Pengaruh rangsangan hormon terhadap perkembangan gonad individu betina dan kualitas telur udang windu (Penasus monodon Fab.)
Latar
Belakanq
Pemerintah Indonesia telah menetapkan udang sebagai
primadona kedua komoditi ekspor non-migas dari sektor
pertanian, sehingga usaha budidaya udang mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun swasta.
Tersedianya be-
nur secara berkesinambungan sepanjang tahun merupakan salah satu faktor penting bagi pengembangan budidaya pembesaran udang.
Kebutuhan benur untuk usaha budidaya udang windu
(Penaeus monodon) setiap tahun diperkiraan mencapai 4.5
milyar.
Namun hasil benur dari usaha penangkapan di alam
maupun pembenihan
baru
mencapai
Zafril dan Suwirya, 1988).
1.5 milyar (Cholik,
Untuk jangka panjang keku-
rangan benur tersebut tidak akan dapat dipenuhi dari usaha penangkapan saja namun harus melalui usaha pembenihan
yang lebih produktif.
Usaha pembenuran secara buatan dalam bak terkontrol
telah diawali pada tahun 1970 di Ujung Pandang dengan dipijahkan untuk pertama kalinya induk-induk udang Penaeus
gerauiensis dan genaeus monodoq yang ditangkap dari laut
(Poernomo dan Yunus, 1980;
Cholik
&
.
1988)
Kemu-
dian teknologi pematangan gonad induk udang dengan ablasi
mata telah berhasil dilakukan pada tahun 1978 (Cholik &
,
d.,1988).
Akhir-akhir ini usaha banyak diarahkan pada
pencukupan induk dengan jalan mengembangkan, mematangkan
aan memijahkan induk-induk udang, terutama udang windu,
secara terkontrol.
Saat ini usaha pembenihan menghadapi dua masalah
penting, yaitu (1) mendapatkan cukup banyak calon-calon
induk udang untuk pematangan telur dan (2) teknik perangsangan pematangan telur dari calon induk udang.
Pengada-
an induk matang telur merupakan masalah utama dari berbagai usaha pembenihan udang yang mengandalkan dari hasil
tangkapan calon induk udang di alam.
Induk udang terse-
but bersifat musiman serta dalam jumlah sangat terbatas,
sehingga tidak ada jaminan bagi suatu usaha pembenuran
secara komersial.
Untuk mengatasi keterbatasan tersebut
kiranya dapat dipertimbangkan calon induk yang berasal
dari tambak, walaupun beberapa pakar udang berpendapat
bahwa calon induk yang telah diablasi memberikan respon
kematangan gonad lebih lambat dibandingkan dengan yang
berasal dari alam.
Induk asal tambak memberikan respon
kematangan gonad rata-rata 14 hari, sedangkan yang berasal dari
alam
(Nurdjana, 1985).
sekitar
tujuh hari setelah ablasi
Selain itu nauplii yang dihasilkan ti-
dak begitu banyak (Primavera, 1983).
Sebenarnya respon
kematangan gonad yang lambat dan jumlah nauplii yang rendah
bergantung
kepada
bobot
dan
umur induk udang.
Aquacop (1983) berpendapat bahwa calon induk ablasi
udang
P. ~nonodoqyang baik berumur minimal
9-12 bulan.
Motoh dalam Primavera (1983) menyatakan bahwa induk udang
P. nonodon mencapai kematangan gonad penuh dan dapat
'-C
memijah dengan baik setelah berumur 10 bulan.
Walaupun jumlah calon induk dapat disediakan, usaha
pembenihan udang masih akan menghadapi masalah pematangan
telur.
Teknik
pematangan
telur
mencakup tiga masalah
penting, yaitu perangsangan, pemberian pakan dan pengelolaan kualitas media atau lingkungan.
Dari ketiga masalah
tersebut teknik perangsangan pematangan induk merupakan
faktor penentu utama bagi keberhasilan usaha pembenihan
udang.
Proses pematangan telur berhubungan erat dengan
peranan hormon di dalam kontrol endokrin.
Secara umum perkembangan telur dalam crustacea decapoda, mulai dari rangsangan lingkungan sampai perlakuan
hormon dari luar (exoaenous treatments), berperan demi
reproduksi.
Lingkungan seperti temperatur, cahaya, sali-
nitas, substrat, pH dan kepadatan berpengaruh terhadap
neurosecretorv sebagai pusat sekresi hormon, baik hormon
penghambat
gonad ataupun hormon perangsang gonad.
Meka-
nisme kerjanya sampai saat ini masih belum jelas dan begitu pula kebenarannya (Khoo, 1989).
Sampai saat ini teknik pematangan telur telah dikembangkan melalui ablasi mata.
Pada dasarnya teknik ini
yaitu pemotongan atau perusakan organ-X yang menghasilkan
hormon GIH (aonad inhibitina hormone) dan'organ-Y menjadi
lebih aktif memproduksi GSH
(aonad stimulatins hormone),
sehingga proses pematangan telur akan dipercepat.
Teknik
ablasi mata ini cukup baik untuk merangsang pematangan
telur, namun daya tetas telur yang dihasilkan baru mencapai 50-60 persen dengan laju pertumbuhan larva yang belum
memuaskan.
Karena hasil ablasi mata tersebut belum memuaskan,
maka perlu diupayakan suatu teknik perangsangan pematangan telur yang lebih efektif dan produktif.
Dalam budida-
ya ikan telah dilakukan upaya perangsangan pematangan telur melalui rangsangan hormonal.
Untuk beberapa jenis
ikan hasilnya cukup baik, antara lain pada ikan mas (*
prinus carvio), mola (silver carp, Hv~o~hthalmithvs
molitrix) , bandeng (Chanos chanos) , belanak (Musil cevhalus)
dan sebagainya.
Pada dasarnya pematangan telur ikan-ikan
tersebut dilakukan dengan cara penambahan hormon reproduksi yang mampu merangsang proses pematangan telur.
Be-
berapa hormon yang berpengaruh pada gonad antara lain
progesteron, testosteron, luteinizina hormone (LH), foljicle stirnulatinu hormone (FSH), dan human chorionic ao~ a d o t r o b i n (HGG)
(Eding,
Jansen, Kleinestaarman dan
Richter, 1982; Epler dan Bieniarz, 1982; Martin, 1979;
Matty, 1985)
.
Perlakuan hormon steroid dan peptida vertebrata telah memperlihatkan pengaruhnya terhadap kematangan ovari
dalam beberapa jenis udang.
merangsang
oogonia
pada
Suntikan hormon progesteron
Paravenaeo~sis hardwickii
(Kulkarni &
d.,1979 dalam Yano, 1985) dan Meta~enaeus
ensis (Yano, 1985).
HCG adalah hormon yang merangsang
oogonia Cranson cranaon (Bomirski dan Klek-Kawinska, 1976
dalam
-P.
Yano, 1985).
Untuk jenis udang lainnya, seperti
monodon kematangan gonadnya dirangsang apabila diberi-
kan hormon steroid dan peptida.
Tuiuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian hormon steroid dan peptida terhadap perkembangan gonad serta kualitas hasil telur
(Penaeus monodon Fab.).
dari
udang windu
Adapun lingkup kajian dalam me-
nelusuri pengaruh pemberian hormon tersebut dibatasi kepada aspek-aspek
(1)
berikut, yaitu:
Efektivitas waktu kerja hormon untuk mencapai berbagai tingkat kematangan gonad serta ganti kulit.
(2)
Karakteristik oosit (perkembangan oosit dan fekunditas) dari perkembangan gonad udang windu.
(3)
Kualitas telur (ukuran dan tipe telur) , ukuran embrio serta waktu lama penetasan telur dari hasil
pemberian hormon.
Pendekatan Masalah
Secara alami, proses perkembangan telur udang windu
,
ditentukan oleh hasil kerja beberapa hormon.
Masalah
utama adalah proses pematangan gonad secara alami akan
memerlukan waktu cukup lama.
Sebelum mencapai tingkat
dewasa, hormon aonad inhibitins hormone (GIH) yang dihasilkan oleh organ-X sangat dominan.
GIH tersebut akan
menghambat organ-Y dalam memproduksi sonad stimulatinq
hormone (GSH) untuk merangsang perkembangan telur.
Sementara ini, untuk mempercepat proses pematangan
gonad telah banyak dilakukan ablasi mata, sehingga produk
GIH dapat dieliminir, tetapi mendorong organ-Y menghasil-
kan GSH.
Waktu yang diperlukan organ-Y untuk menghasil-
kan GSH akan sangat menentukan kecepatan gonad udang mencapai siap matang telur.
GIH dan MIH (molt inhibitinq
hormone) dari organ-X ditekan sehingga kemungkinan untuk
menghambat proses pematangan telur ditiadakan.
Penambahan hormon dari luar tubuh udang, apabila cukup efektif diharapkan dapat langsung mendorong tersedianya hormon serupa
GSH yang dihasilkan oleh organ-Y se-
hingga mampu merangsang perkembangan telur.
Dosis hormon
yang diberikan harus mampu mengimbangi atau lebih besar
dari kemampuan GIH
pat terjadi.
sehingga proses pematangan telur da-
Diagram pendekatan masalah tertera pada
Gambar 1
Keberhasilan kerja hormon yang ditambahkan tidak
terlepas dari bobot awal udang serta latar belakang pemberian kualitas pakan maupun lingkungan yang akan menunjang
kualitas
kualitas
telur
yang dihasilkan.
lingkungan air
serta pakan
Dalam kondisi
yang
sama
maka
------
pematangan
---Gambar 1.
pematangan
: Jalur harapan
: Jalur ang akan dieliminir
: Jalur Zonsekwensl perlakuan
Diagram Pengkajian Rangsangan Hormonal
terhadap Perkembangan Kematangan Telur
Udang Windu
efektivitas jenis hormon yang diberikan akan dapat dievaluasi dengan baik.
Pemberian hormon tersebut akan langsung efektif merangsang proses pematangan telur serta menghasilkan kualitas telur serupa atau lebih baik daripada proses alami.
Sehubungan dengan pendekatan masalah
tersebut, maka ke-
berhasilan pemberian hormon tersebut perlu dikaji dari
beberapa aspek indikatif sebagai berikut:
(1) Tingkat kematangan struktural telur serta laju pro-
ses peningkatan kematangan telur,
(2)
Dampak proses pematangan telur terhadap pertumbuhan
somatik, dan
(3)
Kualitas telur, fekunditas serta daya tetas telur
yang dihasilkan, ditambah dengan perkembangan embrio.
Hipotesis yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah apabila pemberian hormon mampu mempercepat proses pematangan telur maka hasil kualitas telur setidaknya sama
atau lebih baik daripada hasil proses pematangan telur
secara alami.
TINJAUAN PUSTAKA
Bioloai Re~roduksi
Sistem Re~roduksiUdans Jantan
Sistem reproduksi udang windu jantan (Gambar 2) terdiri dari organ internal, seperti sepasang testes, sepasang vas deferens dan sepasang terminal ampul, dan organ
eksternal, yaitu petasma yang terletak pada kaki renang
pertama dan sepasang appendix masculina yang terletak
pada kaki renang kedua (Motoh, 1981).
Sistem Re~roduksiUdans Betina
Sistem reproduksi udang windu betina (Gambar 3) terdiri dari organ internal, yaitu sepasang ovarium dan sepasang saluran telur (oviductus), dan organ eksternal yaitu satu telikum yang terletak di antara kaki jalan (periopoda) keempat dan kelima (Motoh, 1981; Prirnavera, 1983
dan Nurdjana, 1985).
Pada bagian dalam telikum terdapat
reseptakel seminal yang berfungsi untuk menyimpan spermatofora
setelah terjadi kopulasi.
Tinskat Kedewasaan
Bila ditinjau dariumur dan ukuran, tingkat kedewasaan
udang jantan dan betina adalah sebagai berikut :
luar
Umur : Perkembangan bagian-bagian %elamin sebelah
mendahului
kematangan
ovarium
dan
testes pada
P.
-
nonodon (Primavera, 1983) atau alat genital udang be-
tina berkembang sebelum gonad masak (Hall, 1962).
Kare-
nanya perkawinan pertama kali terjadi pada umur yang masih nuda, jauh sebelum mijah (spawning) pertama.
monodoq,
Pada
E.
kopulasi pertama terjadi pada udang berumur 4-5
bulan, dan pemijahan pertama pada umur berkisar 10 bulan
(Primavera, 1983)
.
Petasma
T
TA
PVD
DVD
MVD
Gambar 2.
:
:
:
:
:
Umbai jantan
Testes
Terminal ampul
Vas deferens de an
Vas deferens be?akang
Vas deferens tengah
Sistem Reproduksi Udang Windu
(penaeus monodon) Jantan (Motoh, 1981)
-
Ukuran: Menurut Motoh (1981), rata-rata ukuran mini-
mal panjang karapas udang jantan dan betina dewasa yang
berasal dari tambak masing-masing lebih kecil daripada
yang dari alam (laut), yaitu 31 mm dan 39 mm atau 70 dan
110 g bobot badan.
minimum
75
Menurut
Primavera
(1983), ukuran
udang betina dari laut untuk dipijahkan adalah
g, tetapi yang berukuran 60 g pun sudah mengandung
sperma di dalam telikum, yang berarti telah terjadi kopulasi.
Selanjutnya dikatakan pula bahwa udang betina yang
berasal dari tambak dan berbobot 40 gram positif mengandung sperma. Dengan demikian, udang jantan dari tambak
dan alam (laut) dengan bobot sekurang-kurangnya 40 g baru
mungkin
untuk
dilihat spermanya di bawah mikroskop de-
ngan membelah spermatofora (Primavera, 1983).
aping
Ovarium
Telikur
Gambar 3.
Ovarium dan Telikum Udang Windu .
(Penaeus monodon) (Motoh, 1981)
cuping
Funasi Alat Kelamin Eksternal
Alat kelamin eksternal jantan yang disebut petasma
berfungsi untuk menyalurkan sperma dan meletakkan spermatofora pada alat kelamin betina yang disebut telikum, sehingga telikum berfungsi sebagai penampung sperma sebelum
terjadi pembuahan. Telur keluar melalui saluran telur
(oviduct) dan akan dibuahi oleh sperma dari telikum tadi.
Pembuahan terjadi di luar badan atau di air (Liao dan
Huang, 1972).
Tinskat Kematangan Telur
Kematangan telur dapat dilihat dari perkembangan
ovarinya (kandungan tetur), yang terletak di bagian punggung (dorsal) dari tubuh udang mulai dari karapas sampai
ke pangkal ekor (telson).
Ovari yang mengandung telur
matang dapat dilihat dengan jelas pada individu yang masih hidup, terutama
pada
jenis udang putih (Penaeus
perquiensis dan 2. Jndicus) , karena kulitnya tipis dan
jernih.
Pada udang windu (P. monodon) dan 2. semisulca-
tus ovari
-
agak sulit dilihat tanpa tembusan cahaya, ka-
rena kulitnya tebal dan berwarna gelap (Poernomo, 1979).
Kematangan telur udang penaid (Gambar
4)
dapat dibe-
dakan dalam lima tingkat (Primavera, 1983) yaitu:
-
Tingkat I : ovari tipis, transparan dan tidak terlihat
melalui eksoskeleton dorsal (punggung kerangka luar) ,
Gambar 4.
Tingkat Kematangan Telur Udang Windu
(Penaeus monodon) (Primavera, 1983)
-
Tingkat I1 : merupakan tingkat kematangan awal dengan
terlihat adanya benang halus berwarna hijau pekat di bagian punggung udang penaid,
-
Tingkat 111: warna ovarium semakin jelas (gelap), tebal
dan padat,
- Tingkat IV
: tingkat kematangan udang yang siap memijah
dan ditandai dengan semakin melebarnya
ovari dan di bagian anterior ovari tersebut terlihat lekukan-lekukan dan bulatanbulatan pada ruas badan pertama dan kedua,
-
~ingkatV
: ovari telah melepaskan telur baik secara
penuh maupun sebagian, sehingga berwarna
jernih atau pucat.
Cara lain untuk menentukan kematangan telur adalah
dengan melihat indeks kelamin yang disebut "gonadal somatic indexM (GSI) atau indeks gonad somatik (IGS) yang
menyatakan persentase bobot ovari yang berisi telur terhadap bobot total:
bobot ovari
IGS
x 100.
=
bobot badan
Induk E. monodoq yang berasal dari alam dan siap memijah
mempunyai IGS minimum 11.1 (Poernomo, 1979).
M i i a h
Udang windu betina yang matang telur~(stadia 4) akan
segera memijah (bertelur).
Pemijahan biasanya terjadi
pada malam hari antara jam 8 malam dan jam 6 pagi, sebaqian besar di antara jam 10 dan 2 malam (Primavera,
1983).
Pemijahan hanya berlangsung 2
-
7
menit.
Apabila
pemijahan hanya terjadi 50 persen, maka udang akan memijah kembali untuk kedua kalinya, sedangkan apabila hanya
158, maka pemijahan akan terjadi 3 kali.
Setelah memijah
udang kembali matang dalam 3-5 hari (Primavera, 1983).
Pemijahan dapat terjadi di alam, yaitu di daerah lepas pantai, sedangkan di pembenihan terkontrol di bak-bak
pemijahan.
Pemijahan terjadi
sepanjang tahun, terutama
pada akhir musim hujan, karena adanya perubahan salinitas
dan suhu mendadak yang dapat memberikan rangsangan pada
induk udang yang matang telur untuk mijah.
Selanjutnya
pemijahan yang paling aktif terjadi pada waktu suhu relatif tinggi (Martosudarmo dan Ranoemihardjo, 1980).
Fekunditas dan Kualitas Telur
Induk udang yang berasal dari laut, tanpa melalui
ablasi mata, dapat menghasilkan telur yang lebih banyak
dan berkualitas
berasal dari
baik
tambak
(Primavera, 1983).
bila
udang
dibandingkan
dengan
cara
dengan yang
ablasi
mata
Fekunditas udang betina yang berasal
dari laut, secara alami dapat mencapai 200 000-1 000 000
butir dengan rata-rata 500 000 butir telur, sedangkan
melalui ablasi mata, baik udang dari laut maupun dari
tambak hanya 100 000 sampai 600 000 telur, dengan rata-
rata 200 000 butir telur bagi yang berasal dari tambak
clan 300 000 telur dari laut.
Menurut Cuming (1961) dan
Penn (1980) dalam Nurdjana (1985), jumlah telur yang dilepaskan (fekunditas) bervariasi bergantung kepada ukuran
induk.
Induk
lebih banyak.
yang
lebih besar akan menghasilkan telur
Perkembangan dan kualitas telur tertera
pada Gambar 5.
Sari pertama
10 menit
20 menit '40 menit
1%jam
membran lua:
normal
3eadzen sebenar?ya setelah m i jah
( 3 nenjlt )
Gambar 5.
Perkembangan dan Tipe Telur pada
P. monodon (Primavera, 1983)
-
Sistem Endokrin
Sistem Endokrin Ikan
Pada ikan, kelenjar hipofise adalah pusat sistem endokrin
(Anonim, 1980),
yang pada dasarnya sama dengan
kelenjar hipofise pada semua kelas vertebrata.
Secara
embriologi kelenjar hipofise ikan dibagi menjadi 2 bagian
yaitu neurohipofise dan adenohipofise.
Pada adenohipofise bagian pars distalis terdapat
sel-sel gonadotropik (gonadotropin) yang menghasilkan
follicle stimulatina hormone (FSH) dan luteinizinq hormone (LH).
FSH dan LH disebut hormon gonadotropin, yang
berperan penting dalam reproduksi ikan, proses kematangan
gonad dan pelepasan telur (Anonim, 1980).
FSH merangsang perkembangan permulaan folikel pada
ovarium dan gametogenesis pada testis.
LH yang
terdapat
pada jenis betina berperan dalam pertumbuhan akhir folikel ovari dan juga memacu sel-sel endokrin yang terdapat
pada teka folikel interna untuk menghasilkan estrogen.
Selain itu LH juga berpengaruh dalam proses pematangan gonad dan perkembangan korpus luteum dalam ovarium, sehingga memacu sekresi progesteron (Junqueira dan Carneirio,
1980; Ganong, 1983).
Struktur kimia khorionik gonadotropin pada FSH adalah glikoprotein (bobot molekul 32 000) dengan 236 asam
amino, sedangkan LH merupakan glikoprotein yang mempunyai
bobot molekul 30 000 dengan 2 rantai asam amino; satu
rantai alfa yang dibentuk dari 96 asam amino dan satu
rantai beta dengan 119 asam amino (Junqueira dan Carneiro, 1980).
Menurut Gan, Suharto, ~yamsudin,Setiabudy,
~ r i n idan Vincent (1980), struktur kimia gonadotropin
adalah glikoprotein yang mengandung heksosa, manosa dan
galaktosa, dan juga terdiri dari asam sialat. Glikoprotein dan asam sialat tersebut dibentuk dari subunit alfa
LH, FSH dan TSH (tiroid stimulating hormon) serta subunit
beta yang memberi sifat kespesifikan hormonal.
Berddsarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui
peranan hormon khorionik gonadotropin sangat penting dalam proses perkembangan gonad.
Hal ini dapat ditunjukkan
pada ikan yang diberi perlakuan hipofisektomi.
Gonad
ikan tersebut mengalami atropi karena hilangnya faktorfaktor yang mengatur perkembangan gonad dan akhirnya gonad akan menyusut (Gordon, 1977 dan Gan, & d.,
1980)
.
Tetapi perkembangan gonad dapat dipulihkan kembali jika
ikan diinjeksi dengan suspensoid hipofise ikan dewasa
(Anonim, 1980)
.
Mekanisme Keria Hormon Ikan
Syaraf dan sistem endokrin vertebrata berperan bersama-sama mengatur proses perkembang-biakan hewan.
Hu-
bungan utama yang merupakan mata rantai-peristiwa dari
rangsangan lingkunan sampai pelepasan gamet dilukiskan
pada Gambar 6, dengan kegiatan syaraf pada tingkat permulaa dan peranan hormon merupakan aktivitas terakhir.
Rangsangan lingkungan (lama penerimaan cahaya, temperatur dan curah hujan) diterima oleh indera dan diteruskan ke sistem syaraf pusat.
Kemudian ke hipotalamus yang
memproduksi sonadotropin releasins hormone (GnRH) dan menentukan aktivitas kelenjar pituitary
atau
hipofise de-
ngan proses kimia melepaskan hormon.
Adanya rangsangan,
pituitarv melepaskan peredaran hormon dengan organ sasaran gonad. Hormon tersebut adalah gonadotropin. Pengaruh
gonadotropin adalah merangsang penghasil hormon seks steroid gonad (androgen, esterogen dan progesteron), yang
kemudian mempunyai respon ke maturasi garnet.
Hormon seks
steroid tersebut langsung mengatur perkembangan gonad.
Sistem Endokrin Udanq
Penelitian terhadap sistem endokrin pada
crustaceae
telah dimulai pada tahun 1928, melalui penemuan yang terpisah
oleh
Perkins
yang
menyelidiki Palaemonetes dan
Keller yang mempelajari jenis udang crangon (Carlisle dan
Knowles,
1959).
Hanstrom adalah
krin
pada
Selanjutnya
mereka mengatakan bahwa
orang pertama yang menemukan organ endo-
crustaceae yang disebut "kelenjar sinus dan
organ-XIt. Menurut carlisle dan Passano (1953), organ-X
merupakan sumber penghasil bahan-bahan sekresi yang terdapat
pada
kelenjar
sinus organ-X dan
terdiri dari
sekelompok
sel
syaraf
penghasil hormon, yang pada
Brachyura terletak pada bagian dorsolateral tangkai mata,
antena medula eksternal dan medula internal, sedangkan
pada Natantia dekat kulit luar dan biasanya dekat bagian
distal dari medula terminalis,(Welsh, 1961).
Rangsangan dari luar
I
Indera
?
l
f
Syaraf / humoral
Produksi hormon
I
I
Pituitari
-.
Hormon gonadotropin
Gonad
G
I
I
Hormon seks
Kematangan dan
Pelepasan gamet
Gambar 6. Hubungan antara Organ dengan Hormon Berkenaan dengan Proses Kematangan dan Pelepasan Gamet pada Ikan (Harvey dan Hoar, 1979)
Mekanisme Keria Hormon Udanq
Sel-sel syaraf neurosekretoris di bermacam lokasi
sistem syaraf mengirim aksonnya ke pusat pelepasan di setiap tangkai mata, yang disebut kelenjar sinus.
Pusat
ini sebagai pengganti dari kumpulan akhir syaraf bulat
yang terletak di dorsolateral tangkai mata.
Kelenjar si-
nus merupakan sekelompok ujung-ujung sel syaraf yang banyak mengalami perubahan dan disebut sebagai organ neurohemale yang berfungsi untuk menyimpan dan melepaskan hormon ke organ sasaran yaitu bagian distal pigmen retinal,
kromatofor organ-Y dan mengatur gula darah.
Hal ini di-
perlihatkan pada Gambar 7 (Welsh, 1961).
?r'
Gambar 7.
:\
Qlla darah
Sistem Neurosekretoris ele en jar
Sinus Brachyura (Welsh, 1961)
Adi'yodi dan Adiyodi (1970) menjelaskan sistem mekanisme hormon pada dekapoda,
yang kemudian dibahas pula
oleh Martosudarmo dan Ranoemihardjo (1980), serta oleh
Nurdjana (1985).
Dari uraian-uraian mereka dapat dije-
laskan bahwa keadaan lingkungan merupakan sumber rangsangan pertama yang mempengaruhi kerja susunan syaraf pusat. Akibat adanya rangsangan dari luar, susunan syaraf
pusat memerintahkan organ-X yang terletak pada tangkai
mata untuk menghasilkan hormon yang
bitins hormone (GIH).
disebut sonad inhi-
Sebelum GIH dilepaskan ke organ
sasaran terlebih dahulu disimpan dalam kelenjar sinus
yang juga terletak di tangkai mata (Kulkarni dan Nagabhushanam, 1980).
GIH ini menghambat perkembangan gonad ba-
ik kelenjar seks dan androgen pada udang jantan (Adiyodi
dan Adiyodi, 1970) dan ovari pada individu betina, sehingga sperma dan telur terhambat perkembangannya. GIH
mempengaruhi perkembangan gonad tersebut, yaitu dengan
menghambat aktivitas organ-Y yang terletak pada bagian
kepala. Kerja organ-Y menghasilkan hormon yang disebut
aonad simulatina hormone
(GSH), yang merangsang pemben-
tukan sperma pada individu jantan atau telur pada individu betina.
Gambar 8 memperlihatkan mekanisme hormon da-
lam proses reproduksi dekapoda
(Adiyodi dan Adiyodi,
1970). Organ-X mengendalikan tingkah laku seksual, pro,
kromatoses penyerapan air, ganti kulit dan pembentukan
fora.
W f I N U l N DARI LUAR
4
SWUNRN $YARAF PUSAT
I
OR+
-X
i /, <
~ ~ ~
I
KELUJ;RR
SINUS
I
I
v
GONAO INHIBITING HORMONE
Peoguuh
( G I H )
lan9-n9
RKTIVITAS
BERTELUR
#
,
.,
,
0
I
,,
/
,,
I
I
0
0
Perkembangan
spermatozoa
,'4,
I
,0
HoRHoN
ANDROGEN
ANDROGEN
I
Tingkah laku
seksual
I
I
6
l
7-y
#
0'
#
b'
WfiRIUn
GONfU STIPUJLATING HORMONE
,q"
=rurg=wrg
perkembangan
blur
Q
Tingkah laku
seksual
GRNGLION
THORACHIUH
Pads individu
bet ina
G a m b a r 8.
OTAK
Pada individu
jantan
Sistem Kerja HMa d a l r Proses Repr-oduksi Decapoda
tddiyodi &n Wiyodi. 1970; Nu-djana. 1985).
Peranan Hormon
Hormon Crustaceae
Menurut Adiyodi dan Adiyodi (1970), pada crustaceae
tat sebanyak 6 macam hormon, yaitu:
(1) Hormon penghambat penggantian kulit (MIH);
(2) Hormon pengganti kulit (MH);
(3) Hormon penghambat gonad (GIH);
(4)
Hormon perangsang gonad (GSH);
(5)
Hormon jantan (androgenic hormone = AH);
(6) Hormon betina (female hormone = FH)
M I H.
Hormon
penghambat
.
penggantian kulit (MIH)
bersumber pada organ-X yang terdapat pada Macrura dan
Brachyura yang mempunyai sifat dasar kimia sebagai hormon
neurosekretoris atau protein.
Sasarannya adalah organ-Y.
Pengaruh hormon ini adalah menghambat pergantian kulit
oleh perintah organ-Y.
Selain berpengaruh pada penggan-
tian kulit, hormon ini juga berpengaruh pada reproduksi
yaitu meningkatkan reproduksi oleh perintah organ-Y di
awal pergantian kulit.
M.
Hormon ini bersumber pada organ-Y, yang sifat
dasar kimianya adalah steroid (crustecdysone), organ sasaran epidermis dan hepatopancreas.
Fungsi hormon ini
adalah:
-
memberi respons terhadap permulaan perkembangan
ganti kulit,
-
berpengaruh pada pengerasan kulit, perubahan
warna dan regenerasi,
-
berpengaruh pula pada kehidupan lebih lanjut
pada perkembangan gonad termasuk spermiogenesis
dan vitelogenesis.
G I H.
Hormon ini dihasilkan oleh organ-X pada Ma-
crura dan Brachyura di kelenjar sinus, yang terletak di
tangkai mata.
ifa at dasar kimianya
adalah hormon neuro,
sekretoris. Sasaran organ adalah gonad, kemungkinan pula
hepatopankreas sumber GSH dan kelenjar androgenik.
Fung-
si hormon ini adalah :
-
menghambat perkembangan kelenjar androgen pada
individu jantan atau ovarium pada individu betina, sehingga perkembangan sperma dan telur
terhambat;
-
menghambat perkembangan gonad secara tidak
langsung dengan menghambat aktivitas organ-Y
yang terletak pada bagian kepala;
-
dapat mengendalikan produksi hormon androgen
.
(AH) dan hormon betina (FH)
Seperti halnya MIH, GIH diawali secara terperinci di
sel-sel neurosekretoris dari simpul organ-X dan dikirim
ke bagian dalam sumbu syaraf sepasang organ-X dan
berakhir di kelenjar sinus untuk disimpan dan dilepaskan.
Diduga bahan produksi GIH rendah selama waktu giatnya
pertumbuhan ovari dan produksi GIH tinggi bila ada kegiatan seksual.
G S H.
Sumber hormon ini adalah simpul syaraf kepa-
la, sifat dasar kimianya hormon neurosekretoris. Sasaran
organ yang dituju adalah gonad, hepatopankreas dan kelenjar androgen.
-
Fungsi GSH adalah:
menghambat awal pergantian kulit oleh organ-Y,
merangsang hormon androgen dalam pembentukan
sperma dan memelihara pengeluaran telur pada
individu betina.
A.Hormon
androgen.
androgen ini dihasilkan oleh kelenjar
Menurut Charntaux
-
cotton
(1954) dalam Char-
niaux-cotton (1960) hormon ini terdapat pada individu
jantan dari amphipod, Orchestia sammarellus Pallas, dan
kelenjar androgen dibentuk oleh hampir semua group dari
Malacostraca.
Sifat dasar kimianya adalah protein atau polipeptida. Kelenjar androgen ini mengeluarkan hormon yang berfungsi untuk menentukan kelamin, tingkah laku, perkembangan testes, saluran sperma dan proses pembelahan normal spermatogenesis (Charniaux-cotton 1960, 1962) dalam
.
Adiyodi dan Adiyodi (1970)
Perbedaan testes ditentukan
pula baik oleh MH maupun AH, dan perbedaan ovari yang
terjadi bukan hanya oleh adanya MH. Bonnenfant (1964) da-
rn Adiyodi
dan Adiyodi (1970) menyatakan bahwa AH diper-
lukan untuk memelihara pembentukan sperma secara normal.
Sumber hormon betina ini kemungkinan di ovari,
FH.
yang berfungsi untuk mengontrol perkembangan karakter
seks betina kedua pada decapoda (Charniaux-cotton, 1960).
FH secara langsung atau tidak lansung dipengaruhi oleh
GIH yang berperang penting pada decapoda, di mana GIH me-
merlukan tingkat optimum untuk menghasilkan FH dan juga
diperlukan untuk menghasilkan AH.
Fungsi FH ialah berpe-
ran penting di dalam rangsangan oogenesis.
Ganti Kulit
Untuk membahas pertumbuhan, pertama-tama perlu mengetahui tentang proses pergantian kulit, karena umumnya
perturnbuhan adalah akibat dari pergantian kulit, dan ukuran udang meningkat pada setiap pergantian kulit (Wickins,
1976) dalam Saito (1983)
.
Kegiatan pertumbuhan adalah
proses yang terus menerus terjadi pada sel mahluk hidup.
Menurut Rurata (1962) dalaa Saito (1983) pertumbuhan merupakan persamaan garis lurus dengan terjadinya saat ganti kulit.
Kegiatan ganti kulit dapat terjadi pada setiap
waktu, terutama pada malam hari.
Ganti kulit adalah semua proses dari persiapan untuk
penggantian selaput tua, pengelupasan dan pembaharuan dalam meningkatkan ukuran dan pertumbuhan jaringan (Passano,
1960).
Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa hormon
antara lain:
MIH, menghambat ganti kulit, tetapi mening-
katkan dasar dan pertumbuhan kulit pada tingkat premoult
pada anggota badan; MH, dapat meningkatkan proses penggantian kufit; GIH, meningkatkan awal proses penggantian
kulit dengan menghambat perkembangan reproduksi dan GSH,
qenghambat awal penggantian kulit dengan organ-Y.
Menurut Wickins (1976) dalam Saito (1983)' proses
pergantian kulit adalah sebagai berikut:
Pada saat ganti
kulit, sebuah robekan terjadi di kulit luar antara karaPas intercalary sclerite terus ke bagian kepala, dan anggota badan ditarik ke arah depan dengan hati-hati. Setelah istirahat sejenak, udang kemudian dengan cepat mengadakan gerakan bagian perut keluar dari kulit tua dengan
sebuah tubuh lunak.
Tubuh yang lemah dan lunak akan men-
jadi normal kembali setelah 1-2 hari pada udang besar.
Pada keadaan tubuh yang lemah, kematian sering terjadi
akibat predasi musuh-musuhnya atau jenisnya sendiri.
Ganti kulit dapat dengan mudah menyebabkan stress pada
udang. Pada saat "pre dan post moltw terjadi kematian
tinggi, maka diperlukan lingkungan yang baik dan gizi
yang tinggi agar kematian udang dapat ditekan.
Frekuensi pergantian kulit secara normal berpengaruh
baik terhadap faktor endogen seperti ukuran dan siklus
breedinq, maupun faktor eksogen seperti sinar dan temperatur.
Hubungan antara kegiatan ganti kulit dengan ukur-
an udang adalah:
D
=
do
+
K L ~
(Motoh, 1981)
D
: Jarak waktu (hari) antara ganti kulit
L
: Panjang karapas dalam mm
do : Konstanta pada periode awal
K
: Konstanta pada nilai koefisien dari periode
penambahan yang diperlukan.
Menurut Motoh (1981) waktu ganti kulit 2. monodon
dilukiskan dalam persamaan garis lurus yaitu :
D
=
3.10
+
0.66
(rx0.727, P
Belakanq
Pemerintah Indonesia telah menetapkan udang sebagai
primadona kedua komoditi ekspor non-migas dari sektor
pertanian, sehingga usaha budidaya udang mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun swasta.
Tersedianya be-
nur secara berkesinambungan sepanjang tahun merupakan salah satu faktor penting bagi pengembangan budidaya pembesaran udang.
Kebutuhan benur untuk usaha budidaya udang windu
(Penaeus monodon) setiap tahun diperkiraan mencapai 4.5
milyar.
Namun hasil benur dari usaha penangkapan di alam
maupun pembenihan
baru
mencapai
Zafril dan Suwirya, 1988).
1.5 milyar (Cholik,
Untuk jangka panjang keku-
rangan benur tersebut tidak akan dapat dipenuhi dari usaha penangkapan saja namun harus melalui usaha pembenihan
yang lebih produktif.
Usaha pembenuran secara buatan dalam bak terkontrol
telah diawali pada tahun 1970 di Ujung Pandang dengan dipijahkan untuk pertama kalinya induk-induk udang Penaeus
gerauiensis dan genaeus monodoq yang ditangkap dari laut
(Poernomo dan Yunus, 1980;
Cholik
&
.
1988)
Kemu-
dian teknologi pematangan gonad induk udang dengan ablasi
mata telah berhasil dilakukan pada tahun 1978 (Cholik &
,
d.,1988).
Akhir-akhir ini usaha banyak diarahkan pada
pencukupan induk dengan jalan mengembangkan, mematangkan
aan memijahkan induk-induk udang, terutama udang windu,
secara terkontrol.
Saat ini usaha pembenihan menghadapi dua masalah
penting, yaitu (1) mendapatkan cukup banyak calon-calon
induk udang untuk pematangan telur dan (2) teknik perangsangan pematangan telur dari calon induk udang.
Pengada-
an induk matang telur merupakan masalah utama dari berbagai usaha pembenihan udang yang mengandalkan dari hasil
tangkapan calon induk udang di alam.
Induk udang terse-
but bersifat musiman serta dalam jumlah sangat terbatas,
sehingga tidak ada jaminan bagi suatu usaha pembenuran
secara komersial.
Untuk mengatasi keterbatasan tersebut
kiranya dapat dipertimbangkan calon induk yang berasal
dari tambak, walaupun beberapa pakar udang berpendapat
bahwa calon induk yang telah diablasi memberikan respon
kematangan gonad lebih lambat dibandingkan dengan yang
berasal dari alam.
Induk asal tambak memberikan respon
kematangan gonad rata-rata 14 hari, sedangkan yang berasal dari
alam
(Nurdjana, 1985).
sekitar
tujuh hari setelah ablasi
Selain itu nauplii yang dihasilkan ti-
dak begitu banyak (Primavera, 1983).
Sebenarnya respon
kematangan gonad yang lambat dan jumlah nauplii yang rendah
bergantung
kepada
bobot
dan
umur induk udang.
Aquacop (1983) berpendapat bahwa calon induk ablasi
udang
P. ~nonodoqyang baik berumur minimal
9-12 bulan.
Motoh dalam Primavera (1983) menyatakan bahwa induk udang
P. nonodon mencapai kematangan gonad penuh dan dapat
'-C
memijah dengan baik setelah berumur 10 bulan.
Walaupun jumlah calon induk dapat disediakan, usaha
pembenihan udang masih akan menghadapi masalah pematangan
telur.
Teknik
pematangan
telur
mencakup tiga masalah
penting, yaitu perangsangan, pemberian pakan dan pengelolaan kualitas media atau lingkungan.
Dari ketiga masalah
tersebut teknik perangsangan pematangan induk merupakan
faktor penentu utama bagi keberhasilan usaha pembenihan
udang.
Proses pematangan telur berhubungan erat dengan
peranan hormon di dalam kontrol endokrin.
Secara umum perkembangan telur dalam crustacea decapoda, mulai dari rangsangan lingkungan sampai perlakuan
hormon dari luar (exoaenous treatments), berperan demi
reproduksi.
Lingkungan seperti temperatur, cahaya, sali-
nitas, substrat, pH dan kepadatan berpengaruh terhadap
neurosecretorv sebagai pusat sekresi hormon, baik hormon
penghambat
gonad ataupun hormon perangsang gonad.
Meka-
nisme kerjanya sampai saat ini masih belum jelas dan begitu pula kebenarannya (Khoo, 1989).
Sampai saat ini teknik pematangan telur telah dikembangkan melalui ablasi mata.
Pada dasarnya teknik ini
yaitu pemotongan atau perusakan organ-X yang menghasilkan
hormon GIH (aonad inhibitina hormone) dan'organ-Y menjadi
lebih aktif memproduksi GSH
(aonad stimulatins hormone),
sehingga proses pematangan telur akan dipercepat.
Teknik
ablasi mata ini cukup baik untuk merangsang pematangan
telur, namun daya tetas telur yang dihasilkan baru mencapai 50-60 persen dengan laju pertumbuhan larva yang belum
memuaskan.
Karena hasil ablasi mata tersebut belum memuaskan,
maka perlu diupayakan suatu teknik perangsangan pematangan telur yang lebih efektif dan produktif.
Dalam budida-
ya ikan telah dilakukan upaya perangsangan pematangan telur melalui rangsangan hormonal.
Untuk beberapa jenis
ikan hasilnya cukup baik, antara lain pada ikan mas (*
prinus carvio), mola (silver carp, Hv~o~hthalmithvs
molitrix) , bandeng (Chanos chanos) , belanak (Musil cevhalus)
dan sebagainya.
Pada dasarnya pematangan telur ikan-ikan
tersebut dilakukan dengan cara penambahan hormon reproduksi yang mampu merangsang proses pematangan telur.
Be-
berapa hormon yang berpengaruh pada gonad antara lain
progesteron, testosteron, luteinizina hormone (LH), foljicle stirnulatinu hormone (FSH), dan human chorionic ao~ a d o t r o b i n (HGG)
(Eding,
Jansen, Kleinestaarman dan
Richter, 1982; Epler dan Bieniarz, 1982; Martin, 1979;
Matty, 1985)
.
Perlakuan hormon steroid dan peptida vertebrata telah memperlihatkan pengaruhnya terhadap kematangan ovari
dalam beberapa jenis udang.
merangsang
oogonia
pada
Suntikan hormon progesteron
Paravenaeo~sis hardwickii
(Kulkarni &
d.,1979 dalam Yano, 1985) dan Meta~enaeus
ensis (Yano, 1985).
HCG adalah hormon yang merangsang
oogonia Cranson cranaon (Bomirski dan Klek-Kawinska, 1976
dalam
-P.
Yano, 1985).
Untuk jenis udang lainnya, seperti
monodon kematangan gonadnya dirangsang apabila diberi-
kan hormon steroid dan peptida.
Tuiuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian hormon steroid dan peptida terhadap perkembangan gonad serta kualitas hasil telur
(Penaeus monodon Fab.).
dari
udang windu
Adapun lingkup kajian dalam me-
nelusuri pengaruh pemberian hormon tersebut dibatasi kepada aspek-aspek
(1)
berikut, yaitu:
Efektivitas waktu kerja hormon untuk mencapai berbagai tingkat kematangan gonad serta ganti kulit.
(2)
Karakteristik oosit (perkembangan oosit dan fekunditas) dari perkembangan gonad udang windu.
(3)
Kualitas telur (ukuran dan tipe telur) , ukuran embrio serta waktu lama penetasan telur dari hasil
pemberian hormon.
Pendekatan Masalah
Secara alami, proses perkembangan telur udang windu
,
ditentukan oleh hasil kerja beberapa hormon.
Masalah
utama adalah proses pematangan gonad secara alami akan
memerlukan waktu cukup lama.
Sebelum mencapai tingkat
dewasa, hormon aonad inhibitins hormone (GIH) yang dihasilkan oleh organ-X sangat dominan.
GIH tersebut akan
menghambat organ-Y dalam memproduksi sonad stimulatinq
hormone (GSH) untuk merangsang perkembangan telur.
Sementara ini, untuk mempercepat proses pematangan
gonad telah banyak dilakukan ablasi mata, sehingga produk
GIH dapat dieliminir, tetapi mendorong organ-Y menghasil-
kan GSH.
Waktu yang diperlukan organ-Y untuk menghasil-
kan GSH akan sangat menentukan kecepatan gonad udang mencapai siap matang telur.
GIH dan MIH (molt inhibitinq
hormone) dari organ-X ditekan sehingga kemungkinan untuk
menghambat proses pematangan telur ditiadakan.
Penambahan hormon dari luar tubuh udang, apabila cukup efektif diharapkan dapat langsung mendorong tersedianya hormon serupa
GSH yang dihasilkan oleh organ-Y se-
hingga mampu merangsang perkembangan telur.
Dosis hormon
yang diberikan harus mampu mengimbangi atau lebih besar
dari kemampuan GIH
pat terjadi.
sehingga proses pematangan telur da-
Diagram pendekatan masalah tertera pada
Gambar 1
Keberhasilan kerja hormon yang ditambahkan tidak
terlepas dari bobot awal udang serta latar belakang pemberian kualitas pakan maupun lingkungan yang akan menunjang
kualitas
kualitas
telur
yang dihasilkan.
lingkungan air
serta pakan
Dalam kondisi
yang
sama
maka
------
pematangan
---Gambar 1.
pematangan
: Jalur harapan
: Jalur ang akan dieliminir
: Jalur Zonsekwensl perlakuan
Diagram Pengkajian Rangsangan Hormonal
terhadap Perkembangan Kematangan Telur
Udang Windu
efektivitas jenis hormon yang diberikan akan dapat dievaluasi dengan baik.
Pemberian hormon tersebut akan langsung efektif merangsang proses pematangan telur serta menghasilkan kualitas telur serupa atau lebih baik daripada proses alami.
Sehubungan dengan pendekatan masalah
tersebut, maka ke-
berhasilan pemberian hormon tersebut perlu dikaji dari
beberapa aspek indikatif sebagai berikut:
(1) Tingkat kematangan struktural telur serta laju pro-
ses peningkatan kematangan telur,
(2)
Dampak proses pematangan telur terhadap pertumbuhan
somatik, dan
(3)
Kualitas telur, fekunditas serta daya tetas telur
yang dihasilkan, ditambah dengan perkembangan embrio.
Hipotesis yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah apabila pemberian hormon mampu mempercepat proses pematangan telur maka hasil kualitas telur setidaknya sama
atau lebih baik daripada hasil proses pematangan telur
secara alami.
TINJAUAN PUSTAKA
Bioloai Re~roduksi
Sistem Re~roduksiUdans Jantan
Sistem reproduksi udang windu jantan (Gambar 2) terdiri dari organ internal, seperti sepasang testes, sepasang vas deferens dan sepasang terminal ampul, dan organ
eksternal, yaitu petasma yang terletak pada kaki renang
pertama dan sepasang appendix masculina yang terletak
pada kaki renang kedua (Motoh, 1981).
Sistem Re~roduksiUdans Betina
Sistem reproduksi udang windu betina (Gambar 3) terdiri dari organ internal, yaitu sepasang ovarium dan sepasang saluran telur (oviductus), dan organ eksternal yaitu satu telikum yang terletak di antara kaki jalan (periopoda) keempat dan kelima (Motoh, 1981; Prirnavera, 1983
dan Nurdjana, 1985).
Pada bagian dalam telikum terdapat
reseptakel seminal yang berfungsi untuk menyimpan spermatofora
setelah terjadi kopulasi.
Tinskat Kedewasaan
Bila ditinjau dariumur dan ukuran, tingkat kedewasaan
udang jantan dan betina adalah sebagai berikut :
luar
Umur : Perkembangan bagian-bagian %elamin sebelah
mendahului
kematangan
ovarium
dan
testes pada
P.
-
nonodon (Primavera, 1983) atau alat genital udang be-
tina berkembang sebelum gonad masak (Hall, 1962).
Kare-
nanya perkawinan pertama kali terjadi pada umur yang masih nuda, jauh sebelum mijah (spawning) pertama.
monodoq,
Pada
E.
kopulasi pertama terjadi pada udang berumur 4-5
bulan, dan pemijahan pertama pada umur berkisar 10 bulan
(Primavera, 1983)
.
Petasma
T
TA
PVD
DVD
MVD
Gambar 2.
:
:
:
:
:
Umbai jantan
Testes
Terminal ampul
Vas deferens de an
Vas deferens be?akang
Vas deferens tengah
Sistem Reproduksi Udang Windu
(penaeus monodon) Jantan (Motoh, 1981)
-
Ukuran: Menurut Motoh (1981), rata-rata ukuran mini-
mal panjang karapas udang jantan dan betina dewasa yang
berasal dari tambak masing-masing lebih kecil daripada
yang dari alam (laut), yaitu 31 mm dan 39 mm atau 70 dan
110 g bobot badan.
minimum
75
Menurut
Primavera
(1983), ukuran
udang betina dari laut untuk dipijahkan adalah
g, tetapi yang berukuran 60 g pun sudah mengandung
sperma di dalam telikum, yang berarti telah terjadi kopulasi.
Selanjutnya dikatakan pula bahwa udang betina yang
berasal dari tambak dan berbobot 40 gram positif mengandung sperma. Dengan demikian, udang jantan dari tambak
dan alam (laut) dengan bobot sekurang-kurangnya 40 g baru
mungkin
untuk
dilihat spermanya di bawah mikroskop de-
ngan membelah spermatofora (Primavera, 1983).
aping
Ovarium
Telikur
Gambar 3.
Ovarium dan Telikum Udang Windu .
(Penaeus monodon) (Motoh, 1981)
cuping
Funasi Alat Kelamin Eksternal
Alat kelamin eksternal jantan yang disebut petasma
berfungsi untuk menyalurkan sperma dan meletakkan spermatofora pada alat kelamin betina yang disebut telikum, sehingga telikum berfungsi sebagai penampung sperma sebelum
terjadi pembuahan. Telur keluar melalui saluran telur
(oviduct) dan akan dibuahi oleh sperma dari telikum tadi.
Pembuahan terjadi di luar badan atau di air (Liao dan
Huang, 1972).
Tinskat Kematangan Telur
Kematangan telur dapat dilihat dari perkembangan
ovarinya (kandungan tetur), yang terletak di bagian punggung (dorsal) dari tubuh udang mulai dari karapas sampai
ke pangkal ekor (telson).
Ovari yang mengandung telur
matang dapat dilihat dengan jelas pada individu yang masih hidup, terutama
pada
jenis udang putih (Penaeus
perquiensis dan 2. Jndicus) , karena kulitnya tipis dan
jernih.
Pada udang windu (P. monodon) dan 2. semisulca-
tus ovari
-
agak sulit dilihat tanpa tembusan cahaya, ka-
rena kulitnya tebal dan berwarna gelap (Poernomo, 1979).
Kematangan telur udang penaid (Gambar
4)
dapat dibe-
dakan dalam lima tingkat (Primavera, 1983) yaitu:
-
Tingkat I : ovari tipis, transparan dan tidak terlihat
melalui eksoskeleton dorsal (punggung kerangka luar) ,
Gambar 4.
Tingkat Kematangan Telur Udang Windu
(Penaeus monodon) (Primavera, 1983)
-
Tingkat I1 : merupakan tingkat kematangan awal dengan
terlihat adanya benang halus berwarna hijau pekat di bagian punggung udang penaid,
-
Tingkat 111: warna ovarium semakin jelas (gelap), tebal
dan padat,
- Tingkat IV
: tingkat kematangan udang yang siap memijah
dan ditandai dengan semakin melebarnya
ovari dan di bagian anterior ovari tersebut terlihat lekukan-lekukan dan bulatanbulatan pada ruas badan pertama dan kedua,
-
~ingkatV
: ovari telah melepaskan telur baik secara
penuh maupun sebagian, sehingga berwarna
jernih atau pucat.
Cara lain untuk menentukan kematangan telur adalah
dengan melihat indeks kelamin yang disebut "gonadal somatic indexM (GSI) atau indeks gonad somatik (IGS) yang
menyatakan persentase bobot ovari yang berisi telur terhadap bobot total:
bobot ovari
IGS
x 100.
=
bobot badan
Induk E. monodoq yang berasal dari alam dan siap memijah
mempunyai IGS minimum 11.1 (Poernomo, 1979).
M i i a h
Udang windu betina yang matang telur~(stadia 4) akan
segera memijah (bertelur).
Pemijahan biasanya terjadi
pada malam hari antara jam 8 malam dan jam 6 pagi, sebaqian besar di antara jam 10 dan 2 malam (Primavera,
1983).
Pemijahan hanya berlangsung 2
-
7
menit.
Apabila
pemijahan hanya terjadi 50 persen, maka udang akan memijah kembali untuk kedua kalinya, sedangkan apabila hanya
158, maka pemijahan akan terjadi 3 kali.
Setelah memijah
udang kembali matang dalam 3-5 hari (Primavera, 1983).
Pemijahan dapat terjadi di alam, yaitu di daerah lepas pantai, sedangkan di pembenihan terkontrol di bak-bak
pemijahan.
Pemijahan terjadi
sepanjang tahun, terutama
pada akhir musim hujan, karena adanya perubahan salinitas
dan suhu mendadak yang dapat memberikan rangsangan pada
induk udang yang matang telur untuk mijah.
Selanjutnya
pemijahan yang paling aktif terjadi pada waktu suhu relatif tinggi (Martosudarmo dan Ranoemihardjo, 1980).
Fekunditas dan Kualitas Telur
Induk udang yang berasal dari laut, tanpa melalui
ablasi mata, dapat menghasilkan telur yang lebih banyak
dan berkualitas
berasal dari
baik
tambak
(Primavera, 1983).
bila
udang
dibandingkan
dengan
cara
dengan yang
ablasi
mata
Fekunditas udang betina yang berasal
dari laut, secara alami dapat mencapai 200 000-1 000 000
butir dengan rata-rata 500 000 butir telur, sedangkan
melalui ablasi mata, baik udang dari laut maupun dari
tambak hanya 100 000 sampai 600 000 telur, dengan rata-
rata 200 000 butir telur bagi yang berasal dari tambak
clan 300 000 telur dari laut.
Menurut Cuming (1961) dan
Penn (1980) dalam Nurdjana (1985), jumlah telur yang dilepaskan (fekunditas) bervariasi bergantung kepada ukuran
induk.
Induk
lebih banyak.
yang
lebih besar akan menghasilkan telur
Perkembangan dan kualitas telur tertera
pada Gambar 5.
Sari pertama
10 menit
20 menit '40 menit
1%jam
membran lua:
normal
3eadzen sebenar?ya setelah m i jah
( 3 nenjlt )
Gambar 5.
Perkembangan dan Tipe Telur pada
P. monodon (Primavera, 1983)
-
Sistem Endokrin
Sistem Endokrin Ikan
Pada ikan, kelenjar hipofise adalah pusat sistem endokrin
(Anonim, 1980),
yang pada dasarnya sama dengan
kelenjar hipofise pada semua kelas vertebrata.
Secara
embriologi kelenjar hipofise ikan dibagi menjadi 2 bagian
yaitu neurohipofise dan adenohipofise.
Pada adenohipofise bagian pars distalis terdapat
sel-sel gonadotropik (gonadotropin) yang menghasilkan
follicle stimulatina hormone (FSH) dan luteinizinq hormone (LH).
FSH dan LH disebut hormon gonadotropin, yang
berperan penting dalam reproduksi ikan, proses kematangan
gonad dan pelepasan telur (Anonim, 1980).
FSH merangsang perkembangan permulaan folikel pada
ovarium dan gametogenesis pada testis.
LH yang
terdapat
pada jenis betina berperan dalam pertumbuhan akhir folikel ovari dan juga memacu sel-sel endokrin yang terdapat
pada teka folikel interna untuk menghasilkan estrogen.
Selain itu LH juga berpengaruh dalam proses pematangan gonad dan perkembangan korpus luteum dalam ovarium, sehingga memacu sekresi progesteron (Junqueira dan Carneirio,
1980; Ganong, 1983).
Struktur kimia khorionik gonadotropin pada FSH adalah glikoprotein (bobot molekul 32 000) dengan 236 asam
amino, sedangkan LH merupakan glikoprotein yang mempunyai
bobot molekul 30 000 dengan 2 rantai asam amino; satu
rantai alfa yang dibentuk dari 96 asam amino dan satu
rantai beta dengan 119 asam amino (Junqueira dan Carneiro, 1980).
Menurut Gan, Suharto, ~yamsudin,Setiabudy,
~ r i n idan Vincent (1980), struktur kimia gonadotropin
adalah glikoprotein yang mengandung heksosa, manosa dan
galaktosa, dan juga terdiri dari asam sialat. Glikoprotein dan asam sialat tersebut dibentuk dari subunit alfa
LH, FSH dan TSH (tiroid stimulating hormon) serta subunit
beta yang memberi sifat kespesifikan hormonal.
Berddsarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui
peranan hormon khorionik gonadotropin sangat penting dalam proses perkembangan gonad.
Hal ini dapat ditunjukkan
pada ikan yang diberi perlakuan hipofisektomi.
Gonad
ikan tersebut mengalami atropi karena hilangnya faktorfaktor yang mengatur perkembangan gonad dan akhirnya gonad akan menyusut (Gordon, 1977 dan Gan, & d.,
1980)
.
Tetapi perkembangan gonad dapat dipulihkan kembali jika
ikan diinjeksi dengan suspensoid hipofise ikan dewasa
(Anonim, 1980)
.
Mekanisme Keria Hormon Ikan
Syaraf dan sistem endokrin vertebrata berperan bersama-sama mengatur proses perkembang-biakan hewan.
Hu-
bungan utama yang merupakan mata rantai-peristiwa dari
rangsangan lingkunan sampai pelepasan gamet dilukiskan
pada Gambar 6, dengan kegiatan syaraf pada tingkat permulaa dan peranan hormon merupakan aktivitas terakhir.
Rangsangan lingkungan (lama penerimaan cahaya, temperatur dan curah hujan) diterima oleh indera dan diteruskan ke sistem syaraf pusat.
Kemudian ke hipotalamus yang
memproduksi sonadotropin releasins hormone (GnRH) dan menentukan aktivitas kelenjar pituitary
atau
hipofise de-
ngan proses kimia melepaskan hormon.
Adanya rangsangan,
pituitarv melepaskan peredaran hormon dengan organ sasaran gonad. Hormon tersebut adalah gonadotropin. Pengaruh
gonadotropin adalah merangsang penghasil hormon seks steroid gonad (androgen, esterogen dan progesteron), yang
kemudian mempunyai respon ke maturasi garnet.
Hormon seks
steroid tersebut langsung mengatur perkembangan gonad.
Sistem Endokrin Udanq
Penelitian terhadap sistem endokrin pada
crustaceae
telah dimulai pada tahun 1928, melalui penemuan yang terpisah
oleh
Perkins
yang
menyelidiki Palaemonetes dan
Keller yang mempelajari jenis udang crangon (Carlisle dan
Knowles,
1959).
Hanstrom adalah
krin
pada
Selanjutnya
mereka mengatakan bahwa
orang pertama yang menemukan organ endo-
crustaceae yang disebut "kelenjar sinus dan
organ-XIt. Menurut carlisle dan Passano (1953), organ-X
merupakan sumber penghasil bahan-bahan sekresi yang terdapat
pada
kelenjar
sinus organ-X dan
terdiri dari
sekelompok
sel
syaraf
penghasil hormon, yang pada
Brachyura terletak pada bagian dorsolateral tangkai mata,
antena medula eksternal dan medula internal, sedangkan
pada Natantia dekat kulit luar dan biasanya dekat bagian
distal dari medula terminalis,(Welsh, 1961).
Rangsangan dari luar
I
Indera
?
l
f
Syaraf / humoral
Produksi hormon
I
I
Pituitari
-.
Hormon gonadotropin
Gonad
G
I
I
Hormon seks
Kematangan dan
Pelepasan gamet
Gambar 6. Hubungan antara Organ dengan Hormon Berkenaan dengan Proses Kematangan dan Pelepasan Gamet pada Ikan (Harvey dan Hoar, 1979)
Mekanisme Keria Hormon Udanq
Sel-sel syaraf neurosekretoris di bermacam lokasi
sistem syaraf mengirim aksonnya ke pusat pelepasan di setiap tangkai mata, yang disebut kelenjar sinus.
Pusat
ini sebagai pengganti dari kumpulan akhir syaraf bulat
yang terletak di dorsolateral tangkai mata.
Kelenjar si-
nus merupakan sekelompok ujung-ujung sel syaraf yang banyak mengalami perubahan dan disebut sebagai organ neurohemale yang berfungsi untuk menyimpan dan melepaskan hormon ke organ sasaran yaitu bagian distal pigmen retinal,
kromatofor organ-Y dan mengatur gula darah.
Hal ini di-
perlihatkan pada Gambar 7 (Welsh, 1961).
?r'
Gambar 7.
:\
Qlla darah
Sistem Neurosekretoris ele en jar
Sinus Brachyura (Welsh, 1961)
Adi'yodi dan Adiyodi (1970) menjelaskan sistem mekanisme hormon pada dekapoda,
yang kemudian dibahas pula
oleh Martosudarmo dan Ranoemihardjo (1980), serta oleh
Nurdjana (1985).
Dari uraian-uraian mereka dapat dije-
laskan bahwa keadaan lingkungan merupakan sumber rangsangan pertama yang mempengaruhi kerja susunan syaraf pusat. Akibat adanya rangsangan dari luar, susunan syaraf
pusat memerintahkan organ-X yang terletak pada tangkai
mata untuk menghasilkan hormon yang
bitins hormone (GIH).
disebut sonad inhi-
Sebelum GIH dilepaskan ke organ
sasaran terlebih dahulu disimpan dalam kelenjar sinus
yang juga terletak di tangkai mata (Kulkarni dan Nagabhushanam, 1980).
GIH ini menghambat perkembangan gonad ba-
ik kelenjar seks dan androgen pada udang jantan (Adiyodi
dan Adiyodi, 1970) dan ovari pada individu betina, sehingga sperma dan telur terhambat perkembangannya. GIH
mempengaruhi perkembangan gonad tersebut, yaitu dengan
menghambat aktivitas organ-Y yang terletak pada bagian
kepala. Kerja organ-Y menghasilkan hormon yang disebut
aonad simulatina hormone
(GSH), yang merangsang pemben-
tukan sperma pada individu jantan atau telur pada individu betina.
Gambar 8 memperlihatkan mekanisme hormon da-
lam proses reproduksi dekapoda
(Adiyodi dan Adiyodi,
1970). Organ-X mengendalikan tingkah laku seksual, pro,
kromatoses penyerapan air, ganti kulit dan pembentukan
fora.
W f I N U l N DARI LUAR
4
SWUNRN $YARAF PUSAT
I
OR+
-X
i /, <
~ ~ ~
I
KELUJ;RR
SINUS
I
I
v
GONAO INHIBITING HORMONE
Peoguuh
( G I H )
lan9-n9
RKTIVITAS
BERTELUR
#
,
.,
,
0
I
,,
/
,,
I
I
0
0
Perkembangan
spermatozoa
,'4,
I
,0
HoRHoN
ANDROGEN
ANDROGEN
I
Tingkah laku
seksual
I
I
6
l
7-y
#
0'
#
b'
WfiRIUn
GONfU STIPUJLATING HORMONE
,q"
=rurg=wrg
perkembangan
blur
Q
Tingkah laku
seksual
GRNGLION
THORACHIUH
Pads individu
bet ina
G a m b a r 8.
OTAK
Pada individu
jantan
Sistem Kerja HMa d a l r Proses Repr-oduksi Decapoda
tddiyodi &n Wiyodi. 1970; Nu-djana. 1985).
Peranan Hormon
Hormon Crustaceae
Menurut Adiyodi dan Adiyodi (1970), pada crustaceae
tat sebanyak 6 macam hormon, yaitu:
(1) Hormon penghambat penggantian kulit (MIH);
(2) Hormon pengganti kulit (MH);
(3) Hormon penghambat gonad (GIH);
(4)
Hormon perangsang gonad (GSH);
(5)
Hormon jantan (androgenic hormone = AH);
(6) Hormon betina (female hormone = FH)
M I H.
Hormon
penghambat
.
penggantian kulit (MIH)
bersumber pada organ-X yang terdapat pada Macrura dan
Brachyura yang mempunyai sifat dasar kimia sebagai hormon
neurosekretoris atau protein.
Sasarannya adalah organ-Y.
Pengaruh hormon ini adalah menghambat pergantian kulit
oleh perintah organ-Y.
Selain berpengaruh pada penggan-
tian kulit, hormon ini juga berpengaruh pada reproduksi
yaitu meningkatkan reproduksi oleh perintah organ-Y di
awal pergantian kulit.
M.
Hormon ini bersumber pada organ-Y, yang sifat
dasar kimianya adalah steroid (crustecdysone), organ sasaran epidermis dan hepatopancreas.
Fungsi hormon ini
adalah:
-
memberi respons terhadap permulaan perkembangan
ganti kulit,
-
berpengaruh pada pengerasan kulit, perubahan
warna dan regenerasi,
-
berpengaruh pula pada kehidupan lebih lanjut
pada perkembangan gonad termasuk spermiogenesis
dan vitelogenesis.
G I H.
Hormon ini dihasilkan oleh organ-X pada Ma-
crura dan Brachyura di kelenjar sinus, yang terletak di
tangkai mata.
ifa at dasar kimianya
adalah hormon neuro,
sekretoris. Sasaran organ adalah gonad, kemungkinan pula
hepatopankreas sumber GSH dan kelenjar androgenik.
Fung-
si hormon ini adalah :
-
menghambat perkembangan kelenjar androgen pada
individu jantan atau ovarium pada individu betina, sehingga perkembangan sperma dan telur
terhambat;
-
menghambat perkembangan gonad secara tidak
langsung dengan menghambat aktivitas organ-Y
yang terletak pada bagian kepala;
-
dapat mengendalikan produksi hormon androgen
.
(AH) dan hormon betina (FH)
Seperti halnya MIH, GIH diawali secara terperinci di
sel-sel neurosekretoris dari simpul organ-X dan dikirim
ke bagian dalam sumbu syaraf sepasang organ-X dan
berakhir di kelenjar sinus untuk disimpan dan dilepaskan.
Diduga bahan produksi GIH rendah selama waktu giatnya
pertumbuhan ovari dan produksi GIH tinggi bila ada kegiatan seksual.
G S H.
Sumber hormon ini adalah simpul syaraf kepa-
la, sifat dasar kimianya hormon neurosekretoris. Sasaran
organ yang dituju adalah gonad, hepatopankreas dan kelenjar androgen.
-
Fungsi GSH adalah:
menghambat awal pergantian kulit oleh organ-Y,
merangsang hormon androgen dalam pembentukan
sperma dan memelihara pengeluaran telur pada
individu betina.
A.Hormon
androgen.
androgen ini dihasilkan oleh kelenjar
Menurut Charntaux
-
cotton
(1954) dalam Char-
niaux-cotton (1960) hormon ini terdapat pada individu
jantan dari amphipod, Orchestia sammarellus Pallas, dan
kelenjar androgen dibentuk oleh hampir semua group dari
Malacostraca.
Sifat dasar kimianya adalah protein atau polipeptida. Kelenjar androgen ini mengeluarkan hormon yang berfungsi untuk menentukan kelamin, tingkah laku, perkembangan testes, saluran sperma dan proses pembelahan normal spermatogenesis (Charniaux-cotton 1960, 1962) dalam
.
Adiyodi dan Adiyodi (1970)
Perbedaan testes ditentukan
pula baik oleh MH maupun AH, dan perbedaan ovari yang
terjadi bukan hanya oleh adanya MH. Bonnenfant (1964) da-
rn Adiyodi
dan Adiyodi (1970) menyatakan bahwa AH diper-
lukan untuk memelihara pembentukan sperma secara normal.
Sumber hormon betina ini kemungkinan di ovari,
FH.
yang berfungsi untuk mengontrol perkembangan karakter
seks betina kedua pada decapoda (Charniaux-cotton, 1960).
FH secara langsung atau tidak lansung dipengaruhi oleh
GIH yang berperang penting pada decapoda, di mana GIH me-
merlukan tingkat optimum untuk menghasilkan FH dan juga
diperlukan untuk menghasilkan AH.
Fungsi FH ialah berpe-
ran penting di dalam rangsangan oogenesis.
Ganti Kulit
Untuk membahas pertumbuhan, pertama-tama perlu mengetahui tentang proses pergantian kulit, karena umumnya
perturnbuhan adalah akibat dari pergantian kulit, dan ukuran udang meningkat pada setiap pergantian kulit (Wickins,
1976) dalam Saito (1983)
.
Kegiatan pertumbuhan adalah
proses yang terus menerus terjadi pada sel mahluk hidup.
Menurut Rurata (1962) dalaa Saito (1983) pertumbuhan merupakan persamaan garis lurus dengan terjadinya saat ganti kulit.
Kegiatan ganti kulit dapat terjadi pada setiap
waktu, terutama pada malam hari.
Ganti kulit adalah semua proses dari persiapan untuk
penggantian selaput tua, pengelupasan dan pembaharuan dalam meningkatkan ukuran dan pertumbuhan jaringan (Passano,
1960).
Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa hormon
antara lain:
MIH, menghambat ganti kulit, tetapi mening-
katkan dasar dan pertumbuhan kulit pada tingkat premoult
pada anggota badan; MH, dapat meningkatkan proses penggantian kufit; GIH, meningkatkan awal proses penggantian
kulit dengan menghambat perkembangan reproduksi dan GSH,
qenghambat awal penggantian kulit dengan organ-Y.
Menurut Wickins (1976) dalam Saito (1983)' proses
pergantian kulit adalah sebagai berikut:
Pada saat ganti
kulit, sebuah robekan terjadi di kulit luar antara karaPas intercalary sclerite terus ke bagian kepala, dan anggota badan ditarik ke arah depan dengan hati-hati. Setelah istirahat sejenak, udang kemudian dengan cepat mengadakan gerakan bagian perut keluar dari kulit tua dengan
sebuah tubuh lunak.
Tubuh yang lemah dan lunak akan men-
jadi normal kembali setelah 1-2 hari pada udang besar.
Pada keadaan tubuh yang lemah, kematian sering terjadi
akibat predasi musuh-musuhnya atau jenisnya sendiri.
Ganti kulit dapat dengan mudah menyebabkan stress pada
udang. Pada saat "pre dan post moltw terjadi kematian
tinggi, maka diperlukan lingkungan yang baik dan gizi
yang tinggi agar kematian udang dapat ditekan.
Frekuensi pergantian kulit secara normal berpengaruh
baik terhadap faktor endogen seperti ukuran dan siklus
breedinq, maupun faktor eksogen seperti sinar dan temperatur.
Hubungan antara kegiatan ganti kulit dengan ukur-
an udang adalah:
D
=
do
+
K L ~
(Motoh, 1981)
D
: Jarak waktu (hari) antara ganti kulit
L
: Panjang karapas dalam mm
do : Konstanta pada periode awal
K
: Konstanta pada nilai koefisien dari periode
penambahan yang diperlukan.
Menurut Motoh (1981) waktu ganti kulit 2. monodon
dilukiskan dalam persamaan garis lurus yaitu :
D
=
3.10
+
0.66
(rx0.727, P