MENJADI BANGSA YANG SEHAT DENGAN TAUBAT

Menjadi Bangsa (yang) Sehat dengan ’Taubat’
Oleh: Muhsin Hariyanto
Kawan saya (penulis) – di saat ‘ngobrol’ setelah shalat Zhuhur di Masjid
KHA Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta -- tiba-tiba mengeluarkan
sebuah pernyataan: “Kita ini adalah bangsa yang sakit. Betapa tidak, kita sangat
menyukai jika bisa mempermalukan orang lain. Kita sangat senang mencari-cari
cara untuk menjatuhkan orang lain. Kita sering bersembunyi di balik jargonjargon agama dengan merasa diri sebagai seseorang yang lebih baik daripada
orang lain. Kita seringkali membanggakan kesalehan kita dalam beragama,
dengan bukti – misalnya -- ‘banyaknya hafalan-hafalan ayat-ayat al-Quran dan
pengetahuan agama kita”. Melanjutkan pernyataan itu saya tegaskan: “Itu semua
memang sangat penting, namun akan menjadi semakin tidak berguna jika kita
tidak sesegera mungkin mau melakukan muhasabah dan berendah hati kepada
sesama”.
Saya katakan kepadanya, banyak orang bertanya: “Apa penyakit yang
paling berbahaya?” Jawabnya bisa beragam. Tetapi mayoritas kawan saya
menjawabnya dengan perspektif ilmu kedokteran. Sehingga bisa diduga
jawabnya mengarah pada hal-hal yang bersifat fisik. Padahal, menurut pendapat
saya, ada penyakit yang paling berbahaya dan ditengarai jauh lebih berbahaya -bagi bangsa kita ini -- daripada segala macam penyakit fisik yang tengah
diderita, yaitu: “penyakit hati”.
Saya pernah membaca artikel lepas di sebuah situs internet
(http://www.profvb.com/vb/t76417.html). Di dalamnya ada sebuah pernyataan:

"Keberadaan suatu bangsa ditentukan oleh keberadaan akhlak mereka. Jika
akhlak mereka telah lenyap, akan lenyap pulalah bangsa itu." (Ahmad Syauqi
Bek, Sastrawan Mesir, w. 1868). Pernyataan ini – kata penulisnya -diungkapkan oleh Ahmad Syauqi Bek sebagai ‘orang Mesir’, tetapi resonansinya
tidak terbatas pada ruang dan waktu. Sementara itu, dalam konteks keindonesian,
AM Dewabrata (seorang jurnalis senior yang wafat di Yogyakarta, 15 Juli 2005),
menulis dalam tulisan terakhirnya: “Korupsi sekarang belum kita tertawakan,
melainkan masih kita sokong tiap hari di mana pun, dari tingkat kelurahan dan
pelayanan terbawah sampai ke departemen maupun lembaga negara di pusat.
Korupsi belum menjadi masa lalu; masih merupakan bagian budaya kontemporer
kita". (diakses pada hari Selasa, 11 September 2012, dalam http://www.nuantikorupsi.or.id)
Kita bisa melakukan ‘kaji-ulang’ dalam perspektif kemanusiaan secara
utuh (jasmani-ruhani) terhadap pernyataan Nabi Muhammad s.a.w. empat belas
abad yang lalu: “Ketahuilah, bahwa di dalam diri manusia ada mudhghah
(segumpal daging), yang ketika benda (segumpal daging) itu baik, maka baiklah
seluruh tubuh manusia itu, sebaliknya ketika benda (segumpal daging) itu
buruk, maka buruklah seluruh tubuh manusia itu. Ketahuilah bahwa yang

1

kumaksud dengan segumpal daging itu adalah hati”. (HR Bukhari-Muslim dari

An-Nu’man bin Basyir).
Apa yang dimaksud dengan pernyataan Nabi s.a.w. di atas? Para ulama
sepakat bahwa beliau mengingatkan kepada diri kita untuk menjaga hati kita.
Tentu saja, bukan sekadar ‘hati’ dalam pengertian fisik, sebagaimana yang
tersurat dalam kata mudhghah (segumpal daging). Karena pernyataan beliau di
akhir kalimatnya dengan kata ‘qalb’, yang bermakna hati dalam pengertian
ruhani.
Saya tegaskan kepada kawan saya, bahwa para ulama menyatakan bahwa
secara etimologis pengertian qalb -- (bentuk masdar dari qalaba – adalah sesuatu
yang ’berubah-ubah, berbolak-balik, tidak konsisten, berganti-ganti’. Qalb –
selanjutnya dalam pengertian terminologis – bisa dipahami sebagai ‘lokus’ atau
tempat di dalam wahana jiwa manusia yang merupakan titik sentral atau awal
segala awal yang menggerakkan perbuatan manusia yang cenderung kepada
kebaikan dan keburukan. Qalb juga merupakan ‘saghaf’ atau hamparan yang
menerima suara hati (conscience) yang berasal dari ruh dan sering pula disebut
dengan nurânî (bersifat cahaya) yang menerangi atau memberikan arah pada
manusia untuk bertindak dan bersikap berdasarkan keyakinan atau prinsip yang
dimilikinya.
Dengan qalb itulah, Allah memanusiakan manusia, memuliakannya lebih
daripada semua makhluk yang diciptakan-Nya. Sebaliknya, karena qalb itu pula,

manusia ‘membinasakan’ dirinya sendiri, sebagaimana yang pernah saya baca
dalam tafsir QS at-Tîn.. Hal ini bisa terjadi dikarenakan qalb merupakan titik
sentral kecerdasan dan sekaligus kebodohan ruhaniah bagi setiap manusia. Itulah
sebabnya, Allah menempatkan qalb sebagai titik-sentral kesadaran manusia,
sehingga Allah sendiri tidak memedulikan tindakan yang tampak kasat mata,
bahkan Allah memaafkan kesalahan yang tidak dengan sengaja disuarakan oleh
hati nuraninya, sebagaimana yang pernah saya cermati dalam tafsir QS alBaqarah, 2: 225 dan QS al-Ahzab, 33: 5.
Allah pun tidak lebih senang memandang apa yang tampak, tetapi justeru
akan lebih suka melihat yang lebih esensial, yaitu qalb manusia, karena dari qalb
inilah terungkap tindakan-tindakan yang autentik. Sebagaimana saabda
Rasulullah s.a.w.: “Sesungguhnya Allah tidak akan memandang bentuk
wajahmu, tidak memandang badanmu, melainkan Dia akan selalu memandang
qalbmu.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Di dalam qalb – kata para pakar tafsir -- terhimpun kekuatan moral,
kemampuan untuk mengalami dan menghayati tentang makna salah-benar, baikburuk, serta kemauan dan kemampuan untuk mengambil berbagai keputusan
yang harus dipertanggungjawabkannya secara sadar sebagai hamba dan khalifah
Allah di muka bumi, sehingga seseorang bisa memeroleh kejayaan atau
sebaliknya terpuruk dalam kehinaan, bahkan bisa menjadi lebih hina daripada

2


binatang yang melata karena qalbnya. Atau dengan singkat, para pakar tafsir
menyatakan bahwa pemanfaatan Qalb merupakan titik-awal dari sikap sejati
manusia yang paling autentik ketika mengartikulasikan kemauan dan
kemampuan sebagai hamba dan khalifah Allah, yaitu – antara lain -:
“membangun kejujuran, keyakinan, dan prinsip-prinsip kebenaran dalam proses
kehidupannya”. Dengan mengoptimalkan fungsi qalbnya, seseorang akan
memiliki kecerdasan ruhaniah, yaitu kemampuan untuk mendengarkan suara hati
nuraninya atau bisikan kebenaran ilahiahnya dalam mengambil keputusan atau
melakukan pilihan-pilihan hidupnya.
Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Mintalah
nasihat pada dirimu, mintalah nasihat pada hati nuranimu (istafti nafsaka, istafti
qalbaka) wahai Wabishah (Nabi mengulanginya tiga kali). Kebaikan adalah
sesuatu yang membuat jiwa tenang dan membuat hati tenang. Dosa adalah
sesuatu yang membuat jiwa tidak tenteram dan terasa bimbang di dalam
hati.”(HR Ahmad dari Wabishah bin Ma’bad al-Asadi)
Menang bangsa kita ini telah memilki sejumlah kekayaan, nanum masih
ada kekayaan hakiki yang justeru terbengkelai, kita masih bermasalah dengan
'kemiskinan hati'. Kemiskinan hati inilah yang mendorong bangsa kita ini berebut
harta dan kekuasaana dan enggan berjihad di jalan Allah. Kemiskinan hati adalah

penyakit berbahaya. Bangsa yang menderita penyakit ’miskin hati’ selalu
berkemauan dan tega untuk mengumpulkan harta tanpa memedulikan ’halal atau
haram’. Tidak jarang mereka memiliki keberanian utnu selalu menipu dalam
beragam modus ’bisnis’ dengan cara mengurangi timbangan, mencuri, dan yang
paling mutakhir adalah: ”korupsi”.
Untuk itu kita pertimbangkan tawaran ’solusi’ bagi permasalahan
bangsa kita yang sedang sakit ini dari Imam asy-Syafi’i: "Jadilah umat yang
memiliki kekayaan hati, dan bila kita telah memilikinya, insyaallah kita akan
benar-benar memiliki sikap qana'ah dan syukur, dan dengan dua sikap itu, kita
akan mendapatkan kebahagiaan yang dijanjikan oleh Allah.
Permasalahan selanjutnya adalah: ”Sanggupkah kita menerjemahkan
sikap qanâ'ah dan syukur dengan cara yang proporsional ke dalam seluruh aspek
kehidupan kita saat ini dan di masa yang akan datang?” Semuanya kembali
kepada diri kita. Jadilah bangsa besar yang berjiwa besar untuk mau mengakui
kesalahan yang pernah kita perbuat, dan selanjutnya mau bekerja keras, cerdas,
ikhlas dan tuntas untuk memperbaiki diri dengan ruh (spirit/semangat) ”taubatan
nasûhâ untuk keluar dan sembuh dari penyakit ”kemiskinan hati”.
Penulis adalah: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Tidak Tetap STIKES
‘Aisyiyah Yogyakarta.


3