Perilaku Merokok di kalangan remaja laki-laki Desa dan Kota Bogor

PERILAKU MEROKOK DI KALANGAN REMAJA LAKILAKI DESA DAN KOTA BOGOR

WINDA LISNAWATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perilaku Merokok di
Kalangan Remaja Laki-laki Desa dan Kota Bogor adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum dijadikan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Agustus 2014

Winda Lisnawati
NIM I34100096

ABSTRAK

WINDA LISNAWATI. Perilaku Merokok di Kalangan Remaja Laki-laki Desa
dan Kota Bogor. Dibimbing oleh NURAINI W. PRASODJO.
Saat ini perilaku merokok merupakan perilaku yang sudah lazim dilakukan oleh
banyak orang dalam kehidupan mereka sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kecenderungan tingkat ketergantungan merokok dan
menganalisis aspek subyektif (tingkat pengetahuan, tingkat persepsi, peringkat
pilihan motif) dan aspek obyektif (jumlah uang saku atau pendapatan, sumber
uang saku atau pendapatan, dan tingkat dukungan sosial teman sebaya) remaja
yang dapat mempengaruhi tingkat ketergantungan merokok remaja Laki-laki desa
dan kota Bogor. Penelitian ini menggunakan analisis tabulasi silang, uji statistik
Rank Spearman dan Chi-Square dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen
atau α = 0.05. Responden contoh adalah remaja laki-laki perokok sejumlah 30
orang di Desa Cimanggu Satu dan 30 orang di Kelurahan Kebon Kalapa. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan remaja, jumlah uang saku
atau pendapatan remaja, dan sumber uang saku atau pendapatan remaja, memiliki
hubungan yang nyata dengan tingkat ketergantungan merokok remaja di desa
dengan α < 0.05, lain halnya dengan tingkat persepsi dan tingkat dukungan sosial
teman sebaya tidak menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat
ketergantungan merokok remaja. Sementara di kota, menunjukkan bahwa semua
variabel dari aspek subyektif dan aspek obyektif tidak memiliki hubungan dengan
tingkat ketergantungan merokok remaja. Ada kesesuaian pilihan motif merokok
remaja laki-laki di desa dan di kota.
Kata Kunci: Merokok, Remaja, Subyektif, Obyektif

ABSTRACT
WINDA LISNAWATI. Smoking behaviors of teenage boys in the villages and the
city of Bogor. Supervised by NURAINI W. PRASODJO.
Nowadays smoking behavior is a behavior that is commonly done by many people
in their daily lives. This study aims to identify the trends of the smoking
dependence and analyze the subjective aspects (level of knowledge, level of
perception, level of motives choice) and the objective aspects (the amount of
allowance or income, allowance or income source, and the degree of peer social
support) that may affect the level of smoking dependence of teenage boys in

villages and city of Bogor. This study used a cross-tabulation analysis, Spearman
Rank and Chi-Square statistical test with a confidence level of 95 percent or α =
0.05. The samples were 30 teenage boys in Cimanggu One village and 30 teenage
boys in Kebon Kalapa village. The results showed that the knowledge level, the
amount of allowance or income, and the source of allowance and income of

teenagers have a significant relationship with the level of dependency of smoking
for teenagers in Cimanggu One village with α < 0.05. On the other hand, the study
indicated there is no relationship between the perception level and levels of social
support of peers and the levels of smoking dependence of teenagers. Additionally,
in the city, the results showed that all the variables of the subjective and objective
aspects have no relationship with the levels of smoking dependence of teenagers.
There is a choice of suitability smoking motives among teenage boys in the
village and the city.
Keywords: Smoking, Teenagers, Subjective, Objective

PERILAKU MEROKOK DI KALANGAN REMAJA LAKILAKI DESA DAN KOTA BOGOR

WINDA LISNAWATI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi

: Perilaku Merokok di Kalangan Remaja Laki-laki Desa dan
Kota Bogor

Nama

: Winda Lisnawati


NIM

: I34100096

Disetujui Oleh

Ir Nuraini W. Prasodjo, MS
Pembimbing

Diketahui Oleh

Dr Ir Siti Amanah, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

x

PRAKATA


Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Skripsi ini sendiri berjudul Perilaku Merokok di Kalangan Remaja Laki-laki Desa
dan Kota Bogor. Tak lupa ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Ir.
Nuraini W. Prasodjo, MS selaku dosen pembimbing yang senantiasa berkenan
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, saran dan kritik
yang membangun kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis
juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada keluarga besar pemuda
“Complex” wilayah RW 02 Desa Cimanggu Satu, kepada keluarga Bapak Deri
Hidayat, seluruh warga RW 02, dan berbagai pihak di Desa Cimanggu Satu yang
telah memberikan banyak informasi mengenai perilaku merokok remaja. Selain
itu juga ucapan terima kasih kepada keluarga Bapak Endang Sumardi di RW 07
Kelurahan Kebon Kalapa dan juga kepada seluruh warga serta berbagai pihak di
RW 07 Kelurahan Kebon Kalapa yang juga telah membantu dalam memberikan
informasi kepada penulis mengenai perilaku merokok remaja.
Terima kasih yang tak terhingga kepada Almarhum dan Almarhumah orang
tua tercinta, Mami (Winarti) dan Papi (Rudi Nyomo). Terimakasih karena
senantiasa mencurahkan kasih sayang, semangat, dukungan moril maupun materil
kepada penulis sejak awal penulis masuk universitas. Terima kasih pula kepada

kakak-kakak tersayang, terutama A Maya dan Ka Mpi sebagai donatur setia yang
senantiasa memberikan dukungan materil dan juga moril kepada penulis. Teman
spesial yaitu Widy dan juga sahabat-sahabat terbaik SKPM 47, khususnya Eva,
Ibnu, Rika, dan Rahma yang senantiasa memberikan semangat, masukan, saran,
candaan, dan kebersamaan yang sangat berharga dalam mengerjakan skripsi ini
hingga skripsi ini selesai. Terima kasih kepada teman dan kakak-kakak di Wisma
Rahayu khususnya Elok dan Mba Arni yang senantiasa memberikan semangat
kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, serta semua pihak yang
telah membantu sejak awal proses penulisan studi pustaka hingga penyelesaian
skripsi ini. Penulis mengharapkan skripsi ini nantinya dapat bermanfaat bagi
banyak pihak.

Bogor, Agustus 2014

Winda Lisnawati

xii

DAFTAR ISI


viii
DAFTAR ISI
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
ix
DAFTAR GAMBAR
xvi
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3

Kegunaan Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Perilaku Merokok
5
Aspek Pengaruh Perilaku Merokok
6
Remaja
10
Desa dan Kota
12
Kerangka Pemikiran
14
Definisi Operasional
17
PENDEKATAN LAPANGAN
19
Metode Penelitian
19

Lokasi dan Waktu Penelitian
19
Teknik Pemilihan Responden
19
Teknik Pengumpulan Data
20
Pengolahan dan Analisis Data
20
GAMBARAN UMUM
23
Kondisi Geografis
23
Kondisi Sosial dan Ekonomi
23
KARAKTERISTIK REMAJA LAKI-LAKI PEROKOK DI DESA CIMANGGU
SATU DAN DI KELURAHAN KEBON KALAPA
29
Usia Responden
29
Tingkat Pendidikan Responden

30
Status Pekerjaan Responden
30
Tingkat Pengetahuan Responden
32
Tingkat Persepsi Responden terahadap Perilaku Merokok
33
Pilihan Motif Merokok Responden
33
Jumlah Uang Saku atau Pendapatan Responden
34
Sumber Uang Saku atau Pendapatan Responden
34
Tingkat Dukungan Sosial Teman Sebaya Responden
35

xiv

HUBUNGAN ASPEK INDIVIDU DENGAN TINGKAT KETERGANTUNGAN
MEROKOK DI KALANGAN REMAJA LAKI-LAKI
37
Kecenderungan Tingkat Ketergantungan Merokok
37
Hubungan Pilihan Motif Merokok dengan Tingkat Ketergantungan
Merokok
39
Hubungan Sumber Uang Saku atau Pendapatan dengan Tingkat
Ketergantungan Merokok
41
Hubungan Jumlah Uang Saku atau Pendapatan dengan Tingkat
Ketergantungan Merokok
43
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tingkat Ketergantungan Merokok45
Hubungan Tingkat Persepsi dengan Tingkat Ketergantungan Merokok
47
Hubungan Tingkat Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Tingkat
Ketergantungan Merokok
49
PENUTUP
51
Simpulan
51
Saran
52
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
59
RIWAYAT HIDUP
71

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Perbandingan karakteristik desa dan kota
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Desa Cimanggu Satu
tahun 2014
Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Cimanggu Satu
tahun 2014
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Kelurahan Kebon
Kalapa tahun 2014
Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Kelurahan Kebon
Kalapa tahun 2014
Jumlah dan persentase responden berdasarkan kelompok usia di desa
dan kota, Bogor tahun 2014
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan di desa
dan kota, Bogor tahun 2014
Jumlah dan persentase responden menurut status pekerjaan di desa
dan kota, Bogor tahun 2014
Sebaran responden menurut tingkat ketergantungan merokok di desa
dan kota, Bogor tahun 2014

13
24
25
26
26
29
30
31
37

10

11
12
13

14

15

16

17

18

19
20
21

22

Nilai koefisien korelasi antara aspek subyektif dan aspek obyektif
individu dengan tingkat ketergantungan merokok remaja di desa dan
kota, Bogor tahun 2014
Persentase pilihan motif merokok remaja laki-laki di desa, Bogor
tahun 2014
Persentase pilihan motif merokok remaja laki-laki di kota, Bogor
tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat ketergantungan merokok menurut
sumber uang saku atau pendapatan remaja laki-laki perokok di desa,
Bogor tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat ketergantungan merokok menurut
sumber uang saku atau pendapatan remaja laki-laki perokok di kota,
Bogor tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat ketergantungan merokok menurut
jumlah uang saku atau pendapatan remaja laki-laki perokok di desa,
Bogor tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat ketergantungan merokok menurut
jumlah uang saku atau pendapatan remaja laki-laki perokok di kota,
Bogor tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat ketergantungan merokok menurut
tingkat pengetahuan remaja laki-laki perokok di desa, Bogor tahun
2014
Jumlah dan persentase tingkat ketergantungan merokok menurut
tingkat pengetahuan remaja laki-laki perokok di kota, Bogor tahun
2014
Jumlah dan persentase tingkat ketergantungan merokok menurut
tingkat persepsi remaja laki-laki perokok di desa, Bogor tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat ketergantungan merokok menurut
tingkat persepsi remaja laki-laki perokok di kota, Bogor tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat ketergantungan merokok menurut
tingkat dukungan sosial teman sebaya remaja laki-laki perokok di
desa, Bogor tahun 2014
Jumlah dan persentase tingkat ketergantungan merokok menurut
tingkat dukungan sosial teman sebaya remaja laki-laki perokok di
kota, Bogor tahun 2014

38
39
40

41

43

44

45

46

47
47
48

49

50

xvi

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8

Kerangka analisis pengaruh hubungan aspek subyektif dan obyektif
terhadap perilaku merokok remaja Laki-laki di desa dan kota
Persentase tingkat pengetahuan responden di desa dan kota, Bogor
tahun 2014
Persentase tingkat persepsi responden terhadap rokok di desa dan kota,
Bogor tahun 2014
Persentase jumlah uang saku atau pendapan responden di desa dan kota,
Bogor tahun 2014
Persentase sumber uang saku atau pendapatan responden di desa dan
kota, Bogor tahun 2014
Persentase tingkat dukungan sosial teman sebaya responden di desa dan
kota, Bogor tahun 2014
Peta Desa Cimanggu Satu
Peta Kelurahan Kebon Kalapa

20
32
33
34
35
36
59
60

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5

Denah lokasi penelitian
Kerangka Sampling
Rangking pendapat kelompok remaja Laki-laki di desa dan di kota
tentang pilihan motif merokok
Hasil uji statistik
Tabel penolong untuk menghitung Rank Spearman pilihan motif
merokok

59
61
62
65
69

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Makan, minum, dan memilih pangan merupakan kegiatan yang sering
dilakukan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Pangan sendiri menurut UU
Nomor 18 a tahun 2012 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan atau pembuatan makanan/minuman. Berdasarkan definisi tersebut, dapat
ditekankan bahwa pangan merupakan “sumber hayati” dan “sesuatu yang dapat
diolah”, sehingga dalam hal ini rokok dapat dikelompokkan sebagai pangan.
Perilaku merokok dapat memberikan kepuasan kepada individu melalui
hasil pembakaran tembakau yang dihisap ke dalam mulut. Perilaku merokok ini
diduga dipengaruhi banyak hal, salah satunya karena pengaruh dari media. Saat
ini iklan-iklan rokok di berbagai media semakin marak hadir di tengah
masyarakat. Iklan-iklan tersebut sebagai bentuk sarana promosi penjualan rokok
yang diekspos ke dalam berbagai bentuk media massa, seperi televisi, internet,
majalah, papan reklame, spanduk, dan lain sebagainya. Berbagai bentuk iklan ini
tentu dapat diakses oleh masyarakat dari berbagai kalangan, tidak mengenal usia
baik anak muda hingga orang tua, jenis kelamin baik perempuan maupun lakilaki, dan di desa maupun di kota. Selain dari gencarnya promosi iklan-iklan
tersebut, produk rokok seringkali menjadi sponsor di acara-acara yang dapat
diakses oleh semua kalangan masyarakat. Iklan-iklan rokok pun dikemas menarik
dan menampilkan aktor dan aktris papan atas dengan segala kemewahan dan citra
positifnya. Alasannya karena salah satu sasaran industri tembakau adalah
memotivasi individu atau remaja untuk merasa dewasa dengan memasukkan
orang-orang “keren” yang merokok dalam iklan-iklan mereka (Santrock 2003).
Tayangan iklan tersebut mendorong individu untuk menghubungkan rokok
dengan gaya hidup sukses dan aktif, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
perilaku merokok mereka.
Tayangan iklan rokok ini kini marak di lingkungan sekitar masyarakat, baik
di desa maupun di kota. Pada lingkungan desa, iklan-iklan tersebut biasanya hadir
dalam bentuk iklan di televisi, spanduk di warung dan terkadang papan reklame di
pinggir jalan. Sementara di kota, biasanya diekspos dalam bentuk iklan di televisi,
internet, papan reklame di pinggir jalan raya, majalah, dan lain sebagainya. Semua
media ini dapat diakses oleh semua kalangan, terutama remaja karena dengan
segala aktivitasnya memungkinkan dapat lebih menjangkau semua media yang
ada.
Perilaku merokok seorang remaja juga dapat dipengaruhi oleh teman
sebaya, karena perilaku individu sangat dipengaruhi oleh kelompok sosial
(Santoso 2010). Kelompok sosial ini terkadang dapat memberikan keuntungan
dan kerugian pada individu, seperti dapat mempengaruhi perilaku merokoknya.

2

Rasa solidaritas antar teman, yang dapat membuat seorang individu sulit menolak
ajakan seorang atau sekelompok teman meskipun dalam hal yang bersifat negatif.
Hal ini biasa disebut sebagai konformitas, yang artinya individu meniru sikap atau
tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang
dibayangkan oleh mereka (Santrock 2003).
Kenyataannya perilaku merokok ini dapat dipengaruhi oleh banyak hal,
meskipun demikian ternyata perilaku merokok ini merupakan perilaku yang
berbahaya bagi kesehatan diri sendiri dan juga orang lain di sekitarnya. Pengaruh
bahan-bahan kimia yang dikandung rokok seperti nikotin, CO (Karbondioksida)
dan tar akan menyebabkan berbagai penyakit. Bahan kimia ini akan memacu kerja
dari susunan syaraf pusat dan susunan syaraf simpatis sehingga mengakibatkan
tekanan darah meningkat dan detak jantung bertambah cepat. Selain itu, bahan
kimia tersebut juga menstimuli penyakit kanker dan penyakit lainnya seperti
penyempitan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, jantung, paru-paru, dan
bronchitis kronis (Kaplan dan Hammen dalam Komasari dan Helmi 2000).
Apabila dilihat dari sisi orang di sekitarnya, merokok dapat menimbulkan
dampak negatif bagi perokok pasif. Pada kenyataannya resiko yang ditanggung
perokok pasif lebih berbahaya dari perokok aktif karena daya tahan terhadap zatzat yang berbahaya sangat rendah (Safarino dalam Cahyani 1995).
Pemerintah jelas sudah membuat berbagai peraturan terkait penekanan
angka konsumsi rokok di Indonesia, diantaranya adalah Peraturan Pemerintah
nomor 19 tahun 2003 yang mewajibkan setiap Pemerintah Daerah untuk
menetapkan kawasan tanpa rokok (KTR). Selain itu, terdapat juga peraturan
tentang perlindungan terhadap masyarakat yang ditegaskan melalui kewajiban
pencantuman label peringatan pada setiap produk rokok, yaitu dengan kalimat
“merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan
gangguan kehamilan dan janin”. Bahkan saat ini terjadi perubahan tag line pada
iklan produk rokok tersebut terkait menyusul berlakunya Peraturan Pemerintah
nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif
Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Tag line tersebut berupa kalimat
“Merokok Membunuhmu!”, serta peringatan “18+” (Sulaiman 2013). Bebagai
peraturan pemerintah ini ditujukan demi melindungi kesehatan masyarakat dari
dampak buruk yang akan ditimbulkan perilaku merokok. Namun, faktanya jumlah
perokok bukan semakin menurun tetapi semakin meningkat. Sepuluh tahun
terakhir ini, konsumsi rokok di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 44.1
persen dan jumlah perokok mencapai 70 persen penduduk Indonesia (Fatmawati
2006). Selama kurun waktu 2005 sampai 2008, konsumsi rokok pun meningkat
tajam dari sekitar 214 milyar batang menjadi sekitar 240 milyar batang per tahun.
Tingginya tingkat konsumsi rokok menunjukkan meskipun rokok
merupakan produk yang berbahaya, namun penerimaan adanya rokok cukup
tinggi dalam masyarakat. Sejumlah studi pun menemukan bahwa perilaku
merokok dimulai pada usia 11-13 tahun dan terjadi akibat pengaruh lingkungan
sosial (Smet 1994). Usia remaja yang mulai merokok berkaitan dengan adanya
krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya yaitu masa
ketika mereka sedang mencari jati dirinya (Erikson dalam Gatchel 1989). Hasil
dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) sendiri menunjukkan bahwa proporsi
perokok terus meningkat. Proporsi penduduk umur ≥ 15 tahun yang merokok dan
mengunyah tembakau cenderung meningkat berturut-turut dari 34.2 persen, 34.7

3

persen, dan 36.3 persen (Riskesdas 2007, 2010, 2013). Data lain juga
menunjukkan prevalensi perokok laki-laki selalu jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan perempuan dan juga angka perokok lebih tinggi di perdesaan
dibandingkan dengan di perkotaan (Susenas 1995, 2001, 2004; Riskesdas 2007).
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Daerah (Suseda) Kota Bogor tahun
2002, Bogor memiliki angka konsumsi rokok relatif tinggi di Jawa Barat yakni
sebesar 22.51 persen perokok berusia di atas 10 tahun. Dari persentase tersebut,
68.5 persen menghisap rokok tujuh hingga dua belas batang per harinya (Pratami
2011). Bahkan data lain menyebutkan jumlah konsumsi rokok 41 398 keluarga
miskin di Kota Bogor mencapai 1.7 miliar rupiah perbulan atau 20.5 miliar rupiah
per tahun. Nilai ini lebih besar dibandingkan biaya kesehatan dan rumah tangga
mereka yang kurang dari satu miliar rupiah per bulan serta jumlah perokok remaja
usia 13-15 dari tahun ke tahun pun meningkat 3 sampai 5 persen (Purnama 2008).
Oleh karena Bogor terdiri dari bagian wilayah kotamadya dan kabupaten, menarik
bagi peneliti untuk mengetahui bagaimana kecenderungan perilaku
ketergantungan merokok yang terjadi pada remaja laki-laki saat ini terkait tempat
tinggalnya yaitu desa dan kota Bogor.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini akan diarahkan untuk
melihat beberapa masalah penelitian yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kecenderungan perilaku merokok di kalangan remaja lakilaki perokok di desa dan kota Bogor?
2. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kecenderungan perilaku
merokok remaja laki-laki di desa dan kota Bogor?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka secara umum penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
remaja laki-laki untuk merokok. Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi kecenderungan perilaku merokok di kalangan remaja
laki-laki perokok di desa dan kota Bogor
2. Menganalisis faktor yang mempengaruhi perilaku merokok di kalangan
remaja laki-laki di desa dan kota Bogor.

4

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi akademisi,
pembuat kebijakan, dan masyarakat pada umumya mengenai kajian perilaku
merokok di kalangan remaja laki-laki. Secara spesifik dan terperinci manfaat yang
didapatkan oleh berbagai pihak adalah sebagai berikut:
1. Bagi akademisi
Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
penelitian mengenai kecenderungan perilaku merokok remaja laki-laki
yang terjadi di desa dan kota Bogor
2. Bagi masyarakat
Bagi masyarakat khususnya pembaca, penelitian ini diharapkan dapat
menambah pengetahuan mengenai faktor yang berpengaruh pada perilaku
merokok dan dampak konsumsi rokok serta solusi yang dapat diambil
untuk menanggulangi dampak buruknya
3. Bagi instansi terkait
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dan pemberi
informasi relevan mengenai kecenderungan perilaku merokok remaja lakilaki di desa dan kota Bogor, menjadi pertimbangan untuk kemungkinan
memperluas dan mempertegas kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
dan dapat memperluas pelaksanaan berbagai kegiatan penyuluhan kepada
remaja tentang bahaya merokok oleh LSM dan pihak pemerintah di Bogor.

5

TINJAUAN PUSTAKA

Perilaku Merokok
Perilaku merokok merupakan perilaku yang dilakukan seseorang berupa
membakar tembakau, menghisap, dan menghembuskan asap dari mulut (Levy
dalam Aini 2013). Pada umumnya, prinsip dari perilaku merokok adalah sebagai
tindakan untuk memperoleh kenikmatan. Seseorang akan berperilaku merokok
karena sebelumnya Ia telah memiliki persepsi tertentu mengenai merokok
(Leventhal dan Cleary dalam Cahyani 1995). Selain itu juga karena adanya
kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan psikologis yang dapat dipenuhi setelah
merokok, yang dapat menjadi motivator kuat seseorang untuk terus merokok.
Laventhal dan Clearly dalam Cahyani (1995) juga menyebutkan bahwa
terdapat empat tahap dalam perilaku merokok sehingga seorang individu menjadi
perokok, yaitu:
1. Tahap Preparatory. Seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan
mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan
yang menimbulkan minat untuk merokok.
2. Tahap Initiation. Tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang
akan meneruskan atau tidak terhadap perilaku merokok.
3. Tahap Becoming a smoker. Tahap yang apabila seseorang telah
mengkonsumsi rokok sebanyak empat batang per hari, maka mempunyai
kecenderungan menjadi perokok.
4. Tahap Maintenance of smoking. Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu
bagian dari cara pengaturan diri (self-regulating). Merokok dilakukan untuk
memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.
Perilaku merokok itu sendiri terbagi ke dalam beberapa kategori. Perilaku
merokok berat (merokok lebih dari 20 batang per hari), perilaku merokok sedang
(merokok 11-20 batang per hari), dan perilaku merokok ringan (merokok 1-10
batang per hari) (Suhardi et al. dalam Solihin 2011). Sementara Smet (1994), juga
membagi perilaku merokok ke dalam tiga kategori yaitu perilaku merokok
kategori ringan (menghisap rokok 1-4 batang dalam sehari), perilaku merokok
kategori sedang (menghisap rokok 5-14 batang dalam sehari), dan perilaku
merokok kategori berat (menghisap rokok lebih dari 14 batang rokok dalam
sehari).
Terdapat beberapa faktor yang mungkin dapat mempengaruhi perilaku
merokok. Penelitian yang dilakukan oleh Komasari dan Helmi (2000) terhadap 90
orang remaja perokok berusia 15 sampai 18 tahun di Yogyakarta menunjukkan
bahwa perilaku merokok pada remaja dapat disebabkan oleh kepuasan psikologis,
sikap permisif orang tua terhadap merokok, dan pengaruh lingkungan terutama
teman sebaya. Selain itu, ada juga yang berpendapat kebiasaan atau perilaku
merokok pada seseorang dapat disebabkan oleh alasan coba-coba atau iseng
(Purwanto dalam Solihin 2011) dan juga meningkatkan penampilan atau
kenyamanan psikologis (Aditama & Bernida 1995 dalam Wahyuni 1999).

6

Aspek Pengaruh Perilaku Merokok
Aspek Subyektif Individu
Aspek subyektif individu merupakan segala hal yang masih berada dalam
diri individu yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam kaitannya dengan rokok, aspek subyektif individu ini diduga
terdiri dari beberapa hal, diantaranya adalah:

Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (Notoatmodjo 2007).
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa pengetahuan merupakan hasil
gabungan antara kemampuan, pengalaman, intuisi, gagasan, dan motivasi dari
sumber yang kompeten sehingga membentuk sebuah informasi dan data (Hendrik
dalam Solihin 2011). Remaja seringkali tertarik untuk mencoba kenikmatan
rokok, yang diduga karena pengaruh dari melihat perilaku merokok yang
dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya seperti orang tua, saudara, teman,
bahkan public figure, serta kurangnya pengetahuan remaja tentang rokok. Konsep
adopsi perilaku menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi suatu perilaku
tertentu, Ia akan melewati tahap awal yang disebut awareness yaitu adanya
kesadaran akan adanya suatu stimuli tertentu (Rogers dalam Solihin 2011).
Artinya orang tersebut akan mempunyai sebuah pengetahuan baru yang
disebabkan adanya stimuli yang diterimanya. Perilaku merokok yang terjadi pada
seseorang merupakan buah dari proses panjang yang dimulai dari adanya
pengetahuan yang disebabkan oleh suatu stimuli tertentu. Stimuli tersebut dapat
berasal dari lingkungan sosial maupun media informasi. Menurut hasil penelitian
Setianingrum (2009) dengan subjek penelitian remaja di Desa Boro Wetan
Kecamatan Banyuurip Kabupaten Purworejo, menunjukkan bahwa ada hubungan
negatif antara pengetahuan remaja dengan perilaku merokok. Artinya semakin
tinggi tingkat pengetahuan remaja tentang bahaya merokok maka semakin ringan
perilaku merokoknya, dan sebaliknya. Ketika remaja memang memiliki
pengetahuan yang tinggi dan mantap akan kandungan rokok, dampaknya bagi
kesehatan, dan bahaya dari asap rokok itu sendiri, maka kemungkinan remaja
tersebut dapat lebih menimbang untung atau ruginya rokok dan perilaku merokok
tersebut bagi tubuh dan lingkungan sekitar mereka.

Persepsi
Tiga faktor utama yang mempengaruhi seseorang untuk merokok, yaitu: (1)
sikap dan kepercayaan terhadap merokok, (2) pengaruh proses sosial, (3) proses
konsep diri (Brigham dalam Cahyani 1995). Menurut penelitian Soamole (2005)
yang meneliti hubungan antara sikap terhadap merokok dengan kebiasaan
merokok pada siswa di SMAN 1 Jasinga, Bogor, bahwa tindakan merokok di
awali dari adanya suatu sikap, yaitu kecenderungan seseorang untuk menerima
atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap respon yang datang dari luar,
dalam hal ini adalah rokok. Sikap remaja terhadap rokok tidak begitu saja muncul
pada remaja, tetapi bisa saja disebabkan oleh hasil evaluasinya terhadap orang
yang merokok sehingga membentuk sebuah pengalaman baru yang
mempengaruhi perasaannya yang pada akhirnya ikut menentukan kecenderungan
apakah remaja tersebut berperilaku merokok atau tidak. Penelitian yang dilakukan

7

oleh Soamole ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan antara sikap terhadap
merokok dengan perilaku merokok. Soamole melihat adanya inkorelasi antara
komponen sikap yang menjadikan korelasi antara sikap dengan perilaku tidak
signifikan. Alasan coba-coba dan dorongan teman menjadikan remaja yang diteliti
Soamole berperilaku merokok walaupun sikapnya terhadap merokok cenderung
negatif.
Seperti yang juga telah disebutkan sebelumnya, seseorang akan berperilaku
merokok karena sebelumnya Ia telah memiliki persepsi tertentu mengenai
merokok (Leventhal dan Cleary dalam Cahyani 1995). Persepsi itu sendiri
merupakan proses pengaturan dan penerjemahan informasi sensorik oleh otak
(Wade C dan Tavris C 2007). Perilaku merokok merupakan suatu perilaku yang
dapat menimbulkan persepsi tertentu pada diri seseorang. Dikatakan oleh Ajzen
dan Fishbein dalam Ariyani (2004), setiap orang akan memiliki persepsi yang
bersifat positif ataupun negatif terhadap suatu objek atau stimulus tertentu.
Persepsi terhadap merokok ini terbentuk melalui melihat, mendengar, dan
membaca berdasarkan pengalaman (Ariyani 2004). Melihat dari berbagai
penjelasan tertang persepsi ini, dapat disimpulkan bahwa pengertian persepsi
berbeda dengan sikap. Persepsi dipandang sebagai proses pengorganisasian dan
penginterpretasian terhadap suatu stimuli tertentu, sedangkan sikap adalah
kecenderungan individu untuk berperilaku tertentu berdasarkan hasil persepsinya.
Persepsi berperan penting dalam pembentukkan perilaku individu. Individu
cenderung mempunyai perilaku yang sejalan dengan persepsinya. Pada kasus
perokok, persepsi terhadap rokok yang terbentuk biasanya positif. Perilaku
merokok dapat terjadi karena individu mempunyai persepsi yang salah tentang
dampak negatif merokok. Persepsi yang salah terhadap dampak negatif merokok
terjadi pada mahasiswa (18-24 tahun) yang menjadi subjek penelitian Hoefer et al.
(2004). Walaupun sebagian besar subjek penelitiannya menganggap rokok dapat
memberikan efek ketergantungan, tetapi persepsi terhadap efek jangka panjang
merokok terhadap kesehatan berbeda antara perokok dan bukan perokok. Lebih
banyak dari mereka yang tidak merokok menganggap bahwa merokok beberapa
kali dalam seminggu atau beberapa batang dalam sehari berbahaya bagi
kesehatan. Sementara itu, hanya sebagian kecil dari mereka yang merokok
mempunyai pandangan tersebut. Hal tersebut bisa disebut sebagai personal fabel
yaitu suatu persepsi yang terjadi pada seseorang (remaja), mereka akan
menganggap diri mereka unik sehingga walaupun hal yang buruk terjadi pada
orang lain, hal buruk tersebut tidak akan menimpa diri mereka (Elkind dalam
Solihin 2011).
Terkait dalam hal dampak merokok terhadap kesehatan, tidak semuanya
perilaku merokok timbul karena adanya persepsi yang salah mengenai dampak
merokok terhadap kesehatan. Hasil penelitian Bird et al. (2006) terhadap 506
pelajar SD berusia 11-13 tahun yang merokok atau pernah merokok menunjukkan
bahwa 95.8 persen subjek penelitian menganggap perilaku merokok
membahayakan kesehatan mereka. Selain kesehatan diri sendiri, 95.6 persen
subjek penelitian menganggap merokok juga dapat membahayakan kesehatan
orang lain. Sebanyak 85.6 persen subjek penelitian setuju tentang adanya larangan
merokok di tempat umum. Dapat disimpulkan bahwa adanya pengetahuan tentang
dampak negatif rokok terhadap kesehatan kurang efektif untuk mencegah perilaku

8

merokok, adanya faktor sosial lain seperti peer group dan keluarga tampaknya
lebih berpengaruh pada pembentukkan persepsi yang positif terhadap rokok.
Sementara hasil penelitian Lee et al. (2003) menunjukkan bahwa subjek
penelitiannya menganggap perilaku merokok dapat membuat mereka terlihat
“keren” dan populer di dalam peer group. Persepsi positif yang terbentuk tersebut
dipengaruhi oleh hasil interpretasi mereka terhadap lingkungan sosial terutama
peer group yang berstatus perokok. Walaupun mereka mengetahui dampak
negatif rokok terhadap kesehatan, mereka akan tetap berperilaku merokok.
Selain persepsi yang dimiliki oleh seorang remaja terhadap rokok, terdapat
pula persepsi lingkungan sosial remaja terhadap rokok dan perilaku merokok yang
dapat mempengaruhi perilaku merokok remaja. Persepsi lingkungan sosial
terhadap rokok dan perilaku merokok ini dialami oleh individu remaja dalam
proses sosialisasinya dengan lingkungan sosialnya. Proses sosialisasi ini
dibedakan menjadi sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder (Peter L Berger &
Thomas Luckmann dalam Prasodjo 1987). Sosialisasi primer adalah sosialiasi
individu atau remaja pada masa kanak-kanak sampai menjadi anggota masyarakat,
dalam hal ini keluarga atau orang tua yang memegang peranan penting dalam
proses sosialisasi. Lain halnya dengan sosialisasi sekunder merupakan sosialisasi
terhadap individu anggota masyarakat pada saat remaja memasuki sektor-sektor
baru dalam dunia objektif masyarakat, dalam hal ini teman sebaya dan tokoh
masyarakat yang memegang peran dalam sosialisasi remaja terhadap lingkungan
masyarakatnya. Oleh karena proses sosialisasi ini sangat penting dalam
membentuk perilaku remaja, maka persepsi lingkungan sosial (orang tua, teman
sebaya, tokoh masyarakat) terhadap rokok dan perilaku merokok ini juga diduga
akan mempengaruhi aspek subyektif seorang remaja itu sendiri tentang perilaku
merokok yang kemudian akan mempengaruhi perilaku merokoknya sehari-hari.


Pilihan Motif Merokok
Menurut hasil riset yang telah ditemukan sebelumnya, pengambilan suatu
keputusan yang dilakukan oleh seseorang dalam hal pangan dapat dikatakan
sebagai kegiatan yang cukup kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai macam
aspek dan interaksi antar aspek. Pengambilan keputusan ini bisa diambil secara
sadar maupun tidak sadar. Keputusan yang diambil secara tidak sadar dalam
pemilihan konsumsi suatu pangan biasanya disebabkan oleh faktor kebiasaan (Ji
2007). Keteraturan dalam konsumsi, pembelian, dan perilaku lain akan
menciptakan suatu kebiasaan atau kecenderungan perilaku untuk ulangi dan
dilakukan secara otomatis oleh keadaan yang juga berulang (Neal, Kayu, dan
Quinn 2006; Triandis 1977, 1980 dalam Ji 2007). Seseorang akan terus
mengulangi perilaku masa lalu mereka dalam konsumsi pangan, meskipun
memegang niat yang tidak sesuai secara sistematis dengan tingkat pengulangan
yang tinggi.
Keputusan yang di ambil secara sadar itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor. Menurut Steptoe et al. dalam Sun (2007), terdapat sebuah
Kuesioner Pilihan Makanan (Food Choice Questionnaire) yang telah digunakan
secara luas untuk menilai dampak motif yang berbeda pada pilihan makanan.
Motif yang dimaksud disini adalah dorongan yang menggerakkan seseorang
bertingkah laku dikarenakan adanya kebutuhan. Kuesioner Pilihan Makanan atau

9

Food Choice Questionnaire (FCQ), merupakan instrumen yang mengukur
pentingnya sembilan motif yang mendasari pilihan makanan. Sembilan motif yang
mendukung motivasi pilihan pangan tersebut adalah (1) kesehatan, (2)
kenyamanan, (3) harga, (4) daya tarik sensorik, (5) suasana hati, (6) kandungan,
(7) pengendalian berat badan, (8) keakraban, dan (9) masalah etika atau norma
(Sun 2007). Selain itu terdapat juga motif pilihan pangan atas pertimbangan
stereotip orang lain (Herman 2006). Pangan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah rokok. Berbagai macam motif ini kemudian dimodifikasi menjadi motif
yang erat kaitannya dengan perilaku merokok yang dilakukan oleh remaja dan
juga didukung oleh hasil-hasil penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya.
Aspek Objektif Individu
Selain aspek yang ada dalam diri individu atau aspek subyektif individu,
terdapat juga aspek lain yang berada di luar diri individu atau disebut sebagai
aspek obyektif individu yang diduga dapat mempengaruhi perilaku merokok.
Aspek obyektif individu ini terdiri atas jumlah uang saku atau pendapatan yang
diterima setiap bulan, sumber uang saku atau pendapatan yang diterima setiap
bulan, dan dukungan sosial teman sebaya.
Jumlah uang saku atau pendapatan merupakan jumlah nominal uang yang
diperoleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari selama sebulan terakhir.
Jumlah uang saku atau pendapatan yang diterima individu ini diduga dapat
mempengaruhi perilaku merokok remaja. Dalam konteks ini, remaja diduga akan
mengatur uangnya untuk membeli segala yang Ia butuhkan, dari kebutuhan
primer, sekunder, dan tersier, termasuk dalam membeli rokok untuk konsumsi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tjahjaprijadi dan Indarto (2003)
menunjukkan bahwa pada rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT), tingkat
pendapatan memiliki nilai probabilitas yang lebih besar dari tingkat signifikansi
yang artinya tingkat pendapatan tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok SKT.
Pendapatan perokok tidak menentukan banyaknya rokok SKT yang dikonsumsi,
faktor ketagihan terhadap rokok SKT juga tidak dipengaruhi oleh pendapatan
perokoknya. Sementara hasil dari rokok Sigaret Kretek Mesin (SPM),
manunjukkan adanya pengaruh tingkat pendapatan terhadap konsumsi rokok
SPM. Artinya bahwa kenaikan dari tingkat pendapatan akan direspon dengan
naiknya konsumsi rokok SPM. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat
hubungan antara tingkat pendapatan perokok dengan konsumsi rokoknya.
Sementara sumber uang saku atau pendapatan adalah asal uang saku atau
pendapatan yang diperoleh individu setiap bulannya, baik dari orang tua,
pekerjaan, maupun gabungan dari pekerjaan dan orang tua. Sumber uang saku
atau pendapatan ini juga diduga dapat mempengaruhi perilaku merokok individu
remaja. Apabila remaja masih duduk di bangku sekolah biasanya pendapatan yang
diperoleh berasal dari orang tua atau biasa yang disebut dengan uang saku.
Sumber uang saku atau pendapatan yang berasal dari orang tua diduga akan lebih
mengendalikan pengeluaran remaja untuk membeli segala sesuatunya. Apabila
remaja sudah bekerja maka pendapatan yang diperoleh berasal dari hasil kerjanya
atau gaji dan biasanya remaja bisa lebih bebas dalam menggunakan
pendapatannya. Sementara apabila remaja mendapatkan uang saku atau
pendapatan yang berasal dari gaji dan juga dari orang tuanya, diduga remaja akan

10

memiliki kewenangan untuk menggunakan pendapatannya jauh lebih bebas
karena merasa memiliki sumber penghasilan ganda.
Dukungan sosial teman sebaya, juga diduga turut mempengaruhi perilaku
merokok seorang remaja. Dukungan sosial merupakan rasa nyaman secara fisik
dan psikologis yang diberikan oleh para sahabat dan keluarga kepada orang yang
menghadapi stres agar berada dalam keadaan fisik yang lebih baik dan dapat
mengatasi stres yang dialaminya (Baron dan Byrne dalam Hikmah 2012).
Sementara sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kirakira sama, berfungsi sebagai sumber informasi dan perbandingan tentang dunia
luar selain keluarga (Santrock 2007). Latar belakang timbulnya kelompok sebaya
yaitu perkembangan proses sosialisasi yang terjadi di usia remaja (Santosa 2006).
Individu di usia remaja umumnya mencari kelompok yang sesuai dengan
keinginannya agar dapat saling berinteraksi satu sama lain dan merasa diterima
dalam kelompok. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa terdapat
beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku merokok remaja juga
dipengaruhi oleh keberadaan peer group nya itu sendiri. Berdasarkan hasil
penelitian Komasari dan Helmi (2000) menunjukkan bahwa lingkungan teman
sebaya memberikan sumbangan yang berarti dalam perilaku merokok remaja. Hal
ini berarti lingkungan teman sebaya mempunyai arti yang sangat penting, karena
remaja tidak ingin dirinya ditolak dan menghindari sebutan ‘banci’ atau
‘pengecut’. Lain halnya dengan hasil penelitian Azizah (2013) yang menunjukkan
bahwa tidak adanya hubungan antara teman sebaya dengan perilaku merokok
anak jalanan di kota Makassar tahun 2013. Hal ini mungkin terjadi karena faktorfaktor lain yang menyebabkan remaja tidak ikut terpengaruh dengan perilaku
merokok teman sebayanya, seperti pengaruh keluarga ataupun media massa.

Remaja
Istilah remaja yang dikenal dalam bahasa inggris “adolescence” berasal dari
bahasa latin “adolescere” (kata benda, adolescence yang berarti remaja) yang
berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Masih
terdapat berbagai pendapat mengenai usia kronologis berapa usia anak dapat
dikatakan remaja. Remaja merupakan individu yang berada pada usia 12 sampai
18 tahun (Harlock 1981 dalam Widianti 2007). Lain halnya dengan Monks (2002)
yang mendefinisikan remaja sebagai suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa, berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Serupa
dengan Monks, Gunarsa dan Gunarsa (2003) menyatakan bahwa masa remaja
sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, meliputi semua
perkembangan yang dialami untuk persiapan memasuki masa dewasa. Semua
aspek perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara umur
12 sampai 21 tahun, dengan pembagian periode usia menjadi 12 sampai 15 tahun
masa remaja awal, 16 sampai 18 tahun masa remaja pertengahan, dan 19 sampai
21 tahun adalah masa remaja akhir.

11

Tahap perkembangan masa remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu:
a.
Masa remaja awal (12-15 tahun) dengan ciri khas antara lain:
1. Lebih dekat dengan teman sebaya
2. Ingin bebas
3. Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir
abstrak.
b.
Masa remaja tengah (16-18 tahun) dengan ciri khas antara lain:
1. Mencari identitas diri
2. Timbulnya keinginan untuk kencan
3. Mempunyai rasa cinta yang mendalam
4. Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak
5. Berkhayal tentang aktivitas seks.
c.
Masa remaja akhir (19-21 tahun) dengan ciri khas antara lain:
1. Pengungkapan identitas diri
2. Lebih selektif dalam mencari teman sebaya
3. Mempunyai citra jasmani dirinya
4. Dapat mewujudkan rasa cinta
5. Mampu berpikir abstrak.
Erikson dalam Santrock (2007) menyatakan bahwa pada masa remaja,
remaja akan mencermati siapa dirinya, bagaimanakah dirinya, dan arah kehidupan
mereka. Pertanyaan mengenai identitas ini akan muncul selama rentang kehidupan
remaja, ketika mereka mulai menyadari mereka akan bertanggung jawab terhadap
diri mereka sendiri dan kehidupan mereka, remaja mulai mencari kehidupan
seperti apa yang akan mereka jalani. Selain itu, dalam proses pencarian identitas
pada diri remaja ini juga akan sering menimbulkan berbagai masalah pada diri
remaja tersebut. Secara garis besar timbulnya masalah pada remaja disebabkan
oleh berbagai faktor yang cukup kompleks (Gunarsa 1989), diantaranya adalah:
1.
Adanya perubahan-perubahan biologis dan psikologis yang sangat pesat
pada masa remaja yang akan memberikan dorongan tertentu yang sangat
kompleks
2.
Orang tua dan pendidik kurang siap untuk memberikan informasi yang
benar dan tepat waktu karena ketidaktahuannya
3.
Perbaikan gizi yang menyebabkan menstruasi menjadi lebih dini. Kejadian
kawin muda masih banyak terutama di pedesaan. Sebaliknya, di perkotaan
kesempatan untuk bersekolah dan bekerja menjadi lebih terbuka bagi wanita
sehingga usia kawin bertambah. Kesenjangan antara menstruasi dan usia
kawin yang makin panjang dan disertai pergaulan yang makin bebas tidak
jarang menimbulkan masalah
4.
Membaiknya sarana komunikasi dan transportasi akibat kemajuan teknologi
sehingga sulit melakukan seleksi terhadap informasi dari luar
5.
Pembangunan ke arah industrialisasi disertai pertambahan penduduk yang
menyebabkan peningkatan urbanisasi, berkurangnya sumber daya alam dan
terjadi perubahan tata nilai. Ketimpangan sosial dan individualisme sering
memicu terjadinya konflik perorangan maupun kelompok. Lapangan kerja
yang kurang memadai dapat memberikan dampak yang kurang baik
sehingga remaja menderita frustrasi dan depresi yang menyebabkan mereka
mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan negatif

12

6.

Kurangnya pemanfaatan penggunaan sarana untuk menyalurkan gejolak
remaja. Perlu adanya penyaluran sebagai substitusi yang positif ke arah
pengembangan keterampilan yang mengandung unsur kecepatan dan
kekuatan, misalnya olahraga.

Desa dan Kota
Desa merupakan tempat tinggal bagi suatu kelompok masyarakat yang
relatif kecil. Koentjaraningrat (1984) memberikan pengertian tentang desa melalui
pemilahan pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas besar (seperti:
kota, negara bagian, negara) dan komunitas kecil (seperti: desa, rukun tetangga
dan sebagainya). Dalam hal ini Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai
komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat dan tidak memberikan
penegasan bahwa komunitas desa secara khusus tergantung pada sektor pertanian.
Dengan kata lain, masyarakat desa sebagai sebuah komunitas kecil itu dapat saja
memiliki ciri-ciri aktivitas ekonomi yang beragam, tidak di sektor pertanian saja.
Bertolak dari kenyataan umum maupun secara teoritis, untuk memahami
pengertian tentang desa tampaknya juga tidak dapat mengabaikan perspektif
evolusi. Konsep-konsep desa (village), kota kecil (town), dan kota besar (city)
yang sering dilihat sebagai suatu gejala yang berkaitan satu sama lain dalam
bentuk suatu jaringan atau pola tertentu dalam proses kontinuitas perubahan.
Istilah desa (village) dapat diterapkan untuk dua pengertian. Pertama, desa
diartikan sebagai pemukiman para petani, terlepas dari ukuran besar-kecilnya.
Kedua, terdapat juga desa-desa perdagangan (Bergel dalam Indrizal 2006). Desa
perdagangan tidak berarti bahwa seluruh penduduk desa terlibat dalam kegiatan
perdagangan, melainkan hanya sejumlah orang saja dari desa itu yang memiliki
mata pencaharian dalam bidang perdagangan. Ada pula kota kecil (town) yang
didefinisikan sebagai suatu pemukiman perkotaan yang mendominasi lingkungan
perdesaan dalam pelbagai segi. Yang perlu mendapat tekanan di sini adalah
pengertian “dominasi“. Kota kecil bukan sekedar kota karena ukurannya yang
lebih besar dari pada desa. Sebuah desa hanya melayani orang-orang pedesaan.
Desa tidak memiliki pengaruh-pengaruh terhadap daerah-daerah sekitarnya, baik
dari segi politik, ekonomi, maupun kultural.
Kota besar (city) didefinisikan sebagai suatu pemukiman perkotaan yang
mendominasi sebuah kawasan (region) baik pedesan maupun perkotaan, dan
dalam banyak hal perbedaan antara kota kecil dan kota besar hanyalah bersifat
gradual. Tetapi satu karakteristik dari kota besar yang tidak dimiliki kota kecil
adalah kompleksitasnya. Kota kecil walaupun dalam derajat tertentu memiliki
fungsi ganda, namun hakekatnya hanya satu fungsi saja yang dikembangkan, yang
lain tetap dalam taraf elementer. Kota besar di lain pihak meliputi dominasi dalam
sistem keagamaan, kebudayaan, politik, ekonomi, dan kegiatan rekreasional yang
rumit. Penduduk kota besar terdiferensiasi berdasarkan daerah asal, agama, status,
pendidikan, dan pola-pola tingkah laku. Kota besar merupakan cerminan paling
lengkap dari konsentrasi manusia dalam satu ruang. Artinya, kota besar
merupakan tempat yang mengandung diferensiasi tinggi, yang erat kaitannya
dengan proses penggandaan fungsi. Sementara itu ada pula upaya untuk

13

menjelaskan pengertian tentang desa dan kota melalui cara membandingkan
karakteristik desa yang kontras dengan karakteristik kota sebagaimana
dikemukakan Roucek dan Warren (1962) dalam Indrizal (2006) berikut ini:
Tabel 1 Perbandingan karakteristik desa dan kota
Karakterisrik desa
1. Besarnya peranan kelompok primer.
2. Faktor geografik yang menentukan
sebagai dasar pembentukkan
kelompok/asosiasi.
3. Hubungan lebih bersifat intim dan
awet.
4. Homogen.
5. Mobilitas sosial rendah.
6. Keluarga lebih ditekankan fungsinya
sebagai unit ekonomi.
7. Populasi anak dalam proporsi yang
lebih besar.

Karakteristik kota
1. Besarnya peranan kelompok sekunder.
2. Anonimitas merupakan ciri kehidupan
masyarakatnya.
3. Heterogen.
4. Mobilitas sosial tinggi.
5. Tergantung pada spesialisasi.
6. Hubungan antara orang satu dengan
yang lebih di dasarkan atas
kepentingan dari pada kedaerahan.
7. Lebih banyak tersedia lembaga atau
fasilitas untuk mendapatkan barang
dan pelayanan.
8. Lebih banyak mengubah lingkungan

Uraian di atas menunjukkan bahwa ada kekuatan dominasi dari kota
terhadap desa yang diduga dapat memberikan pengaruh secara langsung maupun
tidak langsung dari perubahan pola hidup dan konsumsi masyarakat desa dengan
kiblat masyarakat kota. Hal ini karena kota memiliki kompleksitas dan pengaruh
yang kuat terhadap wilayah di sekitarnya dalam segala bidang, diantaranya adalah
kebudayaan, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Seperti yang diketahui
berdasarkan teori great tradition dan little tradition oleh Robert Redfield (1956)
dalam Kolopaking, et al. (2003), masyarakat desa cenderung meniru masyarakat
kota. Masyarakat desa menganggap masyarakat kota superior sedangkan mereka
sendiri inferior. Masyarakat desa ini mengacu pada dan dipengaruhi oleh orang
kota yang cara hidupnya “lebih berbudaya”. Meskipun demikian, tidak selamanya
cara hidup masyarakat kota merupakan hal yang baik, terkadang cara hidup
masyarakat kota juga menyimpang dari nilai-nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat.

14

Kerangka Pemikiran
Penerimaan adanya produk rokok dapat dikatakan sudah cukup tinggi di
tengah masyarakat, tidak mengenal usia, jenis kelamin, dan tempat tinggal baik di
desa maupun di kota. Rokok ini telah dinikmati oleh banyak orang, baik remaja,
dewasa maupun orang tua. Menurut data yang ditemukan proporsi penduduk usia
≥ 15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau cenderung meningkat
berturut-turut dari 34.2 persen, 34.7 persen dan 36.3 persen, serta prevalensi
perokok di desa menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan di kota
(Riskesdas 2007, 2010, 2013). Menurut Ogawa dalam Novicka (2012) dahulu
perilaku merokok disebut sebagai suatu kebiasaan atau ketagihan, tetapi saat ini
merokok disebut sebagai tobacco dependency yang dapat didefinisikan sendiri
sebagai perilaku penggunaan tembakau yang menetap, biasanya lebih dari
setengah bungkus rokok per hari, dengan adanya tambahan distres yang
disebabkan oleh kebutuhan akan tembakau secara berulang-ulang. Oleh karena
itu, dalam penelitian mengenai pe