Hubungan Keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil Dengan Disfungsi Ereksi

(1)

HUBUNGAN KEPARAHAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) STABIL

DENGAN DISFUNGSI EREKSI

PENELITIAN POTONG LINTANG DESKRIPTIF ANALITIK

DI DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

RSUP H ADAM MALIK MEDAN

AGUSTUS 2010 - JANUARI 2011

T E S I S

Oleh

Roni Risdianto Ginting

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H ADAM MALIK / RSUD DR PIRNGADI

M E D A N

2011


(2)

(3)

DEWAN PENILAI

1. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH 2. dr. Betthin Marpaung, SpPD-KGEH

3. DR. dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : Hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan Disfungsi Ereksi

Tesis ini merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter ahli di bidang llmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH., selaku Ketua Departemen llmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan buat penulis dalam menyelesaikan pendidikan. 2. dr. Zulhelmi Bustami SpPD-KGH., dan dr. Zainal Safri SpPD,SpJP, selaku

Ketua dan Sekretaris Program Studi llmu Penyakit Dalam yang dengan sungguh-sungguh telah membantu dan membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa.

3. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH., selaku Ketua TKP-PPDS ketika penulis diterima sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis llmu Penyakit Dalam yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk diterima sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis llmu Penyakit Dalam


(5)

4. Prof. dr. Lukman Hakim Zein, SpPD-KGEH., selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan ketika penulis diterima sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan dalam menyelesaikan pendidikan.

5. dr.E.N. Keliat, SpPD-KP., sebagai Pembimbing I dan dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP selaku Kepala divisi Penyakit Pulmonologi Alergi Immunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam sebagai Pembimbing II yang telah memberikan banyak bimbingan, dorongan dan bantuan dalam menyelesaikan pendidikan.

6. Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD-KKV, SpJP (K)., selaku Ketua Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan persetujuan untuk pelaksanaan penelitian ini

8. Seluruh staf Departemen llmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUD dr Pirngadi/ RSUP H. Adam Malik Medan : Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH., Prof. dr. T Renardi Haroen KKV, MPH., Prof. dr. Bachtiar Fanani Lubis, SpPD-KHOM., Prof. dr. Habibah Hanum Nasution, SpPD-Kpsi., Prof. dr. Sutomo Kasiman SpPD-KKV., Prof. dr. Azhar Tanjung, SpPD-KP-KAl, SpMK., Prof. dr. Pengarapen Tarigan, SpPD-KGEH., Prof. dr. OK Moehad Sjah SpPD-KR., Prof. dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH., Prof. dr. M Yusuf Nasution, SpPD-KGH., Prof. dr. Azmi S Kar, SpPD-KHOM., Prof. dr. Gontar A Siregar, SpPD-KGEH., Prof. dr. Harris Hasan SpPD, SpJP(K)., dr. Nur Aisyah SpPD-KEMD., Dr. A Adin St Bagindo KKV., dr. Lufti Latief, KKV., dr. Syafii Piliang, SpPD-KEMD., dr. T Bachtiar Panjaitan, SpPD., dr. Abiran Nababan, SpPD-KGEH., dr. Betthin Marpaung, SpPD-KGEH., dr. Sri M Sutadi SpPD-KGEH., dr. Mabel


(6)

Sihombing, SpPD-KGEH., Dr. dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH., dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP., dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH., dr. Dharma Lindarto SpPD-KEMD., Dr.dr. Umar Zein SpPD-KPTI-DTM&H-MHA., dr. Refli Hasan SpPD,SpJP (K)., dr.Pirma Siburian SpPD., dr. EN Keliat SpPD-KP., dr. Blondina Marpaung SpPD-KR., dr. Leonardo Dairy SpPD-KGEH., Dr. Dairion Gatot SpPD-KHOM., dr. Soegiarto Gani SpPD., dr. Savita Handayani SpPD., yang merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.

9. dr. Armon Rahimi, SpPD-KPTI., dr. Daud Ginting SpPD., dr. Saut Marpaung SpPD., dr. Mardianto, SpPD., dr. Zuhrial SpPD., dr. Dasril Efendi SpPD-KGEH., dr. llhamd SpPD., dr. Calvin Damanik SpPD., dr. Zainal Safri SpPD.,SpJP., dr. Rahmat Isnanta, SpPD., dr. Santi Safril, SpPD., dr. Jerahim Tarigan SpPD., dr. Endang Sembiring SpPD., dr. Abraham SpPD., dr. Franciscus Ginting SpPD., dr. Syafrizal SpPD., dr.Wika Hanida Lubis SpPD., dr. Imelda Rey SpPD., dr. Taufik Sungkar SpPD., sebagai dokter kepala ruangan/senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan.

10. Direktur RSUP H Adam Malik Medan, Direktur RSUD Dr Pirngadi Medan dan Direktur RS. Tembakau Deli Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.

11. Direktur RSUD Sibuhuan, Dr. Dahlian Harahap yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama ditu-gaskan sebagai Konsultan Penyakit Dalam dalam rangka pendidikan ini.


(7)

12. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan menerima saya, sehingga dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.

13. dr. Riri Andri Muzasti, dr. Vera Abdullah, dr. T.Iskandar Rizal, dr. Medina, dr. Hendra Adiputra, dr. Restuti H. Saragih, dan dr. Doharman, yang telah bersama mengalami suka dan duka selama mengikuti pendidikan.

14. Kepada senior kami dr. Lenni Sihotang SpPD, dr. Budianto Sigalingging SpPD., dr.Erik Nelson SpPD., dr. Erik Halim SpPD., dr. Faisal SpPD., dr. Faizal Drissa Hasibuan SpPD., dr. Hendra Zufri SpPD., dr. Zulfan SpPD., dr. Shahrul Rahman SpPD., para sejawat peserta PPDS llmu Penyakit Dalam, perawat dan paramedis SMF/Bagian llmu Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik Medan/ RSUD Dr Pirngadi Medan serta Bapak Syarifudin, Kak Leli, Yanti, Wanti, Erjan, Sari, Fitri, Deni dan Ita terima kasih atas kerja sama dan bantuannya selama ini. 15. Para pasien rawat inap dan rawat jalan di SMF/Bagian llmu Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik Medan/RSUD Dr. Pirngadi Medan, RS Tembakau Deli/RSUD Sibuhuan, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

16. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes., yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.

Rasa hormat dan terimakasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Ayahanda Almarhum Drs. Mordiyan Ginting dan Ibunda Enny Susianti yang sangat ananda sayangi dan hormati, tiada kata-kata yang paling tepat untuk mengucapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas segala jasa jasa ayahanda dan ibunda yang tiada terhingga dan tiada mungkin terbalaskan.


(8)

Kepada Ayah Mertua Abdurrahim,SH dan Ibu Mertua Elis Nurhatma yang telah memberikan dorongan semangat dalam menyelesaikan pendidikan ini, saya ucapkan terimakasih yang setulusnya bagi orangtua yang sangat saya sayangi dan hormati.

Teristimewa kepada istriku tercinta dr. Erni Wahyuni, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan dan dukungan yang telah diberikan selama ini, semoga apa yang kita capai ini dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita bersama dan senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Demikian juga kepada ketiga anak yang sangat ayah sayangi Muhammad Imam Arrasyid, Muhammad Aziz Arridho, dan Syifa Khairani, yang selalu menjadi penambah semangat serta pelipur lara dikala senang dan susah semoga apa yang kita jalani bersama selama ini menjadi pendorong untuk mencapai cita cita yang lebih baik lagi.

Terima kasihku yang tak terhingga untuk Adinda Sri Diaty br Ginting, Adinda Novendra Ginting, Kakanda Era Permatasari dan keluarga, Adinda Eri Rahman, Adinda Erwin Bachari, dan seluruh anggota keluarga yang telah banyak membantu, memberi semangat dan dorongan selama pendidikan.

Kepada semua pihak telah membantu kami dalam menyelesaikan pendidikan spesialis ini, kami mengucapkan terima kasih.

Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Medan, Mei 2011 Roni Risdianto Ginting


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

ABSTRAK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Hipotesis... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.4.1. Tujuan Umum... 3

1.4.2. Tujuan Khusus ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

1.6. Kerangka Konsepsional... 4

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN... 5

2.1. Definisi... 5


(10)

2.2.1. Diagnosis PPOK ... 6

2.2.1.1. Diagnosis PPOK Klinis... 6

2.2.1.2. Penentuan stadium PPOK ... 9

2.3. Fungsi Ereksi... 11

2.3.1. Fisiologi Ereksi... 11

2.3.2. Disfungsi Ereksi ... 16

2.4. Disfungsi Ereksi (DE) pada PPOK stabil... 22

2.4.1. Patogenesis DE pada PPOK stabil ... 22

2.4.2. Frekuensi DE pada PPOK stabil... 23

2.4.3. Diagnosis DE pada pasien PPOK... 24

2.4.3.1. Pemeriksaan penunjang... 24

2.4.3.2. Kuesioner IIEF ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1. Desain penelitian ... 25

3.2. Waktu dan tempat penelitian ... 25

3.3. Populasi terjangkau ... 25

3.4. Kriteria yang diikutkan dalam penelitian... 25

3.5. Kriteria yang dikeluarkan dari penelitian ... 26

3.6. Perkiraan besar sampel... 26

3.7. Cara penelitian... 27

3.8. Definisi operasional... 28

3.9. Analisa data ... 36


(11)

3.11 Kerangka operasional... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1. Hasil Penelitian ... 38

4.2. Pembahasan... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 58

5.2. Saran ... 59


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Pembagian masalah dan interpretasi skor total

pertanyaan kuesioner IIEF ... 34 Tabel 2. Karakteristik dasar pasien PPOK stabil... 40 Tabel 3. Tingkat/stadium keparahan pasien PPOK stabil ... 41 Tabel 4. Derajat disfungsi seksual terhadap 6 masalah

seksual pasien PPOK stabil ... 42 Tabel 5. Derajat disfungsi ereksi pasien PPOK stabil ... 43 Tabel 6. Hubungan stadium keparahan PPOK stabil dengan

derajat disfungsi ereksi... 44 Tabel 7. Uji hipotesis korelatif Gamma terhadap hubungan

antara stadium keparahan PPOK stabil dengan

derajat disfungsi ereksi... 45 Tabel 8. Hubungan antara perbedaan rerata FEV1prediksi

pasien PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi ... 46 Tabel 9. Test of homogeneity of variance

(FEV1prediksi-derajat DE) ... 47 Tabel 10. ANOVA (FEV1prediksi-derajat DE) ... 48 Tabel 11. Hubungan antara perbedaan rerata umur pasien

PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi... 50 Tabel 12. Test of homogeneity of variance(Umur-derajat DE) ... 51 Tabel 13. ANOVA (Umur-derajat DE)... 52


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Faseexcitement... 11

Gambar 2. Faseplateau... 12

Gambar 3. Faseorgasm... 13

Gambar 4. Faseresolution... 13

Gambar 5. Mekanisme molekuler ereksi penis... 15

Gambar 6. Mekanisme fisiologik relaksasi otot polos penis ... 16

Gambar 7. Bagan alur penelitian... 39

Gambar 8. Grafik hubungan rerata FEV1prediksi dengan derajat disfungsi ereksi... 49


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1.Master Table... 64

Lampiran 2.Rekapitulasi Masalah Disfungsi Seksual Subyek ... 65

Lampiran 3.Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian . 66 Lampiran 4.Surat Persetujuan Setelah Penjelasan... 67

Lampiran 5.Persetujuan Komisi Etik ... 68

Lampiran 6.Kuesioner Riwayat Penyakit ... 69

Lampiran 7.Laporan Tes Spirometri ... 72

Lampiran 8.Kuesioner IIEF ... 73


(15)

DAFTAR SINGKATAN PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik

DE : Disfungsi Ereksi

IIEF : International Index of Erectile Function

IMT : Indeks Masa Tubuh

FEV1 : Forced Expiratory Volume in 1 second

FVC : Forced Vital Capacity

FEV1%prediksi : FEV1 pasien dibagi prediksi orang Indonesia normal USU : Universitas Sumatera Utara

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat


(16)

Abstrak:

Hubungan Keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil dengan Disfungsi Ereksi

Ginting RR, Keliat EN, Abidin A

Latar belakang: Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) tidak hanya mengalami gejala respiratorik tetapi juga menunjukkan manifestasi ekstrapulmoner, salah satu diantaranya adalah disfungsi ereksi (DE). Kejadian DE pada pasien PPOK dapat sangat mengganggu kebahagiaan pasien dan keluarganya sehingga akan menurunkan kualitas hidup pasien.

Tujuan: Untuk mengetahui frekuensi disfungsi ereksi (DE) pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dan hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan disfungsi ereksi (DE).

Metode: Pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poliklinik pulmonologi rawat jalan dilakukan pemeriksaan klinik. Kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri untuk menentukan keparahan PPOK stabil dan penilaian fungsi ereksi menggunakan kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF) untuk menentukan skor fungsi ereksi.

Hasil: Dari 58 subyek yang diperiksa ditemukan frekuensi DE pada pasien PPOK stabil sebesar 77,59% (n=45), yang terdiri dari DE berat (32,76%;n=19), DE sedang (20,69%;n=12), DE ringan-sedang (13,79%;n=8) dan DE ringan (10,35%;n=6). Masalah seksual lain yang ditemukan pada pasien PPOK stabil adalah disfungsi kepuasan ketika berhubungan seksual (94,83%, n = 55), disfungsi orgasme (82,76%, n = 48), disfungsi hasrat seksual (87,93%, n = 51), disfungsi kepuasan seksual secara keseluruhan (91,38%, = 53), dan disfungsi kepercayaan diri untuk ereksi (94,83%, n = 55). Ditemukan hubungan bermakna (p<0,05) antara tingkat keparahan (stadium) PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi, dikuatkan oleh ditemukannya hubungan bermakna (p<0,05) antara perbedaan FEV1prediksi dengan derajat disfungsi ereksi. Akhirnya, ditemukan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05) antara perbedaan umur dengan derajat disfungsi ereksi.

Kesimpulan: DE merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien PPOK stabil. Ada hubungan keparahan PPOK stabil dengan DE, dan perlunya dilakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan dugaan adanya peran sitokin pro-inflamasi terhadap kejadian disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil.


(17)

Abstract:

Relation of Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Severity with Erectile Dysfunction

Ginting RR, Keliat EN, Abidin A

Background:Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) present not only respiratory symptoms but also showed extrapulmonary manifestations, including erectile dysfunction (ED). Incidence of ED in patients with COPD can be very annoying happiness of patients and their families so that will reduce the quality of life of patients.

Objective: To determine the frequency of ED in patients with stable COPD and the relation of stable COPD severity with ED.

Methods: Patients with stable COPD who visited the outpatient clinic of Pulmonology performed clinical examination. Furthermore, we carried out lung function examination using spirometry to determine the severity of stable COPD and erectile function assessment using a questionnaire of International Index of Erectile Function (IIEF) to determine erectile function score.

Results: Of the 58 subjects tested found the frequency of ED in patients with stable COPD amounted to 77.59% (n = 45), which consists of severe ED (32.76%, n = 19), moderate ED (20.69%, n = 12), mild to moderate ED (13.79%, n = 8), and mild ED (10.35%, n = 6). Other sexual problems that are found in patients with stable COPD is intercourse satisfaction dysfunction (94.83%, n = 55), orgasm dysfunction (82.76%, n = 48), sexual desire dysfunction (87.93%, n = 51), overall satisfaction dysfunction (91.38 %, n = 53), and erectile confidence dysfunction (94.83%, n = 55). We found significant correlation (p <0.05) between the severity (stage) of stable COPD with the degree of erectile dysfunction, strengthened by the discovery of a significant association (p <0.05) between the difference of FEV1predicted with the degree of erectile dysfunction. Finally, we found no significant association (p> 0.05) between the difference of age with the degree of erectile dysfunction.

Conclusion: ED is a problem commonly encountered in patients with stable COPD. There is a relationship between the severity of stable COPD with ED, and requisite for further research to prove the allegation of the role of pro-inflammatory cytokines on the incidence of erectile dysfunction in patients with stable COPD.


(18)

Abstrak:

Hubungan Keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil dengan Disfungsi Ereksi

Ginting RR, Keliat EN, Abidin A

Latar belakang: Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) tidak hanya mengalami gejala respiratorik tetapi juga menunjukkan manifestasi ekstrapulmoner, salah satu diantaranya adalah disfungsi ereksi (DE). Kejadian DE pada pasien PPOK dapat sangat mengganggu kebahagiaan pasien dan keluarganya sehingga akan menurunkan kualitas hidup pasien.

Tujuan: Untuk mengetahui frekuensi disfungsi ereksi (DE) pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dan hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan disfungsi ereksi (DE).

Metode: Pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poliklinik pulmonologi rawat jalan dilakukan pemeriksaan klinik. Kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri untuk menentukan keparahan PPOK stabil dan penilaian fungsi ereksi menggunakan kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF) untuk menentukan skor fungsi ereksi.

Hasil: Dari 58 subyek yang diperiksa ditemukan frekuensi DE pada pasien PPOK stabil sebesar 77,59% (n=45), yang terdiri dari DE berat (32,76%;n=19), DE sedang (20,69%;n=12), DE ringan-sedang (13,79%;n=8) dan DE ringan (10,35%;n=6). Masalah seksual lain yang ditemukan pada pasien PPOK stabil adalah disfungsi kepuasan ketika berhubungan seksual (94,83%, n = 55), disfungsi orgasme (82,76%, n = 48), disfungsi hasrat seksual (87,93%, n = 51), disfungsi kepuasan seksual secara keseluruhan (91,38%, = 53), dan disfungsi kepercayaan diri untuk ereksi (94,83%, n = 55). Ditemukan hubungan bermakna (p<0,05) antara tingkat keparahan (stadium) PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi, dikuatkan oleh ditemukannya hubungan bermakna (p<0,05) antara perbedaan FEV1prediksi dengan derajat disfungsi ereksi. Akhirnya, ditemukan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05) antara perbedaan umur dengan derajat disfungsi ereksi.

Kesimpulan: DE merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien PPOK stabil. Ada hubungan keparahan PPOK stabil dengan DE, dan perlunya dilakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan dugaan adanya peran sitokin pro-inflamasi terhadap kejadian disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil.


(19)

Abstract:

Relation of Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Severity with Erectile Dysfunction

Ginting RR, Keliat EN, Abidin A

Background:Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) present not only respiratory symptoms but also showed extrapulmonary manifestations, including erectile dysfunction (ED). Incidence of ED in patients with COPD can be very annoying happiness of patients and their families so that will reduce the quality of life of patients.

Objective: To determine the frequency of ED in patients with stable COPD and the relation of stable COPD severity with ED.

Methods: Patients with stable COPD who visited the outpatient clinic of Pulmonology performed clinical examination. Furthermore, we carried out lung function examination using spirometry to determine the severity of stable COPD and erectile function assessment using a questionnaire of International Index of Erectile Function (IIEF) to determine erectile function score.

Results: Of the 58 subjects tested found the frequency of ED in patients with stable COPD amounted to 77.59% (n = 45), which consists of severe ED (32.76%, n = 19), moderate ED (20.69%, n = 12), mild to moderate ED (13.79%, n = 8), and mild ED (10.35%, n = 6). Other sexual problems that are found in patients with stable COPD is intercourse satisfaction dysfunction (94.83%, n = 55), orgasm dysfunction (82.76%, n = 48), sexual desire dysfunction (87.93%, n = 51), overall satisfaction dysfunction (91.38 %, n = 53), and erectile confidence dysfunction (94.83%, n = 55). We found significant correlation (p <0.05) between the severity (stage) of stable COPD with the degree of erectile dysfunction, strengthened by the discovery of a significant association (p <0.05) between the difference of FEV1predicted with the degree of erectile dysfunction. Finally, we found no significant association (p> 0.05) between the difference of age with the degree of erectile dysfunction.

Conclusion: ED is a problem commonly encountered in patients with stable COPD. There is a relationship between the severity of stable COPD with ED, and requisite for further research to prove the allegation of the role of pro-inflammatory cytokines on the incidence of erectile dysfunction in patients with stable COPD.


(20)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.1

PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.1

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO,2002). Di Amerika Serikat dibutuhkan dana sekitar 35 juta USD dalam setahun untuk menanggulangi penyakit ini, dengan jumlah pasien sebanyak 16 juta orang, dan lebih 100 ribu orang meninggal. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (33%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).1


(21)

Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak 54,5% penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merupakan perokok, 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif (BPS,2001). Jumlah perokok yang berisiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20 25%. Hubungan antara rokok dan PPOK merupakan hubungan dose response, lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar.1

Pasien PPOK mengalami penurunan fungsi paru, penurunan kapasitas fungsional dan akhirnya terjadi penurunan kualitas hidup. Pasien PPOK selain mengalami penurunan fungsi paru, juga mengalami gangguan ekstrapulmoner. Salah satu gangguan ekstrapulmoner tesebut adalah gangguan fungsi ereksi.

Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan/atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan.2 Frekuensi DE pada pasien PPOK stabil ditemukan cukup bervariasi pada beberapa penelitian, diantaranya Hudoyo dkk. (1996) sebesar 62,5%,3 Ibanez dkk. (2001) sebesar 67%,4 Koseoglu dkk. (2005) sebesar 75,5%,5 dan Leluya dkk. (2006) sebesar 97%.6 DE sering menimbulkan gangguan yang dapat merusak kebahagiaan dan kualitas hidup pasien PPOK.

Penyebab DE pada pasien PPOK stabil belum sepenuhnya diketahui, diduga inflamasi kronik turut berperan. Hal ini dikuatkan dengan meningkatnya kadar sitokin pro-inflamasi seiring dengan semakin beratnya disfungsi ereksi dan keparahan PPOK. Walaupun demikian, masih belum jelas apakah sitokin pro-inflamasi


(22)

mempunyai efek langsung pada DE atau hanya merupakan refleksi dari semakin beratnya keparahan PPOK stabil.7

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang peneltian diatas, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut :

1. Berapakah frekuensi disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil?

2. Apakah ada hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan Disfungsi Ereksi?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Didapat frekuensi disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil

2. Ada hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan Disfungsi Ereksi.

1.4 Tujuan penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui derajat disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil yang datang ke poli pulmonologi dan alergi imunologi RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD dr. Pirngadi Medan

1.4.2 Tujuan Khusus


(23)

2. Mengetahui hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan Disfungsi Ereksi.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Pengembangan Ilmu

Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan pemahaman disfungsi ereksi sebagai salah satu komorbiditas pada pasien PPOK 2. Pengembangan Medik

2.1 Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman klinisi untuk memperhatikan status seksual pasien sebagai salah satu penyakit penyerta dalam penatalaksanaan paripurna pasien PPOK stabil

2.2 Sebagai dasar melakukan penelitian lanjutan. 1.6. Kerangka Konsepsional

2.

Disfungsi Ereksi Fungsi Paru


(24)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. DEFINISI

Disfungsi ereksi (DE) pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) stabil adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan/atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan, yang ditemukan pada pasien PPOK stabil.7

2.2. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang ditandai dengan adalanya perlambatan aliran udara yang kronik disertai perubahan patologis paru, gejala ekstra-pulmoner, dan penyakit penyerta yang turut memberikan kontribusi terhadap keparahan penyakit pada pasien secara individual.8

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.1,9,10

Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.1

Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :1

a. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan b. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat


(25)

c. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan, dan tempat kerja)

d. Sesak pada saat melakukan aktivitas

e. Hambatan aliran udara umumnya irrevesibel (tidak bisa kembali normal) 2.2.1. Diagnosis PPOK

Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai stadium.1

2.2.1.1. Diagnosis PPOK Klinis

Diagnosis PPOK klinis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, yang akan diuraikan sebagai berikut :

a. Anamnesis.1,9

 Ada faktor risiko :

- usia pertengahan

- riwayat pajanan asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja

 Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.

- Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk yang hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan


(26)

- Berdahak kronik

Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk

- Sesak napas, terutama pada saat melakukan aktivitas

Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. b. Pemeriksaan Fisik.1,9

Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK sedang dan berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.

Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut : Inspeksi

 Bentuk dada :barrel chest(dada seperti tong)

 Terdapat cara bernapaspurse lips breathing(seperti orang meniup).  Takipnea.

 Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas.  Pelebaran sela iga

 Tampilan fisikpink pufferataublue bloater. Palpasi

 Fremitus melemah Perkusi

 Hipersonor Auskultasi


(27)

 Ekspirasi memanjang.

 Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)  Ronki kering.

 Bunyi jantung jauh.

c. Pemeriksaan penunjang.1,9

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain :

 Radiologi (foto toraks)  Spirometri

 Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan terjadi hipoksia kronik)

 Analisa gas darah

 Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi)

Meskipun kadang kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.1Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :1

 Paru hiperinflasi atau hiperlusen  Diafragma mendatar

 Corakan bronkovaskuler meningkat  Bulla


(28)

Diagnosis PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.1

2.2.1.2. Penentuan klasifikasi (stadium) PPOK

Penentuan klasifikasi (stadium) PPOK sesuai dengan ketentuan Depkes RI 2008 / GOLD 2009 adalah sebagai berikut :1,8

a. PPOK Stadium I (ringan) Gambaran klinis :

 Dengan atau tanpa batuk kronis  Dengan atau tanpa produksi sputum

 Pasien biasanya tidak mengetahui bahwa fungsi parunya abnormal Spirometri (perlambatan aliran udara ringan)

 FEV1/FVC < 0,7  FEV1 80% prediksi

b. PPOK Stadium II (sedang) Gambaran klinis :

 Dengan atau tanpa batuk kronis  Dengan atau tanpa produksi sputum  Sesak napas timbul pada saat aktivitas

 Pasien mulai mencari bantuan medis sehubungan dengan gejala pernapasan kronik atau keadaan eksaserbasi penyakitnya


(29)

Spirometri (perburukan dari perlambatan aliran udara)  FEV1/FVC < 0,7

 50% FEV1< 80% prediksi

c. PPOK Stadium III (berat) Gambaran klinis :

 Sesak napas lebih berat

 Berkurangnya kapasitas aktivitas  Fatigue

 Eksaserbasi lebih sering terjadi sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Spirometri (perburukan lebih lanjut dari perlambatan aliran udara)  FEV1/FVC < 0,7

 30% FEV1< 50% prediksi

d. PPOK Stadium IV (sangat berat) Gambaran klinis & penunjang :

 Gagal napas kronik, ditunjukkan dari hasil pemeriksaan analisa gas darah, dengan kriteria PaO2 < 60 mmHg (hipoksemia, dengan atau tanpa PaCO2 > 50 mmHg (hiperkapnia)

 Disertai komplikasi kor pulmonale (gagal jantung kanan) ditandai dengan peningkatan tekanan vena jugularis, edemapitting kaki.


(30)

Spirometri (perlambatan aliran udara berat)  FEV1/FVC < 0,7

 FEV1 < 30% prediksi, atau

 FEV1 < 50% prediksi ditambah gagal napas kronik / adanya komplikasi cor pulmonale

2.3. FUNGSI EREKSI

2.3.1. Fisiologi Ereksi

Pada tahun enampuluhan, William Masters dan Virginia Johnson mempublikasikan Human Sexual Response , sebuah buku yang memberikan gambaran terperinci mengenai beberapa fase perubahan organ seksual laki-laki sebagai respon seksual. Adapun respon seksual tersebut dibagi atas 4 fase :11

1. Excitement

Gambar 1 FaseExcitement

Perubahan permulaan organ seksual laki laki ketika jaringan spons diperbesar oleh darah untuk menghasilkan ereksi. Serabut otot dibawah kulit


(31)

skrotum membuat skrotum kontraksi dan bergerak lebih mendekati tubuh. Kelenjar

Couper menghasilkan cairan jernih yang disekresikan ke dalam uretra. Secara bersamaan, terjadi peningkatan tekanan darah seiring dengan meningkatnya

excitementseksual.11

2. Plateau

Gambar 2 FasePlateau

Pada fase ini, penis menjadi ereksi penuh dan laki-laki tersebut mendekati

orgasm. Bagian atas penis menjadi semakin membesar dan gelap atau keunguan karena meningkatnya darah yang memenuhinya. Demikian juga terjadi peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan ketegangan otot tubuh. Pernapasan menjadi cepat dan dalam. Banyak laki-laki tidak mampu bertahan pada fase ini lebih daripada waktu yang pendek sebelum orgasm datang. Meskipun demikian dengan pengendalian otot pelvis yang efisien, seorang laki-laki dapat belajar bertahan pada fase ini untuk waktu yang panjang ketika berhubungan seksual.11


(32)

3. Orgasm

Gambar 3FaseOrgasm

Ketika orgasm menjelang, terdapat sejumlah besar cairan pada kedua kelenjar prostat dan vesikula seminalis. Ketika orgasm otot penis berkontraksi dengan selang waktu yang teratur. Masters dan Johnson mengukur selang waktu antara kontraksi pertama sekitar 0,8 detik. Setelah beberapa detik kontraksi menjadi melemah dan panjang selang waktu meningkat. Serabut otot uretra juga mengalami kontraksi ketika ejakulasi untuk membantu mengeluarkan cairan semen melalui uretra yang terbuka.11

4. Resolution


(33)

Setelah ejakulasi badan spons secara bertahap dikosongkan dari darah. Pada awalnya penis akan berkurang ukurannya sampai 50% dari ukuran ketika ereksi. Dibutuhkan waktu beberapa saat sebelum ukuran penis kembali pada keadaanflaccid.11

Fisiologi ereksi mencakup komponen hormonal, vaskuler, psikologis, neurologis dan seluler. Testosteron terutama berperan mempertahankan hasrat seksual (libido), dan keadaan hipogonadism kadang-kadang berhubungan dengan disfungsi ereksi. Keadaan hormonal lain yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi diantaranya adalah hipertiroid dan prolaktinoma. Suplai darah penis bermula pada arteri pudendal interna, yang bercabang kedalam arteri penis yang berakhir pada arteri kavernosa, dorsalis dan bulbouretra. Ereksi psikogenik, dipicu oleh stimulasi fantasi atau visual, yang kemungkinan dimediasi oleh masukan dari percabangan torakolumbal (T11 sampai L2). Ereksi refleks disebabkan oleh stimulasi taktil dan dimediasi sistim saraf parasimpatis (S2 dan S4). Secara keseluruhan, sinyal parasimpatetik bertanggung jawab untuk ereksi, dan sinyal simpatetik bertanggung jawab untuk ejakulasi.12

Gairah seksual (sexual arousal) dan sinyal parasimpatetik pada penis memulai perubahan intraseluler yang diperlukan untuk ereksi (Gambar 5).


(34)

Gambar 5 Mekanisme molekuler ereksi penis. Nitric oxidedilepaskan dari terminal nervus nonadrenergik/nonkolinergik dan sel endotel pada korpus kavernosum. cGMP = cyclic guanosine monophosphate; GTP =

guanosine triphosphate; PDE-5 =phosphodiesterase type 5.

(Sumber : Beckman TJ. Evaluation and Medical Management of Erectile Dysfunction)

Sel endotel dan nervus terminal melepaskan nitric oxide, yang pada gilirannya meningkatkan kadar cyclic guanosine monophosphate (cGMP). Kadar cGMP yang berlimpah menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan kavernosa, serta meningkatkan aliran darah penis. Ketika tekanan intrakavernosa meningkat, venula subtunika penis terkompresi, sehingga membatasi aliran balik vena dari penis. Kombinasi peningkatan aliran arteri dan penurunan aliran balik vena mengakibatkan ereksi (Gambar 6). Proses ini dibalikkan oleh aktifitas type 5 cGMP phosphodiesterase (PDE), yang memecah cGMP, menyebabkan penghentian ereksi.12,13


(35)

Gambar 6 Mekanisme Fisiologik Relaksasi Otot Polos Penis.

(Sumber : McVary KT. Erectile dysfunction. N Engl J Med 2007) 2.3.2. Disfungsi Ereksi

Disfungsi ereksi merupakan salah satu tipe dari disfungsi seksual. Adapun disfungsi seksual memiliki beberapa tipe masalah, diantaranya :

 Libido  Ejakulasi

 Disfungsi Ereksi


(36)

Berkurangnya libido dapat diakibatkan dari penyebab organik atau psikologik. Keadaan ini sering disertai kadar testosteron serum yang rendah atau kadar prolaktin yang meningkat, perubahan ini dapat primer maupun sekunder. Berkurangnya libido dapat juga berkaitan dengan problem psikologik, kesulitan menjalin hubungan, kesakitan medikal, penggunaan obat-obat tertentu.

Kesulitan ejakulasi dapat berupa ejakulasi prematur, ejakulasi yang lambat, anejakulasi atau ejakulasi retrograd. Ejakulasi prematur lebih sering dijumpai pada laki-laki muda daripada yang lebih tua. Keadaan ini dapat hilang atau berkurang dengan bertambahnya usia dan pengalaman seksual. Ejakulasi prematur didefinisikan sebagai ejakulasi yang terjadi sebelum atau dalam 2 menit setelah penetrasi vagina. Faktor psikologis, medis atau keduanya harus dipertimbangkan. Obat adrenergik, seperti dekongestan, sering menyebabkan ejakulasi prematur, sebagaimana halnya dengan epinefrin endogen yang dihasilkan pada ansietas. Ejakulasi yang lambat atau anejakulasi juga dapat disebabkan karena penyebab psikologik, neurologik atau medis atau kombinasi diantaranya. Ejakulasi retrograd sering terjadi pada pasien dengan gangguan neurologik, terutama neuropati diabetik, atau sebagai komplikasi dari reseksi prostat transuretral.14

Disfungsi ereksi merupakan masalah tersering melanda 80 85% pasien mencari bantuan medis untuk disfungsi seksual.14 Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan/atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan.2 Disfungsi ereksi sering dianggap psikogenik dan sering diabaikan petugas kesehatan. Saat ini telah meningkat pengetahuan terhadap penyebab fisiologik disfungsi ereksi dan terapi


(37)

yang potensial memperbaiki kualitas hidup, kepercayaan diri, dan kemampuan mempertahankan hubungan intim.7,13

Terdapat dua kategori disfungsi ereksi yaitu psikologik dan organik atau keduanya. Sering dijumpai seorang laki-laki yang mempunyai masalah dengan fungsi ereksi menjadi menderita ansietas, dan bisa kesulitan menentukan apakah faktor psikologik merupakan faktor utama atau menyertai penyakit lain.

Penyebab psikogenik terlibat pada hampir semua laki-laki dengan disfungsi ereksi, bahkan jika diketahui bahwa kebanyakan proses patofisiologi yang dominan adalah organik. Aspek psikis berperan penting terhadap ereksi, bahkan jika malfungsi organik terkecil pun dapat berakibat pada konsekuensi psikologis, yang selanjutnya disebut dengan performance related anxiety . Faktor faktor yang berperan pada disfungsi ereksi psikogenik dibagi atas 3 kelompok, yaitu faktor predisposisi (pendidikan, kultur, pengalaman traumatik, masalah keluarga, stres keuangan), faktor pencetus (gangguan organik, perselingkuhan, harapan yang tidak rasional, depresi dan ansietas, kehilangan pasangan hidup), maintaining factors

(penampilan terkait ansietas, berkurangnya daya tarik terhadap pasangan, ketakutan berhubungan intim).15

Penyebab organik disfungsi ereksi meliputi :  Neurogenik

o Penyakit sistem saraf pusat : sklerosis multipel, cedera saraf spinal, depresi,


(38)

o Penyakit sistem saraf perifer : kompresi kauda equina, prolaps diskus

intervertebralis, neuropati perifer (diabetes, alkohol), cedera bedah pada saraf pelvis.15

 Endokrin

Testosteron berperan penting terhadap fungsi seksual laki-laki pada hasrat seksual dan ereksi penis. Akan tetapi, berkurangnya kadar testosteron mempunyai efek yang bervariasi terhadap fungsi ereksi. Terdapat pengurangan libido, tetapi hanya sedikit efek pada fungsi ereksi. Laki-laki dengan hipogonad tidak serta-merta kehilangan fungsi ereksinya, namun dapat terjadi pengurangan ereksi nocturnal, dengan berkurangnya lama dan kekakuan ereksi. 15

 Vaskulogenik

Penyakit vaskular merupakan penyebab paling sering disfungsi ereksi, dan dari semua penyebab vaskuler, yang paling banyak adalah aterosklerosis. Akan tetapi, tidak semua aterosklerosis berhubungan dengan disfungsi ereksi, tetapi faktor resikonya seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes, juga berkaitan dengan terjadinya disfungsi ereksi. Penelitian Massachusetts Male Aging

menunjukan hubungan antara disfungsi ereksi dengan hipertensi, diabetes dan hiperkolesterolemia. Penelitian Cologne pada laki-laki dengan disfungsi ereksi juga tampak hubungan antara disfungsi ereksi dengan diabetes dan hipertensi, sementara itu beberapa penelitian lain menunjukkan hubungan antara merokok dan disfungsi ereksi. Pada tingkat seluler, telah dianggap bahwa pengurangan aliran masuk darah arteri menyebabkan hipoksia relatif didalam penis disusul dengan efek seluler (Gambar 1). Mediator seluler yang utama tampak berupa


(39)

Transforming Growth Factor Beta 1 (TGF 1), yang meningkat pada hipoksia dan menginduksi perubahan trofik otot polos kavernosa.15

 Seluler

Terdapat dua tipe sel kavernosa yang berperan penting pada ereksi penis, yaitu sel otot polos dan sel endotel. Sel endotel vaskuler membatasi ruang trabekuler dari sinusoid kavernosa dan melepaskan beberapa zat kimia vasoaktif yang mengendalikan tonus otot polos didalam penis, yang terpinting diantaranya adalah NO. Penyakit yang merusak endotel sehingga mengganggu respon vaskuler penis terhadap rangsangan neural. Beberapa penyakit yang dapat merusak endotel (termasuk hiperkolesterolemia), namun yang terpenting adalah diabetes melitus. Perubahan stuktur endotel pada diabetes melitus disertai perubahan fungsi akan berakibat terganggunya relaksasi otot polos. Pada penuaan dapat terjadi pengurangan otot polos penis. Jika terjadi malfungsi otot polos, dilatasi arteri menjadi tidak sempurna, dan relaksasi kavernosa gagal terjadi, akhirnya mekanisme oklusi vena gagal.15

 Iatrogenik

Sejumlah obat-obatan dapat mengganggu fungsi seksual, dapat berupa efek pada fungsi ereksi, fungsi ejakulasi, atau hasrat seksual. Penggunaan obat-obat ini sangat jarang secara langsung menyebabkan disfungsi ereksi sendirian, kerja obat tersebut biasanya sebagai tambahan mekanisme patofisiologi yang lain. Pembedahan dan radioterapi juga dapat mengganggu fungsi ereksi. Pembedahan yang paling sering menyebabkan disfungsi ereksi adalah pembedahan pelvis radikal terhadap kanker rektum, kanker kandung kemih, atau kanker prostat.


(40)

Saraf parasimpatis yang membantu ereksi penis berada berdekatan dengan prostat dan sering mengalami kerusakan ketika pembedahan radikal.15

Penyakit Sistemik

Penyakit sistemik mempengaruhi fungsi seksual pria melalui berbagai jalan, antara lain pada penurunan libido dan impotensia ereksi, infertilitas, osteoporosis, dan penurunan massa otot. Efeknya dapat langsung pada tingkat testikular atau pada hypothalamic-pituitary-testicular axis.16 Pada tingkat testikular dapat terjadi pengurangan fungsi sel Leydig yang mengakibatkan defisiensi androgen. Penyakit akut dan kronik dapat mengganggu hypothalamic-pituitary-testicular axis

dan juga menyebabkan berkurangnya fungsi testikuler. Hipogonadisme didefinisikan sebagai berkurangnya aktifitas fungsional testis, dan dapat primer (penyakit testikuler) atau sekunder (penyakit hipotalamik-pituitari). Pada hipogonadisme primer, kadar testosteron berada dibawah rentang normal berkaitan dengan peningkatan gonadotropin. Sedangkan pada hipogonadisme sekunder kadar testosteron berada dibawah rentang normal berkaitan dengan kadar gonadotropin yang normal. Lama penyakit, apakah akut atau kronik tidak bermakna mempengaruhi kadar testosteron aktual, meskipun nilai testosteron sedikit tetapi tidak bermakna lebih rendah pada mereka dengan penyakit kronik dibandingkan dengan penyakit akut. Kadar follicle stimulating hormone (FSH),

luteinising hormone (LH) dan prolaktin tidak berbeda bermakna diantara penderita penyakit akut dengan penyakit kronik.16


(41)

2.4. DISFUNGSI EREKSI (DE) PADA PPOK STABIL 2.4.1. Patogenesis DE pada PPOK Stabil

Patogenesis terjadinya disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil belum sepenuhnya diketahui. Pada penelitian penelitian awal, Semple dkk (1979) menemukan kadar testosteron yang rendah pada pasien PPOK dibandingkan kontrol, dengan kadar serum LH dan FSH yang normal, dan melihat kadar gonadotropin tidak sesuai, diduga bahwa hipoksia menyebabkan supresi pituitari. Pasien PPOK yang juga mengalami hiperkapnia mempunyai kadar testoteron lebih rendah daripada yang normokapnia, secara sederhana merefleksikan keparahan penyakit PPOK.17 Namun Gow dkk (1987) menemukan tidak ada korelasi bermakna antara tekanan oksigen arteri dan testosteron.18 Penelitian Aasebo dkk (1993) menemukan bahwa pemberian terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK laki-laki menunjukkan 5/12 pasien mengalami perbaikan impotensi dan peningkatan testosteron, dengan meningkatnya tekanan oksigen arteri.19 Rhoden dkk (2002) melaporkan bahwa kadar testosteron tidak berkorelasi dengan disfungsi ereksi atau derajat disfungsi ereksi.20 Hal yang berbeda dilaporkan oleh Svartberg dkk (2004) yang menemukan bahwa pemberian 250 mg testosteron IM setiap empat minggu pada pasien PPOK sedang sampai berat, secara bermakna memperbaiki fungsi ereksi, dan tidak mempengaruhi hasil spirometri maupun kadar PaO2.21 Penelitian terbaru dilakukan oleh Karadag dkk (2007) menemukan derajat disfungsi ereksi tidak berkorelasi bermakna dengan kadar serum testosteron meskipun terdapat kadar testosteron pada pasien PPOK stabil tampak lebih rendah bermakna daripada kontrol. Sehingga sampai saat ini hubungan antara testosteron dan disfungsi ereksi pada pasien PPOK masih kontroversial.7


(42)

Saat ini dugaan peran inflamasi kronik dapat menjadi pertimbangan. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Karadag dkk (2007) yang menemukan bahwa terjadi peningkatan bermakna kadar sitokin pro-inflamasi (TNF ) seiring dengan semakin beratnya disfungsi ereksi dan keparahan PPOK. Walaupun demikian, masih belum jelas apakah TNF- mempunyai efek langsung pada DE atau hanya merupakan refleksi dari semakin beratnya keparahan PPOK stabil. Penelitian lebih lanjut diperlukan, karena belum ada penelitian yang melaporkan hubungan disfungsi ereksi dengan sitokin pro-inflamasi pada pasien PPOK stabil.7 Beberapa penelitian pada populasi umum melaporkan hubungan disfungsi ereksi dengan peningkatan sitokin pro-inflamasi. Ryu dkk (2004) menemukan hubungan disfungsi ereksi dengan peningkatan kadar TGF- 1 pada populasi umum.22 Guigliano dkk (2004) menemukan konsentrasi sitokin pro-inflamasi (IL-6, IL-8, IL-18) dan CRP yang lebih tinggi bermakna pada pasien dengan disfungsi ereksi dibandingkan pasien tanpa disfungsi ereksi.23

2.4.2. Frekuensi DE pada PPOK Stabil

Beberapa penelitian terhadap pasien PPOK menghasilkan berbagai frekuensi disfungsi ereksi. Hudoyo dkk. (1996) melakukan survei dengan teknik wawancara, mereka menjumpai disfungsi seksual pada 62,5% dari 16 pasien laki laki dengan PPOK.3Ibanez dkk. (2001) mewawancarai pasien PPOK dengan gagal napas kronis dan pasangan mereka. Mereka mendeteksi disfungsi seksual pada 67% pasien. Saat wawancara dengan istri pasien, terdapat 94% istri merasakan perubahan kemampuan aktivitas seksual suami mereka sehubungan dengan konsekuensi penyakit yang diderita.4 Koseoglu dkk. (2005) menemukan disfungsi ereksi pada 75,5% dari 60 pasien PPOK.5 Leluya dkk. (2006) dengan kuesioner International


(43)

Index of Erectile Function (IEEF) menemukan disfungsi ereksi pada 97% dari 40 pasien PPOK stabil.6

2.4.3. Diagnosis Disfungsi Ereksi pada pasien PPOK Stabil

Disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil dipertimbangkan bila tidak ditemukan penyebab yang sering lainnya.

2.4.3.1. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menyingkirkan penyebab penyebab lain atau keadaan yang dapat mempengaruhi disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil. Selain laboratorium darah rutin juga diperlukan pemeriksaan kimia darah lain seperti fungsi hati, ureum, kreatinin dan kadar glukosa darah. Pemeriksaan foto toraks juga dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.

2.4.3.2. KuesionerInternational Index of Erectile Function(IIEF).24

Pasien PPOK stabil di wawancara untuk menjawab kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF) yang merupakan suatu metode untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan DE. Skor IIEF berkisar 0 25 dan DE digolongkan dalam lima kelompok menurut kriteriaNational Institutes of Healthsebagai berikut :

 Skor 0 7 : DE berat

 Skor 8 11 : DE sedang

 Skor 12 16 : DE ringan-sedang  Skor 17 21 : DE ringan


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara potong lintang yang bersifat deskriptif analitik.

3.2 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2010.

Penelitian dilaksanakan di poliklinik Pulmonologi dan Alergi Immunologi Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, dan RS Tembakau Deli Medan, Sumatera Utara.

3.3 Populasi terjangkau

Pasien PPOK stabil berjenis kelamin laki laki dan masih beristri yang melakukan pemeriksaan berkala di poliklinik Pulmonologi dan Alergi Immunologi Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, dan RS Tembakau Deli Medan.

3.4 Kriteria yang diikutkan dalam penelitian  Subyek berjenis kelamin laki lakiSubyek masih mempunyai istri

Subyek yang menerima informasi serta memberikan persetujuan ikut serta dalam penelitian secara sukarela dan tertulis (informed consent)


(45)

untuk menjalani pemeriksaan fisik, laboratorium, foto toraks PA, spirometri, dan wawancara untuk pengisian kuesioner fungsi ereksi.Subyek dengan klinis dengan klinis PPOK stabil (anamnesis dan

pemeriksaan fisik) serta dari spirometri didapatkan hasil FEV1/FVC < 0,7

Subyek tidak termasuk dalam kriteria yang dikeluarkan dari penelitian

3.5 Kriteria yang dikeluarkan dari penelitian

 Pasien PPOK yang mempunyai penyakit penyerta berupa penyakit keganasan, kardiovaskuler, ginjal, hati, endokrin, gangguan neurologis atau metabolik, penyakit urogenital.

 Pasien PPOK yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik  Pasien PPOK yang tidak mempunyai istri (pasangan berhubungan seksual)  Pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi

 Penyakit paru lain seperti bronkiektasis, fibrosis kistik, tuberkulosis, mikosis paru dan asma

3.6 Perkiraan besar sampel

Untuk memperkirakan besar sampel dipergunakan rumus sampel sebagai berikut :

( Z P0Q0 + Z PaQa )2 n


(46)

Dimana :

Z : nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai yang ditentukan.

Untuk = 0,05 Z = 1,96

Z : nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai yang ditentukan.

Untuk = 0,05 Z = 1,282

P0 : proporsi PPOK tahun 1990 Q0= 1 P0

P0= 1,4% 0,014 Q0= 0,986 (1990)2 Pa : proporsi PPOK tahun 1997 Qa= 1 Pa

Pa= 25% 0,25 Qa= 0,75 (1997)2 P0 Pa : besar proporsi PPOK yang bermakna = 12% ( 1,96 (0,014)(0,986) + 1,282 (0,25)(0,75) )2 n

( 0,12 )2 n 42,83 ~ 43

Maka dari perhitungan rumus diperoleh jumlah sampel sebesar minimal : 43 sampel


(47)

3.7 Cara penelitian

Pada semua pasien yang masuk sebagai subyek penelitian diminta memberikan persetujuan tertulis (informed concent) dan dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :

a. Dilakukan anamnesis untuk mendapatkan data : umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, keluhan utama, riwayat merokok atau paparan asap rokok, lama merokok, jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit lainnya, dan riwayat penggunaan obat obatan baik secara oral, parenteral, atau inhalasi

b. Dilakukan pemeriksaan tinggi badan (TB) dalam satuan meter (m), berat badan (BB) dalam satuan kilogram (Kg), indeks massa tubuh (IMT) dalam satuan Kg/m2.

c. Dilakukan pemeriksaan tekanan darah (RD) dengan menggunakan shygmomanomater air raksa, dimana sebelumnya penderita diistirahatkan selama 5 menit. Pengukuran dilakukan pada lengan sebelah kanan sebanyak dua kali dan diambil rata ratanya.

d. Dilakukan pemeriksaan fisik khusus pada sistem pernapasan, baik secara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan auskultasi dilakukan dengan menggunakan stetoskop diafragma.

e. Dilakukan pemeriksaan spirometri pada subyek yang secara klinis terdiagnosis PPOK stabil. Pasien diberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai tatacara pemeriksaan yang benar, setelah pasien mengerti maka dilakukan percobaan pemeriksaan spirometri terlebih dahulu. Bila percobaan pemakaian benar, barulah dilanjutkan dengan pemeriksaan


(48)

spirometri untuk menilai tingkat keparahan PPOK stabil sesuai pedoman Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2009.8

f. Dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya berupa : laboratorium yang meliputi darah rutin, uji faal hati, ureum-kreatinin, dan kadar gula darah puasa, 2 jam sesudah makan atau sewaktu yang didapatkan pada bagian Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, dan RS Tembakau Deli Medan, dimana sampel diperiksa, serta pemeriksaan radiologi secara foto toraks PA.

g. Dilakukan wawancara fungsi ereksi pasien menggunakan kuesioer

International Index of Erectile Function(IIEF).24

3.8 Definisi Operasional

a. Subyek penelitian : pasien PPOK stabil yang menjalani pemeriksaan dan pengobatan secara teratur di poliklinik pulmonologi dan alergi immunologi RSUP H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, dan RS Tembakau Deli Medan selama periode penelitian dan sudah memberikan izin tertulisnya untuk mengikuti penelitian ini.

b. Usia : usia dihitung berdasarkan tanggal lahir yang tertera pada kartu tanda penduduk (KTP) dengan satuan hasil berupa tahun.

c. Jenis kelamin : berdasarkan yang tertera di kartu tanda penduduk (KTP) dengan hasil laki laki atau perempuan.

d. Pekerjaan dan pendidikan : ditanyakan secara lisan dengan pasien secara langsung

e. Riwayat merokok : ditanyakan secara lisan dengan pasien secara langsung untuk mendapatkan data lama pasien merokok dalam satuan tahun dan


(49)

jumlah rata rata batang rokok yang dihisap setiap hari dalam satuan batang/hari

f. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) : keadaan penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, biasanya progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru ketika menghirup partikel atau gas beracun, dengan beberapa efek ekstrapulmoner bermakna menambah keparahan pasien secara individual. Diagnosis PPOK sesuai kriteria Depkes RI 2008 dan GOLD 2009.1,8

g. PPOK stabil : PPOK yang tidak sedang eksaserbasi

h. Uji spirometri : pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri.25, 26, 27

- Spirometri digunakan adalah spirometri Chest Graph HI-701 yang telah dikalibrasi terlebih dahulu.

- Spirometri dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari infeksi saluran napas.

- Pasien sebelum dilakukan pemeriksaan spirometri tidak boleh menggunakan obat obatan bronkodilator ( selama 6 jam untuk bronkodilator inhalasi kerja-pendek dan 12 jam untuk bronkodilator inhalasi kerja-panjang dan 24 jam untuk teofilin lepas lambat)

- Dilakukan pemeriksaan spirometri, sebelum dan 15 20 menit setelah pasien diberikan bronkodilator inhalasi yaitu golongan agonis 2

kerja-pendek berupa fenoterol dengan dosis inhalasi terukur 400 g.

- Pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan nilai FEV1 dan FVC dilakukan dengan cara :


(50)

o One-way mouthpiece sekali pakai yang bersih dipasangkan pada

spirometer

o Pasien diinstruksikan menghirup napas sedalam-dalamnya melalui mouthpiecesampai paru-paru terasa penuh

o Kemudian pasien disuruh menahan napasnya selama waktu yang

cukup untuk menutupkan bibirnya dengan rapat disekeliling

mouthpiece

o Setelah itu pasien diinstruksikan menghembuskan udara sekuatnya

dan secepatnya sampai tidak ada lagi udara tertinggal untuk dikeluarkan.

o Sambil terus memberi semangat kepada pasien, perhatian juga

diberikan untuk memastikan mulut pasien menutup rapat disekeliling mouthpiece sehingga tidak terjadi kebocoran ketika menghembuskan udara.

o Prosedur diulangi sampai didapat tiga hasil spirogram yang acceptable dan reproducible. Pengulangan prosedur dilakukan maksimum 8 kali usaha.

Acceptable mencakup start-of-test yang memuaskan, waktu ekshalasi FVC minimum 6 detik, kriteria end-of-test, dengan tanpa adanya batuk, penutupan glotis (valsava manouvre), penghentian dini, hasil spirogram yang berbeda, kebocoran dan

mouthpiecetersumbat.

Reproducible, jika nilai FVC tertinggi dan FVC kedua tertinggi dari spirogram acceptable tidak boleh berbeda lebih dari 0,2L ;


(51)

dan nilai FEV1 tertinggi dan FEV1 kedua tertinggi dari spirogramacceptabletidak boleh berbeda lebih dari 0,2L.

- Kemudian dihitung tes reversibilitas bronkodilator, dengan rumus : % FEV1 reversibilitas = FEV1 setelah bronkodilator - FEV1 sebelum bronkodilator x 100 %

FEV1 sebelum bronkodilator

- Bila hasil spirometri menunjukkan perbaikan bermakna FEV1 setelah bronkodilator (% FEV1 reversibilitas > 12%), maka pasien dikeluarkan dari penelitian karena kemungkinan diagnosa asma.

- Bila didapat hasil spirometri setelah bronkodilator FEV1/FVC < 0,7 maka pasien dimasukkan dalam kriteria yang diikutkan dalam penelitian.

- Hasil spirometri berupa nilai FEV1 (ml) pasien dimasukkan dalam rumus untuk menghitung FEV1%prediksi untuk orang Indonesia.

- Prediksi nilai normal FEV1 (ml) untuk laki laki Indonesia berdasarkan umur (tahun) dan tinggi badan (cm) menggunakan rumusan Tim PneumobileRProject Indonesia 1992.28

i. Tingkat kepararahan (stadium) PPOK ditentukan dengan klasifikasi menurut kriteria Depkes 2008 dan GOLD 2009.1,8

- PPOK Stadium I (ringan) :  FEV1/FVC < 0,7

 FEV1 80% prediksi - PPOK Stadium II (sedang) :


(52)

 FEV1/FVC < 0,7

 50% FEV1< 80% prediksi - PPOK Stadium III (berat) :

 FEV1/FVC < 0,7

 30% FEV1< 50% prediksi - PPOK Stadium IV (sangat berat) :

 FEV1/FVC < 0,7

 FEV1 < 30% prediksi, atau

 FEV1 < 50% prediksi ditambah gagal napas kronik / adanya komplikasi cor pulmonale

j. Hubungan seksual / coitus / sexual intercourse : penetrasi penis ke dalam vagina (vaginal coitus).11

k. Hasrat seksual/ libido : keinginan untuk melakukan hubungan seksual, dipengaruhi oleh berbagai rangsangan visual, olfaktori, taktil, auditori, imaginasi, dan hormonal. Hormon seks, terutama testosteron, bekerja meningkatkan hasrat seksual. Hasrat seksual dapat berkurang oleh karena masalah hormonal atau gangguan psikiatri atau obat-obatan.29

l. Ejakulasi : proses transport sperma dari epidydimis ke meatus uretra, mengakibatkan memancarnya cairan semen.30 Ejakulasi biasanya

mengakibatkan melembeknya penis, diikuti masa refrakter, dimana gairah (arousal) dan/atau orgasme tidak mungkin lagi sampai masa ini terlewati.30 m. Orgasme : interpretasi otak terhadap kejadian ejakulasi, bahkan jika


(53)

serebral yang biasanya dialami pada waktu ejakulasi, tetapi dapat terjadi tanpa ejakulasi.30

n. Disfungsi Ereksi (DE) : ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup bagi pelaksanaan hubungan seksual yang memuaskan.

o. Kuesioner Fungsi Ereksi / International Index of Erectile Function (IIEF) : instrumen yang digunakan untuk menilai fungsi ereksi dan telah digunakan pada trial klinis multinasional. Kuesioner ini memiliki 15 pertanyaan yang mencakup parameter berikut : fungsi ereksi (1,2,3,4,5), kepuasan ketika berhubungan seksual (6,7,8), fungsi orgasme (9,10), hasrat seksual (11,12), kepuasan seksual secara keseluruhan (13,14) dan tingkat kepercayaan diri untuk ereksi (15). Arahan penelitian ini terutama pada lima pertanyaan yang menggambarkan fungsi ereksi subyek (1,2,3,4,5), setiap pertanyaan bernilai 0-5. Kemudian nilai/skor dijumlahkan dengan skor total 0 25. Subyek dengan skor total > 21 dianggap normal (tidak ada DE), dan skor total 21 dianggap mengalami disfungsi ereksi (DE).20, 24

p. Interpretasi klinis dari skor total pertanyaan kuesioner IIEF dikelompokkan dalamTabel 1dibawah ini :


(54)

Tabel 1 Pembagian Masalah dan Interpretasi Skor Total Pertanyaan Kuesioner the International Index of Erectile Function (IIEF) 1997.24

q. Derajat disfungsi ereksi : derajat yang diperoleh dari interpretasi skor fungsi ereksi yang didapat dari pengisian kuesioner IIEF untuk pertanyaan nomor 1,2,3,4,5. Skor IIEF berkisar 0 25. Disfungsi ereksi digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi ereksi berat (0-7), disfungsi ereksi sedang (8-11), disfungsi ereksi ringan-sedang (12-16), disfungsi ereksi ringan (17-21), dan tidak ada disfungsi ereksi (22-25).

r. Derajat kepuasan ketika berhubungan seksual : derajat yang diperoleh dari interpretasi skor kepuasan ketika berhubungan seksual yang didapat dari


(55)

pengisian kuesioner IIEF untuk pertanyaan nomor 6,7,8. Skor IIEF berkisar 0 15. Disfungsi kepuasan ketika berhubungan seksual digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi berat (0-3), disfungsi sedang (4-6), disfungsi ringan-sedang (7-9), disfungsi ringan (10-12), dan tidak ada disfungsi (13-15)

s. Fungsi orgasme : derajat yang diperoleh dari interpretasi skor fungsi orgasme yang didapat dari pengisian kuesioner IIEF untuk pertanyaan nomor 9,10. Skor IIEF berkisar 0 10. Disfungsi orgasme digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi berat (0-2), disfungsi sedang (3-4), disfungsi ringan-sedang (5-6), disfungsi ringan (7-8), dan tidak ada disfungsi (9-10)

t. Derajat hasrat seksual : derajat yang diperoleh dari interpretasi skor derajat hasrat seksual yang didapat dari pengisian kuesioner IIEF untuk pertanyaan nomor 11,12. Skor IIEF berkisar 2 10. Derajat hasrat seksual digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi berat (2), disfungsi sedang (3-4), disfungsi ringan-sedang (5-6), disfungsi ringan

(7-8), dan tidak ada disfungsi

(9-10)

u. Derajat kepuasan seksual secara keseluruhan : derajat yang diperoleh dari interpretasi skor derajat kepuasan seksual secara keseluruhan yang didapat dari pengisian kuesioner IIEF untuk pertanyaan nomor 13,14. Skor


(56)

IIEF berkisar 2 10. Derajat kepuasan seksual secara keseluruhan digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi berat (2), disfungsi sedang (3-4), disfungsi ringan-sedang (5-6), disfungsi ringan (7-8), dan tidak ada disfungsi (9-10)

v. Derajat kepercayaan diri untuk ereksi : derajat yang diperoleh dari interpretasi skor derajat kepercayaan diri untuk ereksi yang didapat dari pengisian kuesioner IIEF untuk pertanyaan nomor 15. Skor IIEF berkisar 1 5. Derajat kepercayaan diri untuk ereksi digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi berat (1), disfungsi sedang (2), disfungsi ringan-sedang (3), disfungsi ringan (4), dan tidak ada disfungsi (5)

3.9 Analisa Data

Untuk menyajikan data data gambaran umur, indeks massa tubuh (IMT), riwayat lama merokok, jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap setiap hari, tingkat keparahan PPOK stabil, derajat disfungsi ereksi, penelitian ini menggunakan tabulasi dan dideskripsikan.

Untuk menilai hubungan tingkat keparahan (stadium) pasien PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi, menggunakan koefisien korelasi Gamma (G).


(57)

Untuk menilai hubungan perbedaan FEV1prediksi pasien PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi, menggunakan Uji Hipotesis Komparatif ANOVA.

Untuk menilai hubungan perbedaan umur pasien PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi, menggunakan Uji Hipotesis Komparatif ANOVA.

3.10 Ethical ClearancedanInformed Consent

Ethical Clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang ditanda tangani oleh Prof.dr.Sutomo Kasiman, SpPD.,SpJP(K) pada tanggal 16 Agustus 2010 dengan nomor surat : 193/KOMET/FK USU/2010.

Informed Consent diminta secara tertulis dari subyek penelitian yang bersedia ikut dalam penelitian setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti mengenai maksud dan tujuan penelitian ini.

3.11 Kerangka Operasional

Kriteria yang dimasukkan Kriteria yang dikeluarkan Tingkat Keparahan PPOK stabil Derajat Disfungsi ereksi Analisa Statistik Subyek Penelitian

PPOK Stabil Rawat Jalan

- Nama - Umur


(58)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL PENELITIAN

Selama periode seleksi penelitian ini berlangsung dari tanggal 19 Agustus 2010 hingga 30 Desember 2010, diperoleh subyek penelitian sebanyak 63 subyek, setelah dilakukan pemeriksaan penyaring yang meliputi : data identitas pribadi, tekanan darah (TD), berat badan (BB), tinggi badan (TB), indeks massa tubuh (IMT), riwayat lama merokok, jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap setiap hari, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang meliputi : darah rutin, pemeriksaan fungsi hati, ureum-kreatinin, serta pemeriksaan kadar gula darah dan foto toraks PA didapat 2 subyek yang dikeluarkan dari alur penelitian, yang terdiri dari karena didiagnosis pneumonia dengan gejala batuk berdahak, pemeriksaan fisik kesan ronki basah pada lapangan paru, foto toraks menunjukkan gambaran infiltrat yang dianggap baru pada lapangan paru, dan laboratorium rutin menunjukkan leukositosis.

Dari 61 subyek penelitian yang lulus kriteria dimasukkan dalam penelitian dan kriteria dikeluarkan dari penelitian, dilakukan pemeriksaan spirometri. Dari hasil spirometri, 1 subyek dikeluarkan dari penelitian karena didapat nilai FEV1/FVC > 0,7.

Dari 60 subyek penelitian yang telah dilakukan pemeriksaan spirometri, didapat hasil spirometri berupa nilai FEV1 pasien yang kemudian dimasukkan kedalam rumusan nilai normal FEV1 laki-laki Indonesia Tim PneumobileR Project Indonesia 1992, sehingga didapat nilai FEV1%prediksi untuk mendapatkan tingkat keparahan (stadium) pasien PPOK stabil.


(59)

Dari 60 subyek penelitian yang telah ditentukan tingkat keparahan (stadium) PPOK stabil, dilakukan wawancara menggunakan kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF). Pada wawancara didapat 2 subyek tenyata sudah tidak punya istri lagi (meninggal dunia) sehingga tidak dapat dilanjutkan pemeriksaan fungsi ereksinya menurut kuesioner IIEF. Pada akhir pemeriksaan didapat subyek penelitian sebanyak 58 orang (Gambar 7)

Gambar 7Bagan Alur Penelitian

63 subyek penelitian

61 subyek penelitian

60 subyek penelitian

58 subyek penelitian Analisa Data

Spirometri Pemeriksaan penyaring

Kuesioner IIEF

2 subyek dikeluarkan : pneumonia

1 subyek dikeluarkan : FEV1/FVC > 0,7

2 subyek dikeluarkan : istri sudah meninggal


(60)

4.1.1. Karakteristik Dasar Pasien

Dari 58 orang pasien, seluruhnya adalah pria dan masih mempunyai istri (100%). Rerata umur pasien 66,21±8,12 tahun. Rerata merokok 21,00±9,75 batang rokok perhari, dan rerata lama merokok 36,90±8,95 tahun. Rerata Indeks Massa Tubuh (IMT) 22,27±4,00. Seluruh pasien (100%,n=58) memiliki nilai FEV1/FVC < 70%, dengan rerata FEV1/FVC(%) 51,02±13,54. Rerata nilai FEV1%prediksi 48,43±21,58. Dan rerata skor fungsi ereksi 11,72±8,56. (Tabel 2)


(61)

4.1.2. Tingkat Keparahan PPOK Stabil

Bila dibagi berdasarkan tingkat keparahan (stadium) PPOK stabil, ditemukan paling banyak yaitu 25 orang (43,10%) berada pada PPOK Stadium III, selanjutnya diikuti PPOK stadium II, PPOK stadium IV dan PPOK stadium I, berturut turut sebesar 22,42%, 20,69% dan 13,79%. (Tabel 3).

Tabel 3 Tingkat / Stadium Keparahan Pasien PPOK stabil

Keterangan : Stadium PPOK stabil berdasarkan FEV1%prediksi : stadium I (Ringan, FEV1 80% prediksi), stadium II (Sedang, 50% FEV1< 80% prediksi), stadium III (Berat, 30% 49%), stadium IV (Berat, FEV1 < 30% prediksi atau FEV1 < 50% prediksi ditambah gagal napas kronik / adanya komplikasi cor pulmonale).


(62)

4.1.3. Derajat Fungsi Seksual

Bila dibagi berdasarkan derajat disfungsi seksual terhadap 6 masalah seksual; (1) untuk masalah disfungsi ereksi didapat disfungsi ereksi pada 45 orang dari 58 orang subyek (77,59%); (2) untuk masalah kepuasan ketika berhubungan seksual didapat disfungsi pada 55 orang dari 58 orang subyek (94,83%); (3) untuk masalah fungsi orgasme didapat disfungsi orgasme pada 48 orang dari 58 orang subyek (82,76%); (4) untuk masalah hasrat seksual didapat disfungsi pada 51 orang dari 58 orang subyek (87,93%); (5) untuk masalah kepuasan seksual didapat disfungsi pada 53 orang dari 58 orang subyek (91,38%); (6) untuk masalah kepercayaan diri untuk ereksi didapat 55 orang dari 58 orang subyek (94,83%) (Tabel 4).


(63)

4.1.4. Derajat Fungsi Ereksi

Bila dibagi berdasarkan derajat fungsi ereksi, terdapat 13 pasien (22,41%) yang tidak ada disfungsi ereksi (DE). Sedangkan 45 pasien (77,59%) mengalami disfungsi ereksi, yang terdiri dari DE berat, DE sedang, DE ringan-sedang, DE ringan, berturut turut 32,76%, 20,69%, 13,79% dan 10,35%.(Tabel 5).

Tabel 5 Derajat Disfungsi Ereksi (DE) Pasien PPOK stabil

Keterangan : pembagian derajat DE berdasarkan skor fungsi ereksi, yaitu : Tidak ada DE (skor 22 25), DE Ringan (skor 17 21), DE Ringan-sedang (skor 12 16), DE Sedang (skor 8 11), DE Berat (skor 0 7)


(64)

4.1.5. Hubungan Tingkat / Stadium Keparahan PPOK stabil dengan Derajat Disfungsi Ereksi

Hubungan antara stadium keparahan PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi disajikan dalam bentuk tabel B x K (Baris x Kolom) ditunjukkan padaTabel 6.

Tabel 6 Hubungan Stadium Keparahan PPOK stabil dengan Derajat Disfungsi Ereksi. (Sumber : SPSS)

Stadium keparahan PPOK stabil merupakan variabel kategorikal ordinal, karena stadium I, stadium II, stadium III dan stadium IV adalah kategori bertingkat atau tidak sederajat.

Derajat disfungsi ereksi merupakan variabel kategorikal ordinal, karena tidak ada DE, DE ringan, DE ringan-sedang, DE sedang, dan DE berat adalah kategori bertingkat atau tidak sederajat.


(65)

Oleh karena peneliti tidak hanya berkeinginan mencari hubungan antara Stadium keparahan PPOK stabil dengan Derajat disfungsi ereksi saja, tetapi juga mencari seberapa besar kekuatan hubungan tersebut, maka uji hipotesis yang dipilih adalah uji hipotesis korelatif.

Berdasarkan kepustakaan (Dahlan MS,2006)31, pilihan uji hipotesis korelatif untuk variabel kategorikal ordinal (stadium keparahan PPOK stabil) dengan variabel kategorikal ordinal (derajat disfungsi ereksi), dimana kategori variabel ordinal tersebut sedikit sehingga dapat dibuat suatu tabel silang antara dua variabel, maka yang dipilih adalah Uji Hipotesis Korelasi Gamma (G), sebagaimana yang ditunjukkan padaTabel 7.

Tabel 7 Uji hipotesis korelatif Gamma terhadap hubungan antara stadium keparahan PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi (Sumber : SPSS)

Keterangan : value : besarnya kekuatan korelasi, yaitu sangat lemah (0,00-0,199), lemah (0,20-0,399), sedang (0,40-0,599), kuat (0,60-0,799), sangat kuat (0,80-1,000); Approx.Sig. : nilai kemaknaan p, yaitu p<0,05 bermakna, p>0,05 tidak bermakna

Dari uji hipotesis korelatif Gamma (Tabel 7)diperoleh kekuatan korelasi yang kuat (0,705) dengan nilai p<0,05 (0,000), menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stadium keparahan PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi.


(66)

4.1.6. Hubungan Keparahan / FEV1prediksi pasien PPOK stabil dengan Derajat Disfungsi Ereksi

Mengenai distribusi rerata (mean) FEV1prediksi pasien PPOK stabil berdasarkan derajat disfungsi ereksi disajikan dalam bentuk tabel (Tabel 8)

Tabel 8 Distribusi rerata (mean) FEV1prediksi pasien PPOK stabil berdasarkan derajat disfungsi ereksi. Sumber : SPSS

Masalah skala pengukuran FEV1prediksi adalah skala pengukuran variabel numerik, karena terdapat parameter ukuran pemusatan (rerata/mean) dan parameter ukuran penyebaran (standar deviasi), serta penyajiannya dalam bentuk tabel.

Kelompok data FEV1prediksi dibagi berdasarkan derajat disfungsi ereksi menjadi lima kelompok data, yaitu pada tidak ada DE(1), DE ringan(2), DE ringan-sedang(3), DE sedang(4), dan DE berat(5) .

Selanjutnya dapat disebut banyak kelompok data tidak berpasangan karena terdapat banyak (>2) kelompok data (5 kelompok data FEV1prediksi), dan individu dari kelima kelompok data tersebut berbeda.


(67)

Oleh karena peneliti berkeinginan mencari hubungan antara perbedaan FEV1prediksi dengan Derajat disfungsi ereksi , maka uji hipotesis yang dipilih adalah uji hipotesis komparatif.

Berdasarkan kepustakaan (Dahlan MS,2006)31, pilihan uji hipotesis komparatif untuk skala pengukuran variabel numerik dengan banyak kelompok data tidak berpasangan, adalah Uji Hipotesis Komparatif ANOVA.

Sebelum melakukan uji hipotesis komparatif ANOVA, terlebih dahulu dilakukan uji varians dengan Test of Homogeneity of Variances (Tabel 9) untuk melihat apakah kedua kelompok mempunyai varians data yang sama atau berbeda, karena syarat uji hipotesis komparatif ANOVA : varians data harus sama.

Tabel 9 Test of Homogeneity of Variancesdari FEV1prediksi dan Derajat DE

Keterangan : df1 (degrees of freedoms1) = k-1 =5-1=4, df2 (degrees of freedoms2) = n-k =58-5=53. n : jumlah kelompok, k : jumlah total sampel. Sig.:nilai kemaknaan p, yaitu p<0,05 bermakna, p>0,05 tidak bermakna.

Kemaknaan Test of Homogeneity of Variances menunjukkan angka 0,135 (p>0,05). Karena p > 0,05 ; maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan varians antara kelompok data yang dibandingkan dengan kata lain


(1)

LAMPIRAN 9

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. DATA PRIBADI

Nama : dr. Roni Risdianto Ginting Tempat/Tgl Lahir : Yogyakarta / 18 Juni 1972 Jenis Kelamin : Pria

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Pangkat/ Gol. : Penata / III-C

Alamat Pekerjaan : Fakutas Kedokteran USU Jl. dr. Mansyur no. 5 Medan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU RSUP. H. Adam Malik Medan

Jl. Bunga Lau no.17 Medan Alamat Rumah : Jl. Jamin Ginting no. 24 Binjai Telepon selular : 081370553641

Hobi : Berenang, jogging

II. PENDIDIKAN

1. SD Ya Pemb Didikan Islam P.Bulan (1979 1985) Medan 2. SMP Negeri 8 Medan (1985 1988) Medan 3. SMA Negeri 1 Medan (1988 1991) Medan 4. Fakultas Kedokteran USU (1991 1997 ) Medan 5. PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK USU (2006 sekarang) Medan


(2)

III. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Dokter PTT di Puskesmas Simpang Jaya Kabupaten Aceh Barat Propinsi Aceh, tahun 1997 2000.

2. Staf Pengajar Honorer Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran USU, tahun 2000 2001.

3. PNS di Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hulu Propinsi Riau, tahun 2001 2006.

4. Dokter Konsultan Penyakit Dalam RS. Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas, Juni September 2009

IV. KEANGGOTAAN PROFESI

1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

2. Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)

V. KURSUS PENATARAN

1. Pendidikan dan Pelatihan Pra Tugas Dokter PTT, Banda Aceh, 1998 2. Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Golongan III Angkatan IV Tahun


(3)

VI. KARYA ILMIAH

1. Roni Risdianto Ginting, Zuhrial Zubir, EN.Keliat, Azhar Tanjung, Spectrum of Allergic Disease in Asthma and Allergy Clinic dr.Pirngadi Hospital, Medan. Joint National Congress of PETRI-XIII, PERPARI-IX, ITHS-X and Symposium on Infectious Disease 2007. Bandung, 30 Agustus 2 September 2007.

2. Roni Risdianto Ginting,Tunggul Ch. Sukendar, Jamaluddin Pane. Chronic Interstitial Nephritis in Malaria Nephropathy. Kongres Nasional X Pernefri. Bandung, 28 30 November 2008.

VII. PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Peserta Simposium Gastroentero-Hepatologi Update IV. Medan, 8-9 September 2006.

2. Peserta Simposium Integrated Clinical Management of Patients at High Risk of Vascular Events. Medan, 25 November 2006.

3. Peserta Simposium The Scientific Evidence to Date: Reduction of Events in Cardiovascular Diseases. Medan, 9 Desember 2006.

4. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan VIII 2007 Departemen ilmu Penyakit Dalam FK USU. Medan, 8-10 maret 2007.

5. Peserta Road Show PAPDI 2007 dengan Simposium Which Anti Hypertension s giving SMART Solution for Asian? . Medan, 14 April 2007.


(4)

6. Peserta Simposium era Baru Pengunaan Probiotic. Medan, 28 April 2007. 7. Peserta Simposium Trombosis-hemostasis Regional Pertama dengan

tema: Meningkatkan Peran Trombosis-Hemostasis Dalam Multi Disiplin Ilmu Kedokteran. Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia. Medan, 1-2 Mei 2007.

8. Peserta Simposium Diabetes, The Vitamin & Mineral Antioxidans Connection. Medan, 26 Mei 2007.

9. Peserta Simposium Current Issues in the Management of Gastritis and Gastropathy. Medan, 9 Juni 2007.

10. Peserta The 4th New Trend in Cardiovascular Management. Medan,

15-16 Juni 2007.

11. Peserta dan Pembicara Joint National. Congress of PETRI-XIII, PERPARI-IX, ITHS-X and Symposium on Infectious Disease 2007. Bandung, 30 Agustus 2 September 2007.

12. Peserta PAPDI Road Show 2008 Eli Lilly Training For Excellence. Medan, 26 Januari 2008.

13. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara New Era In Therapeutic Options. Medan, 17-19 April 2008.

14. Peserta Fucoidan, Nature s Way for Faster Peptic Ulcer Healing. Medan,14 Juni 2008.

15. Peserta Simposium OnTarget : a Landmark Trial in Cardio & Vascular Protection. Medan, 5 Juli 2008.

16. Peserta Symposium of Venous Thromboembolism. Perhimpunan Thrombosis Hemostasis Indonesia. Medan, 26 Juli 2008.


(5)

17. Peserta Simposium Future Direction in The Management of Cardiovascular Continuum; from Hypertension to Heart Failure. Medan, 16 Agustus 2008.

18. Peserta Festschrift Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH. Medan, 10 November 2008.

19. Peserta dan Pembicara Kongres Nasional X Pernefri. Bandung, 28 30 November 2008.

20. Peserta simposium Expert Meeting : New Paradigm in Maintenance Fluid Therapy. Medan, 18 Maret 2009.

21. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan X 2009 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 23-25 April 2009.

22. Peserta Scientific Meeting Attaining Greater BP Reduction and Organ Protection. Medan, 1 Agustus 2009.

23. Peserta simposium Early Insulin Inisiation, How, When, and What Insulin According to Daily Practice Need. Medan, 21 November 2009.

24. Peserta Workshop 1st Annual Pathobiology Course : Focus on Stem Cell.

New Era of Stem Cell Therapy. Medan, 12 13 Desember 2009.

25. Peserta Roadshow PAPDI Penggunaan Testosteron pada Aging Male. Medan, 6 Maret 2010.

26. Peserta simposium PAPDI Update on Diabetes Management and Medical Nutrition Therapy. Medan, 17 April 2010.

27. Peserta 2nd Regional Symposium of Thrombosis Hemostasis. Indonesian


(6)

28. Peserta workshop Injeksi Kortikosteroid Intra Lesion dan Visco Supplement. Medan, 30 Juli 2010.

29. Peserta simposium Rheumatology Update : Clinical Rheumatology in Daily Practice. Medan, 31 Juli 1 Agustus 2010.

30. Peserta PAPDI Road Show. Medical Skill Upgrade (MEDSKUP) Workshop Infection-Immunology. Medan, 30 Oktober 2010.

31. Peserta simposium Hyperglycemia of Patients with Diabetes Mellitus in Clinical Practice. Medan, 28 November 2010.

Demikianlah daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

Medan, Mei 2011

Yang Membuat Pernyataan