Pengaruh Kolesterol dan Fosfollipid Pakan Terhadap Laju Absorpsi dan Distribusi Kolesterol, Komposisi Kimia dan Struktur Hepatopankreas Serta Kinerja Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Tokolan Udang Windu, Penaeus monodon Fab.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komisi Perikanan F A 0 (1989) mengatakan bahwa akuakultur di masa
datang akan merniliki karakteristik sebagai berikut: ~ l a komoditasnya
i
relatif
mahal; produknya akan bersaing dengan bahan makanan yang relatif lux lainnya,
teknologi budidaya akan semakin hemat lahan dan air serta memperhatikan
darnpak limbahnya terhadap lingkungan bahkan juga estetika.
Berdasarkan
kriteria F A 0 tersebut, budidaya udang windu yang telah berlangsung di Indonesia
selarna kurang lebih satu setengah dekade ini jelas merupakan kegiatan akuakultur
yang tepat baik untuk masa sekarang ataupun masa datang.
Udang
merupakan mata
dagangan
dilaksanakan di berbagai negara di dunia.
kemampuan
daya
internasional
dan
budidayanya
Sehubungan dengan ha1 itu maka
saing budidaya udang Indonesia perlu
teas
menerus
ditingkatkan. Untuk itu efisiensi dalam proses produksi perlu rnendapat perhatian,
khususnya pakan karena biaya pakan merupakan komponen terbesar.
Pakan buatan berperan penting bagi perkembangan budidaya udang windu,
Penaeus monodon Fab. Di Indonesia penggunaannya telah mencapai 8800 ton
senilai lebih dari 176 milyar rupiah pada tahun 1990 (Tim Peneliti Pakan Udang,
Faperikan IPB, 1991). Walaupun pakan telah diproduksi secara masal oleh
industri, penelitian yang bersifat rnendasar terutarna tentang nutrisi kuantitatif dari
nutrien-nutrien yang khas dibutuhkan udang tetap sangat diperlukan, karena empat
ha1 berikut :
Pertama : Perkembangan nutrisi
kuantitatif
dari zat-zat
pakan yang khas
dibutuhkan udang, yakni kolesterol dan fosfolipid, b a r - diketahui
beberapa tahun terakhir dan itu pun b a r - pada larva dan tokolon udang
Penaeus japonicus dan P . penicillatus (Teshima dan Kanazawa, 1988;
Chen d m J e m , 1991),
Kedua
: Daging dan hepatopankreas udang windu hasil budidaya di Indonesia
temyata mengandung fosfolipid yang lebih rendah daripada udang
alam yang hidup di laut Jawa (Leary dan Mathews, 1990),
Ketiga
: Kolesterol dan fosfolipid rnerupakan kornponen bahan pakan yang
relatif rnahal sehingga ketepatan jumlah yang dibutuhkan udang akan
sangat menentukan efisensi ekonomi,
Keempat : Altematif penanggulangan rnasalah kekurangmampuan mensintesis
kolesterol dan fosfolipid, rnelalui cara rekayasa genetika rnasih belum
rnemungkinkan. Informasi rekayasa genetika pada udang sampai saat
ini masih langka.
Untuk mendapatkan informasi mendasar tentang kebutuhan udang windu
akan kolesterol dan fosfolipid maka pada penelitian ini digunakan pakan yang
mengandung kombinasi 3 (tiga) tingkatan kolesterol (0.00, 0.25 dan 0.50%) dan 3
(tiga) tingkatan lesitin (0, 2 dan 4%).
Kadar kolesterol ditentukan berdasar kebutuhan udang P. japonicus
berukuran 0.25 gram adalah 0.5% (Teshima dan Kanazawa, 1988).
Pada
percobaan ini udang yang digunakan berukuran 0.5 gram, sedangkan Mashur
(1988) melaporkan bahwa pascalarva udang windu tumbuh terbaik pada pakan
dengan kadar kolesterol 0.5%.
Sedangkan kadar lesitin ditentukan berdasar
kisaran kebutuhan lesitin bagi larva udang P. japonicus antara 1%
(Kanazawa,
dan 3.5%
1985).
1.2 Perurnusan Masalah
1.2.1
Transportasi Lemak
Kolesterol dan fosfolipid berperan untuk transportasi lernak sebagai
komponen lipoprotein plasma, baik dalarn bentuk VLDL (very low density
lipoprotein), LDL (low densiry lipoprotein) dan HDL (high density lipoprotein),
serta khilomikron.
Karena udang rnemiliki sistem peredaran darah terbuka dan
hepatopankreas praktis rnenyelimuti "midgut", kelancaran transportasi lemak
dapat dilihat dari se1isih kadar kolesterol di hepatopankreas dan plasma darah
setiap selang waktu tertentu setelah udang mengkonsumsi pakan.
Selanjutnya
karena udang tidak rnemiliki kemampuan mensintesis kolesterol dan kurang
mampu mensintesis fosfolipid, maka ketersediaan kedua zat tersebut dalam pakan
akan menentukan kelancaran transportasi lemak.
Berapa kadar fosfolipid dan
kolesterol yang seimbang, yang dapat menjarnin kelancaran transportasi lemak
bagi udang windu pada masa budidaya, belum diketahui.
1.2.2 Komposisi Kimia Hepatopankreas
Kolesterol dan fosfolipid dikeluarkan dari hepatopankreas dalam bentuk
VLDL. Berdasarkan ha1 itu, maka hambatan pelepasan kolesterol tersebut dapat
pula
berarti
hambatan
sekresi VLDL.
Riis
(1983) rnenyatakan bahwa
keseimbangan antara kecepatan esterifikasi dan sekresi VLDL akan menentukan
tejadi tidaknya penimbunan lemak hati. Sehubungan dengan ha1 itu, komposisi
kimia terutama kadar lemak d m air hepatopankreas perlu diketahui. Seberapa
jauh pengaruh kadar koIesteroI dan fosfolipid pakan terhadap komposisi kimia
tersebut.
1.2.3 Struktur Hepatopankreas
Sehubungan dengan adanya kemungkinan penimbunan lemak hati, maka
kadar kolesterol dan fosfolipid pakan diduga juga akan mempengaruhi struktur
hepatopankreas. Vogt, Storch, Quinito, dan Pascual (1985) menyatakan bahwa
hepatopankreas dapat digunakan sebagai organ monitor penilaian nutrisi pakan
udang Penaeus monodon. Dari 4 jenis sel hepatopankreas (sel R, B, F dan E), sel
R diketahui paling sensitif terhadap perubahan komposisi pakan. Seberapa besar
pengaruh kadar kolesterol dan fosfolipid pakan terhadap pembahan struktur
terutama sel R hepatopankreas udang windu belurn diketahui.
1.3 Tujuan Percobaan
1.
Mengetahui pengaruh kadar kolesterol dan fosfolipid dalarn pakan yang
mengandung kadar lemak tertentu terhadap kelancaran transportasi lernak
pada udang windu berukuran 0.3
2.
-
1.0 gram.
Mengetahui pengaruh kadar kolesterol dan fosfolipid pakan terhadap
komposisi kimia dan struktur hepatopankreas udang windu berukuran 0.3
1.0 gram.
-
3.
Mengetahui pengaruh kadar kolesterol dan fosfolipid pakan terhadap laju
pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein dan lemak serta
kelangsungan hidup udang windu berukuran 0.3 - 1.0 gram.
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur dan Karakteristik Kolesterol dan Fosfolipid
Kolesterol adalah salah satu sterol yaitu steroid alkohol yang merupakan
steroid yang paling banyak. Steroid dikelompokkan sebagai sejenis lipid karena ia
larut dalam lemak, tetapi ia tidak tersabunkan karena ia tidak mengandung asam
lemak.
Seperti diketahui, lipid pada urnurnnya terhidrolisis oleh pemanasan
dengan alkali, menghasilkan sabun dari komponen asarn lemaknya. Kolesterol
sebagai salah satu jenis steroid, merupakan molekul kompleks dengan empat
cincin yang saling bergabung sebagai intisiklik. Molekul kolesterol mempunyai
gugus polar pada bagian kepalanya, yaitu gugus hidroksil pada posisi 3 dan bagian
rnolekul lain merupakan struktur non-polar yang relatif kaku (Harper, Rodwell,
dan Mayer, 1979).
Fosfolipid adalah golongan lipida yang mengandung fosfor dalam bentuk
gugus asam fosfat. Fosfolipid dikenal sebagai lipida polar karena memiliki satu
atau lebih "kepala" dengan polaritas tinggi, selain ekor hidrokarbomya. Seperti
diketahui lipida pada umumnya (triasil gliserol rnisalnya) merupakan molekul
hidrofobik non-polar, karena molekul ini tidak mengandung muatan listrik atau
gugus fungsional dengan polaritas tinggi.
Fosfolipid utama yang ditemukan pada membran adalah fosfogliserida
yang dibedakan berdasar gugus alkohol pada "kepala" yang bersifat polar.
Fosfogliserida mengandung dua ekor non-polar, yang merupakan asam lemak
berantai panjang (urnurnnya 16 atau 18 atom karbon).
Satu dari asam lemak
tersebut bersifat jenuh d m satunya lagi tidak jenuh. Asarn fosfatitat, yang tidak
memiliki kepala alkohol, merupakan senyawa induk fosfogliserida. Fosfogliserida
yang paling banyak adalah fosfatidil etanolamin yang mengandung alkohol
etanolamin dan fosfatikholin dengan &oh01
fosfatigliserin
dengan
asarn
kholin.
hidroksiaminserin
Selain itu dikenal pula
pada
kepalanya
dan
fosfatidilinositol yang mengandung alkohol siklikinositol (Harper er al. 1979).
Semua fosfogliserida bemuatan negatif pada gugus fosfatnya pada pH 7.
Selain itu gugus alkohol pada kepala juga dapat memberikan satu atau lebih
muatan listrik pada pH mendekati 7. Senyawa fosfogliserida dengan demikian
rnemiliki dua gugus yang sangat berbeda; gugus hidrofilik pada kepala yang
bersifat polar dan ekor yang hidrofolik yang bersifat non-polar. Keadaan seperti
itu dikenal sebagai senyawa bersifat ampifatik.
2.2 Peran Kotesterol dan Fosfolipid Secara Umum
1. Sebagai komponen lipoprotein plasma dan khilomikron
Di dalam plasma darah terdapat tiga kelas utama plasma lipoprotein
(VLDL = very low densiv lipoprotein; LDL = low densi& lipoprotein; HDL =
high densitiy lipoprotein), yang mengandung 50-90% Iipida (Harper et al., 1979).
Plasma lipoprotein terdiri dari komponen-komponen protein, triasilgliserida,
fosfolipid dan kolesteroi (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi kimia plasma lipoprotein
Dalarn plasma lipoprotein ini terlihat bahwa dengan karakteristik molekulmolekul penyusunnya, peran plasma lipoprotein sebagai pentransport lipida bisa
terselenggara.
Triasigliserol non-polar dan kolesterol tersembunyi di dalam
lapisan sebelah luar dari bagian hidrofilik rantai polipeptida yang larut di daIarn
air dan bagian kepala rnolekul trigliserida polar yang bersifat hidrofilik. Kulit
sebelah luar lipoprotein yang bersifat menghadap ke air sehingga menjadikan
struktur yang kaya akan lipida ini larut di dalarn air. Dengan mekanisme seperti
itulah plasma lipoprotein berperan untuk transport lipida rnelalui darah dari usus
halus menuju depot lemak dan jaringan (Lehninger, 1982).
2 . Sebagai komponen membran
Semua mernbran, baik membran sebelah luar atau membran plasma dari
banyak sel, ataupun membran organel seperti mitokondria dan kloroplast,
mengandung lipida polar.
Besar kandungan tersebut berkisar antara 20-80%
rnassa mernbran, bergantung kepada jenis membran; sisanya terutama merupakan
protein.
Bagian lipida membran tersusun atas suatu carnpuran berbagai jenis
lipida polar
atau amfipatik; membran sel hewan terutama mengandung
fosfogliserida dan spingolipida dalam jurnlah yang sedikit. Triasilgliserol terdapat
hanya- dalarn jumlah sangat kecil di dalarn rnembran.
Beberapa sel membran
hewan, terutama membran plasma sebelah luar, mengandung kolesterol dan ester
dalam jumlah yang cukup banyak. Kolesterol merupakan komponen membran
plasma yang penting, selain itu juga berperan sebagai prekursor banyak senyawa
steroid.
Semua lipida polar memiliki kepala bersifat polar dan bennuatan listrik,
serta ekor hidrokarbon yang bersifat non polar.
Lipida ini secara spontan
membentuk misel, lapisan tunggal dan lapisan ganda, di mana strukturnya
distabilkan oleh interaksi hidrofobik.
Lapisan ganda lipida polar berfhngsi
sebagai inti struktural dari membran sel, yang juga mengandung berbagai jenis
protein, beberapa protein ekstrinsik pada permukaan membran, dan yang lain
protein intrinsik pada bagian daIam struktur membran.
2.3 Nilai Nutrisi Kolesterol dan FosfoIipid bagi Krustase
Baik untuk ikan ataupun krustase, asarn lemak berperan penting sebagai
sumber energi dan juga merupakan nutrien yang esensial (Kanazawa, 1985).
Berlainan dengan hewan air lainnya, udang penaeid dan lobster (Homarus
americanus) memiliki kebutuhan yang unik akan sterol dan fosfolipid. Hewan
pada umumnya marnpu mensintesis sterol dari asetat, tapi krustase tidak demikian
(Castell, Mason dan Budson, 1974). Mamalia dapat mensintesis fosfolipid dari
1,2 digliserida dan membentuk cytidine-5-diphosphate choline (CDP-choline) tapi
kemampuan krustase untuk biosintesis fosfolipid sangat terbatas.
Tokolan udang yang pakannya diberi sterol kelangsungan hidupnya cukup
tinggi namun pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan udang yang
pakannya diberi kolesterol. Teshima dan Kanazawa (1986=)mengatakan bahwa
kolesterol adalah sterol yang paling efektif untuk udang dan bernilai nutrisi tinggi
karena memiliki daya rangsang "feed intake".
Teshima dan Kanazawa (1986a) menyatakan bahwa komposisi lemak
hepatopankreas, haemolim dan otot larva udang yang ransumnya mengandung
cukup fosfolipid ternyata berbeda dengan udang yang ransumnya kekurangan
fosfolipid.
Kebutuhan udang akan fosfolipid diduga berhubungan dengan
perannya untuk rnemperlancar transportasi lemak seperti trigliserida dan kolesterol
dalam tubuh melalui haemolim.
Selanjutnya diasumsikan bahwa ransum yang
kekurangan fosfolipid akan mengakibatkan transport lemak tidak mencukupi
kebutuhan dan akibatnya pertumbuhan dan kelangsungan hidup menurun.
Dikemukakan pula bahwa nilai retensi lemak dalam tubuh khususnya kolesterol
sangat m e n m bila ransum udang kekurangan fosfolipid.
D'Abramo, Bordner dan Conklin (1982) telah meneliti hubungan antara
fospatidilkholin
ransum d m kolesterol serum pada lobster, Homarus sp.
Diketahui bahwa ketiadaan fospatidilkholin kedelai ransum murni yang diberikan
pada larva lobster telah mengakibatkan p e n m a n konsentrasi kolesterol dan
fosfolipid yang cukup besar daIam serum.
fospatidilinositol
digunakan
sebagai
Bila fosfolipid telur, sephalin dan
pengganti
fospatidilkhoIin
konsentrasi kolesterol dan fosfolipid dalam serum tetap rendah.
kedelai,
Konsentrasi
kolesterol dan fosfolipid dalarn serum memiliki keterkaitan yang tinggi. Terdapat
indikasi bahwa absorpsi kolesterol oleh usus tidak terhambat oleh ketiadaan
fospatidilkholin
atau
keberadaan fosfolipid
pengganti.
Diduga molekul
fospatidiikholin merupakan komponen penting lipoprotein yang mentransfer
kolesterol dari hepatopankreas ke haemolim.
Teshima dan Kanazawa (1986~)menyatakan bahwa mekanisme transport
lemak pada P.japonicus dan spesies udang lainnya berbeda dari mekanisme pada
mamalia.
Transport lemak pada udang terutarna dilaksanakan oleh fosfolipid
sebagai kornponen HDL. Pada mamalia lemak ditransport melalui saluran limpha
(lymph-duct) sebagai khilomikron; pada udang fosfolipid diperlukan secara khas
untuk transport asam lemak dalam haemolim.
2.4
Kemampuan Biosintesis dan Kebutuhan Udang akan Kolesterol dan
Fosfolipid
Ketidakmampuan udang-udangan (Crustacea) untuk mensintesis kolesterol
telah banyak diteliti.
Van den Oord (1964) menyatakan bahwa jenis kepiting
(Cancer pagurus L.) tidak memiliki kemampuan mensintesis kolesterol. Hal yang
sama untuk
kepiting Asracus asracus diteliti oleh Zandee (1967). Selanjutnya
Teshima, Kanazawa, Saada, dan Kawazaki (1982) dengan menggunakan teknik
perunutan radio aktif '4~-asetatdan 14C-mevalonat juga mernbuktikan bahwa
tidak terbentuk '4~-kolesterolpada tubuh udang P. japonicus.
Hal tersebut
menunjukkan bahwa udang P. japonicus juga tidak mempunyai kemarnpuan
mensintesis kolesterol.
Sebagai akibat ketidakrnampuan mensintesis kolesterol tersebut maka
udang memerlukan kolesterol dalarn pakannya. Dari berbagai sterol yang diteliti,
temyata kolesterol merupakan sterol yang menghasilkan pertumbuhan dan
kelangsungan
hidup
terbaik
(Teshima,
Kanazawa,
dan
Saada,.
1983).
Pertumbuhan d m kelangsungan hidup terbaik larva P.japonicus dihasilkan oleh
pakan yang mengandung kolesterol 1% (Kanazawa, 1985); sedangkan untuk
udang P. japonicus berukuran 0.25 gram adalah 0.5% (Teshima dan Kanazawa,
1988).
Keterbatasan kemampuan udang-udangan wtuk mensintesis fosfolipid
telah diteliti pada lobster, Homarus americanus oleh Shieh (1969). Sedangkan
Kanazawa ( 1 9 8 5 ) rnenyatakan bahwa kemampuan udang P. japonicus untuk
rnensintesis fosfolipid tidak dapat mengimbangi kebutuham metabolismenya.
Dari berbagai fosfolipid yang diteliti, lesitin dari kedelai berpengaruh terbaik.
Kebutuhan lesitin untuk larva P. japonicus berkisar antara 1%
sampai 3.5%
(Kanazawa, 1985).
Dengan menggunakan teknik perunutan radio aktif '4~-kolesterolyang
diberikan bersarna lesitin daiam pakan udang, Teshima dan Kanazawa ( 1 9 8 8 )
menunjukkan peran fosfolipid sebagai berikut : Fosfolipid mempercepat aiau
rnernperIancar transport kolesterol yang berasal dari pakan ke hepatopankreas.
Fosfolipid juga berperan dalam pembentukan ester koleteril di hepatopankreas dan
mernpercepat pengeluaran kolesterol hepatopankreas ke haemolim.
Selain itu
fosfoIipid diduga juga dapat meningkatkan aktivitas LCAT (Iesitin kolesterol asil
transferase) dalam hemolirn. LCAT adalah enzim yang mengkatalisis pemindahan
gugus asil dari posisi P-fosfotidilkolin ke gugus 3P-hidroksi dari kolesterol.
2.5 Pencernaan pada Udang
2.5.1
Saluran pencernaan
Saluran pencernaan udang praktis merupakan tabung yang relatif lurus,
sangat jarang ditemui adanya kelokan-kelokan usus. Saluran pencernaan terdiri
dari 3 bagian : usus bagian depan Cforegut), bagian tengah (midgut) dan bagian
belakang (hindgut). Usus bagian depan dan belakang berasal dari ektoderm dan
kedua dindingnya dilapisi khitin. Berbeda dengan itu usus bagian tengah berasal
dari
endoderm dan dindingnya dilapisis khitin (Vonk, 1960 dan Lockwood,
1989).
Menurut Lockwood (1989) usus depan terdiri dari oesephagus, cardiac
stomach d m pyloric stomach.
Cardiac stomach berbentuk kantong d m
dindingnya dilapisi khitin yang tebal sehingga bagian ini berfungsi menggerus
pakan. Pakan yang dapat melewati cardiac stomach masuk ke pyZoric stomach,
yang berupa klep penyaring, sehingga pakan yang masuk ke midgut hanyalah
pakan yang sudah halus.
Sekresi
enzim-enzirn
pencemaan
dari
hepatopankreas
melalui
hepatopancreatic duct masuk ke ujung anterior midgut berbatasan denganforegut.
Enzim-enzim dari situ dapat juga masuk ke cardiac stomach dan pencernaan
mulai terjadi. Walaupun pencernaan mulai terjadi di foregut absorbsi tidak terjadi
di sini, absorbsi hanya terjadi di hepatopankreas dan midgut. Sama seperti di
foregut, di hindgut pun tidak terjadi absorbsi. Fungsi nyata dari hindgut adalah
pembuangan. Di sini terdapat 6 buah tonjolan yang mengecil ke arah belakang
dan mampu berkontraksi kuat membentuk feses seperti pellet.
2.5.2
Hepatopankreas
Hepatopankreas
mempunyai
peranan
sangat penting
dalarn
sistem
pencemaan udang. Hepatopankreas merupakan satu organ yang memerankan 2
h n g s i organ, hepar dan pankreas pada hewan tingkat tinggi.
Vonk (1960) menyatakan bahwa ha1 yang jeIas rnernbedakan pencernaan
crustacea dengan vertebrata adalah adanya enzim-enzim yang hanya disekresikan
olah satu organ yaitu kelenjar hepatopankreas.
Dinyatakan pula bahwa
metabolisme crustacea sangat ditentukan oleh peran sentral hepatopankreas.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan informasi-informasi sebagai berikut :
-
Hepatopankreas
mensekreksikan
enzim-enzim
tryptic
proteolitic,
karbohidrase, lipase dan bahkan khitinase (Lockwood, 1989).
- Hepatopankreas dan midgut merupakan ternpat absorbsi zat-zat pakan
(Vonk, 1960 dan Lockwood, 1989).
-
Hepatopankreas melaksanakan proses-proses
metabolisrne karbohidrat
(glikogenesis dan glikolisis), metabolisme protein (glukoneogenesis) dan
rnetabolisme lemak (Lockwood, 1989)
-
Hepatopankreas me~pZdCanternpat penyimpanan cadangan bahan organik
(protein, karbohidratIgIikogen dan lemak, termasuk kolesterol) dan bahan
anorganik (seperti Ca, Mg, Pod, dll.) yang penting untuk pergantian kulit
(Passano, 1960).
- Hepatopankreas juga mensekresi cairan pencernaan (digestivejuices) yang
mengakibatkan penurunan tegangan permukaan dan berfungsi sebagai asam
empedu (Vonk, 1960).
-
Selain itu, hepatopankreas juga berperan dalam sintesis lipoprotein plasma
dan plasma protein.
2.6
Laju Absorbsi dan Distribusi Kolesterol
Laju absorbsi adalah banyaknya kolesterol yang diabsorbsi dari midgut
masuk ke hepatopankreas per satuan waktu. Butir 2.5 telah menjelaskan bahwa
absorbsi hanya terjadi di hepatopankreas dan midgut dan tidak terjadi di foregut
dan hindgut.
Aronof (1967) menyatakan bahwa bila pakan berlabel diberikan hanya satu
kali pada waktu 0 maka akan tejadi hubungan antara bahan dengan produk d m
waktu sebagai berikut :
a) Aktivitas jenis produk akan naik dengan cepat sampai mencapai puncak
selanjutnya menurun dengan kecepatan yang lebih rendah dan berakhir
dalam bentuk garis yang asimtotik dengan waktu,
b) Di lain pihak aktivitas jenis bahan atau pakan akan menurun dengan cepat
hingga mencapai waktu puncak dari aktivitas jenis produk dan selanjutnya
menurun dengan lambat sarnpai asimtotik dengan waktu, dan
C) Kedua fenornena tersebut diilustrasikan dalam Garnbar 1, di mana hubungan
antara aktivitas jenis dan produk merupakan model logistik fungsi gama.
Gambar 1.
Grafik hubungan aktivitas jenis bahan dan produk dengan waktu
menurut Aronof (1 967).
Selanjutnya Aronof (1967) menunjukkan bahwa bila produk berasal dari
bahan tadi menghasilkan produk lanjutan sehingga menjadi hubungan bahan
produk dalarn sistem 3 pool , maka fimgsi aktivitas jenis produk Isinjutan tersebut
juga akan serupa dengan fungsi produk pertama.
Teshima, Kanazawa d m Kakuta (1986) menunjukkan bahwa kadar lemak
total hepatopankreas dan haemolim udang Penaeus japonicus meningkat selama
1 jam setelah pemberian pakan dan selanjutnya menurun 3 sampai 6 jam setelah
pemberian pakan.
Atas dasar hal itu laju absorbsi dan distribusi memiliki
fenornena yang serupa dengan fungsi hubungan bahan produk dalam sistem 3
pool.
2.7 Struktur Hepatopankreas Udang Windu
Menurut Bell dan Lightner (1988) struktur hepatopankreas udang Penaeid
hanya terdiri dari tubule-tubule. Tubule terbagi tiga jenis: apical hepatopankreatic
tubule
(Hta);
medial
hepatopankreatic
tubule
(Htm)
dan
proksimal
hepatopankreatic tubule (Htp). Hta banyak mengandung sel-sel ernbrionik yang
belurn berdiferensial atau sel-E (Hpe) dan sedikit menjauh dari apex, sel-sel
absorpsi dan penyimpan atau sel-R.
Pada Htp terdapat banyak sel-sel B
(Blasenzellen) yang berfungsi mensekresi enzim-enzim. Bagian medial tubule
hepatopankreas (Htrn) ditandai dengan adanya lumen yang berbentuk bintang,
merupakan ciri "pakan kosong". Di sini tubule banyak mengandung sel-R (Hpr)
dan sel F (Hpf = Fibrillenzellen) yang berfungsi absorpsi dan penyimpanan.
Dengan mengamati preparat histologis satu organ hepatopankreas udang
windu yang dibuat seri dengan potongan setebal 4
- 6 p terIihat bahwa : proximal
hepatopankreatic tubule (Htp) yang banyak rnengandung sel B, yang berfungsi
mensekresikan enzim berada di bagian ventral dan anterior dari hepatopankreas.
Apical hepatopancreatic tubule (Hta) dan medial hepatopancreatic tubule (Htrn),
yang banyak mengandung sel-sel F dan R yang berfungsi absorpsi dan
penyimpanan, terdapat pada bagian dorsal d m posterior hepatopankreas.
2.8
Rekayasa Genetika Sebagai Alternatif Peningkatan Kemampuan
Biosintesis
Tave (1988) rnengernukakan bahwa prinsipnya rekayasa genetika (generic
engineering) adalah suatu proses pernindahan atau transfer suatu gen dari satu
organisme ke organisme lainnya.
bentuk
manipulasi
genetika
pemindahadtransfer gen-nya.
Rekayasa genetika merupakan salah satu
lainnya (hibridisasi
rnisalnya),
terletak
pada
Pada rekayasa genetika, satu gen ditransfer ke
organisme lain dalam satu tahap, sedangkan cara lain memindahkan sebagian
besar dari "genome" atau "genotype".
Aplikasi
rekayasa
genetika
dalarn
akuakultur
relatif
masih
baru
dilaksanakan, namun dari piIihan gen-gen yang telah dicoba ditransfer terlihat ke
arah sasaran akuakultur apa/mana teknologi ini akan digunakan. Beberapa gen
yang telah dipilih d m dicoba ditransfer ke spesies ikan antara lain :
1. Gen hormon pertumbuhan (sornatotropin)
Hormon pertumbuhan adalah hormon polipeptid yang disintesis di bagian
posterior kelenjar hipofisa sernua vertebrata. Horrnon ini dilepaskan dari hipofisa
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan rangsangan pertumbuhan dan
perkernbangan.
Seperti hormon polipeptid lainnya (insulin rnisalnya), ia akan
dipecah dalarn saluran pencemaan bila ia diberikan dalam bentuk pakan dan oleh
karenanya hanya efektif bila disuntikkan.
Mengenai ha1 ini telah dibuktikan
bahwa hormon perturnbuhan unggas dan mamalia efektif untuk ikan salmon.
Sekarang penggunaan gen hormon perturnbuhan dari ikan saImon dan trout
telah memungkinkan, namun belum diketahui apakah secara aktual akan lebih
efektif daripada gen yang berasal dari mamalia (Mac Lean dan Penman, 1990).
2. Gen somatotropin releasing factor
Somaiotropin releasing factor adalah protein yang rnerangsang sel-sel
kelenjar hipofisa anterior untuk peningkatan pelepasan somatotropin. Ikan-ikan
yang direkayasa genetika dengan gen ini akan meningkatkan pelepasan hormon
alamiahnya.
Beberapa laboratorium telah mernpertimbangkan penggunaan
transfer gen ini tapi hasilnya belum diketahui.
3 . Gen metallothionein
Metallothionein adalah protein yang dapat mengikat logam berat di dalam
sel, terutstma kadnium, ternbaga, seng dan rnerkuri. Dalam sel hewan ia memiliki
dua fungsi; memasok seng untuk enzim tertentu yang memerlukan seng dan
detoksifikasi, suatu proses yang melibatkan pengikatan logam berat di dalam sel
oleh protein untuk selanjutnya diekskresikan dari sel dan organisme dalam bentuk
senyawa protein metaIlthionein melalui ginjal. Transfer gen metallothionein pada
ikan diinformasikan oleh Mac Lean dan Penman (1990).
Sampai saat ini rekayasa genetika untuk rneningkatkan kemampuan
biosintesis kolesterol dan fosfolipid pada udang belum diketahui.
111. METODE PERCOBAAN
3.1 Tempat fercobaan
Percobaan ini dilakukan di Laboratoriurn Sistem dan Teknologi Budidaya
Perairan; Laboratorium Nutrisi Ikan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas
Perikanan IPB;
serta Laboratorium Teknik Radioisotop Fakultas Kedokteran
Hewan IPB dan Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
3.2 Rancangan Percobaan
Percobaan ini menggunakan perlakuan dengan dua faktor yang masingmasing terdiri dari tiga tingkatan dosis. Faktor pertarna adalah kadar kolesterol
0.00%, 0.25%, dan 0.50%; faktor kedua, kadar lesitin 0%, 2% dan 4%.
Unit percobaan berupa tangki fiberglas bervolume 20 liter air yang
masing-masing dilengkapi dengan sistem resirkulasi, salinitas 24/',,
dan berisi lima ekor udang.
8.2 ; 0
2
suhu 30°C
Kondisi kualitas air lainnya dibuat optimal; pH 7.5-
2 5 ppm ; NH3 1 0.1 ppm (Gambar 2).
PengambiIan contoh untuk pengukuran 3~-kolesterolhepatopankreas dan
haemolim dilakukan 0, 3, 6, 9, 15 dan 24 jam setelah pemberian pakan yang
mengandung
3~-kolesterol.Berdasar jumlah perlakuan, ulangan dan kebutuhan
contoh maka diperlukan 90 unit percobaan; 27 unit (9 perlakuan; 3 ulangan)
untuk pengamatan pertumbuhan kelangsungan hidup, retensi lemak dan protein,
serta komposisi kimia tubuh dan hepatopankreas; 9 unit (9 perlakuan; 1 ulangan)
untuk pengamatan stmktur hepatopankreas dan 54 unit (9 perlakuan; 6 waktu
pengukuran) untuk pengarnatan kadar radioaktif.
Keterangan :
Zeolit
Serat tali plastik
Media budidaya
Udang percobaan
Saringan dasar
Pipa pardon 0.5 inchi
Titik aerasi air-lrytpump
8. Selang udara
9. Pipa udara dari blower
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Garnbar 2. Satu unit percobaan
3.3
Persiapan Percobaan serta Penentuan Radioaktivitas Hepatopankreas
dan Haemolim
Pascalarva udang windu diperoleh dari balai benih udang windu dengan
persyaratan khusus, yaitu berasal dari satu induk; selarna fase larva mengalami
perkembangan normal (nauplius
- zoea - mysis
- pascalarva 1
- pascalarva
15-20
berlangsung selama 25-30 hari. Pascalarva 15-20 sebanyak 2000 ekor dipelihara
di dalam satu bak khusus dengan diberi satu jenis pakan sarnpai mencapai ukuran
60
-
80 miligram. Selanjutnya setiap lima ekor udang ditempatkan ddam setiap
wadah percobaan yang telah disiapkan. Udang diadaptasikan pada kondisi
lingkungan dan pakan percobaan selama 10-20 hari. Selama masa adaptasi, pakan
diberikan 20% dari bobot tubuhhari sebanyak empat kali pemberian per hari
(pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan 22.00 WIB).
Sebelum pakan dibuat bahan penyusun pakan dianalisis secara proksimat
(Lampiran 1, 2 ,3, 4 d m 5). Adapun hasil analisisnya &sajikan pada Lampiran 6,
sedangkan komposisi pakan disajikan pada Tabel 2. Sesudah pakan dibuat
(Lampiran 7) pakan percobaan dianalisis proksimat kembali untuk mengetahui
kandungan nutrien pada setiap pakan perlakuan.
Untuk pengamatan kecepatan transportasi lemak, udang diberi makan
dengan pakan perlakuan sampai berukuran 0.5 gram per ekor. Pada hari H (saat
pemberian
pakan beradioaktif), pada pukul
mengandung 'H-kolesterol.
12.00 diberikan pakan yang
Contoh 0, 3, 6, 9, 15 dan 24 jam diambil pada pukul
12.00, 15.00, 18.00, 21.00, 03.00 dan 12.00 dengan mengambil semua udang di
setiap. perlakuan.
Berdasarkan metode yang dilakukan Harris (1989) pada
pernberian I 4 c - ~ r t e m i auntuk pascalarva udang windu, kadar radioaktivitas
3
~
-
kolesterol di sini diperlukan 66000 dprn/20 mg pakan yang mengandung 0.25%
kolesterol dan 92000 dprnI20 rng pakan dengan 0.50%kolesterol.
Tabel 2. Komposisi pakan percobaan (%) (komposisi basal;
Teshima dan Sakamoto, 1985)
Kanazawa,
Haernolim dari setiap udang dikumpulkan dengan menggunakan syringe 1
ml .
Dari setiap contoh udang hepatopankreas diambil dan ditimbang.
Selanjutnya hepatopankreas dan haemolim dimasukkan ke dalam vial liquid
scintiIlation yang sudah berisi 4 ml scintilation cocktail dan radioaktivitasnya
ditentukan dengan liquid scinrillation counter merk ALOKA.
hepatopankreas
Radioaktivitas
diukur dari bobot keseluruhan organ sedangkan radioaktivitas
haemolim berdasar 100 mg contoh.
Untuk mengetahui perubahan biomassa dan kelangsungan hidup dilakukan
pengambilan contoh setiap 2 minggu sekali selama 2 bulan. Kandungan protein
dan lemak pada awal dan akhir percobaan dianalisis untuk perhitungan retensi
protein dan lemak.
Hepatopankreas pada awal dan akhir percobaan dianalisis
untuk menentukan kadar dan komposisi kimia lemak.
Untuk analisis struktur hepatopankreas pada setiap perlakuan digunakan
sembilan unit percobaan.
Hepatopankreas dari lima ekor udang untuk setiap
perlakuan diambil guna penentuan struktur.
3.4 Penentuan Komposisi Kimia d a n Struktur Hepatopankreas
Kadar lemak dan protein hepatopankreas ditentukan dengan metode
analisis proksimat sedangkan komposisi lemak hepatopankreas ditentukan dengan
metode Takeuchi (1988).
Struktur hepatopankreas diamati secara mikroskopis
pada preparat histologis setiap contoh udang.
Contoh hepatopankreas untuk kedua penentuan ini diambil dari dua ekor
udang pada setiap perlakuan satu hari sebelum hari H.
Untuk pembuatan preparat histologis digunakan metode Mann-KopschWeigi sebagai metode untuk menunjukkan adanya kandungan lipida dalam
jaringan (Alifuddin, 1996), dengan prosedur sebagai berikut :
1. Jaringan
(t_
0.5 em) difiksasi dengan fiksatif de Mann (fiksatif de Mann
adalah merkuri khlorida jenuh dalam 50.0 ml larutan osmium tetraoksida 1%
dan 50.0 ml NaC1 0.75%) atau difiksasi dengan larutan Flemming selama 24
jam,
2. Direndam dalam air mengalir selarna 6-12 jam dm dibilas beberapa kali
dengan akuades,
3. Direndam dalam larutan asam osmium 1% pada suhu 37'C selama 4 hari dan
dicuci dengan air mengalir selama 6-1 8 jam,
4. Dilakukan dehidrasi (mulai dari 30%), clearing (paling lama semalam) d m
embedding; kemudian dibuat irisan jaringan setebal 4-6 mikron,
5. Tanpa deparafinasi, mounting sediaan dengan canada balsem.
Dengan menggunakan prosedur pewarnaan seperti tersebut di atas lipid dalam
sel/jaringan akan berwarna hitam/gelap.
3.5. Parameter Uji
3.5.1. Laju Pertumbuhan Harian (a)
keterangan :
W,
=
Bobot akhir tubuh (g)
W, = Bobot awal tubuh (g)
a
=
Laju pertumbuhan harian (% bobot badan per hari)
t
=
Masa budidaya (hari)
3.5.2. Efisiensi Pemberian Pakan (EP)
keterangan :
W,
=
Bobot akhir tubuh (g)
Wo
=
Bobot awal tub& (g)
D
F
=
Bobot ikan yang mati (g)
=
Jurnlah pakan yang dirnakan (g)
3.5.3. Retensi ProteintLemak
R = (K - I)/P x 1 00Y0 (Takeuchi, 1 988)
keterangan :
R
=
Retensi proteidlemak (dalam %)
K
=
Bobot protein/lemak tubuh pada akhir percobaan (g)
I
=
Bobot proteidlemak tubuh pada awal percobaan (g)
P
=
Bobot proteidlemak yang dimakan ikan (g)
3.5.4. Kelangsungan Hidup (KH)
KH
=
Nt/Nox 100%
keterangan :
N,
No
=
=
Jurnlah udang pada akhir percobaan
J d a h udang pada awal percobaan
3.5.5. Laju Absorbsi dan Distribusi Kolesterol
Kol Hpt (pg Kol) = RadHptKKHpt ;
KolHaem (p Kol) = RadHaem/KKHaem
keterangan :
Kol
= Kolesterol
Hpt
=
Hepatopankreas
Haem = Haemolim
Rad
=
Radioaktivitas
KK
= Koefisien Koreksi
= RadPakanlKolPakan (= cpmlpg Kol)
KKHpt
KK Haem = (RadPakan/KolPakan)x (35% bobot udang/ 100 mg)
(= c p d p g Kol)
KolPakantl = KolHpttl + KolHaem ,l
KolPakana
=
Laju Absorbsi
KolPakantl
=
- (KolHpta - KolHpttl) + KolHaema
(Kol Pakantl - KolPakanu)/(u.t~)
(= pg Ko1/15 menit)
Laju Distribusi = (KolHaem~/(~.,l)
(= pg Ko1/15 menit)
Keterangan :
Bobot total haemolim krustase kurang lebih 35 % bobot badan (Lockwood,
1989).
t2
- tl
=
15 menit; secara umum kecepatan sirkulasi haemolim krustase
berlangsung 4 kali per jam (Lockwood, 1989).
Kadar kolesterol dan fosfolipid setiap perlakuan dikoreksi sehubungan
dengan minyak hati ikan mengandung 2% kolesterol (Brigg, Jauncey and
Brown, 1988) dan lesitin hanya mengandung 65% fosfolipid (Hertrampf,
1991).
3.5.6. Model Matematik Laju Absorbsi dan Distribusi Kolesterol
Dalam percobaan ini radioaktivitas 3~-kolesterolmerupakan pengemban
dari keseluruhan kolesterol pakan sehingga hubungan fingsi aktivitas jenis dari
bahan
dan
produk
dengan
waktu
serupa
hepatopankreas atau haemolim dengan waktu.
dengan
fimgsi
radioaktivitas
Atas dasar ha1 tersebut maka
model maternatik laju absorbsi dan distribusi adalah model Iogistik fimgsi gama
(lihat butir 2.6) dengan persamaan sebagai berikut :
Y = a Exp(-c X) x(~')
di mana :
YI
= radioaktivitas (cpm)
X
= waktu Cjam).
a, b, c
= konstanta
3.5.7. Analisis Statistik
Analisis statistik yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah analisis
ragam. Untuk mengetahui kadar perlakuan yang memberikan pengaruh maksimal
digunakan analisis polinomial orthogonal.
Untuk nilai-nilai persentase parameter uji yang sebarannya tidak normal
dilakukan transfomasi akar kuadrat (Steel dan Torrie, 1980).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Laju Absorbsi dan Distribusi Kolesterol
4.1.1 Hasil
Lemak ditransport dalam bentuk gabungan dengan kolesterol dan fosfolipid.
Pada penelitian ini digunakan 3~-kolesterolyang dicampurkan dalarn pakan setiap
perlakuan sebagai indikator.
Dengan demikian kecepatan transpor lemak dapat
dilihat dari laju absorbsi 3~-kolesterolpakan ke hepatopankreas clan laju distribusi
kolesterol ke dalam haemolim. Data radioaktivitas 3~-kolesteroldi hepatopankreas
dan haemolim wtuk setiap perlakuan dari mulai 0, 3, 6, 9, 15 sampai 24 jam setelah
pemberian pakan disajikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Sedangkan gambaran pola
aliran kecepatan transpor lemak setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3, 4
dan 5.
Tabel 3. Radioaktivitas hepatopankreas untuk setiap perlakuan pada 0, 3, 6, 9, 15
dan 24 jam setelah pemberian pakan berlabel (cpm)
B (84566)
C (85234)
D (67596)
E (92078)
F (78288)
G (80445)
H (82090)
* = nilai rnaksirnum
Tabel 4.
Radioaktivitas haernolim untuk setiap perlakuan pada 0, 3, 6, 9, 15 dan
24 jam setelah pernberian pakan berlabel (cpm)
* = nilai maksimum
4.1.2 Pembahasan
Berdasarkan data radioaktivitas hepatopankreas dan haemolirn (Tabel 3 dan
Tabel 4), serta pola kecepatan tranpor lemak setiap perlakuan (Garnbar 3 s/d 5)
terlihat bahwa :
a.
Nilai
maksimal
radioaktivitas
di
hepatopankreas
pada
setiap
perlakuan
yang dicapai 3-9 jam setelah pemberian pakan berkisar dari 20356 cpm (pada
perlakuan D) sarnpai 25028 cpm pada perlakuan E. Bila dibandingkan dengan
radioaktivitas pakan yang diberikan, maka nilai tersebut berturut-turut untuk A
s/d I adalah : 36, 28, 28, 30, 27, 30, 28, 30 dan 28% dari nilai radioaktivitas
pakan. Seluruh nilai tersebut temyata berada dalam kisaran nilai radioaktivitas
hepatopankreas pada hasil percobaan
Lubzens dan Tietz (1994).
Khayat, Shenker, Funkenstein, Tom,
Percobaannya
pada induk-induk Penaeus
semisulcatus yang diberi pakan mengandung '4~-palmitatmemberikan nilai
I
30000
1400
:I 2 0 0
=, 25000
=
C
29 2000(,
-
'Z
I
i
5
2'
a
L 1000
'6
.-
15U0U
5
-
lo,,
s
SOLO
0
0
3
6
9
w-
12
IS
Om)
18
21
24
!
--
-B
-
7
SOL
600
400
200
0
0
3
6
9
12
15
WnMu (jam)
Gambar 3. Grafik radioaktivitas hepatopankreas (X)dan haemol.lim (Y) pada 0, 3, 6,
9, 15.dan 24 jam setelah pemberian pakan berlabel, pada perlakuan A, B,
dmC
18
21
24
i
Gambar 4. Grafik radioaktivitas hepatopankreas (X)d m haemol.lim (Y) pada 0, 3, 6 ,
9, 15 dan 24 jam setelah pemberian pakm berlabel, pada perlakuan D, E
dan F
I
0
0
3
6
12
15
waklu (jam)
9
18
21
24
Gambar 5 . Grafik radioaktivitas hepatopankreas (X)dan haemolim (3') pada 0, 3, 6,
9, 15 dan 24 jam setelah pemberian pakan berlabel, pada perlakuan G, H
dan l
33
radioaktivitas hepatopankreas yang berkisar 10.8
-
40.1% radioaktivitas pakan,
24 jam setelah pemberian pakan.
b.
Nilai maksimal radioaktivitas haemolim pada percobaan ini yang dicapai 3-9 jam
setelah pemberian pakan, berkisar dari 223 c p d 1 0 0 p1 @ada perlakuan A)
sarnpai 958 c p d 1 0 0 pl (pada perlakuan F) temyata juga harnpir sama dengan
nilai radioaktivitas haemolim pada percobaan Baum, Conklin, dan Chang.
(1990). Lobster Nomarus americcznus seberat 23-70 gramlekor yang diberi pakan
yang mengandung fosfolipid yang berbeda dan mengandung 3 ~ - k o l e s t e r o ~
sebanyak 2,25x 1o6 dpm temyata memberikan radioaktivitas haemolim yang
berkisar antara 193- 1144 cpm /60 p1 yang diukur 7 jam setelah pemberian pakan.
Berdasar perubahan radioaktivitas kolesterol dengan waktu, seperti disajikan
dalarn Gambar 3, 4, dan 5, nilai-nilai radioaktivitas awal dapat ditentukan. Nilai-nilai
awal ini sangat berguna untuk penentuan laju absorbsi d m distribusi kolesterol,
karena pada tahap dini peluang tingkat metabolisme 3~-kolesterolrelatif kecil. Itu
berarti radioaktivitas yang dicacah dapat dianggap masih tetap berasal dari
3 ~ - k o ~ e s t e rutuh
o l baik yang berada di hepatopankreas ataupun haemolim.
Data radioaktivitas di hepatopankreas, haemolim dan pakan setiap selang
waktu 15 menit mulai dari 0.5 jam sampai 3 jam setelah pemberian pakan disajikan
dalam Larnpiran 9.
Data ini dipakai untuk menghitung laju absorbsi dan laju
distribusi. Laju absorbsi koiesterol disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Laju absorbsi kolesterol (pg/15 menit) untuk setiap perlakuan
Data Tabel 5 memperlihatkan bahwa :
a.
Perlakuan dengan fosfolipid lebih tinggi pada kadar kolesterol yang harnpir sama
menghasilkan laju absorbsi yang relatif lebih rendah.
Perlakuan A > B > C;
D>E>F; G>H>I,
b.
Perlakuan dengan kadar kolesterol yang lebih tinggi pada kadar fosfolipid yang
sama menghasilkan laju absorbsi yang lebih tinggi.
Perlakuan G > D > A ;
H>F>B; I>F>C.
Kurva respon permukaan antara kadar kolesteroI, fosfolipid dan laju absorbsi
(analisis data pada Larnpiran 10) disajikan daIam Gambar 6. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa laju absorbsi tertinggi dihasilkan oIeh pakan dengan kadar koiesterol
0.69% dan fosfolipid 0.08% atau perlakuan G (perhitungan pada Larnpiran 11).
Sedangkan laju absorbsi terendah terjadi pada pakan dengan kadar kolesterol 0.12%
dan fosfolipid 2.64% (perlakuan C).
Yz
-
6.040 + 228.45Kol + 35.86Fos
- 85.23KolFor + 1 1 3 . 7 6 ~ o l F o -s ~13.74Fos2
R2 = 0.94
Yz = Laju absorbsi (gg kolcsterol/lS menit), Kol
---
/'
/
-
Kofesterol (%), Fos = Fosfotipid (%)
I
Gambar 6. Kurva respon laju absorbsi kolesterol terhadap kolesterol dan fosfolipid
pakan pada 1 jam pertama setelah pemberian pakan berlabel.
Laju distribusi kolesterol, dari hepatopankreas ke seluruh tubuh melalui
haemolim, disajikan dalarn Tabel 6.
Tabel 6. Laju distribusi kolesterol (pg/l5 menit) untuk setiap perlakuan
Data Tabel 6 menunjukkan bahwa :
a.
Laju distribusi yang tinggi dan dicapai dalam waktu singkat terjadi pada
perlakuan dengan kadar kolesterol dan fosfolipid medium atau perlakuan E,
b.
Laju distribusi yang tinggi namun inasa pencapaian laju maksimalnya lambat
terjadi pada kadar kolesterol tinggi (perlakuan G, H dan I).
Sehubungan dengan laju distribusi kolesterol yang berlangsung tinggi pada
tahap awal dan nilai kecepatan sangat penting karena belum terganggu proses
metabolisme koleterol, kuwa respon laju distribusi (analisis data pada Lampiran 11)
yang disajikan dalarn Gambar 7 memberi informasi sebagai berikut :
0.5
Fosfolipid (%)
Gambar 7. Kurva respon laju distribusi kolesterol terhadap kolesterol dan fosfolipid
pakan pada I jam pertama :setelahpemberian pakan berlabel.
a.
Baik kolesterol ataupun fosfolipid pakan mernberikan pengaruh pada laju
distribusi dalam fimgsi kuadratik, namun efek kolesterol terlihat lebih kuat daripada fosfolipid,
b.
Laju distribusi kolesterol tertinggi dicapai pada kolesteroI pakan 0.47% dan
fosfolipid 0.75% (Lampiran 11).
Gabungan dari laju absorbsi dan distribusi kolesterol yang disajikan dalam
bentuk perbandingan antara kolesterol yang didistribusi dengan kolesterol yang
diabsorbsi disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan antara kolesterol ,yang didistribusi dan yang diabsorbsi per 15
menit mulai dari 0.5 sampai 3 jam untuk setiap perlakuan
Data Tabel 7 menunjukkan bahwa :
Laju distribusi yang dinyatakan dalam persentase laju absorbsi, tertinggi dan
tercepat terjadi pada perlakuan I (0.61% kolesterol dan 2.64% fosfolipid), diikuti E
(0.41% kolesterol dan 1.36% fosfolipid) dan F (0.37% kolesterol dan 2.64%
fosfolipid); narnun demikian, besaran laju absorsi pada perlakuan E dan F temyata
jauh lebih rendah daripada perlakuan E, sehingga bila dilihat nilai mutlaknya
perlakuan E lebih baik.
Kadar fosfolipid yang rendah (0.08%) rnengakibatkan
perbandingan laju distribusifabsorbsi y ang relatif rendah (4-1 1%).
Dengan inempertimbangkan besaran laju absorbsi (Gambar 6), laju distribusi
(Garnbar 7) dan perbandingan besaran distribusi/absorbsi (Tabel 7) dapat diketahui
bahwa :
a.
Laju absorbsi tertinggi (210 pg kolesterolfl5 menit) yang terjadi pada pakan
berkadar kolesterol 0.69% dan fosfolipid 0.08%
ternyata memberikan laju
distribusi 10 pg kolesterol/l Smenit atau ratio distribusi/absorbsi = 4.8%,
b.
fada tingkat laju distribusi tertinggi (16 pg kolesterolll5menit) pada pakan
dengan kolesterol 0.47%dan fosfc~lipid0.75% ternyata laju absorbsinya = 122 pg
koIesterol/l5 menit atau ratio distribusi/absorbsi
c.
=
13. I%,
Atas dasar ha1 itu pakan yang akan memberikan laju absorsi dan distribusi terbaik
adalah yang mengandung kolesterol 0.47% dan fosfolipid 0.75%.
Laju absorbsi kolesterol yang tinggi dan cepat yang tejadi pada perlakuan
dengan kadar kolesterol tinggi menunjukkan bahwa laju absorbsi tidak dipengaruhi
oleh keberadaadketiadaan fosfolipid.
Itu menunjukkan bahwa proses masuknya
lemak/kolesterol ke hapatopankreas udang windu tidak melibatkan khilomikron.
Berbeda dengan absorbsi, laju distribusi dipengaruhi oleh keberadaan fosfololipid.
Jadi mekanisme absorbsi dan distribusi kolesteroUlemak pada tokolan udang windu
sama seperti mekanisme absorbsi dan transportasi lemak pada lobster (Homarus sp.)
seperti telah dilaporkan D'Abramo et al(1982).
Besarnya perbedaan nilai laju absorbsi dan laju distribusi menunjukkan bukti
heprttopankreas adalah pool kolesterol.
Relatif kecilnya nilai laju distribusi juga
bermakna bahwa kadar kolesterol lipoprotein plasma rendah. Hal tersebut memberi
indikasi bahwa transport lemak pada udang windu tidak dilakukan oleh LDL.
Teshima dan Kanazawa (1986~)rnenyatakan bahwa transport lemak pada P.
japonicus dilaksanakan HDL.
Khayat.. et a l (1994) juga menyimpulkan bahwa
transport lemak pada P. sernisulcatu.~ dilaksanakan HDL, karena lipoprotein
plasmanya temyata memiliki densitas 1.22 g/rnl.
4.2 Komposisi Kimia Hepatopankreas
4.2.1
Hasil
Kadar lemak total hepatopankreas untuk setiap perlakuan disajikan dalarn
Tabel 8, sedangkan kadar lemak polar dan Iemrtk netralnya dalam Tabel 9 dan Tabel
10.
Tabel 8.
Kadar lemak total, lernak polar dan lemak netral (%) hepatopankreas untuk
setiap perlakuan
4.2.2 Pembahasan
Hasil analisis kirnia lemak hepatopankreas yang terdiri dari lemak total, lemak
polar dan lemak netral untuk setiap perlakuan (Tabel 8) memberikan kisaran nilai
yang temyata
hampir sama dengan nilai-nilai
yang diperoleh Chen (1993).
Komparasi nilai-nilai tersebut disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9.
Kadar lemak total, lemak polar dan lemak netral (%) hepatopankreas
udang windu sebelum dan sesudah perlakuan pada penelitian ini dan
Chen ( 1993).
Lemak hepatopankreas
Lemak total :
Awal
Setelah perlakuan
Lemak polar :
Awal
Setelah perlakuan
Lemak netral :
AwaI
Setelah perlakuan
PeneIitian ini
Chen (1993)
'7.89
10.34-14.66
7.99
6.72-15.30
37.5
12.0-28.3
27.1
21.5-33.5
62.5
71.7-88.0
72.7
64.7-77.2
Secara urnurn dapat dikemukkan bahwa kadar lemak total hepatopankreas
naik dari 7.89% pada saat awal menjadi 10.34-14.66% setelah pemberian pakan
perlakuan selama 56 hari. Namun demikian besarnya kenaikan tersebut tidak sarna
untuk setiap perlakuan. Data Tabel 8 menunjukkan kecenderungan bahwa kenaikan
lemak total hepatopankreas terutama terjadi pada perlakuan-perlakuan yang defisien
fosfolipid yaitu perlakuan A, D dan G. Komposisi kelas lemak yang menyusun lemak
total hepatopankreas tersebut ternyata berbeda.
Juga terlihat pada Tabel 8 tadi
kecenderungan umurn dari kadar lemak polar pada perlakuan A, D dan G tersebut
lebih rendah daripada
perlakuan lainnya yang cukup fosfolipid.
Keadaan yang
sebaliknya berlaku untuk kadar lemak netral dimana perlakuan A, D dan G relatif
lebih tinggi dari perlakuan lainnya.
Tinggi atau rendahnya kandungan lernak total hepatopankreas dan tinggi atau
rendahnya lemak polar hepatopankreas diduga ada hubungannya dengan kelancaran
transportasi lemak yang tercermin dari laju absorbsi dan distribusi kolesterol seperti
telah dibahas dalam butir 4.1.2.
Absorbsi kolesterol/lemak tidak dipengaruhi oleh
ketiadaan fosofolipid, namun distribusinya dipengaruhi fosfolipid. Perlakuan A, D,
dan G rnengandung fosfolipid yang sangat rendah, masing-masing 0,08%; di lain
pihak perlakuan A, D, G mengandung kolesterol relatif lebih banyak (kolesterol A >
B > C ;D > E > F ; G > H > I).
Dengan dernikian absorbsi pada perlakuan A, D dan
G praktis bermakna hanya absorbsi lernak netral (termasuk didalamnya kolesterol)
karena pakan tersebut defisien fosfolipid.
Keadaan tersebut yang diikuti dengan
distribusi kolesteroVlemak yang rendah karena ketiadaan fosfolipid di hepatopankreas
diduga akan mengakibatkan tertimbunnya lemak netral di hepatopankreas.
4.3 Struktur Hepatopankreas
4.3.1
Hasil
Hasil pengamatan preparat histologis bagian dorsal dan posterior dari apical
hepatopancreatic tubule dan medial hepatopancreatic tubule untuk setiap perlakuan
disajikandalam Gambar 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 16.
4.3.2
Pembahasan
Struktur hepatopankreas dari setiap perlakuan disajikan dalam Gambar 8
sampai dengan Garnbar 16.
Gambar tersebut memperlihatkan perbedaan pengaruh
perlakuan terhadap banyak atau sedikitnya butiran lemak yang dideposisi di
hepatopankreas. Lemak dalam sel atau jaringan hepatopankreas tersebut ditunjukkan
dengan warna hitamlgelap.
Pembesaran 100 kali yang ditujukkan untuk memperoleh gambaran dari
keadaan sel R (sel yang berfungsi sebagai penyimpan nutrien memperlihatkan bahwa
secara urnurn di semua perlakuan lemak (warna gelap) cukup dominan mengisi lumen
dimana sel-sel R berada. Lumen ymig mengelilingi rongga lumen yang berbentuk
seperti bintang benvarna putih terlihat berwarna hitam pekat sampai kuning
kehitaman. Perbedaan wama tersebut menjadi lebih intens/nyata pada pembesaran
400 kali.
Pembeda utama dari perbedaan gelap dan terang pada pembesaran ini
adalah terlihatnya sel R dalam lumen. Makin banyak jumlah sel R yang tampak,
makin sedikit jumlah lemak. Gambar dengan pembesaran 1000 kali, memperlihatkan
perbedaan penutupan lumen dan sel R serta batas antar lumen oleh lemak.
Keseluruhan hasil evaluasi Gambar tersebut disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah sel R*, batas antar lurnen d m warna lumen hepatopanheas
untuk setiap perlakuan.
Keterangan :
*
jurnlah sel pada satu lumen @ada pembesaran 400 x)
** nilai 4 untuk 100% batas tampak
nilai 3 unruk 7 5 9 9 % batas tampak
nilai 2 untuk 50-74% batas tampak
nilai I untuk < 50% batas tarnpak
*** kuat cahaya sinar kuning (730 Iux) yang dipantulkan permukaan gambar;
makin kecil nilai makin gelap gambar/makin banyak bagian yang berlemak.
Intensitas sinar diukur dengan Lux Meter - DX 100, Takemura Electric
Works Ltd.
Data Tabel I0 memberi gambaran bahwa periakuan-perlakuan yang defisien
kolesterol dan fosfolipid (A), defisien kolesterol (B dan C) serta defisien fosfolipid (D
dan G) struktur hepatopankreasnya lebih banyak tertutupi lemak. Hal itu ditunjukkan
dengan relatif sedikitnya jurnlah sel yang tampak dan kecilnya batas antar lumen yang
jelas.
Perlakuan
E, F dan H memberi
garnbaran
hepatopankreasnya relatif lebih sedikit tertutup lemak.
terbaik
atau
struktur
4.4 Kinerja Fenomena Pertumbuhrin
4.4.1.
Laju Pertumbuhan Harian
4.4.1.1
Hasil
Perubahan bobot rata-rata udang selama percobaan disajikan pada Lampiran
13 sedangkan grafiknya dapat dilihat pada Garnbar 17.
1200
,
bobot rata-rata(mg)
800
600
400
H
zoo
0
Minggu 0
Gambar 17.
Minggu II
Minggu lV
Minggu VI
Minggu Vlll
Perubahan bobot udarlg rata-rata pada setiap perlakuan selama
percobaan.
Analisis ragam (Lampiran
12) rnernperlihatkan bahwa kolesterol dan
fosfolipid rnemberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan harian (P <
0,051.
4.4.1.2
Pembahasan
Kurva respon ant-
perlakuan kolesterol pakan dengan laju pertumbuhan
harian (Gambar 18) menunjukkan hubungan linier (analisis data pada Lampiran 13)
dengan persamaan gama sebagai berikut :
Y4 = 4.47 + 0.99X
dimana :
Y4
X
=
=
laju pertumbuhan harian (dalam % bobot badan per hari), dan
kadar kolesterol pakan (dalam %).
Gambar 18. Kurva respon pertumbuhan terhadap kolesterol pakan
0
0.5
I
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Lesitin pakan (%)
Garnbar 19. Kurva respon pertumbuhan terhadap lesitin pakan.
Itu
berarti perturnbuhan terhaik pada percobaan ini dicapai pada kadar
kolesterol 0.69% dan kadar kolesterol > 0.69% cenderung akan berpengaruh iebih
baik lagi.
Berbed
1.1 Latar Belakang
Komisi Perikanan F A 0 (1989) mengatakan bahwa akuakultur di masa
datang akan merniliki karakteristik sebagai berikut: ~ l a komoditasnya
i
relatif
mahal; produknya akan bersaing dengan bahan makanan yang relatif lux lainnya,
teknologi budidaya akan semakin hemat lahan dan air serta memperhatikan
darnpak limbahnya terhadap lingkungan bahkan juga estetika.
Berdasarkan
kriteria F A 0 tersebut, budidaya udang windu yang telah berlangsung di Indonesia
selarna kurang lebih satu setengah dekade ini jelas merupakan kegiatan akuakultur
yang tepat baik untuk masa sekarang ataupun masa datang.
Udang
merupakan mata
dagangan
dilaksanakan di berbagai negara di dunia.
kemampuan
daya
internasional
dan
budidayanya
Sehubungan dengan ha1 itu maka
saing budidaya udang Indonesia perlu
teas
menerus
ditingkatkan. Untuk itu efisiensi dalam proses produksi perlu rnendapat perhatian,
khususnya pakan karena biaya pakan merupakan komponen terbesar.
Pakan buatan berperan penting bagi perkembangan budidaya udang windu,
Penaeus monodon Fab. Di Indonesia penggunaannya telah mencapai 8800 ton
senilai lebih dari 176 milyar rupiah pada tahun 1990 (Tim Peneliti Pakan Udang,
Faperikan IPB, 1991). Walaupun pakan telah diproduksi secara masal oleh
industri, penelitian yang bersifat rnendasar terutarna tentang nutrisi kuantitatif dari
nutrien-nutrien yang khas dibutuhkan udang tetap sangat diperlukan, karena empat
ha1 berikut :
Pertama : Perkembangan nutrisi
kuantitatif
dari zat-zat
pakan yang khas
dibutuhkan udang, yakni kolesterol dan fosfolipid, b a r - diketahui
beberapa tahun terakhir dan itu pun b a r - pada larva dan tokolon udang
Penaeus japonicus dan P . penicillatus (Teshima dan Kanazawa, 1988;
Chen d m J e m , 1991),
Kedua
: Daging dan hepatopankreas udang windu hasil budidaya di Indonesia
temyata mengandung fosfolipid yang lebih rendah daripada udang
alam yang hidup di laut Jawa (Leary dan Mathews, 1990),
Ketiga
: Kolesterol dan fosfolipid rnerupakan kornponen bahan pakan yang
relatif rnahal sehingga ketepatan jumlah yang dibutuhkan udang akan
sangat menentukan efisensi ekonomi,
Keempat : Altematif penanggulangan rnasalah kekurangmampuan mensintesis
kolesterol dan fosfolipid, rnelalui cara rekayasa genetika rnasih belum
rnemungkinkan. Informasi rekayasa genetika pada udang sampai saat
ini masih langka.
Untuk mendapatkan informasi mendasar tentang kebutuhan udang windu
akan kolesterol dan fosfolipid maka pada penelitian ini digunakan pakan yang
mengandung kombinasi 3 (tiga) tingkatan kolesterol (0.00, 0.25 dan 0.50%) dan 3
(tiga) tingkatan lesitin (0, 2 dan 4%).
Kadar kolesterol ditentukan berdasar kebutuhan udang P. japonicus
berukuran 0.25 gram adalah 0.5% (Teshima dan Kanazawa, 1988).
Pada
percobaan ini udang yang digunakan berukuran 0.5 gram, sedangkan Mashur
(1988) melaporkan bahwa pascalarva udang windu tumbuh terbaik pada pakan
dengan kadar kolesterol 0.5%.
Sedangkan kadar lesitin ditentukan berdasar
kisaran kebutuhan lesitin bagi larva udang P. japonicus antara 1%
(Kanazawa,
dan 3.5%
1985).
1.2 Perurnusan Masalah
1.2.1
Transportasi Lemak
Kolesterol dan fosfolipid berperan untuk transportasi lernak sebagai
komponen lipoprotein plasma, baik dalarn bentuk VLDL (very low density
lipoprotein), LDL (low densiry lipoprotein) dan HDL (high density lipoprotein),
serta khilomikron.
Karena udang rnemiliki sistem peredaran darah terbuka dan
hepatopankreas praktis rnenyelimuti "midgut", kelancaran transportasi lemak
dapat dilihat dari se1isih kadar kolesterol di hepatopankreas dan plasma darah
setiap selang waktu tertentu setelah udang mengkonsumsi pakan.
Selanjutnya
karena udang tidak rnemiliki kemampuan mensintesis kolesterol dan kurang
mampu mensintesis fosfolipid, maka ketersediaan kedua zat tersebut dalam pakan
akan menentukan kelancaran transportasi lemak.
Berapa kadar fosfolipid dan
kolesterol yang seimbang, yang dapat menjarnin kelancaran transportasi lemak
bagi udang windu pada masa budidaya, belum diketahui.
1.2.2 Komposisi Kimia Hepatopankreas
Kolesterol dan fosfolipid dikeluarkan dari hepatopankreas dalam bentuk
VLDL. Berdasarkan ha1 itu, maka hambatan pelepasan kolesterol tersebut dapat
pula
berarti
hambatan
sekresi VLDL.
Riis
(1983) rnenyatakan bahwa
keseimbangan antara kecepatan esterifikasi dan sekresi VLDL akan menentukan
tejadi tidaknya penimbunan lemak hati. Sehubungan dengan ha1 itu, komposisi
kimia terutama kadar lemak d m air hepatopankreas perlu diketahui. Seberapa
jauh pengaruh kadar koIesteroI dan fosfolipid pakan terhadap komposisi kimia
tersebut.
1.2.3 Struktur Hepatopankreas
Sehubungan dengan adanya kemungkinan penimbunan lemak hati, maka
kadar kolesterol dan fosfolipid pakan diduga juga akan mempengaruhi struktur
hepatopankreas. Vogt, Storch, Quinito, dan Pascual (1985) menyatakan bahwa
hepatopankreas dapat digunakan sebagai organ monitor penilaian nutrisi pakan
udang Penaeus monodon. Dari 4 jenis sel hepatopankreas (sel R, B, F dan E), sel
R diketahui paling sensitif terhadap perubahan komposisi pakan. Seberapa besar
pengaruh kadar kolesterol dan fosfolipid pakan terhadap pembahan struktur
terutama sel R hepatopankreas udang windu belurn diketahui.
1.3 Tujuan Percobaan
1.
Mengetahui pengaruh kadar kolesterol dan fosfolipid dalarn pakan yang
mengandung kadar lemak tertentu terhadap kelancaran transportasi lernak
pada udang windu berukuran 0.3
2.
-
1.0 gram.
Mengetahui pengaruh kadar kolesterol dan fosfolipid pakan terhadap
komposisi kimia dan struktur hepatopankreas udang windu berukuran 0.3
1.0 gram.
-
3.
Mengetahui pengaruh kadar kolesterol dan fosfolipid pakan terhadap laju
pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein dan lemak serta
kelangsungan hidup udang windu berukuran 0.3 - 1.0 gram.
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur dan Karakteristik Kolesterol dan Fosfolipid
Kolesterol adalah salah satu sterol yaitu steroid alkohol yang merupakan
steroid yang paling banyak. Steroid dikelompokkan sebagai sejenis lipid karena ia
larut dalam lemak, tetapi ia tidak tersabunkan karena ia tidak mengandung asam
lemak.
Seperti diketahui, lipid pada urnurnnya terhidrolisis oleh pemanasan
dengan alkali, menghasilkan sabun dari komponen asarn lemaknya. Kolesterol
sebagai salah satu jenis steroid, merupakan molekul kompleks dengan empat
cincin yang saling bergabung sebagai intisiklik. Molekul kolesterol mempunyai
gugus polar pada bagian kepalanya, yaitu gugus hidroksil pada posisi 3 dan bagian
rnolekul lain merupakan struktur non-polar yang relatif kaku (Harper, Rodwell,
dan Mayer, 1979).
Fosfolipid adalah golongan lipida yang mengandung fosfor dalam bentuk
gugus asam fosfat. Fosfolipid dikenal sebagai lipida polar karena memiliki satu
atau lebih "kepala" dengan polaritas tinggi, selain ekor hidrokarbomya. Seperti
diketahui lipida pada umumnya (triasil gliserol rnisalnya) merupakan molekul
hidrofobik non-polar, karena molekul ini tidak mengandung muatan listrik atau
gugus fungsional dengan polaritas tinggi.
Fosfolipid utama yang ditemukan pada membran adalah fosfogliserida
yang dibedakan berdasar gugus alkohol pada "kepala" yang bersifat polar.
Fosfogliserida mengandung dua ekor non-polar, yang merupakan asam lemak
berantai panjang (urnurnnya 16 atau 18 atom karbon).
Satu dari asam lemak
tersebut bersifat jenuh d m satunya lagi tidak jenuh. Asarn fosfatitat, yang tidak
memiliki kepala alkohol, merupakan senyawa induk fosfogliserida. Fosfogliserida
yang paling banyak adalah fosfatidil etanolamin yang mengandung alkohol
etanolamin dan fosfatikholin dengan &oh01
fosfatigliserin
dengan
asarn
kholin.
hidroksiaminserin
Selain itu dikenal pula
pada
kepalanya
dan
fosfatidilinositol yang mengandung alkohol siklikinositol (Harper er al. 1979).
Semua fosfogliserida bemuatan negatif pada gugus fosfatnya pada pH 7.
Selain itu gugus alkohol pada kepala juga dapat memberikan satu atau lebih
muatan listrik pada pH mendekati 7. Senyawa fosfogliserida dengan demikian
rnemiliki dua gugus yang sangat berbeda; gugus hidrofilik pada kepala yang
bersifat polar dan ekor yang hidrofolik yang bersifat non-polar. Keadaan seperti
itu dikenal sebagai senyawa bersifat ampifatik.
2.2 Peran Kotesterol dan Fosfolipid Secara Umum
1. Sebagai komponen lipoprotein plasma dan khilomikron
Di dalam plasma darah terdapat tiga kelas utama plasma lipoprotein
(VLDL = very low densiv lipoprotein; LDL = low densi& lipoprotein; HDL =
high densitiy lipoprotein), yang mengandung 50-90% Iipida (Harper et al., 1979).
Plasma lipoprotein terdiri dari komponen-komponen protein, triasilgliserida,
fosfolipid dan kolesteroi (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi kimia plasma lipoprotein
Dalarn plasma lipoprotein ini terlihat bahwa dengan karakteristik molekulmolekul penyusunnya, peran plasma lipoprotein sebagai pentransport lipida bisa
terselenggara.
Triasigliserol non-polar dan kolesterol tersembunyi di dalam
lapisan sebelah luar dari bagian hidrofilik rantai polipeptida yang larut di daIarn
air dan bagian kepala rnolekul trigliserida polar yang bersifat hidrofilik. Kulit
sebelah luar lipoprotein yang bersifat menghadap ke air sehingga menjadikan
struktur yang kaya akan lipida ini larut di dalarn air. Dengan mekanisme seperti
itulah plasma lipoprotein berperan untuk transport lipida rnelalui darah dari usus
halus menuju depot lemak dan jaringan (Lehninger, 1982).
2 . Sebagai komponen membran
Semua mernbran, baik membran sebelah luar atau membran plasma dari
banyak sel, ataupun membran organel seperti mitokondria dan kloroplast,
mengandung lipida polar.
Besar kandungan tersebut berkisar antara 20-80%
rnassa mernbran, bergantung kepada jenis membran; sisanya terutama merupakan
protein.
Bagian lipida membran tersusun atas suatu carnpuran berbagai jenis
lipida polar
atau amfipatik; membran sel hewan terutama mengandung
fosfogliserida dan spingolipida dalam jurnlah yang sedikit. Triasilgliserol terdapat
hanya- dalarn jumlah sangat kecil di dalarn rnembran.
Beberapa sel membran
hewan, terutama membran plasma sebelah luar, mengandung kolesterol dan ester
dalam jumlah yang cukup banyak. Kolesterol merupakan komponen membran
plasma yang penting, selain itu juga berperan sebagai prekursor banyak senyawa
steroid.
Semua lipida polar memiliki kepala bersifat polar dan bennuatan listrik,
serta ekor hidrokarbon yang bersifat non polar.
Lipida ini secara spontan
membentuk misel, lapisan tunggal dan lapisan ganda, di mana strukturnya
distabilkan oleh interaksi hidrofobik.
Lapisan ganda lipida polar berfhngsi
sebagai inti struktural dari membran sel, yang juga mengandung berbagai jenis
protein, beberapa protein ekstrinsik pada permukaan membran, dan yang lain
protein intrinsik pada bagian daIam struktur membran.
2.3 Nilai Nutrisi Kolesterol dan FosfoIipid bagi Krustase
Baik untuk ikan ataupun krustase, asarn lemak berperan penting sebagai
sumber energi dan juga merupakan nutrien yang esensial (Kanazawa, 1985).
Berlainan dengan hewan air lainnya, udang penaeid dan lobster (Homarus
americanus) memiliki kebutuhan yang unik akan sterol dan fosfolipid. Hewan
pada umumnya marnpu mensintesis sterol dari asetat, tapi krustase tidak demikian
(Castell, Mason dan Budson, 1974). Mamalia dapat mensintesis fosfolipid dari
1,2 digliserida dan membentuk cytidine-5-diphosphate choline (CDP-choline) tapi
kemampuan krustase untuk biosintesis fosfolipid sangat terbatas.
Tokolan udang yang pakannya diberi sterol kelangsungan hidupnya cukup
tinggi namun pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan udang yang
pakannya diberi kolesterol. Teshima dan Kanazawa (1986=)mengatakan bahwa
kolesterol adalah sterol yang paling efektif untuk udang dan bernilai nutrisi tinggi
karena memiliki daya rangsang "feed intake".
Teshima dan Kanazawa (1986a) menyatakan bahwa komposisi lemak
hepatopankreas, haemolim dan otot larva udang yang ransumnya mengandung
cukup fosfolipid ternyata berbeda dengan udang yang ransumnya kekurangan
fosfolipid.
Kebutuhan udang akan fosfolipid diduga berhubungan dengan
perannya untuk rnemperlancar transportasi lemak seperti trigliserida dan kolesterol
dalam tubuh melalui haemolim.
Selanjutnya diasumsikan bahwa ransum yang
kekurangan fosfolipid akan mengakibatkan transport lemak tidak mencukupi
kebutuhan dan akibatnya pertumbuhan dan kelangsungan hidup menurun.
Dikemukakan pula bahwa nilai retensi lemak dalam tubuh khususnya kolesterol
sangat m e n m bila ransum udang kekurangan fosfolipid.
D'Abramo, Bordner dan Conklin (1982) telah meneliti hubungan antara
fospatidilkholin
ransum d m kolesterol serum pada lobster, Homarus sp.
Diketahui bahwa ketiadaan fospatidilkholin kedelai ransum murni yang diberikan
pada larva lobster telah mengakibatkan p e n m a n konsentrasi kolesterol dan
fosfolipid yang cukup besar daIam serum.
fospatidilinositol
digunakan
sebagai
Bila fosfolipid telur, sephalin dan
pengganti
fospatidilkhoIin
konsentrasi kolesterol dan fosfolipid dalam serum tetap rendah.
kedelai,
Konsentrasi
kolesterol dan fosfolipid dalarn serum memiliki keterkaitan yang tinggi. Terdapat
indikasi bahwa absorpsi kolesterol oleh usus tidak terhambat oleh ketiadaan
fospatidilkholin
atau
keberadaan fosfolipid
pengganti.
Diduga molekul
fospatidiikholin merupakan komponen penting lipoprotein yang mentransfer
kolesterol dari hepatopankreas ke haemolim.
Teshima dan Kanazawa (1986~)menyatakan bahwa mekanisme transport
lemak pada P.japonicus dan spesies udang lainnya berbeda dari mekanisme pada
mamalia.
Transport lemak pada udang terutarna dilaksanakan oleh fosfolipid
sebagai kornponen HDL. Pada mamalia lemak ditransport melalui saluran limpha
(lymph-duct) sebagai khilomikron; pada udang fosfolipid diperlukan secara khas
untuk transport asam lemak dalam haemolim.
2.4
Kemampuan Biosintesis dan Kebutuhan Udang akan Kolesterol dan
Fosfolipid
Ketidakmampuan udang-udangan (Crustacea) untuk mensintesis kolesterol
telah banyak diteliti.
Van den Oord (1964) menyatakan bahwa jenis kepiting
(Cancer pagurus L.) tidak memiliki kemampuan mensintesis kolesterol. Hal yang
sama untuk
kepiting Asracus asracus diteliti oleh Zandee (1967). Selanjutnya
Teshima, Kanazawa, Saada, dan Kawazaki (1982) dengan menggunakan teknik
perunutan radio aktif '4~-asetatdan 14C-mevalonat juga mernbuktikan bahwa
tidak terbentuk '4~-kolesterolpada tubuh udang P. japonicus.
Hal tersebut
menunjukkan bahwa udang P. japonicus juga tidak mempunyai kemarnpuan
mensintesis kolesterol.
Sebagai akibat ketidakrnampuan mensintesis kolesterol tersebut maka
udang memerlukan kolesterol dalarn pakannya. Dari berbagai sterol yang diteliti,
temyata kolesterol merupakan sterol yang menghasilkan pertumbuhan dan
kelangsungan
hidup
terbaik
(Teshima,
Kanazawa,
dan
Saada,.
1983).
Pertumbuhan d m kelangsungan hidup terbaik larva P.japonicus dihasilkan oleh
pakan yang mengandung kolesterol 1% (Kanazawa, 1985); sedangkan untuk
udang P. japonicus berukuran 0.25 gram adalah 0.5% (Teshima dan Kanazawa,
1988).
Keterbatasan kemampuan udang-udangan wtuk mensintesis fosfolipid
telah diteliti pada lobster, Homarus americanus oleh Shieh (1969). Sedangkan
Kanazawa ( 1 9 8 5 ) rnenyatakan bahwa kemampuan udang P. japonicus untuk
rnensintesis fosfolipid tidak dapat mengimbangi kebutuham metabolismenya.
Dari berbagai fosfolipid yang diteliti, lesitin dari kedelai berpengaruh terbaik.
Kebutuhan lesitin untuk larva P. japonicus berkisar antara 1%
sampai 3.5%
(Kanazawa, 1985).
Dengan menggunakan teknik perunutan radio aktif '4~-kolesterolyang
diberikan bersarna lesitin daiam pakan udang, Teshima dan Kanazawa ( 1 9 8 8 )
menunjukkan peran fosfolipid sebagai berikut : Fosfolipid mempercepat aiau
rnernperIancar transport kolesterol yang berasal dari pakan ke hepatopankreas.
Fosfolipid juga berperan dalam pembentukan ester koleteril di hepatopankreas dan
mernpercepat pengeluaran kolesterol hepatopankreas ke haemolim.
Selain itu
fosfoIipid diduga juga dapat meningkatkan aktivitas LCAT (Iesitin kolesterol asil
transferase) dalam hemolirn. LCAT adalah enzim yang mengkatalisis pemindahan
gugus asil dari posisi P-fosfotidilkolin ke gugus 3P-hidroksi dari kolesterol.
2.5 Pencernaan pada Udang
2.5.1
Saluran pencernaan
Saluran pencernaan udang praktis merupakan tabung yang relatif lurus,
sangat jarang ditemui adanya kelokan-kelokan usus. Saluran pencernaan terdiri
dari 3 bagian : usus bagian depan Cforegut), bagian tengah (midgut) dan bagian
belakang (hindgut). Usus bagian depan dan belakang berasal dari ektoderm dan
kedua dindingnya dilapisi khitin. Berbeda dengan itu usus bagian tengah berasal
dari
endoderm dan dindingnya dilapisis khitin (Vonk, 1960 dan Lockwood,
1989).
Menurut Lockwood (1989) usus depan terdiri dari oesephagus, cardiac
stomach d m pyloric stomach.
Cardiac stomach berbentuk kantong d m
dindingnya dilapisi khitin yang tebal sehingga bagian ini berfungsi menggerus
pakan. Pakan yang dapat melewati cardiac stomach masuk ke pyZoric stomach,
yang berupa klep penyaring, sehingga pakan yang masuk ke midgut hanyalah
pakan yang sudah halus.
Sekresi
enzim-enzirn
pencemaan
dari
hepatopankreas
melalui
hepatopancreatic duct masuk ke ujung anterior midgut berbatasan denganforegut.
Enzim-enzim dari situ dapat juga masuk ke cardiac stomach dan pencernaan
mulai terjadi. Walaupun pencernaan mulai terjadi di foregut absorbsi tidak terjadi
di sini, absorbsi hanya terjadi di hepatopankreas dan midgut. Sama seperti di
foregut, di hindgut pun tidak terjadi absorbsi. Fungsi nyata dari hindgut adalah
pembuangan. Di sini terdapat 6 buah tonjolan yang mengecil ke arah belakang
dan mampu berkontraksi kuat membentuk feses seperti pellet.
2.5.2
Hepatopankreas
Hepatopankreas
mempunyai
peranan
sangat penting
dalarn
sistem
pencemaan udang. Hepatopankreas merupakan satu organ yang memerankan 2
h n g s i organ, hepar dan pankreas pada hewan tingkat tinggi.
Vonk (1960) menyatakan bahwa ha1 yang jeIas rnernbedakan pencernaan
crustacea dengan vertebrata adalah adanya enzim-enzim yang hanya disekresikan
olah satu organ yaitu kelenjar hepatopankreas.
Dinyatakan pula bahwa
metabolisme crustacea sangat ditentukan oleh peran sentral hepatopankreas.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan informasi-informasi sebagai berikut :
-
Hepatopankreas
mensekreksikan
enzim-enzim
tryptic
proteolitic,
karbohidrase, lipase dan bahkan khitinase (Lockwood, 1989).
- Hepatopankreas dan midgut merupakan ternpat absorbsi zat-zat pakan
(Vonk, 1960 dan Lockwood, 1989).
-
Hepatopankreas melaksanakan proses-proses
metabolisrne karbohidrat
(glikogenesis dan glikolisis), metabolisme protein (glukoneogenesis) dan
rnetabolisme lemak (Lockwood, 1989)
-
Hepatopankreas me~pZdCanternpat penyimpanan cadangan bahan organik
(protein, karbohidratIgIikogen dan lemak, termasuk kolesterol) dan bahan
anorganik (seperti Ca, Mg, Pod, dll.) yang penting untuk pergantian kulit
(Passano, 1960).
- Hepatopankreas juga mensekresi cairan pencernaan (digestivejuices) yang
mengakibatkan penurunan tegangan permukaan dan berfungsi sebagai asam
empedu (Vonk, 1960).
-
Selain itu, hepatopankreas juga berperan dalam sintesis lipoprotein plasma
dan plasma protein.
2.6
Laju Absorbsi dan Distribusi Kolesterol
Laju absorbsi adalah banyaknya kolesterol yang diabsorbsi dari midgut
masuk ke hepatopankreas per satuan waktu. Butir 2.5 telah menjelaskan bahwa
absorbsi hanya terjadi di hepatopankreas dan midgut dan tidak terjadi di foregut
dan hindgut.
Aronof (1967) menyatakan bahwa bila pakan berlabel diberikan hanya satu
kali pada waktu 0 maka akan tejadi hubungan antara bahan dengan produk d m
waktu sebagai berikut :
a) Aktivitas jenis produk akan naik dengan cepat sampai mencapai puncak
selanjutnya menurun dengan kecepatan yang lebih rendah dan berakhir
dalam bentuk garis yang asimtotik dengan waktu,
b) Di lain pihak aktivitas jenis bahan atau pakan akan menurun dengan cepat
hingga mencapai waktu puncak dari aktivitas jenis produk dan selanjutnya
menurun dengan lambat sarnpai asimtotik dengan waktu, dan
C) Kedua fenornena tersebut diilustrasikan dalam Garnbar 1, di mana hubungan
antara aktivitas jenis dan produk merupakan model logistik fungsi gama.
Gambar 1.
Grafik hubungan aktivitas jenis bahan dan produk dengan waktu
menurut Aronof (1 967).
Selanjutnya Aronof (1967) menunjukkan bahwa bila produk berasal dari
bahan tadi menghasilkan produk lanjutan sehingga menjadi hubungan bahan
produk dalarn sistem 3 pool , maka fimgsi aktivitas jenis produk Isinjutan tersebut
juga akan serupa dengan fungsi produk pertama.
Teshima, Kanazawa d m Kakuta (1986) menunjukkan bahwa kadar lemak
total hepatopankreas dan haemolim udang Penaeus japonicus meningkat selama
1 jam setelah pemberian pakan dan selanjutnya menurun 3 sampai 6 jam setelah
pemberian pakan.
Atas dasar hal itu laju absorbsi dan distribusi memiliki
fenornena yang serupa dengan fungsi hubungan bahan produk dalam sistem 3
pool.
2.7 Struktur Hepatopankreas Udang Windu
Menurut Bell dan Lightner (1988) struktur hepatopankreas udang Penaeid
hanya terdiri dari tubule-tubule. Tubule terbagi tiga jenis: apical hepatopankreatic
tubule
(Hta);
medial
hepatopankreatic
tubule
(Htm)
dan
proksimal
hepatopankreatic tubule (Htp). Hta banyak mengandung sel-sel ernbrionik yang
belurn berdiferensial atau sel-E (Hpe) dan sedikit menjauh dari apex, sel-sel
absorpsi dan penyimpan atau sel-R.
Pada Htp terdapat banyak sel-sel B
(Blasenzellen) yang berfungsi mensekresi enzim-enzim. Bagian medial tubule
hepatopankreas (Htrn) ditandai dengan adanya lumen yang berbentuk bintang,
merupakan ciri "pakan kosong". Di sini tubule banyak mengandung sel-R (Hpr)
dan sel F (Hpf = Fibrillenzellen) yang berfungsi absorpsi dan penyimpanan.
Dengan mengamati preparat histologis satu organ hepatopankreas udang
windu yang dibuat seri dengan potongan setebal 4
- 6 p terIihat bahwa : proximal
hepatopankreatic tubule (Htp) yang banyak rnengandung sel B, yang berfungsi
mensekresikan enzim berada di bagian ventral dan anterior dari hepatopankreas.
Apical hepatopancreatic tubule (Hta) dan medial hepatopancreatic tubule (Htrn),
yang banyak mengandung sel-sel F dan R yang berfungsi absorpsi dan
penyimpanan, terdapat pada bagian dorsal d m posterior hepatopankreas.
2.8
Rekayasa Genetika Sebagai Alternatif Peningkatan Kemampuan
Biosintesis
Tave (1988) rnengernukakan bahwa prinsipnya rekayasa genetika (generic
engineering) adalah suatu proses pernindahan atau transfer suatu gen dari satu
organisme ke organisme lainnya.
bentuk
manipulasi
genetika
pemindahadtransfer gen-nya.
Rekayasa genetika merupakan salah satu
lainnya (hibridisasi
rnisalnya),
terletak
pada
Pada rekayasa genetika, satu gen ditransfer ke
organisme lain dalam satu tahap, sedangkan cara lain memindahkan sebagian
besar dari "genome" atau "genotype".
Aplikasi
rekayasa
genetika
dalarn
akuakultur
relatif
masih
baru
dilaksanakan, namun dari piIihan gen-gen yang telah dicoba ditransfer terlihat ke
arah sasaran akuakultur apa/mana teknologi ini akan digunakan. Beberapa gen
yang telah dipilih d m dicoba ditransfer ke spesies ikan antara lain :
1. Gen hormon pertumbuhan (sornatotropin)
Hormon pertumbuhan adalah hormon polipeptid yang disintesis di bagian
posterior kelenjar hipofisa sernua vertebrata. Horrnon ini dilepaskan dari hipofisa
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan rangsangan pertumbuhan dan
perkernbangan.
Seperti hormon polipeptid lainnya (insulin rnisalnya), ia akan
dipecah dalarn saluran pencemaan bila ia diberikan dalam bentuk pakan dan oleh
karenanya hanya efektif bila disuntikkan.
Mengenai ha1 ini telah dibuktikan
bahwa hormon perturnbuhan unggas dan mamalia efektif untuk ikan salmon.
Sekarang penggunaan gen hormon perturnbuhan dari ikan saImon dan trout
telah memungkinkan, namun belum diketahui apakah secara aktual akan lebih
efektif daripada gen yang berasal dari mamalia (Mac Lean dan Penman, 1990).
2. Gen somatotropin releasing factor
Somaiotropin releasing factor adalah protein yang rnerangsang sel-sel
kelenjar hipofisa anterior untuk peningkatan pelepasan somatotropin. Ikan-ikan
yang direkayasa genetika dengan gen ini akan meningkatkan pelepasan hormon
alamiahnya.
Beberapa laboratorium telah mernpertimbangkan penggunaan
transfer gen ini tapi hasilnya belum diketahui.
3 . Gen metallothionein
Metallothionein adalah protein yang dapat mengikat logam berat di dalam
sel, terutstma kadnium, ternbaga, seng dan rnerkuri. Dalam sel hewan ia memiliki
dua fungsi; memasok seng untuk enzim tertentu yang memerlukan seng dan
detoksifikasi, suatu proses yang melibatkan pengikatan logam berat di dalam sel
oleh protein untuk selanjutnya diekskresikan dari sel dan organisme dalam bentuk
senyawa protein metaIlthionein melalui ginjal. Transfer gen metallothionein pada
ikan diinformasikan oleh Mac Lean dan Penman (1990).
Sampai saat ini rekayasa genetika untuk rneningkatkan kemampuan
biosintesis kolesterol dan fosfolipid pada udang belum diketahui.
111. METODE PERCOBAAN
3.1 Tempat fercobaan
Percobaan ini dilakukan di Laboratoriurn Sistem dan Teknologi Budidaya
Perairan; Laboratorium Nutrisi Ikan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas
Perikanan IPB;
serta Laboratorium Teknik Radioisotop Fakultas Kedokteran
Hewan IPB dan Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
3.2 Rancangan Percobaan
Percobaan ini menggunakan perlakuan dengan dua faktor yang masingmasing terdiri dari tiga tingkatan dosis. Faktor pertarna adalah kadar kolesterol
0.00%, 0.25%, dan 0.50%; faktor kedua, kadar lesitin 0%, 2% dan 4%.
Unit percobaan berupa tangki fiberglas bervolume 20 liter air yang
masing-masing dilengkapi dengan sistem resirkulasi, salinitas 24/',,
dan berisi lima ekor udang.
8.2 ; 0
2
suhu 30°C
Kondisi kualitas air lainnya dibuat optimal; pH 7.5-
2 5 ppm ; NH3 1 0.1 ppm (Gambar 2).
PengambiIan contoh untuk pengukuran 3~-kolesterolhepatopankreas dan
haemolim dilakukan 0, 3, 6, 9, 15 dan 24 jam setelah pemberian pakan yang
mengandung
3~-kolesterol.Berdasar jumlah perlakuan, ulangan dan kebutuhan
contoh maka diperlukan 90 unit percobaan; 27 unit (9 perlakuan; 3 ulangan)
untuk pengamatan pertumbuhan kelangsungan hidup, retensi lemak dan protein,
serta komposisi kimia tubuh dan hepatopankreas; 9 unit (9 perlakuan; 1 ulangan)
untuk pengamatan stmktur hepatopankreas dan 54 unit (9 perlakuan; 6 waktu
pengukuran) untuk pengarnatan kadar radioaktif.
Keterangan :
Zeolit
Serat tali plastik
Media budidaya
Udang percobaan
Saringan dasar
Pipa pardon 0.5 inchi
Titik aerasi air-lrytpump
8. Selang udara
9. Pipa udara dari blower
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Garnbar 2. Satu unit percobaan
3.3
Persiapan Percobaan serta Penentuan Radioaktivitas Hepatopankreas
dan Haemolim
Pascalarva udang windu diperoleh dari balai benih udang windu dengan
persyaratan khusus, yaitu berasal dari satu induk; selarna fase larva mengalami
perkembangan normal (nauplius
- zoea - mysis
- pascalarva 1
- pascalarva
15-20
berlangsung selama 25-30 hari. Pascalarva 15-20 sebanyak 2000 ekor dipelihara
di dalam satu bak khusus dengan diberi satu jenis pakan sarnpai mencapai ukuran
60
-
80 miligram. Selanjutnya setiap lima ekor udang ditempatkan ddam setiap
wadah percobaan yang telah disiapkan. Udang diadaptasikan pada kondisi
lingkungan dan pakan percobaan selama 10-20 hari. Selama masa adaptasi, pakan
diberikan 20% dari bobot tubuhhari sebanyak empat kali pemberian per hari
(pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan 22.00 WIB).
Sebelum pakan dibuat bahan penyusun pakan dianalisis secara proksimat
(Lampiran 1, 2 ,3, 4 d m 5). Adapun hasil analisisnya &sajikan pada Lampiran 6,
sedangkan komposisi pakan disajikan pada Tabel 2. Sesudah pakan dibuat
(Lampiran 7) pakan percobaan dianalisis proksimat kembali untuk mengetahui
kandungan nutrien pada setiap pakan perlakuan.
Untuk pengamatan kecepatan transportasi lemak, udang diberi makan
dengan pakan perlakuan sampai berukuran 0.5 gram per ekor. Pada hari H (saat
pemberian
pakan beradioaktif), pada pukul
mengandung 'H-kolesterol.
12.00 diberikan pakan yang
Contoh 0, 3, 6, 9, 15 dan 24 jam diambil pada pukul
12.00, 15.00, 18.00, 21.00, 03.00 dan 12.00 dengan mengambil semua udang di
setiap. perlakuan.
Berdasarkan metode yang dilakukan Harris (1989) pada
pernberian I 4 c - ~ r t e m i auntuk pascalarva udang windu, kadar radioaktivitas
3
~
-
kolesterol di sini diperlukan 66000 dprn/20 mg pakan yang mengandung 0.25%
kolesterol dan 92000 dprnI20 rng pakan dengan 0.50%kolesterol.
Tabel 2. Komposisi pakan percobaan (%) (komposisi basal;
Teshima dan Sakamoto, 1985)
Kanazawa,
Haernolim dari setiap udang dikumpulkan dengan menggunakan syringe 1
ml .
Dari setiap contoh udang hepatopankreas diambil dan ditimbang.
Selanjutnya hepatopankreas dan haemolim dimasukkan ke dalam vial liquid
scintiIlation yang sudah berisi 4 ml scintilation cocktail dan radioaktivitasnya
ditentukan dengan liquid scinrillation counter merk ALOKA.
hepatopankreas
Radioaktivitas
diukur dari bobot keseluruhan organ sedangkan radioaktivitas
haemolim berdasar 100 mg contoh.
Untuk mengetahui perubahan biomassa dan kelangsungan hidup dilakukan
pengambilan contoh setiap 2 minggu sekali selama 2 bulan. Kandungan protein
dan lemak pada awal dan akhir percobaan dianalisis untuk perhitungan retensi
protein dan lemak.
Hepatopankreas pada awal dan akhir percobaan dianalisis
untuk menentukan kadar dan komposisi kimia lemak.
Untuk analisis struktur hepatopankreas pada setiap perlakuan digunakan
sembilan unit percobaan.
Hepatopankreas dari lima ekor udang untuk setiap
perlakuan diambil guna penentuan struktur.
3.4 Penentuan Komposisi Kimia d a n Struktur Hepatopankreas
Kadar lemak dan protein hepatopankreas ditentukan dengan metode
analisis proksimat sedangkan komposisi lemak hepatopankreas ditentukan dengan
metode Takeuchi (1988).
Struktur hepatopankreas diamati secara mikroskopis
pada preparat histologis setiap contoh udang.
Contoh hepatopankreas untuk kedua penentuan ini diambil dari dua ekor
udang pada setiap perlakuan satu hari sebelum hari H.
Untuk pembuatan preparat histologis digunakan metode Mann-KopschWeigi sebagai metode untuk menunjukkan adanya kandungan lipida dalam
jaringan (Alifuddin, 1996), dengan prosedur sebagai berikut :
1. Jaringan
(t_
0.5 em) difiksasi dengan fiksatif de Mann (fiksatif de Mann
adalah merkuri khlorida jenuh dalam 50.0 ml larutan osmium tetraoksida 1%
dan 50.0 ml NaC1 0.75%) atau difiksasi dengan larutan Flemming selama 24
jam,
2. Direndam dalam air mengalir selarna 6-12 jam dm dibilas beberapa kali
dengan akuades,
3. Direndam dalam larutan asam osmium 1% pada suhu 37'C selama 4 hari dan
dicuci dengan air mengalir selama 6-1 8 jam,
4. Dilakukan dehidrasi (mulai dari 30%), clearing (paling lama semalam) d m
embedding; kemudian dibuat irisan jaringan setebal 4-6 mikron,
5. Tanpa deparafinasi, mounting sediaan dengan canada balsem.
Dengan menggunakan prosedur pewarnaan seperti tersebut di atas lipid dalam
sel/jaringan akan berwarna hitam/gelap.
3.5. Parameter Uji
3.5.1. Laju Pertumbuhan Harian (a)
keterangan :
W,
=
Bobot akhir tubuh (g)
W, = Bobot awal tubuh (g)
a
=
Laju pertumbuhan harian (% bobot badan per hari)
t
=
Masa budidaya (hari)
3.5.2. Efisiensi Pemberian Pakan (EP)
keterangan :
W,
=
Bobot akhir tubuh (g)
Wo
=
Bobot awal tub& (g)
D
F
=
Bobot ikan yang mati (g)
=
Jurnlah pakan yang dirnakan (g)
3.5.3. Retensi ProteintLemak
R = (K - I)/P x 1 00Y0 (Takeuchi, 1 988)
keterangan :
R
=
Retensi proteidlemak (dalam %)
K
=
Bobot protein/lemak tubuh pada akhir percobaan (g)
I
=
Bobot proteidlemak tubuh pada awal percobaan (g)
P
=
Bobot proteidlemak yang dimakan ikan (g)
3.5.4. Kelangsungan Hidup (KH)
KH
=
Nt/Nox 100%
keterangan :
N,
No
=
=
Jurnlah udang pada akhir percobaan
J d a h udang pada awal percobaan
3.5.5. Laju Absorbsi dan Distribusi Kolesterol
Kol Hpt (pg Kol) = RadHptKKHpt ;
KolHaem (p Kol) = RadHaem/KKHaem
keterangan :
Kol
= Kolesterol
Hpt
=
Hepatopankreas
Haem = Haemolim
Rad
=
Radioaktivitas
KK
= Koefisien Koreksi
= RadPakanlKolPakan (= cpmlpg Kol)
KKHpt
KK Haem = (RadPakan/KolPakan)x (35% bobot udang/ 100 mg)
(= c p d p g Kol)
KolPakantl = KolHpttl + KolHaem ,l
KolPakana
=
Laju Absorbsi
KolPakantl
=
- (KolHpta - KolHpttl) + KolHaema
(Kol Pakantl - KolPakanu)/(u.t~)
(= pg Ko1/15 menit)
Laju Distribusi = (KolHaem~/(~.,l)
(= pg Ko1/15 menit)
Keterangan :
Bobot total haemolim krustase kurang lebih 35 % bobot badan (Lockwood,
1989).
t2
- tl
=
15 menit; secara umum kecepatan sirkulasi haemolim krustase
berlangsung 4 kali per jam (Lockwood, 1989).
Kadar kolesterol dan fosfolipid setiap perlakuan dikoreksi sehubungan
dengan minyak hati ikan mengandung 2% kolesterol (Brigg, Jauncey and
Brown, 1988) dan lesitin hanya mengandung 65% fosfolipid (Hertrampf,
1991).
3.5.6. Model Matematik Laju Absorbsi dan Distribusi Kolesterol
Dalam percobaan ini radioaktivitas 3~-kolesterolmerupakan pengemban
dari keseluruhan kolesterol pakan sehingga hubungan fingsi aktivitas jenis dari
bahan
dan
produk
dengan
waktu
serupa
hepatopankreas atau haemolim dengan waktu.
dengan
fimgsi
radioaktivitas
Atas dasar ha1 tersebut maka
model maternatik laju absorbsi dan distribusi adalah model Iogistik fimgsi gama
(lihat butir 2.6) dengan persamaan sebagai berikut :
Y = a Exp(-c X) x(~')
di mana :
YI
= radioaktivitas (cpm)
X
= waktu Cjam).
a, b, c
= konstanta
3.5.7. Analisis Statistik
Analisis statistik yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah analisis
ragam. Untuk mengetahui kadar perlakuan yang memberikan pengaruh maksimal
digunakan analisis polinomial orthogonal.
Untuk nilai-nilai persentase parameter uji yang sebarannya tidak normal
dilakukan transfomasi akar kuadrat (Steel dan Torrie, 1980).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Laju Absorbsi dan Distribusi Kolesterol
4.1.1 Hasil
Lemak ditransport dalam bentuk gabungan dengan kolesterol dan fosfolipid.
Pada penelitian ini digunakan 3~-kolesterolyang dicampurkan dalarn pakan setiap
perlakuan sebagai indikator.
Dengan demikian kecepatan transpor lemak dapat
dilihat dari laju absorbsi 3~-kolesterolpakan ke hepatopankreas clan laju distribusi
kolesterol ke dalam haemolim. Data radioaktivitas 3~-kolesteroldi hepatopankreas
dan haemolim wtuk setiap perlakuan dari mulai 0, 3, 6, 9, 15 sampai 24 jam setelah
pemberian pakan disajikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Sedangkan gambaran pola
aliran kecepatan transpor lemak setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3, 4
dan 5.
Tabel 3. Radioaktivitas hepatopankreas untuk setiap perlakuan pada 0, 3, 6, 9, 15
dan 24 jam setelah pemberian pakan berlabel (cpm)
B (84566)
C (85234)
D (67596)
E (92078)
F (78288)
G (80445)
H (82090)
* = nilai rnaksirnum
Tabel 4.
Radioaktivitas haernolim untuk setiap perlakuan pada 0, 3, 6, 9, 15 dan
24 jam setelah pernberian pakan berlabel (cpm)
* = nilai maksimum
4.1.2 Pembahasan
Berdasarkan data radioaktivitas hepatopankreas dan haemolirn (Tabel 3 dan
Tabel 4), serta pola kecepatan tranpor lemak setiap perlakuan (Garnbar 3 s/d 5)
terlihat bahwa :
a.
Nilai
maksimal
radioaktivitas
di
hepatopankreas
pada
setiap
perlakuan
yang dicapai 3-9 jam setelah pemberian pakan berkisar dari 20356 cpm (pada
perlakuan D) sarnpai 25028 cpm pada perlakuan E. Bila dibandingkan dengan
radioaktivitas pakan yang diberikan, maka nilai tersebut berturut-turut untuk A
s/d I adalah : 36, 28, 28, 30, 27, 30, 28, 30 dan 28% dari nilai radioaktivitas
pakan. Seluruh nilai tersebut temyata berada dalam kisaran nilai radioaktivitas
hepatopankreas pada hasil percobaan
Lubzens dan Tietz (1994).
Khayat, Shenker, Funkenstein, Tom,
Percobaannya
pada induk-induk Penaeus
semisulcatus yang diberi pakan mengandung '4~-palmitatmemberikan nilai
I
30000
1400
:I 2 0 0
=, 25000
=
C
29 2000(,
-
'Z
I
i
5
2'
a
L 1000
'6
.-
15U0U
5
-
lo,,
s
SOLO
0
0
3
6
9
w-
12
IS
Om)
18
21
24
!
--
-B
-
7
SOL
600
400
200
0
0
3
6
9
12
15
WnMu (jam)
Gambar 3. Grafik radioaktivitas hepatopankreas (X)dan haemol.lim (Y) pada 0, 3, 6,
9, 15.dan 24 jam setelah pemberian pakan berlabel, pada perlakuan A, B,
dmC
18
21
24
i
Gambar 4. Grafik radioaktivitas hepatopankreas (X)d m haemol.lim (Y) pada 0, 3, 6 ,
9, 15 dan 24 jam setelah pemberian pakm berlabel, pada perlakuan D, E
dan F
I
0
0
3
6
12
15
waklu (jam)
9
18
21
24
Gambar 5 . Grafik radioaktivitas hepatopankreas (X)dan haemolim (3') pada 0, 3, 6,
9, 15 dan 24 jam setelah pemberian pakan berlabel, pada perlakuan G, H
dan l
33
radioaktivitas hepatopankreas yang berkisar 10.8
-
40.1% radioaktivitas pakan,
24 jam setelah pemberian pakan.
b.
Nilai maksimal radioaktivitas haemolim pada percobaan ini yang dicapai 3-9 jam
setelah pemberian pakan, berkisar dari 223 c p d 1 0 0 p1 @ada perlakuan A)
sarnpai 958 c p d 1 0 0 pl (pada perlakuan F) temyata juga harnpir sama dengan
nilai radioaktivitas haemolim pada percobaan Baum, Conklin, dan Chang.
(1990). Lobster Nomarus americcznus seberat 23-70 gramlekor yang diberi pakan
yang mengandung fosfolipid yang berbeda dan mengandung 3 ~ - k o l e s t e r o ~
sebanyak 2,25x 1o6 dpm temyata memberikan radioaktivitas haemolim yang
berkisar antara 193- 1144 cpm /60 p1 yang diukur 7 jam setelah pemberian pakan.
Berdasar perubahan radioaktivitas kolesterol dengan waktu, seperti disajikan
dalarn Gambar 3, 4, dan 5, nilai-nilai radioaktivitas awal dapat ditentukan. Nilai-nilai
awal ini sangat berguna untuk penentuan laju absorbsi d m distribusi kolesterol,
karena pada tahap dini peluang tingkat metabolisme 3~-kolesterolrelatif kecil. Itu
berarti radioaktivitas yang dicacah dapat dianggap masih tetap berasal dari
3 ~ - k o ~ e s t e rutuh
o l baik yang berada di hepatopankreas ataupun haemolim.
Data radioaktivitas di hepatopankreas, haemolim dan pakan setiap selang
waktu 15 menit mulai dari 0.5 jam sampai 3 jam setelah pemberian pakan disajikan
dalam Larnpiran 9.
Data ini dipakai untuk menghitung laju absorbsi dan laju
distribusi. Laju absorbsi koiesterol disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Laju absorbsi kolesterol (pg/15 menit) untuk setiap perlakuan
Data Tabel 5 memperlihatkan bahwa :
a.
Perlakuan dengan fosfolipid lebih tinggi pada kadar kolesterol yang harnpir sama
menghasilkan laju absorbsi yang relatif lebih rendah.
Perlakuan A > B > C;
D>E>F; G>H>I,
b.
Perlakuan dengan kadar kolesterol yang lebih tinggi pada kadar fosfolipid yang
sama menghasilkan laju absorbsi yang lebih tinggi.
Perlakuan G > D > A ;
H>F>B; I>F>C.
Kurva respon permukaan antara kadar kolesteroI, fosfolipid dan laju absorbsi
(analisis data pada Larnpiran 10) disajikan daIam Gambar 6. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa laju absorbsi tertinggi dihasilkan oIeh pakan dengan kadar koiesterol
0.69% dan fosfolipid 0.08% atau perlakuan G (perhitungan pada Larnpiran 11).
Sedangkan laju absorbsi terendah terjadi pada pakan dengan kadar kolesterol 0.12%
dan fosfolipid 2.64% (perlakuan C).
Yz
-
6.040 + 228.45Kol + 35.86Fos
- 85.23KolFor + 1 1 3 . 7 6 ~ o l F o -s ~13.74Fos2
R2 = 0.94
Yz = Laju absorbsi (gg kolcsterol/lS menit), Kol
---
/'
/
-
Kofesterol (%), Fos = Fosfotipid (%)
I
Gambar 6. Kurva respon laju absorbsi kolesterol terhadap kolesterol dan fosfolipid
pakan pada 1 jam pertama setelah pemberian pakan berlabel.
Laju distribusi kolesterol, dari hepatopankreas ke seluruh tubuh melalui
haemolim, disajikan dalarn Tabel 6.
Tabel 6. Laju distribusi kolesterol (pg/l5 menit) untuk setiap perlakuan
Data Tabel 6 menunjukkan bahwa :
a.
Laju distribusi yang tinggi dan dicapai dalam waktu singkat terjadi pada
perlakuan dengan kadar kolesterol dan fosfolipid medium atau perlakuan E,
b.
Laju distribusi yang tinggi namun inasa pencapaian laju maksimalnya lambat
terjadi pada kadar kolesterol tinggi (perlakuan G, H dan I).
Sehubungan dengan laju distribusi kolesterol yang berlangsung tinggi pada
tahap awal dan nilai kecepatan sangat penting karena belum terganggu proses
metabolisme koleterol, kuwa respon laju distribusi (analisis data pada Lampiran 11)
yang disajikan dalarn Gambar 7 memberi informasi sebagai berikut :
0.5
Fosfolipid (%)
Gambar 7. Kurva respon laju distribusi kolesterol terhadap kolesterol dan fosfolipid
pakan pada I jam pertama :setelahpemberian pakan berlabel.
a.
Baik kolesterol ataupun fosfolipid pakan mernberikan pengaruh pada laju
distribusi dalam fimgsi kuadratik, namun efek kolesterol terlihat lebih kuat daripada fosfolipid,
b.
Laju distribusi kolesterol tertinggi dicapai pada kolesteroI pakan 0.47% dan
fosfolipid 0.75% (Lampiran 11).
Gabungan dari laju absorbsi dan distribusi kolesterol yang disajikan dalam
bentuk perbandingan antara kolesterol yang didistribusi dengan kolesterol yang
diabsorbsi disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan antara kolesterol ,yang didistribusi dan yang diabsorbsi per 15
menit mulai dari 0.5 sampai 3 jam untuk setiap perlakuan
Data Tabel 7 menunjukkan bahwa :
Laju distribusi yang dinyatakan dalam persentase laju absorbsi, tertinggi dan
tercepat terjadi pada perlakuan I (0.61% kolesterol dan 2.64% fosfolipid), diikuti E
(0.41% kolesterol dan 1.36% fosfolipid) dan F (0.37% kolesterol dan 2.64%
fosfolipid); narnun demikian, besaran laju absorsi pada perlakuan E dan F temyata
jauh lebih rendah daripada perlakuan E, sehingga bila dilihat nilai mutlaknya
perlakuan E lebih baik.
Kadar fosfolipid yang rendah (0.08%) rnengakibatkan
perbandingan laju distribusifabsorbsi y ang relatif rendah (4-1 1%).
Dengan inempertimbangkan besaran laju absorbsi (Gambar 6), laju distribusi
(Garnbar 7) dan perbandingan besaran distribusi/absorbsi (Tabel 7) dapat diketahui
bahwa :
a.
Laju absorbsi tertinggi (210 pg kolesterolfl5 menit) yang terjadi pada pakan
berkadar kolesterol 0.69% dan fosfolipid 0.08%
ternyata memberikan laju
distribusi 10 pg kolesterol/l Smenit atau ratio distribusi/absorbsi = 4.8%,
b.
fada tingkat laju distribusi tertinggi (16 pg kolesterolll5menit) pada pakan
dengan kolesterol 0.47%dan fosfc~lipid0.75% ternyata laju absorbsinya = 122 pg
koIesterol/l5 menit atau ratio distribusi/absorbsi
c.
=
13. I%,
Atas dasar ha1 itu pakan yang akan memberikan laju absorsi dan distribusi terbaik
adalah yang mengandung kolesterol 0.47% dan fosfolipid 0.75%.
Laju absorbsi kolesterol yang tinggi dan cepat yang tejadi pada perlakuan
dengan kadar kolesterol tinggi menunjukkan bahwa laju absorbsi tidak dipengaruhi
oleh keberadaadketiadaan fosfolipid.
Itu menunjukkan bahwa proses masuknya
lemak/kolesterol ke hapatopankreas udang windu tidak melibatkan khilomikron.
Berbeda dengan absorbsi, laju distribusi dipengaruhi oleh keberadaan fosfololipid.
Jadi mekanisme absorbsi dan distribusi kolesteroUlemak pada tokolan udang windu
sama seperti mekanisme absorbsi dan transportasi lemak pada lobster (Homarus sp.)
seperti telah dilaporkan D'Abramo et al(1982).
Besarnya perbedaan nilai laju absorbsi dan laju distribusi menunjukkan bukti
heprttopankreas adalah pool kolesterol.
Relatif kecilnya nilai laju distribusi juga
bermakna bahwa kadar kolesterol lipoprotein plasma rendah. Hal tersebut memberi
indikasi bahwa transport lemak pada udang windu tidak dilakukan oleh LDL.
Teshima dan Kanazawa (1986~)rnenyatakan bahwa transport lemak pada P.
japonicus dilaksanakan HDL.
Khayat.. et a l (1994) juga menyimpulkan bahwa
transport lemak pada P. sernisulcatu.~ dilaksanakan HDL, karena lipoprotein
plasmanya temyata memiliki densitas 1.22 g/rnl.
4.2 Komposisi Kimia Hepatopankreas
4.2.1
Hasil
Kadar lemak total hepatopankreas untuk setiap perlakuan disajikan dalarn
Tabel 8, sedangkan kadar lemak polar dan Iemrtk netralnya dalam Tabel 9 dan Tabel
10.
Tabel 8.
Kadar lemak total, lernak polar dan lemak netral (%) hepatopankreas untuk
setiap perlakuan
4.2.2 Pembahasan
Hasil analisis kirnia lemak hepatopankreas yang terdiri dari lemak total, lemak
polar dan lemak netral untuk setiap perlakuan (Tabel 8) memberikan kisaran nilai
yang temyata
hampir sama dengan nilai-nilai
yang diperoleh Chen (1993).
Komparasi nilai-nilai tersebut disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9.
Kadar lemak total, lemak polar dan lemak netral (%) hepatopankreas
udang windu sebelum dan sesudah perlakuan pada penelitian ini dan
Chen ( 1993).
Lemak hepatopankreas
Lemak total :
Awal
Setelah perlakuan
Lemak polar :
Awal
Setelah perlakuan
Lemak netral :
AwaI
Setelah perlakuan
PeneIitian ini
Chen (1993)
'7.89
10.34-14.66
7.99
6.72-15.30
37.5
12.0-28.3
27.1
21.5-33.5
62.5
71.7-88.0
72.7
64.7-77.2
Secara urnurn dapat dikemukkan bahwa kadar lemak total hepatopankreas
naik dari 7.89% pada saat awal menjadi 10.34-14.66% setelah pemberian pakan
perlakuan selama 56 hari. Namun demikian besarnya kenaikan tersebut tidak sarna
untuk setiap perlakuan. Data Tabel 8 menunjukkan kecenderungan bahwa kenaikan
lemak total hepatopankreas terutama terjadi pada perlakuan-perlakuan yang defisien
fosfolipid yaitu perlakuan A, D dan G. Komposisi kelas lemak yang menyusun lemak
total hepatopankreas tersebut ternyata berbeda.
Juga terlihat pada Tabel 8 tadi
kecenderungan umurn dari kadar lemak polar pada perlakuan A, D dan G tersebut
lebih rendah daripada
perlakuan lainnya yang cukup fosfolipid.
Keadaan yang
sebaliknya berlaku untuk kadar lemak netral dimana perlakuan A, D dan G relatif
lebih tinggi dari perlakuan lainnya.
Tinggi atau rendahnya kandungan lernak total hepatopankreas dan tinggi atau
rendahnya lemak polar hepatopankreas diduga ada hubungannya dengan kelancaran
transportasi lemak yang tercermin dari laju absorbsi dan distribusi kolesterol seperti
telah dibahas dalam butir 4.1.2.
Absorbsi kolesterol/lemak tidak dipengaruhi oleh
ketiadaan fosofolipid, namun distribusinya dipengaruhi fosfolipid. Perlakuan A, D,
dan G rnengandung fosfolipid yang sangat rendah, masing-masing 0,08%; di lain
pihak perlakuan A, D, G mengandung kolesterol relatif lebih banyak (kolesterol A >
B > C ;D > E > F ; G > H > I).
Dengan dernikian absorbsi pada perlakuan A, D dan
G praktis bermakna hanya absorbsi lernak netral (termasuk didalamnya kolesterol)
karena pakan tersebut defisien fosfolipid.
Keadaan tersebut yang diikuti dengan
distribusi kolesteroVlemak yang rendah karena ketiadaan fosfolipid di hepatopankreas
diduga akan mengakibatkan tertimbunnya lemak netral di hepatopankreas.
4.3 Struktur Hepatopankreas
4.3.1
Hasil
Hasil pengamatan preparat histologis bagian dorsal dan posterior dari apical
hepatopancreatic tubule dan medial hepatopancreatic tubule untuk setiap perlakuan
disajikandalam Gambar 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 16.
4.3.2
Pembahasan
Struktur hepatopankreas dari setiap perlakuan disajikan dalam Gambar 8
sampai dengan Garnbar 16.
Gambar tersebut memperlihatkan perbedaan pengaruh
perlakuan terhadap banyak atau sedikitnya butiran lemak yang dideposisi di
hepatopankreas. Lemak dalam sel atau jaringan hepatopankreas tersebut ditunjukkan
dengan warna hitamlgelap.
Pembesaran 100 kali yang ditujukkan untuk memperoleh gambaran dari
keadaan sel R (sel yang berfungsi sebagai penyimpan nutrien memperlihatkan bahwa
secara urnurn di semua perlakuan lemak (warna gelap) cukup dominan mengisi lumen
dimana sel-sel R berada. Lumen ymig mengelilingi rongga lumen yang berbentuk
seperti bintang benvarna putih terlihat berwarna hitam pekat sampai kuning
kehitaman. Perbedaan wama tersebut menjadi lebih intens/nyata pada pembesaran
400 kali.
Pembeda utama dari perbedaan gelap dan terang pada pembesaran ini
adalah terlihatnya sel R dalam lumen. Makin banyak jumlah sel R yang tampak,
makin sedikit jumlah lemak. Gambar dengan pembesaran 1000 kali, memperlihatkan
perbedaan penutupan lumen dan sel R serta batas antar lumen oleh lemak.
Keseluruhan hasil evaluasi Gambar tersebut disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah sel R*, batas antar lurnen d m warna lumen hepatopanheas
untuk setiap perlakuan.
Keterangan :
*
jurnlah sel pada satu lumen @ada pembesaran 400 x)
** nilai 4 untuk 100% batas tampak
nilai 3 unruk 7 5 9 9 % batas tampak
nilai 2 untuk 50-74% batas tampak
nilai I untuk < 50% batas tarnpak
*** kuat cahaya sinar kuning (730 Iux) yang dipantulkan permukaan gambar;
makin kecil nilai makin gelap gambar/makin banyak bagian yang berlemak.
Intensitas sinar diukur dengan Lux Meter - DX 100, Takemura Electric
Works Ltd.
Data Tabel I0 memberi gambaran bahwa periakuan-perlakuan yang defisien
kolesterol dan fosfolipid (A), defisien kolesterol (B dan C) serta defisien fosfolipid (D
dan G) struktur hepatopankreasnya lebih banyak tertutupi lemak. Hal itu ditunjukkan
dengan relatif sedikitnya jurnlah sel yang tampak dan kecilnya batas antar lumen yang
jelas.
Perlakuan
E, F dan H memberi
garnbaran
hepatopankreasnya relatif lebih sedikit tertutup lemak.
terbaik
atau
struktur
4.4 Kinerja Fenomena Pertumbuhrin
4.4.1.
Laju Pertumbuhan Harian
4.4.1.1
Hasil
Perubahan bobot rata-rata udang selama percobaan disajikan pada Lampiran
13 sedangkan grafiknya dapat dilihat pada Garnbar 17.
1200
,
bobot rata-rata(mg)
800
600
400
H
zoo
0
Minggu 0
Gambar 17.
Minggu II
Minggu lV
Minggu VI
Minggu Vlll
Perubahan bobot udarlg rata-rata pada setiap perlakuan selama
percobaan.
Analisis ragam (Lampiran
12) rnernperlihatkan bahwa kolesterol dan
fosfolipid rnemberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan harian (P <
0,051.
4.4.1.2
Pembahasan
Kurva respon ant-
perlakuan kolesterol pakan dengan laju pertumbuhan
harian (Gambar 18) menunjukkan hubungan linier (analisis data pada Lampiran 13)
dengan persamaan gama sebagai berikut :
Y4 = 4.47 + 0.99X
dimana :
Y4
X
=
=
laju pertumbuhan harian (dalam % bobot badan per hari), dan
kadar kolesterol pakan (dalam %).
Gambar 18. Kurva respon pertumbuhan terhadap kolesterol pakan
0
0.5
I
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Lesitin pakan (%)
Garnbar 19. Kurva respon pertumbuhan terhadap lesitin pakan.
Itu
berarti perturnbuhan terhaik pada percobaan ini dicapai pada kadar
kolesterol 0.69% dan kadar kolesterol > 0.69% cenderung akan berpengaruh iebih
baik lagi.
Berbed