KETAHANAN VARIAN PISANG 1279-83.

Panama disease ini merupakan masalah utama yang menurunkan produksi tanaman pisang dan plantain Musa spp Ploetz 1997, Moore et al. 2001, Hwang Ko 2004, Smith et al 2006. Peningkatan dan pengembangan tanaman pisang yang resisten terhadap layu Fusarium dapat dilakukan di antaranya melalui pemuliaan mutasi dan seleksi in vitro . Induksi mutasi dengan iradiasi gamma secara in vitro dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik pisang, karena usaha untuk pengembangan klon yang resisten terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense menggunakan teknik pemuliaan konvensional memiliki keberhasilan yang sangat rendah Stover Buddenhagen 1986; Predieri 2001; Companioni et al 2003. Poliploidi, fertilitas jaringan reproduktif yang rendah dan jantan steril pada tanaman pisang AAA dan plantain AAB dan ABB merupakan faktor utama keberhasilan yang rendah tersebut. Penggunaan teknik mutasi induksi memiliki keunggulan, namun teknik mutasi induksi menyebabkan terjadi mutasi secara acak, dan sifat mutan yang didapatkan bersifat acak pula Medina et al. 2004; Mak et al. 2004 sehingga evaluasi varian perlu dilakukan secara menyeluruh di rumah kaca dan di lapangan. Perolehan tanaman yang resisten terhadap layu Fusarium dilakukan pula melalui mutasi induksi dengan iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro secara bertingkat dengan tujuan untuk meningkatkan kemungkinan perolehan klon-klon tanaman yang resisten layu Fusarium. Sistem seleksi secara in vitro untuk resistensi terhadap F. oxysporum f.sp. cubense Foc telah dideskripsikan untuk tanaman pisang dan plantain Morpugo et al. 1994; Matsumoto et al. 1995, 1999; Hwang Ko, 2004; Smith et al. 2006. Pada tanaman pisang teknik ini telah digunakan antara lain pada pisang cv. Highgate asal Jamaica dan Honduras Bhaghwat Duncan 1998; Ploetz et al. 2007, pisang cv. Ambon Kuning Sutarto et al. 1998, pisang cv. Cavendish Hwang Ko 2004, dan pisang cv. Dwarf Parfitt Smith et al. 2006. Tujuan percobaan: 1 mendapatkan klon-klon pisang cv. Ampyang resisten layu Fusarium yang berasal dari varian hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro; 2.mendapatkan klon- klon pisang cv. Ampyang resisten layu Fusarium yang berasal dari varian hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma tanpa melalui tahapan seleksi in vitro; Bahan dan Metode Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2009 sampai Juni 2011. Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan adalah varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 3 bulan setelah aklimatisasi, varian hasil iradiasi gamma usia 6-8 bulan, serta varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro usia 2 bulan setelah aklimatisasi. Pada tahapan ini perolehan pisang cv. Ampyang tahan terhadap penyakit layu Fusarium dilakukan melalui tiga kegiatan percobaan: 1 Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium di rumah kaca. 2 Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di rumah kaca. 3 Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma di lahan endemik layu Fusarium. Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium di rumah kaca. Bahan tanaman pada kegiatan percobaan ini adalah bibit varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro secara bertingkat. Plantlet varian insensitif Foc hasil seleksi in vitro yang mampu bertahan hidup sampai usia 2 bulan setelah aklimatisasi, dievaluasi kembali sifat ketahanannya di rumah kaca. Pengujian ketahanan klon tanaman dilakukan dengan menginfeksi akar tanaman dengan cendawan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Medan VCG 0121316 dan isolat Banyuwangi. Akar tanaman pisang dibersihkan dan dicuci dibawah air mengalir dan larutan klorox komersial 5, selanjutnya akar dipotong sepanjang 2-3 cm dari pangkal akar dan direndam dalam larutan berisi suspensi konidia Foc dengan kerapatan 2.5 x 10 7 konidia mL -1 selama 2 jam dibawah sinar matahari. Tanaman pisang ditanam dalam gelas plastik 300 ml berisi media tanam untuk tanaman buah dengan komposisi: tanah 33, pupuk kandang 33, humus 33, NPK 0.4, pestisida 0.3 dan dolomit 0.3. Tanaman ditumbuhkan sampai usia 2 bulan setelah inokulasi dan diamati usia tanaman mengalami kematian, persentase kematian bibit, panjang akar, skoring gejala kelayuan pada bibit dan skoring gejala nekrosis pada bonggol pisang. Skoring gejala layu pada bibit pisang akibat infeksi Foc skor 0-4 dilakukan mengikuti kriteria yang dikembangkan Epp 1987, yaitu: skor 0 – bibit sehat dan tidak menunjukkan gejala layu; skor 1 – daun bagian bawah sedikit dan mengering; skor 2 – peningkatan jumlah daun yang menguning dan bibit mulai layu; skor 3 – seluruh bibit mengering kecuali daun baru atau belum membuka; skor 4 – bibit mati. Skoring gejala nekrosis pada bonggol pisang dilakukan sebagai berikut: skor 0 – tidak terjadi perubahan warna bonggol; skor 1 – nekrosis antara 0-5; skor 2- nekrosis 6-20; skor 3 – nekrosis 21-50; skor 4 – nekrosis 51-99 lebih dari 50; dan skor 5 –nekrosis 100 Moore et al. 1993; Carlier et al. 2002. Intensitas penyakit IP untuk gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol ditentukan dengan rumus: IP = [ ∑ni x siN x S ] x 100; dengan ni: jumlah bibit dengan skor gejala i; si: skor gejala i, N: jumlah total bibit yang diamati, S: skor gejala tertinggi Chachinero et al. 2002. Penentuan respon bibit pisang terhadap infeksi Foc dilakukan dengan kriteria: imun I - jika IP = 0; tahan T – jika IP antara 0-5; agak tahan AT – jika IP antara 5-10; agak rentan AR – jika IP antara 10-25, rentan R – jika IP antara 25-50; dan sangat rentan SR – jika IP 50 Yusnita Sudarsono 2004. Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di rumah kaca. Varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma, ditumbuhkan di halaman pekarangan sampai usia 3 bulan. Evaluasi ketahanan varian tanaman dilakukan dengan metode yang diperoleh dari percobaan sebelumnya. Akar tanaman pisang dipotong sampai berukuran 2-3 cm dari pangkal akar, selanjutnya akar direndam dalam suspensi konidia Foc isolat Banyuwangi dengan kerapatan 2.5 x 10 7 konidia mL -1 selama 2 jam dibawah sinar matahari. Tanaman ditumbuhkan dalam gelas plastik beukuran 300 ml berisi media tanam dengan komposisi: tanah 33, pupuk kandang 33, humus 33, NPK 0.4, pestisida 0.3 dan dolomit 0.3. Tanaman ditumbuhkan dan diamati skor gejala kelayuan bibit 2 bulan setelah inokulasi berdasarkan Epp 1987 dan karakter agronomis tanaman secara kuantitatif. Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di lapangan . Varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan regenerasi secara in vitro , usia 6-8 bulan ditanam di lahan endemik cendawan Foc di lapangan dengan dengan jarak 2 m antar baris dan 2 m dalam baris 2x2m dalam lubang tanam berukuran 25 x 25 x 25cm p x l x d. Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai dengan kondisi di lapangan seperti penyiangan gulma dan pemberian pupuk kandang. Tanaman ditumbuhkan sampai berbuah, dan pengamatan terhadap pertumbuhan vegetatif dilakukan pada saat usia tanaman 12 bulan terhadap persentase tanaman yang dapat bertahan hidup dan karakter kuantitatif tanaman berupa jumlah anakan, jumlah pelepah daun, tinggi tanaman, lingkar batang semu, dan rasio panjang dan lebar daun maksimum. Pertumbuhan generatif diamati pada saat panen, terhadap karakter kuantitatif buah berupa berat buah per tandan, jumlah sisir per tandan, jumlah buah per tandan. Pengamatan karakter kualitatif dilakukan pada sampel buah secara duplo pada setiap perlakuan yang diuji, berupa persentase kadar air, abu, lemak, protein, serat kasar dan kandungan karbohidrat. Pembuktian kematian tanaman akibat layu Fusarium dilakukan dengan mengisolasi ada tidaknya cendawan Foc yang diambil pada batang semu pisang yang terinfeksi. Hasil dan Pembahasan Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma dan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium di rumah kaca Bibit varian pisang cv. Ampyang insensitif FK Foc yang diperoleh dari hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dari percobaan sebelumnya yang keseluruhannya berjumlah 118 bibit Tabel 25, di evaluasi kembali sifat ketahanannya di rumah kaca dengan menginfeksi akar bibit varian dengan konidia F. oxysporum f.sp. cubense Foc isolat Medan dan Foc isolat Banyuwangi. Inokulasi Foc dilakukan dengan metode perendaman akar selama 2 jam dalam suspensi konidia Foc kerapatan 2.5 x 10 7 kon mL -1 . Pengamatan tanaman akibat infeksi Foc dilakukan terhadap skoring gejala kelayuan bibit pisang skor 0-4 Epp 1987 dan nekrosis bonggol tanaman pisang skor 0-5 Moore et al. 1993; Carlier et al. 2002. serta panjang akar pisang yang diamati pada usia 2 bulan setelah inokulasi Gambar 30. Gambar 30 Respon varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil seleksi in vitro yang di infeksi konidia Foc: a-e representatif gambar skoring gejala kelayuan bibit pisang pada skor 0-4, f-k representasi gambar skoring nekrosis bonggol pada skor 0-5 Evaluasi ketahanan varian terhadap infeksi Foc isolat Medan Evaluasi ketahanan tanaman varian hasil seleksi in vitro terhadap konidia Foc isolat Medan diperoleh gambaran bahwa gejala kelayuan dan nekrosis bonggol sudah terlihat 2-8 minggu setelah infeksi. Pertumbuhan akar dan bulu akar cukup banyak, yang menunjukkan bahwa tanaman mengalami cekaman biotik. Skor Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 0 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 Skor 5 a d e c b f j i h g k Tabel 27 Ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium pada usia 2 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Medan di rumah kaca Varian tanaman hasil iradiasi Jumlah tanaman yang diinfeksi Jumlah persentase tanaman yang mati Panjang akar cm Rataan skor kelayuan bibit IP Rataan skor nekrosis bonggol IP Kthn Rataan ± SE 20 Gy 1 1 100.0 14.00 0.00 4.00 100.0 5.00 100.0 SR 25 Gy 9 8 88.8 8.67 3.84 3.56 88.9 4.11 77.8 SR 30 Gy 27 6 22.2 23.59 2.37 1.56 38.9 2.59 64.8 R 35 Gy 1 1 100.0 19.50 0.00 4.00 100.0 5.00 100.0 SR 40 Gy 11 8 72.7 11.59 2.70 3.36 84.1 3.82 76.4 SR 45 Gy 12 7 58.3 15.06 3.22 2.75 68.8 3.75 75.0 SR 50 Gy 16 6 37.5 17.13 3.08 1.75 43.8 2.75 55.0 R Keterangan: = Ʃ tanaman yang hidup 2 bln setelah infeksi Ʃ tanaman yang diinfeksi Foc x 100 IP = Intensitas Penyakit ; Kthn = Ketahanan; R = Rentan, SR = Sangat Rentan. Bibit tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20 dan 35 Gy masing-masing hanya 1 tanaman yang dapat di evaluasi Tabel 27, karena hanya tanaman tersebut yang bertahan hidup dari 67 dan 26 plantlet insensitif FK Foc 60 yang diaklimatisasi pada percobaan sebelumnya Tabel 26. Tanaman tersebut mengalami kematian 2 bulan setelah infeksi dikategorikan sebagai tanaman yang sangat rentan SR. Tanaman insensitif FK Foc hasil iradiasi 25, 40 dan 45 Gy beberapa mampu bertahan hidup, persentase kematian tanaman masing- masing 88.8, 72.7 dan 58.3, dengan rataan skoring gejala kelayuan bibit berkisar 2.75-3.36, pada kisaran tersebut rata-rata seluruh bibit mengering kecuali daun baru atau belum membuka Epp 1987. Skor rataan nekrosis bonggol berkisar 3.75- 4.11, pada kisaran tersebut lebih dari 50 bonggol mengalami nekrosis Carlier et al. 2002. Intensitas penyakit IP pada daun dan bonggol diatas 50, sehingga tanaman tersebut dikategorikan sebagai tanaman sangat rentan SR terhadap penyakit layu Fusarium. Jumlah dan persentase kematian tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy cukup rendah yaitu 22.2, dari 27 tanaman yang diinfeksi hanya 6 tanaman mengalami kematian. Tanaman tersebut memiliki rataan panjang akar terbesar 23.59 cm ± 2.37, rataan skor gejala kelayuan 1.56 dengan intensitas penyakit IP 38.9, serta skor nekrosis bonggol 2.59 dengan IP pada bonggol 64.58. Berdasarkan kriteria Mak et al. 2004 jika intensitas penyakit daun menunjukkan rentan R dan intensitas penyakit bonggol sangat rentan SR, maka tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy dikategorikan sebagai tanaman yang rentan R terhadap penyakit layu Fusarium Tabel 27, walaupun dijumpai beberapa tanaman yang tidak menunjukkan gejala kelayuan bibit. Tanaman insensitif Foc yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy juga dikategorikan sebagai tanaman yang rentan R, namun jumlah tanaman yang mati cukup rendah yaitu 37.5, dengan panjang akar 17.13 cm ± 3.08. Pada Gambar 31 diajikan representasi gambar kelayuan tanaman dan nekrosis bonggol pisang hasil infeksi dengan konidia Foc isolat Medan pada usia 2 bulan setelah inokulasi. Gambar 31 Respon ketahanan bibit varian insensitif Foc hasil seleksi in vitro setelah 2 bulan diinfeksi dengan konidia F. oxysporum f.sp. cubense isolat Medan di rumah kaca. Gambar horizontal a Gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol insert, b gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol pisang cv. Ampyang. 45 Gy 4 35 50 Gy 3 10 30 Gy 3 37 25 Gy 4 31 50 Gy 3 18 a b b Tabel 28 Identifikasi tanaman varian pisang cv. Ampyang usia 2 bulan setelah infeksi. Persentase tanaman yang bertahan hidup, dan yang mengalami recovery, usia 6 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Medan. Varian tanaman hasil iradiasi Kode tanaman Panjang akar cm Skor gejala kelayuan bibit Skor nekrosis bonggol Persentase tanaman yg hidup 6 bln setelah infeksi 25 Gy 4 31 37.5 1 11.1 30 Gy 3 8 39.0 44.4 3 16 28.5 3 3 17 38.5 2 3 18b 24.0 1 1 3.19 27.5 2 3 19b 20.0 1 3 23 18.5 1 1 3 23b 42.0 1 2 3 28 26.0 1 3 31 recovery 18.5 3 2 3 35 recovery 32.5 2 2 3 36 33.0 1 1 40 Gy 4 15 recovery 3.0 4 5 27.3 4 15b 21.5 1 2 4 32 32.0 1 2 45 Gy 4 4 recovery 2.0 4 4 16.7 4 35 19.5 1 2 50 Gy 3 1 21.0 1 2 62.5 3 4 16.5 1 1 3 5 14.0 2 3 3 8 20.0 1 3 9 19.5 1 1 3 10 40.0 1 3 14 31.0 1 3 1 18 37.0 1 2 1 19 22.0 1 3 24 20.5 2 Keterangan. Persentase tanaman yang hidup 6 bln setelah infeksi = Ʃ tanaman yang hidup setiap perlakuan Ʃ bibit yang diinfeksi dengan konidia Foc pada setiap perlakuan x 100. Tanaman yang telah dikarakteristik ketahanannya pada usia 2 bulan setelah infeksi, diamati kembali fenotipik tanaman sampai usia 6 bulan setelah infeksi di rumah kaca. Hasil pengamatan memperlihatkan beberapa fenomena yaitu tanaman yang semula menunjukkan gejala kelayuan bibit dan nekrosis bonggol pada usia 2 bulan setelah infeksi, beberapa mengalami recovery dimana daun-daun muda yang tumbuh tidak mengalami kelayuan dan tumbuh sehat. Sebanyak 4 tanaman yang mengalami kematian 2-4 minggu setelah infeksi, juga mengalami recovery dengan tumbuh anakan Tabel 28, dan dijumpai pula tanaman yang baru menunjukkan gejala kelayuan dan kematian 6 bulan setelah infeksi. Evaluasi ketahanan tanaman setelah berusia 6 bulan di rumah kaca Tabel 28, dihasilkan 28 tanaman 36.4 dari 77 tanaman yang diinfeksi dengan Foc isolat Medan VCG 0121316 terindikasi tahan terhadap layu Fusarium. Persentase perolehan tanaman yang tahan banyak dijumpai pada tanaman hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy yang berjumlah 10 tanaman 62.5, diikuti tanaman yang berasal dari 30 Gy berjumlah 12 tanaman 44.4. Tanaman hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi 25, 40 dan 45 Gy masing-masing hanya menghasilkan 1 tanaman 11.1, 3 tanaman 27.3 dan 2 tanaman 16.7 terindikasi tahan layu Fusarium. Evaluasi ketahanan varian terhadap infeksi Foc isolat Banyuwangi. Evaluasi ketahanan tanaman varian hasil seleksi in vitro dengan Foc isolat Banyuwangi diperoleh gambaran bahwa jumlah tanaman yang bertahan hidup lebih banyak, kecuali tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy, dimana 1 tanaman yang bertahan hidup dan diinfeksi dengan konidia Foc mengalami kematian. Gejala kelayuan bibit muncul lebih lama dibandingkan dengan infeksi Foc isolat Medan. Pada umumnya tanaman menunjukkan gejala kelayuan pada 4 – 8 minggu setelah akar diinfeksi Foc isolat Banyuwangi. Hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel 29 memperlihatkan bahwa 4 bibit tanaman insensitif FK Foc isolat Banyuwangi yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy, sebagian 50 mengalami kematian dengan intensitas penyakit IP pada daun dan bonggol diatas 50 sehingga dikategorikan sebagai tanaman yang sangat rentan SR terhadap layu Fusarium. Tanaman insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 20, 30, 40, 45 dan 50 Gy memiliki rataan skor gejala kelayuan bibit berkisar 1.07 – 2.00, dengan intensitas penyakit IP berkisar 37.5- 50.0. Pada kisaran tersebut rata-rata daun bagian bawah sedikit mengering dan terjadi peningkatan jumlah daun yang menguning dan bibit mulai layu Epp 1987. Skor nekrosis bonggol memiliki rataan berkisar 2.00 - 2.60, dengan IP berkisar 41.4- 52.0. Pada kisaran tersebut kerusakan meliputi 6-20 dari lingkar bonggol Carlier et al. 2002, sehingga dikategorikan sebagai tanaman yang rentan R terhadap layu Fusarium. Representasi gambar tanaman hasil iradiasi 30. 45 dan 50 Gy setelah diinfeksi Foc isolat Banyuwangi disajikan pada Gambar 32. Tabel 29 Ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro terhadap layu Fusarium, usia 2 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Banyuwangi di rumah kaca. Varian tanaman hasil iradiasi Jumlah tanaman yang diinfeksi Jumlah persentase tanaman yang mati Panjang akar cm Rataan skor kelayuan bibit IP Rataan skor nekrosis bonggol IP Kthn Rataan ± SE 20 Gy 1 1 100.0 19.50 0.00 2.00 50.0 2.00 50.0 R 25 Gy 4 2 50.0 13.38 4.31 2.75 68.8 3.00 75.0 SR 30 Gy 14 2 14.3 22.07 1.16 1.07 26.8 2.07 41.4 R 40 Gy 5 1 20.0 21.30 5.46 2.00 50.0 2.60 52.0 R 45 Gy 11 4 36.4 17.55 3.03 1.82 45.5 2.36 47.3 R 50 Gy 6 2 33.3 15.83 3.88 1.50 37.5 2.50 46.7 R Keterangan: = Ʃ tanaman yang hidup 2 bln setelah infeksi Ʃ tanaman yang diinfeksi Foc x 100 IP = Intensitas Penyakit ; Kthn = Ketahanan; R = Rentan, SR = Sangat Rentan. Gambar 32 Respon ketahanan bibit varian insensitif Foc hasil seleksi in vitro setelah 2 bulan diinfeksi dengan konidia F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi di rumah kaca. Gambar horizontal a Gejala kelayuan bibit dan b gejala nekrosis bonggol pisang cv. Ampyang. 50 Gy 1 17b 45 Gy 4 11 30 Gy 3 24 a b Tanaman varian insensitif FK Foc yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy memiliki persentase kematian terendah 14.3, walaupun dikategorikan sebagai tanaman yang rentan terhadap layu Fusarium, namun memiliki rataan panjang akar tertinggi 22.07 cm ± 1.16 cm dan skor gejala kelayuan bibit terendah yaitu 1.07 serta skor nekrosis bonggol 2.07. Intensitas penyakit IP daun 26.8 dan IP nekrosis bonggol 41.4 lebih rendah dari tanaman varian lainnya Tabel 29. Pada skor tersebut, hanya bagian bawah daun yang sedikit mengering, dengan kerusakan bonggol berkisar 6-20, sehingga di antara tanaman tersebut dijumpai beberapa tanaman yang tumbuh sehat dan tidak menunjukkan gejala kelayuan. Kemampuan tumbuh tanaman setelah infeksi Foc isolat Banyuwangi diamati kembali pada usia 6 bulan Tabel 30. Tabel 30 Identifikasi tanaman varian pisang cv. Ampyang, usia 2 bulan setelah infeksi. Persentase tanaman yang bertahan hidup, dan yang mengalami recovery, usia 5 bulan setelah diinfeksi konidia Foc isolat Banyuwangi. Varian tanaman hasil iradiasi Kode tanaman Panjang akar cm Skor gejala kelayuan bibit Skor nekrosis bonggol Persentase tanaman yg hidup 6 bln setelah infeksi 25 Gy 4 30 16.5 1 1 50.0 4 37 recovery 12.5 4 4 30 Gy 3 1 27.5 1 2 71.4 3 1b 29.0 1 2 3 4 19.0 3 5 3 11 23.5 1 3 21b 16.0 1 2 3 24 22.5 1 2 3 26 24.5 1 3 29 30.0 1 2 3 31b 19.5 2 3 33 20.0 1 2 40 Gy 4 12 16.5 1 1 20.0 45 Gy 4 11 23.5 1 1 27.3 4 12 22.0 4 35 25.0 2 50 Gy 1 17b 30.5 2 66.7 3 18b recovery 15.5 1 2 2 22 20.0 1 3 27 18.0 Keterangan. Persentase tanaman yang hidup 6 bln setelah infeksi = Ʃ tanaman yang hidup setiap perlakuan Ʃ bibit yang diinfeksi dengan konidia Foc pada setiap perlakuan x 100. Hasil pengamatan pada usia 6 bulan setelah infeksi memperlihatkan bahwa 2 tanaman mengalami recovery dengan tumbuh anakan, dan dijumpai pula tanaman yang baru menunjukkan gejala kelayuan. Evaluasi ketahanan tanaman setelah diinfeksi dengan Foc isolat Banyuwangi usia 6 bulan di rumah kaca, menghasilkan 20 tanaman 48.9 dari 41 tanaman yang terindikasi tahan terhadap layu Fusarium . Persentase perolehan tanaman yang tahan banyak dijumpai pada tanaman hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy yang berjumlah 10 tanaman 71.4, diikuti dengan tanaman yang berasal dari 50 Gy berjumlah 4 tanaman 66.7. Tanaman hasil seleksi in vitro yang berasal dari hasil iradiasi 25, 40 dan 45 Gy masing-masing hanya menghasilkan 2 tanaman 50.0, 1 tanaman 20.0 dan 3 tanaman 27.3 yang terindikasi tahan layu Fusarium Tabel 30. Evaluasi fenotipik ketahanan tanaman pada usia 6 bulan setelah infeksi memberi gambaran bahwa tanaman varian pisang yang berasal dari hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro di rumah kaca dengan Foc isolat Banyuwangi terlihat lebih banyak yang mampu bertahan hidup dibandingkan tanaman yang diinfeksi dengan Foc isolat Medan. Hal ini memberi gambaran umum bahwa Foc isolat Medan lebih virulen dibandingkan Foc isolat Banyuwangi. Foc isolat Medan VCG 0121316 merupakan cendawan yang telah dikarakterisasi sebagai Foc ras 4 ’tropikal’ TR4. Kemungkinan lain bahwa tanaman diperkirakan sudah lebih adaptif terhadap Foc isolat Banyuwangi, karena selama 10 bulan periode seleksi in vitro tunas varian tersebut berada dalam medium selektif mengandung Foc isolat Banyuwangi. Isolat ini belum dikarakterisasi virulensinya terhadap jenis pisang meja dan pisang olahan, namun terbukti sebagai cendawan yang virulen terhadap pisang abaka Musa textilis Nee Purwati et al. 2007. Ras 4 ‘tropikal’ TR4 merupakan bentuk patogen yang paling virulen yang menyerang pisang subgrup Cavendish, dan berbagai tanaman pisang dan plantain yang diserang oleh Foc ras 1 yaitu pisang subgrup Gros Michel AAA, Silk dan Pome AAB dan pisang Awak ABB, serta yang diserang oleh Foc ras 2 yaitu pisang subgrup Bluggoe ABB Moore et al. 2001; Ploetz et al. 2003; Daly Walduck 2006; Ploetz Churchill 2011. Di Indonesia Foc ras 4 ‘tropikal’ ini tersebar luas di hampir seluruh provisi dan menginfeksi pisang lokal kultivar Barangan AAA, Raja AAB dan Ambon Hijau AAA dan kultivar lain dengan ploidi dan genom yang berbeda Hermanto et al. 2011. Tanaman akan mengembangkan suatu mekanisme pertahanan yang terintegrasi secara kompleks untuk menghadapi penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Mekanisme protektif tanaman meliputi pembentukan secara alami barier fisik dan kimia, serta mekanisme pertahanan yang diinduksi De Ascensao Duberry 2000: 2003; Huang 2001; Agrios 2005. Mekanisme resistensi penyakit tanaman dibagi ke dalam dua kategori, preformed resistance resistensi alami dan induced resistance resistensi yang diinduksi Moerschbacher Mendgen 2000; Iqbal et al. 2005; Agrios 2005. Resistensi alami bergantung pada karakteristik normal tanaman yang tidak terinfeksi seperti penebalan kutikula, stomata yang terbuka, jumlah trichoma, dan keberadaan konstitutif senyawa antimikroba. Resistensi terinduksi diekspresikan setelah serangan pathogen melalui jalur SAR systemic acquired resistance van Loon 2000, yang diekspresikan melalui fortifikasi dinding sel, biosintesis fitoaleksin, dan akumulasi protein yang berperan dalam ketahanan terhadap penyakit,walaupun perbedaan yang jelas antara senyawa antimikroba konstitutif dan fitoaleksin masih belum jelas Huang, 2001. Tanaman yang pada awalnya menunjukkan gejala kelayuan daun dan nekrosis bonggol dengan skor 1-4 namun setelah berusia 2-6 bulan daun-daun muda tumbuh sehat dan tidak menunjukkan gejala kelayuan. Hal ini ada kemungkinan terjadi karena mekanisme ekspresi pertahanan yang lambat, sehingga setelah terjadi interaksi antara patogen dan tanaman yang menunjukkan gejala penyakit, gen-gen ketahanan tanaman yang berperan dalam pertahanan tanaman baru teraktivasi, sehingga mampu menghambat atau melokalisasi patogen yang ada pada jaringan vaskuler akar agar tidak terabsorbsi ke jaringan vaskuler batang. Mekanisme pertahanan seperti yang terjadi pada beberapa pisang yang diuji, dikenal sebagai sebagai mekanisme yang terinduksi induced resistance, sebaliknya pada tanaman yang rentan setelah 2-4 bulan diinfeksi, interaksi antara patogen dan tanaman berkembang menjadi penyakit dan menimbulkan kematian. Tanaman varian yang telah dikarakterisasi sebagai tanaman pisang cv. Ampyang tahan layu Fusarium hasil evaluasi dengan Foc isolat Medan atau Banyuwangi, beberapa mengalami recovery dengan tumbuh anakan yang sehat pada tanaman induk yang telah mati. Tanaman recovery hasil infeksi dengan konidia Foc isolat Medan berasal dari hasil iradiasi 30 Gy 2 tanaman, 40 Gy 1 tanaman dan 45 Gy 1 tanaman, sedangkan tanaman hasil infeksi dengan Foc isolat Banyuwangi terdapat 2 tanaman, yaitu yang berasal dari hasil iradiasi gamma 25 Gy dan 50 Gy Tabel 29; 30. Terjadinya recovery ini kemungkinan karena di antara jaringan yang telah mati terdapat beberapa jaringan mutan yang tahan terhadap infeksi cendawan Foc namun mengalami dormansi, sehingga ketika tanaman induk mengalami kematian jaringan mutan tersebut berdiferensiasi membentuk tunas baru. Pertumbuhan tanaman 6 bulan setelah diinfeksi dengan Foc isolat Medan atau Banyuwangi terlihat sehat dan kokoh, daun berwarna hijau tua dan beberapa hijau muda, walupun daun bagian bawah pada beberapa tanaman masih ada yang menunjukkan gejala kelayuan namun tidak mempengaruhi performa pertumbuhan tanaman yang normal Gambar 33. Gambar 33 Representatif gambar tanaman varian pisang cv. Ampyang tahan layu Fusarium pada usia 5-6 bulan setelah infeksi dengan a-d cendawan Foc isolat Medan VCG 0121316 dan e-g Foc isolat Banyuwangi. 45 Gy 4 35 30 Gy 3 8 25 Gy 4 31 50 Gy 3 8 30 Gy 3 23b 30 Gy 4 21 30 Gy 3 31 a e d c b g f 50 Gy 1 18 i h 30 Gy 3 19 Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di rumah kaca. Evaluasi ketahanan varian-varian pisang yang berasal dari hasil iradiasi gamma, tanpa melalui tahapan seleksi in vitro dilakukan di rumah kaca melalui infeksi akar tanaman pisang melalui metode perendaman akar dengan kerapatan suspensi konidia Foc 2.5 x 10 7 konidia mL -1 selama 2 jam. Hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel 31 memperlihatkan bahwa tanaman varian yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25, 40 dan 45 Gy, menghasilkan rataan skoring gejala kelayuan berurut-turut 3.17, 2.5, 2.25 dan 3.67. Tanaman pada kisaran tersebut memiliki intensitas penyakit IP diatas 50, sehingga dikategorikan sebagai tanaman yang sangat rentan SR, dan secara kuantitatif memiliki rataan jumlah daun yang rendah 0.67 - 3.13 daun, tinggi tanaman 13.50 - 37.19 cm, serta panjang akar 1.50 - 8.36 cm yang nyata lebih rendah daripada tanaman hasil iradiasi 30 Gy yang dikategorikan sebagai tanaman tahan T. Tanaman yang berasal dari eksplan yang tidak diradiasi 0 Gy dan tanaman hasil iradiasi 50 Gy memiliki rataan skor gejala kelayuan 0.67 IP = 16.7 dan 1.00 IP = 25.0 tanaman tersebut dikategorikan agak rentan AR, dan tanaman 0 dan 50 Gy memiliki rataan panjang akar yang nyata lebih pendek dari tanaman yang tahan terhadap infeksi cendawan Foc 30 Gy. Tanaman 30 Gy diduga mampu mengisolasi patogen melalui mekanisme pembentukan gums, tylose dan gel yang merupakan hasil fotoasimilat dari tanaman Agrios 2005, sehingga mampu menghambat perkembangan konidia atau atau mampu mendetoksifikasi toksin yang diproduksi cendawan, sehingga akar tanaman tetap tumbuh normal. Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa cendawan Foc memproduksi toksin yang masuk ke jaringan vaskuler akar, dan selanjutnya di translokasikan ke xylem batang. Hal ini diperlihatkan pada warna coklat pada penampang melintang akar dengan mikroskop cahaya dan warna merah dengan mikroskop fluorescent Gambar 34. Pada tanaman yang rentan kelayuan terlihat pada daun bagian bawah yang menguning, selanjutnya daun-daun diatasnya dan pada akhirnya mengalami kematian. Kematian pada tanaman dapat terjadi apabila jaringan vaskuler telah tertutup akibat pembongkaran substansi pektat pada jaringan xylem tersebut, yang mengakibatkan peningkatkan viskositas dan mereduksi laju aliran air Goodman et al. 1986. Tabel 31 Ketahanan varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma tanpa tahapan seleksi in vitro terhadap infeksi cendawan Foc isolat Banyuwangi usia 2 bulan setelah inokulasi di rumah kaca. Tanaman hasil iradiasi N Jumlah persentase tanaman yg hidup Rataan jumlah Daun Rataan tinggi tan. cm Rataan panjang akar cm Rataan skor kelayuan bibit IP Kthn 0 Gy 3 3 100.0 4.67 ab 53.83 a 10.00 ab 0.67 16.7 AR 20 Gy 6 1 16.7 1.83 c 22.92 c 4.25 bc 3.17 79.2 SR 25 Gy 2 1 50.0 3.00 bc 23.00 bc 3.80 bc 2.50 62.5 R 30 Gy 6 6 100.0 5.83 a 66.33 a 24.92 a 0.17 4.2 T 40 Gy 8 3 37.5 3.13 ab 37.19 ab 8.36 bc 2.25 56.3 SR 45 Gy 3 1 33.3 0.67 c 13.50 c 1.50 c 3.67 91.7 SR 50 Gy 8 7 87.5 4.88 a 58.06 a 13.25 ab 1.00 25.0 AR Keterangan. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 5 dengan uji DMRT setelah ditransformasi √x+0.5 N = Ʃ tanaman yang diinfeksi Foc; IP = Intensitas Penyakit ; Kthn = Ketahanan; T = Tahan; AR = Agak Rentan, SR = Sangat Rentan. Gambar 34. Potongan melintang akar pisang cv. Ampyang: a akar pisang sehat, b perubahan warna menjadi kecoklatan akibat kerusakan pada jaringan epidermis, xylem dan bakal akar cabang yang terinfeksi Foc dilihat dengan mikrokop cahaya c warna merah marone pada jaringan xylem akar yang terinfeksi Foc pada akar tanaman yang sama dilihat dengan mikroskop fluorescent, perbesaran 40x. Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy 2 tanaman, 40 Gy 3 tanaman, 45 Gy 1 tanaman dan 50 Gy 1 tanaman mengalami recovery setelah tanaman induk mengalami kematian skor 4, dengan tumbuh anakan dari bagian bawah batang semu pseudostem Tabel 32 dan Gambar 35. Varian tanaman pisang yang mengalami recovery yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy, memiliki intensitas penyakit IP 25 sehingga dikategorikan agak rentan terhadap infeksi Foc, namun 4 bulan setelah recovery tanaman xylem xylem bakal akar cabang xylem cortex epidermis a b c tersebut mengalami kematian. Tanaman recovery yang berasal dari hasil iradiasi 40, 45 dan 50 Gy tidak menunjukkan gejala kelayuan dan dikategorikan sebagai tanaman yang tahan, serta menghasilkan rataan jumlah daun, tinggi tanaman dan panjang akar yang hampir sama dengan tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy yang dikategorikan sebagai tanaman tahan layu Fusarium. Tabel 32 Rataan jumlah daun, tinggi tanaman cm dan panjang akar cm pada tanaman pisang cv. Ampyang usia 30 hari setelah recovery. Tanaman hasil iradiasi N Jumlah Daun Tinggi Tan. cm Panjang Akar cm Skor gejala kelayuan IP Kthn Rataan ± SE Rataan ± SE Rataan ± SE 20 Gy 2 2.5 0.5 36.5 1.0 7.2 0.3 1.0 25 AR 40 Gy 3 3.7 0.9 50.2 1.7 14.5 3.1 0.0 T 45 Gy 1 4.0 0.0 46.5 0.0 5.6 0.0 0.0 T 50 Gy 1 6.0 0.0 45.5 0.0 12.0 0.0 0.0 T Keterangan: IP = Intensitas Penyakit ; Kthn = Ketahanan; T = Tahan; AR = Agak Rentan Gambar 35 Tanaman pisang yang berasal dari hasil iradiasi a-b 20 Gy, c-d 40 Gy, e 45 Gy dan f 50 Gy yang mengalami recovery setelah diinfeksi melalui metode perendam akar dalam suspensi konidia Foc kerapatan 2.5 x 10 7 kon mL -1 usia 1-2 bulan setelah recovery. 45 Gy 4. 40 50 Gy 3. 64 20 Gy 3. 29 40 Gy4. 63 40 Gy 4. 66 20 Gy 1. 39 tunas recovery a f e d c b tunas recovery tunas recovery tunas recovery tunas recovery tunas recovery Evaluasi varian tanaman yang berasal dari hasi iradiasi pada usia 2 bulan setelah inokulasi menunjukkan bahwa 5 tanaman varian yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy dikategorikan sebagai tanaman yang tahan terhadap infeksi cendawan Foc isolat Banyuwangi. Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy dan tanaman yang tidak diradiasi 0 Gy, walaupun dikategorikan sebagai tanaman yang agak rentan, namun memiliki karakter tinggi tanaman dan jumlah daun yang secara statistik sama dengan tanaman hasil iradiasi 30 Gy. Tanaman yang berasal hasil iradiasi 20, 25 dan 40 dan 45 Gy teridentifikasi sebagai tanaman yang sangat rentan terhadap infeksi cendawan Foc, namun beberapa titik tumbuh dari tanaman hasil iradiasi tersebut mampu bertahan hidup dalam kondisi cekaman tersebut, sehingga dapat tumbuh membentuk tunas baru recovery. Tanaman tersebut merupakan kandidat tanaman yang tahan terhadap infeksi cendawan Foc. Menurut Predieri 2001 recovery merupakan suatu mekanisme yang seringkali terjadi pada tanaman hasil kultur jaringan dan tanaman yang mengalami cekaman biotik. Kemungkinan disini recovery terjadi karena pertumbuhan dan perkembangan pada tanaman yang bertahan hidup, berasal dari titik tumbuh yang memiliki gen ketahanan, atau sel-sel dalam titik tumbuh mampu menghindari escape dari kondisi cekaman yang dialaminya. Evaluasi ketahanan tanaman varian hasil iradiasi pada usia 6 bulan setelah inokulasi, ternyata hanya menghasilkan 5 klon tanaman yang dapat bertahan hidup. Tanaman tersebut berasal dari hasil iradiasi 30 Gy 2 tanaman, tanaman recovery yang berasal dari hasil iradiasi 40, 45 dan 50 Gy masing-masing 1 tanaman. Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di lapangan. Tanaman-tanaman varian hasil mutasi induksi dengan iradiasi gamma yang telah diaklimatisasi dan ditumbuhkan di rumah kaca sampai berusia 6-8 bulan, di evaluasi sifat ketahanan terhadap penyakit layu Fusarium di lahan endemik cendawan F. oxysporum f.sp cubense Foc. Evaluasi dilakukan terhadap persentase tanaman yang hidup usia 12 dan 24 bulan setelah tanam, dan karakter agronomis tanaman secara kuantitatif pada usia 12 bulan setelah tanam, karakter kuantitatif buah yang dihasilkan setelah panen. Tabel 33 Tinggi tanaman dan lingkar batang semu varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 12 bulan setelah ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium di lapangan. Tanaman varian hasil iradiasi Gy N Tinggi tanaman cm Lingkar batang semu cm Rataan ± SE Min Maks Rataan ± SE Min Maks 21 316.8 ± 27.9 121 545 36.6 ± 2.9 14 61 20 11 325.0 ± 42.3 153 556 34.8 ± 3.9 16 55 25 9 246.4 ± 36.4 107 407 28.7 ± 4.4 12 45 30 9 341.9 ± 34.6 138 479 44.2 ± 4.0 15 56 40 15 355.7 ± 29.9 108 470 38.7 ± 3.5 14 56 45 10 273.4 ± 36.4 176 497 37.7 ± 3.1 26 55 50 11 301.1 ± 27.5 174 443 31.7 ± 2.4 19 41 Keterangan: N = Ʃ tanaman hidup yang dievaluasi. Tabel 34 Jumlah anakan, jumlah pelepah, rasio panjang dan lebar daun, varian tanaman pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma usia 12 bulan setelah ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium di lapangan. Tanaman varian hasil iradiasi Gy Jumlah anakan Jumlah pelepah Rasio panjang : lebar daun Rataan ± SE Min Maks Rataan ± SE Min Maks Rataan ± SE Min Maks 4.3 ± 0.8 0 15 6.3 ± 0.4 4 10 3.4 ± 0.1 2.7 4.3 20 4.8 ± 1.1 1 12 5.9 ± 0.7 2 11 3.2 ± 0.2 2.3 4.6 25 3.1 ± 0.7 0 6 5.9 ± 0.6 3 8 3.1 ± 0.1 2.5 4.0 30 6.7 ± 1.1 2 11 7.0 ± 0.8 3 11 3.4 ± 0.2 2.8 4.3 40 5.1 ± 0.9 0 10 6.8 ± 0.3 5 9 3.2 ± 0.1 2.5 3.8 45 4.3 ± 0.9 1 10 5.3 ± 0.5 2 7 3.3 ± 0.1 2.6 4.0 50 2.5 ± 0.5 0 5 5.9 ± 0.4 4 9 3.3 ± 0.1 2.6 3.9 Hasil pengamatan terhadap karakter agronomis tanaman usia 12 bulan setelah tanam Tabel 33; 34 memperlihatkan pertumbuhan tanaman yang normal, sebagian besar belum memperlihatkan gejala kelayuan. Pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah pelepah pada tanaman yang berasal dari hasil iradiasi maupun yang tidak diradiasi relatif tidak berbeda. Rataan jumlah anakan, lingkar batang semu, rasio panjang dan lebar daun terlihat bervariasi. Tanaman varian yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy memperlihatkan konsistensinya pada setiap karakter yang diamati. Tanaman hasil iradiasi 30 Gy memiliki rataan lingkar batang semu 44.2 ± 4.0, jumlah anakan 6.7 ± 1.1, jumlah pelepah 7.0 ± 0.8, dan rasio panjang:lebar daun 3.4 ± 0.2 yang lebih besar dari tanaman perlakuan lainnya, sedangkan karakter pertumbuhan yang rendah dihasilkan pada tanaman hasil iradiasi 25 Gy dengan rataan tinggi tanaman 246.4 cm ± 36.4, lingkar batang semu 28.7 cm ± 4.4, dan rasio panjang : lebar daun 3.1 ± 0.1 yang lebih rendah dari tanaman lainnya Pertumbuhan tanaman varian pisang cv. Ampyang yang sehat, dan variasi morfologi tanaman berupa daun menggulung, pelepah menumpuk yang tampak pada saat evaluasi di rumah kaca, masih terlihat sampai tanaman berusia 3-6 bulan setelah tanam di lahan endemik cendawan Foc Gambar 36a-c. Terdapat beberapa tanaman mengalami recovery Gambar 36c dan mengalami gejala kelayuan daun pada usia 3 bulan setelah tanam Gambar 36e. Pada umumnya gejala kelayuan terlihat setelah tanaman berusia 11-12 bulan bahkan setelah tanaman berbuah atau setelah panen Gambar 36 f-g. Gejala kelayuan tanaman yang cukup lama terlihat yaitu setelah berusia 11-12 bulan atau setelah tanaman berbuah, kemungkinan karena pertumbuhan dan sporulasi cendawan Foc di dalam tanaman lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan vegetatif sel-sel tanaman. Menurut hasil penelitian Maora et al. 2003, resistensi di lapangan sangat berhubungan antara lain dengan sifat-sifat patogen untuk memproduksi inokulum pada tanaman atau melakukan penetrasi ke dalam tanaman. Pada pisang Cavendish yang rentan gejala awal berupa perubahan warna kuning pada daun bagian bawah sudah mulai terlihat pada tanaman pada usia 5 bulan setelah ditumbuhkan di lapangan Hwang Ko 2004. Daun-daun yang menguning dimulai dari daerah tepi daun dan berkembang ke arah tulang daun, kemudian berkembang menjadi titik-titik hitam, petiole menjadi coklat dan melengkung, selanjutnya terjadi pengeringan daun Nasir et al. 1999; Daly Walduck 2006. Studi yang telah dilakukan sebelumnya memperlihatkan bahwa temperatur merupakan faktor penting dalam kemajuan penyebaran Foc dan perkembangan gejala pada tanaman pisang Beckman et al. 1962; Viljoen 2002. Penyebaran maksimum patogen dalam sistem jaringan vaskuler dan terjadinya klorosis pada pisang cv. Gros Michel AAA terjadi pada temperatur tanah 26 o C, dan penyebaran menurun pada suhu 22 o C dan 30 o C Beckman et al. 1962, namun penyebaran penyakit pada tanaman ini tidak terjadi pada pisang cv. Cavendish yang terinfeksi Foc ras 4 subtropik Ploetz 1990. Selain temperatur tanah, pH tanah juga berperan dalam penyebaran Foc, beberapa peneliti memaparkan bahwa pH yang tinggi menyebabkan penurunan penyebaran penyakit Sugha et al. 1994. Hasil pengukuran temperatur tanah pada lahan endemik layu Fusarium ini sebesar 31.7 o C dengan pH tanah 6.2, diduga hal ini yang menjadi salah satu faktor penyebab gejala kelayuan baru terlihat 11-12 bulan setelah tanam. Gambar 36 Representatif tanaman varian pisang cv. Ampyang pada lahan endemik layu Fusarium: a tanaman usia 3 bulan dengan varian bentuk daun menggulung, b pelepah menumpuk, c tanaman recovery , d tanaman sehat, e-f tanaman yang menunjukkan gejala awal terinfeksi Foc pada usia 3 bulan dan 11 bulan setelah tanam, g tanaman berbuah pada usia 20 bulan setelah tanam dan gejala kalayuan pada anakan terserang layu Fusarium insert. d c a b g f e tunas recovery Pelepah menumpuk Pengamatan pada batang semu pisang yang tumbang akibat terinfeksi Foc terlihat berwarna kecoklatan pada bagian pelepah pisang, dan diluar bagian empulur batang. Setelah batang membusuk akan terlihat koloni cendawan Foc yang tumbuh pada ruang antar sel pada pelepah pisang Gambar 37a-c. Pengamatan mikroskopis melalui potongan membujur dan melintang pelepah pisang juga memperlihatkan perubahan warna pada xylem menjadi kecoklatan. Hal ini memastikan bahwa Foc telah ditraslokasikan dari xylem akar ke xylem pelepah batang, sedangkan pada pelepah yang sehat terlihat berwarna hijau Gambar 37 d-f. Warna merah kecoklatan sampai merah marone pada potongan melintang batang merupakan ciri tanaman pisang dan plantain yang terinfeksi cendawan Foc Daly Walduck 2006. Hasil isolasi pelepah dan tangkai buah pisang pada tanaman terinfeksi, memperlihatkan adanya pertumbuhan koloni cendawan Foc pada media kentang agar yang berwarna putih, dan tampak belakang berwarna orange, seperti halnya Foc isolat Banyuwangi Gambar 37 h-j. Hasil isolasi ini memastikan bahwa tanaman varian pisang yang ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium mengalami kematian karena terinfeksi oleh cendawan Foc. Tanaman pisang yang mampu bertahan hidup sampai usia 12 bulan setelah di tanam sebagian menghasilkan buah, namun pada umumnya buah dipanen sebelum masak yang disebabkan batang pisang tumbang atau membusuk. Secara morfologi kulit buah pericarp tebal dan memiliki tepi yang lancip, sebagian kulit buah memiliki bercak yang disebabkan oleh serangga, buah cepat membusuk namun tetap memiliki rasa yang manis. Variasi bentuk morfologi buah dan karakter kuantitatif buah kemungkinan disebabkan oleh pengaruh iradiasi yang diberikan pada saat induksi mutasi. Menurut Mak et al. 2004 bentuk dan karakteristik buah yang abnormal merupakan varian fenotipik yang merupakan salah satu kemungkinan yang akan diperoleh pada tanaman yang diberi perlakuan mutagenik. Variasi bentuk dan kuantitas buah ini bersifat acak, hal ini tidak berbeda dengan pendapat Novak et al. 1990 bahwa tanaman yang berasal dari hasil iradiasi tertinggi tidak selalu menghasilkan kuantitas buah yang rendah. Gambar 37. a batang tidak terinfeksi Foc, b warna kecoklatan pada batang terinfeksi Foc, c pertumbuhan koloni cendawan Foc pada pelepah membusuk. Pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran 100x potongan membujur dan melintang: d-e pelepah pisang terinfeksi Foc, f-g pelepah pisang sehat, h-j pertumbuhan koloni Foc hasil isolasi dari pelepah terinfeksi Foc tampak depan dan hasil isolasi dari tangkai buah tampak belakang reversed colony. Kualitas buah yang pada umumnya cepat membusuk dan dipanen karena batang tumbang, diduga karena pengaruh infeksi cendawan Fusarium yang menghambat absorbsi air beserta nutrisi dari jaringan vaskuler akar ke jaringan i h Jaringan pembuluh terinfeksi Foc Jaringan pembuluh tidak terinfeksi Foc b f d c Koloni cendawan Foc e g epidermis ruang antar sel j a vaskuler batang dan tangkai buah. Menurut Heslop-Harrison 2011, jumlah buah yang abnormal pada satu sisir, adanya bercak atau kerusakan akibat infeksi serangga akan merangsang produksi etilen sehingga turut mempercepat pemasakan dan pembusukan buah. Representasi gambar variasi morfologi buah yang terbentuk disajikan pada Gambar 38. Gambar 38 Keragaman fenotipik buah pisang cv. Ampyang yang tumbuh pada lahan endemik layu Fusarium a buah dipanen setelah masak, b- d buah di panen setelah pohon tumbang, e-g karakteristik buah abnormal, h-i buah yang cepat membusuk setelah dipanen. 0 Gy 7 23 45 Gy 4 6 30 Gy 1 1 40 Gy 4 21 50 Gy 1 5 40 Gy 4 15 0 Gy 7 24 20 Gy 6 2 40 Gy 4 14 30 Gy 3 14 0 Gy 3 47 40 Gy 4 11 a g f e d c b i h Tabel 35 Karakter kuantitatif buah pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma pada lahan terserang penyakit layu Fusarium di lapangan. Tanaman varian hasil iradiasi Tanaman yang berbuah Jumlah sisir buah per tandan Jumlah buah per tandan Bobot tandan buah kg Rataan ± SE Rataan ± SE Rataan ± SE 0 Gy 6 28.6 6.2 ± 0.3 79.3 ± 6.1 6.3 ± 0.8 20 Gy 3 27.3 5.0 ± 0.0 63.0 ± 5.3 4.7 ± 0.6 25 Gy 1 11.1 7.0 ± 0.0 110.0 ± 0.0 7.5 ± 0.0 30 Gy 7 77.8 5.1 ± 0.3 61.3 ± 5.1 3.4 ± 0.6 40 Gy 8 60.0 4.4 ± 0.2 52.8 ± 5.4 2.8 ± 0.5 45 Gy 2 30.0 5.3 ± 0.3 70.7 ± 9.2 3.8 ± 0.8 50 Gy 3 27.3 4.0 ± 0.0 66.0 ± 2.0 2.5 ± 0.5 Keterangan : = Ʃ tanaman yang berbuah Ʃ tanaman yang hidup usia 12 bulan setelah tanam x 100. Pengamatan terhadap karakter kuantitatif buah diketahui bahwa rataan jumlah buah berkisar 52.8 – 110.0 buah per sisir, jumlah sisir buah berkisar 4-7 sisir pertandan, dan bobot tandan buah berkisar 2.5 -7.5 kg per tandan. Persentase tanaman berbuah terbesar berasal dari tanaman hasil iradiasi 30 Gy 77.8 dan terendah dari tanaman 25 Gy 11.1 Tabel 33, beberapa tanaman menghasilkan jumlah buah 5-10 buah per sisir dengan bentuk buah kecil seperti tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 40 Gy dengan kode tanaman [40 Gy 4 11] yang terdapat pada Gambar 38f. Hasil analisis proksimat sampel pisang secara duplo pada semua perlakuan yang diuji Tabel 34, memperlihatkan bahwa buah pisang cv. Ampyang mengandung persentase kadar air yang lebih rendah, dan persentase karbohidrat, protein dan abu per gram sampel buah yang lebih tinggi dibandingkan sampel buah pisang cv. Ambon Hijau AAA yang diperoleh dari pasar komersial. Jika dibandingkan dengan pisang cv. Raja Sereh AAB relatif bervariasi dan tidak berbeda jauh. Persentase kadar air buah pisang cv. Ampyang berkisar 70.77 - 73.97, sedangkan pada pisang cv. Ambon Hijau sebesar 75.61 dan pisang cv. Raja Sereh sebesar 71.46. Kandungan protein buah pisang Ampyang berkisar 1.16 – 1.49, dan karbohidrat berkisar 23.53 – 27.49. Persentase protein pada pisang cv. Ambon Kuning sebesar 0.88 dan karbohidrat 22.95. Persentase kadar air yang cukup besar dihasilkan oleh buah pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy 73.97 dan buah tanaman kontrol 73.96, sedangkan kandungan protein yang tinggi dihasilkan dari buah pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi 25 Gy 1.47, 45 Gy 1.49, dan 50 Gy 1.45. Persentase karbohidrat buah pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi 30 Gy 27.09, 45 Gy 27.49 dan 50 Gy 27.19 relatif lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya dan sampel pisang komersial yang diuji, yaitu pada pisang cv. Ambon Hijau sebesar 22.95 dan cv. Raja Sereh 25.38. Hasil análisis proksimat ini mengindikasikan bahwa buah pisang cv. Ampyang yang ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium ini memiliki kualitas yang sukup baik. Tabel 36 Hasil analisis proksimat buah pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang ditumbuhkan pada lahan terserang layu Fusarium. Tanaman varian hasil iradiasi Kadar air Abu Lemak Protein Serat Kasar Karbohidrat Rataan persentase 0 Gy 73.96 0.73 0.09 1.33 0.18 23.72 20 Gy 72.32 0.64 1.16 1.37 0.23 24.29 25 Gy 73.97 0.35 0.41 1.47 0.27 23.53 30 Gy 70.77 0.75 0.13 1.16 0.11 27.09 40 Gy 71.77 0.65 0.46 1.20 0.17 23.80 45 Gy 69.79 0.78 0.22 1.49 0.23 27.49 50 Gy 69.93 0.82 0.40 1.45 0.22 27.19 Kontrol 1 75.61 0.22 0.19 0.88 0.16 22.95 Kontrol 2 71.46 0.78 0.88 1.25 0.26 25.38 Keterangan: Kontrol 1 berasal dari buah pisang meja cv. Ambon Hijau; 2. cv. Raja Sereh. Evaluasi ketahanan varian tanaman cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang ditumbuhkan pada lahan endemik layu Fusarium hasil percobaan tahapan ini menunjukkan bahwa sebagian besar 75.0 – 91.7 masih dapat bertahan hidup sampai usia 12 bulan atau setelah panen Tabel 35. Pada usia 18-21 bulan setelah tanam hampir keseluruhan tanaman induk yang ditanam mengalami kematian, dan menyisakan 2 tanaman induk 1.9, namun tanaman tersebut tidak menghasilkan anakan, dan 5 klon anakan 4.9 yang mampu bertahan hidup dari 102 tanaman yang dievaluasi. Klon tanaman anakan yang bertahan hidup berasal dari eksplan yang tidak diradiasi 0 Gy sebanyak 3 tanaman 12.5, dan eksplan hasil iradiasi 30 Gy dan 50 Gy masing-masing sebanyak 1 tanaman 8.3, klon anakan tersebut diduga merupakan tanaman yang resisten terhadap layu Fusarium. Tabel 37 Jumlah dan persentase tanaman varian pisang cv. Ampyang yang dapat bertahan hidup pada usia 12 dan 21 bulan setelah tanam pada lahan endemik penyakit layu Fusarium di lapangan. Tanaman varian hasil iradiasi Jumlah tanaman yang di evaluasi Jumlah persentase tanaman yang hidup usia 12 bulan setelah tanam Jumlah persentase tanaman yang hidup usia 21 bulan setelah tanam 0 Gy 24 21 87.5 3 12.5 20 Gy 12 11 91.7 0 0.0 25 Gy 12 9 75.0 0 0.0 30 Gy 12 9 75.0 1 8.3 40 Gy 18 15 83.3 0 0.0 45 Gy 12 10 83.3 0 0.0 50 Gy 12 11 91.7 1 8.3 Ket: = Ʃ tanaman hidup usia 12 bln setelah tanam Ʃ tanaman saat awal penanaman x 100. = Ʃ tanaman hidup usia 21 bln setelah tanam Ʃ tanaman saat awal penanaman x 100 Tanaman anakan yang bertahan hidup pada lahan endemik layu Fusarium dipelihara dalam polybag dan beberapa mengalami kematian dan recovery setelah 4 bulan ditumbuhkan di rumah kaca. Varian tanaman induk maupun klon anakan yang berasal dari hasil iradiasi 20, 25, 40 dan 45 Gy yang tidak mampu bertahan hidup, diduga merupakan tanaman rentan terhadap infeksi cendawan Foc, walaupun tanaman tersebut memiliki karakter agronomis yang tinggi dan mampu menghasilkan buah. Tanaman yang rentan diduga tidak memiliki gen ketahanan terhadap infeksi cendawan Foc atau tanaman terlambat dalam mengekspresi mekanisme pertahanan tanamannya, sehingga interaksi yang terjadi antara tanaman dan cendawan berkembang menjadi penyakit. Tanaman anakan yang tidak dapat bertahan hidup diduga merupakan tanaman kimera, yang pada umumnya berkembang dari populasi mutan yang berasal dari multiplikasi tanaman yang dilakukan lebih dari generasi M 1 V 4 Predieri 2001, Jain 2010. Tanaman varian pisang cv. Ampyang yang di evaluasi ketahanannya pada percobaan ini berasal dari generasi M 1 V 6-8 , sehingga perolehan tanaman kimera kemungkinan lebih besar. Pada Gambar 39 disajikan klon anakan varian pisang yang bertahan hidup pada lahan endemik layu Fusarium setelah tanaman induk berusia 20 bulan setelah tanam di lapangan. Klon anakan tersebut berasal dari eksplan awal yang tidak diradiasi 0 Gy yang memperlihatkan adanya recovery dan yang berasal dari hasil iradiasi 50 Gy. Gambar 39 Klon anakan yang berasal dari tanaman varian pisang cv. Amyang hasil iradiasi gamma yang di tanaman pada lahan endemik layu Fusarium : a tanaman anakan yang mengalami recovery dan tanaman kimera, b tunas baru tumbuh pada tanaman kimera, c-d klon anakan usia 4 bulan setelah dipindahkan dari lapang. Simpulan Evaluasi ketahanan varian tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro, dihasilkan 48 klon tanaman 40.8 terindikasi tahan terhadap layu Fusarium. Tanaman tersebut berasal dari hasil evaluasi dengan Foc isolat Medan VCG 0121316 TR4 sebanyak 28 klon 36.4 dan hasil evaluasi dengan Foc isolat Banyuwangi sebanyak 20 klon 48.9. Evaluasi ketahanan varian tanaman di rumah kaca melalui infeksi akar dengan cendawan Foc isolat Banyuwangi menunjukkan bahwa varian tanaman pisang cv. Ampyang yang berasal dari eksplan tunas yang diradiasi dan proliferasi tunas secara in vitro, diperoleh 5 klon tanaman 13.8 yang dapat bertahan hidup. Tanaman tersebut berasal dari hasil iradiasi 30 Gy 2 tanaman, dan tanaman recovery yang berasal dari hasil iradiasi 40, 45, 50 Gy masing-masing 1 tanaman. Tanaman kimera Tunas tumbuh pada jaringan kimera Tanaman recovery a b c d Evaluasi ketahanan varian tanaman yang berasal dari hasil mutasi induksi pada lahan endemik layu Fusarium menunjukkan bahwa 75.0 – 91.7 varian tanaman cv. Ampyang masih dapat bertahan hidup sampai usia 12 bulan. Gejala kelayuan dan kematian tanaman baru terlihat pada usia 18-21 bulan setelah tanam, hanya 5 klon anakan 4.9 yang mampu bertahan hidup, yang berasal dari tanaman 0, 30 dan 50 Gy. Tanaman tersebut diidentifikasi sebagai tanaman yang resisten terhadap layu Fusarium. Daftar Pustaka Agrios GN. 2005. Plant Pathology, Ed ke-5. Amsterdam. Elsevier Acad. Press. Beckman CH, Halmos S, Mace ME. 1962. The interaction of host, pathogen and soil temperature in relation to susceptibility to Fusarium wilt of bananas. Phytophatology 52: 134-140. Bhagwat B, Duncan EJ. 1998. Mutation breeding of Highgate Musa acuminata, AAA for tolerance to Fusarium oxysporum f. sp. cubense using gamma irradiation. Euphytica 101: 143–150. Carlier J, De Weel D, Escalant JV. 2002. Global evaluation of Musa germplasm for resistances to Fusarium wilt, Mycosphaerella leaf spot disease and nematodes. Montpellier. INIBAP Techical Guidelines 6. Chachinero JM, Hervas A, Jimenez-Diaz RM, Tena M. 2002. Plant defence reactions against Fusarium wilt in chickpea induced by incompatible race 0 of Fusarium oxysporum f. sp. ciceris and non-host isolates of F. oxysporum. Plant Pathol 551: 765-325. Chandra R, Kamle M, Bajpai A, Muthukumar M. Kalim S. 2010. In vitro selection: A candidat approach for disease resistance breeding in fruit crops. Asian J Plant Sci 98: 437-446. Companioni B. et al. 2003. Use of culture-derived Fusarium oxysporum f. sp. cubense , race 1 filtrates for rapid and non-destructive in vitro differentiation between resistant and susceptible clones of field-grown banana. Euphytica 130: 341-347. Daly A, Walduck G. 2006. Fusarium wilt of bananas Panama disease Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Agnote I51:1-5. Epp D. 1987. Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. Di dalam: Persley GJ, De Langhe EA, editor. Banana and plantain breeding strategies. Canbera. ACIAR Publ. hlm. 140-150. Goodman RN, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiology of Plant Disease . Columbia. Univ. of Missouri Press. Hermanto C. et al. 2011. Incidence and distribution of Fusarium wilt disease of banana in Indonesia. Acta Hort 897: 313-322 Heslop-Harrison JS. 2011. Genomic, banana breeding and superdomestication. Acta Hort 897: 55-62. Huang J-S. 2001. Plant pathogenesis and resistance biochemistry and physiology of plant microbe interaction. Netherlands. Kluwer Acad. Publ. Hwang SC, Ko WH. 2004. Cavendish banana cultivars resistant to Fusarium Wilt acquired through somaclonal variation in Taiwan. Plant Disease 886: 580- 588. Iqbal, MJ, Yaegashi S, Ahsan R, Shopinski KL,. Lightfoot DA. 2005. Root response to Fusarium solani f. sp . glycines: temporal accumulation of transcripts in partially resistant and susceptible soybean. Theor Appl Genet 110: 1429–1438 Jain SM. 2010. In vitro mutagenesis in banana Musa spp. Improvement. Di dalam: Dubois T. et al. editor. Acta Hort 879: 605-614 Mak C, Mohamed AA, Liew KW, Ho YW. 2004 b . Early screening technique for Fusarium wilt resistance in banana micropropagated plant. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology, and Induced Mutation . Enfield. Sci. Publ. Inc. http:www.fao.org docrep007ae216eae216e08.htmbm08 . [26 Mei 2007] Mak C. Ho YW, Liew KW, Asif JM. 2004. Biotechnology and in vitro mutagenesis for banana improvement. Di dalam: Jain SM, Swensen R, editor. Banana Improvement: Celullular, Molecular Biology, and Induced Mutation . Enfield, Sci. Publ. Inc., hlm 54-73. http:www.fao.orgdocrep 007ae216eae216e08.htmbm08 . [26 Mei 2007] Maora JS, Namaliu Y, Cilas C, Blaha G. 2003. Durability of Field Resistance to Black Pod Disease of Cacao in Papua New Guinea. Plant Disease 8712: 1423-1425. Masdek N et al. 2003. Global significance of Fusarium wilt in Asia. Ed. Ke-2. International symposium on Fusarium wilt on banana. Salvador de Bahia. http:www.inibap.orgpdfFusarium_Wilt.pdf . [11 Jan 2007] Matsumoto K, Barbosa ML, Souza LAC, Teixeira JB. 1999. In vitro selection for Fusarium wilt resistance in banana. II. Resistance to culture filtrate of race 1 Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Fruit. 54:151-157 Medina F-IS, Amano E, Tano S. 2004. Mutation Breeding Manual. Japan. Forum For Nuclear Coorporasion in Asia FNCA. Moerschbacher Mendgen 2000. Structural aspects of defense. Di dalam: Slusarenko AJ, RSS Fraser, LC Van Loon, editor, Mechanisms of Resistance to Plant Diseases . Dordrecht. Kluwer Acad. Publ. hlm. 231-277 Moore NY, Pegg KG, Allen RN, Irwin JAG. 1993. Vegetative compatibility of Fusarium oxysporum f.sp. cubense in Australia. J Exp Agric 33: 797-802. Moore NY, Pegg KG, Buddenhagen IW, Bentley S. 2001. Fusarium wilt of banana: a diverse clonal pathogen of domesticated clonal host. Di dalam: Summerel BA et al. editor. Fusarium Minnesota. APS Press. hlm 212-224. Morpurgo R, Lopato SV, Afza R, Novak FJ. 1994. Selection parameters for resistance to race 1 and race 4 on diploid banana Musa acuminata Colla. Euphytica 75: 121-129. Nasir N, Pittaway PA, Pegg KG, Lisle AT. 1999. A pilot study investigating the complexity of Fusarium wilt of bananas in West Sumatra, Indonesia. Aust J Agric Res

50:1279-83.

Novak FJ, Afza R, van Duren M, Omar MS. 1990. Mutation induction by gamma irradiation of in vitro cultured shoot-tips of banana and plantain Musa cvs. Tropic Agric 67: 21–28. Ploetz RC, Churchill. 2011. Fusarium wilt: the banana disease that refuse to go away. Acta Hort 897: 519-526. Ploetz RC, Kepler AK, Daniells J, Nelson SS. 2007. Banana and plantain and overview with emphasis on Pasific islands cultivars. Specific Profiles for Pasific Island Agroforestry. http:www.agroforestry.netttiBanana- plantain-overview.pdf [7 Agust 2007] Ploetz RC, Thomas JE, WR. Slabaugh. 2003. Diseases of Banana and Plantains. Di dalam: Ploetz RC. editor. Diseases of Tropical Fruit Crop. Wallingford. CABI Publishing, CAB International. hlm 212-224. Predieri S. 2001. Mutation induction and tissue culture in improving fruits. Plant Cell Tissue Organ Cult 64: 185–210. Purwati RD, Harran S, Sudarsono. 2007. In vitro selection of Abaca for resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Hayati 142:65-70. Smith MK et al. 2006. Towards the development of a Cavendish banana resistant to race 4 of Fusarium wilt: gamma irradiation of micropopagated Dwarf Parlitt Musa spp, AAA group, Cavendish subgroup. Aust J Exp Agric 46:107-113. Stover RH, Buddenhagen IW. 1986. Banana breeding: ploidy, disease resistance, and productivity. Fruit 40: 175-191. Sugha SK, Kapoor SK, Sigh BM.1994. Factor influencing Fusarium wilt of chickpea Cicer arietinum L.. Indian J. Micol Plant Pathol 24: 97-102. Sutarto I, Meldia Y, Jumjunidang. 1998. Seleksi resistensi mutan pisang Ambon Kuning terhadap penyakit Layu Fusarium. Di dalam: Suhadi F, editor. Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. Jakarta 18-19 Feb 1998. Jakarta. BATAN, hlm. 123-128. Valmayor RV et al. 2000. Banana cultivar names and synonyms in Southeast Aasia. France. INIBAP. Van Loon LC. 2000. Sistemic induced resistance. Di dalam: Slusarenko AJ, Fraser RSS, Van Loon LC, editor, Mechanisms of Resistance to Plant Diseases . Dordrecht. Kluwer Acad. Publ. hlm. 521-574. Viljoen A. 2002. The status of Fusarium wilt panama diseases of banana in South Africa. South Afr J Sci 98: 31-344. Yusnita, Sudarsono. 2004. Metode inokulasi dan reaksi ketahanan 30 genotipe kacang tanah terhadap penyakit busuk batang Sclerotium. Hayati 11:53-58.

BAB VIII PEMBAHASAN UMUM

Program penelitian dan pengembangan tanaman buah di Indonesia, terutama peningkatan genetik, produksi dan kualitas buah untuk perbaikan sosioekonomi dan produk pertanian berdasarkan industri, serta mampu menjadi penunjang untuk peningkatan kesejahteraan petani, masih belum cukup tersedia. Menurut IAEA 2009, di daerah tropis dan sub tropis program pengembangan tanaman buah mengalami stagnasi karena kurangnya perhatian pada tanaman hortikultura, adanya pertumbuhan populasi manusia dan pertumbuhan industrialisasi yang cepat, serta deforesisasi memicu hilangnya plasma nutfah untuk pengembangan tanaman buah. Target di dalam pemuliaan tanaman pisang atau dalam pemuliaan tanaman pangan lainnya, menurut Heslop-Harrison 2011 dipisahkan dalam lima kelompok yang saling berhubungan, yaitu pada karakter produktivitas, resisten terhadap cekaman abiotik dan cekaman biotik, karakter tanaman pasca-panen dan masalah yang berhubungan dengan pemasaran, lingkungan serta kualitas hidup. Produktivitas merupakan karakteristik utama yang diseleksi oleh pemulia, sedangkan masalah cekaman abiotik dan biotik merupakan faktor utama yang menyebabkan ketidakstabilan atau menurunnya produktivitas pada banyak tanaman pangan di Indonesia. Pisang dan plantain Musa spp merupakan komoditas utama untuk ketahanan pangan, walaupun dalam kondisi lingkungan yang buruk tanaman pisang dapat berperan sebagai tanaman pangan yang bermanfaat. Pisang terdiri dari banyak species dan kultivar, di antaranya pisang cv. Ampyang Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish. Pisang cv. Ampyang merupakan pisang meja dessert banana yang sudah sulit dijumpai di pasar tradisional maupun modern, karena sudah jarang dibudayakan oleh petani lokal. Keberadaan pisang cv. Ampyang yang sulit dijumpai ini diduga karena pisang cv. Ampyang rentan terhadap penyakit layu Fusarium. Layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense merupakan salah satu patogen yang sangat destruktif yang menyerang tanaman pisang dan plantain Musa spp terutama di daerah tropis. Di Indonesia penyakit layu Fusarium dilaporkan telah menginfeksi berbagai pisang meja dan pisang olahan seperti pisang cv. Ambon Kuning AAA, subgrup Gros Michel, cv. Kepok ABB, subgrup Saba, cv. Mas AA, subgrup Sucrier Nasir et al. 1999, cv. Barangan AAA, subgrup Lakatan , cv. Raja Sereh AAB, subgrup Silk, cv. Tanduk AAB, subgroup Plantain Hermanto Setyawati 2002. Usaha perolehan tanaman pisang cv. Ampyang yang memiliki karakter agronomi unggul dan perolehan bibit tanaman yang resisten layu Fusarium dilakukan melalui teknik mutasi induksi dengan iradiasi gamma pada tunas pisang aseptis dan melalui teknik seleksi in vitro. Percobaan tahap awal dilakukan untuk menentukan radiosensitivitas tunas pisang cv. Ampyang Musa acuminata, AAA terhadap perlakuan iradiasi gamma yang ditentukan berdasarkan dosis yang mereduksi pertumbuhan tanaman sebesar 20-50 LD 20-50 . Hasil percobaan diperoleh bahwa LD 20-50 berada dikisaran 51.07-64.54 Gy dengan dosis optimum untuk pertumbuhan tunas pisang aseptis berada pada dosis 30 Gy. Tunas pisang cv. Ampyang aseptis setelah diinduksi mutasi dan mengalami periode proliferasi dan regenerasi selama 10 bulan dengan subkultur 6-8x, menghasilkan plantlet yang bervariasi untuk karakter jumlah akar yang terbentuk, bobot segar, tinggi plantlet, serta rasio panjang : lebar p:l yang berbeda nyata dengan kontrol. Peningkatan dosis iradiasi yang diberikan pada saat mutasi induksi cenderung menghasilkan plantlet dengan jumlah akar yang lebih sedikit, dan bentuk daun yang lebih panjang dibandingkan plantlet yang tidak diradiasi. Hasil percobaan tahap awal ini dapat digunakan sebagai identifikasi awal keberadaan varian somaklon pada pisangcv. Ampyang pembahasan bab III. Evaluasi varian tanaman usia 6 bulan setelah aklimatisasi di rumah kaca memperlihatkan adanya keragaman fenotipik pada karakter tinggi tanaman, panjang daun, dan rasio panjang : lebar daun yang lebih rendah dari tanaman tanpa diradiasi. Pada karakter ini terbukti makin tinggi dosis iradiasi yang diberikan, tinggi tanaman semakin rendah, dan secara morfologi bentuk daun terlihat pendek serta lebih lebar. Nilai sebaran normal tanaman menunjukkan beberapa tanaman teridentifikasi kerdil kate, dan beberapa memiliki tinggi tanaman di atas kisaran tanaman standar. Menurut Khayat et al. 2004, adanya tanaman kate dan raksasa berhubungan dengan sensitivitas tanaman terhadap hormon gibberellin GA 3 . Evaluasi terhadap jumlah stomata memperlihatkan bahwa tanaman varian dengan densitas stomata tinggi 0, 45 dan 50 Gy terlihat tersusun teratur dan sangat rapat, sedangkan varian tanaman dengan densitas stomata rendah cenderung memiliki ukuran yang lebih besar dan tersusun kurang beraturan, sehingga diduga terjadi perubahan ploidi pada tanaman. Menurut Hetherington Woodward 2003, perubahan genetik dapat menyebabkan perubahan densitas stomata dan ukuran stomata, semakin tinggi tingkat ploidi semakin besar ukuran sel dan stomata daun Griffiths et al. 1996; Damayanti 2007. . Pengamatan karakter kualitatif tanaman di rumah kaca, juga dijumpai adanya keragaman morfologi daun, pelepah daun dan keberadan bercak, namun setelah tanaman di tumbuhkan di lapangan beberapa karakter tersebut tidak muncul pada daun yang baru tumbuh atau pada anakannya. Variasi karakter kualitatif tersebut beberapa tidak mampu bertahan hidup varian pelepah menyatu, dan memiliki performa pertumbuhan yang rendah varian bentuk daun tidak beraturan dan sobek. Beberapa varian masih tampak setelah tanaman ditumbuhkan di lapangan varian daun variegata, daun bergaris hijau tua-muda, tepi daun menggulung, daun tegak dengan ujung daun lancip, pelepah berhadapan, dan sebagian lagi kembali sebagaimana morfologi pada pertumbuhan tanaman yang normal varian daun berkerut, susunan daun melingkar, pelepah tersusun seperti kipas. Keberadan bercak pada daun tanaman, sebagian besar tidak tampak lagi setelah tanaman ditumbuhkan di lapangan. Perolehan varian ini sesuai dengan pernyataan Predieri 2001 dan Mak et al. 2004, yang menyatakan bahwa pemuliaan mutasi dengan teknik in vitro dapat menghasilkan perubahan morfologi sebagaimana adanya peningkatan variabilitas pada karakter kuantitatif. Evaluasi tanaman varian di lapangan memperlihatkan adanya keragaman karakter kuantitatif tanaman saat pertumbuhan vegetatif dan generatif. Pada saat pertumbuhan vegetatif, keragaman kuantitatif yang ditimbulkan bervariasi pada setiap tingkatan dosis iradiasi yang diberikan, hal ini dapat terjadi karena mutasi induksi bersifat acak Medina et al. 2004: Mak et al. 2004. Tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 20 Gy sebagian besar memperlihatkan pertumbuhan dengan karakter kuantitatif yang lebih rendah dan tidak mampu berbuah, demikian pula tanaman yang berasal dari hasil iradiasi 40 Gy, sehingga dikarekterisasi sebagai varian yang negatif. Tanaman hasil iradiasi 0, 30 dan 50 Gy sebagian besar memperlihatkan pertumbuhan dengan karakter kuantitatif tanaman yang lebih tinggi dengan kuantitas buah yang cukup baik, dengan rataan jumlah buah 80.2 -

Dokumen yang terkait

Penggunaan Jamur Antagonis Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk Mengendalikan Penyakit Layu (Fusarium oxysporum) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

9 157 125

Pengelompokan Isolat Fusarium oxysporum f.sp.cubense Dari Beberapa Jenis Pisang (Musa spp.) Serta Uji Antagonisme Fusarium oxyspomm Non Patogenik Dan Trichoderma koningii Di Laboratorium

0 30 85

Potensi Cendawan Endofit Dalam Mengendalikan Fusarium Oxysporum F.SP. Cubense Dan Nematoda Radopholus Similis COBB. Pada Tanaman Pisang Barangan (Musa Paradisiaca) Di Rumah Kaca

0 42 58

Teknik PHT Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysforum f. sp capsici Schlecht) Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum armuum L.) di Dataran Rendah.

0 27 138

Uji Antagonis Trichoderma spp. Terhadap Penyakit Layu (Fusarium oxysforum f.sp.capsici) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L) Di Lapangan

3 52 84

Uji Sinergisme F.oxysporum f.sp cubense Dan Nematoda Parasit Tumbuhan Meioidogyne spp. Terhadap Tingkat Keparahan Penyakit Layu Panama Pada Pisang Barangan (Musa sp.) di Rumah Kassa

0 39 72

Sinergi Antara Nematoda Radopholus similis Dengan Jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense Terhadap Laju Serangan Layu Fusarium Pada Beberapa Kultivar Pisang (Musa sp ) Di Lapangan

3 31 95

Molecular Characterization of Resistance Banana Cultivars to Panama Wilt Disease Caused by Fusarium oxysporum f sp cubense

0 36 194

In Vitro Selection of Abaca for Resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense

0 8 6

Resistance against Fusarium oxysporum f.sp. cubense in banana cv. Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgroup non-Cavendish) through induced mutation and in vitro selection.

0 3 363