Studi konstruksi kelembagaan pengelolaan sea farming kasus di pulau panggang kabupaten administrasi kepulauan seribu

STUD1 KONSTRUKSI KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN SEA FARMING
( KASUS DI PULAU PANGGANG
KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU)

AGUS IWAN HASWANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITLJTPERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMAS1
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis "Studi Konstruksi Kelembagaan
Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu)" adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
hkutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak hterbitkan dari penuiis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, Mei 2006

Agus Iwan Haswanto
NRP. A. 155030061

ABSTRAK

AGUS W A N HASWANTO, Studi Konstndsi Kelembagaan Pengelolaan
Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu). (SETIA HAD1 sebagai Ketua dan LUW ADRJANTO sebagai Anggota
Komisi Pembimbing).
Penerapan konsepsi sea f m i n g di Pulau Panggang Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu, yang pengelolaannya bersifat limited enhy
memerlukan konstruksi kelernbagaan Penelitian ini bertujuan memberikan input
dalam proses konshuksi kelembagaan, berupa kajian kelembagaan existing dan
kajian kelembagaan sea farming. Kajian kelembagaan existing didekati dari
beberapa isy yaitu pola pemanfaatan sumberdaya selama ini, stukehoIders yang
terlibat, aturan formal dan non formal yang ada xata persepsi masyarakat
terhadap sumberdaya perikanan dan laut Kajian terkait kelembagaan sea f m i n g
(berdasar konsepsi) didekati melalui potensi interaksi stakeholders (analisis game

theory). Ditemukan akiivitas pemaufaatan sumberdaya selama ini telah sesuai
dengan konsepsi sea farming walau belum terorganisasi secara utuh, mencakup 13
stakehoIders terkait yang didasarkan pada atumn formal (pemerintah). Persepsi
masyarakat menunjukkm adanya kesiapan dalam penerapan konsepsi seafarming
dan basil analisis game theory menunjukkan adanya potensi penerapan limited
entry namun harus disertai dengan aturan yang jelas dan tegas. Dirasa perlu
adanya komunikasi yang tepat antar stakeholders agar kelembagaan pengelolaan
seafarming &pat terbentuk.
Key word : kelembagaan, seafarming, limited enhy, stakeholders

STUD1 KONSTRUKSI KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN SEA FARMING
( KASUS Dl PULAU P NGGANG

hPZnAuAN sERrBU)

KAsuPATEN ADMINIS~RASI

AGUS IWAN HASWANTO


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanam Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

Judul Tesis
Nama Mahasiswa

NRP

: Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming

(Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu)
: Agus Iwan Haswanto
: A155030061


-

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. 1r.Setia Hadi. M.Si
Ketua

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu
Perencanaan Pembanrmnan
Wilayah dan ~ e r d e & n

.

Dr. Ir.Lukv Adrianto. M.Sc
Anggota

-kan


Sekolah Pascasarjana

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D

11 Mei 2006
Tanggal Ujian :..........................

d'

r .,I..< . 3 1 MAY 2006

O Hak cipta milik Agus Iwan Haswanto, Tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengut.@dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Imtitut Pertanian Bogor. sebagian atau seluruhnya dalam be& apa pun, bazk
cetak,fotocopi, mmikrofilm, dun sebagainya

PRAKATA


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
"Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau
Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)". Tesis ini disusun sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Penulis merasa, hampir tidak mungkin stud^ dan tesis ini bisa selesai tanpa
bantuan dari banyak pihak. Oleh karenannya wajib kiranya mengucapkan terima
kasih terutama kepada Dr. Ir.Setia Hadi, MSi dan Dr. Ir.Luky Adrianto, MSc atas
kesabarannya didalam membibing dan mengarahkan penulis, serta kepada
Dr. Ir. Ahmad Fauzi, MSc yang berkenan menguji demi sempurnanya tesis ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada Bupati Rembang atas kesempatan
yang diberikan, Bappenas atas pembiayaannya, Ketua Program studi, dosen dan
staf Program Studi PWD atas ilmu dan pelayanannya, Rekan-rekan PWD 2003
atas kebersamaannya dan PKSPL-IPB atas kerjasama dan kesempatan yang
diberikan kepada penulis, untuk lebih mendalami tentang pesisir dan laut.
Terkhusus penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak, ibu, kakak dan adik
baik di Rembang maupun di Singkil atas doa dan dorongan yang tak pernah hentihentinya. Tak lupa kepada istri dan anakku tercinta atas doa, kesabaran dan
pengertiannya. Mohon maaf jika banyak melupakan kewajiban karena tesis ini.

Akhimya, bersama rangkaian kata berikut, penulis berharap semoga hasil
penelitian ini ada manfaatnya.
"

Belajar ifu ibarat mendaki ke tempat finggi, agar dapat melilzat jauh di bawah

sana, untuk lebih tahu siapa kita, danpuncaknya adalah semakin b ~ a k s m "

Bogor, Mei 2006

Agus Iwan Haswanto

RIWAYAT HIDW

Penulis dilahirkan di Demak Jawa Tengah pada Tanggal 19 Agustus 1975,
dari pasangan Ayahanda Moch Hasyim dan Ibunda Suwami, sebagai anak
pertama dari lima bersaudara.
Pada Tahun 1987 penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di
SDN I Dempet Demak, Tahun 1990 menamatkan pendidikan sekolah m e n e w
pertarna di SMPN I Lasem Rembang dan Pada Tahun 1993, penulis lulus dan


SMA Negeri I Rembang.
Pada tahun yang sarna, penulis melanjutkan studi di Fakultas Peternakan
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Universitas Diponegom Semarang dan

berhasil meraih gelar sarjana pada Tahun 1997. Pada Tahun 1998 penulis diterima
sebagai PNS di Pemerintah daerah Kabupaten Rembang dan di Tahun 2003
berkesempahn melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi
nmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan atas beasiswa dari
Bappenas.
Pada Maret 2005 penulis menikah dengan Ami Agusniar, SP dan saat ini
telah dikaruniai seorang putra bemama : Sinau Hisyam Alfansuri.

DAFTAR IS1

Halaman

DAFTAR TABEL .....................................................................

xi


DAFTAR GAMBAR ..........................................................

xii

DAFTAR LAMPIRAN ..............................................
I.

PENDAHULUAN ............................................
1.1, Latar Belakang .......................................
1.2. Perumusan Masalah
..................................
..
1.3. Tujuan Penellban
.....................................
..
1.4. Kegunaan Penelltian ..................................

I1.


TINJAUAN PUSTAKA .....................................
2.1. Kelembagaan ...........................................
2.1.1. Konsep Umum ................................
2.1.2. Kelernbagaan Masyarakat Pesisir ............
2.2. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan ...............
2.2.1. Pengelolaan Berdasar Sifat Open Access..
2.2.2. Pengelolaan Berdasar Sifat Limited Entry
2.3. Sea Farming ...........................................
2.3.1. Konsep Dasar
...........................
2.3.2. Teknis Sea Fanning ........................
2.3.3. Pengelolaan Sea Fanning...............
2.3.4. Konsepsi Kelembagaan Sea Fanning ....

111.

METODOLOGI PENELITIAN .............................
3.1. Kerangka Pemikiran ..................................
3.2. Kerangka Pendekatan Operasional ..................
3.3. Metode Penelitian ....................................

3.3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................
3.3.2. Jenis dan Sumber Data ............................
3.4. Metode Analisis ......................................
3.4.1. Analisis Deskriptif Pemanfaatan Sumber
Daya Laut Puiau Panggang ...............
3.4.2. Analisis Stakeholder .........................
3.4.3. Analisis Peraturan Perundangan ..........
3.4.4. Analisis Persepsi Masyarakat ............
3.4.5. Analisis Game Theory ......................

IV.

KAJIAN KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
. . . .
4.1. Kondrs~F I S I............................................
~
4.2. Kondisi Kependudukan ................................
4.3. Kondisi Sosial dan Budaya...........................
4.3.1. Kelembagaan Formal ...........................
4.3.2. Kelembagaan Adat .............................
4.4. Kondisi perekonomian wilayah.......................

4.5. Kondisi Sarana Infrastruktur .........................
4.5.1. Fasilitas Pendidikan ............................
4.5.2. Fasilitas Penerangan ............................
4.5.3. Fasilitas Air Bersih .............................
4.5.4. Fasilitas Jalan dan Darmaga ...................

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................
5.1. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Laut
Pulau Panggang......................................................
5.1.1. Perikanan Tangkap ...................................
5.1.2. Budidaya ...................................................
5.1.3. Wisata Bahari ............................................
5.1.4. Konservasi ................................................
5.1.5. Interaksi Antar Akhvitas Pemanhatan ....
5.2. Stakeholder Pemanfaat Sumber Daya Laut Pulau
Panggang......................................................
5.3. Peraturan Perundangan dalam Pemanhtan
Sumber Daya Laut Pulau Panggang ....................
5.3.1. Hukum Tertulis ..........................................
5.3.2. Hukum Tak Tertulis (Norma) ....................
5.3.3. Peraturan perundangan sebaga~Landasan
Penerapan Sea Farming ..............................
5.4. Persepsi Masyarakat Pulau Panggang .....................
5.5. Potensi Interaksi Stakeholder .................................
5.5.1. Pemerintah dengan Nelayan .......................
5.5.2. Nelayan dengan Nelayan ...........................
5.6. Konstruksi Kelembagaan pengelolaan Sea Farming
(Rekomendasi) .........................................................
5.6.1. Proses Konstruksi ..............................
5.6.2. Output Konstruksi Kelembagaan ............

VI.

SIMPULAN DAN SARAN...............................
6.1. Simpulan .............................................................
6.2. Saran ...................................................................

DAFTAR PUSTAKA .................................................

DAFTAR TABEL

I . Pendekatan pemelihaman sumberdaya perikanan &lam
konteks sea farming .di. Jepang ..............................................
2 Jadwal kegiatan penelltlan ........................................................
3. Aspek variabel dan sumber data penelitian .............................
4 . Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan
stakeholder .............................................................................
resultan posisi stakeholder pada kuadran......................
5.
6. Pemain, pilihan stmtegi danpay-offanalisis game theory .......
7. M a h k sbtegi dan pahala permainan ......................................
8. Pulau-pulau di Kelurahan Pdau Panggang..............................
9. Parameter fisika, kimia dan mikrobiologi perairan reefflat
dan laguna pulau-pulau di gugus Pulau Panggang
Kepulauan Seribu.....................................................................
10. Jumlah Kepala Keluarga (KK) dan Penduduk Pulau Panggang
11 Pertumbuhan penduduk di Kelurahan Pulau Panggang .............
12. Jumlah penduduk Kelurahan Pulau Panggang menurut umur....
13. Jumlah penduduk berdasar tingkat pendidikan .........................
14. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ...................
15. Data warung dan toko di Pulau Panggang.................................
16. Layanan transportasi di Kelurahan Pulau Panggang.................
17. Data Wisatawan dan tujuan Kunjunganya................................
18. Data fasilitas pendidikan m u m di Kelurahan Pulau Panggang
19. Karakteristik alat tangkap nelayan Pulau Panggang..................
20. Identitas stakeholder dan peranannya........................................
21. Perbedaan antara UU No 9 Tahun 1985 dengan
UU No 31 Tahun 2004.............................................................
22. Landasan Hukurn Konsepsi Sea Farming.................................
23. Daftar pendapat responden terkait kondisi sumber daya
dan konsepsi seafarming ..........................................................
24 . Hasil analisis regresi nilai WTA terhadap karakteristik
responden................................................................................
25. Matrik pahala permainan pemerintah dengan nelayan.............

.

26. Matrik pahala permainan nelayan dengan nelayan..................
27. Matrik pahala permainan nelayan dengan nelayan..................
28. Rincian informasi terkait proses konstruksi kelembagaan ......
29. Aturan main kelembagaan pengelolaan sea farming ..............

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Spektrum kontinum dari kemunglanan bentuk-bentuk organisasi
ekonomi (Anwar.2001) .................................................................

2. Konsep Teknis Seafarming dengan beberapa teknologi budidaya
perikanan laut yang saling bersinergi ............................................
3. Konsepsi kelembagaan sea fanning di Pulau Panggang
( Adrianto. 2005) ........................................................................
4. Pilar .pilar kelembagaan seafarming (Adrianto. 2005) ............
5. Kerangka pemikiran penelitian ...................................................
6. Kerangka pendekatan operasional ..............................................
7. Peta lokasi penelitian (Soebagio, 2005) .......................................
8 . Matrik analisis stakeholder Abbas (2005) ...................................
9. Pemanfaahn ~ a n laut
g Pulau panggang selama ini ...................
10. Kelembagaan ekonomi dan rantai pemasaran hasil tangkapan
...
. .
11. ~ e l e m b a & nlransPlantasi h g d i Pulau Panggang ...............
12. Interaksi antara berbagai pemanfaatan ruang laut di perairan
Pulau Panggang p a d o p s i dari Harahap, 2005) ..........................
13. Pemetaan stakeholder pemadaatan perairan Pulau Panggang .....
14. Urutan permainan, pilihan strategi danpay ofpermainan
pemerintah dengan nelayan ...........................................................
15. Interaksi stakeholder dalam proses konstruksi kelembagaan .......
16. Organisasi pengelolaan seafanning di Pulau Panggang ..............

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar peraturan perundangan yang terkait dengan
pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut
Pulau Panggang .................... ......................... .................
2. Data persepsi ekonomi masyarakat Pulau Panggang .....
3. Perhitungan pay-offuntuk analisis game theory ... ... .. . .

I. PENDAHULUAN

Dahuri et. al. (2001) menyebutkan bahwa wilayah pesisir dan laut
Indonesia yang menyusun sekitar 70% dari keseluruhan wilayah teritorial,
merupakan salah satu sistem ekologi yang produktif, beragam dan kompleks serta
menjadi andalan Di wilayah ini terkandung berbagai kekayaan sumber daya alam
dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan, misalnya : perikanan,

pariwisata, hutan mangrove, terumbu karang, bahan tambang dan jasa
perhubungan. Secara logika seharusnya Indonesia sangat mungkin untuk menjadi
negara yang berkecukupan, minimal bagi penduduk yang hidupnya tergantung
pada laut, jika mampu mengelolanya dengan benar.
Namun fakta yang kita jumpai saat ini ternyata be-

bahwa masyarakat

nelayan sebagian besar masih tergolong sebagai penduduk miskin. Degradasi
sumberdaya laut pun terus terjadi, mulai dari overjshing hingga perusakan
terumbu karang. Status sumberdaya laut dan perikanan sebagai milik negara
(state property), pengaturannya dikendalikan oleh pemerintah pusat melalui

berbagai peraturan perundangan. Namun luasnya wilayah perairan laut negara ini
menjadikan hampir tidak mungkin untuk mengklaim/menegaskan hak negara atas
seluruh sumber daya yang ada karena biaya transaksi yang diperlukan sangatlah
besar, terutama biaya monitoring. Kondisi ini mejadikan smberdaya laut kita
bersifat quasr open access.
Seperti yang diramalkan oleh Garret Hardin, yang dikenal dengan istilah
The Tragedy of Commons, sumber daya yang bersifat open access dengan tidak

adanya ketegasan hak pengelolaan akan mendorong banyak pihak untuk ikut serta
memanfaatkan secara maksimal namun tidak satupun berinisiatif untuk
menjaganya. Tidak adanya kepastian juga mendorong sernakin tingginya
persaingan dan

konflik yang pada gilirannya akan menyingkirkan nelayan-

nelayan tradisional sebagai akibat ekstemalitas teknologi. Dampak lebih lanjut
adalah semakin tidak pedulinya nelayan setempat terhadap sumberdaya laut di
wilayahnya.

Kondisi serupa dapat dijumpai dalam pemanfaatan sumberdaya laut di
Kepulauan Seribu umumnya dan Pulau Panggang khususnya. Digunakannya
potassium untuk menangkap ikan maupun dirusaknya terumbu karang oleh

nelayan setempat bukan karena tidak phamnya akan manfaat terumbu karang
bagi kelangsungan hidup ikan dan juga dirinya, namun lebih karena penilaii
bahwa t~dakada jaminan jika dia tidak melakukannya, maka nelayan yang lain
juga tidak akan mae-

(diLema).

S e p d umumnya masyarakat pesisir dan pulau kecil, ketergantur~gan

masyarakat Pulau Panggang terhadap laut sangatlah tinggi. Sebagian besar bekeda
sebagai nelayan (>SO??) dengan cara menangkap (berburu) yang merupakan cara
turun-temurun Rusaknya sumberdaya laut di sekitar Pulau Panggan& menjadikan
semakin tidak pasti hasil tangkapan, sementara modal (input) yang hams
dikeluarkan cenderung tern meningkat. Hal ini merupakan masalah penting ba@
keberlangsungan kehidupan masyamkat Pulau Panggang secara keseluruhan. Oleh
karenanya perlu upaya mengelola sumberdaya laut ini dengan pengelolaan yang
mengarah pada kondisi lestari.
Merespn kondisi ini, dengan mempertimbangkan berbagai basil kajian
terkait, Pemerintah Kabupaten Administmi Kepulauan Seribu men&
mengembangkan budidaya laut berdasar pada konsepsi sea fmming. Pada area
gosong Pulau Semak Daun yang memiliki karang dalam seluas 315 ha dengan
reeffrat seluas 303 ha, laguna 10 ha dan teluk seluas 2 ha (PKSPL, 2004) akan

dimanfaatkan untuk budidaya dengan berbagai teknologi seperti karamba jaring
apung, karamba tancap serta area penebaran benih (sea ranching).
Konsepsi sea farming yang dalam aktivitasnya akan melibatkan berbagai
pelaku usaha dm menggunakan berbagai alternatif sistem teknologi, tentunya
memerlukan suatu kelembagaan didalam pengelolaamya. Adanya teknologi
budidaya dengan penebaran benih di laut bebas yang hanya mengandalkan batas
alam (reefflat) tentu akan berpotensi menimbulkan konflik dalam memanfaatkan
area tersebut jika tanpa ada pengaturan.

Karena di Pulau Panggang belum

terdapat kelembagaan yang sesuai untuk mengelola sea farming maka diperlukan
konstruksi kelembagaan pengelolaan sea farming.

1.2. Perumusln Masalah

Mengkonstruksi suatu kelembagaan umumnya bukanlah proses yang
sederhana, namun sebaliknya m e ~ p a k a nproses bertahap, memerlukan waktu dan
bersifat multidisiplin. Oleh karenanya penelitian ini membatasi dengan penekanan

pada kajian sosial ekonomi terkait kelembagaan lama (existing) serta konsepsi
kelembagaan barn sebagai bahan pertimbangan (input) dalam proses konstruksi
kelembagaan pengelolaan sea fanning.

Lebih rinci pennasalahan yang akan

diangkat dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Pulau Panggang

KAKS selama ini?

2. Siapa saja stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan

dan laut Pulau Panggang KAKS?
3. Apa saja aturan formal dan non formal yang terkait dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan dan laut di Pulau Panggang?
4. Bagaimana persepsi masyarakat tentang kondisi sumberdaya perikanan clan

laut Pulau Panggang saat ini serta tentang konsepsi seafarming?
5. Bagaimana potensi interaksi antar stokeholder dalam konsepsi kelembagaan

seafarming?
1 3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :
1.

Mengetahui pola pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Pulau
Panggang KAKS selama ini.

2. Mengidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan clan laut Pulau Panggang KAKS.
3.

Mengetahui aturan formal dan non formal yang terkait dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan dan hut di Pulau Panggang

4. Mengetahui persepsi masyarakat tentang kondisi sumberdaya perikanan dan
laut Pulau Panggang saat ini serta tentang konsepsi seafarming
5.

Mengetahui potensi interaksi dalam konsepsi kelembagaan seafarming.

1.4 Kegunaan Penelitiari
Hasil penelitian ini diharaph dapt digunaksn sebagai bahan
pertimbangan dalam proses ko&&i

kelerhgaan pnge!olaar. sea farming di

Pulau Panggang khiiswnya &n Kepulauan Seribu pada umumnya.

11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelembagaan
2.1.1. Konsep Umum

Poloma (2000) mendefinisikan kelembagaan sebagai organisasi atau

kaidah-kaidahbaik formal maupun informal yang mengatur prilaku dan tindakan
anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-haxi maupun dalam
usahanya untuk mencapai tujltiln tertentu. Sedangkan menurut Kherallah dan

Kirsten dalam Fauzi (2005), secara mum kelembagaan diartikan sebagai suatu
gugus aturan ( d e of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi,

pasar, dan lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren
sosial, dan lain sebagamya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara
individu ataupun kelompok.
Kelembagaan itu sendiri sebagian besar muncul dari kehidupan bersama
dan merupakan ha1 yang tidak direncanakan Para warga masyarakat pada
awalnya menCan cara-carayang &pat digunakan sebagai wadah untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka, kemudian mereka menemukan beberapa pola yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam proses selanjutnya
diperkuat melalui kebiasaan yang dibakukan (Taneko, 1984). Selanjutnya
dijelaskan pula bahwa kelembagaan memberi ketentuan terhadap anggota
masyarakatnya mengenai hak-hak, kewajiban dan tanggung jawabnya. Disamping
itu tiap anggota mendapat suatu jaminan hak dan perlindungan dari masyarakat
Menurut Anwar (2001), agar kelembagaan dapat berjalan dan Qtaati oleh
para anggotanya, maka dalam kelembagaan tersebut harus ada struktur insentif

yang mengandung pahala(reward) dan sanksi (sanction). Tanpa sbuktur insentif,
kelembagaan yang berbentuk hukum (legal) sekalipun tidak akan berjalan,
sehingga hukum tertulis hanya ada & atas kertas saja.
Secara ekonomi, menurut Pakpahan (1991) arti kelembagaan adalah
memberikan kepastian tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyaknya.
Adanya kelembagaan akan menurunkan derajat ketidakpastian dari a l i m manfaat
atau ongkos yang akan diterima oleh partisipan dalam suatu sistem ekonomi.

Kelembagaan &pat diartikan sebagai organisasi atau aturan main Dari perspektif
ekonomi, lembaga dalam artian organisasi biasanya menggambarkan abvitas
ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar tetapi melalui
mekanisme administmi atau komando. Pasar bisa menjadi batas ektemal dari
suatu organisasi akan tetapi secara internal aktivitas ekonomi dikoordiiikan
secara administratif.
Selanjutnya dijelaskan kembali

oleh Pakpahan (1991), bahwa

kelembagaan dicirikan oleh tiga ha1 yaitu : hak-hak kepemilikan (propery right)
yaitu berupa hak atas benda materi rnaupun non materi, batas yuridiksi
(juridictional bowday) dan aturan representasi (role of representatian).

Perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan dari salah satu atau lebih unsurunsur kelembagaan tersebut di atas.

a Hak-halt kepemilikan @roper@ rigw, mengandung pengertian tentang hak
dm kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau
konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat &lam hal
kepentingannya terhadap surnber daya , situasi atau kondisi. Dalam bentuk
formal, property right merupakan produk dari sistem hukum formal, dalam
bentuk lainnya merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam
masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang &pat menyatakan hak
milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana ia berada. Memiliki property
right berarti memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan

keputusan penggunaan sumberdaya untuk menciptakan ongkos bagi orang lain
apabila ia menginginkan sumberdaya tersebut
b. Batas yuridiksi (iuridictional boundary), menentukan siapa dan apa yang
tercakup dalam kelembagaan suatu masyarakat. Konsep batas yuridiksi dapat
berarti batas wilayah kekuasaaan atau otoritas yang dimiliki oleh suatu
lembaga. Duelaskan oleh Shaffer dan Schmid bahwa perubahan batas
yuridiksi akan menghasilkan performance seperti yang diharapkan ditentukan
oleh paling tidak empat hal, yaitu : perasaan sebagai satu masyamkat(sense of
community),ekstemalitas, homogenitas dan skala ekonomi.
c. Aturan representasi (role of representation) mengatur pernasalahan s i a p

yang berhak berpartisipasi dalam mengambil keputusan yang berhubungan

dengan sumberdaya yang dibicarakan. Keputusan apa yang diambil dan apa
akibatnya terhadap per$omance akan ditentukan oleh kaidah representasi
yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
Ekonomi kelembagaan merupakan suatu sistem dalam pengambilan
keputusan yang dianut oleh masyarakat dan melahirkan suatu aturan main yang
menyangkut alokasi sumberdaya serta cam memanfaatkannya guna meningkatkan
kesejahteraan mereka. Menurut Anwar (2001) dalam dunia nyata pa& dasamya
ada dua bentuk koordinasi yang utama yaitu (1) transaksi melalui pasar, dimana
harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumberdaya dan
(2) transaksi melalui sistem organisasi yang berhierarkhi di luar sistem pasar
(extra marker institution) dimana otoritas dan kewenangan berperan sebagai

koordinator dalam mengatur alokasi sumberdaya. Keterkaitan kedua bentuk
organisasi ekonomi dalam mengkoordinasikan alokasi sumberdaya, dijelaskan
oleh Anwar (2001) seperti pada Gambar 1.
Garis diagonal mencerminkan pencampuran (mixed)dari peranan harga
sebagai invisrble hand dan karakteristik organisasi yang dikelola secara koordinasi
yang terdapat dalam kelima alternatif strategi untuk koordinasi integral vertikal.
Pada ujung kin spektrum dicirikan oleh karakteristik invisible hand yang

dilakukan oleh peranan harga sebagai sumber informasi.

Pada ujung lain,

koordinasi yang terkendali dibangun atas dasar mutual interest dari aktor ekonorni
yang mempexkhrkan barang dan jasa dan mengikuti hubungan yang bersifat
jangka panjang, mambagi keuntungan dan terbuka pada aliran informasi yang
mantap yang saling mendukung dalam hubungm saling ketergan2.1.2. Kelembagaan Masyarakat Pesisir

Menurut Anwar (2002) masyarakat nelayan yang bermukim di wilayah
pesisir mempunyai institusi tradisional yang telah lama dianut dan dipegang

-

secara turun temurun hingga sekarang dalam ha1 pengelolaan sumberdaya
perairan secara berkelanjutan, sebagaimana kelembagaan adat pada kehutanan
rnaupun perladangan. Institusi ini bertanggung jawab terhadap menejemen
lingkungan menurut keahlian orang-orang/anggota yang terlibat dalam kegiatan

produksi tradisional tersebut. Praktek institusi yang berdasarkan tradisi lokal
sangat dihormati oleh m a s y h t n y a .
Pilihan-Pilihan Strategi ke arah koordinasi v e d a l
Spo1/Cmh
Market

Sitem
kontrak

Aliansi
Stintegis

Koperasi
Fonnal

Int-i

Vertikai
Karakteristik
kcordinasi
yeng dikelola

Karakteristik
kcordinasi dari

Invisible Hand
SeIfInierest
Huburn
jangka pendek

Mutual
Inieresl
Hubungan
Longterm

Bwnded
rafionali~,
m y a
kornpleksitas
mengarah pada
opportunisme

Pembagian
hntungan

Pembagian
(distdibusi)
informasi yg
mhka

Ke&hmsm

Distribusi
Infomi

Stabilitas
Interdipen-

FIexbifiiy
independem

&MY

Pengendalian
Ekskmat
via harga
dan

pembakuankualitas

Pengendalian
Ekstemsl

via
Spesifikasi
dan ikatan
legal

Saling
mengontrol
pihak yang
satu

temadap
yang lain

Pengendalian
internal
via
st~hr
terdesemra

Peagendali
an internal
via
sa~kw
tersentralisasi

lisasi

Sistem Pengendalian (Control System)

Gambar 1. Spektrum kontinum dan kemunglanan bentuk-bentuk organisasi
ekonomi (Anwar,2001)

Terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut, Ruddle (1997) merinci
unsur-unsur kelembagaan pengelolaannya sebagai berikut :
a. A~hority(wewenang). Sumberdaya laut biasanya dikontrol penggunaannya
oleh kewenangan tradisi yang secara alami mencenninkan organisasi sosial
lokaL Ada 4 (empat ) prinsipal yang diienali yaitu : kepala desa, pemimpin
agama, ketua organisasi masyarakat, dan pemilik hak (ownership). Kategorikategori ini sering ditemui secara bersamaan pada satu individu (overlapping).
Pengaturan di sini Giasanya terkait dalam pemdaatan dan perlind~mgan
sumberdaya.

b. Right (hak kepemilikatl). Di bawah sistem tradisional, eksploitasi sumberdaya

hut diatur oleh hak kepemilikanlpenggunaan. Hak di sini menegaskan siapa
saja yang dapat mengakses area laut Cfihing ground) dan bagi siapa yang
melanggar ada sanksi hukumnya Pada umumnya masyarakat pesisir secara
otomatis memiliki hak memanfaatkan sumberdaya laut terkait dengan
statusnya sebagai masyarakat nelayan.
c. Rules (aturan).

Aturan d i s i ~menjelaskan : substansi dm struktur hak

kepemilikan melalui penentuan bagaimana suatu hak dapat digunakan.
Melalui aturan ini ditetapkan area geogafis penangkapan ikan, siapa yang

diphlehkan menangkap dan siapa yang tidak, dan bagaimana aturan jika
orang luar ingin ikut memanfaatkan.
d. Monitoring, accuntability dan enforcement.

Agar hak-hak dapat diterapkan

perlu adanya monitoring pelaksanaan aturan Bagi yang melanggar a& sanksi
hukumnya. Pada pengelolaan sumberdaya hut berbasis masyarakat, tugas
monitoring dan penegasan ahran dilakukan oleh masyarakat lokal.
e. Sanction (Sanksi) Sanksi diperlukan bagi pelanggaran atas hak pemanfaatan
sumberdaya dan pelanggaran atau pemsakan aturan lokal. Empat prinsip tipe
sanksi adalah : sosial, ekonomi, hukuman fisik dan supernatural (ha1 gaib).
Menurut Scott dalam Jentoft (2003) tedapat tiga pilar &lam kelembagaan
pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu pilar peraturan (regulative pillar), pilar
nilai (normative pillar) dan pilar kesadaran (cognitive pillar). Pilar peraturan
menegaskan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, pengaturan
umumnya didasarkan pada peraturan formal. Sumberdaya perikanan yang bersifat

kompleks, bemgam dan dinamis menjadikan peraturan cenderung tern
bertambah, berbeda dengan peraturan pada sumberdayalbidang lain. Pelaksanaan
berbagai aturan ini tidak semata-mata tergantung dari keberadaan peraturan
formal tersebut, tapi juga tergantung pada nilai moral yang ada pada masyarakat.
Contoh kasus terdapat di sebagian wilayah Indonesia dimana nelayan mentaati
aturan karena rasa takut pada Tuhan. Pilar kesadaran menunjukkan pentingnya
komunikasi antara pemerintah dengan nelayan. Pada kasus tertentu nelayan
melanggar aturan bukan karena sengaja namun lebih karena ketidakhhuan Hal ini
karena aturan dalam perikanan sangat beragam dan dinamis.
Berbagai bentuk aturan permainan baik yang bersifat formal maupun
informal yang mengatur hubungan antara masyarakat nelayan dapat dijumpai di
hampir setiap desa pantai di Indonesia (Scott,1994). Dari bentuk tersebut ada 4
(empat) sistem organisasi/kelembagaan yang sering ditemui yaitu : kelembagaan
sistem bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja, kelembagaan pemasaran dan
kelembagaaa perkreditan. Fakta menunjukkan bahwa keempat bentuk
kelembagaan ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pada
umumnya masyarakat sering terlibat dalam hubungan ganda.
Sistem bag^ hasil merupakan suatu kelembagaan perikanan yang terdapat

di desa pantai yang sering kali masih bersifat asli dan merupakan adat kebiasaan
masyarakat nelayan secara turun - temurun. Pada umumnya sistem bagi hasil yang
berlaku adalah : 1) pembagian hasil antar pemilik modal dengan operator, dan 2)
pembagian antar operator (Juragan laut dengan anak buah kapal ). Besamya
pembagian untuk masing-masing nelayan bisa berbeda, tergantung pada teknologi
yang diterapkan dan komponen biaya yang ditanggung masing-masing pihak
Dalam upaya meningkatkan kesejahteman nelayan dan pemerataan hasil
sumberdaya perikanan sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak pengelola
sumberdaya tersebut, pemerintah telah men&

mengatur sistem bagi hasil

perikanan melalui UU No 16 Tahun 1964 (tentang bagi hasil perikanan, tapi
penerapan undang-undang tersebut banyak mengalami hambatan dikarenakan
sistem bagi hasil perikanan lebih merupakan ikatan antar nelayan pemilik dan
nelayan buruh yang bersifat lokal dan sangat berbeda antar daerah maupun
peralatan yang digunakan (Taryono, et al., 1993). Kelembagaan bagi h a i l

perilcanan sebetulnya sudah melembaga jauh sebelum diundangkannya UU No. 16
Tahuti 1964 yaitu yang dibuat oleh masyarakat komunal setempat.
Kelembagaan hubungan k q a yang mutualistik merupakan suatu
hubungan keja antar pihak yang memiliki kelebihan dan juga sekaligus
kekurangan dalam mengakses sumberdaya tertmtu. Pemilik modal punya
kelebihan akses modal, tetapi kekurangan akses tenaga kerja. Sebaliknya terjadi

pada pihak pekej a (Mintoro et al., 1993).
Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada kondisi ini masing-masing pihak
menyadari kelebihan dan kekurangannya, sehingga dapat menempatkan diri pada
posisi yang wajar sesuai dengan apa yang ada pada diri masing-masing pihak
tersebut. Di beberapa wilayah pesisir di Indonesia, sistem kelembagaan ini
memiliki karakteristik tersendiri seperti di Sulawesi Selatan dikenal hubungan
antara "punggawa

-

sawi", di pantai utara jaw d i k e d istilah "juragan -

pandega", sedangkan di Sumatera Utara terdapat hubungan antara 'Taukenelayan".
Kelembagaan pemasaran didefinisikan sebagai badan - badan yang
menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran dimana barang-barang
bergerak dari pihak produsen ke pihak konsumen (Karsyono dan Syafaat, 2000).
Termasuk dalam kelembagaan ini adalah produsen, pedagang perantara dan
lembaga pemberi jasa lainnya. Pemilihan bentuk saluran pemasaran yang panjang
tentunya akan melibatkan berbagai stakeholder dalam saluran tersebut. Semakin
panjang suatu rantai pemasaran, semakin tinggi harga akhir yang akan ditanggung
konsumen dibandingkan harga jual pertama dari tangan produsen. Kelebihan ini
mencerminkan insentif yang dikehendaki oleh pelaku rantai pemasaran sebagai
pengganti dari fungsi pengangkutan, pergudangan, grading dan ha1 lainya yang
mereka keluarkan.
Namun hasil penelitian Pranadji (1989) menemukan fakta agak berbeda
bahwa rantai pemasaran udang yang pendek di Jawa Timur tidak selalu beratti
efisien dan menguntungkan bagi petani tarnbak. Hal ini tejadi karena petani
tambak tidak bisa langsung berhubungan dengan para eksportir karena adanya
~katanhutang dengan penyalurlpedagang perantam.

Menurut Kusnadi (2001), pada negara berkembang pekejaan sebagai
nelayan tidak selalu menyenangkan karena rasionalisasi dari hubungan kredit dan
pemasaran (proses ekonomi). Keadaan ini disebabkan oleh 5 ha1 yaitu : 1) kondisi
pasar tidak bersaing sempurna, dan lebih mengarah pada monopsoni, 2) hubungan
nelayan kecil dengan para pedagang dalam bentuk kontrak cendenrng
menguntungkan pedagang, 3) terkait dengan permintaan dan penawaran ikan
melalui penjualan ikan oleh nelayan kecil yang terikat oleh bunga yang tinggi
sebagai imbalan kredit yang diterimanya daii pedagang, sehingga pedagang bebas
melalrukan proteksi melalui struktur pasar monopsonistik, 4) tidak adanya
organisasi nelayan yang solid, sehingga masih menguntungkan &gang

dan

pabrik pengolah ikan dm 5) adanya hubungan kumulatif antara pemberi kredit
dengan penerima kredit dalam pemasaran hasil-hasil perikanan mengikuti
mekanisme yang dikembangkan sepanjang waktu.
Kondisi nelayan yang serba tergantung, menjadikan sumber kredit yang
paling penting bagi nelayan adalah dari pedagang pengumpul. Pedagang tidak
hanya memberi kredit dalam bentuk uang tapi juga alat-alat produksi sampai
dengan kapal dan kebutuhan lainnya dengan jaminan nelayan harus menjual hasil
tangkapannya dengan harga yang telah disepakati sebelumnya, yang tentunya
relatif rendah dari harga pasar, ha1 ini menceminkan semakin lemahnya posisi
tawar nelayan (Sidik, et al., 2000).
Anwar (2001) menjelaskan bahwa disamping berfungsi untuk mengatur,

kelembagaan juga dapat menjelaskan siapa saja yang berhak mengambil
keputusan dan siapa pemegang hak atas sumber daya Distribusi manfaat dan
ongkos dalarn suatu masyarakat bukanlah ditentukan teknologi atau swnber daya

alam, melainkan ditentukan oleh keputusan masyarakat yang tercemin dalam
bentuk kelembagaan yang berlaku dalam masyarakat dan yang sesuai dengan
taw-menawar yang telah ditentukan.

2.2. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
2.2.1. Pengelolaan Berdasar Sifat Open Access

Kondisi open access telah menjadi ciri dari pemanfaatan sebagian besar
perikanan laut di seluruh dunia berabad-abad lamanya. Pengelolaan sumberdaya

perikanan yang bersifat open access pada mulanya &pat memberikan dampak
positif (terutama dalam jangka pendek) bagi nelayan secara keseluruhan atau
kelompok masyankat, namun &lam jangka panjang adanya modemisasi sektor
bahari yang bersifat tangkapan di wilayah pesisir dapat menimbulkan akibatakibat yang tidak menguntungkan (Anwar, 2001).
Menurut Christy (1994) ada beberapa dampak nyata dari kondisi open
access, yaitu :
1.

Adanya kecendeungan pemborosan sumberdaya secara fisik Tak seorang
nelayanpun berminat menangguhkan penangkapannya sehubungan dengan
pemulihan sumberdaya, karena apa yang disisakan untuk esok dapat saja
ditangkap orang lain pada hari ini. Selungga stok ikan cenderung
dimanfaatkan melebihi batas tangkapan lestari.

2.

Terjadinya pemborosan ekonomi. Dalam perikanan akses terbuka , adanya
surplus keuntungan bagi nelayan pada awalnya, akan menarik nelayan lebih
banyak untuk turut serta melaut, sehingga mendorong meningkatnya biaya
total tanpa mampu meningkatkan penerimaan total.

3.

Rata-rata pendaptan nelayan skala kecil di negara-negara berkembang
cenderung berada atau mendekati angka paling rendah. Hal ini karena akses
terbuka d a p t menciptakan eksternalitas teknologi, dimana hasil tangkapan
nelayan yang satu sangat tergantung pada tangkapan nelayan yang lain, dan

kemampuan nelayan menangkap salah s w y a ditelltukan dari teknologi
yang digunakan
4.

Potensi terjadinya konflik Konflik dapat tejadi diantara nelayan yang
memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan alat tangkap yang sama, atau
antara nelayan yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan alat
tangkap berbeda khususnya antara nelayan skala besar dengan nelayan skala
kecil.
Hal yang sama disampaikan oleh Anwar (1992) bahwa laut sebagai

common property resources yang tak mengenal batas-batas wewenang individual

bagi siapa saja yang memanfaatkannya, maka dari sudut teori maupun
pengalaman empiris ekonomi, bahwa pemanfaatan sumberdaya tersebut akan
mengarah kepada tejadinya misalokasi sumberdaya dan mengum kekayaan alam

tersebut. Hal ini disebabkan karena setiap individu nelayan atau perusahaan
berkeinginan untuk memaksimumkan nilai tangkapannya, sehingga sumberdaya
yang terbatas jumlahnya maupun kemampuan daya reproduksiiya mudah
mengalami proses pengurasan dan hasil tangkapan per upaya tangkapan (catch
per unit effort) makin lama lama semakin turun. SedangLan sumberdaya lain

seperti modal dan tenaga keja untuk menangkap ikan yang bersangkutan
akibatnya menjadi terlalu mubazir dipakai pada kegiaian yang ti&
pada pertumbuhan ekonomi. Akibat selanjutnya a h l a h bahwa kelestarian

sumberdaya pesisir akan menjadi terancam sehingga pada gilirannya akan terjadi
proses pemiskinan para nelayan dan sumbangannya terhadap ekonomi menjadi
hilang bahkan akan merugikan masyarakat secara keseluruhm Pada akhirnya
proses tersebut dapat menimbulkan alribat lebih lanjut dengan punahnya beberapa
jenis ikan dan biota lainnya yang bermanfaat sebagaimana yang terjadi pada
beberapa wilayah di bagian dunia lainnya, seperti yang oleh Garret Hardin (1973)
disebut The Tragedy of Commom.
2.2.2. Pengelolaan Berdasar Sifat Limited Entry

Gagalnya pengelolaan yang berdasar si& open access mendorong
munculnya bentuk pengelolaan lain yaitu limited enby. Menurut Andersen yang
diacli dalam Satria (2001) paling ti&

.

ada 2 kategori yaitu (1) berciasarkw

pembatasan input yang membatasi jumlah pelaku, jumlah dan jenis kapal serta
jenis alat tangkap, dan (2) berdasarkan pembatasan output yang membatasi
berapa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan quota Penerapan
pengelolaan dengan adanya batasan--

ini cendenmg membentuk adanya

zonasi penangkapn ikan dan adanya Hak Penangkapan Ikan @PI) atau fishing
rjght kepada sekelompok masyarakat tertenas sekqaimana hasil penelitian
Saad (2000) untuk pengelolaan perikanan kepulauan. Selanjutnya ditambahkan

bahwa konsep HPI ini memiliki ciriciri yang cendenrng berkesesuaian dengan
konsepnpemilikan tunggal" yang merupakan kebalikan dari konsep "milik
bersama" (commonproperty).
Alternatif pengelolaan sumber daya pesisir ,menunrt Anwar (2001) perlu
adanya suatu pemikiran yang mengarah kepada tejadinya pelimpahan wewenang

pengelolaan (decentralitation) yang diberikan kepada komunitas masyarakat
nelayan kecil atau pemerintah lokal desa. Pada gilirannya diharapkan dapat
menjaga kerberlanjutan pemungutan dan pemanfaatan sumberdaya perairan
pesisir untuk masa yang lebih panjang. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu :
1. Dilimpahkannya hak-hak untuk memperoleh akses terbadap sumberdaya

perairan pesisir yang dapat menjamin ke-

individual nelayan

kelompok nelayan atau komunitas masyarakat nelayan

2. Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan dari pemerintah pusat
kepada kelompok masyarakat pesisir dan nelayan-nelayan lokal. Proses yang
berlangsung seeam ketergantungan dari kemampuan masyaraka~setempat
untuk dapat mengelola masalah-masalah secara selektif
3. Dikembangkannya suatu zona pungutan dan tan-

yang eksklusif yang

disebut hak-hak ulayat atau hak-hak teritorial (teritorial use right).
Oleh karenanya kelembagaan addah sangat penting bagi surnber daya yang
bersifat common resources, sebab tidak akan ada yang mengatur tentang
pemakaian sumberdaya yang semakin langka (scarcity) tanpa adanya suatu

kelembagaan. Adapun contoh pengelolaan tradisional yang bersifat limited ently
dapat dijumpi di Aceh ( H u hA d a t h r ) dan di Maluku (%I)

(Anwar, 1992).

Lembaga H u b Adat Laot berpusat di Banda Aceh, meskipun lama
dihormati masyarakat tetapi baru diakui sejak Tahun 1972 oleh nelayan dengan
dikoordinasikan oleh Dinas Perikanan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Lembaga
ini membuat peraturan-peraturan secara tertulis yang bersumber dari peraturan-

peraturan yang sebenamya telah lama ada narnun tak tertulis. Untuk mengepalai
dan mengawasi terlaksananya ketentuan adai laut tersebut diangkat seorang

pimpinan yang disebut Panglima Laot sekaligus sebagai Ketua Lembaga Hukum
Adat Laot.
Penentuan seorang Panglima Laot akan dipilih oleh masyarakat nelayan
yang diwakili oleh para pawang. Dahulu jabatan Panglima Laot bersifat turuntennurun, namun sekarang telah berubah dimana semua nelayan berhak asal
memenuhi syarat tertentu.

Tugas-tugas Panglima Laot meliputi:
1. mengawasi dan memelihara pelaksanaan Hukum Adat Laot

2. mangatur tata cara penangkapan ikan
3. menyelesaikan berbagai pertikaian yang tejadi dalam hubungannya dengan

penangkapan ikan di laut
4. menyelenggarakan upacara adat laut, gotong royong dan masalah-masalah

lainnya
5. menjaga/mengawasi kelestarian pohon-pohon di tepi pantai, terumbu karang,

biota-biota laut serta ekosistem laut secara keseluruhan

6. merupakan badan penghubung antara nelayan dengan panerintah dan
panglima laot lainnya
Kesediaan masyarakat memberikan legitimasi dan pengakuan terhadap
kepemimpinannya bukan disebabkan oleh unsur paksaan, tetapi bersifat sukarela
dan hormat,bahkan &pat dikatakan sesuatu yang wajar. Dengan demikian dalam

kepemimpinannya seorang pemimpin memiliki kekuasaan dan wewenang.
Wewenang dari kepemimpinan panglima laot merupakan gabungan antara
wewenang tradisional dan rasional (legal). Wewenang tradisional dapat dipunyai
seseorang maupun kelompok orang, muncul karena kelompoknya sudah lama
melembaga dan menjiwai masyarakst, sedangkan wewenang rasional atau legal
adalah wewenang yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam
masyarakat.
Adapun hal-ha1 yang diatur dalam Hukum Adat Laot seperti penggunaan
alat tangkap, waktu penangkapan ikan, pantang laot atau ban-hari yang dilarang
melaut, adat bag basil, wilayah penangkapan, sanksi hukum, sistem pelaporan,
adat sosial, adat pemeliharaan lingkungan. Jika melihat ini semua maka
kelembagaan hukum adat laot mempunyai arah untuk melakukan konservasi
terhadap sumberdaya perairan dan desa pantainya.
Sementara tentang mi, Anwar (2002) menjelaskan bahwa hukum adat
yang berlaku di Maluku ini telah menggunakan aturan-aturan sistem legal dan
strategi sosial yang mengarah kepada sistem pengelolaan yang efektif bagi
sumberdaya hayati di wilayah pantai dan bahari di sekitar tempat pemukiman
nelayan atas dasar tiga tujuan : (1) menjamin adanya akses terhadap kesempatan

di antara komunitas penduduk lokal yang lebih adil dan merata untuk memperoleh
manfaat dan sumberdaya alam peraimn pesisir; (2) menjamin sistem pengelolaan
sumberdaya yang berkelanjutan secara efektif dari jenis-jenis biota yang berharga

dan menetap di sekitar perairan tempat tinggal komunitas dan, (3) menjamin
bahwa anggota komunitas mempunyai kesempatan untuk secara tens-menerus
memperoleh sumber makanan dan sumber pendapatan dari jenis-jenis biota
wilayah pesisir dan bahari yang sewaktu-walrtu datang atau secara rnenetap hidup
dalam wilayah perairan komunitas (Anwar, 1992).
Masyarakat komunal nelayan lokal telah menciptakan berbagai pengahuan
untuk mencapai tujm-tujuan di atas. Aturan-aturan ini dapat mempeogaruhi :
(1) waktu musim tangkap; (2) mengkinkan atau menolak alat tangkap tertentu;
(3) mengizinkan atau menolak tindakan penangkapan atau teknik-teknik tertentu;
(4) pengatman panen untuk jenis-jenis b u s atau pengaturan cadangan khusus;

(5) menetapkan musim tangkapan khusus dalam wilayah perairan masyarakat
komunal; (6) membuat konsepsi batas teritorial dan pemberian tanda-tan& batas
secara fisik.
Kata susi sebenarnya memiliki makna harfiah "larangan sementara" ,

seperti larangan untuk memanen kerang lola yang nilainya sangat tingg. Adapun
pertimbangan yang digunakan untuk membuka dan menutup susi tersebut &lam
suatu keluasan lahan maupun perairan beragam menurut faktor-faktor berikut :
a derajat kebutuhan keuangan dari komunal seperti kebutuhan untuk upacara
agama atau perkawinan yang akan datang, maka susi dapat dibuka,
b. tingkat kematangan ikemasakan darijenis-jenis yang akan dipanen;
c. keadaan cuaca seperti pada musim hujan yang anginnya kencang, maka

menyelam untuk mengambil ketimun laut tidak dizinkan
2.3. Sea Fuming

23.1. Konsep Dasar

Awalnya sea farming yang berupa ranching selanjutnya disebut sea
ranching dapat didefinisikan sebagai aktivitas melepas telur ,larva, juvenile atau

ikan muda ke laut untuk me~ngkatkanpopulasi ikan atau hasil tangkapan Sea
farming sudah dimulai sejak Abad 17 di Jepang, Norwegia dan Amerika Serikat

Di dua negara terakhir, kegiatan pelepasan larva ikan yang masih mengandung
kuning telur dimulai sejak Tahun 1887, dan kegiatan ini terus berlangsung sampai
dengan Tahun 1967, namun tanpa dibarengi dengan evaluasi akan keberhasilan
maupun dampak kegiatan tersebut terhadap populasi ikan ataupun hasil tangkapan

atau dampak ekologis dari akiivitas yang telah d i k h k a n (Plarenw & Bappekap
KAKS, 2004)
Dijelaskan lebih lanjut, strategi yang digunakan untuk melepaskan larva ke
laut pada saat itu adalah dzngan mensikronkan waktu pelepasan dengan waktu
dimana makanan larva di area pelepasan mencapai kepadatan yang tertinggi agar
kelangsungan hidup larva dapat ditingkatkan. Hal di atas temyata menghadapi
banyak hambatan, seperti adanya pemangsa, pola arus dan sulitnya penentuan

waktu yang tepat (terkait dengan kelimpaban prey). Oleh karenanya dilakukan
penelitian-penelitian lanjutan yang memperoleh kesimpulan bahwa pelepasan
juvenile atau ikan muda memberikan tingkat keberhasilan temnggi.
Pelepasan ikan pada stadiajuvenile diawali oleh Jepang pada Tahun 1965,
yang kemudian diikuti oleh Norwegia pada Tahun 1976 dan Amerika Serikat pada
Tahun 1979. Selanjutnya teknologi pelepasan ikan tern berkembang dimana
metode evaluasi dan hitungan ekonomis dan dampak sosialnya juga t e r n
diiembangkan Sampai saat ini hanya tiga negara tersebut yang memilki perhatian
tinggi terhadap kegiatan sea f m i n g tersebut dan Jepang menjadi kiblat dari

kegktan ini.
Tujuan pelepasan ikan ke laut menurut Plarenco & Bappekap KAKS
(2004) dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu : membangun suatu populasi atau

meningkatkan populasi ikan di suatu areal, menopang kegiatan spor$shing dan
rekreasi serta meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Pelepasan ikan pada daerah
tertentu harus memperhatikan aspek ekologis dan ekonomis. Aspek ekologis ini
dimaksudkan agar tidak mengganggu proses rantai makanan di suatu areal tertentu
dimana ikan yang dilepas haruslah ikan asli dari daerah tersebut atau ikan yang

ada pada daerah tersebut. Aspek ekonomis yang dimaksud adalah bahwa ikan
yang dilepas haruslah memiliki nil& ekonomis yang penting pada suatu areal /
daerah/ negara tertentu.

2.3.2. Teknis Sea Fanning

Pengembangan perikanan budidaya laut (marikultur) dalam rangka
pemadhtan kawasan dapat a x q g m h n konsep sea fanning. Menurut Soebagio
(2005), Seafammng adalah kegiatan berusaha tani di laut yang bisa dilakukan oleh
masyarakat sesuai dengan kemampuamya, yang terdiri dari : pembenihan ikan
(hatchery), budidaya ikan dalarn karamba jaring apung (KJA), budidaya nunput
laut dengan sistem longline, budidaya ikan dalam k a r a m b h d a n g tancap (pen
culture), budidaya ikan dalam kandang sek

Dokumen yang terkait

Pola Pengelolaan Penangkapan ikan Karang Berbasis Partisipasi Masyarakat Di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

0 47 322

Analisis Penyusunan Model Pengelolaan Sumberdaya Laut: Tinjauan Sosiologi Dan Kelembagaan Di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu

0 4 151

Pengaruh ikatan patron klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir studi kasus Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu

1 62 113

Analisis kebiiakan Budidava Laut di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

0 2 128

Analisis efisiensi pemasaran karang hias di Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

0 5 11

Studi konstruksi kelembagaan pengelolaan sea farming: kasus di pulau panggang kabupaten administrasi kepulauan seribu

0 22 220

Program Sea Farming Sebagai Model Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Perairan Gosong Semak Daun, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)

0 3 9

Pengaruh ikatan patron-klien terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir: studi kasus Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu

1 22 226

Optimasi Pengelolaan dan Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Macan pada Kelompok Sea Farming di Pulau Panggang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu

4 38 247

Analisis Efisiensi Tataniaga Ikan Kerapu Macan (Epinephellus Fuscoguttatus) Pada Kelompok Tani Sea Farming Di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

2 27 97