Perbandingan Pemodelan Dan Peramalan Harga Gula Berdasarkan Model Space Time Arima Dan Generalized Space Time Arima.
PERBANDINGAN PEMODELAN DAN PERAMALAN HARGA
GULA BERDASARKAN MODEL SPACE TIME ARIMA DAN
GENERALIZED SPACE TIME ARIMA
DANIA SIREGAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perbandingan Pemodelan
dan Peramalan Harga Gula Berdasarkan Model Space Time ARIMA dan
Generalized Space Time ARIMA adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Dania Siregar
NIM G151130111
RINGKASAN
DANIA SIREGAR. Perbandingan Pemodelan dan Peramalan Harga Gula
Berdasarkan Model Space Time ARIMA dan Generalized Space Time ARIMA.
Dibimbing oleh MUHAMMAD NUR AIDI dan I MADE SUMERTAJAYA.
Model STARIMA dan GSTARIMA adalah model yang digunakan untuk
memodelkan data deret waktu dan lokasi yang mengandung ketergantungan
spasial antar lokasinya. Perbedaan pokok antara model STARIMA dan
GSTARIMA adalah pada parameter model yang dihasilkan.
GSTARIMA
menghasilkan parameter yang berbeda untuk setiap lokasi dan lag waktunya,
sedangkan STARIMA menghasilkan parameter yang sama untuk setiap lokasi.
Model yang lebih kompleks tidak menjamin hasil peramalan akan lebih
akurat. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah memodelkan serta
mengkaji ketepatan peramalan dari model STARIMA dan GSTARIMA. Kedua
model ini diaplikasikan terhadap data deret waktu harga gula pada delapan
ibukota provinsi di Pulau Sumatera pada tahun 2008 sampai 2014 menggunakan
dua jenis pembobot lokasi yaitu pembobot kebalikan jarak, dan pembobot
normalisasi korelasi silang.
Pengaruh interaksi spasial yang berkaitan dengan fenomena harga gula antar
provinsi dapat dilihat dari efek biaya tataniaga gula. Besaran biaya tataniaga ini
sangat bergantung pada jenis komoditas, panjang rantai tataniaga serta
lokasi/daerah produsen. Rantai tataniaga inilah yang diduga memberikan
pengaruh ternjadinya interaksi spasial antar provinsi.
Berdasarkan penelitian ini, harga gula antar ibukota provinsi memiliki
korelasi spasial. Dengan demikian, harga gula bervariasi bergantung pada waktu
dan lokasi. Model yang layak digunakan adalah model STIMA dan GSTIMA
dengan ordo deret waktu MA (2) dan ordo spasial satu. Pemodelan menggunakan
pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang menghasilkan nilai
ramalan harga gula yang cenderung sama baik untuk model STIMA dan GSTIMA.
Selain itu, model STIMA juga lebih akurat untuk meramalkan harga gula pada
delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera dibandingkan model GSTIMA, baik
untuk peramalan jangka panjang maupun jangka pendek. Namun demikian,
model yang dihasilkan lebih baik digunakan untuk peramalan jangka pendek.
Kata kunci: STARIMA, GSTARIMA, pemodelan, peramalan.
SUMMARY
DANIA SIREGAR. A Comparison of Sugar Price Modeling and Forecasting
Based on Space Time ARIMA and Generalized Space Time ARIMA. Supervised
by MUHAMMAD NUR AIDI and I MADE SUMERTAJAYA.
STARIMA and GSTARIMA are the models used to model the time series
and location data containing spatial dependence between its location. The
fundamental difference between these models are the resulting model parameters.
GSTARIMA produce different parameters for each location and time lag, while
STARIMA produce the same parameters for each location.
More complex models do not guarantee the forecast results will be more
accurate. Therefore, the aims of this study are to model and assess the accuracy of
forecasting of the STARIMA and GSTARIMA. It was applied to the sugar price
data in the eight capital provinces in Sumatra Island in 2008 to 2014 using two
types of space weights: inverse distance, and normalization of cross correlation.
The spatial interaction effects associated with the sugar price phenomenon
of inter-provincial can be seen from the effects of the sugar business
administration costs. The magnitude of the cost of this trading system is very
dependent on commodities, the long chain of business administration and the
location/area manufacturers. This trading system chain allegedly influence the
existing of spatial interaction between provinces.
Based on this study, the price of sugar between the provincial capital had a
spatial correlation. Thus, the price of sugar varies depending on time and
location. The fitted model used were STIMA and GSTIMA with the order of time
series MA (2) and order of spatial equal to one. Modeling using inverse distance
and normalization of cross correlation as the space weights produced forecast
values of sugar price that tend to similar for STIMA model or GSTIMA model. In
addition, the STIMA model also more accurate to forecast the price of sugar on
the eight provincial capital in Sumatra Island than GSTIMA model, both for
forecasting long-term and short-term. However, the resulting models were better
used for short-term forecasting.
Keywords: STARIMA, GSTARIMA, modeling, forecasting.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERBANDINGAN PEMODELAN DAN PERAMALAN HARGA
GULA BERDASARKAN MODEL SPACE TIME ARIMA DAN
GENERALIZED SPACE TIME ARIMA
DANIA SIREGAR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Statistika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Farit Mochamad Afendi, MSi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta‟ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga Beliau, para Sahabat, serta para penerus perjuangan Beliau
hingga akhir zaman. Penelitian ini berjudul “Perbandingan Pemodelan dan
Peramalan Harga Gula berdasarkan Model Space Time ARIMA dan Generalized
Space Time ARIMA”.
Penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan,
bimbingan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih khususnya kepada:
1. Dr Ir Muhammad Nur Aidi, MS selaku pembimbing I dan
Dr Ir I Made Sumertajaya, MS selaku pembimbing II yang dengan kesabaran
telah banyak memberi bimbingan, arahan, serta saran kepada penulis selama
penyusunan tesis ini.
2. Dr Farit Mochamad Afendi, MSi selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan masukan dan arahan yang sangat membangun dalam penyusunan
tesis ini.
3. Seluruh staf pengajar pascasarjana Departemen Statistika IPB yang telah
banyak memberikan ilmu dan arahan selama perkuliahan sampai dengan
penyusunan karya ilmiah ini.
4. Teman-teman statistika angkatan 2013 atas kebersamaan, kekompakannya,
bantuan dan masukannya selama bersama-sama menempuh kuliah.
5. Kedua orang tua serta seluruh keluarga atas do‟a, dukungan, dan kasih sayang
yang diberikan.
6. Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) sebagai sponsor pemberi beasiswa
BPPD yang mendukung kelanjutan studi S2 penulis.
7. Prof Dr Ir Achmad, MS selaku pembina spiritual atas nasehat dan
perhatiannya dalam meluruskan tujuan penulis selama menuntut ilmu agar
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
8. Seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.
Atas segala bantuan yang diberikan, penulis hanya bisa berdoa dengan
harapan semoga semua kebaikan yang penuh keikhlasan tersebut dicatat sebagai
amal ibadah dan mendapatkan balasan berupa pahala disisi Allah Subhanahu wa
ta‟ala. Aamiin Ya Rabbal „Alamin. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat serta
dapat menambah wawasan bagi para pembaca.
Bogor, Agustus 2015
Dania Siregar
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Model Vector Autoregressive Integrated Moving Average
(VARIMA)
Model Space Time Autoregressive Integrated Moving Average
(STARIMA)
Model Generalized Space Time Autoregressive Integrated Moving
Average (GSTARIMA)
Kestasioneran
Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF)
Uji Levene
Pembobot Kebalikan Jarak
Pembobot Normalisasi Korelasi Silang
Indeks Moran
Identifikasi Model Ruang Waktu (Space Time)
Matriks Fungsi Korelasi Silang Contoh (MACF)
Matriks Fungsi Korelasi Parsial Contoh (MPACF)
Kriteria Informasi Akaike Terkoresi (AICC)
Pendugaan Parameter
Pemeriksaan Kelayakan Model
METODE PENELITIAN
Data
Metode Analisis
HASIL DAN PEMBAHASAN
Interaksi Spasial pada Fenomena Harga Gula
di Pulau Sumatera
Identifikasi Keheterogenan Struktur Data Deret Waktu
Pembentukan Model STARIMA dan GSTARIMA untuk
data harga gula
Identifikasi Model
Pembentukan Matriks Pembobot
Hasil Pendugaan Parameter
Pemeriksaan Asumsi Sisaan
Kajian Perbandingan Performa Peramalan STIMA dan GSTIMA
Peramalan Jangka Panjang
Peramalan Jangka Pendek
Pengaruh Struktur Data Deret Waktu terhadap Hasil Ramalan
Pengaruh Penggunaan Jenis Pembobot terhadap Hasil Ramalan
SIMPULAN DAN SARAN
vi
vi
vii
1
3
4
5
5
6
6
7
8
9
9
10
10
12
13
14
15
16
16
19
22
24
24
27
29
31
35
35
40
44
44
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
46
46
47
49
73
DAFTAR TABEL
1
Statistik deskriptif harga gula (Rp/Kg) pada 8 ibukota provinsi di Pulau
Sumatera periode 2008-2014
2 Matriks korelasi harga gula antar 8 ibukota provinsi di Pulau Sumatera
3 Statistik Indeks Moran
4 Struktur data pembangun harga gula di 8 ibukota provinsi Pulau
Sumatera
5 Nilai AICC dari model sementara
6 Penduga parameter model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak
dan pembobot normalisasi korelasi silang
7 Penduga parameter model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak
dan pembobot normalisasi korelasi silang
8 Selisih nilai penduga parameter antara model GSTIMA dengan pembobot
kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang
9 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka panjang pada
model yang menggunakan pembobot kebalikan jarak
10 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka panjang pada
model yang menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang
11 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka pendek pada
model yang menggunakan pembobot kebalikan jarak
12 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka pendek pada
model yang menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang
20
20
21
23
26
29
30
30
39
39
43
43
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Denah delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera
Diagram alir analisis
Pola spasial harga gula yang cenderung mengelompok
Plot data deret waktu harga gula untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan
Plot data deret waktu harga gula dengan pembedaan orde satu
untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan
Skema fungsi korelasi silang contoh (MACF)
Skema fungsi korelasi parsial contoh (MPACF)
Matriks pembobot kebalikan jarak
8
18
21
22
23
25
26
27
9 Matriks pembobot normalisasi korelasi silang pada lag 1
10 Matriks pembobot normalisasi korelasi silang pada lag 2
11 Skema MACF sisaan dari model STIMA dengan pembobot
kebalikan jarak
12 Skema MACF sisaan dari model GSTIMA dengan pembobot
kebalikan jarak
13 Skema MACF sisaan dari model STIMA dengan pembobot
normalisasi korelasi silang
14 Skema MACF sisaan dari model GSTIMA dengan pembobot
normalisasi korelasi silang
15 Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model)
untuk STIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Banda Aceh,
Kota Medan, Kota Padang dan Kota Pekanbaru
16 Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model)
untuk GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota
Banda Aceh, Kota Medan, Kota Padang dan Kota Pekanbaru
17 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang
menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA
menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Aceh dan
kota Medan
18 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang
menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA
menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Aceh
dan kota Medan
19 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek
menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA
menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Aceh dan
kota Medan
20 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek
menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA
menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Aceh
dan kota Medan
28
28
32
32
32
33
34
34
37
38
41
42
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
Plot data deret waktu harga gula untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru,
Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bengkulu, dan Kota Bandar Lampung
Plot data deret waktu harga gula dengan pembedaan orde satu untuk Kota
Padang, Kota Pekanbaru, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bengkulu,
dan Kota Bandar Lampung
Hasil Uji Dicky Fuller untuk data harga gula dengan pembedaan 1
Uji Levene
Identifikasi struktur data yang membangun harga gula pada setiap
lokasi (8 ibukota provinsi)
Sintak Pemodelan
49
50
51
52
53
56
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Uji kenormalan ganda dari sisaan
Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual model STIMA
dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru,
Kota Bengkulu, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual model GSTIMA
dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru,
Kota Bengkulu, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model) untuk
model GSTIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang untuk
Kota Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Bengkulu, Jambi
Palembang, Bandar Lampung
Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model) untuk
model STIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang untuk
Kota Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Bengkulu, Jambi
Palembang, Bandar Lampung
Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang bagi model
GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot kebalikan jarak
untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu, Kota Jambi,
Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang bagi model
GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot normalisasi
korelasi silang untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu,
Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek bagi model
GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot kebalikan jarak
untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu, Kota Jambi,
Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek bagi model
GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot normalisasi
korelasi silang untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu,
Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
64
65
66
67
68
69
70
71
72
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemodelan dan peramalan menggunakan metode deret waktu dapat
dilakukan baik terhadap data univariat maupun multivariat. Data deret waktu
multivariat misalnya dapat berupa data yang saling berkaitan seperti volume
penjualan, harga, dan biaya iklan pada interval waktu tertentu yang digunakan
untuk studi tentang penjualan. Namun, data deret waktu multivariat juga dapat
berupa data deret waktu dan lokasi, misalnya data tingkat inflasi di beberapa
daerah pada interval waktu tertentu.
Data deret waktu multivariat ini dapat dimodelkan dengan model VARMA
(vector autoregressive moving average) yang merupakan perluasan dari model
ARMA.
Suatu bentuk khusus dari model VARMA adalah model yang
menggabungkan interdependensi waktu dan lokasi yang dikenal dengan model
STARMA (space time autoregressive moving average) yang pertama kali
dikenalkan oleh Pfeifer dan Deutsch (1980). Jika model VARMA mengakomodir
pengaruh dari peubah lainnya terhadap suatu peubah tertentu, maka model
STARMA juga melakukan hal yang sama namun dapat mengakomodir konfigurasi
spasial yang terwakili dengan penambahan pembobot spasial pada modelnya.
Namun demikian, model STARMA terkadang dianggap tidak realistis karena
parameter diasumsikan sama untuk semua lokasi, asumsi ini dianggap tidak
memiliki landasan teori yang kuat serta kurang dapat mengakomodir
keheterogenan lokasi. Borovkova et al. (2002) mengusulkan model yang juga
dapat menggabungkan interdependensi waktu dan lokasi yaitu model GSTARMA
(generalized space time autoregressive moving average), model ini dianggap
lebih realistis karena menghasilkan parameter yang berbeda untuk setiap lokasi.
Seperti halnya model umum pada ARIMA, model STARI dan GSTARI merupakan
model STARIMA dan GSTARIMA dengan orde moving average nol, serta
mengalami pembedaan (differencing), sedangkan STIMA dan GSTIMA merupakan
model STARIMA dan GSTARIMA dengan orde autoregressive nol, serta
mengalami pembedaan (differencing).
Model GSTAR
telah banyak diterapkan pada berbagai penelitian,
diantaranya Nurani (2002) menerapkan model ini pada data produksi minyak
bumi, Nurhayati et al. (2012) menerapkan model GSTAR pada data produk
domestik bruto negara-negara di Eropa Barat, serta Min et al. (2010)
menggunakan model GSTARIMA dengan pemakaian matriks pembobot kedekatan
lokasi (contiguity) untuk meramal aliran lalu lintas. Adanya pembobot lokasi
pada model STARIMA dan GSTARIMA menjadikan kedua model ini berbeda
dengan model VARIMA, pembobot ini mencirikan adanya pengaruh interaksi
spasial/lokasi. Penentuan pembobot lokasi yang tepat sangat bergantung pada
fenomena yang dimodelkan.
Fenomena harga gula merupakan salah satu fenomena yang dapat
dimodelkan menggunakan STARIMA dan GSTARIMA. Pengaruh interaksi spasial
yang berkaitan dengan fenomena harga gula antar provinsi dapat dilihat dari efek
2
biaya tataniaga gula. Besaran biaya tataniaga ini sangat bergantung pada jenis
komoditas, panjang rantai tataniaga serta lokasi/daerah produsen (Manik 2007
mengacu Daniel 2002). Rantai tataniaga inilah yang diduga memberikan
pengaruh ternjadinya interaksi spasial antar provinsi.
Jika dilihat dari bahan baku industri gula, yaitu tebu, menurut BPS (2013),
selama periode tahun 2011 sampai tahun 2013 areal perkebunan tebu tersebar di
sembilan provinsi yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Gorontalo dan Sulawesi
Selatan. Kontribusi ini menempatkan Pulau Sumatera sebagai pulau penghasil
gula terbesar kedua di Indonesia setelah pulau Jawa. Meskipun terdapat tiga
provinsi produsen gula, pulau Sumatera juga merupakan pulau terbesar ketiga di
Indonesia, sehingga memungkinkan adanya rantai tataniaga yang cukup panjang
yang mempengaruhi harga gula di provinsi lainnya.
Gula termasuk produk pangan yang diawasi dan diatur oleh pemerintah
karena berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan menjadi salah satu
indikator pengukuran inflasi. Konsumsi langsung rumah tangga masih
mendominasi permintaan gula nasional yaitu 70% (Supriyati 2011 mengacu
Susila dan Sinaga 2005), sementara itu pemenuhan konsumsi langsung rumah
tangga ini diutamakan berasal dari gula domestik/lokal. Harga gula juga dapat
merupakan indikator kelangkaan gula tersebut, maka peramalan terhadap harga
gula domestik/lokal ini akan bermanfaat untuk merancang sistem yang akan
dibangun baik oleh pihak pemerintah maupun pihak industri makanan dan
minuman yang menjadikan gula sebagai salah satu bahan utama/penolong
produknya.
Penelitian ini akan memodelkan fenomena harga gula pada delapan ibukota
provinsi di Pulau Sumatera menggunakan model STARIMA dan GSTARIMA.
Model GSTARIMA dianggap lebih teoritis dan kompleks dibandingkan model
STARIMA, namun demikian apakah model GSTARIMA lebih baik dari model
STARIMA dalam meramalkan harga gula pada ibukota provinsi-provinsi di Pulau
Sumatera masih menjadi suatu pertanyaan tersendiri. Penelitian ini juga akan
mengkaji perbandingan model dan ketepatan peramalan model STARIMA dan
GSTARIMA dalam memodelkan dan meramalkan harga gula menggunakan dua
jenis pembobot lokasi yaitu pembobot kebalikan jarak dan pembobot normalisasi
korelasi silang. Pembobot kebalikan jarak dapat menggambarkan pengaruh jarak
antar lokasi terhadap peramalan sedangkan pembobot normalisasi korelasi silang
tidak menekankan pengaruh jarak atau kedekatan antar lokasi melainkan pada
korelasi silang pada lag waktu tertentu antar lokasi. Adanya kajian ini diharapkan
dapat menambah wawasan mengenai model ruang waktu (space time) yang sesuai
untuk digunakan pada kasus peramalan data harga bahan makanan pokok.
3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Memodelkan dan meramalkan deret waktu harga gula domestik/lokal pada
delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera menggunakan model STARIMA
dan GSTARIMA.
2. Mengkaji ketepatan peramalan harga gula dari model STARIMA dan
GSTARIMA dengan menggunakan dua jenis pembobot lokasi yaitu pembobot
kebalikan jarak, dan pembobot normalisasi korelasi silang.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Model Vector Autoregressive Integrated Moving Average (VARIMA)
Model VARIMA (p,d,q) dimana p, d, dan q masing-masing merupakan orde
regresi diri (autoregressive), pembedaan (differencing) dan rataan bergerak
(moving average). Model ini merupakan perluasan dari model deret waktu
autoregressive moving average univariat ke model deret waktu autoregressive
moving average multivariat yang telah mengalami pembedaan (differencing) agar
data menjadi stasioner. Model VARIMA ini menjelaskan keterkaitan antar
pengamatan dan kesalahan berurutan pada peubah tertentu pada suatu waktu
dengan pengamatan dan kesalahan berurutan pada peubah itu sendiri pada waktuwaktu sebelumnya, dan juga keterkaitannya dengan pengamatan dan kesalahan
berurutan pada peubah lain pada waktu-waktu sebelumnya.
Misalnya
, dengan m dimensi peubah,
dimana
merupakan deret yang tidak stasioner, maka model VARIMA orde p, d
dan q dirumuskan sebagai berikut (Wei 2006)
dimana
dan
-
-
-
-
adalah matriks nonsingular berukuran
, dengan asumsi
-
dan
[
-
]
dengan operator shift mundur B penggunaannya sebagai berikut
, sehingga ketika q=0 maka menjadi model VARI(p)
dituliskan dalam bentuk
-
, dan
dapat
dan ketika p=0 maka menjadi model VIMA(q) dapat dituliskan dalam bentuk
5
Model Space Time Autoregressive Integrated Moving Average (STARIMA)
Model space time ARIMA atau STARIMA merupakan model STARMA
dengan diterapkannya pembedaan (differencing) pada data asli, model STARMA
pertama kali dikenalkan oleh Pfeifer dan Deutsch (1980) sebagai model yang
dapat mengakomodir pengaruh lokasi pada suatu data deret waktu. Model
STARIMA merupakan perluasan dari model VARIMA yang telah dimodifikasi
dengan perbedaan utamanya terdapat pada penambahan matriks pembobot lokasi.
Misalnya
, dengan m dimensi peubah,
dimana
merupakan deret yang tidak stasioner, sehingga deret yang stasioner
dengan
, maka model STARIMA didefinisikan sebagai
adalah
berikut:
∑
dengan
∑
∑
∑
{
serta
dimana dan menunjukkan orde spasial ke-k dari autoregressive dan moving
average,
parameter autoregressive pada lag waktu ke-k dan lag spasial ke-l,
parameter moving average pada lag waktu ke-k dan lag spasial ke-l serta
adalah matriks pembobot lokasi berukuran
pada lag l =
.
Model Generalized Space Time Autoregressive Integrated Moving Average
(GSTARIMA)
Model GSTARMA merupakan perkembangan dari model STARMA. Pada
model STARMA parameter diasumsikan sama untuk setiap lokasi, asumsi ini
menjadikan model STARMA lebih sederhana karena memiliki parameter yang
lebih sedikit. Namun demikian asumsi ini menjadikan STARMA dianggap tidak
fleksibel dan tidak realistis dalam menggambarkan karakteristik lokasi yang
sangat mungkin tidak homogen. Borovkova et al. (2002) mengusulkan model
lebih lanjut dari STARMA yaitu GSTARMA. Perbedaan mendasar dari kedua
model ini terletak pada parameternya, dimana pada model STARMA
dan
merupakan konstanta, sedangkan pada model GSTARMA berupa matriks
dan
. Hal inilah yang menjadikan GSTARMA lebih sulit dalam penghitungan
parameternya. Model GSTARMA yang mengalami pembedaan disebut model
(GSTARIMA) didefinisikan sebagai berikut:
dimana,
∑
∑
∑
∑
6
(
,
Perubahan ini menjadikan adanya sedikit perbedaan pada pendugaan parameter
model GSTARIMA dibandingkan model STARIMA. Borovkova et al. (2008) telah
menunjukkan sifat asimtotik kenormalan serta konsistensi penduga parameter
GSTAR menggunakan metode kuadrat terkecil.
Kestasioneran
Kestasioneran pada data menjadi syarat utama pada peramalan
menggunakan konsep ARMA. Penggunaan deret yang tidak stasioner akan
menyulitkan dalam pengambilan kesimpulan. Konsep peluang yang berubahubah akan menyebabkan tidak efisien dan tidak konsistennya pendugaan yang
dihasilkan. Stasioneritas berarti tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada
data. Data secara kasarnya harus horizontal sepanjang sumbu waktu. Fluktuasi
data berada disekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak tergantung pada
waktu. Selain itu ragam dari fluktuasi tersebut pada pokoknya tetap konstan
setiap waktu. Secara eksplorasi pemeriksaan stasioneritas ini dapat dilihat dari
plot antara nilai observasi dan waktu. Jika penggunaan plot ini dirasa belum
cukup meyakinkan maka dapat dilakukan uji formal menggunakan uji Augmented
Dickey-Fuller (ADF) untuk memeriksa kestasioneran rataan dan uji Levene untuk
memeriksa kestasioneran ragam.
Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF)
Dickey and Fuller (1979) dalam SAS (2011) menggunakan prinsip akar unit
(unit root) dengan hipotesis:
H0 :
(data mengandung unit root)
|
|
H1 :
(data tidak mengandung unit root)
dimana adalah koefisien regresi diri dari deret waktu:
(6)
-
untuk model nilai tengah nol (zero mean)
-
(7)
7
untuk model nilai tengah konstan (single mean)
(8)
-
untuk model trend.
Sedangkan diasumsikan white noise. Uji statistik menggunakan t konvensional:
̂
̂
Stasioner tidaknya data didasarkan pada perbandingan nilai statistik yang
diperoleh dari nilai t hitung koefisien dengan nilai kritis statistik Mackinnon. Jika
nilai absolut statistik ADF lebih besar dari nilai kritis Mackinnon maka data
stasioner dan jika sebaliknya maka data tidak stasioner. Jika data tidak stasioner
terhadap rataan maka perlu dilakukan pembedaan (differencing) terhadap data asli
agar data menjadi stasioner. Sedangkan jika data tidak stasioner terhadap ragam
maka perlu dilakukan transformasi terhadap data.
Uji Levene
Uji Levene merupakan metode pengujian homogenitas ragam. Uji ini tidak
harus menggunakan data yang berdistribusi normal, namun harus kontinu. Selain
itu uji ini juga bersifat robust untuk data berukuran kecil karena menggunakan
jarak amatan terhadap median sampel bukan terhadap nilai tengah sampel. Data
deret waktu setiap lokasi dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok
berdasarkan perbedaan ragam yang terlihat lebih mencolok secara eksplorasi pada
plot observasi dan waktu. Selanjutnya melakukan pengujian kehomogenan ragam
terhadap kelompok-kelompok tersebut. Pengujian hipotesis yaitu :
(data homogen)
H0 :
H1 : paling sedikit ada satu
yang tidak sama (data tidak homogen).
Statistik uji:
∑
∑
∑
̅̅̅ ̅̅̅
}
dimana
-̃ , i
{
i dan ̃
dengan N adalah banyaknya keseluruhan amatan, k adalah banyaknya kelompok,
ni adalah banyaknya amatan pada sampel (kelompok) ke-i, Z i. adalah median
data pada kelompok ke-i, Z .. adalah median untuk keseluruhan data.
Pengambilan kesimpulan adalah H0 ditolak jika W F ( , k 1, N k ) .
8
Pembobot Kebalikan Jarak
Pembobot dengan menggunakan metode kebalikan jarak dilakukan
berdasarkan jarak sebenarnya antar lokasi, penghitungan jarak antar lokasi ini
dapat menggunakan koordinat lintang dan bujur dari titik pusat lokasi wilayah
yang diamati. Berikut ini adalah ilustrasi dari pembobot kebalikan jarak,
misalkan terdapat m lokasi sehingga
dimana
merupakan lambang
lokasi ke-i, dengan
dan u, v masing-masing menunjukkan koordinat
lintang dan koordinat bujur lokasi tersebut,
merupakan jarak antar lokasi ke-i
terhadap lokasi lainnya misalkan lokasi ke-j, dan
adalah nilai kebalikan dari
, sehingga
dan pembobot kebalikan jarak dapat dihitung menggunakan rumus di bawah ini
∑
Denah delapan ibukota provinsi yang menjadi pengamatan dalam penelitian ini
terdapat pada Gambar 1.
No Scale
Gambar 1 Denah delapan ibukota provinsi (
) di Pulau Sumatera
9
Pembobot Normalisasi Korelasi Silang
Suhartono dan Subanar (2006) mengenalkan pembobot normalisasi korelasi
silang untuk model GSTAR dan Wutsqa et al. (2010) menggunakan pembobot ini
terhadap data simulasi.
Pembobot normalisasi korelasi silang ini tidak
mensyaratkan aturan tertentu, seperti bergantung pada jarak antar lokasi. Secara
umum korelasi silang antar lokasi ke-i dan ke-j pada lag waktu ke-k,
(didefinisikan sebagai
adalah kovarian silang antar amatan pada lokasi ke-i dan lokasi ke-j
dimana
pada lag waktu ke-k,
dan
adalah simpangan baku dari amatan pada lokasi
ke-i dan lokasi ke-j. Penduga korelasi silang pada data contoh adalah sebagai
berikut:
̅
̅
∑
̅
∑
̅
∑
Selanjutnya, penentuan pembobot lokasi dapat diselesaikan dengan
menormalisasikan korelasi silang antar lokasi pada lag yang sesuai. Proses ini
secara umum menghasilkan pembobot lokasi sebagai berikut
∑ |
|
dimana
dan pembobot ini memenuhi ∑ |
|
Indeks Moran
Indeks Moran merupakan teknik dalam analisis spasial untuk menghitung
hubungan spasial yang terjadi dalam ruang unit. Uji ini dapat digunakan untuk
mengetahui apakah terdapat efek ketergantungan spasial pada harga gula antar
kedelapan ibukota provinsi tersebut. Indeks Moran diformulasikan sebagai
berikut (Moran 1950 diacu Sawada [tahun tidak diketahui]):
∑
∑
∑
∑
∑
̅
̅
̅
dengan n adalah banyaknya pengamatan (lokasi). Nilai Indeks Moran dinyatakan
sebagai berikut :
1. I0 = -1/n-1 mendekati nol berarti tidak ada autokorelasi spasial.
2. I > I0 berarti bahwa terdapat autokorelasi spasial positif.
10
3. I < I0 bararti bahwa terdapat autokorelasi spasial negatif.
Nilai Indeks Moran (I) mempunyai nilai harapan dan variansi sebagai berikut:
-
-
-
;
dimana,
∑
∑
,
∑
∑
∑
∑
,
-̅
∑
-
( -
-̅
-
,
√
∑
.
∑
,
Hipotesis :
H0: I = 0 (tidak terdapat efek ketergantungan spasial pada harga gula di 8 ibukota)
H1:
f
h
8 b kota)
Pengambilan keputusan dilakukan jika |zhitung|>z maka tolak H0.
Identifikasi Model Ruang Waktu (Space Time)
Identifikasi model pada model ruang waktu (space time) meliputi
identifikasi terhadap orde waktu dan orde spasial. Orde spasial pada umumnya
dibatasi pada orde satu karena semakin tinggi orde akan semakin sulit dalam
menginterpretasikan. Orde lag waktu dapat ditentukan dengan melihat hasil lag
yang signifikan dengan pola tertentu yaitu terpangkas (cutoff) setelah lag ke-k
pada MACF (matrix autocorrelation function), hal ini mengindikasikan struktur
data deret waktu yang dibangun berasal dari model MA(k), dan terpangkas
(cutoff) setelah lag ke-k pada MPACF (matrix partial autocorrelation function)
berarti mengindikasikan struktur data yang dibangun dari model AR(k). MACF
juga dikenal dengan istilah matriks korelasi silang contoh sedangkan MPACF
dikenal juga dengan istilah matriks korelasi parsial contoh (Wei 2006).
Matriks Fungsi Korelasi Silang Contoh (MACF)
Diberikan
deret
waktu
multivariat yang
stasioner
, dimana
, T dengan m dimensi peubah, Matriks
korelasi silang contoh (matrix autocorrelation function) pada lag waktu ke-k dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut (Wei 2006)
̂
-
̂
-
(18)
dimana, D adalah matriks diagonal yang dapat diperoleh dari matriks kovarian
dengan k = 0, yang tidak lain isi dari diagonal ini adalah nilai ragam
contoh ̂
dugaan dari masing-masing peubah/lokasi.
11
[
dan
]
̂
∑
̅
(
̅
̅
̅
adalah vektor nilai tengah contoh.
dimana ̅ ̅ ̅
Sebagai contoh, misalkan untuk lag 1 berarti k = 1, dengan m = 3 sebagai
peubah (lokasi), dan n = 4 sebagai panjang deret waktu.
̂
∑
̅
̅
̅
(
̅
̅
̅
untuk t = 1,
untuk t = 2,
untuk t = 3,
̅
̅
̅
(
̅
̅
̅
̂
(
̅
̅
̅
̅
̅
̅
̅
̅
̅
(
̅
̅
(
(
(
(
(
[
]
̂
̂
̂
12
dengan demikian, maka
̂
[
]
̂
sehingga ̂
̂
dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut:
̂
∑
∑
̅
̅
∑
̅
̅
Matriks yang dihasilkan akan semakin kompleks ketika dimensi vektor
semakin meningkat. Angka yang semakin banyak terkadang menyebabkan
kesulitan pada pengenalan pola. Untuk mengatasi hal ini Tiao dan Box (1981)
dalam Wei (2006) mengenalkan metode yang tidak menyulitkan dalam meringkas
hal ini. Metode ini adalah dengan memberi simbol +, - , · pada posisi ke (i,j) dari
matriks seperti pada contoh dibawah ini:
Variabel
Peubah 1
Peubah 2
Peubah 3
Lag 1
+++
--+
-.+
dimana + menunjukkan nilai yang lebih dari 2 kali dugaan simpangan baku sisaan
(signifikan), - menunjukkan nilai yang kurang dari -2 kali dugaan simpangan baku
sisaan (signifikan), dan · menunjukkan nilai antara 2 kali dugaan simpangan baku
sisaan (tidak signifikan).
Matriks Fungsi Korelasi Parsial Contoh (MPACF)
Tiao dan Box (1981) dalam Wei (2006) mendefinisikan matriks fungsi
korelasi parsial contoh pada lag ke-k dinotasikan dengan ̂
sebagai koefisien
matriks terakhir jika data diterapkan untuk suatu proses vektor regresi diri pada
orde ke-k, hal ini merupakan pengembangan definisi fungsi parsial contoh untuk
deret waktu univariat yang dikemukakan oleh Box dan Jenkins. Matriks fungsi
korelasi parsial contoh (matrix partial autocorrelation function) mempunyai
untuk
properti terpangkas (cutoff) pada model AR (p), hal ini karena
| | , sehingga MPACF sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi orde dari
13
struktur AR pada data multivariat. Matriks fungsi korelasi parsial contoh ̂
didefinisikan sebagai berikut:
̂
{
dengan,
̂
̂
̂
-
-
-
̂
̂
̂
̂
̂
̂
[̂
̂( ̂( -
[ ̂
-
-
-
̂
̂
̂
̂
,
̂
]
[̂( - ]
]
Dugaan dari
di atas dapat diperoleh dengan menghitung ̂
matriks kovarian contoh terlebih dahulu dengan formulasi sebagai berikut:
̂
dimana ̅
̅ ̅
̅
∑
yaitu
̅
̅
adalah vektor nilai tengah contoh.
Kriteria Informasi Akaike Terkoreksi (AICC)
Secara teoritis penentuan model menggunakan lag signifikan pada MACF
dan MPACF ini akurat namun tidak praktis karena sangat bergantung pada
pengalaman dalam pemodelan. Kriteria uji alternatif untuk menentukan panjang
lag yang sesuai dapat menggunakan AICC (akaike information criterion
corrected). AICC merupakan ukuran relatif dari kualitas model statistik yang
diberikan dari suatu set data. Nilai AICC memberikan dugaan relatif dari
informasi yang hilang sehingga kriteria pemilihan lag optimal adalah pada nilai
AICC terkecil. AICC disarankan digunakan sebagai kriteria utama pada pemilihan
orde dari model deret waktu ARMA. Formula dari kriteria AICC ini adalah
sebagai berikut (SAS 2011)
(|∑
|
∑ ̂ ̂ adalah matriks nilai dugaan bagi kovarian sisaan dari
dimana ∑
model menggunakan penduga kemungkinan maksimum, k adalah banyaknya
14
peubah, r adalah banyaknya parameter yang diduga dan T adalah banyaknya
pengamatan.
Pendugaan Parameter
Pendugaan parameter untuk model STARIMA dan GSTARIMA dapat
dilakukan dengan meminimumkan sisaan kuadrat
dimana
untuk model GSTARIMA dengan
∑
∑
∑
∑
cara yang sama juga digunakan untuk model STARIMA. Namun karena adanya
komponen persamaan moving average, maka S menjadi tidak linier sehingga S
dapat diminimumkan menggunakan algoritma Gauss-Newton (Zhou dan
Buongiorno 2006 dan Min et al. 2010). Berikut ini dijabarkan pendugaan
parameter model GSTARMA dengan orde MA nol sehingga menjadi model
GSTAR (p
) (Wutsqa et al. 2010).
∑
∑
untuk i = j dan nol untuk
untuk
, i = 1,2,..., N, dimana
selainnya.
Diasumsikan
bahwa
h
,
dimana
(
Penduga dari metode kuadrat terkecil untuk parameter autoregresif telah
diturunkan oleh Borovkova et al. (2008). Mereka mendefinisikan notasi baru
∑
untuk l ≥ 1 dan
(
(
dan
Jika diekspresikan untuk semua lokasi secara simultan seperti pada model linier
15
,
(23)
dimana
Dengan demikian, penduga kuadrat terkecil ̂ adalah bentuk dari
̂
Pemeriksaan Kelayakan Model
Setelah ditemukan model sementara, maka tahap terakhir dari pemodelan
adalah memeriksa asumsi sisaan. Dikatakan memenuhi asumsi jika sisaan yang
terbentuk dari model tidak lagi berkorelasi serta menyebar dengan sebaran normal
ganda. Sisaan yang telah menyebar acak mengindikasikan bahwa model telah
mengandung informasi yang optimal dalam menggambarkan proses pembentukan
data. Sedangkan sisaan yang menyebar normal ganda menjadi penting ketika
akan dilakukan uji signifiansi dari penduga parameter yang dihasilkan, yaitu
menggunakan uji t. Secara simultan, pemeriksaan diagnostik terhadap kebebasan
sisaan dapat dilakukan secara eksplorasi dengan melihat skema plot MACF dari
sisaan, jika tanda titik (.) sudah mendominasi skema berarti bahwa sisaan sudah
mendekati asumsi white noise, asumsi ini merupakan asumsi yang paling penting
agar dapat terpenuhi. Selain uji kebebasan sisaan, pengujian apakah sisaan telah
menyebar normal dilakukan dengan menggunakan uji normal ganda Mardia.
16
METODE PENELITIAN
Data
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Kementrian
Perdagangan Republik Indonesia. Data ini berupa data deret waktu harga gula
pada delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera yaitu Banda Aceh, Medan,
Padang, Jambi, Pekanbaru, Bengkulu, Palembang, dan Bandar Lampung. Pulau
Sumatera saat ini memiliki 10 ibukota provinsi, namun dalam penelitian ini hanya
mengambil 8 ibukota provinsi, provinsi Kepulauan Riau dan provinsi Bangka
Belitung dengan ibukota masing-masing yaitu Tanjung Pinang dan Pangkal
Pinang, tidak diikutsertakan karena data yang dibutuhkan untuk penelitian ini
tidak tersedia. Data deret waktu tersebut merupakan data harga mingguan yang
diperoleh dari rataan harian per pekan dimulai Januari 2008 sampai Desember
2014, dengan panjang deret waktu 335. Data harga gula tersebut merupakan data
hasil survei harga gula domestik/lokal per kilogram di pasar induk pada kota-kota
tersebut.
Metode Analisis
Langkah-langkah analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Melakukan eksplorasi data menggunakan statistika deskriptif serta
menghitung nilai korelasi harga antar lokasi.
2. Membentuk matriks pembobot kebalikan jarak dan matriks pembobot
normalisasi korelasi silang.
3. Melakukan pengecekan terhadap hubungan ketergantungan spasial antar
lokasi menggunakan uji indeks Moran.
4. Memeriksa kestasioneran data terhadap ragam dan rataan, dengan
menggunakan uji formal Augmented Dickey Fuller (ADF) untuk
kestasioneran rataan dan uji Levene untuk kestasioneran ragam. Jika data
tidak stasioner maka akan dilakukan pembedaan (differencing) untuk
ketidakstasioneran
rataan
dan
transformasi
jika
mengalami
ketidakstasioneran dalam ragam.
5. Menentukan struktur data deret waktu untuk setiap lokasi secara terpisah
menggunakan plot ACF dan PACF untuk mengetahui keragaman struktur
data deret waktu yang dibangun di setiap lokasi secara terpisah.
6. Membagi data menjadi dua set data yaitu 300 data awal sebagai set data
pemodelan (data training) dan 35 data akhir sebagai data untuk menguji
model (data testing).
7. Mengindentifikasi lag MACF dan MPACF yang nyata untuk mendapatkan
orde lag waktu tentatif dari model sementara.
17
8. Menghitung AICC kemudian memilih AICC terkecil untuk mendapatkan
model deret waktu terbaik dengan mempertimbangkan skema MACF dan
MPACF.
9. Melakukan pemodelan STARIMA dengan orde lag waktu sesuai hasil
identifikasi pada langkah (8) dan menggunakan orde satu untuk lag spasial
serta menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak dan normalisasi
korelasi silang yang telah diperoleh pada langkah (2).
10. Menduga parameter model STARIMA dengan meminimumkan sisaan
menggunakan metode kuadrat terkecil nonlinear dengan pendekatan
numerik Gauss-Newton.
11. Menguji kelayakan model STARIMA dengan eksplorasi MACF dan uji
normal ganda Mardia terhadap sisaan.
12. Melakukan pemodelan GSTARIMA dengan orde lag waktu sesuai hasil
identifikasi pada langkah (8) dan menggunakan orde satu untuk lag spasial
serta menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak dan normalisasi
korelasi silang yang telah diperoleh pada langkah (2).
13. Menduga parameter model GSTARIMA dengan meminimumkan sisaan
menggunakan metode kuadrat terkecil nonlinear dengan pendekatan
numerik Gauss-Newton.
14. Menguji kelayakan model GSTARIMA dengan eksplorasi MACF dan uji
normal ganda Mardia terhadap sisaan.
15. Melakukan peramalan menggunakan model STARIMA dan model
GSTARIMA yang telah terbentuk.
16. Melakukan pembandingan ketepatan ramalan antara model STARIMA dan
model GSTARIMA, Nurhayati (2012) menggunakan MSE sebagai ukuran
ketepatan ramalan, namun pada penelitian ini menggunakan root mean of
square error (RMSE) dan mean absolute percentage error (MAPE), RMSE
digunakan agar dapat memperlihatkan besar penyimpangan nilai ramalan
dari nilai aktualnya sedangkan MAPE digunakan agar dapat mengetahui
persentase tingkat kesalahannya. Semakin kecil nilai RMSE dan MAPE
menunjukkan semakin akurat peramalan yang dihasilkan.
-
dimana N banyaknya lokasi,
-
∑
-
∑
|
∑
∑
̂
-̂
(27)
| x 100.
(28)
untuk d adalah ukuran data yang digunakan untuk pengujian model dengan
j=1,2, … ,35, dan T adalah ukuran data yang dimodelkan yaitu 300
amatan.
Diagram alir analisis data dapat dilihat pada Gambar 2. Pengolahan data
dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SAS 9.3 menggunakan prosedur
PROC VARMAX dan PROC MODEL.
18
Data Harga Gula
Eksplorasi Data
Pembentukan matriks pembobot spasial kebalikan jarak
Uji efek ketergantuangan spasial
Indeks Moran
Pembedaan/
transformasi
Pengecekan Stasioneritas data deret
waktu
Tidak
Ya
Pengecekan struktur data deret waktu untuk
setiap lokasi
set data uji (35 data
akhir)
Membagi data
Ya
set data yang dimodelkan (300 data awal)
Penentuan orde lag waktu dan lag spasial
Menghitung dua matriks pembobot lokasi: kebalikan jarak dan normalisasi
korelasi silang
Pembentukan dan pendugaan
parameter model GSTARIMA
Pembentukan dan pendugaan
parameter model STARIMA
Pengecekan asumsi sisaan model
Pengecekan asumsi sisaan model
Peramalan harga gula dengan
model GSTARIMA
Peramalan harga gula dengan
model STARIMA
Menghitung RMSE dan MAPE dari
peramalan GSTARIMA
Menghitung RMSE dan MAPE dari
peramalan STARIMA
Perbandingan Model dengan RMSE dan MAPE terkecil sebagai yang terbaik
Kesimpulan
Gambar 2 Diagram alir analisis
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Interaksi Spasial pada Fenomena Harga Gula di Pulau Sumatera
Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok. Semua lapisan
masyarakat membutuhkannya sehingga harga gula harus dicapai oleh semua
orang dan masih memberikan keuntungan bagi petani. Dengan demikian gula
termasuk produk pangan yang diawasi dan diatur oleh pemerintah karena
berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan menjadi salah satu indikator
pengukuran inflasi. Menurut Maria (2010) harga gula domestik secara nyata
dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga. Tataniaga merupakan pemasaran atau
distribusi, yaitu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan
barang dari produsen ke konsumen.
Biaya tataniaga terbentuk sebagai
konsekuensi logis dari pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Komponen biaya
tataniaga terdiri dari semua jenis pengeluaran yang dikorbankan oleh setiap
middleman/lembaga tataniaga (produsen, tengkulak, pedagang pengumpul,
eksportir, importir) atas jasa modalnya dan jasa tenaganya dalam menjalankan
aktivitas pemasaran tersebut. Biaya tataniaga yang tinggi akan membuat tataniaga
kurang/tidak efisien (Manik 2007 mengacu Ull dan Kohl 1980).
Komoditi pertanian yang menyangkut kepentingan orang banyak, seperti
gula, maka kebijaksanaan harga diatur oleh pemerintah, namun pemerintah hanya
menetapkan harga dasar (floor price) dan harga atap (ceiling price) untuk menjaga
stabilitas harga. Dengan demikian, biaya tataniaga akan tetap ada sebagai
konsekuensi logis dari fungsi-fungsi tataniaga meliputi: pembelian, penjualan,
transportasi, penyimpanan, pembiayaan, penanggungan resiko, standarisasi, dan
informasi pasar. Biaya tataniaga ini menjadi bagian tambahan harga pada barangbarang yang harus ditanggung oleh konsumen (Manik 2007 mengacu Gultom
1996). Besarnya biaya tataniaga berbeda satu sama lain, tergantung pada (1)
macam komoditas yang dipasarkan, (2) macam dan peranan lembaga niaga,
semakin banyak lembaga niaga maka semakin panjang rantai tataniaga dan
semakin besar biaya tataniaganya (3) lokasi/daerah produsen (Manik 2007
mengacu Daniel 2002).
Jika dilihat dari dari bahan baku industri gula, yaitu tebu, menurut BPS
(2013), selama periode tahun 2011 sampai tahun 2013 areal perkebunan tebu
tersebar di sembilan provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung,
Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Gorontalo dan Sulawesi
Selatan. Kontribusi ini menempatkan Pulau Sumatera sebagai pulau penghasil
gula terbesar kedua di Indonesia setelah pulau Jawa. Pulau Sumatera juga
merupakan pulau terluas ketiga setelah pulau Papua dan Pulau Kalimantan yaitu
seluas 443.065 km2, sehingga perbedaan harga antar ibukota provinsi yang
disebabkan oleh biaya tataniaga dapat terjadi. Tabel 1 memperlihatkan statistik
deskriptif harga gula, dimana antar ibukota memiliki rataan yang cukup berbeda
serta nilai minimum dan maksimum yang beragam.
20
Tabel 1 Statistik deskriptif harga gula (Rp/kg) pada 8 ibukota provinsi di Pulau
Sumatera periode 2008-2014
Minimum
Maksimum
Rataan
Banda Aceh
Medan
Padang
Pekanbaru
Jambi
Palembang
Bengkulu
7000
6350
6500
6375
6000
5800
6200
14000
13500
13900
14800
12900
13000
13000
10719
10185
10389
10675
10032
9834
10012
Simpangan
baku
1867
1855
2002
2141
1969
2014
1953
Bandar Lampung
5900
13000
9990
2073
Kota
Diantara delapan provinsi di Pulau Sumatera, Provinsi Lampung, Provinsi
Sumatera Selatan dan Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi produsen gula
nasional sedangkan kelima provinsi lainnya bukan merupakan provinsi produsen
gula. Pengaruh interaksi spasial yang berkaitan dengan fenomena harga gula
antar ibukota provinsi dimungkinkan berasal dari pengaruh kedekatan suatu
provinsi dengan provinsi produsen gula, maupun yang disebabkan oleh pengaruh
biaya tataniaga. Matriks korelasi harga gula antar ibukota provinsi pada Tabel 2
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang tinggi pada harga gula antar ibukota,
yaitu lebih dari 0.9 untuk setiap antar pasangan ibukota.
Tabel 2 Matriks korelasi harga gula antar 8 ibukota provinsi di Pulau Sumatera
Banda
Aceh
Medan
Padang
Pekanbaru
Jambi
Palembang
Bengkulu
Banda Aceh
1.000
Medan
0.971
1.000
Padang
0.977
0.972
1.000
Pekanbaru
0.953
0.942
0.956
1.000
Jambi
0.975
0.966
0.984
0.957
1.000
Palembang
0.970
0.965
0.981
0.943
0.985
1.000
Bengkulu
0.972
0.967
0.982
0.952
0.987
0.981
1.000
Bandar Lampung
0.976
0.966
0.986
0.958
0.989
0.986
0.985
Bandar
Lampung
1.000
Korelasi harga gula antar ibukota provinsi sangat tinggi, namun demikian
informasi ini belum cukup membuktikan bahwa terdapat pengaruh interaksi
spasial/lokasi antar ibukota tersebut. Dengan demikian, perlu dilakukan pengujian
untuk mengetahui apakah terdapat efek ketergantungan spasial pada harga gula
antar kedelapan ibukota provinsi tersebut. Indeks Moran merupakan teknik dalam
analisis spasial untuk menghitung hubungan spasial yang terjadi dalam ruang unit.
Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan efek ketergantungan
21
spasial. Penggunaan uji ini memerlukan adanya matriks pembobot spasial, pada
kasus ini pengujian Indeks Moran menggunakan matriks pembobot kebalikan
jarak yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya. Hasil pengujian
menggunakan Indeks Moran dengan matriks pembobot kebalikan jarak diberikan
pada Tabel 3. Nilai peluang = 0.02581 menunjukkan bahwa kesimpulan yang
diambil adalah tolak H0 yang berarti terdapat pengaruh ketergantungan spasial
pada harga gula di 8 ibukota provinsi. Selain itu nilai I = 0.0589 menandakan
bahwa terdapat korelasi spasial positif walaupun nilainya sangat kecil, dengan
kecenderungan pola harga gula yang mengelompok yaitu harga gula tinggi, harga
gula sedang dan harga gula rendah. Ibukota provinsi dengan interval harga gula
9834 -10129 (rendah) adalah Bengkulu, Jambi, Palembang dan Bandar Lampung,
ibukota provinsi dengan interval 10129-10424 (sedang) adalah Medan dan
Padang, sedangkan ibukota provinsi dengan interval 10424-10719 (tinggi) adalah
Banda Aceh dan Pekanbaru. Kecenderungan harga gula yang mengelompok ini
dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 3 Statistik Indeks Moran
I
0.05891811
Nilai harapan (I)
-0.1428571
Simpangan baku (I)
0.09052292
Nilai peluang
0.02581415
No Scale
Gambar 3 Pola spasial harga gula yang cenderung mengelompok
22
Dengan demikian, telah dapat dikatakan bahwa selain berdasarkan teori biaya
tataniaga, harga gula di suatu ibukota provinsi dipengaruhi oleh harga gula di
ibukota provinsi lainnya, dimana secara statistik dapat dikatakan harga gula di
Pulau Sumatera memiliki pengaruh ketergantungan spasial.
Identifikasi Keheterogenan Struktur Data Deret Waktu
Setelah mengetahui bahwa terdapat pengaruh spasial pada data harga gula,
maka selanjutnya untuk membangun model deret waktu berdasarkan model
STARIMA dan GSTARIMA, diperlukan informasi mengenai kondisi keheterogenan
struktur data deret waktu yang dibangun oleh masing-masing 8 ibukota provinsi
tersebut.
Hal ini didasarkan pada informasi bahwa model GSTARIMA
dikembangkan dari model STARIMA karena
GULA BERDASARKAN MODEL SPACE TIME ARIMA DAN
GENERALIZED SPACE TIME ARIMA
DANIA SIREGAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perbandingan Pemodelan
dan Peramalan Harga Gula Berdasarkan Model Space Time ARIMA dan
Generalized Space Time ARIMA adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Dania Siregar
NIM G151130111
RINGKASAN
DANIA SIREGAR. Perbandingan Pemodelan dan Peramalan Harga Gula
Berdasarkan Model Space Time ARIMA dan Generalized Space Time ARIMA.
Dibimbing oleh MUHAMMAD NUR AIDI dan I MADE SUMERTAJAYA.
Model STARIMA dan GSTARIMA adalah model yang digunakan untuk
memodelkan data deret waktu dan lokasi yang mengandung ketergantungan
spasial antar lokasinya. Perbedaan pokok antara model STARIMA dan
GSTARIMA adalah pada parameter model yang dihasilkan.
GSTARIMA
menghasilkan parameter yang berbeda untuk setiap lokasi dan lag waktunya,
sedangkan STARIMA menghasilkan parameter yang sama untuk setiap lokasi.
Model yang lebih kompleks tidak menjamin hasil peramalan akan lebih
akurat. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah memodelkan serta
mengkaji ketepatan peramalan dari model STARIMA dan GSTARIMA. Kedua
model ini diaplikasikan terhadap data deret waktu harga gula pada delapan
ibukota provinsi di Pulau Sumatera pada tahun 2008 sampai 2014 menggunakan
dua jenis pembobot lokasi yaitu pembobot kebalikan jarak, dan pembobot
normalisasi korelasi silang.
Pengaruh interaksi spasial yang berkaitan dengan fenomena harga gula antar
provinsi dapat dilihat dari efek biaya tataniaga gula. Besaran biaya tataniaga ini
sangat bergantung pada jenis komoditas, panjang rantai tataniaga serta
lokasi/daerah produsen. Rantai tataniaga inilah yang diduga memberikan
pengaruh ternjadinya interaksi spasial antar provinsi.
Berdasarkan penelitian ini, harga gula antar ibukota provinsi memiliki
korelasi spasial. Dengan demikian, harga gula bervariasi bergantung pada waktu
dan lokasi. Model yang layak digunakan adalah model STIMA dan GSTIMA
dengan ordo deret waktu MA (2) dan ordo spasial satu. Pemodelan menggunakan
pembobot kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang menghasilkan nilai
ramalan harga gula yang cenderung sama baik untuk model STIMA dan GSTIMA.
Selain itu, model STIMA juga lebih akurat untuk meramalkan harga gula pada
delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera dibandingkan model GSTIMA, baik
untuk peramalan jangka panjang maupun jangka pendek. Namun demikian,
model yang dihasilkan lebih baik digunakan untuk peramalan jangka pendek.
Kata kunci: STARIMA, GSTARIMA, pemodelan, peramalan.
SUMMARY
DANIA SIREGAR. A Comparison of Sugar Price Modeling and Forecasting
Based on Space Time ARIMA and Generalized Space Time ARIMA. Supervised
by MUHAMMAD NUR AIDI and I MADE SUMERTAJAYA.
STARIMA and GSTARIMA are the models used to model the time series
and location data containing spatial dependence between its location. The
fundamental difference between these models are the resulting model parameters.
GSTARIMA produce different parameters for each location and time lag, while
STARIMA produce the same parameters for each location.
More complex models do not guarantee the forecast results will be more
accurate. Therefore, the aims of this study are to model and assess the accuracy of
forecasting of the STARIMA and GSTARIMA. It was applied to the sugar price
data in the eight capital provinces in Sumatra Island in 2008 to 2014 using two
types of space weights: inverse distance, and normalization of cross correlation.
The spatial interaction effects associated with the sugar price phenomenon
of inter-provincial can be seen from the effects of the sugar business
administration costs. The magnitude of the cost of this trading system is very
dependent on commodities, the long chain of business administration and the
location/area manufacturers. This trading system chain allegedly influence the
existing of spatial interaction between provinces.
Based on this study, the price of sugar between the provincial capital had a
spatial correlation. Thus, the price of sugar varies depending on time and
location. The fitted model used were STIMA and GSTIMA with the order of time
series MA (2) and order of spatial equal to one. Modeling using inverse distance
and normalization of cross correlation as the space weights produced forecast
values of sugar price that tend to similar for STIMA model or GSTIMA model. In
addition, the STIMA model also more accurate to forecast the price of sugar on
the eight provincial capital in Sumatra Island than GSTIMA model, both for
forecasting long-term and short-term. However, the resulting models were better
used for short-term forecasting.
Keywords: STARIMA, GSTARIMA, modeling, forecasting.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERBANDINGAN PEMODELAN DAN PERAMALAN HARGA
GULA BERDASARKAN MODEL SPACE TIME ARIMA DAN
GENERALIZED SPACE TIME ARIMA
DANIA SIREGAR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Statistika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Farit Mochamad Afendi, MSi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta‟ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga Beliau, para Sahabat, serta para penerus perjuangan Beliau
hingga akhir zaman. Penelitian ini berjudul “Perbandingan Pemodelan dan
Peramalan Harga Gula berdasarkan Model Space Time ARIMA dan Generalized
Space Time ARIMA”.
Penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan,
bimbingan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih khususnya kepada:
1. Dr Ir Muhammad Nur Aidi, MS selaku pembimbing I dan
Dr Ir I Made Sumertajaya, MS selaku pembimbing II yang dengan kesabaran
telah banyak memberi bimbingan, arahan, serta saran kepada penulis selama
penyusunan tesis ini.
2. Dr Farit Mochamad Afendi, MSi selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan masukan dan arahan yang sangat membangun dalam penyusunan
tesis ini.
3. Seluruh staf pengajar pascasarjana Departemen Statistika IPB yang telah
banyak memberikan ilmu dan arahan selama perkuliahan sampai dengan
penyusunan karya ilmiah ini.
4. Teman-teman statistika angkatan 2013 atas kebersamaan, kekompakannya,
bantuan dan masukannya selama bersama-sama menempuh kuliah.
5. Kedua orang tua serta seluruh keluarga atas do‟a, dukungan, dan kasih sayang
yang diberikan.
6. Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) sebagai sponsor pemberi beasiswa
BPPD yang mendukung kelanjutan studi S2 penulis.
7. Prof Dr Ir Achmad, MS selaku pembina spiritual atas nasehat dan
perhatiannya dalam meluruskan tujuan penulis selama menuntut ilmu agar
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
8. Seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.
Atas segala bantuan yang diberikan, penulis hanya bisa berdoa dengan
harapan semoga semua kebaikan yang penuh keikhlasan tersebut dicatat sebagai
amal ibadah dan mendapatkan balasan berupa pahala disisi Allah Subhanahu wa
ta‟ala. Aamiin Ya Rabbal „Alamin. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat serta
dapat menambah wawasan bagi para pembaca.
Bogor, Agustus 2015
Dania Siregar
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Model Vector Autoregressive Integrated Moving Average
(VARIMA)
Model Space Time Autoregressive Integrated Moving Average
(STARIMA)
Model Generalized Space Time Autoregressive Integrated Moving
Average (GSTARIMA)
Kestasioneran
Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF)
Uji Levene
Pembobot Kebalikan Jarak
Pembobot Normalisasi Korelasi Silang
Indeks Moran
Identifikasi Model Ruang Waktu (Space Time)
Matriks Fungsi Korelasi Silang Contoh (MACF)
Matriks Fungsi Korelasi Parsial Contoh (MPACF)
Kriteria Informasi Akaike Terkoresi (AICC)
Pendugaan Parameter
Pemeriksaan Kelayakan Model
METODE PENELITIAN
Data
Metode Analisis
HASIL DAN PEMBAHASAN
Interaksi Spasial pada Fenomena Harga Gula
di Pulau Sumatera
Identifikasi Keheterogenan Struktur Data Deret Waktu
Pembentukan Model STARIMA dan GSTARIMA untuk
data harga gula
Identifikasi Model
Pembentukan Matriks Pembobot
Hasil Pendugaan Parameter
Pemeriksaan Asumsi Sisaan
Kajian Perbandingan Performa Peramalan STIMA dan GSTIMA
Peramalan Jangka Panjang
Peramalan Jangka Pendek
Pengaruh Struktur Data Deret Waktu terhadap Hasil Ramalan
Pengaruh Penggunaan Jenis Pembobot terhadap Hasil Ramalan
SIMPULAN DAN SARAN
vi
vi
vii
1
3
4
5
5
6
6
7
8
9
9
10
10
12
13
14
15
16
16
19
22
24
24
27
29
31
35
35
40
44
44
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
46
46
47
49
73
DAFTAR TABEL
1
Statistik deskriptif harga gula (Rp/Kg) pada 8 ibukota provinsi di Pulau
Sumatera periode 2008-2014
2 Matriks korelasi harga gula antar 8 ibukota provinsi di Pulau Sumatera
3 Statistik Indeks Moran
4 Struktur data pembangun harga gula di 8 ibukota provinsi Pulau
Sumatera
5 Nilai AICC dari model sementara
6 Penduga parameter model STIMA dengan pembobot kebalikan jarak
dan pembobot normalisasi korelasi silang
7 Penduga parameter model GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak
dan pembobot normalisasi korelasi silang
8 Selisih nilai penduga parameter antara model GSTIMA dengan pembobot
kebalikan jarak dan normalisasi korelasi silang
9 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka panjang pada
model yang menggunakan pembobot kebalikan jarak
10 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka panjang pada
model yang menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang
11 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka pendek pada
model yang menggunakan pembobot kebalikan jarak
12 Perbandingan nilai RMSE dan MAPE ramalan jangka pendek pada
model yang menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang
20
20
21
23
26
29
30
30
39
39
43
43
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Denah delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera
Diagram alir analisis
Pola spasial harga gula yang cenderung mengelompok
Plot data deret waktu harga gula untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan
Plot data deret waktu harga gula dengan pembedaan orde satu
untuk Kota Banda Aceh dan Kota Medan
Skema fungsi korelasi silang contoh (MACF)
Skema fungsi korelasi parsial contoh (MPACF)
Matriks pembobot kebalikan jarak
8
18
21
22
23
25
26
27
9 Matriks pembobot normalisasi korelasi silang pada lag 1
10 Matriks pembobot normalisasi korelasi silang pada lag 2
11 Skema MACF sisaan dari model STIMA dengan pembobot
kebalikan jarak
12 Skema MACF sisaan dari model GSTIMA dengan pembobot
kebalikan jarak
13 Skema MACF sisaan dari model STIMA dengan pembobot
normalisasi korelasi silang
14 Skema MACF sisaan dari model GSTIMA dengan pembobot
normalisasi korelasi silang
15 Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model)
untuk STIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Banda Aceh,
Kota Medan, Kota Padang dan Kota Pekanbaru
16 Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model)
untuk GSTIMA dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota
Banda Aceh, Kota Medan, Kota Padang dan Kota Pekanbaru
17 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang
menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA
menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Aceh dan
kota Medan
18 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang
menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA
menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Aceh
dan kota Medan
19 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek
menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA
menggunakan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Aceh dan
kota Medan
20 Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek
menggunakan pembobot bagi model GSTIMA dan model STIMA
menggunakan pembobot normalisasi korelasi silang untuk Kota Aceh
dan kota Medan
28
28
32
32
32
33
34
34
37
38
41
42
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
Plot data deret waktu harga gula untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru,
Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bengkulu, dan Kota Bandar Lampung
Plot data deret waktu harga gula dengan pembedaan orde satu untuk Kota
Padang, Kota Pekanbaru, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bengkulu,
dan Kota Bandar Lampung
Hasil Uji Dicky Fuller untuk data harga gula dengan pembedaan 1
Uji Levene
Identifikasi struktur data yang membangun harga gula pada setiap
lokasi (8 ibukota provinsi)
Sintak Pemodelan
49
50
51
52
53
56
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Uji kenormalan ganda dari sisaan
Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual model STIMA
dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru,
Kota Bengkulu, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual model GSTIMA
dengan pembobot kebalikan jarak untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru,
Kota Bengkulu, Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model) untuk
model GSTIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang untuk
Kota Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Bengkulu, Jambi
Palembang, Bandar Lampung
Plot nilai prediksi dari fitted model dan nilai aktual (in model) untuk
model STIMA dengan pembobot normalisasi korelasi silang untuk
Kota Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Bengkulu, Jambi
Palembang, Bandar Lampung
Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang bagi model
GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot kebalikan jarak
untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu, Kota Jambi,
Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka panjang bagi model
GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot normalisasi
korelasi silang untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu,
Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek bagi model
GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot kebalikan jarak
untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu, Kota Jambi,
Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
Plot nilai aktual terhadap nilai ramalan jangka pendek bagi model
GSTIMA dan model STIMA menggunakan pembobot normalisasi
korelasi silang untuk Kota Padang, Kota Pekanbaru, Kota Bengkulu,
Kota Jambi, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung
64
65
66
67
68
69
70
71
72
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemodelan dan peramalan menggunakan metode deret waktu dapat
dilakukan baik terhadap data univariat maupun multivariat. Data deret waktu
multivariat misalnya dapat berupa data yang saling berkaitan seperti volume
penjualan, harga, dan biaya iklan pada interval waktu tertentu yang digunakan
untuk studi tentang penjualan. Namun, data deret waktu multivariat juga dapat
berupa data deret waktu dan lokasi, misalnya data tingkat inflasi di beberapa
daerah pada interval waktu tertentu.
Data deret waktu multivariat ini dapat dimodelkan dengan model VARMA
(vector autoregressive moving average) yang merupakan perluasan dari model
ARMA.
Suatu bentuk khusus dari model VARMA adalah model yang
menggabungkan interdependensi waktu dan lokasi yang dikenal dengan model
STARMA (space time autoregressive moving average) yang pertama kali
dikenalkan oleh Pfeifer dan Deutsch (1980). Jika model VARMA mengakomodir
pengaruh dari peubah lainnya terhadap suatu peubah tertentu, maka model
STARMA juga melakukan hal yang sama namun dapat mengakomodir konfigurasi
spasial yang terwakili dengan penambahan pembobot spasial pada modelnya.
Namun demikian, model STARMA terkadang dianggap tidak realistis karena
parameter diasumsikan sama untuk semua lokasi, asumsi ini dianggap tidak
memiliki landasan teori yang kuat serta kurang dapat mengakomodir
keheterogenan lokasi. Borovkova et al. (2002) mengusulkan model yang juga
dapat menggabungkan interdependensi waktu dan lokasi yaitu model GSTARMA
(generalized space time autoregressive moving average), model ini dianggap
lebih realistis karena menghasilkan parameter yang berbeda untuk setiap lokasi.
Seperti halnya model umum pada ARIMA, model STARI dan GSTARI merupakan
model STARIMA dan GSTARIMA dengan orde moving average nol, serta
mengalami pembedaan (differencing), sedangkan STIMA dan GSTIMA merupakan
model STARIMA dan GSTARIMA dengan orde autoregressive nol, serta
mengalami pembedaan (differencing).
Model GSTAR
telah banyak diterapkan pada berbagai penelitian,
diantaranya Nurani (2002) menerapkan model ini pada data produksi minyak
bumi, Nurhayati et al. (2012) menerapkan model GSTAR pada data produk
domestik bruto negara-negara di Eropa Barat, serta Min et al. (2010)
menggunakan model GSTARIMA dengan pemakaian matriks pembobot kedekatan
lokasi (contiguity) untuk meramal aliran lalu lintas. Adanya pembobot lokasi
pada model STARIMA dan GSTARIMA menjadikan kedua model ini berbeda
dengan model VARIMA, pembobot ini mencirikan adanya pengaruh interaksi
spasial/lokasi. Penentuan pembobot lokasi yang tepat sangat bergantung pada
fenomena yang dimodelkan.
Fenomena harga gula merupakan salah satu fenomena yang dapat
dimodelkan menggunakan STARIMA dan GSTARIMA. Pengaruh interaksi spasial
yang berkaitan dengan fenomena harga gula antar provinsi dapat dilihat dari efek
2
biaya tataniaga gula. Besaran biaya tataniaga ini sangat bergantung pada jenis
komoditas, panjang rantai tataniaga serta lokasi/daerah produsen (Manik 2007
mengacu Daniel 2002). Rantai tataniaga inilah yang diduga memberikan
pengaruh ternjadinya interaksi spasial antar provinsi.
Jika dilihat dari bahan baku industri gula, yaitu tebu, menurut BPS (2013),
selama periode tahun 2011 sampai tahun 2013 areal perkebunan tebu tersebar di
sembilan provinsi yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Gorontalo dan Sulawesi
Selatan. Kontribusi ini menempatkan Pulau Sumatera sebagai pulau penghasil
gula terbesar kedua di Indonesia setelah pulau Jawa. Meskipun terdapat tiga
provinsi produsen gula, pulau Sumatera juga merupakan pulau terbesar ketiga di
Indonesia, sehingga memungkinkan adanya rantai tataniaga yang cukup panjang
yang mempengaruhi harga gula di provinsi lainnya.
Gula termasuk produk pangan yang diawasi dan diatur oleh pemerintah
karena berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan menjadi salah satu
indikator pengukuran inflasi. Konsumsi langsung rumah tangga masih
mendominasi permintaan gula nasional yaitu 70% (Supriyati 2011 mengacu
Susila dan Sinaga 2005), sementara itu pemenuhan konsumsi langsung rumah
tangga ini diutamakan berasal dari gula domestik/lokal. Harga gula juga dapat
merupakan indikator kelangkaan gula tersebut, maka peramalan terhadap harga
gula domestik/lokal ini akan bermanfaat untuk merancang sistem yang akan
dibangun baik oleh pihak pemerintah maupun pihak industri makanan dan
minuman yang menjadikan gula sebagai salah satu bahan utama/penolong
produknya.
Penelitian ini akan memodelkan fenomena harga gula pada delapan ibukota
provinsi di Pulau Sumatera menggunakan model STARIMA dan GSTARIMA.
Model GSTARIMA dianggap lebih teoritis dan kompleks dibandingkan model
STARIMA, namun demikian apakah model GSTARIMA lebih baik dari model
STARIMA dalam meramalkan harga gula pada ibukota provinsi-provinsi di Pulau
Sumatera masih menjadi suatu pertanyaan tersendiri. Penelitian ini juga akan
mengkaji perbandingan model dan ketepatan peramalan model STARIMA dan
GSTARIMA dalam memodelkan dan meramalkan harga gula menggunakan dua
jenis pembobot lokasi yaitu pembobot kebalikan jarak dan pembobot normalisasi
korelasi silang. Pembobot kebalikan jarak dapat menggambarkan pengaruh jarak
antar lokasi terhadap peramalan sedangkan pembobot normalisasi korelasi silang
tidak menekankan pengaruh jarak atau kedekatan antar lokasi melainkan pada
korelasi silang pada lag waktu tertentu antar lokasi. Adanya kajian ini diharapkan
dapat menambah wawasan mengenai model ruang waktu (space time) yang sesuai
untuk digunakan pada kasus peramalan data harga bahan makanan pokok.
3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Memodelkan dan meramalkan deret waktu harga gula domestik/lokal pada
delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera menggunakan model STARIMA
dan GSTARIMA.
2. Mengkaji ketepatan peramalan harga gula dari model STARIMA dan
GSTARIMA dengan menggunakan dua jenis pembobot lokasi yaitu pembobot
kebalikan jarak, dan pembobot normalisasi korelasi silang.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Model Vector Autoregressive Integrated Moving Average (VARIMA)
Model VARIMA (p,d,q) dimana p, d, dan q masing-masing merupakan orde
regresi diri (autoregressive), pembedaan (differencing) dan rataan bergerak
(moving average). Model ini merupakan perluasan dari model deret waktu
autoregressive moving average univariat ke model deret waktu autoregressive
moving average multivariat yang telah mengalami pembedaan (differencing) agar
data menjadi stasioner. Model VARIMA ini menjelaskan keterkaitan antar
pengamatan dan kesalahan berurutan pada peubah tertentu pada suatu waktu
dengan pengamatan dan kesalahan berurutan pada peubah itu sendiri pada waktuwaktu sebelumnya, dan juga keterkaitannya dengan pengamatan dan kesalahan
berurutan pada peubah lain pada waktu-waktu sebelumnya.
Misalnya
, dengan m dimensi peubah,
dimana
merupakan deret yang tidak stasioner, maka model VARIMA orde p, d
dan q dirumuskan sebagai berikut (Wei 2006)
dimana
dan
-
-
-
-
adalah matriks nonsingular berukuran
, dengan asumsi
-
dan
[
-
]
dengan operator shift mundur B penggunaannya sebagai berikut
, sehingga ketika q=0 maka menjadi model VARI(p)
dituliskan dalam bentuk
-
, dan
dapat
dan ketika p=0 maka menjadi model VIMA(q) dapat dituliskan dalam bentuk
5
Model Space Time Autoregressive Integrated Moving Average (STARIMA)
Model space time ARIMA atau STARIMA merupakan model STARMA
dengan diterapkannya pembedaan (differencing) pada data asli, model STARMA
pertama kali dikenalkan oleh Pfeifer dan Deutsch (1980) sebagai model yang
dapat mengakomodir pengaruh lokasi pada suatu data deret waktu. Model
STARIMA merupakan perluasan dari model VARIMA yang telah dimodifikasi
dengan perbedaan utamanya terdapat pada penambahan matriks pembobot lokasi.
Misalnya
, dengan m dimensi peubah,
dimana
merupakan deret yang tidak stasioner, sehingga deret yang stasioner
dengan
, maka model STARIMA didefinisikan sebagai
adalah
berikut:
∑
dengan
∑
∑
∑
{
serta
dimana dan menunjukkan orde spasial ke-k dari autoregressive dan moving
average,
parameter autoregressive pada lag waktu ke-k dan lag spasial ke-l,
parameter moving average pada lag waktu ke-k dan lag spasial ke-l serta
adalah matriks pembobot lokasi berukuran
pada lag l =
.
Model Generalized Space Time Autoregressive Integrated Moving Average
(GSTARIMA)
Model GSTARMA merupakan perkembangan dari model STARMA. Pada
model STARMA parameter diasumsikan sama untuk setiap lokasi, asumsi ini
menjadikan model STARMA lebih sederhana karena memiliki parameter yang
lebih sedikit. Namun demikian asumsi ini menjadikan STARMA dianggap tidak
fleksibel dan tidak realistis dalam menggambarkan karakteristik lokasi yang
sangat mungkin tidak homogen. Borovkova et al. (2002) mengusulkan model
lebih lanjut dari STARMA yaitu GSTARMA. Perbedaan mendasar dari kedua
model ini terletak pada parameternya, dimana pada model STARMA
dan
merupakan konstanta, sedangkan pada model GSTARMA berupa matriks
dan
. Hal inilah yang menjadikan GSTARMA lebih sulit dalam penghitungan
parameternya. Model GSTARMA yang mengalami pembedaan disebut model
(GSTARIMA) didefinisikan sebagai berikut:
dimana,
∑
∑
∑
∑
6
(
,
Perubahan ini menjadikan adanya sedikit perbedaan pada pendugaan parameter
model GSTARIMA dibandingkan model STARIMA. Borovkova et al. (2008) telah
menunjukkan sifat asimtotik kenormalan serta konsistensi penduga parameter
GSTAR menggunakan metode kuadrat terkecil.
Kestasioneran
Kestasioneran pada data menjadi syarat utama pada peramalan
menggunakan konsep ARMA. Penggunaan deret yang tidak stasioner akan
menyulitkan dalam pengambilan kesimpulan. Konsep peluang yang berubahubah akan menyebabkan tidak efisien dan tidak konsistennya pendugaan yang
dihasilkan. Stasioneritas berarti tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada
data. Data secara kasarnya harus horizontal sepanjang sumbu waktu. Fluktuasi
data berada disekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak tergantung pada
waktu. Selain itu ragam dari fluktuasi tersebut pada pokoknya tetap konstan
setiap waktu. Secara eksplorasi pemeriksaan stasioneritas ini dapat dilihat dari
plot antara nilai observasi dan waktu. Jika penggunaan plot ini dirasa belum
cukup meyakinkan maka dapat dilakukan uji formal menggunakan uji Augmented
Dickey-Fuller (ADF) untuk memeriksa kestasioneran rataan dan uji Levene untuk
memeriksa kestasioneran ragam.
Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF)
Dickey and Fuller (1979) dalam SAS (2011) menggunakan prinsip akar unit
(unit root) dengan hipotesis:
H0 :
(data mengandung unit root)
|
|
H1 :
(data tidak mengandung unit root)
dimana adalah koefisien regresi diri dari deret waktu:
(6)
-
untuk model nilai tengah nol (zero mean)
-
(7)
7
untuk model nilai tengah konstan (single mean)
(8)
-
untuk model trend.
Sedangkan diasumsikan white noise. Uji statistik menggunakan t konvensional:
̂
̂
Stasioner tidaknya data didasarkan pada perbandingan nilai statistik yang
diperoleh dari nilai t hitung koefisien dengan nilai kritis statistik Mackinnon. Jika
nilai absolut statistik ADF lebih besar dari nilai kritis Mackinnon maka data
stasioner dan jika sebaliknya maka data tidak stasioner. Jika data tidak stasioner
terhadap rataan maka perlu dilakukan pembedaan (differencing) terhadap data asli
agar data menjadi stasioner. Sedangkan jika data tidak stasioner terhadap ragam
maka perlu dilakukan transformasi terhadap data.
Uji Levene
Uji Levene merupakan metode pengujian homogenitas ragam. Uji ini tidak
harus menggunakan data yang berdistribusi normal, namun harus kontinu. Selain
itu uji ini juga bersifat robust untuk data berukuran kecil karena menggunakan
jarak amatan terhadap median sampel bukan terhadap nilai tengah sampel. Data
deret waktu setiap lokasi dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok
berdasarkan perbedaan ragam yang terlihat lebih mencolok secara eksplorasi pada
plot observasi dan waktu. Selanjutnya melakukan pengujian kehomogenan ragam
terhadap kelompok-kelompok tersebut. Pengujian hipotesis yaitu :
(data homogen)
H0 :
H1 : paling sedikit ada satu
yang tidak sama (data tidak homogen).
Statistik uji:
∑
∑
∑
̅̅̅ ̅̅̅
}
dimana
-̃ , i
{
i dan ̃
dengan N adalah banyaknya keseluruhan amatan, k adalah banyaknya kelompok,
ni adalah banyaknya amatan pada sampel (kelompok) ke-i, Z i. adalah median
data pada kelompok ke-i, Z .. adalah median untuk keseluruhan data.
Pengambilan kesimpulan adalah H0 ditolak jika W F ( , k 1, N k ) .
8
Pembobot Kebalikan Jarak
Pembobot dengan menggunakan metode kebalikan jarak dilakukan
berdasarkan jarak sebenarnya antar lokasi, penghitungan jarak antar lokasi ini
dapat menggunakan koordinat lintang dan bujur dari titik pusat lokasi wilayah
yang diamati. Berikut ini adalah ilustrasi dari pembobot kebalikan jarak,
misalkan terdapat m lokasi sehingga
dimana
merupakan lambang
lokasi ke-i, dengan
dan u, v masing-masing menunjukkan koordinat
lintang dan koordinat bujur lokasi tersebut,
merupakan jarak antar lokasi ke-i
terhadap lokasi lainnya misalkan lokasi ke-j, dan
adalah nilai kebalikan dari
, sehingga
dan pembobot kebalikan jarak dapat dihitung menggunakan rumus di bawah ini
∑
Denah delapan ibukota provinsi yang menjadi pengamatan dalam penelitian ini
terdapat pada Gambar 1.
No Scale
Gambar 1 Denah delapan ibukota provinsi (
) di Pulau Sumatera
9
Pembobot Normalisasi Korelasi Silang
Suhartono dan Subanar (2006) mengenalkan pembobot normalisasi korelasi
silang untuk model GSTAR dan Wutsqa et al. (2010) menggunakan pembobot ini
terhadap data simulasi.
Pembobot normalisasi korelasi silang ini tidak
mensyaratkan aturan tertentu, seperti bergantung pada jarak antar lokasi. Secara
umum korelasi silang antar lokasi ke-i dan ke-j pada lag waktu ke-k,
(didefinisikan sebagai
adalah kovarian silang antar amatan pada lokasi ke-i dan lokasi ke-j
dimana
pada lag waktu ke-k,
dan
adalah simpangan baku dari amatan pada lokasi
ke-i dan lokasi ke-j. Penduga korelasi silang pada data contoh adalah sebagai
berikut:
̅
̅
∑
̅
∑
̅
∑
Selanjutnya, penentuan pembobot lokasi dapat diselesaikan dengan
menormalisasikan korelasi silang antar lokasi pada lag yang sesuai. Proses ini
secara umum menghasilkan pembobot lokasi sebagai berikut
∑ |
|
dimana
dan pembobot ini memenuhi ∑ |
|
Indeks Moran
Indeks Moran merupakan teknik dalam analisis spasial untuk menghitung
hubungan spasial yang terjadi dalam ruang unit. Uji ini dapat digunakan untuk
mengetahui apakah terdapat efek ketergantungan spasial pada harga gula antar
kedelapan ibukota provinsi tersebut. Indeks Moran diformulasikan sebagai
berikut (Moran 1950 diacu Sawada [tahun tidak diketahui]):
∑
∑
∑
∑
∑
̅
̅
̅
dengan n adalah banyaknya pengamatan (lokasi). Nilai Indeks Moran dinyatakan
sebagai berikut :
1. I0 = -1/n-1 mendekati nol berarti tidak ada autokorelasi spasial.
2. I > I0 berarti bahwa terdapat autokorelasi spasial positif.
10
3. I < I0 bararti bahwa terdapat autokorelasi spasial negatif.
Nilai Indeks Moran (I) mempunyai nilai harapan dan variansi sebagai berikut:
-
-
-
;
dimana,
∑
∑
,
∑
∑
∑
∑
,
-̅
∑
-
( -
-̅
-
,
√
∑
.
∑
,
Hipotesis :
H0: I = 0 (tidak terdapat efek ketergantungan spasial pada harga gula di 8 ibukota)
H1:
f
h
8 b kota)
Pengambilan keputusan dilakukan jika |zhitung|>z maka tolak H0.
Identifikasi Model Ruang Waktu (Space Time)
Identifikasi model pada model ruang waktu (space time) meliputi
identifikasi terhadap orde waktu dan orde spasial. Orde spasial pada umumnya
dibatasi pada orde satu karena semakin tinggi orde akan semakin sulit dalam
menginterpretasikan. Orde lag waktu dapat ditentukan dengan melihat hasil lag
yang signifikan dengan pola tertentu yaitu terpangkas (cutoff) setelah lag ke-k
pada MACF (matrix autocorrelation function), hal ini mengindikasikan struktur
data deret waktu yang dibangun berasal dari model MA(k), dan terpangkas
(cutoff) setelah lag ke-k pada MPACF (matrix partial autocorrelation function)
berarti mengindikasikan struktur data yang dibangun dari model AR(k). MACF
juga dikenal dengan istilah matriks korelasi silang contoh sedangkan MPACF
dikenal juga dengan istilah matriks korelasi parsial contoh (Wei 2006).
Matriks Fungsi Korelasi Silang Contoh (MACF)
Diberikan
deret
waktu
multivariat yang
stasioner
, dimana
, T dengan m dimensi peubah, Matriks
korelasi silang contoh (matrix autocorrelation function) pada lag waktu ke-k dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut (Wei 2006)
̂
-
̂
-
(18)
dimana, D adalah matriks diagonal yang dapat diperoleh dari matriks kovarian
dengan k = 0, yang tidak lain isi dari diagonal ini adalah nilai ragam
contoh ̂
dugaan dari masing-masing peubah/lokasi.
11
[
dan
]
̂
∑
̅
(
̅
̅
̅
adalah vektor nilai tengah contoh.
dimana ̅ ̅ ̅
Sebagai contoh, misalkan untuk lag 1 berarti k = 1, dengan m = 3 sebagai
peubah (lokasi), dan n = 4 sebagai panjang deret waktu.
̂
∑
̅
̅
̅
(
̅
̅
̅
untuk t = 1,
untuk t = 2,
untuk t = 3,
̅
̅
̅
(
̅
̅
̅
̂
(
̅
̅
̅
̅
̅
̅
̅
̅
̅
(
̅
̅
(
(
(
(
(
[
]
̂
̂
̂
12
dengan demikian, maka
̂
[
]
̂
sehingga ̂
̂
dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut:
̂
∑
∑
̅
̅
∑
̅
̅
Matriks yang dihasilkan akan semakin kompleks ketika dimensi vektor
semakin meningkat. Angka yang semakin banyak terkadang menyebabkan
kesulitan pada pengenalan pola. Untuk mengatasi hal ini Tiao dan Box (1981)
dalam Wei (2006) mengenalkan metode yang tidak menyulitkan dalam meringkas
hal ini. Metode ini adalah dengan memberi simbol +, - , · pada posisi ke (i,j) dari
matriks seperti pada contoh dibawah ini:
Variabel
Peubah 1
Peubah 2
Peubah 3
Lag 1
+++
--+
-.+
dimana + menunjukkan nilai yang lebih dari 2 kali dugaan simpangan baku sisaan
(signifikan), - menunjukkan nilai yang kurang dari -2 kali dugaan simpangan baku
sisaan (signifikan), dan · menunjukkan nilai antara 2 kali dugaan simpangan baku
sisaan (tidak signifikan).
Matriks Fungsi Korelasi Parsial Contoh (MPACF)
Tiao dan Box (1981) dalam Wei (2006) mendefinisikan matriks fungsi
korelasi parsial contoh pada lag ke-k dinotasikan dengan ̂
sebagai koefisien
matriks terakhir jika data diterapkan untuk suatu proses vektor regresi diri pada
orde ke-k, hal ini merupakan pengembangan definisi fungsi parsial contoh untuk
deret waktu univariat yang dikemukakan oleh Box dan Jenkins. Matriks fungsi
korelasi parsial contoh (matrix partial autocorrelation function) mempunyai
untuk
properti terpangkas (cutoff) pada model AR (p), hal ini karena
| | , sehingga MPACF sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi orde dari
13
struktur AR pada data multivariat. Matriks fungsi korelasi parsial contoh ̂
didefinisikan sebagai berikut:
̂
{
dengan,
̂
̂
̂
-
-
-
̂
̂
̂
̂
̂
̂
[̂
̂( ̂( -
[ ̂
-
-
-
̂
̂
̂
̂
,
̂
]
[̂( - ]
]
Dugaan dari
di atas dapat diperoleh dengan menghitung ̂
matriks kovarian contoh terlebih dahulu dengan formulasi sebagai berikut:
̂
dimana ̅
̅ ̅
̅
∑
yaitu
̅
̅
adalah vektor nilai tengah contoh.
Kriteria Informasi Akaike Terkoreksi (AICC)
Secara teoritis penentuan model menggunakan lag signifikan pada MACF
dan MPACF ini akurat namun tidak praktis karena sangat bergantung pada
pengalaman dalam pemodelan. Kriteria uji alternatif untuk menentukan panjang
lag yang sesuai dapat menggunakan AICC (akaike information criterion
corrected). AICC merupakan ukuran relatif dari kualitas model statistik yang
diberikan dari suatu set data. Nilai AICC memberikan dugaan relatif dari
informasi yang hilang sehingga kriteria pemilihan lag optimal adalah pada nilai
AICC terkecil. AICC disarankan digunakan sebagai kriteria utama pada pemilihan
orde dari model deret waktu ARMA. Formula dari kriteria AICC ini adalah
sebagai berikut (SAS 2011)
(|∑
|
∑ ̂ ̂ adalah matriks nilai dugaan bagi kovarian sisaan dari
dimana ∑
model menggunakan penduga kemungkinan maksimum, k adalah banyaknya
14
peubah, r adalah banyaknya parameter yang diduga dan T adalah banyaknya
pengamatan.
Pendugaan Parameter
Pendugaan parameter untuk model STARIMA dan GSTARIMA dapat
dilakukan dengan meminimumkan sisaan kuadrat
dimana
untuk model GSTARIMA dengan
∑
∑
∑
∑
cara yang sama juga digunakan untuk model STARIMA. Namun karena adanya
komponen persamaan moving average, maka S menjadi tidak linier sehingga S
dapat diminimumkan menggunakan algoritma Gauss-Newton (Zhou dan
Buongiorno 2006 dan Min et al. 2010). Berikut ini dijabarkan pendugaan
parameter model GSTARMA dengan orde MA nol sehingga menjadi model
GSTAR (p
) (Wutsqa et al. 2010).
∑
∑
untuk i = j dan nol untuk
untuk
, i = 1,2,..., N, dimana
selainnya.
Diasumsikan
bahwa
h
,
dimana
(
Penduga dari metode kuadrat terkecil untuk parameter autoregresif telah
diturunkan oleh Borovkova et al. (2008). Mereka mendefinisikan notasi baru
∑
untuk l ≥ 1 dan
(
(
dan
Jika diekspresikan untuk semua lokasi secara simultan seperti pada model linier
15
,
(23)
dimana
Dengan demikian, penduga kuadrat terkecil ̂ adalah bentuk dari
̂
Pemeriksaan Kelayakan Model
Setelah ditemukan model sementara, maka tahap terakhir dari pemodelan
adalah memeriksa asumsi sisaan. Dikatakan memenuhi asumsi jika sisaan yang
terbentuk dari model tidak lagi berkorelasi serta menyebar dengan sebaran normal
ganda. Sisaan yang telah menyebar acak mengindikasikan bahwa model telah
mengandung informasi yang optimal dalam menggambarkan proses pembentukan
data. Sedangkan sisaan yang menyebar normal ganda menjadi penting ketika
akan dilakukan uji signifiansi dari penduga parameter yang dihasilkan, yaitu
menggunakan uji t. Secara simultan, pemeriksaan diagnostik terhadap kebebasan
sisaan dapat dilakukan secara eksplorasi dengan melihat skema plot MACF dari
sisaan, jika tanda titik (.) sudah mendominasi skema berarti bahwa sisaan sudah
mendekati asumsi white noise, asumsi ini merupakan asumsi yang paling penting
agar dapat terpenuhi. Selain uji kebebasan sisaan, pengujian apakah sisaan telah
menyebar normal dilakukan dengan menggunakan uji normal ganda Mardia.
16
METODE PENELITIAN
Data
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Kementrian
Perdagangan Republik Indonesia. Data ini berupa data deret waktu harga gula
pada delapan ibukota provinsi di Pulau Sumatera yaitu Banda Aceh, Medan,
Padang, Jambi, Pekanbaru, Bengkulu, Palembang, dan Bandar Lampung. Pulau
Sumatera saat ini memiliki 10 ibukota provinsi, namun dalam penelitian ini hanya
mengambil 8 ibukota provinsi, provinsi Kepulauan Riau dan provinsi Bangka
Belitung dengan ibukota masing-masing yaitu Tanjung Pinang dan Pangkal
Pinang, tidak diikutsertakan karena data yang dibutuhkan untuk penelitian ini
tidak tersedia. Data deret waktu tersebut merupakan data harga mingguan yang
diperoleh dari rataan harian per pekan dimulai Januari 2008 sampai Desember
2014, dengan panjang deret waktu 335. Data harga gula tersebut merupakan data
hasil survei harga gula domestik/lokal per kilogram di pasar induk pada kota-kota
tersebut.
Metode Analisis
Langkah-langkah analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Melakukan eksplorasi data menggunakan statistika deskriptif serta
menghitung nilai korelasi harga antar lokasi.
2. Membentuk matriks pembobot kebalikan jarak dan matriks pembobot
normalisasi korelasi silang.
3. Melakukan pengecekan terhadap hubungan ketergantungan spasial antar
lokasi menggunakan uji indeks Moran.
4. Memeriksa kestasioneran data terhadap ragam dan rataan, dengan
menggunakan uji formal Augmented Dickey Fuller (ADF) untuk
kestasioneran rataan dan uji Levene untuk kestasioneran ragam. Jika data
tidak stasioner maka akan dilakukan pembedaan (differencing) untuk
ketidakstasioneran
rataan
dan
transformasi
jika
mengalami
ketidakstasioneran dalam ragam.
5. Menentukan struktur data deret waktu untuk setiap lokasi secara terpisah
menggunakan plot ACF dan PACF untuk mengetahui keragaman struktur
data deret waktu yang dibangun di setiap lokasi secara terpisah.
6. Membagi data menjadi dua set data yaitu 300 data awal sebagai set data
pemodelan (data training) dan 35 data akhir sebagai data untuk menguji
model (data testing).
7. Mengindentifikasi lag MACF dan MPACF yang nyata untuk mendapatkan
orde lag waktu tentatif dari model sementara.
17
8. Menghitung AICC kemudian memilih AICC terkecil untuk mendapatkan
model deret waktu terbaik dengan mempertimbangkan skema MACF dan
MPACF.
9. Melakukan pemodelan STARIMA dengan orde lag waktu sesuai hasil
identifikasi pada langkah (8) dan menggunakan orde satu untuk lag spasial
serta menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak dan normalisasi
korelasi silang yang telah diperoleh pada langkah (2).
10. Menduga parameter model STARIMA dengan meminimumkan sisaan
menggunakan metode kuadrat terkecil nonlinear dengan pendekatan
numerik Gauss-Newton.
11. Menguji kelayakan model STARIMA dengan eksplorasi MACF dan uji
normal ganda Mardia terhadap sisaan.
12. Melakukan pemodelan GSTARIMA dengan orde lag waktu sesuai hasil
identifikasi pada langkah (8) dan menggunakan orde satu untuk lag spasial
serta menggunakan matriks pembobot kebalikan jarak dan normalisasi
korelasi silang yang telah diperoleh pada langkah (2).
13. Menduga parameter model GSTARIMA dengan meminimumkan sisaan
menggunakan metode kuadrat terkecil nonlinear dengan pendekatan
numerik Gauss-Newton.
14. Menguji kelayakan model GSTARIMA dengan eksplorasi MACF dan uji
normal ganda Mardia terhadap sisaan.
15. Melakukan peramalan menggunakan model STARIMA dan model
GSTARIMA yang telah terbentuk.
16. Melakukan pembandingan ketepatan ramalan antara model STARIMA dan
model GSTARIMA, Nurhayati (2012) menggunakan MSE sebagai ukuran
ketepatan ramalan, namun pada penelitian ini menggunakan root mean of
square error (RMSE) dan mean absolute percentage error (MAPE), RMSE
digunakan agar dapat memperlihatkan besar penyimpangan nilai ramalan
dari nilai aktualnya sedangkan MAPE digunakan agar dapat mengetahui
persentase tingkat kesalahannya. Semakin kecil nilai RMSE dan MAPE
menunjukkan semakin akurat peramalan yang dihasilkan.
-
dimana N banyaknya lokasi,
-
∑
-
∑
|
∑
∑
̂
-̂
(27)
| x 100.
(28)
untuk d adalah ukuran data yang digunakan untuk pengujian model dengan
j=1,2, … ,35, dan T adalah ukuran data yang dimodelkan yaitu 300
amatan.
Diagram alir analisis data dapat dilihat pada Gambar 2. Pengolahan data
dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SAS 9.3 menggunakan prosedur
PROC VARMAX dan PROC MODEL.
18
Data Harga Gula
Eksplorasi Data
Pembentukan matriks pembobot spasial kebalikan jarak
Uji efek ketergantuangan spasial
Indeks Moran
Pembedaan/
transformasi
Pengecekan Stasioneritas data deret
waktu
Tidak
Ya
Pengecekan struktur data deret waktu untuk
setiap lokasi
set data uji (35 data
akhir)
Membagi data
Ya
set data yang dimodelkan (300 data awal)
Penentuan orde lag waktu dan lag spasial
Menghitung dua matriks pembobot lokasi: kebalikan jarak dan normalisasi
korelasi silang
Pembentukan dan pendugaan
parameter model GSTARIMA
Pembentukan dan pendugaan
parameter model STARIMA
Pengecekan asumsi sisaan model
Pengecekan asumsi sisaan model
Peramalan harga gula dengan
model GSTARIMA
Peramalan harga gula dengan
model STARIMA
Menghitung RMSE dan MAPE dari
peramalan GSTARIMA
Menghitung RMSE dan MAPE dari
peramalan STARIMA
Perbandingan Model dengan RMSE dan MAPE terkecil sebagai yang terbaik
Kesimpulan
Gambar 2 Diagram alir analisis
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Interaksi Spasial pada Fenomena Harga Gula di Pulau Sumatera
Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok. Semua lapisan
masyarakat membutuhkannya sehingga harga gula harus dicapai oleh semua
orang dan masih memberikan keuntungan bagi petani. Dengan demikian gula
termasuk produk pangan yang diawasi dan diatur oleh pemerintah karena
berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan menjadi salah satu indikator
pengukuran inflasi. Menurut Maria (2010) harga gula domestik secara nyata
dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga. Tataniaga merupakan pemasaran atau
distribusi, yaitu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan
barang dari produsen ke konsumen.
Biaya tataniaga terbentuk sebagai
konsekuensi logis dari pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Komponen biaya
tataniaga terdiri dari semua jenis pengeluaran yang dikorbankan oleh setiap
middleman/lembaga tataniaga (produsen, tengkulak, pedagang pengumpul,
eksportir, importir) atas jasa modalnya dan jasa tenaganya dalam menjalankan
aktivitas pemasaran tersebut. Biaya tataniaga yang tinggi akan membuat tataniaga
kurang/tidak efisien (Manik 2007 mengacu Ull dan Kohl 1980).
Komoditi pertanian yang menyangkut kepentingan orang banyak, seperti
gula, maka kebijaksanaan harga diatur oleh pemerintah, namun pemerintah hanya
menetapkan harga dasar (floor price) dan harga atap (ceiling price) untuk menjaga
stabilitas harga. Dengan demikian, biaya tataniaga akan tetap ada sebagai
konsekuensi logis dari fungsi-fungsi tataniaga meliputi: pembelian, penjualan,
transportasi, penyimpanan, pembiayaan, penanggungan resiko, standarisasi, dan
informasi pasar. Biaya tataniaga ini menjadi bagian tambahan harga pada barangbarang yang harus ditanggung oleh konsumen (Manik 2007 mengacu Gultom
1996). Besarnya biaya tataniaga berbeda satu sama lain, tergantung pada (1)
macam komoditas yang dipasarkan, (2) macam dan peranan lembaga niaga,
semakin banyak lembaga niaga maka semakin panjang rantai tataniaga dan
semakin besar biaya tataniaganya (3) lokasi/daerah produsen (Manik 2007
mengacu Daniel 2002).
Jika dilihat dari dari bahan baku industri gula, yaitu tebu, menurut BPS
(2013), selama periode tahun 2011 sampai tahun 2013 areal perkebunan tebu
tersebar di sembilan provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung,
Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Gorontalo dan Sulawesi
Selatan. Kontribusi ini menempatkan Pulau Sumatera sebagai pulau penghasil
gula terbesar kedua di Indonesia setelah pulau Jawa. Pulau Sumatera juga
merupakan pulau terluas ketiga setelah pulau Papua dan Pulau Kalimantan yaitu
seluas 443.065 km2, sehingga perbedaan harga antar ibukota provinsi yang
disebabkan oleh biaya tataniaga dapat terjadi. Tabel 1 memperlihatkan statistik
deskriptif harga gula, dimana antar ibukota memiliki rataan yang cukup berbeda
serta nilai minimum dan maksimum yang beragam.
20
Tabel 1 Statistik deskriptif harga gula (Rp/kg) pada 8 ibukota provinsi di Pulau
Sumatera periode 2008-2014
Minimum
Maksimum
Rataan
Banda Aceh
Medan
Padang
Pekanbaru
Jambi
Palembang
Bengkulu
7000
6350
6500
6375
6000
5800
6200
14000
13500
13900
14800
12900
13000
13000
10719
10185
10389
10675
10032
9834
10012
Simpangan
baku
1867
1855
2002
2141
1969
2014
1953
Bandar Lampung
5900
13000
9990
2073
Kota
Diantara delapan provinsi di Pulau Sumatera, Provinsi Lampung, Provinsi
Sumatera Selatan dan Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi produsen gula
nasional sedangkan kelima provinsi lainnya bukan merupakan provinsi produsen
gula. Pengaruh interaksi spasial yang berkaitan dengan fenomena harga gula
antar ibukota provinsi dimungkinkan berasal dari pengaruh kedekatan suatu
provinsi dengan provinsi produsen gula, maupun yang disebabkan oleh pengaruh
biaya tataniaga. Matriks korelasi harga gula antar ibukota provinsi pada Tabel 2
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang tinggi pada harga gula antar ibukota,
yaitu lebih dari 0.9 untuk setiap antar pasangan ibukota.
Tabel 2 Matriks korelasi harga gula antar 8 ibukota provinsi di Pulau Sumatera
Banda
Aceh
Medan
Padang
Pekanbaru
Jambi
Palembang
Bengkulu
Banda Aceh
1.000
Medan
0.971
1.000
Padang
0.977
0.972
1.000
Pekanbaru
0.953
0.942
0.956
1.000
Jambi
0.975
0.966
0.984
0.957
1.000
Palembang
0.970
0.965
0.981
0.943
0.985
1.000
Bengkulu
0.972
0.967
0.982
0.952
0.987
0.981
1.000
Bandar Lampung
0.976
0.966
0.986
0.958
0.989
0.986
0.985
Bandar
Lampung
1.000
Korelasi harga gula antar ibukota provinsi sangat tinggi, namun demikian
informasi ini belum cukup membuktikan bahwa terdapat pengaruh interaksi
spasial/lokasi antar ibukota tersebut. Dengan demikian, perlu dilakukan pengujian
untuk mengetahui apakah terdapat efek ketergantungan spasial pada harga gula
antar kedelapan ibukota provinsi tersebut. Indeks Moran merupakan teknik dalam
analisis spasial untuk menghitung hubungan spasial yang terjadi dalam ruang unit.
Uji ini dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan efek ketergantungan
21
spasial. Penggunaan uji ini memerlukan adanya matriks pembobot spasial, pada
kasus ini pengujian Indeks Moran menggunakan matriks pembobot kebalikan
jarak yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya. Hasil pengujian
menggunakan Indeks Moran dengan matriks pembobot kebalikan jarak diberikan
pada Tabel 3. Nilai peluang = 0.02581 menunjukkan bahwa kesimpulan yang
diambil adalah tolak H0 yang berarti terdapat pengaruh ketergantungan spasial
pada harga gula di 8 ibukota provinsi. Selain itu nilai I = 0.0589 menandakan
bahwa terdapat korelasi spasial positif walaupun nilainya sangat kecil, dengan
kecenderungan pola harga gula yang mengelompok yaitu harga gula tinggi, harga
gula sedang dan harga gula rendah. Ibukota provinsi dengan interval harga gula
9834 -10129 (rendah) adalah Bengkulu, Jambi, Palembang dan Bandar Lampung,
ibukota provinsi dengan interval 10129-10424 (sedang) adalah Medan dan
Padang, sedangkan ibukota provinsi dengan interval 10424-10719 (tinggi) adalah
Banda Aceh dan Pekanbaru. Kecenderungan harga gula yang mengelompok ini
dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 3 Statistik Indeks Moran
I
0.05891811
Nilai harapan (I)
-0.1428571
Simpangan baku (I)
0.09052292
Nilai peluang
0.02581415
No Scale
Gambar 3 Pola spasial harga gula yang cenderung mengelompok
22
Dengan demikian, telah dapat dikatakan bahwa selain berdasarkan teori biaya
tataniaga, harga gula di suatu ibukota provinsi dipengaruhi oleh harga gula di
ibukota provinsi lainnya, dimana secara statistik dapat dikatakan harga gula di
Pulau Sumatera memiliki pengaruh ketergantungan spasial.
Identifikasi Keheterogenan Struktur Data Deret Waktu
Setelah mengetahui bahwa terdapat pengaruh spasial pada data harga gula,
maka selanjutnya untuk membangun model deret waktu berdasarkan model
STARIMA dan GSTARIMA, diperlukan informasi mengenai kondisi keheterogenan
struktur data deret waktu yang dibangun oleh masing-masing 8 ibukota provinsi
tersebut.
Hal ini didasarkan pada informasi bahwa model GSTARIMA
dikembangkan dari model STARIMA karena