Analisis Keragaan Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus dan Ikan Kerapu Bebek Chromileptes altivelis dalam Sistem Karamba Jaring Apung di Kawasan Sea Farming Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu

(1)

ABSTRACT

LORA SEPWINTA. The Analysis of Brown Marbled Grouper

Epinephelus fuscoguttatus and Polka Dot Grouper Chromileptes altivelis Rearing Aquaculture Business Condition in Floating Net Cage at Sea Farming Area Panggang Island, Kepulauan Seribu District Administration. Supervised by IIS

DIATIN and IRZAL EFFENDI.

Panggang island, Kepulauan Seribu is well-known as one of sea farming development area in Indonesia which developing grouper fish rearing aquaculture business, specially brown marbled grouper and polka dot grouper, using the floating net system. The grouper fish farmers is grouped as a Sea Farming group which supervised by PKSPL-IPB and supported by Kepulauan Seribu District Government.

The purpose of this research is to analyze of grouper fish rearing aquaculture business in technical condition and financial aspect. The method used is case study. Unit case in this research is fish farmer who has the job to brown marbled grouper farm and polka dot grouper farm. The observation did for grouper in size range 100-200 g, 200-300g, 300-400g, 400-500g and more than 500g which is in the group of Sea Farming. Primary data and secondary data is the source of data in this research. The sampling methods that used in the research is purposive sampling methods. Methods of data retrival is performed directly to surface of weight, length, number of fish in the early, the final number of fish, feed quantity and water quality.

The research shows that the management of cultural business in Panggang island is not good enough, refers to the result of cultural technical analysis that showing small value for some parameters such as SR, SGR and FCR. The SR value for brown marbled grouper is 36% and 57% for polka dot grouper, SGR for brown marbled grouper is 4,49% and 4,05% for polka dot grouper, FCR for brown marbled grouper is 12,2 and 8,5 for polka dot grouper. The result for brown marbled grouper cash flow in Panggang island showed that the business is lose out but the result for polka dot grouper cashflow showed that the business is profitable for Rp 8.051.137,00. On the other hand, if fish farmers repaired technical aspects and used optimalization input for grouper fish rearing aquaculture is resulted brown marbled grouper aquaculture business in this research the result from financial analysis suitable to manage it and will give increasing profit for 379,8%.

Key words : Brown Marbled Grouper, Polka Dot Grouper, Floating Net Cage, rearing aquaculture, bussines feasibility.


(2)

1

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Peningkatan pendapatan golongan masyarakat menengah ke atas, gaya hidup dan tradisi masyarakat keturunan Tionghoa menjadi pemacu meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat akan ikan komoditas penting khususnya ikan kerapu. Penyediaan ikan untuk konsumsi dari 2008 hingga 2010 meningkat 7,65% atau 33,07 Per Kapita dan tercatat total produksi budidaya laut Pulau Jawa tahun 2009 sebesar 259 ton dari jenis ikan kerapu sedangkan tingkat konsumsi ikan oleh masyarakat 30,47 Per Kapita (KKP 2011). Untuk mencukupi permintaan penduduk akan stok ikan kerapu maka diperlukan produksi ikan yang berasal dari budidaya laut sebagai kegiatan antara menuju sea-farming. Sea-farming adalah kegiatan pemeliharaan ikan dari hulu ke hilir secara utuh dan melibatkan berbagai kegiatan yang terkait. Menurut Ahmad (2002) sea-farming

merupakan usaha yang sangat menjanjikan, mengingat keunggulan komparatif dalam bentuk sumber daya lahan dan hayati yang dimiliki serta kondisi iklim tropis Indonesia.

Salah satu wilayah pengembangan sea-farming di Indonesia adalah Pulau Panggang-Kepulauan Seribu, yang mengembangkan usaha pembesaran ikan kerapu dengan mayoritas pembudidaya menggunakan karamba jaring apung. Pulau Panggang merupakan daerah terlindung karang dan masyarakatnya memiliki minat untuk menerapkan konsep sea-farming ini.

Mayoritas penduduk Pulau Panggang bermatapencaharian utama sebagai nelayan, sedangkan budidaya merupakan pekerjaan sampingan. Menurut Soesilo dan Budiman (2002), budidaya ikan kerapu dapat mengatrol tingkat kesejahteraan nelayan. Namun peningkatan kesejahteraan nelayan atau masyarakat di Pulau Panggang hanya sekitar 22% melihat rata-rata tingkat kekayaan masyarakat masih tergolong kelas menengah ke bawah serta masyarakat yang dapat menempuh pendidikan tinggi tergolong sedikit yaitu sebesar 0,56% dari total jumlah penduduk di pulau ini dengan mayoritas tingkat pendidikan tertinggi hanya dicapai pada tingkat SD yaitu sebesar 41,88% (Anonim, 2010). Pencatatan data produksi budidaya yang dilakukan hampir tidak ada. Padahal seharusnya


(3)

2 pembudidaya dapat mengontrol kondisi usaha budidayanya dari hasil pencatatan data produksi dan bisa mengetahui kebutuhan-kebutuhan pendukung yang diperlukan dalam usaha budidaya seperti pakan, obat dan vitamin agar kegiatan budidaya berlangsung secara efektif dan efisien.

Ada salah satu kelompok pembudidaya kerapu di Pulau Panggang yang tergabung dalam kelompok Sea Farming, yang merupakan kelompok pembudidaya bentukan PKSPL-IPB, dan mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu. Kelompok Sea Farming telah berdiri sejak tahun 2006. Anggotanya merupakan masyarakat yang memiliki minat terhadap budidaya, memiliki karamba,dan mengikuti pelatihan budidaya. Jumlah anggota

Sea Farming hingga tahun 2011 tercatat sebanyak 74 orang dengan jumlah anggota aktif sebanyak 43 orang. Masyarakat yang sudah menjadi anggota Kelompok Sea Farming akan mendapat pinjaman benih dan baru dibayar saat panen dengan sejumlah uang secara lunas. Pinjaman benih pada tahap pertama sebanyak 200 ekor, dan akan bertambah kelipatannya ketika anggota membayar pinjaman sebelumnya. Hingga saat ini rata-rata anggota mendapat pinjaman benih sebanyak 400 ekor ikan kerapu macan dan 200 ekor ikan kerapu bebek. Anggota

Sea Farming mayoritas bermatapencaharian utama sebagai nelayan, sehingga memiliki kesulitan pembagian jam kerja sebagai nelayan dan sebagai pembudidaya. Manajemen pemberian pakan kerapu yang telah dilakukan selama ini terlihat kurang sebab pakan yang diberikan hanya pakan rucah yang ketersediannya tergantung dari keadaan alam, selain itu jumlah dan frekuensi pemberian pakan tidak menentu. Manajemen kualitas air yang dilakukan selama ini pun terlihat sangat kurang, tidak ada pengecekan kualitas air kontinu oleh anggota, hal ini disebabkan oleh keterbatasan alat dan pengetahuan anggota. Data jumlah ikan mati selama pemeliharaan, jumlah pakan yang digunakan, lama budidaya tidak diketahui secara pasti oleh anggota sebab pencatatan data produksi mayoritas tidak dilakukan oleh anggota.

Rendahnya tingkat peningkatan kesejahteraan masyarakat pembudidaya kerapu di Pulau Panggang menjadi hal yang patut dipertanyakan. Pembudidaya yang sudah mendapat pelatihan mengenai cara membudidayakan ikan kerapu seharusnya sudah paham akan cara berbudidaya yang baik dan benar. Akan tetapi


(4)

3 hasil budidaya berupa output ikan kerapu konsumsi yang siap untuk dijual saat panen masih berjumlah sedikit sehingga hasil dari usaha budidaya ini tidak terlalu berpengaruh untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan mereka. Oleh karena itu diperlukan suatu evaluasi terhadap kegiatan budidaya kerapu yang telah dilakukan selama ini. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis keragaan dari sisi teknis dan sisi finansial. Analisis finansial diperlukan agar dapat diketahui berapa besar

profit yang diperoleh dari kegiatan budidaya yang telah dilakukan selama ini, apakah memiliki nilai profit yang tinggi, sebanding atau sebenarnya tidak memiliki nilai profit, melihat kurang jelasnya pembagian fungsi uang yang keluar-masuk dari sisi budidaya atau dari sisi pekerjaan lainnya (nelayan tangkap).

Analisis keragaan ini dilakukan dengan melihat bagaimana kinerja usaha pembesaran ikan kerapu yang telah dijalankan selama ini. Kinerja usaha pembesaran kerapu menghasilkan output berupa ikan konsumsi, dimana output

tersebut akan berkaitan dengan besar profit usaha yang diperoleh. Kinerja usaha pembesaran dipengaruhi oleh faktor produksi atau input yang digunakan. Pencapaian keuntungan maksimum dengan biaya minimum dapat dicapai apabila penggunaan input (faktor produksi) digunakan secara optimal. Optimalisasi diterapakan sesuai dengan konsep pengembangan budidaya atau akuakultur yaitu efisiensi, produktifitas, intensifikasi dan sustainability. Agar diperoleh suatu sistem budidaya yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan dan memiliki nilai tambah terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

1.2Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis keragaan usaha budidaya pembesaran kerapu dengan :

1. Menganalisis aspek teknis budidaya ikan kerapu dengan cara menghitung tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik dan nilai FCR serta menghitung input optimal yang digunakan dalam kegiatan pembesaran ikan kerapu macan

2. Menganalisis kelayakan finansial dengan menghitung analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C), analisis Payback


(5)

4

Period (PP), analisis Break Even Point (BEP), analisis kriteria investasi dan analisis sensitivitas.

Kegunaan dari penelitian ini antara lain :

1. Bagi mahasiswa, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor serta melatih kemampuan teknis dan analisis dalam menangani permasalahan di bidang perikanan khususnya budidaya ikan kerapu

2. Bagi pembudidaya ikan kerapu, dapat digunakan sebagai masukan atau informasi dalam upaya peningkatan produksi

3. Bagi pemerintah, sebagai pertimbangan untuk menentukan suatu arah kebijakan bagi pengembangan sektor perikanan laut, misalnya arah kebijakan ekonomi

4. Sebagai referensi tambahan bagi penelitian yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di masa yang akan datang


(6)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Komoditas Ikan Kerapu

Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang menyukai hidup di perairan karang, diantaranya celah-celah karang atau di dalam gua di dasar perairan (Soesilo dan Budiman 2002). Secara umum, ikan kerapu memiliki kepala yang besar, mulut lebar, dan tubuhya ditutupi sisik-sisik kecil. Bagian tepi

operculum, bergerigi dan terdapat duri-duri pada operculum. Letak dua sirip punggungnya (yang pertama berbentuk duri-duri), terpisah. Semua jenis kerapu mempunyai tiga duri pada sirip dubur dan tiga duri pada bagian tepi operculum

(Ghufran 2001).

Ikan kerapu di alam tergolong karnivora yang memakan ikan, udang dan crustacea. Ikan dari golongan serranidae ini mempunyai lebih dari 46 spesies yang hidup tersebar dengan tipe habitat yang beragam dan hanya beberapa jenis yang telah dibudidayakan. Ikan kerapu dinamakan sebagai grouper diperdagangan internasional dan dipasarkan dalam keadaan hidup (Sunyoto dan Mustahal 2002).

Ikan kerapu bersifat hermaphrodit protogynous (hermaprodit protogini), yang berarti setelah mencapai ukuran dewasa, akan berganti kelamin (charger sex) dari betina menjadi jantan. Selain itu ikan kerapu tergolong jenis ikan yang bersifat hermaphrodit synchroni, yaitu di dalam satu gonad satu individu ikan, terdapat sel seks betina dan sel seks jantan yang dapat masak dalam waktu yang sama, sehingga ikan dapat mengadakan pembuahan sendiri dan dapat pula tidak. Ikan kerapu merupakan ikan berukuran besar, yang dapat mencapai 450 kg atau lebih per ekor (Ghufran 2001).

2.2 Kerapu Macan dan Kerapu Bebek

Dari 46 jenis kerapu atau grouper, yang tergolong dalam tujuh genus dan hidup tersebar di laut dengan tipe habitat beragam, hanya ada enam jenis yang saat ini dipandang memiliki nilai ekonomis penting yaitu kerapu bebek, kerapu sunu, kerapu lumpur, kerapu macan, kerapu batik dan kerapu lodi (Ghufran 2001). Komoditas dalam penelitian ini termasuk kedalam jenis ikan kerapu yang memiliki nilai ekonomis penting tersebut yaitu kerapu macan dan kerapu bebek.


(7)

6 1) Kerapu Macan

Bentuk kerapu macan mirip dengan kerapu lumpur, tetapi dengan badan agak lebar. Dalam masyarakat internasional dikenal dengan sebutan flower atau

carpet cod (Ghufran 2001). Kerapu macan memiliki mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke atas dan sirip ekor yang umumnya membulat (rounded). Gambar ikan kerapu macan dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber : http://o-nlinenews.blogspot.com/p/kerapu-macan.html Gambar 1. Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

Taksonomi ikan kerapu macan menurut Kordi K, 2005 adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Class : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Serranidae Genus : Epinephelus

Species : Epinepheusfuscoguttatus

2) Kerapu Bebek

Kerapu bebek sering disebut sebagai kerapu tikus, di pasaran Internasional dikenal dengan nama polka dot grouper, namun ada pula yang menyebutnya

hump backed rocked. Ikan kerapu bebek ini berbentuk pipih dan warna dasar kulit tubuhnya abu-abu dengan bintik-bintik hitam di seluruh permukaan tubuh. Kepala berukuran kecil. Dengan moncong agak meruncing. Kepala yang kecil mirip bebek menyebabkan jenis ikan ini popular disebut kerapu bebek, namun ada pula yang menyebutnya sebagai kerapu tikus, karena bentuk moncongnya yang meruncing menyerupai moncong tikus (Gambar 2).


(8)

7 Sumber : http://tipspetani.blogspot.com/2010/05/pembesaran-ikan-kerapu-bebek.html

Gambar 2. Kerapu Bebek (Chromileptes. altivelis)

Taksonomi ikan kerapu bebek menurut Samoilys & Pollard (2000) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Serrendae Genus : Chromileptes

Spesies : C. altivelis

Ikan kerapu bebek dikategorikan sebagai ikan konsumsi bila bobot tubuhnya telah mencapai 0,5-2,0 kg per ekor. Selain dijual sebagai ikan konsumsi, ikan kerapu bebek juga dapat dijual sebagai ikan hias dengan nama grace kelly. Ikan kerapu bebek memiliki bentuk sirip yang membulat. Sirip punggung tersusun dari 10 jari-jari keras dan 19 jari-jari lunak. Pada sirip dubur, terdapat 3 jari-jari keras dan 10 jari-jari lunak. Ikan ini bisa mencapai panjang tubuh 70 cm atau lebih, namun yang dikonsumsi, umumnya berukuran 30-50 cm. kerapu bebek tergolong ikan buas yang memangsa ikan-ikan dan hewan-hewan kecil lainnya. Ikan kerapu bebek merupakan salah satu ikan laut komersial yang telah dibudidayakan baik dengan tujuan pembenihan maupun pembesaran (Ghufran 2001).

2.3 Ekologi dan Kebutuhan Lingkungan

Dalam siklus hidupnya, pada umumnya ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 – 3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7 – 40 m. Telur dan larva ikan kerapu bersifat pelagis, sedangkan kerapu muda dan dewasa bersifat demersal. Habitat


(9)

8 favorit larva dan ikan kerapu macan muda adalah perairan pantai dengan dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun.

Parameter-parameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu macan yaitu temperatur antara 24-31oC, salinitas antara 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan derajat keasaman (pH) antara 7,8 – 8. Jika terjadi perubahan pH yang tidak terlalu mendadak, ikan kerapu dapat mentolerir perubahan tersebut dengan batas maksimal toleransi pH adalah 11 dan batas minimal adalah 4 . Perairan dengan kondisi seperti ini, pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang (Asmawi 1986).

2.4 Penyakit Ikan Kerapu

Jenis hama yang potensial mengganggu usaha budidaya ikan kerapu macan dalam KJA adalah ikan buntal, burung, dan penyu, sedangkan jenis penyakit infeksi yang sering menyerang ikan kerapu adalah:

(a) penyakit akibat serangan parasit, seperti : parasit crustacea dan flatworm (b) penyakit akibat protozoa, seperti : cryptocariniasis dan broollynelliasis (c) penyakit akibat jamur (fungi), seperti : saprolegniasis dan ichthyosporidosis (d) penyakit akibat serangan bakteri

(e) penyakit akibat serangan virus, yaitu VNN (Viral Neorotic Nerveus) (Ghufran 2001).

2.5 Karamba Jaring Apung

Karamba jaring apung adalah sistem teknologi budidaya berupa jaring yang mengapung dilengkapi beberapa komponen seperti rangka, kantong jaring, pelampung, jalan inspeksi, rumah jaga dan jangkar (Krisanti dan Imran 2005). Komoditas yang akan dibudidayakan mempengaruhi konstruksi karamba jaring apung. Selain itu dipengaruhi pula oleh faktor kondisi lingkungan, metode budidaya, sifat bahan, dan keterampilan tenaga setempat. Secara ideal bahan yang digunakan untuk karamba jaring apung harus kuat, ringan, tahan cuaca dan korosi, mudah dikerjakan dan diperbaiki, bebas gesekan, tekstur halus agar tidak melukai ikan. Tata letak karamba jaring apung harus diperhitungkan berdasarkan arah dan kekuatan arus karena bentuk karamba jaring apung sangat dipengaruhi arus (Kordi 2005).


(10)

9 Untuk pemeliharaan kerapu cocok digunakan karamba jaring apung dengan banyak sudut seperti segienam, segidelapan, atau segiempat. Hal ini dikarenakan semua spesies kerapu cenderung hidup bersembunyi, berbaring di dasar perairan di bawah naungan (Achmad et al. 1995). Karamba pembesaran kerapu terbuat dari jaring PE yang bermata jaring 1,5 -2 inchi dengan ukuran karamba 3m x 3m x3m (Kordi 2005).

Budidaya ikan kerapu dapat dilakukan menggunakan teknologi KJA (karamba jaring apung), atau pun menggunakan teknologi jaring tancap. Metode KJA merupakan teknik akuakultur yang paling produktif. Beberapa keuntungan yang dimiliki metode KJA, yaitu tingginya padat penebaran, jumlah dan mutu air yang selalu memadai, tidak diperlukannya pengolahan tanah, mudahnya pengendalian gangguan pemangsa, dan mudahnya pemanenan (Kordi K 2005).

2.6 Manajemen Budidaya Kerapu

Budidaya ikan sangat dipengaruhi oleh manajemen pakan dan manajemen kualitas air. Menurut Akbar (2001), Ikan kerapu adalah jenis ikan buas (karnivora). Sifat kanibalnya muncul apabila kekurangan pakan, terutama terlihat pada ikan kerapu stadia awal. Dari pengamatan isi perut ikan kerapu kecil diketahui kandungan di dalamnya didominasi oleh golongan krustacea (uang-udangan dan kepiting) sebanyak 83% dan ikan-ikanan sebesar 17%. Namun semakin besar ukuran ikan kerapu, komposisi isi perutnya cenderung didominasi oleh ikan-ikanan. Jenis udang krosok (Parapeneus sp.), udang dogol (Metapenaeus sp.), dan udang jerbung (Penaeus merguiensis). Sementara dari kelompok ikan-ikanan yang ditemui pada umumnya adalah ikan teri (Stelopterus

sp.), beronang (Sinagus sp.), tembang (Sardinella sp.), belanak (Mugil sp.), jenaha (Luthanus sp.), dan cumi-cumi (Loligo sp.) dalam jumlah kecil. Oleh karena itu perlu diperhatikan waktu pemberian pakan (feeding time), dosis pemberian (feeding rate), cara pemberian pakan (feeding method) dan frekuensi pemberian pakan (feeding frequency). Pakan yang diberikan berupa pakan rucah dan pakan pellet dengan metode at satiation yaitu pakan diberikan kepada ikan sampai kenyang sebanyak 2 kali sehari sebanyak 6-7,5% pakan rucah dan 3-5% pakan pellet untuk ikan ukuran 500-1200 gram (SNI 01-6488.4-2000).


(11)

10 Pemeriksaan kualitas air menurut SNI 01-6488.4-2000 minimum dilakukan 2 kali seminggu. Cara pengukuran kualitas air (suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut) dilakukan dengan menggunakan termometer untuk mengukur suhu, refractometer untuk mengukur salinitas, pH meter atau kertas lakmus untuk mengukur pH, DO meter untuk mengukur oksigen terlarut dan water quality test kit untuk mengukur kualitas air lainnya sesuai dengan petunjuk kerja masing-masing alat yang digunakan. Dalam kegiatan usaha pembesaran kerapu juga menggunakan anastesi, desinfektan dan obat-obatan menurut SNI 01-6488.4-2000 (Tabel 1).

Tabel 1. Standar Penggunaan Jenis dan Dosis Anastesi, Desinfektan dan Obat-obatan pada Pembesaran Ikan Kerapu

Jenis Dosis Keterangan

Treflan 1 ppm Dioleskan

Acriflavin 5 – 10 ppm Perendaman 1 – 2 jam Prefuran 1 ppm Perendaman 30 – 60 menit Methilyne blue 3 – 5 ppm Perendaman 30 – 60 menit Vitamin C 2 – 4 g/kg pakan Pencampuran dalam pakan Multivitamin 3 – 5 g/kg pakan Pencampuran dalam pakan

Sumber : SNI 01-6488.4-2000

Perawatan KJA pun perlu dilakukan dalam usaha pembesaran kerapu. Pengecekan jaring dan waring yang digunakan diperlukan agar ikan tidak dapat lolos dari dalam jaring atau waring yang rusak. Pembersihan jaring dan waring dapat dilakukan dengan penyemprotan air dan penjemuran atau hanya dengan penjemuran saja (Darmansah 2009).

2.7 Analisis Finansial

Analisis finansial adalah analisis yang dilakukan terhadap suatu proyek, dimana proyek dilihat dari sudut badan atau orang yang menanamkan uangnya dalam proyek maupun yang memiliki kepentingan terhadap jalannya proyek. Analisis finansial ini penting untuk memperhitungkan insentif bagi badan maupun orang-orang yang terlibat di dalam proyek (Soekartawi 2003).

Asumsi perhitungan analisa finansial diperoleh dari data teknis yang kemudian direpresentasikan ke dalam fungsi produksi. Fungsi produksi ialah


(12)

11 hubungan fisik antara variable yang dijelaskan (Y) dan variable yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan biasanya berupa input. Hubungan fisik antara X dan Y ini sering disebut factor relationship (FR) dan dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi 2003) :

Y = f (X1, X2, X3,………..Xn)………..(1) dimana :

Y = produk atau variabel yang dijelaskan

Xn = faktor produksi atau variabel yang menjelaskan

Model fungsi produksi yang digunakan adalah faktor produksi Cobb-Douglas. Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut variabel dependen, yang dijelaskan (Y), dan yang lain disebut variabel independen, yang menjelaskan (X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X biasanya dengan cara regresi dimana variasi Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. dengan demikian, kaidah-kaidah pada garis regresi juga berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb-Douglas. Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi 2003) :

Y = aX1b1X2b2………….Xnbneu………..(2) dimana :

Y = variabel yang dijelaskan

X = variabel yang menjelaskan

a, b = besaran yang diduga

u = kesalahan (disturbance term)

e = logaritma natural, e = 2,718

n = 1,2,3…………..dan seterusnya

Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan (2), persamaan tersebut dapat diubah menjadi bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut. Logaritma dari persamaan di atas adalah :

lnY = ln a + b1lnX1 + b2lnX2 ………..+ bnlnXn + u

Pada persamaan (2) terlihat bahwa nilai b1 dan b2 adalah tetap walau pun variabel

yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini dapat dimengerti karena b1 dan b2 pada


(13)

12 (Soekartawi 2003).

Model Cobb-Douglas mempunyai kelebihan dari fungsi produksi yang lain karena pangkat dari fungsi menunjukan besarnya elastisitas produksi, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat produksi yang optimum dari pemakaian faktor-faktor produksi. Pengertian elastisitas produksi (Ep) adalah persentase perubahan output sebagai akibat dari persentase perubahan input (Soekartawi 2003).

Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linear, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum fungsi ini digunakan (Soekartawi 2003). Persyaratan ini antara lain :

a) Tidak ada nilai pengamatan bernilai nol, sebab logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite).

b) Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan. Artinya, kalau fungsi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan; dan bila diperlukan analisi yang memerlukan lebih dari satu model katakanlah dua model, maka perbedaan model tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut. c) Tiap variabel X adalah perfect competition.

d) Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim sudah tercakup pada faktor kesalahan, u.

Penggunaan faktor produksi berdasarkan pada prinsip optimalisasi. Prinsip optimalisasi pengunaan faktor produksi adalah bagaimana menggunakan faktor produksi tersebut secara efisien. Dalam ilmu ekonomi, pengertian efisiensi dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) efisiensi teknis, (2) efisiensi alokatif (efisiensi harga), dan (3) efisiensi ekonomi. Penggunaan faktor produksi dikatakan efisien secara teknis kalau faktor produksi yang dipakai menghasilkan produksi yang maksimum. Efisiensi harga terjadi jika nilai dari produk marginal sama dengan faktor produksi bersangkutan dan dikatakan efisiensi ekonomi jika usaha mencapai efisiensi teknis sekaligus mencapai efisiensi harga (Soekartawi 2003).


(14)

13

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada April sampai dengan Juli 2011 di Kawasan Sea Farming Pulau Panggang Kepulauan Seribu, Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Teknologi dan Manajemen Produksi Akuakultur. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus mengenai subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik dari keseluruhan personalitas (Nazir, 1998). Penelitian dengan studi kasus adalah memberikan gambaran secara detail tentang latar belakang, sifat-sifat, dan karakter yang khas dari unit yang dianalisis.

Menurut Soeratno dan Arsyad (1999), metode penelitian dengan menggunakan studi kasus, menunjukkan bahwa penelitian dilakukan dalam lingkup yang terbatas, sehingga hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan. Studi kasus digunakan sebagai metode dalam penelitian ini, karena metode ini paling sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di daerah penelitian. Satuan kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembudidaya yang melakukan usaha pembesaran kerapu di kawasan Sea Farming Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data text. Data

text adalah data yang diperoleh dalam bentuk alphabet dan angka numerik (Fauzi, 2001). Jenis data text digunakan untuk faktor produksi, biaya investasi, dan jumlah produksi yang dihasilkan. Parameter faktor produksi yang diamati ialah kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, efisiensi pemberian pakan, kualitas air dan penyakit.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer didapat melalui pengamatan secara langsung di


(15)

14 lapangan (KJA masyarakat Pulau Panggang) dangan cara mengikuti secara langsung kegiatan yang dilakukan pembudidaya, wawancara dan pengisian kuisioner. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik pembudidaya, teknis produksi, input dan output produksi, penerimaan, biaya investasi, biaya variabel, biaya tetap dan biaya penyusutan.

Data sekunder diperlukan sebagai penunjang data primer yang telah didapatkan. Data sekunder yang diperlukan adalah data kualitas air, Laporan Tahunan Pulau Panggang, standar nasional produksi ikan kerapu, statistik perikanan Indonesia dan produksi ikan kerapu di daerah-daerah lain. Data sekunder ini diperoleh melalui informasi dari instansi dan lembaga terkait seperti PKSPL IPB, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Jakarta, Kantor Kelurahan Pulau Panggang, Badan Pusat Statistik Jakarta dan literatur-literatur.

3.4 Metode Pengambilan Sampel Pembudidaya

Metode pengambilan sampel pembudidaya (responden) ikan kerapu macan dan ikan kerapu bebek dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu anggota populasi dipilih untuk memenuhi tujuan tertentu menggandalkan logika atas kaidah-kaidah yang berlaku yang didasari pertimbangan peneliti. Metode pengambilan sampel yang representatif pada dasarnya menyangkut masalah sampai manakah ciri-ciri yang terdapat pada sampel yang terbatas itu benar-benar menggambarkan keadaan sebenarnya dari keseluruhan populasi (Soeratno dan Arsyad, 1999). Responden yang diambil berjumlah 20 orang pembudidaya kerapu di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu dari total pembudidaya yang termasuk dalam kelompok Sea-farming

sebanyak 74 orang. Responden yang dipilih merupakan individu yang dianggap memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Pembudidaya masih aktif melakukan usaha pembesaran kerapu dan memiliki pengalaman dalam kegiatan pembesaran minimal 1 tahun

2. Memiliki size ikan yang digunakan dalam penelitian yaitu ukuran 100-200 gram, 100-200-300 gram, 300-400 gram, 400-500 gram dan up 500 gram. Alasan pengambilan ukuran ikan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi 5 kelas ukuran dikarenakan ketersediaan ukuran ikan secara umum yang


(16)

15 dimiliki oleh responden pada saat dilakukan survey lapang adalah ikan pada selang ukuran 100 gram hingga up 500 gram. Selain itu digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tujuan penelitian pada aspek analisis teknis budidaya pada ukuran kelas yang berbeda agar dapat diketahui kondisi budidaya ikan kerapu pada tiap ukuran tersebut.

3.5 Metode Pengambilan Data

Pengukuran secara langsung beberapa parameter digunakan dalam metode pengambilan data. Parameter-parameter tersebut ialah bobot ikan, panjang tubuh ikan, biomassa ikan, luas wadah budidaya yang digunakan, banyaknya pakan yang digunakan, banyaknya obat yang digunakan dan pengukurun kualitas pada beberapa titik yang berbeda untuk mengetahui pengaruh perbedaan tempat terhadap kinerja usaha pembesaran ikan kerapu. Pengambilan kualitas air dilakukan dibeberapa titik sampel pada air permukaan. Titik sampel pengambilan kualitas air ditentu Contoh titik pengukuran kualitas air yang diambil yaitu sebagai berikut :

1. Titik A yaitu perairan yang berada di tengah wilayah terlindung karang (berada pada sekitar titik S 05o44'27,7''/E 106o35'53,5")

2. Titik B yaitu perairan yang berada di pinggir dekat karang (berada pada sekitar titik S 05o 44'16,1"/E 106o35'49,2")

3. Titik C yaitu perairan yang berada di luar wilayah terlindung karang (berada pada sekitar titik S 05o 44'23,9"/E 106o 35'25,5").

Alasan pengambilan letak titik pengukuran di sekitar daerah karang berhubungan dengan letak karamba pembudidaya yang menjadi responden dalam penelitian ini terletak di sekitar wilayah tersebut. Peta pengambilan sampel kualitas air dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.6 Pengamatan dan Perhitungan Data

Pengamatan dilakukan secara langsung di lapang dengan melakukan pencatatan hasil dan kemudian dilakukan perhitungan hasil data yang diperoleh. Pengamatan secara langsung dilakukan untuk parameter suhu dan pH. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer pada air permukaan. Sedangkan pengukuran nilai pH menggunakan kertas lakmus. Pengamatan secara


(17)

16 langsung juga dilakukan untuk parameter salinitas dengan menggunakan alat refraktometer di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Air sampel yang telah diambil dan disimpan pada botol sampel dengan diberi pendingin atau es agar kualitas air tetap terjaga. Data yang telah diperoleh selanjutnya dicatat pada

worksheet.

Perhitungan data dilakukan untuk parameter kelangsungan hidup (Survival Rate, SR), laju pertumbuhan panjang (P), laju pertumbuhan spesifik (Specific Growth Rate, SGR), feed convertion ratio (FCR), uji oksigen terlarut (Dissolved Oksigen, DO), uji nitrogen amonia total (Total Amonia Nitrogen, TAN) dan uji kecepatan arus. Data yang diperlukan untuk perhitungan SR, P, SGR dan FCR adalah bobot tubuh, panjang tubuh, jumlah ikan awal dan akhir, jumlah pakan yang digunakan dan lama pemeliharaan. Pengambilan sampel yang digunakan berjumlah 10 ekor ikan dari tiap responden. Pengambilan sampel ikan menggunakan serok dari petakan KJA yang digunakan sebagai wadah budidaya dengan melakukan pengangkatan sebagian bagian jaring yang digunakan. Pengangkatan bagian jaring dilakukan dengan menggunakan bambu. Sampel ikan diambil secara acak dari tiap petakan KJA yang sama dari setiap responden untuk tiap sampling. Pengukuran bobot tubuh dan jumlah pakan menggunakan timbangan jarum yang sebelumnya dikalibrasi terlebih dahulu. Pembudidaya mempunyai takaran wadah pemberian pakan yang digunakan sebagai acuan dari banyaknya pakan yang diberikan. Wadah ditimbang berat kotor dan berat bersih untuk mengetahui takaran pemberian pakan yang diberikan selama kegiatan budidaya berlangsung. Pengukuran panjang tubuh menggunakan penggaris. Cara pengukuran panjang tubuh yaitu mengukur jarak antara ujung mulut sampai dengan ujung sirip ekor menggunakan penggaris dalam satuan sentimeter (cm).

3.6.1 Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate, SR)

Tingkat kelangsungan hidup digunakan untuk mengetahui baik-buruknya usaha budidaya yang telah dilakukan dengan melihat banyaknya jumlah ikan awal dan jumlah ikan akhir hasil budidaya. Untuk mengetahui jumlah ikan awal dilakukan dengan wawancara, sedangkan jumlah ikan selama penelitian dan jumlah ikan akhir diketahui dengan wawancara dan penghitungan langsung saat


(18)

17 sampling jika sampling berlangsung bersamaan dengan kegiatan pencucian ikan responden. Penghitungan jumlah ikan dilakukan setiap pencucian ikan yaitu seminggu sekali yang mayoritas dilakukan pada hari Jumat. Tingkat kelangsungan hidup dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dalam yang mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup ialah genetika ikan. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhinya ialah manajemen kualitas air dan manajemen pakan. Secara ekonomis, usaha perikanan selalu berbanding lurus dengan mortalitas. Mortalitas menunjukan nilai yang berbanding terbalik dengan tingkat kelangsungan hidup (SR), yang berarti jika mortalitas rendah maka SR tinggi dan keuntungan yang diperoleh pun lebih besar. Penghitungan tingkat kelangsungan hidup menggunakan rumus :

% 100 x No Nt

SR= ... (3) Ket:

Nt = Populasi ikan ke-t (hari ke-112)

No = Populasi ikan ke-0 3.6.2 Laju Pertumbuhan

Laju pertumbuhan mempengaruhi besar biaya operasional yang digunakan dalam usaha budidaya. Laju pertumbuhan yang lambat menyebabkan biaya operasional menjadi tinggi sehingga kurang menguntungkan secara ekonomis. Laju pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal budidaya yaitu kualitas air, pakan, vitamin, obat-obatan hingga cara perlakuan pembudidaya itu sendiri terhadap usaha budidayanya.

3.6.2.1 Pertumbuhan Panjang (P)

Pertumbuhan panjang (P) dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan ikan. Penghitungan panjang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara bobot dengan panjang tubuh selama pemeliharaan. Ikan dengan pertumbuhan panjang tubuh tinggi namun pertambahan bobotnya rendah, namun ada juga sebaliknya pertumbuhan panjang badan rendah namun pertambahan bobot rendah atau dapat dikatakan ikan mengalami obesitas. Data panjang tubuh ikan diperoleh dengan mengukur panjang total yaitu panjang tubuh ikan dari


(19)

18 mulut hingga ekor ikan sampel dari tiap responden. Penghitungan pertambahan panjang atau selisih panjang selama waktu pemeliharaan menggunakan rumus :

P = Pt – Po... (4) Ket:

Pt = Panjang rata-rata ikan ke-t Po = Panjang rata-rata ikan ke-0

3.6.2.2 Laju Pertumbuhan Spesifik (Specific Growth Rate, SGR)

Laju pertumbuhan spesifik digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan harian tiap individu usaha budidaya ikan kerapu. Ukuran ikan yang diambil sampelnya pada penelitian ini adalah ikan berukuran 100 gram hingga up 500 gram dan kemudian dikelaskan menurut bobot tubuh yang dimiliki pada selang tersebut. Penghitungan SGR dilakukan secara kumulatif dari tiap kelas bobot yang ada. Lama pemeliharaan adalah periode sampling yaitu 28 hari. Acuan bobot rata-rata ikan hari ke-0 adalah bobot rata-rata-rata-rata ikan pada sampling pertama yang dilakukan dalam penelitian ini. Pertumbuhan spesifik atau laju pertumbuhan harian diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan rumus :

% 100 ] 1

[ x

Wo Wt

SGR = t − ... (5)

Ket:

Wt = Bobot rata-rata ikan ke-t

Wo = Bobot rata-rata ikan ke-0

t = Lama pemeliharaan

3.6.3 Feed Convertion Ratio (FCR)

Feed Convertion Ratio ialah suatu ukuran yang digunakan untuk menentukan banyaknya pakan yang diberikan untuk menghasilkan 1 Kg daging. Semakin kecil nilai FCR menunjukan pakan yang diberikan dikonsumsi dengan benar oleh ikan. Nilai FCR juga dipengaruhi oleh manajemen pemberian pakan yang dilakukan. Sifat ikan dan jenis pakan yang diberikan harus diperhatikan agar nutrisi pakan tidak hilang atau leaching (berkurangnya kadar nutrisi pakan oleh air).


(20)

19 Ba Bo Bt Pa FCR + − = ...………(6) Ket:

Bt = Biomassa ikan ke-t (akhir)

Bo = Biomassa ikan ke-0 (awal)

Ba = Biomassa ikan mati

Pa = Jumlah pakan yang diberikan 3.6.4 Uji Kualitas Air

Parameter uji kualitas air yang diamati ialah pH, suhu, DO, TAN dan kekuatan arus. Pengukuran parameter pH dan suhu dilakukan dapat diketahui secara langsung saat pengamatan. Sedangkan untuk parameter DO, TAN dan kekuatan arus harus melalui tahap perhitungan melalui rumus agar diperoleh hasilnya.

a) DO

Dissolved oksigen (DO) atau oksigen terlarut ialah jumlah kadar oksigen di dalam air. Seperti manusia, ikan pun memerlukan oksigen untuk dapat mempertahankan hidupnya. Pengamatan DO dapat dilakukan menggunakan DOmeter atau DO winkler. Pemilihan cara pengamatan menggunakan DO winkler disebabkan oleh pengamatan dilakukan di lapang dan pengamatan DO harus dilakukan langsung atau tidak terlalu lama dari proses pengambilan air sampel yang berpengaruh terhadap keakuratan hasil. Penghitungan DO menggunakan rumus sebagai berikut :

) ( 8000 l volumeboto en volumereag l volumeboto el volumesamp Ntitranx mltitraanx DO − = ... (7) b) TAN

Total Amonia Nitrogen atau TAN pada suatu perairan diperlukan untuk membantu proses metabolisme organisme perairan. Kadar TAN yang terlalu tinggi menunjukan kondisi perairan telah tercemar. Semakin kecil kadar TAN suatu perairan, semakin baik kondisi perairan tersebut. Namun, bukan berarti kadar TAN yang terlalu rendah pun baik bagi perairan, sebab ikan membutuhkan ammonia untuk metabolisme tubuh.


(21)

20 Perhitungan TAN atau Total Amonia Nitrogen dilakukan menggunakan rumus :

TAN= ... …..(8)

c) Kekuatan arus

Arus laut adalah gerakan massa air laut dari satu tempat ke tempat lain baik secara vertical (gerak ke atas) maupun secara horizontal (gerakan ke samping). Kecepatan arus air berpengaruh terhadap layak tidaknya suatu kawasan digunakan untuk budidaya, khususnya dalam sistem karamba jaring apung. Menurut Sunyoto (1996) bahwa perairan yang memiliki kecepatan arus lebih dari 4 m/s termasuk dalam kategori sesuai untuk usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung. Pengamatan kecepatan arus dapat dilakukan dengan menggunakan metode

Floating droudge atau metode bola pingpong. Dalam penelitian ini pengamatan kecepatan arus dilakukan dengan metode Floating droudge sederhana. Arus diukur dengan menggunakan alat yang sederhana yakni botol air mineral, tali tambang ukuran 2 mm, meteran, stopwatch yang ada di hand phone serta alat tulis untuk mencatat hasil. Pertama botol diikat mengunakan tali, kemudian ukur panjang jalur yang akan dipakai. Panjang yang digunakan sepanjang 1 meter dan diukur menggunakan meteran, jadi hasil yang di dapat dalam meter per detik. Setelah siap, botol yang diikat tali tersebut dilemparkan ke atas permukaan air dan

stopwatch mulai dinyalakan. Botol dibiarkan terbawa arus sampai jarak 1 meter yang telah diukur tadi. Apabila botol telah terbawa arus sepanjang 1 meter maka

stopwatch dimatikan dan dicatat hasilnya. Proses ini dilakukan di atas KJA. Perhitungan arus dilakukan menggunakan rumus :

t s

V = ... (9)

Ket:

V = Kecepatan arus (m/s)

s = Jarak yang ditempuh Floating droudge dari saat menyentuh air sampai menegang (m)


(22)

21 3.7 Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diimplementasikan. Data dan informasi yang telah terkumpul ditabulasikan untuk selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus-rumus perhitungan data teknis yang kemudian hasilnya digunakan sebagai acuan pada analisis fungsi produksi model Cobb-Douglas dan analisis finansial.

3.7.1 Analisis Fungsi Produksi

Analisis fungsi produksi dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi model Cobb-Douglas. Analisis fungsi produksi digunakan pada analisis fungsi produksi kerapu macan. Fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menduga hubungan antara produksi pembesaran kerapu dengan penggunaan faktor-faktor produksinya. Asumsi penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan ialah hasil dari analisa teknis. A Model pendugaan dari persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut :

Y = aX1b1X2b2X3b3X4b4X5b5 X6b6... (10)

Model pendugaan tersebut didasarkan pada kegiatan budidaya selama satu siklus produksi (9 bulan). Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan diatas, maka persamaan tersebut diubah ke dalam bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut menjadi :

LnY = ln a + b1lnX1 + b2lnX2 + b3lnX3 + b4lnX4+ b5lnX5……..………….……..(11)

Dimana :

Y = Produksi kerapu (ekor/m2)

X1 = Luas KJA (m

2

)

X2 = Benih Kerapu (ekor/m2)

X3 = Pakan Rucah (Kg)

X4 = Tenaga Kerja Operasional (Jam Kerja)

X5 = Tenaga Kerja Pemeliharaan (Jam Kerja)

Ketepatan model yang digunakan sebagai alat analisis diuji dengan menggunakan uji statistik sebagai berikut :

1) Uji statistik t, digunakan untuk mengetahui seberapa jauh masing-masing faktor produksi (Xi) sebagai variabel bebas mempengaruhi produksi


(23)

22 (Y) sebagai variabel tidak bebas. Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut :

H0 : bi = 0 (tidak ada pengaruh)

H1 : bi ≠ 0 (ada pengaruh) t hitung = (bi – 0)/Sbi

Keterangan : Sbi = standard error dari b bi = koefisien regresi

• Jika thitung < ttabel, maka H0 diterima, artinya X1 tidak berpengaruh

nyata terhadap Y.

• Jika thitung > ttabel, maka H0 ditolak, artinya X1 berpengaruh nyata

terhadap Y.

2) Uji statistik f, digunakan untuk mengetahui faktor produksi (X1) secara bersama mempengaruhi output (Y). Hipotesis yang diuji adalah :

H0 : bi = 0 (tidak ada pengaruh)

H1 : bi ≠ 0 (ada pengaruh)

F hitung = ……..……… ……….………...(12)

Keterangan :

JKR = Jumlah Kuadrat Regresi JKD = Jumlah Kuadrat Residual n = Jumlah Sampel

k = Jumlah Variabel

• Jika Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima, artinya faktor produksi

secara simultan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi.

• Jika Fhitung > Ftabel, maka H0 ditolak, artinya faktor produksi secara

simultan berpengaruh nyata terhadap produksi.

Pada analisis fungsi produksi, selain digunakan analisis kriteria statistik juga dilakukan analisis kriteria ekonometrik untuk menguji ketepatan model yang digunakan. Analisis kriteria ekonometrik dilakukan untuk mengetahui apakah model regresi memenuhi asumsi normalitas, multikolinearitas, homoskedastisitas, dan autokorelasi.

Menurut Santoso (2000), normalitas adalah suatu kondisi dalam model regresi dimana nilai Y (variabel dependent) didistribusikan secara


(24)

23 normal terhadap nilai X (variabel independent). Suatu model regresi yang baik harus memenuhi asumsi normalitas ini.

Menurut Santoso (2000), multikolinearitas adalah problem dalam suatu model regresi yang diakibatkan adanya korelasi antar variabel

independent.

Beberapa cara untuk mengatasi problem multikolinearitas diantaranya dengan menambah jumlah sampel dan mengeluarkan variabel yang mempunyai korelasi tinggi.

Homoskedastisitas adalah asumsi dalam model regresi dimana variasi disekitar garis regresi seharusnya konstan untuk setiap nilai X (Santoso, 2000). Bila asumsi ini tidak terpenuhi berarti model regresi mengalami problem heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas adalah masalah yang terjadi pada model regresi apabila terjadi asumsi variance error term konstan untuk setiap nilai pada variabel penjelas dilanggar. Masalah heteroskedastisitas ini sering terjadi pada data cross-section. Cara mengatasi masalah heteroskedastisitas ini diantarnya adalah dengan :

a) Menggunakan Weight Least Square Regression (nilai variabel dibagi dengan nilai variabel yang dianggap menyebabkan heteroskedastisitas).

b) Menggunakan fungsi log untuk variabel penjelas yang mengakibatkan heteroskedastisitas.

Autokorelasi adalah masalah dalam model regresi linear karena adanya korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Autokorelasi ini biasanya terjadi pada model regresi yang menggunakan data time series atau berdasarkan waktu berkala (Santoso, 2000).

Analisis Return to Scale (RTS) sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui apakah kegiatan usaha yang sedang diteliti tersebut berada dalam kondisi increasing, constant, atau decreasing return to scale. Analisis RTS ini dilakukan dengan menjumlahkan besaran elastisitas (bi). Berdasarkan persamaan 1 maka :


(25)

24 a. Jika b1 + b2 + b3 + b4 < 1, maka usaha berada dalam keadaan decreasing return to scale. Artinya apabila faktor produksi yang digunakan ditambahkan maka besarnya penambahan output akan lebih kecil dari proporsi penambahan input.

b. Jika b1 + b2 + b3 + b4 = 1, maka usaha berada dalam keadaan constant return to scale, dimana penambahan proporsi input yang digunakan akan sama dengan penambahan proporsi output yang dihasilkan. c. Jika b1 + b2 + b3 + b4 > 1, maka usaha berada dalam keadaan increasing return to scale, dimana proporsi penambahan output yang dihasilkan akan lebih besar dari penambahan proporsi input.

Tingkat alokasi input yang optimal dapat diketahui melalui analisis dari fungsi keuntungan, yaitu :

Π = TR – TC atau Π = PyY – PxiXi ... (14)

Keuntungan maksimum pada usaha pembesaran kerapu dapat tercapai pada saat turunan pertama dari fungsi keuntungan usaha terhadap faktor produksi sama dengan nol, yaitu :

Π = PyY – PxiXi

= 0

Py (dy/dxi) = Pxi

PyPMxi = Pxi

NPMxi = Pxi

= 1... (15)

3.7.2 Analisis Finansial

Analisis finansial adalah analisis yang dilakukan terhadap suatu proyek, dimana proyek dilihat dari sudut badan atau orang yang menanamkan uangnya dalam proyek maupun yang memiliki kepentingan terhadap jalannya proyek. Analisis finansial digunakan untuk menganalisis kegiatan budidaya kerapu macan dan kerapu bebek. Analisis finansial ini penting untuk memperhitungkan insentif bagi badan maupun orang-orang yang terlibat di dalam proyek.


(26)

25 i=0

3.7.2.1 Analisis Usaha

Analisis usaha merupakan bagian dari analisis finansial yang digunakan untuk menghitung besarnya keutungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha dalam waktu satu tahun. Asumsi penghitungan analisa usaha diperoleh dari analisa teknis. Analisis usaha ini terdiri dari analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C), analisis payback period

(PP), dan analisis break even point (BEP). a. Analisis Pendapatan Usaha

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input

dan output yang terlibat di dalam usaha dan besar keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha. Secara matematis konsep pendapatan dapat dirumuskan sebagai

berikut :

Π = Y.Py – ∑n Xi . Pxi ... (16)

Dimana :

Π = Pendapatan (Rp per musim)

Y = Total Produksi (Kg per musim)

Xi = Jumlah input i yang digunakan (unit)

Py = Harga persatuan output (Rp)

Pyi = Harga persatuan input (Rp)

Py.Y = Penerimaan total (Rp) Px.ΣXi = Biaya Total (Rp)

b. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C)

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana manfaat yang diperoleh dari kegiatan usaha selama periode tertentu cukup menguntungkan.

Secara matematis analisis imbangan penerimaan dan biaya dapat dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi, 1995)

R/C = ... (17)

Dimana :


(27)

26

TC = Total Cost atau Biaya Total (Rp) Dengan kriteria usaha

R/C > 1, usaha menguntungkan

R/C = 1, usaha impas

R/C = 1, usaha rugi c. Payback period (PP)

Analisis ini digunakan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menutupi investasi yang ditanamkan pada suatu usaha (Husnan, 1998). Metode payback period secara sistematis dinyatakan dalam rumus berikut:

Payback Period = X 1 tahun ……….(18)

d. Analisis Break Event Point (BEP)

Break Event Point merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan

output produksi sama dengan biaya produksi. Pada kondisi Break Event Point ini pengusaha mengalami impas. Perhitungan BEP ini digunakan untuk menentukan batas minimum volume penjualan agar suatu perusahaan tidak rugi (Husnan, 1998). Selain itu BEP dapat dipakai untuk merencanakan tingkat keuntungan yang dikehendaki dan sebagai pedoman dalam mengendalikan operasi yang sedang berjalan. BEP dapat dihitung dengan persamaan matematis seperti ini:

BEP (Nilai Produksi) =

/ …………..(19)

BEP (Volume Produksi) = ………..(20)

Dimana:

TFC = Biaya tetap total (Rp)

AVC = Biaya variabel rata-rata (Rp) Py = Harga komoditas (Rp/kg)

3.7.2.2 Analisis Kriteria Investasi

Analisis kriteria investasi penting dilakukan untuk mengetahui besar manfaat dan besar biaya dari setiap unit yang dianalisis. Indikator yang biasa digunakan untuk analisis kriteria investasi diantaranya adalah :


(28)

27 a. Net Present Value (NPV)

Net Present Value adalah nilai sekarang dari keuntungan bersih yang akan didapatkan pada masa yang akan datang. NPV ini pada dasarnya merupakan kombinasi pengertian present value penerimaan dan present value

pengeluaran (Husnan, 1998). Secara matematis NPV dinyatakan dalam rumus berikut :

NPV = Σi=0n …...……...………... (21)

Dengan kriteria usaha sebagai berikut : - NPV < 0 , usaha tidak layak

- NPV = 0 , usaha tersebut memberikan hasil yang sama dengan modal yang digunakan (impas)

- NPV > 0 , usaha layak untuk dijalankan karena akan dapat menghasilkan keuntungan

Keterangan:

Bt = manfaat unit usaha pada tahun t (Rp)

Ct = Biaya usaha pada tahun ke t (Rp) i = Discount rate (%)

t = umur proyek (3 tahun) b. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C)

Net B/C adalah perbandingan antara jumlah nilai sekarang dari keuntungan bersih pada tahun-tahun yang mana keuntungan bersih bernilai positif dengan keuntungan bersih bernilai negatif (Kadariah et al, 1976). Secara matematis Net B/C dinyatakan dengan rumus :

Net B/C = ………...(22)

Syarat : Bt – Ct > 0 Ct – Bt < 0 Dengan kriteria usaha :


(29)

28 tidak layak

- Net B/C > 1, berarti usaha itu akan mendatangkan keuntungan, sehingga usaha ini dapat dilaksanakan.

Keterangan :

Bt = Benefit sehubungan dengan adanya investasi pada tahun t (Rp) Ct =

Biaya sehubungan dengan adanya investasi pada tahun t (Rp) t = Umur Proyek (3 tahun)

i = Discount rate (%)

c. Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah nilai discount rate i yang membuat NPV pada proyek sama dengan nol (Kadariah et al, 1976). Secara matematis IRR dinyatakan dengan rumus:

IRR = i + ….…………...………….. (23)

IRR ≥ i (discount rate), berarti usaha dapat dilaksanakan

IRR < i (discount rate), berarti usaha lebih baik tidak dilaksanakan Keterangan :

i’ = discount rate yang menghasilkan NPV+ (%)

i” = discount rate yang menghasilkan NPV- (%)

NPV’ = NPV pada tingkat bunga i’(Rp)

NPV” = NPV pada tingkat bunga i”(Rp) 3.7.3 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut pada hasil analisis, unsur yang digunakan pada analisis sensitivitas usaha pembesaran ikan kerapu ini adalah unsur pakan. Pakan merupakan faktor produksi yang utama, sehingga perubahannya akan sangat berpengaruh pada kelangsungan usaha. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kenaikan harga pakan tertinggi selama 5 tahun terakhir.


(30)

29 3.8 Batasan dan Pengukuran

a) Variabel yang dijelaskan (output) dalam analisis fungsi produksi dalam penelitian ini adalah kerapu macan dengan size 100-200 gram, 200-300 gram, 300-400 gram, 400-500 gram, dan up 500 gram.

b) Variabel yang menjelaskan (input) dalam analisis fungsi produksi dalam penelitian ini terdiri atas jumlah benih (ekor), pakan rucah (Kg), t e n a g a k e r j a o p e r a s i o n a l ( J a m k e r j a ) , tenaga kerja pemeliharaan (Jam kerja), obat-obatan (ml) dan BBM (l). Variabel input ini dihitung per m2. c) Umur proyek dalam penelitian ini ditetapkan selama 3 tahun dan

merupakan umur teknis terlama dari komponen investasi yaitu jaring yang digunakan.

d) Optimalisasi dengan menggunakan metode Cobb-Douglas dan kelayakan usaha dengan analisis kelayakan finansial.

e) Analisis sensitivitas dengan menaikan harga pakan sebesar kenaikan harga pakan tertinggi selama 5 tahun terakhir.


(31)

30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Budidaya

Secara geografis Kelurahan Pulau Panggang merupakan salah satu kelurahan di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Wilayah ini merupakan gugusan pulau-pulau yang terdiri dari 13 pulau, dimana dua pulau diperuntukan sebagai pemukiman yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, 6 pulau diperuntukan sebagai peristirahatan, dan sebagian lainnya untuk PHU, pariwisata, PHKA, perkantoran, TPU dan marcusuar. Kelurahan Pulau Panggang memiliki luas wilayah 62,10 Ha dengan ketinggian tanah 1 meter dari permukaan laut dan suhu udara rata-rata 27oC-32oC. Kelurahan Pulau Panggang memiliki batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : 05’41’41”LS-05’41’41”LS Sebelah Selatan : 106’44’50”BT

Sebelah Barat : 106’19’30”BT

Sebelah Timur : 05’47’00”LD-05’45’14”LS

Keadaan angin di Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin muson yang secara garis besar dapat dibagi menjadi Angin Musim Barat (Desember-Maret) dan Angin Musim Timur (Juni-September). Musim Pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-November. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot per jam, yang umumnya bertiup dari barat daya sampai barat laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot per jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari. Pada musim Timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot per jam yang bertiup dari arah timur sampai tenggara. Musim hujan biasanya terjadi antara bulan Nopember-April dengan hujan antara 10-20 hari/bulan. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari dan total curah hujan tahunan sekitar 1700 mm. Peta wilayah Pulau Panggang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Kegiatan budidaya kerapu di Pulau Panggang sudah berjalan lebih dari 6 tahun. Pembudidaya yang menjadi responden dalam penelitian ini ialah pembudidaya yang termasuk ke dalam kelompok Sea Farming. Jumlah anggota kelompok Sea Farming sebanyak 74 orang dengan jumlah anggota yang aktif hanya 43 orang. Anggota yang menjadi responden dipilih sebanyak 20 orang


(32)

31 dimana ia memenuhi persyaratan yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu telah memiliki pengalaman berbudidaya kerapu minimal satu tahun dan memiliki ikan kerapu macan atau kerapu bebek dengan size 100-200 gram, 200-300 gram, 300-400 gram, 300-400-500 gram dan up 500 gram. Lama waktu pengalaman berbudidaya kerapu dari pembudidaya yang menjadi responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Lama Pengalaman Berbudidaya Kerapu Responden

Lama Berbudidaya (Tahun) Jumlah (Orang) %

8 11 55

7 7 35

6 2 10

Jumlah 20 100

Sumber : Data Primer Diolah, Tahun 2011

Setiap anggota Sea Farming diwajibkan mendapat pelatihan tentang budidaya yang diadakan oleh Suku Dinas Perikanan-Kelautan Administratif Kepulauan Seribu bekerja sama dengan PKSPL IPB. Berdasar tingkat pendidikan anggota yang menjadi responden dalam penelitian ini, jumlah responden terbanyak adalah lulusan SD. Tingkat pendidikan responden terdiri dari tingkat pendidikan SD, SMP dan SMA. Data tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tingkat Pendidikan Responden

Pendidikan Jumlah (Orang) % Tidak tamat SD 2 14.3

Tamat SD 15 71.4

SMP 2 9.5

SMA 1 4.8

Jumlah 20 100

Sumber : Data Primer Diolah, Tahun 2011

Usia responden berkisar antara 37 tahun sampai 65 tahun dengan usia rata-rata 49 tahun yang tergolong usia produktif. Responden memiliki jumlah tanggungan keluarga berkisar antara dua orang sampai enam orang dengan rata-rata jumlah tanggungan keluarga tiga orang. Berdasarkan usia responden, dapat diketahui bahwa rata-rata responden berada pada usia produktif. Hal ini menunjukan bahwa responden memiliki kesempatan mencari usaha yang lebih


(33)

32 banyak. Namun kenyataannya responden memilih budidaya perikanan sebagai usahanya karena mayoritas responden sudah berkeluarga. Mayoritas responden bermatapencaharian utama sebagai nelayan, sedangkan pembudidaya merupakan matapencaharian sampingan. Jenis pekerjaan budidaya yang bersifat sampingan ini berpengaruh terhadap manajemen budidaya yang dilakukan oleh responden. Pembagian jam kerja sebagai nelayan dan sebagai pembudidaya terlihat kurang seimbang atau dapat dikatakan jam kerja untuk kegiatan budidaya masih kurang. Responden masih berpikiran tradisional bahwa matapencaharian sebagai nelayan tetap yang utama, dan jika tidak melaut mereka tidak akan bisa memberi makan untuk keluarga mereka. Peran serta keluarga dalam kegiatan budidaya pun kurang, padahal hal ini akan sangat membantu untuk melaksanakan suatu manajemen budidaya yang baik dan sesuai dengan yang diajarkan dalam pelatihan berbudidaya yang diselenggarakan oleh kelompok Seafarming, misalnya dalam hal pemantauan biota, pemberian pakan dan pembersihan KJA. Seharusnya jika responden tidak dapat mengontrol keadaan KJA karena pergi melaut, keluarga dapat membantu menggantikan responden melakukan hal tersebut agar kegiatan budidaya lebih terkontrol sehingga hasil dari usaha budidaya bisa lebih meningkat dari sebelumnya. Karakteristik pembudidaya ikan kerapu di Pulau Panggang yang menjadi responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 5.

4.2 Analisis Teknis Budidaya

Perolehan hasil analisis teknis budidaya digunakan sebagai acuan dalam analisis finansial usaha pembesaran kerapu.

4.2.1 Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup tertinggi kerapu bebek berada pada kelas bobot 200-300 gram sebesar 51,57%, sedangkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi kerapu macan berada pada kelas bobot 100-200 gram sebesar 60,55%. Tingkat kelangsungan hidup terendah kerapu macan berada pada kelas bobot 300-400 gram sebesar 37,11% , demikian pula untuk kerapu bebek sebesar 35%. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup kerapu macan sebesar 36% dan rata-rata tingkat kelangsungan hidup kerapu bebek sebesar 59%. Tingkat kelangsungan hidup kerapu macan dan kerapu bebek mengalami ketidakstabilan pada tiap kelas


(34)

33 bobotnya. Pada kelas bobot diatas 500 gram disebutkan bahwa tingkat kelangsungan hidup kerapu macan dibawah sebesar 51,75%, jika dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia No 01-6488.4-2000 maka tingkat kelangsungan hidup kerapu macan pada bobot diatas 500 gram dibawah standar yang telah ditetapkan yaitu 95%. Jika dibandingkan pula dengan hasil penelitian Minjoyo,dkk (2004) di Lampung, tingkat kelangsungan hidup kerapu macan di Pulau Panggang pun di bawah nilai tingkat kelangsungan hidup yang pernah ada yaitu 80%. Grafik tingkat kelangsungan hidup kerapu macan dan kerapu bebek di Pulau Panggang selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Tingkat Kelangsungan Hidup Kerapu Macan dan Kerapu Bebek Periode April – Juli 2011 di Pulau Panggang

Dalam kegiatan budidaya, nilai tingkat kelangsungan hidup berbanding terbalik dengan kelas bobot. Semakin besar kelas bobot maka tingkat kelangsungan hidupnya akan semakin menurun. Secara keseluruhan tingkat kelangsungan hidup ikan kerapu di Pulau Panggang sesuai dengan kaidah tingkat kelangsungan hidup ikan budidaya, namun pada kelas bobot tertinggi yaitu up 500 gram, tingkat kelangsungan hidup ikan kerapu justru naik atau lebih tinggi dari nilai tingkat kelangsungan hidup dikelas bobot yang lebih kecil. Hal ini diduga, kematian lebih banyak terjadi pada kelas bobot 300-500 gram untuk kedua jenis ikan kerapu yang disebabkan oleh pengaruh musim, kualitas air dan pakan. Kualitas air mempengaruhi pertumbuhan ikan berkaitan dengan habitat tinggal ikan tersebut. Jika kondisi habitat tidak sesuai dengan kondisi normal, maka berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan dan dapat menyebabkan kematian. Parameter yang lebih berpengaruh terhadap nilai tingkat kelangsungan hidup yang

60,55

43,93 37,11

36,22 47,14

98,5

35,00

51,75

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

100‐200 200‐300 300‐400 400‐500 up 500

Tingkat

 

Kelangsungan

 

Hidup

 

(%)

Kelas Bobot (g)

kerapu macan kerapu bebek


(35)

34 rendah pada masa pemeliharaan ikan kelas bobot 300-500 gram ialah DO dan TAN. Nilai DO yang rendah (4,04 mg/l) dan dibawah baku mutu yang ditetapkan MENLH untuk biota laut (> 5mg/l) yang mengakibatkan ikan kekurangan oksigen dan menyebabkan kematian. Nilai TAN lingkungan sekitar KJA pembudidaya (0,03-1,18 mg/l) juga tidak berada pada nilai baku mutu yang ditetapkan MENLH (0,3 mg/l), hal ini menunjukan perairan di sekitar lokasi budidaya sudah tercemar oleh limbah sehingga berpengaruh terhadap kemampuan ikan untuk bertahan hidup selama masa pemeliharaan. Musim berpengaruh terhadap ketersediaan pakan yang diberikan pada ikan mengingat pakan yang diberikan berupa ikan rucah dan diperoleh dari hasil tangkapan. Saat ikan kerapu berada pada kelas bobot 300-500 gram, masa pemeliharaan terjadi pada bulan Mei-Juni 2011 yang dipengaruhi oleh angin barat. Angin barat membawa air dingin dari samudra pasifik sehingga perairan yang dilewati arus tersebut suhunya menjadi turun, pH menjadi turun dan salinitas naik. Angin barat juga berpengaruh terhadap gelombang tinggi yang menyebabkan nelayan sulit untuk melaut sehingga hasil tangkapan ikan rucah sedikit. Diduga pula ikan-ikan rucah relatif berenang ke perairan yang lebih dalam untuk menghindari pengaruh gelombang tinggi sehingga lebih sulit pula untuk ditangkap dan menyebabkan kuantitas pakan yang diberikan menjadi lebih sedikit. Selain itu terjadi serangan bakteri pada beberapa ikan, sehingga ikan mengalami kerusakan sirip dan tubuh serta menyebabkan kematian. Tindakan pencegahan yang dilakukan dengan perendaman rutin terhadap ikan yang dipelihara dalam air tawar ataupun ait laut yang diberi elbaju telah dilakukan namun tidak banyak ikan yang tertolong.

4.2.2 Laju Pertumbuhan Spesifik

Penghitungan SGR dilakukan secara kumulatif dari tiap kelas bobot yang ada. Nilai SGR kerapu macan dan kerapu bebek mengalami fluktuatif pada tiap kelas bobot. Nilai SGR turun dari kelas bobot 100-200 gram (4,07%) kekelas bobot 200-300gram (3,07%), kemudian meningkat pada kelas bobot 300-400 gram (4,68%) lalu naik dan turun lagi dikelas bobot up 500 gram (5,53%) untuk kerapu macan serta kenaikan SGR untuk kerapu bebek pada kelas bobot 300-400 gram (4,92%) dan penurunan pada bobot up 500 gram (4,78%). Rata-rata nilai SGR untuk kerapu macan sebesar 4,49% dan SGR untuk kerapu bebek sebesar


(36)

35 4,05%. Grafik laju pertumbuhan spesifik kerapu macan dan kerapu bebek di Pulau Panggang selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Laju Pertumbuhan Spesifik Kerapu Macan dan Kerapu Bebek Periode April – Juli 2011 di Pulau Panggang

Jika dibandingkan dengan prinsip pertumbuhan pada kegiatan budidaya, maka grafik tersebut secara keseluruhan sesuai prinsip, dimana grafik menunjukan peningkatan kemudian penurunan setelah mencapai stadia dewasa untuk laju pertumbuhan harian tiap individunya. Akan tetapi, terjadi penurunan laju pertumbuhan pada kelas bobot 200-300 gram untuk kerapu macan. Pada fase dewasa laju pertumbuhan menurun sebab sebagian energi yang diperoleh dari aktifitas feeding digunakan untuk pertumbuhan reproduktif (generatif) seperti perkembangan, pertumbuhan dan pematangan gonad, serta aktivitas dan tingkah laku reproduktif lainnya seperti pencarian pasangan kawin, percumbuan dan sebagainya.

Naik dan turunnya laju pertumbuhan spesifik ikan kerapu pada penelitian ini diduga disebabkan oleh pengaruh kualitas air (DO dan TAN), pengaruh pakan dan genetika ikan itu sendiri. Tidak stabilnya kualitas air yang menjadi habitat hidup ikan menyebabkan pertumbuhan ikan lambat. Kualitas air selama pemeliharaan dari bulan April hingga Juli 2011 dipengaruhi oleh 2 musim yaitu musim barat dan musim timur. Musim berpengaruh terhadap kondisi kualitas air pada parameter DO, saat musim barat suhu air cenderung rendah sehingga DO pun rendah. Nilai TAN yang tinggi menunjukan kondisi perairan di sekitar tempat budidaya telah tercemar dan kurang baik untuk budidaya. Laju pertumbuhan ikan kerapu macan tertinggi berada pada kelas bobot terkecil yaitu 100-200 gram. Diduga pakan yang diberikan dikonsumsi dengan baik oleh ikan untuk

4,07 3,07 4,69 5,53 5,11 2,44 4,92 4,78 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00

100‐200 200‐300 300‐400 400‐500 up 500

Laju   pertumbuhan   Spesifik   (%)

Kelas Bobot (g)

kerapu macan kerapu bebek


(37)

36 pertumbuhan, sesuai fungsi pakan pada ikan dengan ukuran 100-200 gram tersebut. Laju pertumbuhan ikan kerapu macan pada kelas bobot 400-500 gram lebih tinggi dari kelas bobot 200-400 gram, hal ini diduga kualitas perairan (DO dan TAN) tempat hidup ikan mulai seimbang lagi sesuai dengan habitat hidup ikan kerapu macan dan kuantitas pakan yang diberikan lebih banyak serta dikonsumsi dengan baik oleh ikan untuk pertumbuhan. Genetika ikan juga dapat berpengaruh terhadap penurunan nilai SGR. Diduga ada beberapa benih ikan yang kurang bagus genetikanya. Hal ini dapat dilihat dari hubungan pertambahan bobot dan pertambahan panjang tubuh selama pemeliharaan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hubungan Pertambahan Bobot dan Pertambahan Panjang Tubuh

Kelas Bobot (gram)

Kerapu Macan Kerapu Bebek

Keterangan Pertambahan

Bobot (gram)

Pertambahan Panjang (cm)

Pertambahan Bobot (gram)

Pertambahan Panjang (cm)

100-200 80 1,4 - - (+)

200-300 106 1,3 129 3,8 (+)

300-400 106 1,0 161 2,8 (+)

400-500 101 -0,4 - - (-)

Up 500 121 0,4 287 4 (+)

Keterangan : (+) = Terjadi pertambahan bobot dan pertambahan panjang tubuh

(-) = Terjadi pertambahan bobot tetapi tidak terjadi pertambahan panjang tubuh

Pertambahan bobot tubuh ikan kerapu macan dan ikan kerapu bebek pada semua kelas bobot menunjukan nilai yang positif, tetapi pada pertambahan panjang tubuh ikan kerapu macan kelas bobot 400-500 gram terjadi penurunan panjang tubuh. Perolehan hasil pertambahan panjang tubuh yang menurun disebabkan oleh pengambilan ikan sampel secara acak. Hal ini menunjukan pengambilan sampel sudah mewakili populasi yang ada.

Pertambahan bobot tubuh yang tidak diimbangi dengan pertambahan panjang tubuh mengakibatkan bentuk tubuh ikan tidak ideal. Seperti manusia, bentuk tubuh ikan juga dapat dikatakan obesitas ataupun kuntet (kerdil). Hal ini diduga disebabkan adanya pengaruh genetika (keturunan) dari induk ikan yang digunakan sebagai benih. Faktor keturunan merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan dan keberadaannya sulit dikontrol.

4.2.3 Feed Convertion Ratio (FCR)

Nilai FCR kerapu macan menunjukan grafik yang semakin meningkat kemudian turun pada kelas bobot up 500 gram. Sedangkan FCR untuk kerapu


(38)

37 bebek menunjukan grafik naik kemudian turun pada ketiga kelas bobot. Rata-rata nilai FCR kerapu macan sebesar 12,2 sedangkan untuk kerapu bebek sebesar 8,5. Grafik nilai FCR kerapu macan dan kerapu bebek di Pulau Panggang selama pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. FCR Kerapu Macan dan Kerapu Bebek Periode April – Juli 2011 di Pulau Panggang

Nilai FCR pada budidaya ikan akan menunjukan grafik yang menaik untuk kelas bobot yang semakin besar. Nilai FCR mengalami penurunan pada kelas bobot up 500 gram untuk kerapu macan dan kerapu bebek. Diduga pakan rucah yang masuk ke dalam tubuh ikan pada kelas bobot tersebut digunakan untuk pertumbuhan reproduktif (generatif) seperti perkembangan, pertumbuhan dan pematangan gonad, serta aktivitas dan tingkah laku reproduktif lainnya seperti pencarian pasangan kawin, percumbuan dan sebagainya. Nilai FCR untuk ikan kerapu tergolong tinggi dimana diperoleh FCR rata-rata untuk ikan kerapu macan sebesar 12,2 yang berarti ikan membutuhkan pakan sebanyak 12,2 Kg untuk menghasilkan 1 Kg daging dan FCR rata-rata untuk kerapu bebek sebesar 8,5 yang berarti ikan membutuhkan 10,4 Kg pakan untuk menghasilkan 1 Kg daging. Nilai FCR yang tinggi diduga disebabkan oleh terbuangnya lebih dari 50% pakan selama feeding, karena pemberian pakan rucah dibuang jeroan dan kepalanya, pemberian pakan rucah dipengaruhi jumlah kandungan air dari ikan rucah tersebut dan nilai leaching pakan rucah lebih tinggi dari pellet serta kualitas rucah yang kurang baik.

Diduga waktu pemberian pakan untuk setiap kelas bobot kurang sesuai (masih ada pengaruh sinar matahari) sehingga ikan kerapu tidak mau makan dan cenderung berada di dasar wadah pemeliharaan sehingga menyebabkan pakan

5,40

10,86

15,72 19,45

9,39 5,73

12,50

7,29 0

5 10 15 20 25

100‐200 200‐300 300‐400 400‐500 up 500

FCR

Kelas Bobot (g)

kerapu macan kerapu bebek


(39)

38 rucah yang diberikan terbuang. Waktu pemberian pakan dipengaruhi oleh jam kerja pembudidaya sebagai nelayan, sekitar pukul 06.30 dan atau pukul 16.00 merupakan jam kerja responden untuk kegiatan budidaya. Mayoritas jam kerja efektif yang digunakan responden untuk pemberian pakan adalah pukul 16.00, dimana matahari masih sedikit terik. Seharusnya waktu pemberian pakan dilakukan sebelum matahari terbenam atau sekitar pukul 17.30 agar nafsu makan ikan kerapu lebih meningkat. Untuk mengetahui persentase jumlah pakan rucah yang diberikan selama pemeliharaan pada tiap ukuran ikan atau kelas bobot dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Persentase Pemberian Pakan Rucah untuk Ikan Kerapu

Ukuran Ikan (gram)

% Pemberian Pakan

Rucah Harian Frekuensi Harian % Pemberian Pakan Rucah Harian Menurut Literatur

Frekuensi Harian Menurut Literatur Kerapu

Macan

Kerapu Bebek

Kerapu Macan

Kerapu Bebek

100-200 6,3 - 1 1 8-10 1-2

200-300 5,4 5,7 1 1 6-8 1

300-400 5,6 11,2 1 1 4-6 1

400-500 4,8 - 1 1 4-6 1

Up 500 4,3 8,6 1 1 4-6 1

Literatur menurut ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research) dalam Pedoman Praktis Pemberian dan Pengelolaan Pakan untuk Ikan Kerapu yang di Budidaya

Jika dibandingkan dengan Pedoman Praktis Pemberian dan Pengelolaan Pakan untuk Ikan Kerapu yang di Budidaya menurut ACIAR, persentase pemberian pakan rucah untuk ikan kerapu macan kelas bobot 100 hingga 200 gram masih kurang. Persentase pemberian pakan rucah untuk ikan kerapu macan yang sesuai dengan anjuran ACIAR ada pada kelas bobot 300 gram hingga up 500 gram. Sedangkan untuk ikan kerapu bebek, persentase pemberian pakan rucah yang sesuai dengan anjuran ACIAR hanya ada pada kelas bobot 200-300 gram. Hal ini diduga disebabkan oleh ketersediaan pakan rucah yang tidak menentu dan tidak adanya pencatatan data budidaya mengenai biomassa ikan selama pemeliharaan pada tiap kelas bobot sehingga pembudidaya tidak dapat mengetahui berapa banyaknya pakan rucah yang harus diberikan.


(40)

39 4.2.4 Kualitas Air

Pengamatan kualitas air dilakukan pada beberapa titik sampling selama periode April – Juli 2011 dengan waktu pengambilan sampel pada pukul 10.00 WIB untuk setiap sampling. Pengamatan sampel air terjadi pada saat musim kemarau. Hasil pengamatan yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Pengamatan Kualitas Air di Pulau Panggang Periode April-Juli 2011

Parameter Baku Mutu* Hasil Sampling Hasil Sekunder**

pH 7 – 8.5 7 – 8 8,18 – 8,28

Salinitas (O/oo) 33 – 34 30,8 – 32,3 34 Suhu (oC) 28 – 32 28 – 32 30,4 – 31,4

DO (mg/l) > 5 4,04 -6,46 6,80 – 7,30 TAN (mg/l) 0,3 0,03 – 1,18 0,01 – 0,53 Kecepatan Arus (m/dtk) - 4,5 – 5 -

Sumber : *) Baku mutu berdasarkan Keputusan MENLH No.51/2004 untuk biota Laut **) Hasil sekunder berdasarkan Hasil Analisa Laboratorium 2009 PKSPL IPB

Beberapa parameter pengamatan kualitas air yang dilakukan di perairan Pulau Panggang pada periode April-Juli 2011 termasuk dalam kondisi normal atau sesuai dengan baku mutu kualitas air untuk biota laut berdasarkan Keputusan MENLH No.51/2004, kecuali parameter salinitas, DO dan TAN. Nilai salinitas selama pengamtan berada dibawah nilai baku mutu yang telah ditentukan. Namun nilai salinitas tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan kerapu, sebab kerapu macan dan kerapu bebek bersifat euryhaline yang berarti memiliki toleransi terhadap perubahan salinitas.

Nilai pengamatan parameter DO ada yang berada dibawah nilai baku mutu yang ditentukan. Nilai DO yang rendah tersebut diduga disebabkan oleh karakteristik massa air yang buruk. Karakteristik massa air menggambarkan kondisi lapisan air. Kondisi lapisan air dipengaruhi oleh proses kimia dan faktor eksternal lingkungan sekitar. Saat buangan limbah atau nutrient rendah, berarti pertumbuhan fitoplankton rendah yang menyebabkan kandungan oksigen rendah. Faktor lain yang berpengaruh terhadap rendahnya nilai DO adalah kekuatan arus dan suhu. Arus rendah dan suhu rendah berarti nilai DO juga rendah.

Nilai TAN menunjukan tercemar atau tidaknya suatu perairan. Pengambilan sampel kualitas air di dalam, di tepi dan di luar karang Pulau Panggang menunjukan nilai TAN yang berbeda atau dalam kata lain kondisi perairan di


(41)

40 Pulau Panggang bervariatif. Nilai TAN di daerah sekitar Pulau Panggang cukup tinggi menunjukan perairan tersebut telah tercemar. Letak Pulau Panggang terlewati jalur transportasi wisatawan yang datang ke Pulau Pramuka atau Pulau Semak Daun. Hal ini berpengaruh terhadap pencemaran yang terjadi dimana wisatawan tersebut membuang sampah secara sembarangan di laut. Diduga pula nilai TAN yang bervariatif berkaitan dengan sistem limbah buangan yang tidak terfokus pada satu arah. Kandungan ammonia dan nitrogen diperlukan dalam proses metabolisme tubuh. Oleh karena itu limbah buangan rumah tangga pun berguna bagi kelangsungan hidup biota laut, namun dalam kadar yang rendah.

Kondisi kualitas air berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup ikan kerapu. Jika kualitas perairan tidak sesuai dengan habitat asal kerapu, maka keberlangsungan hidup ikan kerapu akan terganggu. Kualitas air juga dapat memicu timbul atau sebagai faktor pembawa penyakit bagi ikan kerapu. Kondisi kualitas air pun berhubungan dengan kuantitas pakan rucah di alam. Saat kualitas air (cuaca) memburuk, misal gelombang tinggi, maka proses penangkapan ikan rucah akan menjadi lebih sulit dan ikan rucah pun cenderung berenang ke perairan yang lebih dalam untuk mencari perlindungan dari gelombang tinggi.

4.3 Analisis Usaha Kerapu Macan dan Kerapu Bebek

Kegiatan usaha merupakan kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam suatu kesatuan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki baik sebagaian maupun seluruhnya yang dikorbankan dari penggunaan masa sekarang untuk memperoleh manfaat dimasa depan (Soekartawi, 2003). Kegiatan usaha budidaya termasuk kegiatan yang berorientasi pada keuntungan. Analisis usaha pada usaha pembesaran kerapu di Pulau Panggang meliputi analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C), analisis Payback Period (PP) dan analisis Break Even Point (BEP). 1) Analisis Keuntungan

Analisis pendapatan usaha digunakan untuk menghitung besarnya keuntungan yang diperoleh pada usaha pembesaran kerapu macan dan kerapu bebek. Pada analisis pembesaran kerapu macan dan kerapu bebek ini, biaya yang harus dikeluarkan pembudidaya dibagi menjadi biaya tetap dan biaya variabel.


(1)

Perbaikan waring 10.000 10.000 10.000 20.000

Alat Produksi

Serok 50.000 50.000 50.000 100.000 Sterofom 40.000 40.000 40.000 80.000 Tudung Saji 30.000 30.000 30.000 60.000 Bambu Penarik Waring 30.000 30.000 30.000 60.000 Tempat Pakan 5.000 5.000 5.000 10.000 Gunting 7.000 7.000 7.000 14.000 Dirigen 60.000 60.000 60.000 120.000

Total Biaya Tetap 2.142.000 2.142.000 2.142.000 4.284.000

3 Biaya Variabel

Benih 4.000.000 4.000.000 4.000.000 8.000.000 Pakan Rucah 1.404.000 1.890.000 1.890.000 3.780.000 Obat-obatan 50.000 50.000 50.000 100.000 BBM 468.000 468.000 468.000 936.000 Vitamin - - - -

Total Biaya Variabel 5.922.000 6.408.000 6.408.000 12.816.000

Total Outflow 12.165.000 12.651.000 8.550.000 17.100.000

Net benefit (5.176.025) 2.880.055 7.037.055 14.703.109 Incremental Net Benefit (2.295.971) 1.861.029 9.527.084 DF 16% 0,86 0,74 0,64 PV (1.979.285) 1.383.048 6.103.599

NPV 5.507.362

PV Positif 5.507.362

PV Negatif (1.979.285)

IRR 114%

Net B/C 2,78


(2)

Penjualan Ikan 6.988.975 15.531.055 15.531.055 31.062.109

Nilai sisa 56.000 741.000

Total Inflow 6.988.975 15.531.055 15.587.055 31.803.109

B Outflow

1 Biaya Investasi   

Konstruksi KJA

Bambu hitam diameter 9cm 432.000 432.000 Drum Pelampung 840.000 840.000 Tali tambang 6 mm 84.000 84.000 Tali jangkar polyethiline 8 mm 512.000 512.000

Paku 80.000 80.000

Upah Pembuatan KJA dan jangkar (TK operasional) 770.000 770.000 - -

Upah Pembuatan Jaring 1 buah * 40.000 40.000

Upah Pembuatan Waring 100.000 100.000

Upah Tarik KJA dan kapal 75.000 75.000

Jaring * 100.000 100.000

Waring 180.000 180.000

Pemberat 48.000 48.000

Kapal * 300.000 300.000

Mesin * 540.000 540.000

Total Biaya Investasi 4.101.000 4.101.000

2 Biaya Tetap

Tenaga Kerja Pemeliharaan 1.820.000 1.820.000 1.820.000 3.640.000 Perbaikan jaring* 40.000 40.000 40.000 80.000 Perawatan KJA 50.000 50.000 50.000 100.000


(3)

Perbaikan waring 10.000 10.000 10.000 20.000

Alat Produksi

Serok 50.000 50.000 50.000 100.000 Sterofom 40.000 40.000 40.000 80.000 Tudung Saji 30.000 30.000 30.000 60.000 Bambu Penarik Waring 30.000 30.000 30.000 60.000 Tempat Pakan 5.000        5.000   5.000 10.000 Gunting 7.000        7.000   7.000 14.000 Dirigen 60.000        60.000   60.000 120.000

Total Biaya Tetap 2.142.000        2.142.000   2.142.000 4.284.000

3 Biaya Variabel

Benih 4.000.000 4.000.000 4.000.000 8.000.000 Pakan Rucah 1.404.000 1.404.000 1.404.000 2.808.000 Obat-obatan 50.000 50.000 50.000 100.000 BBM 468.000 468.000 468.000 936.000 Pembersihan karamba - 270.000 270.000 540.000 multivitamin - 420.000 420.000 840.000

Total Biaya Variabel 5.922.000 6.192.000 6.612.000 13.224.000

Total Outflow 12.165.000 12.435.000 8.754.000 17.508.000

Net benefit (5.176.025) 3.096.055 6.833.055 14.295.109 Incremental Net Benefit (2.079.971) 1.940.029 9.402.084 DF 16% 0,86 0,74 0,64

PV (1.793.078) 1.231.443 5.842.211

NPV 5.280.575

PV Positif 5.280.575

PV Negatif (1.793.078)

IRR 118%

Net B/C 2,94


(4)

Nilai sisa 56.000 741.000 Total Inflow 6.988.975 14.172.087 14.172.087 29.085.175

B Outflow

1 Biaya Investasi

Konstruksi KJA

Bambu hitam diameter 9cm 504.000 432.000 Drum Pelampung 1.190.000 840.000 Tali tambang 6 mm 126.000 300.000 Tali jangkar polyehtyline 8 mm 512.000 100.000

Paku 100.000 80.000

Upah Pembuatan KJA dan jangkar (TK operasional) 770.000 770.000 - -

Upah Pembuatan Jaring* 40.000 40.000

Upah Pembuatan Waring 150.000 100.000

Upah Tarik KJA dan kapal 100.000 75.000

Jaring * 100.000 100.000

Waring 300.000 180.000

Pemberat 72.000 48.000

Kapal * 300.000 300.000

Mesin * 540.000 540.000

Total Biaya Investasi 5.216.000 4.101.000

2 Biaya Tetap

Tenaga Kerja Pemeliharaan 1.820.000 1.820.000 1.820.000 3.640.000 Perbaikan jaring * 60.000 40.000 40.000 80.000 Perawatan KJA 75.000 50.000 50.000 100.000


(5)

Perbaikan waring 15.000 10.000 10.000 20.000

Alat Produksi

Serok 50.000 50.000 50.000 100.000 Sterofom 40.000 40.000 40.000 80.000 Tudung Saji 30.000 30.000 30.000 60.000 Bambu Penarik Waring 30.000 30.000 30.000 60.000 Tempat Pakan 5.000 5.000 5.000 10.000 Gunting 7.000 7.000 7.000 14.000 Dirigen 60.000 60.000 60.000 120.000

Total Biaya Tetap 2.192.000 2.142.000 2.142.000 4.284.000

3 Biaya Variabel

Benih 4.000.000 4.000.000 4.000.000 8.000.000 Pakan Rucah 598.000 1.684.800 1.684.800 3.369.600 Obat-obatan 50.000 50.000 50.000 100.000 BBM 468.000 468.000 468.000 936.000 Vitamin - - - -

Total Biaya Variabel 5.116.000 6.202.800 6.202.800 12.405.600

Total Outflow 12.524.000 12.445.800 8.344.800 16.689.600

Net benefit (5.535.025) 1.726.287 5.883.287 12.395.575 Incremental Net Benefit (3.808.738) 384.262 6.860.549 DF 16% 0,86 0,74 0,64

PV (3283.395) 258.815 4.395.263

NPV 1.370.684

PV Positif 1.370.684

PV Negatif (3.283.395)

IRR 20%

Net B/C 0.42


(6)

A Inflow

Penjualan Ikan 6.988.975 15.531.055 15.531.055 31.062.109

Nilai sisa 56.000 741.000

Total Inflow 6.988.975 15.531.055 15.587.055 31.803.109

B Outflow

1 Biaya Investasi   

Konstruksi KJA

Bambu hitam diameter 9cm 432.000 432.000 Drum Pelampung 840.000 840.000 Tali tambang 6 mm 84.000 84.000 Tali jangkar polyethiline 8 mm 512.000 512.000

Paku 80.000 80.000

Upah Pembuatan KJA dan jangkar (TK operasional) 770.000 770.000 - -

Upah Pembuatan Jaring 1 buah * 40.000 40.000

Upah Pembuatan Waring 100.000 100.000

Upah Tarik KJA dan kapal 75.000 75.000

Jaring * 100.000 100.000

Waring 180.000 180.000

Pemberat 48.000 48.000

Kapal * 300.000 300.000

Mesin * 540.000 540.000

Total Biaya Investasi 4.101.000 4.101.000

2 Biaya Tetap

Tenaga Kerja Pemeliharaan 1.820.000 1.820.000 1.820.000 3.640.000 Perbaikan jaring * 40.000 40.000 40.000 80.000