yang sesuai dengan konsep CSR tersebut. Apakah kegiatan yang dilakukan mampu menguatkan reputasi Suara Merdeka?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kegiatan off print Suara Merdeka yang sesuai dengan konsep CSR serta implementasi ataupun
pelaksanaannya, termasuk juga untuk mengetahui strategi komunikasi yang dilakukan Suara Merdeka dalam mengomunikasikan kegiatan off print yang
sesuai dengan konsep CSR tersebut dan bagaimana dampak terhadap reputasi Suara Merdeka melalui tanggapan target sasaran program tersebut.
1.4. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Kegunaan Akademis
Kegunaan bagi perkembangan akademis pada penelitian ini adalah untuk menambah variasi penelitian komunikasi, khususnya
pembangunan reputasi media cetak melalui pelaksanaan CSR. 2.
Kegunaan Praktis Kegunaan praktis dalam penelitian ini adalah sebagai referensi bagi
perusahaan media yang berkeinginan untuk menerapkan program CSR perusahaan yang efektif dan tepat sasaran.
3. Kegunaan Sosial
Kegunaan sosial dalam penelitian ini adalah sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan public mengenai CSR agar menjadi lebih
kritis dan memahami konsep CSR sehingga bisa lebih meningkatkan
peran serta dan partisipasi aktif dalam proses pelaksanaan CSR.
1.5. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Pemikiran tentang sistem dalam komunikasi berasal dari General System Theory GST yang secara umum merupakan teori mengenai sistem
dan program untuk pembentukan teori. Littlejohn dan Foss 2009:60 memaparkan, bahwa sistem merupakan seperangkat komponen yang saling
berinteraksi, yang bersama-sama membentuk sesuatu yang lebih dari sekadar sejumlah bagian-bagian. General-System Theory, menurut West dan Turner
2008:61-63 bahwa organisasi digambarkan sebagai sekumpulan perangkat yang saling memengaruhi dalam lingkungan dan membentuk pola luas yang
berbeda dari bagiannya. Dengan demikian, perusahaan digambarkan sebagai suatu organisasi yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung dan
berinteraksi untuk mengadaptasi perubahan lingkungan secara konstan demi tujuan organisasi.
Menurut Karl Weick 1979 dalam Littlejohn dan Foss 2009:364 bahwa organisasi bukanlah susunan yang terbentuk oleh posisi dan peranan,
tetapi oleh aktivitas komunikasi. Ketika manusia melakukan interaksi sehari- hari, kegiatan mereka menciptakan organisasi. Semua perilaku dihubungkan
karena perilaku seseorang bergantung pada perilaku orang lain. Secara spesifik, interaksi yang membentuk sebuah organisasi terdiri atas sebuah
tindakan interact atau sebuah pernyataan atau perilaku seorang individu. Jika sendiri, tindakan tidak memiliki arti. Hal ini disebabkan karena tidak ada
seorangpun yang berkomunikasi dengan sama dengan semua anggota organisasi sehingga saat manusia saling berinteraksi, tercipta jalur komunikasi
dalam sebuah organisasi. Menurut Weick dalam Littlejohn dan Foss 2009:373 bahwa sebuah organisasi tidak pernah terdiri atas sebuah jaringan
networks tunggal, tetapi dibentuk oleh banyak jaringan yang saling menimpa.
Seperti halnya media sebagai lembaga kemasyarakatan bisa memengaruhi masyarakat karena ia bertindak sebagai komunikator massa.
Agar dipercaya masyarakat, pers berusaha menyampaikan informasi dengan sesuatu yang baru. Tapi masyarakat sebagai konsumen juga sangat selektif,
masyarakat akan memilih media yang dirasa tepat sesuai dengan pemenuhan informasi yang dibutuhkan. Djuroto, 2000:6. Dengan demikian, Media atau
pers tidak dapat lepas dari pengaruh faktor eksternal, menurut Mc Quail 1992: 15 pers bukan entitas yang otonom dan mandiri, terdapat faktor-faktor
luar yang memengaruhi. Faktor-faktor luar itu terbagi dalam dua kategori,
yakni kategori pertama dengan tingkat pengaruh langsung, kategori kedua dengan pengaruh tidak langsung. Faktor luar kategori pertama terdiri atas
sumber berita source, pemilik owner, pemasang iklan advertisers, dan khalayak audience. Faktor luar kategori kedua terdiri atas kelompok
penekan pressure groups, penanam modal investor, pemerintah government, dan institusi sosialpolitik socialpolitical institutions. Dari
sejumlah ahli media disampaikan bahwa kepemilikan media menentukan kontrol media, yang pada gilirannya menentukan isi media, sehingga
kepemilikan media adalah faktor penting bagi ahli komunikasi dalam kaitannya dengan pengaruh media Severin dan Tankard, 2005:437.
Dalam kaitan dengan rutinitas jurnalistik, saat terjadi pengolahan dan penyajian informasi telah menempatkan wartawan atau media pada posisi
strategis. Wartawan melalui medianya dapat membatasi atau menafsirkan komentar-komentar sumber berita, serta memberi porsi pemberitaan yang
berbeda antara sumber berita dan sumber berita yang lain. Sehingga menurut Altschull 1984 bahwa dalam media berita akan mewakili pihak yang
menjalankan kekuasaan politik dan ekonomi. Selain itu, isi berita selalu menunjukkan kepentingan dari orang yang membiayai pers Severin dan
Tankard, 2005:384. Demikian pula menurut Ahli sosiologi Gaye Tuchman berita merupakan konstruksi realialitas sosial jadi tindakan membuat berita
menurut Tuchman adalah tindakan mengonstruksi realitas itu sendiri, bukan
penggambaran realita. Berita adalah laporan peristiwa a report of an event yang berupa rekonstruksi atas peristiwa, yang berarti luas, antara lain
melingkupi keterangan, peristiwa, suasana, manusia, dan pendapat. Dengan menggunakan berbagai strategi wacana, penempatan yang mencolok
menempatan headline, depan atau bagian belakang, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian
label tertentu ketika menggambarkan orangperistiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan lain-lain.
Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak dalam Severin dan
Tankard, 2005:400. Hal ini relevan dengan pemahaman dari Gerhard Maletzke yang
mengembangkan The Maletzke Model, mengidentifikasi beberapa hal tentang pentingnya hubungan dan faktor yang menggambarkan dan memahami
komunikator dalam media massa dalam Windahl, Signitzer dan Olson 1992 :126 – 127.
Dalam The Maletzke Model dijabarkan bahwa terdapat faktor yang mempengaruhi komunikator, antara lain pencitraan diri, struktur kepribadian,
lingkungan serta tekanan yang disebabkan karena karakter public dari media tersebut. Demikian pula penerima pesan akan bisa menerima pesan karena
berdasarkan media yang dipilih, dampak dari pengalaman terkait dengan konten, tekanan dari media untuk menarik minat dari penerima pesan serta
persepsi penerima pesan terhadap media yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan. Dalam artian, sikap publik terhadap suatu organisasi
amat bergantung bagaimana informasi yang diperoleh mengenai organisasi, ataupun bagaimana publik menyampaikan apa yang dirasa mengenai
organisasi. Untuk itu, peran media massa berkaitan dengan konteks informasi menjadi sangat relevan. Apa yang telah termuat dalam media pada gilirannya
Pressure of constraint from the message
The communicator self-image
The communicator personality structure
The communicator’s social environment
Pressure and constraints caused by
the public character of the media content
Pressure or constraint from the medium
Selection and structuring content
M E
D I
U M
Selection from media content
Effect, experience of
content Pressure or
constraint from the
medium The receiver’s
image of the medium
The communicator’s image of the receiver The receiver’s image of the communicator
G
ambar 1.1 : The Maletzke Model sumber : Windahl, Signitzer, dan Oslo,1992:126
C = communicator, M = message, R = receiver
M C
Spontaneous feedback from the receiver
Pressure of constraint from the medium
R
Selection from media content Effect, experience of content
The receiver’s image of the medium
menjadi wacana publik yang akan memengaruhi reputasi organisasi. Sulistyaningtyas, 2005:117.
Dalam konteks ini, media massa dapat menjadi salah satu indikator, apakah reputasi organisasi menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Realitas yang didapatkan dari media massa atau media lain yang berhubungan langsung dengan publik, bisa dianggap mewakili persepsi yang lebih besar
atau massif, yakni seluruh masyarakat. Dengan begitu, satu hal yang perlu dipahami sehubungan dengan terbentuknya reputasi perusahaan adalah
persepsi yang berkembang di publik terhadap realitas yang muncul di media yang pada akhirnya membentuk reputasi yang dibangun berdasarkan
fondasi kredibilitas Wasesa, 2005:19. Lahrlry 1991 menjelaskan bahwa persepsi didefinisikan sebagai
proses yang kita gunakan untuk mengintrepretasikan data sensoris. Data sensoris sampai kepada kita melalui lima indra yang dipengaruhi oleh
pengaruh struktural dan pengaruh fungsional. Pengaruh struktural pada persepsi berasal dari aspek-aspek fisik rangsangan yang terpapar pada kita,
misalnya titik-titik yang disusun berdekatan secara berjajar akan terlihat seperti sebentuk garis. Pengaruh-pengaruh fungsional merupakan faktor
psikologis yang memengaruhi persepsi, dan karena itu membawa pula subjektivitas pada proses. Sejumlah faktor psikologis tersebut adalah
pengalaman-pengalaman pada masa lalu yang sering terjadi pada tingkat
bawah sadar, harapan-harapan budaya, motivasi kebutuhan, suasana hati mood, serta sikap Severin dan Tackard, 2005:83.
Dari pemahaman tersebut diatas, maka proses komunikasi yang terjadi secara dua arah, dari pengirim kepada penerima dan dari penerima
kepada pengirim. Proses melingkar ini menunjukkan, bahwa komunikasi selalu berlangsung. Pandangan interaksional mengilustrasikan bahwa
seseorang dapat menjadi pengirim maupun penerima dalam sebuah interaksi, tetapi tidak dapat menjadi keduanya sekaligus West and Turner ,2007: 13 –
14.
Demikian pula dengan proses pengomunikasian CSR. Dalam program CSR, pengomunikasian merupakan hal yang harus dilakukan sebagai
bentuk pertanggung-jawaban perusahaan kepada seluruh stakeholders terkait dengan pelaksanaan program CSR. Aktivitas komunikasi yang dilakukan akan
membuka kanal interaksi yang memberi kesempatan stakeholder untuk mengkritisi, memberi saran, menyampaikan ide dan harapan ataupun bentuk
PEN
ERIMA
PENGIRIM SALURAN
UMPAN
G
ambar 1.2 : Model Komunikasi Interaksional Sumber : West Turner , 2007 : 13
partisipasi serta respons yang lain demi peningkatan efektivitas dan kreativitas penyelenggaraan program CSR.
Selain itu aktivitas komunikasi, juga mampu mendorong perusahaan lain agar menyelenggarakan aktivitas CSR. Dengan kata lain,
bukan sekadar aktivitas komunikasi yang berdampak pada perusahaan saja, melainkan juga usaha mengampanyekan program CSR di seluruh kalangan
bisnis dan masyarakat. Dengan menginformasikan aktivitas CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaannya, maka dapat meningkatkan reputasi melalui
CSR. Rahman, 2009 : 71. Seperti paparan dari Pitaloka 2009:130, bahwa komunikasi
kegiatan CSR pun bukan sekedar “window dressing” layaknya komunikasi produk atau promosi perusahaan. Isi pesan harus mencerminkan kesamaan
pemahaman tentang CSR, yang pada akhirnuya akan mampu menceritakan kegiatan dan “niat baik” yang terkandung di dalamnya tanpa motivasi bisnis.
Saling mendengar dan memahami bagaimana stakeholder menilai dan mempersepsikan kegiatan CSR perusahaan merupakan langkah tepat untuk
mengembangkan komunikasi. Dengan mengomunikasikan mengenai kegiatan CSR yang
dilakukan oleh perusahaan menurut Ambadar 2008: x, perusahaan akan terhindar dari reputasi negatif yang hanya mengejar keuntungan jangka
pendek tanpa memedulikan lingkungan. Dengan memberikan kontribusi
positif akan meningkatkan reputasi positif perusahaan yang pada akhirnya bisa menjadi nilai tambah bagi perusahaan untuk dapat tumbuh secara
berkelanjutan.
1.6. OPERASIONALISASI KONSEP