: Tidak Memalingkan Yang Zhahir dengan Ma yoritas Ucapan Ulama

Tanggapan 7 : Tidak Memalingkan Yang Zhahir dengan Ma yoritas Ucapan Ulama

Al-Akh al-Habib memberikan catatan terhadap kaidah yang saya nukil dari buku Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahlil Hadits. Catatan beliau sungguh sangat bermanfaat dan benar sekali, dan catatan yang beliau berikan merupakan tambahan sekaligus koreksi buat saya. Saya sangat bersepakat terhadap al-Akh Abu Ishaq bahwa “Wajib memahami dalil dengan apa yang dipahami oleh As- Salafus Shalih”, dan ini adalah perkara yang niscaya. Adapun pendapat yang saya pegang –yaitu merajihkan tahrim dalam masalah puasa sunnah hari Sabtu- sebagaimana telah berlalu penjelasannya, tidaklah menyelisihi kaidah salaf dan manhaj salaf dalam hal ini. Bahkan insya Alloh selaras dengan kaidah dan manhaj mereka, sebagaimana sebagiannya telah saya turunkan penjelasannya. Ketiadaan penyebutan nama-nama salaf bukanlah artinya tidak ada salafnya atau pendapat yang kami pegang ini adalah pendapat baru yang tidak dikenal kecuali setelah abad ke-20 ini. Tidak dipungkiri, kaidah-kaidah yang saya nukil tersebut tidaklah mutlak. Kaidah tersebut saya nukil di sini karena berkorelasi dengan pembahasan dan tentunya tidak dapat dibawa kepada konteks yang tidak tepat. Dalam pembahasan ini, tampak pada saya bahwa zhahir hadits Alu Busr adalah tegas dan kuat, tidak dapat dipalingkan melainkan harus dengan qorinah yang lebih kuat, sedangkan qorinah yang digunakan tidak cukup kuat untuk memalingkan zhahir-nya. Kecuali apabila al-Akh Abu Ishaq menguatkan hadits Ummu Salamah dan Aisyah yang notabene merupakan pengkontradiksi yang kuat dalam hal ini, maka bisa dimungkinkan dilakukannya pemalingan makna dari zhahir sebagai implikasi dari jama’. Namun, apabila al-Akh Abu Ishaq berpegang dengan pendapat bahwa hadits Ummu Salamah dan Aisyah ini tidak shahih dan tidak kuat untuk dijadikan dalil, maka mau tidak mau untuk memalingkan hadits Alu Busr dengan hadits Juwairiyah dan hadits puasa nafilah lainnya tidak cukup kuat. Oleh karena itulah Abu Ishaq harus menurunkan pembahasan masalah hadits-hadits yang dikontradiksikan ini dulu, baru menginjak ke masalah jama’ atau tarjih di dalamnya. Apabila Abu Ishaq menguatkan penshahihan hadits Aisyah dan Ummu Salamah, maka ta’qib terhadap pendhaifan Syaikh ‘Ali dan Ra’id Alu Thahir sangatlah diperlukan… Adapun masalah puasa kafarat dan nadzar apakah termasuk bagian dari puasa fima ufturidha ‘alaikum, maka ini memerlukan pembahasan tersendiri. Namun, yang menjadi catatan di sini, para ulama yang memasukkan puasa nadzar, kaffarah dan qodho’ ke dalam fima ufturidha ‘alaikum tidaklah keluar dari zhahir. Karena, mereka yang memasukkan jenis dan macam puasa ini ke dalamnya memahami bahwa macam puasa tersebut termasuk bagian dari puasa faridhah. Maka, tentu saja tidak menyelisihi lafazh fima ufturidha ‘alaikum tersebut. Oleh karena itulah tidak heran apabila kita melihat pendapat Imam al-Albani yang menyatakan bahwa, barangsiapa berpuasa sunnah pada hari Jum’at dan ia lupa Al-Akh al-Habib memberikan catatan terhadap kaidah yang saya nukil dari buku Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahlil Hadits. Catatan beliau sungguh sangat bermanfaat dan benar sekali, dan catatan yang beliau berikan merupakan tambahan sekaligus koreksi buat saya. Saya sangat bersepakat terhadap al-Akh Abu Ishaq bahwa “Wajib memahami dalil dengan apa yang dipahami oleh As- Salafus Shalih”, dan ini adalah perkara yang niscaya. Adapun pendapat yang saya pegang –yaitu merajihkan tahrim dalam masalah puasa sunnah hari Sabtu- sebagaimana telah berlalu penjelasannya, tidaklah menyelisihi kaidah salaf dan manhaj salaf dalam hal ini. Bahkan insya Alloh selaras dengan kaidah dan manhaj mereka, sebagaimana sebagiannya telah saya turunkan penjelasannya. Ketiadaan penyebutan nama-nama salaf bukanlah artinya tidak ada salafnya atau pendapat yang kami pegang ini adalah pendapat baru yang tidak dikenal kecuali setelah abad ke-20 ini. Tidak dipungkiri, kaidah-kaidah yang saya nukil tersebut tidaklah mutlak. Kaidah tersebut saya nukil di sini karena berkorelasi dengan pembahasan dan tentunya tidak dapat dibawa kepada konteks yang tidak tepat. Dalam pembahasan ini, tampak pada saya bahwa zhahir hadits Alu Busr adalah tegas dan kuat, tidak dapat dipalingkan melainkan harus dengan qorinah yang lebih kuat, sedangkan qorinah yang digunakan tidak cukup kuat untuk memalingkan zhahir-nya. Kecuali apabila al-Akh Abu Ishaq menguatkan hadits Ummu Salamah dan Aisyah yang notabene merupakan pengkontradiksi yang kuat dalam hal ini, maka bisa dimungkinkan dilakukannya pemalingan makna dari zhahir sebagai implikasi dari jama’. Namun, apabila al-Akh Abu Ishaq berpegang dengan pendapat bahwa hadits Ummu Salamah dan Aisyah ini tidak shahih dan tidak kuat untuk dijadikan dalil, maka mau tidak mau untuk memalingkan hadits Alu Busr dengan hadits Juwairiyah dan hadits puasa nafilah lainnya tidak cukup kuat. Oleh karena itulah Abu Ishaq harus menurunkan pembahasan masalah hadits-hadits yang dikontradiksikan ini dulu, baru menginjak ke masalah jama’ atau tarjih di dalamnya. Apabila Abu Ishaq menguatkan penshahihan hadits Aisyah dan Ummu Salamah, maka ta’qib terhadap pendhaifan Syaikh ‘Ali dan Ra’id Alu Thahir sangatlah diperlukan… Adapun masalah puasa kafarat dan nadzar apakah termasuk bagian dari puasa fima ufturidha ‘alaikum, maka ini memerlukan pembahasan tersendiri. Namun, yang menjadi catatan di sini, para ulama yang memasukkan puasa nadzar, kaffarah dan qodho’ ke dalam fima ufturidha ‘alaikum tidaklah keluar dari zhahir. Karena, mereka yang memasukkan jenis dan macam puasa ini ke dalamnya memahami bahwa macam puasa tersebut termasuk bagian dari puasa faridhah. Maka, tentu saja tidak menyelisihi lafazh fima ufturidha ‘alaikum tersebut. Oleh karena itulah tidak heran apabila kita melihat pendapat Imam al-Albani yang menyatakan bahwa, barangsiapa berpuasa sunnah pada hari Jum’at dan ia lupa