Olahraga pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Amira Permatasari Tarigan
Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Tembakau Deli Medan

Abstrak: Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat sesak napas
yang dialaminya bertahun-tahun, tetapi diperburuk kondisinya oleh penurunan fungsi otot
skeletal akibat berkurangnya aktivitas sehari-hari pasien (Deconditioning syndrome).
Oleh sebab itu melakukan kegiatan berolahraga harus dipertimbangkan bagi semua pasien-pasien
PPOK. Manfaat yang dapat diperoleh adalah dari efek fisiologis dan psikologis.
Dalam melakukan berolahraga bagi penderita PPOK membutuhkan langkah-langkah yang terarah
sehingga mencapai keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan. Pasien PPOK yang melakukan
olahraga secara terprogram umumnya dapat meningkatkan kapasitas kerja mereka 70–80% dalam
waktu 6 minggu dan mengalami perbaikan keluhan sesak napasnya.
Kata kunci: PPOK, penurunan aktivitas, olahraga

Abstract: The disability to do activities for the patients of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) occurs not only because of the shortness of breath problem that they suffer for
years but the condition is also worsened by the decreasing function of skeletal muscles resulted
from the lessened daily activities of the patients (Deconditioning syndrome).
That’s why physical exercise activities should be considered by the patients of COPD. The
benefits which can be gained are both physiological and psychological effect. In doing exercises or

sports for the sufferers of chronic obstructive pulmonary disease, requires aimed steps so the
expected achievement can be reached. The patients of COPD who perform programmed
exercise/sports generally increase their working capacity as much as 70%-80% in 6 weeks and
they gain improvement in the shortness of breath complaints.
Keywords: COPD, decreasing activities, exercise

PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
adalah penyakit paru kronis ditandai dengan
hambatan aliran udara disaluran napas yang
tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran
udara ini bersifat progresif dan berhubungan
dengan respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.
Keluhan utamanya antara lain sesak napas,
batuk kronis dengan sputum dan keterbatasan
1
aktivitas.
Ketidakmampuan
beraktivitas

pada
pasien-pasien PPOK terjadi bukan hanya
akibat dari adanya kelainan obstruksi saluran
napas pada parunya saja, tetapi juga akibat
pengaruh beberapa faktor, salah satunya yaitu
penurunan fungsi otot skeletal. Penurunan
223

aktivitas pada kehidupan sehari-hari akibat
sesak napas yang dialami pasien-pasien PPOK,
akan mengakibatkan makin memperburuk
2
kondisi tubuhnya (deconditioning syndrome).
Dari hasil penelitian Isabel dkk. (1998)
melaporkan bahwa skor limit time dan
aktivitas fisik sangat signifikan menurun pada
pasien-pasien PPOK. Hal ini mengindikasikan
kerusakan daya tahan otot skeletal pada pasien
PPOK berhubungan dengan kerusakan fungsi
paru yang bergabung dengan pengaruh

2
kurangnya pasien melakukan aktivitas fisik.
Yang dimaksud olahraga atau latihan
adalah semua aktivitas jasmani yang dapat
dilakukan setiap hari dengan mudah oleh siapa
saja tanpa harus menggunakan alat dan
perlengkapan yang mahal. Penderita PPOK

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007
Universitas Sumatera Utara

Amira Permatasari Tarigan

perlu berolahraga untuk mempertahankan dan
atau memulihkan kesehatannya. Yang penting
dan perlu diingat adalah pengertian olahraga
seperti yang disebutkan di atas. Berolahraga
tidak harus berarti main sepakbola, bersepeda,
3
berlari dan sebagainya.

Ada pernyataan yang perlu kita cermati
yaitu “ Tiada orang yang terlalu sehat untuk
tidak perlu berolahraga dan tak ada orang yang
terlalu sakit untuk tidak boleh berolahraga”.
Namun hal yang perlu dibahas selanjutnya
adalah bagaimana caranya dan apa bentuk
olahraganya, seperti untuk seorang penderita
penyakit paru kronis yang mengalami keluhan
sesak napas bertahun-tahun misalnya.
Dalam tulisan ini akan menjelaskan
mengapa seorang penderita PPOK perlu
berolahraga dan bagaimana bentuk olahraga
yang sesuai untuk penderita PPOK.
PATOFISIOLOGI SESAK NAPAS KETIKA
BERAKTIVITAS PADA PPOK
Sesak napas adalah suatu gejala kompleks
yang merupakan keluhan utama dari pasien
PPOK, dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: fisiologi, psikologi, social, dan juga
4

lingkungan.
Faktor patofisiologi yang diperkirakan
mengkontribusi
terhadap
kualitas
dan
intensitas sesak napas saat melakukan aktivitas
pada PPOK antara lain:
1. Kemampuan mekanis (elastisitas dan
reaktif) dari otot-otot inspirasi
2. Meningkatnya mekanis (volume) restriksi
selama beraktivitas
3. Lemahnya fungsi otot-otot inspirasi
4. Meningkatnya kebutuhan ventilasi relatif
terhadap kemampuannya
5. Kelainan/gangguan pertukaran gas
6. Kompresi jalan napas dinamis
7. Faktor kardiovaskuler
8. Kombinasi dari faktor-faktor di atas
Faktor-faktor di atas sangat saling terkait

terhadap intensitas sesak napas pada pasien
PPOK. Sesak napas secara kualitatif berbeda
pada setiap individu penderita PPOK dan
sangat tergantung dari bentuk patofisiologi
yang terjadi yang tentunya bervariasi pada
4
penyakit yang heterogen dan kompleks ini.

Olahraga pada Penderita Penyakit Paru...

PERUBAHAN FAAL TUBUH AKIBAT
OLAHRAGA
1. Perubahan pada Otot
Dengan latihan otot dapat mengalami
hipertropi, mungkin tambahan sebanyak 30
sampai 60%. Perubahan yang terjadi di dalam
serat otot yang hipertropi itu sendiri meliputi
antara lain: (1) Peningkatan jumlah miofibril,
sebanding dengan derajat hipertropi (2)
Peningkatan enzim-enzim mitokondria sampai

120% (3) Peningkatan komponen sistem
metabolisme fosfogen termasuk ATP dan
fosfokreatin sebanyak 60% sampai 80% (4)
Peningkatan cadangan glikogen sebanyak 50%
dan (5) Peningkatan cadangan trigliserida
(lemak) sebanyak 75% sampai 100%. Akibat
semua perubahan ini, kemampuan sistem
aerob dan anaerob meningkat, terutama
meningkatkan kecepatan oksidasi maksimun
dan efisiensi sistem metabolisme oksidatif
5
sebanyak 45%.
2. Perubahan pada Sistem Kardiovaskuler
Pada
sistem
kardiovaskuler
terjadi
peningkatan jumlah kapiler sehingga distribusi
darah ke serat otot menjadi lebih baik. Efek
akhirnya adalah ekstraksi O2 yang lebih

sempurna dan akibatnya untuk beban kerja
yang sama peningkatan pembentukan laktat
menjadi lebih rendah. Peningkatan aliran
darah ke otot juga menjadi lebih rendah dan
karena hal ini kecepatan denyut jantung ketika
berolahraga kurang peningkatannya dibanding
orang yang tidak terlatih. Hal ini merupakan
alasan mengapa latihan berguna bagi pasien
5
penyakit jantung.
3. Perubahan pada Pernapasan
Selama latihan fisik, jumlah O2 yang
memasuki aliran darah di paru-paru
meningkat, karena adanya peningkatan jumlah
O2 yang ditambahkan pada tiap satuan darah
serta bertambahnya aliran darah pulmonal
permenit. PO2 darah yang mengalir ke dalam
kapoiler pulmonal akan menurun dari 40
menjadi 25 mmHg atau kurang, sehingga
perbedaan PO2 alveoli kapiler meningkat dan

lebih banyak O2 akan masuk kedalam darah.
Aliran darah permenit dari sekitar 5,5 L/menit
menjadi 20–35 L/menit. Dengan demikian
jumlah O2 total yang memasuki darah juga
bertambah, dari 250 ml/menit saat istirahat

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007

224
Universitas Sumatera Utara

Tinjauan Pustaka

mencapai 400 ml/menit. Jumlah CO2 yang
dikeluarkan dari tiap satuan darah meningkat
dan ekskresi CO2 meningkat dari 200
5
ml/menit mencapai 8000 ml/menit.
Angka-angka ini terjadi pada keadaan
normal, namun dapat kita jadikan acuan pada

keadaan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
5
(PPOK).
Efek latihan pada sistem pernapasan
sangat progresif. Dalam waktu 4–6 minggu
latihan terus menerus, efisiensi pernapasan
maksimum telah tercapai. Hal ini disebabkan
karena meningkatnya fungsi neuromuskular,
difusi gas O2 dan CO2 menjadi lebih baik.
Begitu pula untuk volume (isi) semenit
jantung yang sama, O2 yang diambil dan CO2
yang dikeluarkan (difusi gas) meningkat.
Dengan latihan teratur terus menerus,
efisiensi otot-otot pernapasan meningkat,
terbukti dengan ventilasi paru yang menurun
frekuensinya tetapi amplitudonya (dalamnya)
bertambah, hingga mencapai frekuensi
pernapasan 8 kali permenit waktu istirahat
3
pada orang yang terlatih.

4. Perubahan pada Susunan Darah
Efek latihan terlihat pula pada susunan
kimia darah dan sel-sel darah. Pada pekerjaan
atau latihan yang berat dan lama (misalnya lari
maraton), glukosa darah akan menurun karena
habisnya cadangan glikogen dalam hati
sedangkan tidak ada penambahan selama
latihan. Asam laktat baru timbul apabila telah
3
terjadi proses anaerobik atau pekerjaan berat.
Sel darah sering mengalami perubahan
pada latihan, misalnya eritrosit banyak yang
pecah walaupun praktis jumlahnya (tiap cc
darah) tetap akibat pengeluaran sel-sel darah
(eritrosit) dari limpa yang mengadakan
5
kontraksi waktu latihan berlangsung.
5. Perubahan pada Aktivitas Aerobik dan
Anaerobik
Selama latihan, oleh karena adanya
perubahan-perubahan pada otot, sistem
pernapasan metabolisme sel-sel tubuh terjadi
pula perubahan-perubahan pada aktivitas
3
aerobik dan anaerobik.
Aktivitas aerobik: besarnya kerja otot yang
dapat dikerjakan dengan persediaan O2 yang
sama menjadi lebih besar. Oleh karenanya
proses kontraksi otot aerobik sudah cukup
untuk menghasilkan kerja pada tingkat yang
225

lebih tinggi dengan akumulasi asam laktat
3
cukup kecil dalam darah.
Proses anaerobik baru diperlukan kalau
sifat pekerjaan yang dihadapi lebih berat.
Dengan demikian akat terdapat steady state
pada level yang lebih tinggi dan akumulasi
asam laktat baru tejadi pada kerja yang lebih
berat dan tidak terjadi dalam waktu yang
cepat. Karenanya kapasitas anaerobik dalam
3
tingkat yang lebih tinggi lebih bisa dicapai.
6. Perubahan pada Tulang
Selain ada hipertrofi otot, efek latihan
juga menyebabkan penambahan kekuatan
tulang, tebalnya tulang rawan sendi,
penambahan
kekuatan
ligamen
dan
3
sebagainya.
Di samping itu juga ada kaitan antara
depresi dan kelelahan pada pasien PPOK,
sehingga manfaat yang dapat diperoleh dari
berolahraga yang dilakukan penderita PPOK
adalah selain dari segi fisiologi juga efek
6
psikologi.
MANFAAT
BEROLAHRAGA
PADA
PENDERITA PPOK
Olahraga merupakan kebiasaan yang sehat
dan baik. Tak seorang dokter atau orang awam
pun meragukan hal ini. Juga tidak ada
kontroversi tentang latihan berolahraga pada
suatu program rehabilitasi paru. Di awal
tahun
1960-an,
para
dokter
mulai
memberikan
resep
latihan
berolahraga
sebagaimana mereka memberikan resep obat,
pertama-tama untuk mencegah penyakit dan
kemudian untuk memulihkan pasien yang
menderita penyakit kronis. Penyakit paru
berada pada daftar tertinggi dari kondisikondisi di mana latihan dianggap terapi yang
7
cocok dan bermanfaat.
Mengingat bahwa pada penderitapenderita
PPOK
umumnya
terdapat
deconditioning syndrome, sehingga dapat
mengakibatkan:
a. Kemampuan
bekerja
berkurang,
selanjutnya akan mempengaruhi keadaan
sosio ekonominya.
b. Biaya pengobatan yang dikeluarkan makin
lama makin besar, akibatnya mengurangi
dana untuk kebutuhan yang lain.
c. Timbul masalah lain seperti masalah
3
psikologi, sosial, seksual, dan sebagainya.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007
Universitas Sumatera Utara

Amira Permatasari Tarigan

Biaya perawatan kesehatan untuk PPOK
setiap tahun sangatlah mengejutkan, di
Amerika sendiri $36 miliar. Beberapa kajian
mengenai aspek keuangan dari program
rehabilitasi latihan paru-paru memperlihatkan
bahwa pasien PPOK yang mengikuti program
komprehensif
tidak
begitu
banyak
menghabiskan waktu dirumah sakit, dan
membayar pelayanan medis lebih murah.
Dalam kajian terhadap 80 pasien PPOK,
terdapat pengurangan 68% masa opname pada
tahun setelah mengikuti program rehabilitasi
berjalan dibandingkan dengan tahun sebelum
program rehabilitasi berjalan. Kajian ini terus
memonitor pasien yang sama selama 8 tahun,
dan para peneliti menghitung total rata-rata
penghematan sebesar $416.000 atau $5000
perpasien
setiap
tahun.
Bukti
ini
menunjukkan bahwa program rehabilitasi
paru-paru yang komprehensif merupakan
7
suatu investasi biaya yang efektif.
Beberapa kajian memperlihatkan bahwa
pasien penyakit kronis yang berlatih dengan
tekun, jarang sekali terkena stress, kecemasan
dan depresi, tidur lebih nyenyak, dan percaya
diri bertambah. Panel consensus pada
Lembaga Kesehatan Mental di Amerika
Serikat tetap menekankan bahwa olahraga dan
kebugaran fisik memiliki pengaruh positif
pada pandangan mental seseorang, berapapun
usianya. Untuk orang terkena depresi, para
spesialis medis menganggap latihan yang
teratur sebagai penghubung yang berguna
terhadap meditasi atau psikoterapi, atau
7
keduanya.
Walaupun
olahraga
tidak
dapat
mengembalikan defisit fisiologi dan struktur
yang ada pada PPOK, namun ia dapat
mengurangi ketidaksanggupan pasien melalui
perbaikan daya tahan tubuh, pernapasan yang
efisien, dan toleransi dari sesak napas,
terutama pada pasien-pasien yang kerusakan
8
parunya berat.
Beberapa penelitian yang berkaitan
dengan manfaat olahraga pada PPOK:
Paitiel dkk. Melaporkan bahwa pasienpasien dengan PPOK derajat sedang
sampai berat, yang mengikuti beberapa
lama periode terapi dengan menggunakan
bronchodilator masa kerja lama (LABD =
long acting bronchodilator), olahraga
ditambah penggunaan LABD, dan
olahraga ditambah latihan otot-otot

Olahraga pada Penderita Penyakit Paru...

inspirasi (IMT = Inspiratory Muscle
Training)
ditambah
LABD,
ada
penigkatan perbaikan secara kumulatif
9
dari sesak napas.
James I dkk. melaporkan bahwa program
rehabilitasi paru yang menyertakan latihan
ekstremitas atas akan mengarahkan suatu
penurunan penggunaan ventilasi untuk
mengangkat tangan. Program ini dapat
membuat sesak yang berkurang pada
pasien obstruksi saluran napas kronis
ketika melakukan aktivitas ekstremitas
10
atas.
R. Coppoolse (1999) menyatakan bahwa
ada perbedaan fisiologi yang terjadi pada
latihan yang berinteval atau yang terus
menerus pada PPOK, kemungkinan
merupakan suatu efek spesifik latihan
terhadap oksidasi atau proses metabolisme
11
glikosis otot.
Dan dari Ohio University, Charles Emery
menyatakan dari hasil penelitiannya
tentang
pasien-pasien
PPOK
yang
melakukan olahraga secara teratur dapat
menurunkan ansietas dan depresinya dan
peningkatan daya tahan dan beberapa
12
bentuk dari fungsi intelektualnya.
Dari hasil laporan Casaburi (1993) yang
mengevaluasi efek dari berolahraga
terhadap 900 orang pasien PPOK, terjadi
peningkatan ketahanan beraktivitas akibat
13
latihan.
PEDOMAN
KEAMANAN
SEBELUM
MELAKUKAN
OLAHRAGA
PADA
PASIEN PPOK
Dalam rangka mengutamakan keselamatan
dan keamanan, sebaiknya sebelum melakukan
kegiatan olahraga, pasien-pasien PPOK
penting melaksanakan pedoman-pedoman
tertentu untuk memastikan program latihan
tersebut akan efektif dan aman.
Pedoman-pedoman keamanan berikut ini
ditujukan untuk mengurangi kemungkinan
dimana latihan dapat memperburuk kondisi
pasien. Pedoman ini juga dirancang untuk
membantu mencegah komplikasi jantung yang
berkaitan dengan olahraga dan cedera otot
7
serta urat darah.
1. Jangan memulai latihan sebelum masalah
pernapasan pasien belum distabilkan
melalui perawatan medis yang tepat.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007

226
Universitas Sumatera Utara

Tinjauan Pustaka

2. Melakukan evaluasi medis menyeluruh
sebelum memulai program latihan, dan
setelahnya tetap dilakukan evaluasi
berkala.
3. Menentukan pasien-pasien mana yang
membutuhkan pengawasan medis secara
langsung pada saat melakukan latihan, dan
apakah pengawan itu pada mingguminggu awal program atau bersifat
permanen.
4. Menentukan apakah pasien membutuhkan
tambahan oksigen dalam latihan dan
apakah terdapat tanda-tanda hipoksemia
pada pasien.
5. Pasien harus mengetahui tanda-tanda
bahaya dari komplikasi jantung yang
dapat terjadi.
6. Berhati-hatilah dengan beberapa obat
yang dapat mengubah respons pasien
terhadap latihan.
7. Pasien sebaiknya mengetahui teknik
pernafasan khusus yang membantu
meredakan sesak napas saat latihan.
8. Mengetahui cara untuk mencegah, atau
setidaknya memperkecil, asma yang
disebabkan oleh olahraga.
TIPS MELAKUKAN OLAHRAGA BAGI
PASIEN PPOK
Olahraga yang boleh dan perlu dilakukan
oleh penderita PPOK adalah olahraga yang
bersifat rehabilitatif yang sudah tentu juga
nonkompetitif. Olahraga penderita PPOK
harus bersifat rehabilitatif mengandung arti
bahwa olahraga tersebut harus terprogram dan
di bawah pengawasan pembimbing dan kalau
memungkinkan lebih baik lagi jika ditangani
3
oleh tim.
Oleh karena itu diperlukan kemampuan
khusus untuk menyusun program latihan yang
3
sesuai dengan kondisi penderita.
Di bawah ini beberapa tips umum untuk
melakukan olahraga bagi penderita PPOK:
1. Menggunakan inhalasi bronkodilatasi
30–60 menit sebelum melakukan olahraga
sebaiknya
menggunakan
inhalasi
bronkhodilatasi, terutama untuk mencegah
terjadinya serangan pada pasien yang
menderita exercise induced asthma
14
(EIA).
2. Melakukan pemanasan sebelum latihan
Lamanya berkisar 5–10 menit. Tujuan
latihan pemanasan untuk menambah
227

3.

4.

5.

6.

7.

aliran darah ke jantung, mengurangi
tahanan paru, menambah aliran darah ke
organ vital lainnya, melenturkan sendi,
menaikkan temperatur tubuh (meninggikan
3
kesiapan metabolisme tubuh).
Buat target yang ingin dicapai
Memulai olahraga dengan membuat target
yang diperkirakan dapat dicapai. Kemudian
secara bertahap tingkatkan target seiring
dengan kemajuan yang dicapai. Sebaiknya
latihan diawali dengan berjalan selama 12
menit (jalan mendatar) dan dapat disertai
dengan senam ringan. Apabila penderita
tidak dapat jalan karena sesak, maka
dianjurkan untuk melakukan latihan otot
pernapasan inspirasi. Sangat baik jika
aktivitas fisik dilakukan selama 30–45
menit dalam waktu tiga sampai lima kali
15
seminggu.
Aktivitas yang dilakukan variasikan
Jenis olahraga yang dilakukan divariasikan,
antara lain berenang, jalan, latihan tubuh
7
bagian atas dan aerobik ringan, bersepeda.
Jenis latihan harus sesuai dengan
kemampuan, kebiasaan dan fasilitas yang
3
ada.
Kini yayasan asma di Indonesia juga telah
memberikan tambahan pilihan jenis
olahraga penderita penyakit paru yaitu
senam asma. Pada senam ini terdiri dari
pemanasan, latihan tubuh bagian atas,
latihan pernapasan, peregangan, aerobik
ringan dan pendinginan, yang diiringi oleh
musik sehingga memberikan semangat
bagi siapapun yang melakukannya.
Pilih aktivitas yang disukai
Olahraga jangan menjadi sesuatu beban,
tetapi justru ia menikmatinya. Sebelumnya ia
harus mencoba dahulu beberapa jenis
aktivitas, agar menemukan yang paling
sesuai dengan seleranya.
Berolahraga dengan teman
Bukan hanya untuk saling memberikan
semangat, selain itu juga agar ia dapat
selalu melakukan percakapan yang santai
sewaktu berolahraga.
Jangan banyak alasan untuk mengerjakannya
Kita sebaiknya menyarankan pasien untuk
melakukan aktivitas ringan, pasien dapat
melakukan aktivitas sambil menggunakan
peralatan oksigen. Sedikit aktivitas lebih

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007
Universitas Sumatera Utara

Amira Permatasari Tarigan

baik daripada tidak sama sekali. Mulai
dengan perlahan dan jika ia telah mulai
merasakan keuntungan dan berolahraga, ia
akan segera berkeinginan untuk melakukan
lebih.
8. Ambil waktu pendinginan
Aktivitas pendinginan seperti halnya
peregangan, berjalan atau berenang
dengan perlahan-lahan akan menutup
kegiatan olahraga dan mengembalikan
denyut jantung ke normal.
9. Lakukan sesuai kemampuan
Melakukan latihan sebaiknya dalam
kondisi yang nyaman, karena kegiatan ini
bukan suatu pertandingan dengan lawan
main atau orang lain tapi dengan diri
sendiri.
Intensitas latihan disesuaikan dengan
kemampuan penderita. Dasar perhitungan
intensitas latihan adalah menggunakan
frekuensi denyut nadi. Denyut nadi
maksimal dihitung dengan rumus 200 umur. Untuk penderita PPOK, taget
denyut nadi dapat dimulai dari 50% dari
denyut nadi maksimal dan dapat
ditingkatkan sampai pada 75% dari denyut
nadi maksimal, dan tidak dibolehkan
3,7
mencapai 85% atau bahkan melebihinya.
10. Hentikan jika mengalami masalah
Jika ia menjadi mual atau pusing, merasa
lemas, jantung terasa berdebar-debar,
napas menjadi pendek, atau perasaan
nyeri,
hentikan
segera
olahraganya
walaupun mungkin target denyut nadi
belum tercapai. Melakukan konsultasi ke
dokter sangat dibutuhkan untuk melaporkan
3
dan mengetahui setiap perkembangannya.
11. Berikan penghargaan kepada si pasien jika
berhasil
Jika berhasil mencapai tujuan atau target,
berikan penghargaan atas prestasi itu.
Karena ia memang berhak mendapatkannya.
PENUTUP
Melakukan kegiatan berolahraga harus
dipertimbangkan bagi semua pasien-pasien
PPOK. Manfaat yang dapat diperoleh adalah
dari efek fisiologis dan psikologis. Perubahan
faal tubuh akibat olahraga meliputi perubahan
pada otot, sistem kardiovaskuler, sistem
pernapasan, susunan darah, aktivitas aerobik
dan anaerobik dan pada tulang.

Olahraga pada Penderita Penyakit Paru...

Walaupun
olahraga
tidak
dapat
mengembalikan defisit fisiologi dan struktur
yang ada pada PPOK, namun ia dapat
mengurangi ketidaksanggupan pasien melalui
perbaikan daya tahan tubuh, efisiensi
pernapasan dan toleransi terhadap sesak
napasnya.
Dalam melakukan berolahraga bagi
penderita PPOK membutuhkan langkahlangkah yang terarah sehingga mencapai
keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan.
Pasien-pasien yang melakukan olahraga secara
terprogram umumnya dapat meningkatkan
kapasitas kerja mereka 70–80% dalam waktu
6 minggu.
Namun
perlu
kita
sadari
bahwa
penatalaksanaan pasien PPOK sangatlah
kompleks dalam rangka mengoptimalkan
fungsi paru dan kualitas hidupnya. Dan
akhirnya kita sebagai dokter yang mengerti
kondisi
pasien
PPOK,
tidak
hanya
menganjurkan untuk berolahraga saja tetapi ia
juga
membutuhkan
suatu
program
Rehabilitasi Paru yang merupakan suatu
metode manajemen dan evaluasi dari
beberapa disiplin ilmu yang terkait dan
terintegrasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik),
Pedoman
Praktis
Diagnosis
dan
Penatalaksanaan di Indonesia, PDPI,
Jakarta, 2003:1.
2. Serres I, et al. Impaired Skeletal Muscle
Endurance Related to Physical Inactivity
and Altered Lung Function in COPD
Patients. Chest 1998; 113: 900–05.
3. Rachmatullah P, Poeger Tj. Olahraga
Pada
Penderita
PPOM.
Dalam:
Patogenesis dan Pengelolaan Menyeluruh
Penyakit Paru Obstruksi Menahun.
Darmono S. Universitas Diponegoro,
1990: 144–58.
4. O’Donnell DE, Webb K. The Etiology of
Dyspnea During Exercise in COPD.
Available at http:www.aarc.org/patient
education/tips/exercise.html.
5. Guyton AC. Fisiologi Olahraga. Dalam:
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC,
1997.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007

228
Universitas Sumatera Utara

Tinjauan Pustaka

6. Ries AL. Pulmonary Rehabilitation.
Pulmonary Diseases and Disorders,
McGraw Hill Inc, 1988: 1325–1331.
7. Gordon NF. Gangguan Pernapasan,
Panduan Latihan Lengkap (Terjemahan).
The Cooper Clinic and Research Institute
Fitness Series, PT Rajagrafindo, 1997.
8. Mink BD. Exercise and Chronic
Obstructive Pulmonary Disease: Modest
Fitness Gains Pay Big Dividends. The
Physician and Sportsmedicine. Available
at http:www.physsportmed.com/issues/
1997/11nov/mink.htm: 1–8.
9. Weiner P, Magadle R, et al. The
Cumulative Effect of Long Acting
Bronchodilators, Exercise, and Inspiratory
Muscle Training on the Perception of
Dyspnea in Patients with Advanced
COPD. Chest 2000; 118: 672–78.

229

10. Couser JI, Celli BR, Martinez FJ.
Pulmonary Rehabilitation That Includes
Arm Exercise Reduces Metabolic and
Ventilatory Requirements for Simple Arm
Elevation. Chest 1993; 103: 37–41.
11. Coppoolse R, et al. Interval Versus
Continuous Training in Patients with
Severe COPD: a randomized clinical trial.
Eur Respir J 1999; 14: 258–63.
12. Emery C., et al. Regular Exercise Helps
Patients with COPD. In: Doctor’s Guide
to Medical & Other News. Available at
http://www.docguide.com.
13. Celli BR. Pulmonary Rehabilitation for
COPD. Postgraduate Medicine 1998;
103(4): 1–9.
14. Saito S. Effects of Inhaled Bronchodilator
on Pulmonary Hemodynamic at Restand
During Exercise in Patients With COPD.
Chest 1999; 115: 376–82.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 y No. 3 y September 2007
Universitas Sumatera Utara