Pengaruh cekaman panas terhadap kebutuhan vitamin C pada ayam petelur komersial yang sedang berproduksi

Pengembangan usaha peternakan di daerah tropis terutama di Indonesia masih banyak mengalami hambatan-hambatan
sehingga usaha untuk mencapai produksi tertinggi masih be-

lum tercapai.

Salah satu faktor yang menghambat laju pro-

duksi peternakan khususnya peternakan ayam ras adalah faktor temperatur lingkungan dan kelembaban yang tinggi sehingga secara langsung mengakibatkan turunnya konsumsi makanan yang berakibat terjadinya defisiensi zat-zat makanan
yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi.
Peneliti-peneliti dari berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti bidang nutrisi, fisiologi lingkungan dan biokimia banyak menaruh perhatian terhadap pengaruh temperatur lingkungan yang panas, karena sering mengakibatkan kerugian pada peternak.
Selje (1973) mencoba mengungkapkan suatu cekaman yang
diakibatkan oleh pengaruh temperatur lingkungan yang panas
dan mengungkapkan pula akibat dan penyebab dari cekaman
itu.
Menurut Selje (1973) cekaman adalah

kumpulan dari

respons bertahan (defence respons) terhadap suatu stimulus.

Respons bertahan yang kolektif itulah yang disebut


cekaman (stres), sedangkan stimulusnya baik perubahan internal maupun eksternal termasuk defisiensi zat-zat makan
an, temperatur lingkungan atau peningkatan perubahan fisiologis disebut sebagai stressor.

Jadi bila ternak itu

dihadapkan kepada suatu stressor, bermacam-macam praduga

akan timbul sebagai respons dan respons ini yang disebut
cekaman (stres).

~imbulnyapenyebab cekaman itu adalah

untuk meyakinkan adanya adaptasi terhadap

perubahan yang

tidak terduga dan untuk mengembalikan pada kondisi homeostatik.

Respons yang adaptif itu biasanya berurutan, mes-


kipun demikian urutan dan waktu dari respons tersebut bergantung kepada intensitas dan lamanya stressor.
Selje (1973) mencoba mengklasifikasikan komponen respons dari cekaman terdiri dari respons sintoksik (syntoxic
response) dan respons katatoksik

(catatoxic response)

dengan pengertian bahwa repons yang sintotik masih menguntungkan, sedangkan yang katatostik merugikan.

Untuk pe-

ternak unggas yang diusahakan adalah mengurangi katatoksik
tersebut.
Siege1 (1971, 1980) dan Freeman (1976) melaporkan qejala-gejala pada unggas yang menderita cekaman sebagai
ber ikut :
Keleniar adrenal : mengalami hipertrofi, kandungan kolesterol menurun, sintesis kortikosteron meningkat dan
kandungan asam askorbat (vitamin C) sangat menurun.
Keadaan darah : kolesterolemia, nitrogen yang bukan
protein meningkat, ~ a + +
meningkat, trigliserida meningkat, kortikosteron dan glukosa meningkat, imbangan ~ a +


-

dan K+ meningkat, lifopenia dan heterofilia.
Keadaan iarinqan limfoid : terjadi degenerasi pada bursa fabrisius, degenerasi thymus dan degenerasi tingkat
antibodi.

Akibat dari cekaman tersebut di atas maka proses metabolisme dalam tubuh akan terganggu, terrnasuk gangguan
produksi

.

Siege1 (1971) dan Thaxton (1978) pada penelitiannya
mencoba memperbaiki efek cekaman yang disebabkan oleh temperatur yang tinggi dengan memberikan 1000 ppm vitamin C
pada ayam dan hasilnya terbukti menurunkan efek cekaman
yang katatoksik.
Temperatur lingkungan yang panas disertai dengan kelembaban yang tinggi di samping dapat menurunkan konsumsi
makanan juga dapat mengganggu metabolisme yang normal sebagai akibat terganggunya beberapa organ penghasil hormon
atau enzim. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran temperatur lingkungan yang optimum atau thermonetral
zone bagi ayam petelur dewasa adalah 21" - 2 6 " C (Carr dan

Carter, 1985) .
Kebanyakan usaha peternakan unggas di daerah tropis
seperti di Indonesia terdapat di atas kisaran temperatur
optimum.

Menurut Creswell dan Hardjosworo (1979), tempe-

ratur rata-rata setiap hari di daerah dataran
kisar antara 23O

-

rendah ber-

35 OC dan 20" - 3 0 OC di dataran ting-

gi.
Menurut Sinurat (1988), pada prinsipnya usaha untuk
mengurangi pengaruh negatif dari temperatur lingkungan
yang panas antara lain adalah penyesuaian kebutuhan zatzat makanan.


Kebutuhan vitamin untuk fungsi tubuh sudah banyak direkomendasikan baik oleh Scott et al. (1982) maupun oleh
National Research Council (NRC, 1984) yang dipergunakan
untuk pertumbuhan dan produksi, kecuali vitamin C yang belum dicantumkan ke dalam rekomendasi tersebut.

Hal ini

didasarkan pada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa
ayam mempunyai kemampuan untuk mensintesa vitamin C di dalam tubuhnya sendiri untuk memenuhi kebutuhannya dengan
jalan mengubah glukosa melalui tiga tahapan proses enzimatik yaitu : D-glukosa ------c

Asam D-glukosa

askorbat (Bell dan Freeman, 1971).

---c Asam

Ketiga tahapan terse-

but terjadi dalam kelanjar adrenal, sehingga dalam keadaan

normal (suasana termonetral) ayam tidak

memerlukan suplai

vitamin C dari luar.
Dalam keadaan normal (suasana termonetral) mungkin
tubuh ayam selalu dapat memenuhi kebutuhan vitamin C, akan
tetapi dalam keadaan temperatur

lingkungan yang cukup

tinggi, keadaan ini akan menimbulkan gejala gangguan terhadap organ tubuh yang menghasilkan vitamin C, sehingga
untuk memenuhi vitamin C harus disuplementasi dari luar.
Dengan menurunnya kadar vitamin C dalam tubuh ayam
yang diakibatkan oleh pengaruh temperatur lingkungan yang
tinggi, para peneliti menduga adanya pengaruh terhadap
performans dan produksi telur.
Peranan vitamin C dalam nutrisi unggas terutama untuk
ayam petelur masih belum jelas.


Banyak hasil penelitian

yang belum konsisten dalam mengolah hasil dan pembahasannya seperti dilakukan oleh Nockels
Thaxton

(1983), Pardue dan

(1986) yang melaporkan hasil penelitiannya yang

kontroversial.

Thornton dan Moreng (1986) melaporkan bah-

wa suplementasi vitamin C menambah ketebalan kerabang telur pada temperatur yang tinggi.
Hasil penelitian Sullivan dan Kingan (1977) mendapatkan hasil yang sama pada temperatur yang normal.
Aitken

Hunt dan

(1962) memperlihatkan hasil penelitiannya bahwa


suplementasi vitamin C dapat meningkatkan produksi telur,
meningkatkan berat telur

(Nockels,1973) dan memperbaiki

kualitas bagian dalam dari telur (Thornton dan Moreng,
1959).

Kendati demikian belum banyak hasil penelitian

yang dilaporkan mengenai pengaruh suplementasi vitamin C
terhadap produksi telur,

Demikian pula hasil panelitian

suplementasi vitamin C untuk mengurangi gejala akibat cekaman panas (heat stress) belum banyak dipublikasikan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari apakah
vitamin C perlu ditambahkan ke dalam ransum ayam petelur
yang dipelihara pada kondisi temperatur lingkungan yang

panas seperti Indonesia dan untuk mengetahui kebutuhan vitamin C pada ayam petelur yang mengalami cekaman panas
(heat stress), sehingga dapat mempertahankan produksi telur pada periode produksi terttzntu yang tinggi.

Selanjut-

nya menguji pengaruh suplementasi vitamin C terhadap kualitas telur termasuk kandungan kolesterol.

TINJAUAN PUSTAKA

H u b u n ~ a nAntara Tempemtur Linekunszan dan Kebutuhan Zat-zat Makanan
Indonesia terletak di daerah tropis yang mempunyai
rataan temperatur dan kelembaban udara yang tinggi.

Rata-

an temperatur harian pada dataran rendah adalah 29

OC

dengan kisaran minimum 25 OC dan maksimum 34 OC dan pada

dataran tinggi rataan temperatur adalah 22.5 OC pada kisaran 19 OC minimum dan 26 OC maksimum (Soeharsono, 1976).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelembaban udara berkisar
antara 70% - 97% pada dataran rendah

dan

67% - 96% pada

dataran tinggi.
Menurut El Boushy dan Marle (1978) zona kenyamanan
(comfort zone) ternak unggas adalah antara 15O - 25 OC.
Oleh karena ternak unggas termasuk pada kelompok hewan homeoterm, maka semakin tinggi atau semakin rendah temperatur lingkungan di luar zona terrnonetral, maka ternak unggas akan menderita cekaman.

Salah satu implikasi dari ce-

kaman tersebut adalah semakin besar cekaman yang dialami
oleh unggas, maka semakin rendah pula konsumsi ransum.
Hal ini berarti bahwa semakin berkurang pula konsumsi zatzat makanan yang berakibat pada kekurusan dan rendahnya
produksi.


Oleh karena itu biasanya dalam peternakan ung-

gas masalah cekaman selalu dihubungkan dengan penurunan
produksi atau performans yang buruk.

Pendapat ini tampak-

nya belum cukup untuk memberi jawaban yanq memuaskan.
Pengaruh cekaman lingkungan terhadap pertumbuhan fisik secara fisiologis bukan merupakan pengaruh secara

langeung.

Pengaruh cekaman lingkungan yang tinggi secara

langsung terutama adalah mempunyai efek terhadap fungsi
beberapa organ tubuh seperti jantung dan alat pernafasan
yang menyebabkan naiknya temperatur tubuh.

Variabel

tersebut di atas adalah merupakan cermin dari aktifitas
metabolisme, sehingga laju metabolisme basal pada temperatur lingkungan yang tinggi menjadi naik
Burger, 1 9 6 4

; Payne 1966; Reece dan

(Linsley dan

Deaton, 1969).

Naiknya laju metabolisme basal ini menurut Fuller dan Mora
(1973) disebabkan karena bertambahnya penggunaan energi

akibat bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja jantung
serta bertambahnya sirkulasi darah periferi.

Melihat

hasil tersebut nampaknya bahwa pada temperatur lingkungan
yang tinggi di atas termonetral mengakibatkan kebutuhan
energi akan lebih tinggi pula.

Namun demikian bahwa

dengan adanya heat increament sebagai akibat pencernaan
makanan dan metabolisme zat-zat makanan akan menimbulkan
beban panas bagi ternak unggas yang pada gilirannya metabolisme aktif menjadi berkurang.

Berkurangnya metabolisme

aktif karena temperatur lingkungan panas ini cukup menonjol dapat dilihat manifestasi berupa menurunnya aktifitas
makan dan minum.
Untuk mengatasi menurunnya konsumsi ransum pada unggas yang dipelihara pada temperatur lingkungan panas, kita
dapat melakukan dengan cara mengurangi heat increament
dari ransum.

Bila ha1 ini dijalankan tanpa mengurangi

konsumsi energi, maka tingginya energi metabolis dalam
ransum tidak menjadi masalah

(Fuller dan Mora, 1973).

Dari penelitian-penelitian tentang ransum, ternyata heat
increament

dari lemak ternyata paling rendah dibandingkan

dengan karbohidrat dan protein (Mitchell, 1964).

Hal ini

telah dibuktikan oleh Fuller dan Mora (1973) bahwa tingginya energi metabolis dalam ransum yang berasal dari lemak,
tidak menurunkan konsumsi ransum.

Hasil yanq diperoleh

ini merupakan salah satu jawaban mengapa hasil-hasil
penelitian sebelumnya tidak konsisten dan kadang-kadang
bertolak belakang.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut

di atas nampaknya bahwa mekanisme pengaturan energi terhadap konsumsi ransum tidak ditentukan oleh jumlah Energi
Metabolis, melainkan juga oleh jenis bahan yang menghasilkan energi metabolis tersebut.
Kebutuhan energi metabolis pada ayam petelur tipe medium yang dipelihara pada temperatur lingkungan rendah (17'
C)

adalah 2800 kkal EM/kg ransum atau 360 kkal EM/ekor/ha-

ri, sedangkan pada ayam petelur tipe ringan adalah sebesar
2900

kkal/kg ransum atau 320 kkal EM/ekor/hari (Scott et

a l , 1982).

Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsumsi ransum

ayam petelur yang dipelihara pada temperatur lingkungan
yang rendah sebesar 9 0 gram sampai 117 gram per ekor per
hari dibandingkan dengan yang dipelihara pada temperatur
lingkungan panas lebih rendah yaitu sebesar 82 gram sampai
105

gram.

Hurwitz et al.

(1973) menyatakan bahwa terdapat

interaksi antara temperatur lingkungan dan umur terhadap
kebutuhan asam amino dan konsumsi energi.

Pada suasana

temperatur lingkungan yang tinggi kebutuhan asam-asam amii

no dalam ransum akan meningkat.
Fisiolo~iCekaman

Kemampuan dari ternak untuk mengaklimatisasi terhadap
berbagai temperatur lingkungan telah banyak dilakukan peneliti.

Secara umum dapat dikatakan bahwa karena unggas

termasuk hewan homeoterm maka unggas sangat sulit mengadaptasikan diri terhadap perubahan temperatur lingkungan.
Pernyataan ini didukung oleh Sykes (1983) bahwa ayam kurang toleran terhadap perubahan temperatur lingkungan,
Penyebab cekaman pada unggas antara lain adalah perubahan
temperatur lingkungan, tinggi tempat (altitude), bahan
yang mengandung racun, ketakutan, hiperaktif dan defisiensi zat-zat makanan (Ewing, 1963).
Apabila ayam dihadapkan pada suatu stressor (faktor
penyebab stres) seperti perubahan temperatur lingkungan
yang tinggi atau lebih rendah dari termonetral, maka secara cepat terjadi perubahan dari hormon endokrin terutama
terjadi pada fase alarm.

Pada fase ini ditandai dengan

peningkatan tekanan darah, kontraksi otot, percepatan respirasi dan kandungan glukosa dalam darah meningkat. Hormon
yang mempunyai peranan terhadap rase alarm ini adalah hormon adrenalin yang dihasilkan pada ujung syaraf dan hormon

norephinephrine

(nor adrenalin) yang dihasilkan oleh

medulla adrenal (Ganong, 1963).

Lebih lanjut dinyatakan

bahwa selama fase alarm maka hormon yang ikut berperan
adalah berasal dari hypotalamus.
kan corticotropin realising
anterior.

Hypotalamus mengsekresi-

faktor

( C R F ) k e hipofise

Selanjutnya hipofise anterior mensintesa adeno-

corticotropin

(ACTH) dan selanjutnya disekresikan keselu-

ruh pembuluh darah.

Jaringan kortiko adrenal bertanggung

jawab terhadap ACTH dengan peningkatan sintesa dan pelepasan hormon steroid.

Pada ayam maka hasil akhir adalah di-

tandai dengan peningkatan hormon kortikosteron dan kortisol dalam darah.
Frankel (1970) menyatakan bahwa hormon kortikosteron
dan kortisol diklasifikasikan sebagai glukokostikoid dan
terutama bertanggung jawab terhadap fase resisten yaitu
setelah

fase alarm.

Peranan utama dari k o r t i k o s d o n dan

kortisol adalah perubahan metabolik pada peristiwa g l u coneogenesis yaitu perubahan dari non karbohidrat yaitu

protein yang masuk ke dalam darah dan diubah menjadi energi.

Balnave (1974) menyatakan bahwa selain hormon korti-

kosteron dan kortisol ternyata hormon tiroksin dan adrenalin sangat berperan dalam pengaturan temperatur tubuh.
Aktifitas kedua hormon tersebut akan meningkat apabila
temperatur lingkungan rendah dan sebaliknya akan menurun
apabila temperatur lingkungan tinggi.
Hormon tiroid bentuk aktif sebagai triiodotironin
(T3) dan tiroksin (T4) mempunyai peranan dalam fisiologi

tubuh.

Pada ayam perbandingan kedua hormon tersebut

adalah 6:4 (Wentworth dan Mellen, 1961). Itulah sebabnya
pada ayam untuk mengetahui kandungan hormon tiroid dilakukan dengan mengukur tiroksin.

Beberapa faktor yang rnempe

ngaruhi sekresi hormon tiroid antara lain adalah kontrol
dari hipofise yaitu sekresi dari TSH yang akan menurun
apabila produksi tiroksin tinggi

(Erickson, Cavalerieri

dan Rosenberg, 1982; Farmer et al, 1973).

Pengaruh ling-

kungan seperti lamanya penyinaran merupakan

salah satu

rangsangan terhadap fungsi kelenjar tiroid pada beberapa
spesies ternak.

Panjang hari dapat menghambat katabolisme

hormon tiroid di perifer (Farmer, et al., 1973).
Temperatur lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap sekresi hormon tiroid.

Gregerman dan Crowder (1963)

melaporkan bahwa tikus yang mendapat perlakuan cekaman
panas yang tinggi maka sekresi hormon tiroid sdalah rendah

.

Struktur Vitamin C dan Sifat Biokirnia
Pada penyusunan ransum konvensional para ahli menganggap bahwa vitamin C merupakan salah satu vitamin yang tidak diperhitungkan.

Hal ini disebabkan karena sebagian

besar masih menganut hasil penelitian antara tahun 1920 1930 (Pardue dan Thaxton, 1986).

Perkembangan selanjutnya

dinyatakan bahwa vitamin C dipandang perlu diperhitungkan
dalam penyusunan ransum terutama pada kondisi kondisi tertentu seperti temperatur lingkungan tinggi, nutrisi yang

kurang baik dan masalah penyakit karena kemampuan ayam untuk mensintesis vitamin C dalam tubuhnya tidak d a p a t
memenuhi kebutuhannya.

lagi

Pemberian vitamin C pada ayam yang

dipelihara pada temperatur lingkungan tinggi ternyata dapat meningkatkan resistensi terhadap panas dan menurunkan
tingkat kematian (Thornton, 1962 ; Perek dan Kendler, 1962
; Lyle dan Moreng, 1968).

0

0

//
C---OH

( 2 ~ + )
-4

H-

C

H - C

I
H - C - H

I
I
CH20H

O H - C - H

I

CHZOH

Asam Askorbat
Ilustrasi 1.

Asam Dehydroskorbat

Perubahan Bentuk Asam Askorbat Menjadi
Bentuk Asam Dehydroaskorbat

Struktur vitamin C pada dasarnya mirip dengan struktur monosakharida, mudah mengalami oksidasi menjadi bentuk
dehydro seperti terlihat pada Ilustrasi 1

(Harper et al.,

1979).
Proses oksidasi asam askorbat rnenjadi asam dehydroaskorbat terjadi dalam

ginjal

lanjut dinyatakan bahwa
lebih dominan.

(Christensen, 1983).

di dalam darah bentuk

Selanjutnya Hornig

Lebih

tereduksi

(1975) menyatakan bahwa

asam askorbat masuk k e dalam jaringan melalui suatu proses

dengan memerlukan sejumlah energi dan sangat sensitif terhadap ion sodium, sedangkan asam dehydroaskorbat melalui
proses difusi.
Gugus enadiol pada asam askorbat mempunyai peran dalam fungsi fisiologis, yaitu pada gugus ini terjadi pelepasan

ion hidrogen untuk menghasilkan

bentuk dehydro

(Harper et al., 1979).
Asam askorbat juga mernpunyai sejumlah reaksi positif, sehingga memungkinkan untuk memiliki beberapa derivat
(Hornig et al., 1983).

Salah satu dari komponen tersebut

adalah asam askorbat 2-sulfat yang mempunyai aktivitas vitamin C secara biologis pada ikan salmon, akan tetapi pada
bangsa kera tidak memiliki anti skorbut (Machlin et al.,
1976). Secara kimiawi bentuk vitamin C

yang stabil terha-

dap oksidasi adalah bentuk dehydroaskorbat.

Bentuk dehy-

droaskorbat terdapat dalam konsentrasi yang kecil pada jaringan, ha1 ini merupakan gambaran adanya sistem oksidasi/reduksi.

Proses oksidasi lebih lanjut akan menghasilkan

asam L-treonat dan karbon dioksida
dan asam oksalat.

atau asam L-treonat

Pada proses oksidasi asam askorbat

rnenjadi bentuk asam dehydroaskorbat akan terbentuk asam
semi dehydroaskorbat yang bersifat radikal bebas.

Bentuk

tersebut tidak reaktif serta tidak mengganggu keseimbangan
antara asam askorbat dan asam dehydroaskorbat. Pada tingkat sel maka asam askorbat terkait dalam transport elektron melalui semi dehydroaskorbat (Weis, 1975).

Biosintesis Vitamin C

Pada kondisi linqkungan yang normal biosintesis vitamin C pada ternak pada umumnya terdapat dalam jumlah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya, akan tetapi
pada beberapa kondisi tertentu seperti pada temperatur
linqkungan tinggi ternyata sintesis vitamin C tidak cukup
ditandai denqan defisiensi vitamin C yang segera terlihat
pada ternak (Christensen.1983).

I

H - C

H O - C

H - C

I

-OH

- H

II-

-OH

H - C

I

-

7.

1

- O H

CH20H

D

L-asam gulonat ---,
L-gulono gulonat
lakton
Keto gulono
lakton

H -

HO
Spesies yang t i d a k
m i l i k i L-gulmo
t a k t o n oksidase

Tapak J a l a n
Pentosa Fosfat

Glukosa

-

L-Asam Askorbat
(Vitamin C )

Ilustrasi 2.

Proses Pembentukan vitamin C dalam Hati

Tapak jalan dari biosintesis vitamin C yang berasal
dari luar tubuh adalah dengan cara perubahan a!--qulonolac-

ton menjadi 2-keto-a-gulonat
sasi spontan

menjadi

yang terjadi secara isomeri-

bentuk tautomerik

a-asam askorbat.

cr-asam

askorbat dibentuk di dalam hati dari bentuk D--glu-

kosa melalui suatu reaksi seperti terlihat pada Ilustrasi
2.

Pada umumnya ternak berlambung sederhana dan ternak

ruminansia mampu untuk mensintesis vitamin C dalam tubuhnya sendiri.

Hal ini disebabkan karena di dalam tubuhnya

terdapat enzim a-qulonolactone
1984).

oxidase

(Sauberlich,

Tingkat kemampuan ini teryata berbeda antara spe-

sies dan jenis hewannya (Chatterjee, 1973).

Selanjutnya

dikatakan bahwa ayam mempunyai kemampuan untuk melakukan
biosintesis vitamin C pada organ ginjal.

Kandungan vita-

min C dalam hati menurun sejalan dengan meningkatnya umur.
Hornig dan Frigg (1979) menyatakan pada ayam umur muda kecepatan biosintesisnya masih lambat, selanjutnya akan
meningkat sampai umur 3 0 hari dan kemudian akan menurun
setelah umur 40 hari.
Hasil penelitian pada saat ini membuktikan bahwa ayam
tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mensintesis vitamin C
dalam jumlah yang cukup apabila mendapat cekaman panas
(Hornig dan Frigg, 1979).
Percobaan pada hewan tikus menunjukkan bahwa

laju

biosintesis vitamin C ternyata dapat dirangsang dengan
pemberian obat tertentu (Stare, 1961).

Umumnya faktor

cekaman pada tikus seperti pemuasaan, obat-obatan atau
pengaruh lingkungan (cekaman panas) diketahui menyebabkan
terjadinya adaptasi dalam meningkatkan aktivitas enzim
yang terkait dalam biosintesis vitamin C untuk memenuhi

kebutuhannya.

Akan tetapi pada kondisi cekaman yang ter-

lalu berat, laju biosintesisnya tidak dapat memenuhi kebutuhan vitamin C dalam tubuhnya .(Zannoni et dl.,
Stubs dan

riff in, 1973; Stare,

1978;

1961).

Menurut Hornig dan Griff (1979) menyatakan bahwa pada
kondisi cekaman panas yang tinggi, ayam tidak mampu lagi
mensintesis vitamin C yang cukup untuk kebutuhan hidupnya.
Kechnik dan Sykes (1979) melakukan percobaan pada ayam
yang diinfeksi dengan Eimeria avervulina

(koksidiosis

usus) menyebabkan penurunan konsentrasi vitamin C pada
plasma dan beberapa jaringan.

Pada pemberiaan vitamin C

sebanyak 1000 mg/kg ransum ternyata mampu mencegah penurunan vitamin C dalam plasma dan jaringan serta membantu
kembali perbaikan usus.
Metabolisme dan Absomsi Vitamin C

Kemampuan ternak untuk mengabsorpsi vitamin C ternyata berbeda-beda.

Pada manusia absorpsi vitamin C terjadi

pada duodenum dan ileum, sedangkan pada tikus absorpsi
terutama terjadi di ileum (Hornig, 1975).

Absorpsi vita-

min c dalam usus halus tikus melalui suatu proses yang pasif, ha1 ini berarti bahwa pada spesies hewan tertentu
yang tidak terkena skorbut mempunyai mekanisme absorpsi
vitamin C dengan cara difusi (spencer et dl.,

1963).

Suatu percobaan pada ayam dengan menggunakan asam askorbat yang berlabel

(c-14

)

membuktikan bahwa setelah

delapan jam pemberian dosis tunggal, maka konsentrasi tertinggi terdapat dalam hati.

Pada pemberian asam askorbat

melalui intravenus maka jumlah asam askorbat dalam hati
sebesar lo%, sedangkan apabila diberikan melalui oral jumlah askorbat dalam hati hanya ssbesar 5%.

Pada organ lim-

pa dan ginjal konsentrasi askorbat hanya berkisar 1% dari
dosis yang diberikan (Hornig dan Frigg, 1979).

Rendahnya

konsentrasi askorbat dalam ginjal disebabkan oleh karena
vitamin tersebut setelah dibiosintesis kemudian diangkut
k e organ-organ lain di seluruh tubuh.
yang dilakukan oleh Burns et

Suatu percobaan

al., (1951) untuk mengetahui

metabolisme vitamin C dengan menggunakan

radio aktif

(-14c) asam askorbat melalui suntikan pada marmot.

Hasil

yang diperoleh menunjukkan bahwa 66% dari asam askorbat
yang berlabel tersebut ditemukan sebagai (-14c) karbon
dioksida, 10% pada urin dan kurang dari 1% pada feses.
Hasil yang diperoleh ini menunjukkan bahwa rantai karbon
mengalami oksidasi secara luas menjadi karbon dioksida.
Puncak radioaktif pada C 0 2 dicapai lebih awal dibandingkan
dengan puncak radioaktif pada plasma dan jaringan yang
mengandung vitamin C konsentrasi tinggi.

Hasil penelitian

ini menyimpulkan bahwa metabolisme vitamin C yang pertama
terjadi pada dinding usus sebelum mencapai sistem sirkulasi.

Bila dibandingkan dengan hasil penelitian secara in

vivo, katabolisme vitamin C pacla marmot dan tikus maka sebagian terbesar menjadi

C02

(Curtin dan King,

1955).

Radioaktif yang ditemukan pnda urin setelah mendapat
asam askorbat adalah 10% dalam bentuk asam askorbat

(-14c)

+

asam dehydroaskorbat, 2%-3%

dalam bentuk asam 2,3-diketo

gulonat dan 7% dalam bentuk asam oksalat.

Sedangkan meta-

bolit lain yang diisolasi dari urin tikus dan marmot adalah 2-0-metil askorbat, asam sakharo askorbat (Tolbert et
dl.,

1976) dan asam askorbat 2-sulfat (Baker et dl.,

1971)

dalam jumlah yang sangat kecil.
Salah satu fungsi utama dari vitamin C diduqa adalah
sebagai kosubstrat dari enzim dopamin &hydroxilase
berperan dalam sintesis norephineprin.

Dopamin J3

silase mengubah dopamin menjadi nor-adrenalin.

yang

hidrok-

Pada reak-

si ini vitamin C bertindak sebagai donor ion hidrogen dan
atom

Cu pada enzim tersebut digunakan sebagai intermediet

yang menerima elektron dari vitamin C (Ullrich dan Duppel,
1975).

Hasil penelitian yang dilakukan Tolbert et al.

(1979) telah menunjukkan bahwa injeksi asam askorbat ke
dalam otak mempengaruhi aktifitas dopamin sehingga meningkatkan metabolismenya menjadi noradrenalin.

Submanian

(1977) melaporkan kemungkinan adanya hubungan antara asam

askorbat dan amin biogenik dan menunjukkan bahwa apabila
terjadi kekurangan vitamin C akan menimbulkan perubahan
distribusi asam amino menjadi prekursor neurotransmiter di
dalam otak.
Asam askorbat tidak menstimulir aktifitas sistem oksigenase, akan tetapi apabila terjadi kekurangan vitamin c

pada marmot menyebabkan menurunnya aktifitas metabolisme
kolesterol (Bjorkhem dan Kallner, 1976 ;

Ginter, 1978)

sehingga menimbulkan akumulasi kolesterol di dalam jaringan dan serum.

Harris et al.,

(1979) menyatakan bahwa ak-

tifitas kolesterol 74-hidroksilase hati menurun sebanyak
46% pada marmot setelah 10 hari diberikan ransum tanpa

vitamin C.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengaruh vitamin

C pada metabolisme lemak membuktikan bahwa hipovitaminosis

c mempunyai implikasi terhadap resiko patoqenesis penyakit
arteri koroner.
Sintesis kortikosteroid dalam kelenjar adrenal membutuhkan tahap hidroksilasi.

Stimulasi kelenjar adrenal

dengan ACTH mengakibatkan penurunan konsentrasi asam askorbat adrenal (Kitabchi dan West, 1975).

Kitabchi (1967)

mengajukan suatu hipotesis bahwa konsentrasi asam askorbat
yang tinggi pada kelenjar adrenal akan menghambat steroidogenesis.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa asam askorbat

menghambat enzim yang merubah kolesterol menjadi pregnenoAsam askorbat menghambat aktifitas C-21 hidroksilase

lon.

dan 11-#

hidroksilase dalam tapak jalan steroid (Kitabchi,

1967).

Fungsi Vitamin C

Beberapa peneliti beranggapan bahwa terdapat sejumlah
fungsi dari vitamin C, akan tetapi mereka belum bisa menetapkan

karena

hasil-hasil penelitian belum

mampu

untuk

mengungkapkan tapak jalan aktifitas biokimia dari vitamin
C.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa kemungkinan besar vita-

min C mempunyai peranan dalam metabolisme steroid terutama
dalam sintesis hormon steroid pada bagian korteks adrenal
melalui proses hidroksilasi.

Vitamin C juga mempunyai pe-

ranan dalam sintesis serabut kolagen yang normal dengan
cara katalisis hidroksi-prolin, reaksi ini digunakan untuk
membentuk jaringan adiposa, tulang dan gigi; berfungsi sebagai anti oksidan ;oksidasi dan reduksi dari berbagai enzim (Herlyn dan Glaser, 1977).

Apabila terjadi defisiensi

asam askorbat dalam tubuh, maka ha1 ini menyebabkan berkurangnya hidroksilasi molekul-molekul prolin dalam protokolagen yang akhirnya akan mengakibatkan gangguan pembentukan serabut-serabut kolagen yang tidak larut yang mengakibatkan jaringan pelindung tidak stabil.

Bates (1979) le-

bih lanjut menyatakan bahwa kegagalan penyembuhan pada
kasus luka, gusi dan perubahan tulang pada beberapa spesies ternak yang mengalami defisiensi vitamin C sebagai
akibat dari menurunnya serabut kolagen.
Studi pada marmot telah mengungkapkan peranan asam
askorbat pada reaksi hidroksilase yaitu berupa penurunan
asam askorbat telah mengakibatkan turunnya karnitin otot
kerangka dan jantung (Hughes, 1981).

Rendahnya sintesis

karnitin otot kerangka mempengaruhi kemampuan otot untuk
melakukan kontraksi secara terus menerus.

Kekurangan kar-

nitin pada sel-sel otot ini ternyata dapat dipacu dengan
pemberian asam askorbat.

Thornton (1961) menyatakan bahwa ayam petelur yang
dipelihara pada temperatur lingkungan 35 OC
tamin C terganggu.

Lebih lanjut

sintesis vi-

.dinyatakan bahwa kadar

vitamin C dalam darah juqa menurun dibandingkan dengan
yang dipelihara pada temperatur lingkungan 21 "C.

Mening-

katnya temperatur lingkungan ternyata mengurangi juga konsentrasi vitamin C dalam serum tikus (Squib et al.,

1955).

Vitamin C dan Kualitas Telur

Thornton dan Morenq

(1959) menyatakan

bahwa a s a m

askorbat mempunyai penqaruh penting terhadap metabolisme
kalsium, ha1 ini ditunjukkan dengan peningkatan kualitas
kerabang telur pada ayam yang diberi ransum mengandung vitamin C.
Menurut Creswell (1979) bahwa fenomena yang umum dijumpai di daerah tropis adalah kualitas kerabang telur
yang tipis.

Cheng et al.

(1990) menyatakan bahwa kalsium

merupakan unsur yang penting dalam pembentukan kulit telur
clan

terdapat

dalam

bentuk

CaC03.

Pembentukan kalsium

karbonat sangat erat huburigannnya dengan ketersediaan kalsium dalam darah, karbon dioksida dan ion karbonat darah.
Karbon dioksida selain berasal dari darah, juga berasal
dari metabolisme sel-sel dalam kelenjar kulit telur.
dangkan ion karbonat diduga
bonat kulit telur.
nyawa

Se-

membantu pembentukan ion kar-

Bikarbonat merupakan gabungan dari se-

C02 dan H20, dan dalam pembentukannya dipengaruhi

oleh enzim karbonik anhidrase.

Menurut Cheng et al.
bahwa pada

(1990)

dan

~ i f r iet d l .

(1977)

kondisi temperatur lingkungan yang tinggi akan

terjadi peningkatan pengeluaran panas antara lain melalui
proses penguapan air melalui saluran pernafasan, sehingga
menyebabkan berkurangnya ion C02 dan HC03- dalam darah,
sehingga akan menyebabkan rendahnya daya buffer ion tersebut.

Hal ini yang menyebabkan rendahnya pula daya buffer

ion hidrogen yang diperoleh selama pembentukan kulit telur, sehingga mempengaruhi ion karbonat dalam cairan uterus.

Ini berarti bahwa suplai ion karbonat tidak cukup

dalam pembentukan CaC03 dalam uterus.

Oleh karena itulah

kulit telur d i daerah tropis biasanya tipis atau lembek.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa temperatur tubuh ayam yang
mendapatkan suplementasi vitamin C nyata lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan vitamin C.
Menurut Coates (1984) papa kondisi cekaman panas maka

i

kebutuhan vitamin C akan menlngkat, baik untuk pertumbuhan, produksi telur dan kualitas kerabang.
terjadinya perubahan vitamin

C

Oleh karena itu

dalam jaringan dan plasma

yang disebabkan oleh perubahan temperatur lingkungan yang
tinggi dapat diatasi melalui suplementasi vitamin C dari
luar

.
Dorr dan Nockels (1971) menyatakan bahwa suplementasi

vitamin C pada ayam petelur masih menunjukkan hasil yang
bervariasi.

Thornton dan Moreng (1959) melaporkan bahwa

ada beberapa pengaruh yang baik dari suplementasi vitamin

C terhadap kulit telur.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa pa-

da suplementasi vitamin C sebesar 44 ppm dalam ransum yang
mengandung protein 13% dapat meningkatkan ketebalan kerabang telur.

sebaliknya Arscott et al. (1962) menyatakan

bahwa suplementasi vitamin C tidak memberikan pengaruh
terhadap kualitas telur.

Terjadinya perbedaan hasil ini

kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan stressor yang
diperoleh ayam
Kendler

petelur.

Hal ini diperkuat oleh Perek dan

(1962) menyatakan bahwa suplementasi vitamin C

akan semakin nyata memberikan pengaruh terhadap kualitas
kulit telur sejalan dengan meningkatnya temperatur lingkungan.

Herrick dan Nockels (1969) menyatakan bahwa sup-

lementasi vitamin C nyata meningkatkan kualitas telur kendatipun telur tersebut disimpan sampai dua minggu dibandingkan dengan telur yang berasal dari ayam yang tidak
mendapatkan suplementasi vitamin C. Nockels

(1973) mela-

porkan bahwa suplementasi vitamin C sebanyak 1322 ppm pada
ransum ayam petelur yang mengandung

protein

15% dapat

meningkatkan kualitas telur.

Vitamin C Sebapai Pemacu Pertumbuhan
Penelitian mengenai peranan vitamin C sebagai pemacu
pertumbuhan belum menunjukkan hasil yang konsisten.
et al.

Sifri

(1977) melaporkan bahwa suplementasi vitamin C

da-

lam ransum puyuh tidak menunjukkan peningkatan pertumbuhan.

Akan tetapi Dorr dan Balloun (1976) menyatakan bahwa

suplementasi vitamin C 3000 ppm dapat meningkatkan pertumbuhan anak kalkun.

Ayam leghorn jantan yang mendapatkan

suplementasi vitamin C, terjadi peningkatan berat tubuh
mulai pada minggu ke-3, ke-7 dan

minggu ke-17, sedangkan

pada ayam betina terjadi peningkatan berat tubuh pada
minggu ke-3 dan minggu ke-7
Pardue et al.

(Scheming dan Nokels, 1978).

(1985) menyatakan bahwa ayam

jantan

yang memperoleh 1000 ppm vitamin C yang didedah pada temperatur lingkungan yang tinggi, pertumbuhannya lebih cepat
dibandingkan dengan ayam yang tidak mendapatkan suplementasi vitamin

C.

Ichsan (1990) melaporkan bahwa pemberian vitamin C
sebanyak 1000 ppm pada temperatur lingkungan 33 OC menghasilkan pertumbuhan yang baik dibandingkan dengan tanpa diberi tambahan vitamin C.

Pemberian vitamin C pada tempe-

ratur lingkungan tersebut meningkatkan kadar vitamin
plasma, kadar vitamin vitamin

C

C

kelenjar adrenal dan seba-

liknya menurunkan kadar kolesterol kelenjar adrenal.

Vitamin C dan Cekaman
Menurut Selye (1973) bahwa cekaman adalah merupakan
kumpulan respons bertahan (defence respons) terhadap suatu
stimulus.
maupun

Sedangkan stimulusnya baik perubahan internal

perubahan

eksternal

termasuk defisensi

zat-zat

makanan, temperatur lingkungan atau perubahan fisiologis
disebut sebagai stressor.

Jadi apabila ternak dihadapkan

kepada suatu stressor, bermacam-macam praduga yang akan
timbul sebagai respons dan respons ini yang disebut sebaqai cekaman (stres).
Beberapa stressor seperti linqkungan, penyakit dan
zat makanan diketahui mengubah penggunaan dan/atau sintesis vitamin C pada ternak unggas.

Dvorak (1974) melapor-

kan bahwa babi yang dipuasakan nyata menurunkan vitamin C
pada hati.

Ayam yang dipuasakan selama 5 hari ternyata

mengakibatkan penurunan vitamin C pada hati dan jejunum
(Kecknik dan Sykes, 1978).
Suplemetasi vitamin C nyata meningkatkan resistensi
terhadap penyakit (Hill dan Garren, 1955) , meningkatkan
respons kekebalan (Pardue dan Thaxton, 1984).

Ayam pete-

lur yang didedah pada temperatur lingkunqan yanq tinggi
ternyata mampu melepaskan panas dan temperatur tubuhnya
lebih rendah dibandingkan dengdn kontrol (Thornton, 1962 ;
Ahmad et al.,

1967).

Penurunan tingkat kematian sebagai

akibat cekaman panas juga telah dilaporkan pada ayam yang
mendapat suplementasi vitamin C (Perek dan Kendler, 1955).
Siege1

(1971) menyatakan bahwa

penurunan

vitamin

C di

dalam kelenjar adrenal telah dinyatakan sebagai respons
cekaman yang klasik pada ayam.
Alberets et d l .

l(1983) menyatakan bahwa sel-sel

limfosit dibagi dalam dua kelas yaitu sel T yang dikembangkan dalam

kelenjar thimus dan sel B diproduksi pada

bursa fabrisius.

Pada bangsa unggas sel B lebih banyak

berperan dibandingkan dengan sel T.

McCorkle e t d l .

(1980) menyimpulkan bahwa vitamin C dapat memodulasi
R-limfosit

tetapi tidak dapat memodulasi T-limfosit.

Glick et al. (1956) menyatakan bahwa bursa fabrisius merupakan organ limfo epithel pada unggas muda, mempunyai kemampuan menghasilkan antibodi.

Laporan selanjutnya menya-

takan bahwa bursa fabrisius berfungsi juga dalam mempertahankan konsentrasi vitamin C dalam kelenjar adrenal.
Thornton (1962) melaporkan bahwa suplementasi vitamin
C

44

mg/kg ransum pada ayam petelur yang dipelihara pada

temperatur lingkungan 2 4 . 4 O

-

26. l o C tidak memberikan

pengaruh terhadap temperatur tubuh.

Akan tetapi pada ayam

yang dipelihara pada temperatur ligkungan 37.8 OC memberikan pengaruh yang nyata lebih rendah terhadap temperatur
tubuh dibandingkan dengan kontrol.

Lebih lanjut dinyata-

kan bahwa konsumsi oksigen juga nyata lebih

rendah pada

ayam yang diberi vitamin C dibandingkan dengan kontrol.
Suplementasi vitamin C nyata membatasi meningkatnya
t e m p e r a t u r t u b u h a y a m L e g h o r n y a n g d i d e d a h p a d a t e m p e r a t u r ling-

kungan 2 g 0 C.
Kolesterol dan Strukturnva

Kolesterol merupakan suatu jenis sterol (Zoosterol)
yang banyak dijumpai pada jaringan tubuh
telur, susu dan hasil produksinya.

hewan, kuning

Kolesterol merupakan

hasil dari sintesis metabolisme yang normal dalam tubuh,

akan tetapi dapat juga didapatkan dari bahan makanan yang
berasal dari hewan.

Kolesterol terdapat. dalam bentuk be-

bas dan teresterifikasi dengan asam

1-emak (Lehninger,

1972).

Struktur kolesterol merupakan derivat dari inti perhidrosiklopentanopenantren

yang mengandung sebuah gugus

hidroksil alkohol pada atom C dan sebuah cabang rantai
alifatik yang terdiri dari 8 buah atom karbon pada atom
C17

Kolesterol mempunyai sebuah ikatan rangkap pada atom

C 1 7 -C15

dan C6

yang ditandai dengan akhiran sistimatik

"ene"; posisi ketidak jenuhan pada intinya tersebut ditandai dengan simbol serta nomor atom karbon pada

ikatan

rangkap atau dengan meletakkan nomor atom karbon pada
ikatan rangkap di belakang akhiran "ene".

Rumus molekul

kolesterol adalah C27H460, dengan berat molekul 386,64 dan
perbandingan C

: H

: 0 adalah 83.87%

(Fruton and Simmonds, 1962)

: 11.99%

: 4.14%

.

Sintesa kolestrol terjadi di dalam hati melalui suatu
tingkatan reaksi lebih dari 30 tahapan dengan zat asal
asetat (-COOH).

Asetat dihasilkan dari metabolisme tubuh

yaitu hampir dari seluruh metnbolisme lemak, karbohidrat
dan protein.
Kolesterol berfungsi pada pembentukan asam empedu,
yang dibutuhkan untuk mengemulsi lemak pada usus halus.
Kolesterol diperlukan juga pada sintesa hormonal, yang merupakan unsur penting pada dinding sel.

Kolesterol bebas dan kolesterol ester terikat dengan
empedu, membentuk senyawa protein yang larut dalam plasma
darah.

Kolesterol dengan fosfolipida di dalarn plasma ter-

ikat dengan protein dan beredar sebagai satuan-satuan lipoprotein.

Lipoprotein adalah suatu senyawa yang terdiri

dari protein, fosfolipida, lemak netral, kolesterol bebas
dam kolesterol ester.
Plasma kolesterol terdapat dalam dud bentuk lipoprotein yang dibedakan berdasarkan kepadatannya yaitu lipoprotein yang kepadatannya jarang atau disebut sebagai LDL
(Low Density Lipoprotein) dan lipoprotein yang mempunyai
kepadatan tinggi disebut HDL (High Density Lipoprotein).
LDL mempunyai struktur 78-lipoprotein

dan kolesterol

sebagian besar terdapat dalam bentuk LDL, sedangkan HDL
mempunyai struktur 7a-lipoprotein

dan hanya terdapat se-

dikit dalam kolesterol.
Kolesterol LDL mempunyai sifat yang berbahaya pada
pembuluh darah dan jantung.

Pada penyakit yang disebabkan

dengan naiknya kadar kolesterol maka serum darah terlihat
naiknya kadar LDL.

Kolesterol HDL sebaliknya dapat menu-

runkan kolesterol LDL secara lambat.

Kolesterol HDL tidak

diperoleh dalam ransum akan tetapi disintesis dalam tubuh
(Briggs dan Brotherton, 1970).

Sifat Sifat Koiesteroi dan Sumbernva
Kolesterol adalah senyawa yang tidak larut dalam air,
sedikit larut dalam alkohol yanh dipanaskan pada temperatur 80 OC.

Kolesterol larut dalam pelarut organik seperti

kloroform, ether, pyridine, benzena, petrolium eter dan
lemak.
Kolesterol termasuk lemak yang tidak tersaponifikasi,
dapat diekstraksi dari jaringan tubuh hewan dengan petrolium eter, kloroform dan benzena.

Proses pengendapan da-

pat dilakukan dengan digitonin dan memberikan warna merah
dengan larutan rosanilin dalam kloroform.

Dalam jaringan

tubuh hewan kolesterol terdapat bersama-sama dengan sterol
lain yang jenuh yaitu kolestanol (dehydrokolesterol) dan
koprostanol.
Kolesterol merupakan molekul monohidrat, berbentuk
kristal jarum ortombik berwarna putih dan mempunyai sifat
optik aktif dengan spesifik rotasi ( c Y ) ~ ~ ' - 39.5O(dalam
larutan kloroform).
peratur 70°

-

80

OC,

Menjadi bentuk anhydrous pada temdan mencair pada temperatur 150 OC

serta terdekomposisi pada temperatur 360 OC
al.,

(Windholz et

1976).

Metaboliime Kolesterol
Sterol yang terdapat di alam mempunyai varietas dan
jenis yang bermacam-macam.

Kolesterol dapat langsung di-

serap yaitu melalui limpa dan sekitar 50 % dari kolesterol

yang diserap adalah dalam bentuk teresterifikasi, jumlah
terbesar kolesterol dalam plasma darah dalam bentuk ester
asam lemak.

Saluran usus juga mengandung sterol dehy-

drogenase yang merupakan katalis bagi perubahan kolesterol
menjadi 7-dehydrokolesterol.

Beberapa kolesterol yang

terdapat d i dalam feses hewan antara lain adalah koprostanol, yang terjadi karena adanya reaksi antara bakteri
dalam saluran pencernaan dengan kolesterol.

Bakteri ter-

sebut membentuk koprostanol yang berasal dari kolesterol

fi
melalui bentuk yang keluar bersama

a

-

kolestenon.

Sterol-sterol lain

feses adalah 7-dehydrokolesterol,

- kolestenol dan kolestanol.

Hasil-hasil perubahan metabolisme kolesterol yang penting
adalah

asam empedu dan hormon-hormon steroid.

Beberapa zat yang timbul karena proses oksidasi kolesterol adalah bersifat karsinogenik dalam hewan percobaan dan zat ini merupakan proses metabolisme yang tidak
normal dari kolesterol (Fruton and Simmonds, 1962).

Biosintesis Kolesterol dan Faktor vanz M e m n e n ~ a r u h iK e c e ~ a t a nS i n t e s i ~
Kolesterol
Semua atom karbon dari kolesterol didapat dari Acetyl
Co-A. Harnpir semua jaringan diketahui dapat mensintesis
kolesterol dari asetat seperti adrenal korteks, usus, jaringan syaraf, dinding arteri, alat-alat reproduksi.

Akan

tetapi sintesis kolesterol yang paling banyak terdapat di
hati.

Enzim-enzim yang berperan dalam sintesis kolesterol

bergabung dengan partikel sitoplasma (rnikrosome).

0leh

karena itu sintesis kolesterol yang dikatalis oleh enzim
mempunyai ketergantungan pada kofaktor yang ada dalam mikrosome.
Tapak jalan yang terjadi antara asetat dan kolesterol
pertama-tama adalah melibatkan
7-B-metilglutaril

Co-A.

terbentuknya 8-hidroksi

Senyawa tersebut pada dasarnya

adalah diperoleh dari tiga molekul acetyl Co-A.

Senyawa

tersebut juga dihasilkan sebagai intermedia dalam metabolisme pemecahan Leusin.

fi-hidroksi-8-metilglutaril

CoA

adalah prekursor terdekat dari asam mevalonat, dibentuk
dengan pengaruh katalis yang mengandung sulfihidril, TPNH
yang memerlukan enzim B-hidroksi-B-metilglutaril
duktase.

Reaksi

tersebut

ternyata

COA re-

mengakibatkan pengu-

rangan sebuah gugus karboksil dari hidruksi-metilglutaril
CO--A. Hasil penelitian pada hewan percoban yang tanpa diberi ransum menunjukkan bahwa di dalam hati terjadi penurunan sintesis kolesterol dan turunnya aktifitas Jhidroksi+-metilglutaril

CO--Areduktase.

Biosintesis sterol terjadi dari enam unit lima atom
karbon yang salah satunya diturunkan dari mevalonat.

Asam

mevalonat di fosforifikasi dengan ATP dalam tiga reaksi
yang menggunakan katalis dengan tiga macam
berbeda yaitu dengan tingkat pembentukan
5 - profosfo

wa

terakhir

-, dan

enzim yang
5

-

5-pirofosfc3-3-fosfo-mevalonat.

tersebut merupakan

intermedia

yang

fosfo-,
Senyasecara

simultan akan mengalami kehilangan fosfat tersier dan mengalami dekarboksilasi menjadi dimetilalil-pirofosfat dengan penambahan sebuah proton pada pusat ikatan ranqkap
metilene karbon, yang kemudian diikuti dengan hilanqnya
sebuah proton dari atom C2.

Kedua isomer tersebut adalah

senyawa-senyawa yang terpenting dalam sintesis poli

iso

prenoid yang merupakan dasar dari reaksi berikutnya yang
melibatkan ikatan karbon ke karbon dalam reaksi biosintesis pembentukan sterol (Lehninger, 1972 ) .
Kecepatan

sintesis kolesterol didalam tubuh dipenga-

ruhi oleh banyaknya suplai kolesterol yang tersedia dalam
ransum.

Artinya bahwa sintesis kolesterol akan ditekan

dengan adanya ransum yang banyak mengandung kolesterol
atau dengan pengambilan squalene atau sterol lain yang dapat di konversi menjadi kolesterol. Sebaliknya apabila kolesterol yang terdapat dalam ransum dikurangi, maka biosintesis kolesterol akan dirangsang dalam jumlah yang
sar.

be-

Perubahan tingkat kolesterol dalam darah merupakan

respons yang berhubungan dengan perubahan derajad
an dari asam lemak dalam ransum.

kejenuh-

Makin banyak asam lemak

jenuh dalam ransum, maka konsentrasi serum kolesterol semakin tinggi (White et al.,

1964).

Kolesterol Dalam Telur
Komposisi telur dipengaruhi oleh

beberapa

faktor

antara lain adalah jenis dan jumlah ransum yang diberikan,

umurunggas, temperaturlingkungan, kecepatanbertelurdan p e nyakit (Romanoff and Romanoff, 1963).

Pada dasarnya telur

terdiri dari tiga bagian yaitu : Kuning telur (Yolk), putih telur (albumen) dan kulit telur.

Ketiga

bagian ter-

sebut berbeda satu sama lain baik struktur maupun susunan
kimianya.
Komposisi kuning telur lebih kompleks dibandingkan
dengan bagian lainnya seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1.

Persentase Kandungan Kuning Telur

Komponen

Persentase

(%)

Air
Bahan Padat
Bahan Organik
= Protein
= Lemak
= Karbohidrat
Bahan in organik
Sumber : Romanoff dan Romanoff (1963)

Lebih lanjut Romanoff dan Romanoff

(1963) menyatakan

bahwa perbandingan antara protein dan lemak dalam kuning
telur adalah 1 : 2 dan dalam bentuk lipoprotein.

Adapun

komposisi dari lemak kuning telur seperti terlihat pada
Tabel

2.

Lebih lanjut Romanoff dan Romanoff

(1963)

menyatakan

bahwa sekitar 84% dari kolesterol yang terdapat dalam

kuning telur dalarn bentuk bebas dan sisanyn dalam bentuk
ester.

Rasio antara bentuk bebas dan bentuk ester agak

bervariasi tergantung pada strain unggas.

Dengan dernikian

maka kandungan kolesterol dalam telur-sedikit bervariasi
karena dipengaruhi oleh strain.

Kolesterol yang berada

dalam kuning telur di peroleh dari ransum yang dikonsumsi
dan pada saat sintesis selama proses pembentukan kuning
telur.
Tabel 2 .

Komposisi Lemak Dalam Kuning Telur

Komponen

(%)

Persentase Lemak ( % )

Gliserida
Fosfolipida
Kolesterol
Serebrosida
Sumber : Romanoff clan Romanoff

(1963)

Albumen atau putih telur terdiri dari protein dan air
dengan perbandingan sekitar L

:

8 dan 92% dari padatan

(11% dari keseluruhan) adalah protein, sisanya sebagian
adalah karbohidrat dan ion-ion anorganik.

Kolesterol da-

lam albumin diperkirakan sangat kecil atau bahkan tidak
ada

(Bell and Breeman, 1971).

Kolesterol dan Vitamin C

Penelitian tentang pengaruh pemberi-an vitamin C t e r hadap beberapa jenis ternak dalam usaha menurunkan kandungan kolesterol telah banyak dilakukan antara

lain

Hasil yang diperoleh ada-

dilakukan oleh Nockels, (1973).

lah ayam petelur yang mendapatkan suplementasi vitamin C
dapat menurunkan kandungan kolestrol dal.am jaringan.
neliti lain yaitu Sokoloff et al.

Pe-

(1967) melaporkan bahwa

pemberian vitamin C nyata menurunkan kandungan kolesterol
dalam darah, trigliserida dan lipase pada tikus dan kelinci.

Lebih lanjut King et a1

.

(1955) melaporkan

pemberian vitamin C nyata menurunkan sintesis

bahwa

kolesterol

dalam kelenjar adrenal marmot.
Beberapa teori yang berhubungan dengan mekanisme asam
askorbat yang menyebabkan berkurangnya kolesterol dalam.
darah antara lain dikemukakan oleh Kitabchi (1967) bahwa
pemberian asam askorbat pada sapi menyebabkan tingginya
kandungan asam askorbat dalam adrenal yang mengatur terjadinya peristiwa streidogenesis dengan card menghambat sistem hidroksilase.

Lebih lanjut Su1imovic:i dan Boyd (1968)

mengemukakan bahwa asam askorbat dalam jaringan ovari tikus kemungkinan berperan sebagai agen pereduksi dan menghambat mata rantai dan pemecahan enzim pembentukan kolesterol .
Peranan dari mikrosomal sitokrome P-450 hati yaitu
enzim oksigenase-7a-

hidroksilase

yang merubah

asam

empedu menjadi kolesterol.

Vitamin C tidak secara lang-

sung menstimulasi aktifitas sistem oxygenase, akan tetapi
percobaan pada marmot membuktikan bahwa kelebihan vitamin
C nyata menurunkan aktifitas dari metabolisme kolesterol

sehingga mengakibatkan terjadinya akumulasi kolesterol dalam jaringan dan plasma darah (Ginter, 1978 ; Hornig dan
Weiser, 1976).

Lebih lanjut dinyatakan bahwa percobaan

pada marmot yang tidak mendapatkan suplementasi vitamin C
telah terjadi penurunan sekitar 46% aktifitas dari hepatic
kolesterol

7cr-hydroxylase.

Metabolisme

asam

empedu

sangat nyata lebih rendah sebagai akibat dari rendahnya
s t a t u s vitamin C

.

Bobek, 1981)

(Harris et a1

,

1979

; Ginter

dan

MATERI DAN METODE PENELFIlAN
Penelitian dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pertama

dirancang untuk melihat hubungan antara tingkat pemberian
vitamin C pada suasana temperatur lingkungan penelitian
terhadap

respons fisiologis ayam petelur dengan mengukur

kadar vitamin c dalam plasma darah, kadar tiroksin

(T4)

dan kortisol dalam plasma darah.
Hasil penelitian tahap pertama digunakan untuk menduga kebutuhan vitamin C pada ayam petelur yang sedang berproduksi

.

Penelitian tahap kedua dirancang untuk menguji tingkat kebutuhan vitamin C yang telah ditetapkan pada penelitian tahap pertama terhadap performans produksi dan keadaan fisiologisnya.

Penelitian

'L)aha~Kesatu

Temvat

Penelitian.

Percobaan biologis untuk dilakukan di Balitnak Ciawi
mulai tanggal 3 0

Juli sampai 18 Agustus 1992. Analisis

laboratorium dilakukan di Laboratorium

BPT

Ciawi dan

Puslitbang Gizi, Dep. Kes. Bogor.
Bahan

Penelitian.

Ayam yang digunakan adalah ayam pet-elur tipe medium
fase I umur 21 minggu sebanyak 3 6 ekor.
digunakan adalah yang mengandung

Ransum yang

protein 18% dan energi

metabolis 2650 kkal/kg seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3.

Susunan Ransum Percobaan dan Kandungan Batzat Makanan *

Bahan

Persentase

Jagung kuning
Dedak halus
Bungkil kedele
Bungkil kelapa
Tepung ikan
Tepung kulit kerang
Premix B

Kandungan zat-zat Makanan :

Energi Metabolis (kkal/kg)
Protein kasar ( % )
Ca ( % )
P(0)
Lisin ( % )
Metionin ( % )
Metionin + sistin ( % )
Triptofan
Arginin
Keterangan :

*)

**)

: Hasil perhitungan (Scott et dl., 1982)
: Hasil percobaan biologis Balitnak

Ciawi

Vitamin C yang digunakan

adalah

bentuk tepung dengan rumus kimia C6 H8
kemurnian

99.7%

vitamin

C

dalam

O6 dengan tingkat

yang diproduksi oleh Merck.

Untuk menja-

min ketepatan vitamin C sesuai dengan dosis yang diberikan
dan keseragaman konsumsi vitamin C, maka dosis vitamin C
yang harus diterima oleh setiap ekor ayam petelur pada
masing-masing perlakuan dapat ditetapkan seperti pada Tabe1 4, yaitu dengan asumsi bahwa pada ransum dengan imban-

gan energi 2 6 5 0 kkal/kg dan protein 18
ransum adalah sebesar 110 gram,

%

maka konsumsi

Vitamin C dimasukkan k e dalam kapsul sesuai dengan
dosis yang telah ditentukan dan dicekokkan pada setiap
ekor ayam setiap hari.

Agar semua.ayam mendapat perlakuan

yang sama, maka pada perlakuan kontrol (0% vitamin C ) ,
ayam d