Variasi genetik dan hubungan filogenetik populasi sapi lokal indonesia berdasarkan penciri molekuler DNA mikrosatelit kromosom Y dan gen cytochrome B

VARIASI GENETIK DAN HUBUNGAN FILOGENETIK
POPULASI SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN
PENCIRI MOLEKULER DNA MIKROSATELIT KROMOSOM Y
DAN GEN CYTOCHROME B

ARIS WINAYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
i

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Variasi Genetik dan
Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler
DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen Cytochrome b, adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 20 Januari 2010

Aris Winaya
NRP. D061050021

ii

ABSTRACT
ARIS WINAYA. The Genetic Variations and Phylogenetic Relationship Between
Indonesian Native Cattle Population Based on Molecular Marker of YChromosome Mcrosatellite DNA and Cytochrome b Gene. Under direction of
MULADNO, R. EDDIE GURNADI, and ASEP SAEFUDDIN.
Seven Y-chromosome specific microsatellites and cytochrome b (cyt b) of
mitochondrial DNA (mtDNA) markers were assayed to get the genetic variation of 7
breeds of Indonesian native cattle, primary on male cattle. The analysis of Ychromosome microsatellites variation was determinate from PCR products by using 7
primer pairs that flanking those microsatellites (INRA008, INRA057, INRA062,
INRA124, INRA126, DYS 199, INRA 189). PCR products were separated on 10 % of
polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE), and then silver staining method was used
to detect allele polymorphism at each locus by manually. The analysis of cyt b gene
variation was carried out by analysis of nucleotide cyt b gene sequences based on

sequencing results of PCR product from amplification of cyt b gene region of mtDNA
genome.
From Y-chromosome microsatellite allelic polymorphism analysis showed only
found limited allele (two alleles) by average 1.8. While, from heterozgousity level
INRA 062 locus has higher value (h= 0.53) than others that found in Pesisir cattle
population, also this locus has higher value of PIC (0.37). Because markers in Y
chromosome, so it is a haplotype system. According to FAO, the specific allele must
have minimum four distinct alleles per locus for proficient judgment of genetic
differences between breeds. So, all locus in this research was not sufficient to
categorized polymorphic allele. Nevertheless, locus INRA 062 could be considered in
future study to get more information about polymorphism of this marker. Ychromosome microsatellite in general has tend to specific in breed comparing with
autosomal chromosome, because allele come from only male or Y sex chromosome and
it contrary to autosomal chromosome where allele is contributed from male and female.
The nucleotides variation of cyt b gene showed that in general all population of
cattle only has 39.56 % nucleotide conserve side comparing with Banteng (Bos
javanicus) mtDNA. These phenomena could be assumed that the Indonesian native
cattle has more genetic introgession of Bos indicus and Bos taurus breeds. But, from
phylogenetic relationship, Bali cattle (both from Bali and Lombok) and Madura cattle
have closer relationship to Banteng. Its means that two breeds are still have more
genetic composition of Banteng. For Aceh and Pesisir cattle were have opportunity to

increase the genetic potential as a local breeds, where based on this study has been
founded any specific nucleotide sequences of cyt b gene to those breeds comparing with
Bos taurus or Bos Indicus.
For the next study we need more Y-chromosome microsatellite marker and also
more mtDNA gene sequences to discriminate the Indonesian breeds related to tracking
the genetic potential. Because the male cattle has roles in genetic spreading where could
have an enormous impact on highly selected domestic animal populations and also in
genetic conservations.
Key words : Y-chromosome microsatellite, cytochrome b, Bos javanicus, mitochondria
DNA, phylogenetic

iii

RINGKASAN
ARIS WINAYA. Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal
Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen
Cytochrome b Dibimbing oleh MULADNO, R. EDDIE GURNADI, dan ASEP
SAEFUDDIN.
Karakterisasi genetik sapi lokal Indonesia sebenarnya telah lama dilakukan,
dimulai sejak tahun 1974 hingga 1977 dan beberapa hasilnya telah dipublikasikan,

diantaranya berdasarkan perbedaan golongan darah, protein, protein darah, enzim dan
komposisi asam amino rantai β haemoglobin X. Hasilnya bahwa sapi Bali memiliki
spesifikasi adanya alel HbX pada golongan darahnya yang tidak dimiliki sapi lokal lain.
Tetapi, studi karakterisasi genetik di tingkat molekuler masih sangat kurang. Adanya
pertimbangan perkembangan cepat sejumlah penciri genetik molekuler yang lebih
diskriminatif dan akurat dibandingkan fenotipik, maka penggunaan marka ini akan
sangat membantu dalam penanganan manajemen sistim seleksi pada ternak sapi potong.
Informasi tentang alel-alel spesifik (breed spesific allele) dari data molekuler sapi
lokal Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan
adanya alel spesifik bangsa untuk sapi Bali pada lokus mikrosatelit INRA 023, HEL9
dan INRA 035 dibandingkan sapi Bos taurus (Simmental, Limousin, dan Brangus).
Demikian pula hasil studi berdasarkan panel 16 lokus penciri mikrosatelit memberikan
gambaran awal tentang hubungan genetik antara sapi Bali, Madura, PO dan Brangus.
Namun hasil-hasil tersebut belum menunjukkan adanya hubungan antara penciri DNA
mikrosatelit dengan sifat-sifat ekonomis sapi lokal, terutama terhadap kualitas daging.
Untuk pengukuran variasi genetik pada populasi (misal, breed-breed ternak
domestikasi) masih diperlukan penciri mikrosatelit kromosom Y lebih banyak. Hal ini
berbeda dengan tikus dan manusia yang telah tersedia banyak data sekuens DNA pada
kromosom Y dibandingkan mamalia lain yang masih kurang. Tetapi, beberapa studi
terakhir dilaporkan tentang filogenetik daerah kromosom Y pada spesies ternak

domestikasi berdasarkan variasi keterpautan bagian spesifik jantan kromosom Y (male
specific Y chromosome / MSY) dan mampu membedakan pula antara sapi keturunan
Bos indicus dan Bos taurus.
Sampel sapi pada penelitian ini dikhususkan pada individu sapi jantan dengan
pertimbangan bahwa penyebaran populasi sapi di Indonesia masih bertumpu pada
teknologi Inseminasi Buatan (IB) untuk manajemen budidayanya. Sehingga peran
pejantan sebagai sumber sperma menjadi sangat penting. Oleh karena itu, analisis
variasi genetik menggunakan penciri molekuler DNA mikrosatelit spesifik kromosom Y
dan DNA mitokondria (mtDNA) dari gen cytochrome b (cyt b) pada ternak jantan
beberapa bangsa (breed) sapi lokal Indonesia menjadi hal yang penting. Sebagaimana
diketahui bahwa penciri mtDNA berbeda dalam konteks segregasi secara genetis, yakni
mtDNA diturunkan dari garis maternal (induk), sedangkan mikrosatelit pada kromosom
Y melalui garis paternal (pejantan). Sehingga kedua penciri tersebut dapat dijadikan
sebagai model pendekatan berbeda dalam segregasi genetiknya. Demikian pula
penggunaan sapi jantan dalam studi ini dimaksudkan untuk lebih membuktikan
sejauhmana kemungkinan terjadinya variasi di dalam mendapatkan hasil interpretasi
dengan penggunaan penciri genetik yang berbeda.
Tujuan khusus penelitian adalah : 1) mendeteksi derajat polimorfisme DNA
mikrosatelit di kromosom Y dan gen cyt b pada populasi sapi Aceh, sapi Pesisir, sapi


iv

Madura, sapi Bali di Bali (Bali-Bali), sapi Bali di Lombok (Bali-Lombok), sapi PO dan
sapi PFH; 2) mendapatkan alel-alel DNA mikrosatelit di kromosom Y dan gen cyt b
yang spesifik untuk setiap populasi sapi tersebut; 3) mengetahui filogenetik populasi
sapi lokal yang ada di Indonesia berdasarkan penciri DNA mikrosatelit kromosom Y
dan gen cyt b; dan 4) mengetahui konsistensi filogenetik berbasis DNA mikrosatelit dan
gen cyt b.
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai salah satu landasan dalam menentukan
program pemuliaan sapi lokal di Indonesia dan penciri DNA mikrosatelit dan gen cyt b
diaplikasikan sebagai Marker Assisted Selection (MAS) atau Marker Pembantu Seleksi
pada sifat-sifat produksi atau reproduksi sapi.
Ruang lingkup penelitian meliputi penggunaan sampel DNA yang diekstraksi dari
beberapa jenis bangsa sapi yang sudah adapatip maupun endemik hidup di Indonesia,
seperti sapi Aceh, Pesisir, Madura, Bali-Bali, Bali-Lombok, PO dan PFH; kemudian
analisis DNA inti dan gen cyt b sapi-sapi tersebut; analisis data secara statistik yang
meliputi analisis polimorfisme alel-alel mikrosatelit pada kromosom Y dan analisis
variasi mutasi nukleotida pada gen cyt b. Perangkat lunak pendukung dalam analisis
data diantaranya NTSYS dan MEGA ver. 4.
Dalam penelitian ini sampel digunakan sapi-sapi lokal atau adaptip Indonesia

yang secara purposif seluruhnya ditentukan individu jantan, yaitu : 1) Sapi Aceh,
berasal dari Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) sapi Aceh, berlokasi di
Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
(NAD); 2) Sapi Pesisir berasal dari sapi-sapi yang dipelihara pada Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT)
Dinas Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan, Propinsi Sumatra Barat yang berada di
kota Painan; 3) Sapi Madura, berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan
Jrengik, Kabupaten Sampang – Madura, Propinsi Jawa Timur; 4) Sapi Bali di Bali
(Bali-Bali), berasal dari peternakan rakyat berlokasi di Kecamatan Baturiti, Kabupaten
Tabanan, Propinsi Bali; 5) Sapi Bali di Lombok (Bali-Lombok), berasal dari peternakan
rakyat berlokasi di Kecamatan Lingsar dan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat,
Propinsi Nusa Tenggara Barat; 6) Sapi Peranakan Ongole (PO), berasal dari peternakan
rakyat berlokasi di Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa
Timur; dan 7) Sapi Peranakan Fries Holland (PFH), berasal dari peternakan rakyat
anggota KUD Sapi Perah KOPSAE di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Propinsi
Jawa Timur.
Untuk pengambilan sampel darah, sel darah total sejumlah 10 mL diambil dari
vena jugularis sapi, kemudian diawetkan dalam 10 % larutan EDTA yang dikoleksi
pada beberapa lokasi dimana terdapat sapi-sapi lokal tersebut, yang selanjutnya
diekstraksi dengan metode standart fenol-kloroform untuk digunakan sebagai sumber

DNA genom.
Penciri DNA mikrosatelit memanfaatkan sejumlah penciri DNA mikrosatelit dari
sapi (bovine microsatellite) yang telah ada sebelumnya, terutama pada kromosom Y
dengan harapan dapat teridentifikasi alel-alel lain yang muncul pada sapi-sapi lokal
Indonesia. Adapun DNA mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 7
lokus, yaitu INRA008, INRA057, INRA062, INRA 124, INRA 126, DYS 199, dan
INRA 189. Sedangkan daerah target mtDNA adalah gen cyt b dengan primer gen cyt b
sebanyak dua primer dengan urutan oligonukleotida F = 5'- TCG CTC CCA GCC CCA
TCC AAC ATC TCA GCA TGA TGA AACT -3' R = 5'- TTG TGA ATT ACT GTA
GCA CCT CAA AAT GAT ATT TGT CCTCA - 3' yang mengapit gen cyt b dari
mtDNA sapi domestik.

v

Analisis polimorfisme alel-alel DNA mikrosatelit didasarkan pada jumlah dan
frekuensi serta distribusi alel produk PCR menggunakan primer sekuen pengapit DNA
mikrosatelit, sedangkan variasi nukleotida gen cyt b pada mtDNA diperoleh dari hasil
sekuensing daerah gen cyt b. Untuk menentukan jarak genetik (filogenetik) antara sapisapi lokal berdasarkan alel-alel DNA mikrosatelit dan variasi sekuens nukleotida gen
cyt b ditetapkan dengan Metode Unweighted Pair-Group Method with Arithmetic Mean
(UPGMA) (Sneath & Sokal 1973). Sedangkan konstruksi pohon genetik digunakan

perangkat lunak NTSYS dan MEGA ( Molecular Evolutionary Genetics Analysis)
version 4.0.
Dari variabel vital statistik, maka sapi PFH memiliki volume scrotum terbesar
(+1.032 cc) dibandingkan bangsa sapi lainnya. Hal ini berarti bahwa sapi PFH memiliki
kapasitas produksi sperma lebih banyak. Sebagaimana diketahui sapi PFH merupakan
bangsa sapi keturunan spesies B. taurus, yang apabila dibandingkan dengan bangsa sapi
Asia (B. indicus) secara umum karakteristik fenotipiknya lebih unggul, baik pada sapi
perah maupun sapi potong. Jumlah alel secara keseluruhan rendah, tertinggi hanya 2
alel, sedangkan jumlah rata-rata alel pada seluruh populasi (tujuh bangsa sapi) adalah
1.8. Nilai heterosigositas (h) ke tujuh populasi adalah antara 0 % hingga 53 % dan nilai
tertinggi h ditemukan pada lokus mikrosatelit INRA 062 (53 %) di populasi sapi Pesisir.
Adanya fenomena sapi Pesisir lebih tinggi heterosigostasnya dibandingkan dengan sapisapi lainnya menunjukkan bahwa variasi genetik sapi Pesisir masih lebih tinggi
dibandingkan sapi-sapi lainnya. Demikian pula lokus INRA 062 yang memiliki nilai
PIC (37%) lebih tinggi dibanding lokus lain, maka perlu dilakukan studi lanjut sejenis
agar nantinya dapat ditemukan alel-alel lebih banyak sehingga dapat pula ditemukan
marker yang spesifik dan karena mikrosatelit Y merupakan sistem haploid, maka alel
yang spesifik dapat pula merupakan haplogrup spesifik bagi penciri ini.
Menurut petunjuk FAO untuk justfikasi penilaian perbedaan atau variasi genetik
antar breed minimum harus terdapat empat alel yang berbeda per lokus, sehingga dalam
studi ini tidak ada satu lokuspun yang memenuhi kriteria tersebut. Jadi, lokus-lokus

yang digunakan dalam studi ini belum dapat dikategorikan sebagai lokus polimorfik
untuk uji evaluasi variasi genetik antar bangsa sapi lokal Indonesia. Untuk itu dapat
dilakukan studi lanjut sejenis namun dengan menggunakan jumlah sampel yang
memadai dan letak geografis yang lebih luas. Gambaran rata-rata alel yang rendah (1.8)
dapat diasumsikan karena pola penyebaran sapi jantan kurang mencukupi untuk
pejantan sapi betina yang ada, atau jumlah sampel yang masih belum optimal mewakili
populasi yang ada serta diversitas letak geografis yang sangat jauh, sehingga
memungkinkan terjadinya keragaman genetik akibat proses seleksi. Untuk lokus lain,
yang pada studi ini memiliki nilai h diatas 50% selain lokus INRA 062, misal lokus
INRA 124 (h=50 % dan 52%) pada sapi Bali dan PO, dapat dipertimbangkan pula untuk
diuji kembali pada populasi sapi lokal Indonesia dengan populasi yang berbeda dan
jumlah individu lebih banyak.
Hubungan kekerabatan genetik pada tujuh populasi sapi secara umum tidak
berbeda antara penciri mikrosatelit kromosom Y dengan gen cyt b. Berdasarkan penciri
mikrosatelit kromosom Y, sapi Bali, Madura dan Lombok jarak genetiknya terdekat
(satu klaster). Artinya, pola distribusi alel mikrosatelit pada ketiga populasi sapi
tersebut memiliki tingkat kemiripan. Hal yang menarik adalah sapi Aceh lebih
berdekatan dengan PO dan PFH dibandingkan sapi Pesisir. Hal ini diduga bahwa pola
distribusi alel mikrosatelit kedua sapi yang berasal dari B. taurus (sapi PFH) dan B.
indicus (sapi PO) lebih mirip sapi Aceh dibanding sapi lainnya. Adapun sapi Pesisir

lebih berdekatan secara klaster dengan sapi Bali, Madura dan Lombok dari percabangan

vi

klasternya, maka sapi Pesisir diasumsikan memiliki pola distribusi alel mikrosatelit
kromosom Y lebih mirip sapi Bali, Madura dan Lombok.
Sisi variabel dan konservatif dari parsial gen cyt b ditetapkan dengan cara
alignment (pensejajaran) terhadap sekuen konsensus (consensus sequence) dari
sekeuens gen cyt b Banteng (Bos javanicus) yang diperoleh dari Genebank dengan
nomor aksesi (accession number) NC_012706.1. Dalam penelitian ini panjang sekuens
parsial gen cyt b adalah 230 bp, mulai posisi basa 14691 hingga 14920 dari sekuen
komplit gen cyt b. Setiap perbedaan sekuen pada urutan basa tertentu berdasarkan
sekuen konsensus (consensus sequence), maka merupakan sisi variabel dalam sekuen
parsial. Dari hasil pensejajran (aligment) ditemukan bahwa sisi variabel lebih banyak
yakni 139 buah (60.44 %) dibandingkan sisi konservatifnya yakni 91 buah (39.56 %).
Hal ini menunjukkan bahwa dari gen cyt b sapi-sapi lokal di Indonesia hampir 60.44 %
bukan berasal dari garis maternal induk Banteng (berdasarkan konsensus sekuen cyt b
dari B. javanicus Genebank nomor akses NC_012706.1). Tetapi secara umum hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa garis maternal Banteng masih ditemukan meskipun
mengalami penurunan jumlah sisi konservatifnya.
Hubungan genetik berdasarkan variasi sekuens cyt b menunjukkan sebagian besar
sapi Aceh, Pesisir dan Madura berdekatan jaraknya dengan B. taurus dan B. indicus,
sedangkan sebagian besar sapi Bali-Bali dan Bali-Lombok lebih berdekatan jaraknya
dengan Banteng (B. javanicus). Hasil ini sesuai beberapa hasil studi sebelumnya bahwa
sapi Madura dan Bali masih memiliki kedekatan genetik dengan Banteng. Sehingga
hasil penelitian ini menunjukkan hal yang sama dengan hasil-hasil penelitian
sebelumnya dengan menggunakan mtDNA, baik di daerah kontrol (CR) maupun cyt b.
Hasil penelitian ini juga membuktikan adanya aliran genetik sapi Bos taurus
maupun Bos indicus pada sapi-sapi lokal Indonesia, termasuk sapi Bali dan Madura
sebagai sapi keturunan Banteng (Bos javanicus), yang merupakan salah satu tetua
bangsa-bangsa sapi di dunia saat ini. Sapi Bali dan Madura masih memiliki proporsi
genetik terbesar dari Banteng, maka kedua sapi ini masih dapat diakui eksistensinya
sebagai sapi khas Indonesia. Bagi sapi Aceh dan Pesisir masih memiliki harapan untuk
lebih ditingkatkan eksistensi sebagai sapi khas daerah tersebut berdasarkan titik mutasi
tertentu pada gen cyt b, meskipun kedekatan genetik lebih ke arah Bos taurus dan Bos
indicus.
Kelemahan penggunaan gen cyt b karena dugaan adanya pseudogen (gen mirip
mtDNA dalam gen inti) namun dapat dihindari dengan sampel DNA yang memadai
sebagai templat apabila digunakan primer universal. Sumber mtDNA sebaiknya
jaringan aktif, misal otot skeletal atau organ-organ aktif lain seperti ginjal dan jantung.
Sebab jumlah mtDNA jaringan darah tidak sebanyak DNA di jaringan aktif. Hal ini
penting untuk meningkatkan akurasi hasil PCR.
Untuk meningkatkan eksistensi spesifikasi sapi-sapi lokal Indonesia, maka
kegiatan penelitian yang berbasis molekuler harus diperbanyak. Sebab, hingga saat ini
teknologi ini yang masih diakui dunia sebagai teknologi yang tepat untuk identifikasi
genetik. Sehingga, di masa depan sapi-sapi lokal dapat diakui konservasi genetiknya
secara internasional dengan data yang memadai. Termasuk dalam rangka pelestarian
plasma nuftah tetua sapi asli Indonesia (Banteng) yang jumlahnya semakin berkurang
akibat tekanan alam maupun manusia.
Kata kunci : mikrosatelit kromosom Y, gen cytochrome b, Marker Assisted Selection,
Banteng, filogenetik

vii

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut
tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

viii

VARIASI GENETIK DAN HUBUNGAN FILOGENETIK
POPULASI SAPI LOKAL INDONESIA BERDASARKAN
PENCIRI MOLEKULER DNA MIKROSATELIT KROMOSOM Y
DAN GEN CYTOCHROME B

ARIS WINAYA

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

ix

Judul Disertasi : Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal
Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit
Kromosom Y dan Gen Cytochrome b
Nama
: Aris Winaya
NIM
: D061050021

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Muladno, MSA.
Ketua

Prof. Dr. R. Eddie Gurnadi, M.Sc.
Anggota

Dr. Asep Saefuddin, M.Sc.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S.

Tanggal Ujian : 30 Oktober 2009

Tanggal Lulus :

x

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Prof. (R). Dr. Kusuma Diwyanto, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. (R). Dr. Tjeppy D. Soedjana, M.Sc.
Dr. Ir. Machmud Thohari, M.Sc.

xi

PERSEMBAHAN DAN TERIMA KASIH

Dengan hati yang tulus dan penuh rasa syukur kupersembahkan karya ini :
™ Kepada Mu Ya Allah SWT sebagai wujud syukur atas ilmu yang telah
engkau limpahkan
™ Kepada kedua orang tua yang selalu memberikan motivasi, nasehat, kasih
sayang serta do’a yang tiada hentinya
™ Kepada isteri dan anakku tercinta “Maftuchah” dan “Muhammad Syauqi
Al Maghfirah” atas pengertian, perhatian, pengorbanan dan do’anya
dalam mendukung suami dan bapaknya untuk menyelesaikan pendidikan
S3 ini.
™ Kepada bangsa, negara dan agamaku

Kalamullah

“ Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu)
yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu
makan “ [An-Nahl (16) : 05].
“ Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan “ [Al-Mujaadilah (58) : 11].

xii

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufiq, hidayah, serta inayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan judul
“Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal Indonesia
Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen
Cytochrome b ”, yang merupakan salah satu syarat penyelesaian Pendidikan Program
Doktoral (S3) pada Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, para sahabat dan para pengikut yang diridhoi-Nya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian penulisan disertasi ini adalah atas
sumbangsih materi maupun pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu
penulis, terutama kepada Yang Terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Muladno, MSA; Prof. Dr. R. Eddie Gurnadi, M.Sc., dan Dr. Asep
Saefuddin, M.Sc., selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan saran selama ini, sejak penyusunan
proposal hingga penyelesaian disertasi ini.
2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Ternak serta Koordinator Mayor ITP atas
bantuan, perhatian dan motivasinya yang diberikan selama mengikuti pendidikan di
PTK-IPB sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan S3 dengan baik.
3. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di
Institut Pertanian Bogor.
4. Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut
Pertanian Bogor. Demikian pula kepada seluruh kolega di Fakultas Pertanian dan
Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang atas segala dukungan, motivasi,
bantuan dan do’anya yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan
di IPB.
5. Para Kepala Dinas Peternakan terkait dengan pengambilan sampel penelitian, yakni
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Kabupaten Pesisir Selatan-Sumbar, Kabupaten
Sampang-Madura, Kabupaten Tabanan-Bali, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten
Malang, dan Kabupaten Banyuwangi, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk
mengadakan penelitian dalam wilayahnya.
6. Kolega khusus yang membantu penulis dalam kegiatan penelitian maupun
penyusunan disertasi, yakni Ir. Maskur, M.Si, dari Fakultas Peternakan UNRAM
atas bantuan pendampingan dalam koleksi sampel darah sapi Bali-Lombok dan
diskusi mendalam tentang genetika molekuler hewan; Dr. Rusfidra dan Dr.

xiii

Sarbaeni Anwar dari Fakultas Peternakan UNAND atas bantuan pendampingan
koleksi sampel sapi Pesisir dan diskusi pengembangan sapi Pesisir; saudara Farhan,
SPt, MP, dari Dinas Peternakan Propinsi NAD dan Ir. Achmadi, Kepala BPTU Sapi
Aceh atas bantuan pendampingan koleksi sampel sapi Aceh; dan Ir. Suprio Guntoro
atas bantuan pendampingan sampel sapi Bali-Bali dan diskusi mendalam tentang
konsep peternakan organik. Juga rekan Dr.agr. M. Amin, dari FMIPA Universitas
Negeri Malang atas bantuan analisis data menggunakan software MEGA dan juga
diskusi mendalam tentang genetika molekuler hewan; sahabat Dr. Ir. Bram
Brahmantiyo, M.Si dan Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si, atas dukungan moral maupun
materi selama penulis tinggal di Bogor menempuh studi S-3; rekan Ir. J.L. Wahono,
MT dan Hariyadi, S.Pi, M.Si. atas bantuan pembuatan peta digital wilayah
penelitian serta sahabat Ir. Mulyoto Pangestu, MSc. PhD., Monash University
Australia atas bantuan jurnal-jurnalnya.
7. Seluruh rekan-rekan di Program Studi Ilmu Ternak, terutama saat penulis menjadi
Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HIWACANA) PTK periode 2005-2007
atas kebersamaannya dalam belajar dan berdiskusi selama mengikuti pendidikan di
IPB.
8. Sembah sujud kepada kedua orang tua tercinta, Ayah Atang Soewarno (alm.) dan
Ibu Ruth Sularsihati, yang telah membesarkan, mendidik, dan do’a-nya yang tiada
putusnya untuk keberhasilan putranya. Demikian pula kepada mertua (alm.) atas
pengertian, perhatian dan motivasinya selama penulis menempuh studi. Kepada
saudara-saudara saya : Rr. Ratna Arum Widyati, Rr. Ari Widyarini, Rr. Ambar
Widyasari dan R. Adi Wianjri Nugroho serta seluruh keluarga yang tidak dapat
kami sebutkan satu persatu, atas bantuan dan do’a-nya selama ini.
9. Secara khusus kepada isteri tercinta “ Dr. Ir. Maftuchah, MP. “ dan anakku
tersayang “ Muhammad Syauqi Al Maghfirah “, atas pengertian, perhatian dan
pengorbanannya yang tulus dan semangat serta do’a-nya yang tiada putusnya
diberikan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi ini
dengan lancar.
10. Kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang turut
membantu penulis demi suksesnya penyelesaian studi Doktor di Institut Pertanian
Bogor ini.
Kepada Allah SWT penulis berdo’a semoga amal kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT. “ Tiada gading
yang tak retak “, penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karenanya kritik dan saran membangun akan selalu penulis
harapkan demi kesempurnaan di masa mendatang. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat, khususnya bagi dunia peternakan dan pembaca umumnya. Amin.
Bogor, Januari 2010
Penulis

xiv

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang, Jawa Barat pada tanggal 14 Mei
1964 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Drs.
Atang Soewarno (alm.) dan Ruth Sularsihati BA. Pada tahun 1994
penulis menikah dengan Dr. Ir. Maftuchah, MP. dan dikarunia seorang
putra bernama Muhammad Syauqi Al Maghfirah yang lahir pada
tanggal 22 Desember 2001.
Pada tahun 1989 penulis menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) di
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto dari
Jurusan Produksi Ternak. Pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan Strata
Dua (S2) pada Program Studi Manajemen, Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM) dan pada tahun 2001 penulis menyelesaikan
pendidikan Strata Dua (S2) dari Program Studi Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor melalui program penyelenggaraan Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional. Selama mengikuti
program S3, penulis menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HIWACANA)
Program Studi PTK periode 2005-2007.
Pada tahun 1990, penulis diangkat sebagai dosen tetap Kopertis Wilayah VII
Jawa Timur dan dipekerjakan pada Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM) sampai sekarang. Mulai tahun 2000 hingga saat ini
penulis menduduki jabatan sebagai Koordinator Divisi Bioteknologi Hewan dan
Sekretaris Pusat Pengembangan Bioteknologi UMM. Karya ilmiah terbaru yang telah
ditulis dan merupakan bagian dari disertasi ini adalah : 1) Y Chromosomal
Microsatellites Polymorphism in Madura Cattle (Bos javanicus). The 4th Indonesian
Biotechnology Conference. Bogor, August, 5 – 7, 2008; 2) Genetic Variation of
Indonesian Ongole Cattle Breed (Bos indicus) Based on Five Loci Y Chromosomal
DNA Microsatellite. International Research Seminar and Exibition (IRSE) Universitas
Muhammadiyah Malang. November, 7 – 8, 2008; 3) Y Chromosome Microsatellites
Variation in Bali Cattle (Bos sondaicus) Population. Jurnal Animal Production Vol. 11,
No. 3, September 2009, Fakultas Peternakan UNSOED. (Terakreditasi DIKTI No.
56/DIKTI/Kep./2008), dan 4) Contributions of Bos indicus Breed to Genetic Diversity
Of Sumatra Native Cattle Based on Y-Chromosome Microsatellite Marker.
International Seminar on Animal Industry, Faculty of Animal Science, Bogor
Agricultural University. November, 23 – 24, 2009.

xv

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...

xvi

DAFTAR TABEL ...............................................................................................

xvii

DAFTAR GAMBAR .........................................................................................

xviii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..……

xx

PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................
Perumusan Masalah ................................................................................
Tujuan Penelitian ....................................................................................
Manfaat Penelitian ..................................................................................
Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................

1
5
7
7
7

TINJAUAN PUSTAKA
Keberadaan Bangsa (Breed) Sapi Lokal Indonesia ………………..…..
Keragaman Alel DNA dan Variasi Genetik Pada Ternak ......................
DNA Mikrosatelit Spesifik Pada Kromosom Y …………………..…...
DNA Mitokondria dan Gen Cytochrome b …………………………....

8
12
15
18

BAHAN DAN METODE
Bahan ………………………………………………………………..…
Tahapan Penelitian ……………………………………………………..
Metode ………………………………………………………………....

23
32
33

HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter Sifat Kuantitatif Sapi Lokal ...................................................
Isolasi DNA Genom dan Reaksi Amplifikasi PCR ................................
Jenis dan Frekuensi Alel DNA Mikrosatelit Kromosom Y Genom Sapi
Nilai Heterosigositas (h) dan Indeks Polymorphic Information Content
(PIC) Alel DNA Mikrosatelit Kromosom Y ..........................................
Hubungan Kekerabatan Genetik (Filogenetik) Sapi Berdasarkan Alel
DNA Mikrosatelit Kromosom Y ............................................................
Reaksi Amplifikasi Gen Cytochrome b Sapi ..........................................
Sisi Variabel (Variable Site) dan Konservatif (Conservative Variable)
Gen Cytochrome b pada Genom Sapi ....................................................
Hubungan Kekerabatan Genetik (Filogenetik) Sapi Berdasarkan
Sekuens Gen Cytochrome b ..................................................................

38
42
43
49
51
53
55
74

PEMBAHASAN UMUM ..................................................................................

79

KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................................

82

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................

84

LAMPIRAN .......................................................................................................

98

xvi

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Nama lokus, urutan primer, rata-rata ukuran alel dan referensi mikrosatelit
pada Kromosom Y yang digunakan dalam penelitian .........................……

30

2. Rata-rata panjang badan, lingkar dada, tinggi badan dan volume scrotum
dari berbagai populasi sapi jantan penelitian .............................................

38

3. Tabulasi data lokus mikrosatelit Kromosom Y sapi penelitian ................

47

4. Nilai heterosigositas (h) dan polimorphic information content (PIC) alel
DNA mikrosatelit Kromosom Y pada populasi sapi penelitian ...................

50

5. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Aceh
dengan Bos javanicus ...................................................................................

55

6. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Pesisir
dengan Bos javanicus ...................................................................................

56

7. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Madura
dengan Bos javanicus ...................................................................................

58

8. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi Bali-Bali
dengan Bos javanicus ...................................................................................

60

9. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi BaliLombok dengan Bos javanicus ....................................................................

61

10. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi PO
dengan Bos javanicus ..................................................................................

62

11. Pensejajaran (alignment) sekuens nukleotida gen cyt b antara sapi PFH
dengan Bos javanicus ..................................................................................

64

12. Daftar insersi nukloetida yang terdapat pada sapi Aceh, Pesisir dan BaliLombok .................................………………………………….…………...

67

13. Posisi dan jenis substitusi basa dari gen cytochrome b pada sapi penelitian .

69

14. Komposisi penggunaan kodon gen cytochrome b sapi penelitian ………….

72

15. Jarak genetik kelompok sapi-sapi lokal Indonesia berdasarkan variasi urutan
nukleotida gen cytochrome b .........................................................................

74

xvii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Perkembangan populasi sapi potong tahun 2000 - 2008 (X 1000 ekor)
(Direktorat Jenderal Produksi Ternak dalam Badan Pusat Statistik [BPS]
2009) ...............................................................................................................

9

2. Peta genetik DNA mitokondria pada mamalia ...............................................

20

3. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh ..........................................

23

4. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Pesisir ........................................

24

5. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Madura.......................................

25

6. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Bali-Bali ....................................

26

7. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Bali-Lombok .............................

27

8. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Peranakan Ongole (PO) ............

28

9. Peta lokasi pengambilan sampel darah sapi Peranakan Friesien Holland
(PFH) ..............................................................................................................

29

10. Daerah gen cytochrome b sebagai target amplifikasi PCR ...........................

31

11. Bangsa-bangsa sapi-sapi yang digunakan dalam penelitian dengan jenis
kelamin jantan ................................................................................................

41

12. Contoh hasil isolasi DNA genom sapi pada sapi PFH ...................................

42

13.a. Contoh produk PCR dengan pewarnaan perak (silver staining) dari lokus
mikrosatelit INRA 126 genom sapi PO.......................................................

43

13.b. Contoh produk PCR dengan pewarnaan perak (silver staining) dari lokus
mikrosatelit INRA 189 (hemizygous) genom sapi Bali-Bali .....................
44
13.c. Contoh produk PCR dengan pewarnaan perak (silver staining) dari lokus
mikrosatelit INRA 057 (multicopy event) genom sapi PFH .......................

44

14. Diagram filogenetik sapi lokal Indonesia berdasarkan variasi DNA
mikrosatelit pada Kromosom Y ......................................................................

51

15. Produk PCR gen cytochrome b sebelum proses purifikasi (A) dan setelah
purifikasi (B). Sekuensing dilakukan pada produk PCR setelah purifikasi ...

54

xviii

16. Diagram lingkar filogenetik sapi lokal Indonesia berdasarkan sekuen
nukleotida gen cytochrome b .........................................................................

76

17. Diagram pohon filogenetik sapi lokal Indonesia berdasarkan sekuen
nukleotida gen cytochrome b...........................................................................

77

xix

DAFTAR LAMPIRAN
1. Haplotipe alel mikrosatelit pada Kromosom Y ............................................
2. Hasil sekuensing produk PCR gen cytochrome b ..........................................

xx

98
102

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dokumen ‘World Watch List for Domestic Animal Diversity‘ report (3rd ed.)
melaporkan bahwa terdapat kurang lebih 6300 bangsa (breed) ternak di dunia dari
sekitar 30 spesies hewan domestikasi dan hampir sebagian besar breed saat ini
merupakan spesies lokal yang berasal dari negara-negara berkembang. Keragaman
genetik yang dimiliki breed lokal berperan besar dalam keberhasilan program
pemuliaan ternak di negara-negara berkembang selama kurun waktu abad 19 hingga
20. Hal ini jelas menggambarkan bahwa spesies lokal merupakan sumber daya
genetik yang penting dan unik untuk antisipasi kebutuhan produksi ternak saat ini
maupun mendatang. Namun, kenyataannya saat ini banyak breed lokal yang mulai
menurun potensinya, baik kuantitas maupun kualitas. Diperkirakan satu hingga dua
breed punah setiap minggunya (Schearf, 2003).
Dua spesies utama dari famili Bovidae yang telah didomestikasi adalah sapi
(Bos) dan kerbau (Buballus). Diantara spesies sapi yang didomestikasi dan masih
eksis keberadaannya sebagai tetua bangsa sapi adalah Yak (Bos grunniens ), Gayal /
Mithan (Bos gaurus) dan sapi Bali (Bos javanicus), sedangkan Taurine (Bos taurus)
dan Indicine (Bos indicus) telah dijinakan sebagai ternak domestik (Lenstra &
Bradley 1999). Dua tipe bangsa sapi terakhir tersebut merupakan yang terbesar
jumlah populasinya di dunia dan tetua liar dari Bos taurus dan Bos indicus yaitu
Auroch (Bos primigenius) tersebar mulai dari Pasifik melalui Asia dan Eropa hingga
Atlantik, dan juga dari dataran tundra di belahan utara ke selatan hingga India dan
Afrika. Tetapi Bos primigenius ini diduga telah punah pada abad 14 SM di sekitar
Mesir, tetapi sisanya ditemukan hidup lebih lama di daerah lain, termasuk Eropa dan
diketahui spesies terakhir mati di tahun 1627 M (Epstein & Mason 1984).
Benua Asia memiliki kurang lebih tiga ratus juta sapi dan dua ratus juta
diantaranya terdapat di sub benua India. Sapi-sapi di Asia dan Afrika, umumnya
dibedakan ke dalam kategori berpunuk (hump) dan tidak berpunuk (humpless) dan
diperkirakan terdapat 170 breed yang telah diketahui, termasuk sapi Bali
(domestikasi dari Banteng, Bos [Bibos] banteng) di Asia Tenggara, terutama di

2

Indonesia dan Filipina. Oleh karena itu, peternak sapi di Asia telah dikenal
peranannya sangat penting dalam proses domestikasi maupun ekologi pertanian di
benua ini.
Di Indonesia, sapi Bali merupakan sapi lokal yang sangat populer terkait dengan
statusnya pada proses berkehidupan masyarakat petani di Indonesia, khususnya
sebagai hewan tarik dan penyedia daging.

Selain sapi Bali, di Indonesia juga

terdapat jenis atau bangsa sapi lokal lain, baik yang karena status silsilahnya masih
terdapat hubungan darah dengan Banteng (seperti sapi Madura) maupun dari bangsa
sapi Bos taurus dan Bos indicus yang karena faktor ekonomi dan politik pada masa
lampau (penjajahan maupun setelah merdeka) didatangkan ke Indonesia dan
akhirnya mampu beradaptasi dengan lingkungan sehingga menjadi bagian dari ternak
lokal yang ada. Oleh karenanya, studi genetik sapi lokal yang ada di Indonesia
menjadi menarik dikarenakan variasi genetiknya yang cukup besar. Hal ini penting
terkait dengan usaha perbaikan sifat maupun menjaga karakter genetiknya sehingga
ternak lokal ini tidak semakin menurun kualitas genetiknya bahkan punah dari negeri
Indonesia.
Bangsa sapi umumnya dibedakan secara morfologi dengan membedakan ada
(Bos indicus) dan tidak adanya (Bos taurus) gumba (Lenstra & Bradley 1999).
Namun saat ini dengan kemajuan teknologi molekuler, maka pembedaan genus Bos
tersebut dapat didasarkan pada variasi urutan nukleotida pada DNA mitokondria
(Loftus et al. 1994), DNA mikrosatelit (MacHugh et al. 1997), DNA satelit (Nijman
et al. 1999) dan kromosom Y (Kikkawa et al. 2003; Verkaar et al. 2003, Verkaar et
al. 2004) yang kemudian digunakan untuk identifikasi introgesi genetik dan studi
percampuran populasi. Data molekuler mengindikasikan adanya fenomena dikotomi
bahwa umumnya sapi Bos taurus adalah breed Eropa sedangkan sapi Bos indicus
adalah breed Asia.

Berdasarkan haplotipe DNA mitokondria yang diperoleh dari

specimen arkeologi, juga telah dapat dirancang kembali tentang Auroch Eropa dan
Timur Dekat yang kemudian diinterpretasikan bahwa Timur Dekat merupakan asal
mulanya domestikasi sapi Bos taurus yang kemudian diikuti dengan introduksi
pejantan Auroch dari Eropa (Troy et al. 2001; Götherström et al. 2005; Edwards et
al. 2007).

3

Banyak cara dan usaha yang telah dilakukan untuk karakterisasi genetik sapi
lokal Indonesia, dimana studi awal dimulai tahun 1974 hingga 1977 dan beberapa
hasilnya telah dipublikasikan oleh Namikawa et al. (1980) tentang karakterisasi sapi
lokal di Indonesia berdasarkan golongan darah dan protein, kemudian Namikawa et
al. (1982a) berdasarkan protein darah dan enzim, serta Namikawa et al. (1982b)
berdasarkan komposisi asam amino rantai β dari haemoglobin X.

Hasilnya antara

lain menunjukkan bahwa sapi Bali memiliki spesifikasi, seperti alel HbX pada
golongan darahnya dan sapi lokal lain tidak, serta sapi Peranakan Ongole (PO)
sangat dominan karakter genetiknya dari sapi zebu India.
Studi karakterisasi genetik pada tingkat molekuler di Indonesia masih sangat
jarang dilakukan. Adanya pertimbangan bahwa perkembangan cepat sejumlah
penciri genetik molekuler lebih diskriminatif dan akurat dibandingkan fenotipiknya,
maka penggunaan marka ini akan sangat membantu dalam penanganan manajemen
sistim seleksi pada ternak sapi potong (Ge et al. 2002).
Penggunaan sekuen DNA pada studi genetika populasi telah berkembang
secara cepat pada ternak, terutama setelah ditemukannya sekuen DNA dengan
tingkat variabilitas dan polimorfis yang tinggi sebagai penanda genetik. Meskipun
penggunaan penanda genetik klasik seperti

protein darah dan biokimia cukup

berperan penting dalam beberapa studi genetika populasi, namun salah satu masalah
yang membatasi penggunaan penanda ini adalah keterbatasan jumlah genotip pada
setiap lokus. Adanya penemuan lokus-lokus DNA dengan tingkat variabilitas tinggi,
misal DNA mikrosatelit menawarkan sejumlah solusi untuk memecahkan masalah
keterbatasan tersebut (Chakraborty & Jin 1993).
Informasi tentang alel-alel spesifik (breed spesific allele) dari data molekuler
untuk sapi lokal Indonesia masih sangat terbatas. Hasil penelitian Muladno et al.
(2000) dalam Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi [KMNRT] (2000) telah
menunjukkan adanya alel spesifik bangsa (breed spesific allele) untuk sapi Bali pada
lokus mikrosatelit INRA 023. Hasil studi Noor et al. (2000) juga menunjukkan
bahwa sapi Bali memiliki alel spesifik pada lokus mikrosatelit HEL9 dan INRA 035
dibandingkan sapi Bos taurus (Simmental, Limousin, dan Brangus), namun hasil ini
masih merupakan gambaran awal tentang adanya fenomena alel spesifik pada ternak
asli Indonesia. Hasil studi berdasarkan panel 16 marka mikrosatelit (Winaya 2000;

4

Winaya et al. 2000), diketahui pula bahwa penciri molekuler DNA mikrosatelit
mampu memberikan gambaran awal tentang hubungan genetik antara sapi Bali,
Madura, PO dan Brangus. Namun hasil ini belum mampu menunjukkan adanya
hubungan antara penciri DNA mikrosatelit dengan sifat-sifat ekonomis sapi,
terutama terhadap kualitas daging.
Sekuen DNA yang menawarkan sejumlah besar karakter memiliki pula
potensi homologi sehingga dapat dimanfaatkan bagi studi filogenetik. Pemahaman
ini akan menawarkan pula sejumlah besar potensi utama disamping kemungkinan
terdapatnya karakter yang menyesatkan dari indikasi homologi berdasarkan analisis
filogenetik. Sekuen DNA dapat sangat berbeda dari karakter morfologi. Adanya
perubahan karena mutasi juga menjadi penyebab perbedaan. Adanya perbedaan ini
memerlukan pula metode yang berbeda dalam analisis sekuen molekuler untuk
hubungan homologinya, yang akan membedakan dengan sifat morfologinya (Mindell
1991).
Sejak istilah homologi didefinisikan sebagai “ organ yang sama pada hewan
tetapi berbeda dalam berbagai variasi bentuk dan fungsi “ oleh Owen (1848) dan
telah banyak digunakan, namun hingga saat ini masih menjadi perdebatan (Scotland
1992). Homologi merupakan konsep yang menggambarkan suatu hipotesis yang
berkaitan dengan penampilan individu dan penggunaannya pada tingkat yang
berbeda dari organisasi biologinya (misal : fenotipik, genotipik). Sebagian besar
ilmuwan biologi evolusi, terutama bidang sistimatika organisme telah setuju bahwa
homologi menjelaskan hubungan antara tampilan-tampilan yang sama secara umum
pada organisme, yang kejadiannya dapat diturunkan. Demikian pula sebaliknya,
persamaan tersebut dapat pula terjadi karena adanya evolusi yang terpusat maupun
paralel. Oleh karena itu, identifikasi penampilan homologi merupakan suatu langkah
yang krusial dalam menentukan hubungan filogenetik (Mindell 1991).
Klasifikasi organisme juga telah menjadi suatu hal yang menarik bagi para
ilmuwan biologi sejak publikasi hasil-hasil penelitian awal dalam bidang biologi.
Misal, Aristoteles telah membuat suatu sistim untuk klasifikasi spesies hewan, yang
dimulai dengan membagi hewan ke dalam dua grup utama, yakni warna merah darah
seperti yang terdapat pada manusia atau vertebrata dan semakin berkurangnya warna
merah tersebut pada invertebrata. Selanjutnya, dia membagi pula dalam subdivisi

5

menjadi dua grup berdasarkan cara reproduksi, seperti siklus hidup, perkembangan
dalam telur, bentuk kepompong dan sebagainya. Oleh karenanya, klasifikasi
organisme merupakan suatu bagian esensial dari perkembangan pengetahuan
manusia mengenai dunia kehidupan (Dunn & Everitt 1982).
Ilmuwan biologi modern memberikan pula catatan bahwa metode awal dalam
klasifikasi hewan dan tanaman umumnya masih menggunakan pertimbangan yang
hanya menggambarkan permukaannya saja dan hanya bermanfaat untuk sarana
komunikasi. Secara umum masih belum menggambarkan sisi “ alamiah ” atau “
kenyataan “ yang sebenarnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka ide
tentang metode klasifikasi berdasarkan perbandingan asam amino atau urutan asam
nukleat dapat digunakan sebagai pendekatan metode untuk karakter klasifikasi pada
makluk hidup berdasarkan indikasi adanya homologi (Dunn & Everitt 1982).
Perkembangan dalam analisis genom dan genetika populasi pada manusia
mengarah pada haplotipe kromosom Y yang merupakan alat penting dalam
mempelajari

populasi

secara

alami

(Hurles

&

Jobling,

2001).

Tanpa

mengesampingkan daerah pseudo-autosom, aksi kromosom Y secara keseluruhan
merupakan unit tunggal non rekombinan dan merupakan haploid spesifik jantan. Hal
ini dapat diyakinkan bahwa berbagai kombinasi pada kejadian mutasi sepanjang
garis keturunan jantan terkonservasi merupakan suatu haplotipe pautan tunggal yang
tidak meragukan (bias). Penciri kromosom Y diperlukan sebagai suatu analog jalur
jantan sebagaimana DNA mitokondria (mtDNA) pada jalur betina.

Tingkat

polimorfisme penciri pada daerah non-rekombinan kromosom Y dimulai dari yang
paling rendah atau jarang, yakni pada kejadian bi-alel pada titik mutasi single
nucleotide polymorphisms (SNPs) hingga yang paling sering ditemukan pada lokus
penciri minisatelit atau mikrosatelit (short tandem repeat [STR]).

Adapun

polimorfisme SNPs pada kromosom Y sering ditemukan pada populasi yang spesifik
(Hammer et al. 1997).

Perumusan Masalah
Saat ini untuk pengukuran variasi genetik pada populasi (misal, breed-breed
ternak domestikasi) masih memerlukan penciri mikrosatelit kromosom Y lebih
banyak lagi. Hal ini berbeda kondisinya pada tikus dan manusia, dimana tersedia

6

banyak data sekuens DNA pada kromosom Y, tetapi informasi untuk kromosom Y
pada mamalia lain masih kurang (Hurles & Jobling, 2001). Namun, akhir-akhir ini
telah dilaporkan beberapa survei tentang filogenetik daerah kromosom Y dari spesies
ternak domestikasi berdasarkan variasi keterpautan bagian spesifik jantan kromosom
Y (male specific Y chromosome / MSY). Dilaporkan pula variasi nukleotida yang
rendah antar lokus MSY pada kuda (Lindgren et al. 2004), sapi (Hellborg and
Ellegren 2004) dan domba (Meadows et al. 2004). Meskipun demikian, beberapa
studi yang memanfaatkan variasi lokus MSY telah mampu mengangkat aspek-aspek
sejarah keberadaan populasi. Bradley et al. (1994) telah mengembangkan pelacak
(probe) spesifik untuk lokus Y yang mampu membedakan subspecies Bos taurus
(taurine) dan Bos indicus (zebu).
Penelitian ini merupakan analisis terhadap kromosom Y untuk mendukung
pengembangan metode analisis variasi genetik maupun kekerabatan individu pada
spesies sapi (bovidae) yang mengarah pada jenis kelamin jantan. Pertimbangan
dilakukan khusus pada individu sa