fungsi ini
mencakup promosi, tata letak barang di toko, dan segala hal yang bertujuan
untuk menciptakan dan meningkatkan permintaan konsumen. Fungsi ini
juga mencakup berbagai keputusan seperti pemilihan kemasan produk,
pemilihan saluran pemasaran dan pemilihan waktu dan tempat dalam
penyediaan barang.

13
2.

Fungsi fisik mengandung makna sebagai aktivitas untuk memberikan
perlakuan bagi produk sehingga produk tersebut dapat memenuhi
permintaan konsumen, baik itu dari segi bentuk, waktu, dan tempat. Fungsi
fisik terdiri dari fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan, serta fungsi
pengolahan. Fungsi penyimpanan bertujuan agar suatu produk dapat
diperoleh pada waktu yang tepat. Dengan adanya pengelolaan fungsi
penyimpanan yang baik, produk segar dapat tersedia hampir setiap saat.
Fungsi transportasi berutujuan untuk menyediakan produk pada tempat yang
sesuai dan terjangkau oleh konsumen akhir. Fungsi ini mencakup kegiatan
mendistribusikan barang dari area pertanian ke gudang, atau dari gudang
satu ke gudang lain, kegiatan bongkar muat, pengapalan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, diperlukan pemilihan sarana transportasi dan rute yang
dapat meminimalkan biaya. Sedangkan fungsi pengolahan berperan dalam
menyediakan produk dengan bentuk yang sesuai permintaan pasar. Secara
umum, fungsi ini mencakup segala aktivitas yang mengubah bentuk produk
dari bentuk dasarnya. Fungsi ini mencakup kegiatan pengemasan, grading,
penjemuran, pemotongan, dan sebagainya.
3.
Fungsi fasilitas merupakan fungsi yang mampu membuat fungsi pertukaran
dan fungsi fisik dapat berjalan dengan baik dan lancar. Hal tersebut
dikarenakan tanpa adanya fungsi fasilitas yang baik, maka tidak akan ada
suatu sistem tataniaga yang baik dan lancar. Fungsi fasilitas terdiri dari
fungsi pembiayaan (financing), fungsi standarisasi (standardization), fungsi
penanganan / penanggulangan risiko (risk bearing), dan fungsi informasi
pasar / intelejen Pasar (market intelligence). Fungsi pembiayaan berkaitan
dengan penggunaan dana untuk menopang berbagai aspek dari tataniaga.
Fungsi pembiayaan biasa dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti
perbankan atau lembaga pemberi pinjaman (lending agencies). Namun
untuk usaha pertanian skala kecil (terutama di pedesaan), fungsi pembiayaan
biasanya dilakukan oleh individu seperti tengkulak atau rentenir. Sedangkan
fungsi standarisasi secara umum berperan dalam mengukur atau menilai
produk dan menyediakan produk yang seragam. Pengukuran ini mencakup
aspek kualitas dan kuantitas. Fungsi ini mempermudah fungsi pertukaran
karena adanya standarisasi membuat produk dapat diperkenalkan dan
diperdagangkan menggunakan sampel yang memiliki deskripsi yang jelas.
Fungsi penanggulangan risiko bertujuan untuk menanggulangi atau
mengurangi adanya kemungkinan kehilangan hasil (loss). Fungsi informasi
pasar berperan dalam mengumpulkan, menginterpretasikan, dan
menyebarkan berbagai informasi yang diperlukan untuk kelancaran proses
tataniaga. Menurut Kohls dan Uhl (2002), pemasaran atau tataniaga yang
efisien tidak dapat dihasilkan tanpa adanya informasi pasar.
Penelitian yang dilakukan oleh Zulkarnaini (2010), bahwa fungsi tataniaga
yang dilakukan oleh petambak hanya sebatas pada fungsi pertukaran berupa
penjualan dan fungsi fisik berupa pengangkutan. Sedangkan pengumpul hampir
melakukan semua fungsi tataniaga, hanya fungsi fasilitas berupa standarisasi dan
grading yang tidak dilakukan. Untuk pihak pengecer tidak melakukan fungsi fisik
berupa penyimpanan dan fungsi fasilitas berupa standarisasi dan grading.
Sedangkan untuk penjualan, pembelian, pengemasan, pengangkutan, pembiayaan,
penanggungan risiko dan informasi harga, pihak pengecer melakukannya.

14
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2009),
disebutkan terdapat tiga saluran tataniaga, dimana masing-masing saluran setiap
lembaga tataniaga berbeda didalam melakukan fungsi tataniaga. Pada saluran satu,
petambak hanya melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan, sedangkan
pedagang pengumpul dan pengecer melakukan fungsi pertukaran berupa
pembelian ikan bandeng. Sedangkan fungsi fisik berupa pengangkutan dan
pengemasan hanya dilakukan oleh pedagang pengumpul saja. Untuk fungsi
fasilitas berupa pembiayaan, penanggungan risiko dan informasi pasar dilakukan
baik oleh pedagang pengumpul maupun oleh pedagang pengecer.

Saluran Tataniaga
Proses menyampaikan produk baik itu barang maupun jasa dari produsen
hingga konsumen akhir akan tercipta sebuah saluran tataniaga, hal ini berkaitan
dengan seperangkat lembaga yang melakukan semua kegiatan (fungsi) yang
digunakan untuk menyalurkan produk dan status kepemilikannya dari produsen
hingga ke tangan konsumen akhir (Kottler, 1995). Sedangkan Limbong dan
Sitorus (1987) mendefinisikan saluran tataniaga sebagai saluran yang digunakan
oleh produsen dan lembaga tataniaga untuk memasarkan produknya kepada
konsumen. Pengertian lain saluran tataniaga adalah saluran yang dibentuk oleh
pelaku pasar sebagai akibat dari proses penyaluran barang dari produsen ke
konsumen akhir (Tajerin, 2005). Dengan demikian saluran tataniaga merupakan
saluran yang digunakan oleh setiap lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat untuk
menyalurkan produk baik itu berupa barang maupun jasa dari produsen hingga
konsumen akhir. Center for Coral Reef Studies Universitas Hasanuddin (2002),
menjelaskan bahwa pemilihan saluran pemasaran yang tepat merupakan faktor
penting demi memperlancar arus barang dari produsen ke konsumen. Hanafiah
dan Saefuddin (1986) mejelaskan bahwa panjang pendeknya saluran tataniaga
tergantung pada beberapa hal, yaitu : a) Jarak antara produsen dan konsumen, b)
Skala produksi, c) Cepat tidaknya produk rusak, d) Posisi keuangan pengusaha.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis et.al (2013), menjelaskan bahwa
terdapat tiga saluran pemasaran ikan kerapu, yaitu 1) Nelayan menjual ikan
kerapu ke pedagang pengumpung di Desa Tebing Tinggi, kemudian pedagang
pengumpul menjual ikan kerapu ke pedagang besar/eksportir di Desa Sialang
Buah, dan pedagang besar/eksportir menjual ikan kerapu hingga sampai ke
konsumen. 2) Nelayan di Desa Sentang menjual ikan kerapu ke pedagang
pengumpul di Desa Sentang, dari Desa Sentang pedagang pengumpul menjual
ikan kerapu ke pedagang besar/eksportir di Desa Sialang Buah, dan pedagang
besar/eksportir menjual ikan kerapu sampai ke konsumen. 3) Nelayan di Desa
Sialang Buah menjual ikan kerapu hasil tangkapan langsung ke pedagang besar,
dari pedagang besar/eksportir ikan kerapu dijual hingga sampai ke konsumen
akhir.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Tajerin (2005), mengatakan bahwa
komoditas ikan kerapu hidup dari Lampung memiliki beberapa saluran pemasaran.
Dimana saluran pemasaran yang terbentuk menimbulkan perbedaan panjang dan
pendeknya saluran pemasaran, selain itu juga menimbukan perbedaan besarnya
margin pemasaran yang terbentuk. Dimana dijelaskan bahwa pembudidaya ikan

15
kerapu menjual ikan kerapu 100 persen ke pedagang pengumpul. Dari pedagang
pengumpul ikan kerapu tersebut dijual ke perusahaan eksportir via kapal
pengangkut ke Hongkong sebanyak 89 persen, sedangkan sebanyak 3 persen
dijual ke restoran di Lampung dan Jakarta, dan 8 persen dijual ke perusahaan
eksportir via pesawat udara ke Hongkong melalui Jakarta. Ikan keapu tersebut
oleh Buyer di Hongkong dijual ke retailer, restoran dan mainland China sebanyak
97 persen.
Sastrawidjaja et.al (2012), menjelaskan bahwa saluran tataniaga di Kawasan
Segitiga Batam, Tanjung Pinang dan Singapura terbentuk dari hubungan antara
Etnis Melayu dan Etnis Tionghoa. Dimana Etnis Melayu hanya sebatas sebagai
nelayan, pembudidaya dan pengumpul kecil yang nantinya menjual ikan kerapu
hidup kepada pedagang pengumpul besar yang sekaligus sebagai pihak eksportir.
Untuk pemenuhan kebutuhan konsumen di daerah Batam, jalur pemasaran yang
terbentuk mulai dari nelayan Tanjung Pinang menjual ikan kerapu kepada
pembudidaya di Tanjung Pinang, selanjutnya ikan kerapu yang sudah mencapai
ukuran akan dijual kepada pedagang pengumpul kecil, yang kemudian ikan
kerapu tersebut dijual kepada konsumen di Batam. Untuk ikan kerapu yang dijua