Suplementasi Tepung Jangkrik dalam Ransum Komersial terhadap Performa Ayam Petelur

SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM
KOMERSIAL TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR

SKRIPSI
MOKHAMAD SAEFULAH

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

RINGKASAN
MOKHAMAD SAEFULAH. D14102005. 2006. Suplementasi Tepung Jangkrik
Dalam Ransum Komersial Terhadap Performa Ayam Petelur. Skripsi.
Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota

: Ir. Hj. Niken Ulupi, MS
: Ir. Dwi Margi Suci, MS


Telur merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi dan hampir
semua proteinnya dapat dimanfaatkan oleh tubuh jika dibandingkan dengan protein
bahan pangan lain. Kandungan asam amino pada telur lebih baik karena asam amino
telur dijadikan sebagai tolak ukur standar asam amino yang diserap oleh tubuh
(biological value) untuk menghitung asam amino pembatas.
Konsumsi telur semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk. Menurut Ditjen Peternakan (2005), konsumsi protein hewani yang berasal
dari telur mengalami peningkatan yaitu dari 4,38 kg/kapita/tahun pada tahun 2004
menjadi 4,71 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Kebutuhan telur tersebut selain
dipenuhi oleh telur ayam ras, juga berasal dari telur itik dan ayam buras yaitu sekitar
60 %.
Tepung jangkrik dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan berkualitas tinggi
dan sumber hormon, terutama estrogen. Hal ini dikarenakan tepung jangkrik
mengandung protein yang cukup tinggi. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
peningkatan kandungan protein ransum mempengaruhi performa produksi ayam
petelur.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi tepung
jangkrik sebagai sumber estrogen terhadap performa ayam petelur strain ISA-brown.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor selama 10 minggu yaitu sejak bulan Agustus

sampai dengan Oktober 2005. Sebanyak 90 ekor ayam petelur Strain ISA-brown
umur 20 minggu ditempatkan ke dalam 23 cage. Ayam dikelompokkan secara acak
ke dalam 5 perlakuan suplementasi tepung jangkrik yaitu 0%; 0, 25%; 0,50%; 0,75%
dan 1% dalam ransum. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan terdiri
dari enam ekor ayam. Tepung jangkrik yang digunakan berasal dari Asosiasi
Peternak Jangkrik (ASTRIK), Yogyakarta dengan kandungan protein kasar sebesar
55,96 % dan hormon estrogen sebesar 259,535 ppm. Model rancangan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap. Data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
secara umum suplementasi tepung jangkrik dalam ransum tidak berpengaruh
terhadap performa ayam petelur, seperti produksi telur, bobot telur, konsumsi dan
konversi ransum. Produksi telur, bobot telur, konsumsi dan konversi ransum selama
penelitian berturut-turut adalah 77,88-87,26 %; 54,03-60,33 g/butir; 103,39-109,57
g/ekor/hari dan 1,89-2,02.
Kata-kata kunci: Ayam petelur, tepung jangkrik, performa.

ABSTRACT
The Effect Of Supplementation Cicada Flour on Commercial Feed to Layer
Performance
M. Saefulah, N. Ulupi and D. M. Suci

Cicada flour is suspected have estrogenic hormone which can improve the
performance of layer. The aim of this study was investigated the effect of
supplementation cicada flour on commercial feed to layer performance. Ninety
chickens layer ISA-brown strain (20 week of age) were used in this study. Variable
measured hen-day production, eggs weight, feed consumption, and feed conversion.
Completely randomize design was used in this experiment with 5 treatments (P1);
0% cicada flour, (P2); 0.25% cicada flour, (P3); 0.5% cicada flour, and (P5) 1%
cicada flour, with three replicates were used. Data were analyzed using ANOVA.
Result in this experiment indicates that no effect the supplementation of cicada flour
to performance of chicken layer ISA-brown strain.
Keywords: Layer, Cicada flour, performance

SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM
KOMERSIAL TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR

MOKHAMAD SAEFULAH
D14102005

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

SUPLEMENTASI TEPUNG JANGKRIK DALAM RANSUM
KOMERSIAL TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR

Oleh
MOKHAMAD SAEFULAH
D14102005

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan
Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Agustus 2006

Pembimbing Utama


Pembimbing Anggota

Ir. Hj. Niken Ulupi, MS.
NIP. 131 284 604

Ir. Dwi Margi Suci, MS.
NIP. 131 671 592

Dekan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRur. Sc
NIP. 131 624 188

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 5 September 1983 di Batang, Kota Madya
Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari
pasangan Bapak Abu Khaeri dan Ibu Suwarti.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri Surjo 01,
Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pendidikan lanjutan menegah

pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP Negeri 01 Bawang, Kabupaten
Batang, Jawa Tengah sedangkan pendidikan lanjutan menengah atas di SMU Negeri
01 Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Ikatan Mahasiswa Pekalongan
Batang (IMAPEKA), DKM Al Hurriyah, Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak
(HIMAPROTER), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Peternakan IPB,
dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bogor.
Selama kuliah penulis juga pernah mengikuti pelatihan-pelatihan, baik yang
diadakan oleh Fakultas Peternakan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Dinas
Pendidikan Kabupaten Bogor dan Goodwill International Leadership Program.
Pengalaman kerja yang diperoleh penulis yaitu pada tahun 2004 magang di
laboratorium ruminansia besar Fakultas Peternakan IPB, pada tahun 2005 sebagai
surveyor PEMDA DKI dan Lembaga Administrasi Negara serta bekerja sebagai staff
pengajar di salah satu Sekolah Menengah Umum di Bogor dari tahun 2005 sampai
sekarang dan sebagai staff pengajar di Lembaga Bimbingan Belajar Bintang Pelajar.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Peternakan, Penulis menyelesaikan skripsinya dengan judul Suplementasi Tepung

Jangkrik Dalam Ransum Komersial Terhadap Performa Ayam Petelur.

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan
limpahan rahmat, hidayah serta curahan nikmat

yang tak terhingga dan hanya

dengan pertolongan-Nya skripsi dengan judul Suplementasi Tepung Jangkrik
Dalam Ransum Komersial Terhadap Performa Ayam Petelur dapat diselesaikan
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan
terlimpah kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga, para
sahabat dan kepada umatnya sampai akhir zaman.
Telur merupakan salah satu produk unggulan peternakan yang mempunyai
fungsi ganda yaitu sebagai bahan pangan dan bahan biologi. Berdasarkan Ditjen
Peternakan menunjukkan adanya peningkatan konsumsi telur dari tahun ke tahun,
oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mencari cara meningkatkan
performa produksi ayam petelur.
Jangkrik merupakan salah satu jenis serangga yang mempunyai kandungan

protein tinggi dan hormon estrogen. Berdasarkan hal tersebut, jangkrik cukup
berpotensi untuk dijadikan bahan pakan maupun tambahan pakan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan ayam petelur strain Isa-brown
yang berumur dua puluh minggu sebanyak sembilan puluh ekor. Perlakuannya
adalah suplementasi tepung jangkrik pada ransum komersial sebesar 0,25-1 %
dengan sebagai sumber estrogen.Tepung jangkrik yang digunakan diproduksi oleh
Asosiasi Peternak Jangkrik (ASTRIK), Yogyakarta. Kandungan estrogen pada
tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm yang diperoleh dari ekstrasi campuran jangkrik
jantan dan betina pada umur diatas 35 hari.
Penyusunan skripsi ini diharapan dapat memberikan informasi tentang
pengaruh suplementasi tepung jangkrik dalam ransum komersial terhadap performa
ayam petelur komersial. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang
membacanya.

Bogor, Agustus 2006

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman

RINGKASAN .............................................................................................

ii

ABSTRACT ................................................................................................

iii

RIWAYAT HIDUP ...................................................................................

vi

KATA PENGANTAR ................................................................................

vii

DAFTAR ISI ...............................................................................................

viii


DAFTAR TABEL .......................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................

xi

PENDAHULUAN ......................................................................................

1

Latar Belakang ................................................................................
Tujuan .............................................................................................

1

1

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................

2

Jangkrik ...........................................................................................
Ayam Petelur ..................................................................................
Produksi telur .................................................................................
Bobot Telur .....................................................................................
Konsumsi Ransum ..........................................................................
Konversi Ransum ............................................................................
Hormon Estrogen.............................................................................

2
5
6
8
10
11
12

MATERI DAN METODE ..........................................................................

15

Lokasi dan Waktu ............................................................................
Materi ..............................................................................................
Rancangan Percobaan .....................................................................
Prosedur Percobaan .........................................................................

15
15
16
17

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................

20

Hasil .................................................................................................
Produksi Telur .................................................................................
Bobot Telur ......................................................................................
Konsumsi Ransum ..........................................................................
Konversi ransum .............................................................................
Abnormalitas Telur ..........................................................................

20
20
22
23
25
26

KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................

28

Kesimpulan .....................................................................................
Saran ...............................................................................................

28
28

UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................

29

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

30

LAMPIRAN ................................................................................................

34

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Komposisi Tepung Jangkrik Spesies Anabrus simplex (Mormon Cricket)
dan Acheta domesticus L. (House Cricket)........................................
4
2. Kandungan Zat Makanan Dalam Ransum Komersial .......................

15

3. Hasil Analisis Proksimat Tepung Jangkrik........................................

16

4. Rataan Pengamatan Produksi Telur, Bobot Telur, Konsumsi
dan Konversi Ransum. .......................................................................

20

5. Abnormalitas Telur Selama Penelitian ...............................................

26

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Grafik Produksi Telur ......................................................................

21

2. Grafik Rataan Bobot Telur ..............................................................

23

3. Grafik Rataan Konsumsi Ransum....................................................

25

4. Grafik Konversi Ransum .................................................................

26

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Contoh Perhitungan Kadar Protein Ransum Perlakuan ..................

32

2. Hasil Analisis Ragam Produksi Telur Selama 10 Minggu ..............

34

3. Hasil Analisis Ragam Rataan Bobot Selama 10 Minggu ................

34

4. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Ransum Selama 10 Minggu .......

34

5. Hasil Analisis Ragam Konversi Ransum Telur 10 Minggu ............

34

6. Abnormalitas Telur ..........................................................................

36

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Telur merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi dan hampir
semua proteinnya dapat dimanfaatkan oleh tubuh jika dibandingkan dengan protein
bahan pangan lain. Kandungan asam amino pada telur lebih baik karena asam amino
telur dijadikan sebagai ukuran standar asam amino yang diserap oleh tubuh (biological
value) untuk menghitung asam amino pembatas.
Konsumsi telur semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk. Menurut Ditjen Peternakan (2005), konsumsi protein hewani yang berasal
dari telur mengalami peningkatan yaitu dari 4,38 kg/kapita/tahun pada tahun 2004
menjadi 4,71 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Kebutuhan telur tersebut selain dipenuhi
oleh telur ayam ras, juga berasal dari telur itik dan ayam buras yaitu sekitar 60 %.
Jangkrik merupakan salah satu serangga yang mudah dibudidayakan dan cukup
potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan jangkrik memiliki daya
reproduksi yang tinggi. Jangkrik dapat dimanfaatkan sebagai pakan ikan, binatang
peliharaan bahkan sebagai bahan pangan untuk manusia. Hal ini dikarenakan
kandungan protein yang tinggi pada jangkrik.
Penggunaan tepung jangkrik sebagai pakan masih terbatas pada burung dan
ikan, sedangkan pada ayam masih jarang. Zat-zat kimia yang serupa hormon pada
vertebrata, seperti androgen, estrogen dan insulin baru-baru ini telah terdeteksi pada
jangkrik. Kandungan estrogen pada tepung jangkrik sebesar 259,535 ppm dapat
diperoleh dari ekstrasi campuran jangkrik jantan dan betina pada umur di atas 35 hari
(Prayitno, 2000). Hormon estrogen pada unggas berfungsi merangsang perkembangan
sifat seks sekunder, merangsang pembentukan protein dan lemak kuning telur oleh hati
serta membantu metabolisme kalsium. Informasi tentang penggunaan tepung jangkrik
dalam pakan ayam juga masih jarang dan

bahkan belum ada, sehingga untuk

mengetahui hal itu diperlukan suatu penelitian.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi
tepung jangkrik sebagai sumber estrogen terhadap performa ayam petelur.

TINJAUAN PUSTAKA
Jangkrik
Taksonomi
Jangkrik termasuk dalam ordo Orthoptera, yang berasal dari bahasa Yunani
Orthos berarti lurus dan ptera berarti sayap. Sehingga Orthoptera dapat diartikan
sebagai serangga yang bersayap lurus. Menurut Borror et al. (1992) bahwa jangkrik
secara lengkap taksonominya adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Subfilum

: Mandibulata

Kelas

: Insecta

Subkelas

: Pterygota

Ordo

: Orthoptera

Subordo

: Saltatoria

Famili

: Gryllidae

Subfamili

: Gryllinae

Genus

: Gryllus

Spesies

: Gryllus mitratus (jangkrik kliring)
G. testeceus (jangkrik cendawang)
G. bimakulatus (jangkrik kalung)

Morfologi
Menurut Sribimawati (1984) bahwa tubuh jangkrik terdiri dari tiga bagian yaitu
kepala, dada, dan perut. Bagian kepala memiliki sepasang antena, mata tunggal yang
tersusun dalam satu segitiga tumpul, satu mulut dan dua pasang kumis. Dada merupakan
tempat melekatnya enam tungkai dan empat sayap. Jangkrik jantan dewasa memiliki
organ stridulasi dibagian depan sayap luar yang berfungsi untuk mengeluarkan bunyi
kerikan sehingga sayap jantan terlihat lebih kasar dari pada sayap jangkrik betina. Baik
jantan maupun betina memiliki sepasang organ pendengar (tympanum) yang terletak
dekat pangkal tibia tungkai depan (Pallister, 1990).
Perut (abdomen) jangkrik terdiri dari sebelas ruas. Alat kelamin luar jangkrik
dewasa terdapat pada abdomen ruas kedelapan atau kesembilan, jangkrik betina

2

memiliki ovipositor yang berfungsi untuk mengeluarkan telur-telurnya. Bentuknya
seperti jarum dan terdapat pada ujung abdomen (Ross et al., 1982).
Tiga spesies jangkrik yang potensial dikembangkan di Indonesia adalah jangkrik
cendawang, jangkrik kliring dan jangkrik kalung. Ciri fisik dari masing-masing spesies
berbeda. Jangkrik kalung mempunyai kulit tubuh dan sayap luar berwarna hitam legam
atau agak kemerahan dan pada bagian punggung terdapat garis tebal kuning yang
menyerupai kalung. Kulit tubuhnya lunak dan lembek. Pertumbuhan pada fase instar
relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan dua spesies lain. Jangkrik cendawang
memiliki kulit tubuh agak kasar, warna tubuh dan sayap coklat tua polos, bagian tepi
sayap luar tedapat garis dengan warna lebih muda dan ukuran tubuh relatif lebih besar
jika dibandingkan dengan dua spesies lain. Jangkrik kliring cirinya warna tubuh dan
sayap coklat muda polos, kulit tubuh sedikit kasar dan kering, pada bagian kepala
terdapat garis warna kuning membentuk huruf “V” dan lebih suka bersembunyi
(Widyaningrum, 2001).
Siklus Hidup
Jangkrik dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosis tidak sempurna.
Kehidupan jangkrik diawali dengan telur kemudian menetas menjadi nimfa (serangga
muda) dan selanjutnya menjadi serangga dewasa (Borror et al.,1992). Menurut
Hasegawa dan Kubo (1996), waktu yang dibutuhkan oleh nimfa untuk tumbuh dewasa
dipengaruhi oleh kondisi cuaca, spesies dan jenis makanannya. Borror et al.(1992),
jangkrik muda dengan jangkrik dewasa hampir sama dalam hal bentuk, yang berbeda
hanyalah ukuran tubuh. Bila serangga tumbuh atau meningkat ukurannya, rangka luar
secara periodik terkelupas dan diganti dengan yang lebih besar. Proses ini disebut
dengan pergantian kulit. Sejak menetas sampai tumbuh dewasa, jangkrik akan
mengalami pergantian kulit empat kali.
Komposisi Tepung Jangkrik
Menurut Bodenheimer (1951), jangkrik termasuk salah satu jenis serangga yang
biasa dikonsumsi oleh sebagian masyarakat dibeberapa negara misalnya India, Filipina,
Thailand dan Indonesia. Jangkrik mempunyai potensi untuk menjadi salah satu pakan
ikan, binatang peliharaan bahkan sebagai bahan pangan untuk manusia. Potensi tersebut
dikarenakan tingginya kadar protein jangkrik, daya reproduksi yang tinggi dan mudah

3

dalam pemeliharaannya (Linsemaier, 1972). Kandungan nutrisi tepung jangkrik spesies
Anabrus simplex (Mormon Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket)
ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Tepung Jangkrik Spesies Anabrus simplex (Mormon
Cricket) dan Acheta domesticus L. (House Cricket)
Anabrus simplexa

Komponen

Jangkrik Dewasa
Jantan

Betina

Acheta domesticus L.b

Instar VII
(Jantan dan Betina)

----------------------------%---------------------------Air

6,2

6,3

6,0

5,2

Protein Kasar

60,3

56,0

57,7

62,0

Lemak

12,0

19,9

12,4

7,5

Serat Kasar

6,9

5,4

9,0

4,6

Abu

9,8

8,2

7,6

7,0

Sumber : De Foliart (1982)

Jangkrik dapat diolah menjadi tepung seperti halnya udang, namun harga tepung
jangkrik relatif lebih murah jika dibandingkan dengan tepung udang. Hal ini
menyebabkan permintaan tepung jangkrik meningkat sehingga pabrik pakan tertarik
untuk menggunakan bahan baku jangkrik untuk produksinya (Sukarno, 1999). Menurut
De Foliart (1982), bahwa pemakaian tepung jangkrik dalam ransum ayam broiler
sebagai pengganti bungkil kedelai dengan penambahan asam-asam amino memberikan
hasil yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan ayam broiler dibandingkan
dengan penggunaan ransum dengan tanpa suplemen asam amino.
Beberapa organ pada seekor serangga dikenal menghasilkan hormon yang
fungsi-fungsi utamanya yaitu mengontrol proses reproduksi, pergantian kulit dan
metamorfosis. Zat-zat kimiawi yang serupa hormon-hormon vertebrata, temasuk
androgen, estrogen dan insulin baru-baru ini telah terdeteksi pada serangga (Borror et
al., 1992).

4

Ayam Petelur
Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara dan diseleksi untuk produksi
telur. Ayam yang sekarang dipelihara termasuk dalam spesies Gallus domesticus. Ada
tiga tipe ayam yaitu tipe ringan berasal dari bangsa White Leghorn, tipe medium dari
bangsa Rhode Island Reds dan Barred Plymouth Rock serta tipe berat dari bangsa New
Hampshire, White Plymouth Rock dan Cornish (Amrullah, 2004).
Menurut North dan Bell (1990) bahwa White Leghorn mempunyai ciri muka
berwarna kuning, kerabang telur berwarna putih. Single Comb White Leghorn
merupakan salah satu jenis Leghorn yang hanya digunakan untuk produksi telur secara
komersial Single Comb Rhode Island Reds mempunyai ciri jengger tunggal, kerabang
telur berwarna coklat, muka kuning dan bulu berwarna merah dengan beberapa warna
hitam pada ekor, leher bagian belakang, leher depan dan sayap, produksi telur sangat
baik. Barred Plymoth Rock mempunyai ciri jengger tunggal, muka kuning dan kerabang
telur coklat. New Hamshire mempunyai ciri warna bulu merah terang muka kuning,
jengger tunggal dan produksi telur dengan warna kerabang coklat. Awalnya diketahui
untuk produksi telur yang tinggi, tetapi kemudian diakui sebagai ayam dengan kualitas
daging yang baik. Ayam betinanya disilangkan dengan jantan jenis tipe daging lain dan
menghasilkan bangsa silangan ayam broiler. White Plymouth Rock mempunyai ciri
muka kuning dan jengger tunggal. Strain aslinya mempunyai genetik pertumbuhan bulu
yang lambat, yang tidak menguntungkan bagi kualitas ayam broiler, tetapi sekarang
beberapa strain mempunyai pertumbuhan bulu yang cepat. Cornish mempunyai ciri
jengger berbentuk pea, kerabang telur coklat, muka kuning dan mempunyai tipe badan
yang berbeda dengan bangsa lainnya. Kaki pendek, badan besar, dada sangat luas dan
berotot.
ISA-brown merupakan bangsa galur murni hasil seleksi lebih dari 36 tahun oleh
tim genetik Hubbard ISA yang mempunyai kerabang telur coklat. ISA-brown dapat
beradaptasi dalam berbagai kondisi pemeliharaan, seperti dalam cage, floor, atau sistem
range. ISA-brown komersial mempunyai daya hidup 98% sampai umur 18 minggu dan
93% sampai masa produksi 76 minggu. Umur mulai poduksi 18 minggu, mencapai 50%
hen-day pada umur 20 minggu dan mencapai puncak umur 25 minggu. Puncak poduksi
mencapai 95% hen-day. Rata-rata bobot telur mencapai 62,7 g/butir sampai umur 76
minggu (Lightlink, 2006). Ayam petelur strain ISA-brown memiliki periode bertelur

5

antara 18-80 minggu, liveability sebesar 93,2%, puncak produksi sebesar 95% pada
umur 26 minggu. Rata-rata bobot telur ayam petelur strain ISA-brown sebesar 63,19 g
(Hendrix-genetics, 2006).
Ciri-ciri Pullet untuk produksi telur adalah memiliki ukuran tubuh relatif kecil,
bertelur dengan jumlah banyak dengan kerabang keras, hidup baik dan produksi
telurnya ekonomis. Ayam untuk produksi daging diutamakan untuk produksi daging
dari pada telur yang dapat memberikan keuntungan ketika bobotnya besar (North dan
Bell, 1990).
Produksi Telur
North dan Bell (1990) menyatakan bahwa pengukuran produksi telur biasanya
dinyatakan dengan hen-day. Masa produksi telur dihitung sejak ayam mencapai
produksi telur 5% hen-day. Hen-day merupakan ukuran produksi telur ayam yang hidup
pada periode tertentu, yaitu membandingkan jumlah telur total yang dihasilkan pada
periode tertentu dengan jumlah ayam yang hidup pada periode tertentu. Ayam mulai
berproduksi pada saat ayam berumur 22 minggu, selanjutnya akan naik dengan tajam
dan mencapai puncaknya pada kisaran umur antara 32 sampai 36 minggu, kemudian
produksi telur menurun secara perlahan sampai 55% sesudah masa produksi 15 bulan
yaitu pada saat ayam berumur 82 minggu. Periode produksi yang masih dianggap
menguntungkan hanya sampai mencapai 15 bulan. (Wahyu, 1985). Scott et al. (1982)
menyatakan bahwa ayam ras petelur medium mulai bertelur kira-kira pada umur 22
minggu dengan lama produksi sekitar 15 bulan. Puncak produksi telur dicapai pada saat
ayam berumur sekitar 28–30 minggu.
Romanoff dan Romanoff (1963) mengemukakan bahwa ada hubungan antara
umur ayam dengan produksi telur. Setelah mencapai puncak produksi, dengan semakin
bertambahnya umur ayam, produksi telur mengalami penurunan secara bertahap. Hal
ini erat hubungannya dengan kecepatan penurunan aktifitas metabolisme pada organorgan tubuh dan jaringan.
Scott et al. (1982) membagi periode produksi ayam petelur menjadi dua periode,
yaitu fase I dari umur 22–42 minggu dengan rataan produksi telur 78% dan bobot telur
56 gram, fase II umur 42–72 minggu dengan rataan produksi telur 72% dan bobot telur
60 gram. Ayam ras petelur yang unggul menghasilkan telur 250 butir/tahun dengan

6

bobot telur rata-rata 57,9 g/butir dan rata-rata produksi telur sebesar 70% (Mc Donald et
al., 2002).
Produksi telur ayam ras petelur dihasilkan pada kisaran suhu 18,3–23,9 oC
(North dan Bell, 1990) dan 21–26

o

C (Carr dan Carter, 1985). Ayam petelur

berkerabang coklat masih menampilkan performa yang baik walaupun pada temperatur
yang berfluktuasi antara 22,7–30,9 oC, ransum dengan kandungan protein 16% dan
tingkat energi metabolis 2.650 kkal/kg ransum (Gurnadi, 1986). Hal ini menunjukkan
bahwa ayam petelur berkerabang coklat dapat dikembangkan di daerah tropis seperti
Indonesia.
Siregar (2003) melaporkan bahwa produksi telur (% hen-day) pada ayam strain
ISA-brown selama 14 minggu produksi adalah 67,10% dengan pemberian ransum yang
mengandung energi metabolis 2.665,20 kkal/kg dan protein kasar 17% pada fase
pertama. Berdasarkan penelitian Priono (2003) diperoleh rataan produksi telur (% henday) sebesar 76,90% pada ayam petelur strain ISA-brown dengan pemberian ransum
yang ditambahkan metionin 0,34% dan mengandung energi metabolis 2.685,8 kkal/kg
dan protein kasar 17%.
Menurut Ivy dan Gleaves (1976), peningkatan produksi telur dipengaruhi oleh
tingkat konsumsi ransum, protein dan energi. Menurut Scott et al. (1982), untuk
mencapai produksi telur yang maksimum, ayam petelur harus mengkonsumsi 17 gram
protein dengan jumlah konsumsi ransum 100 g/ekor/hari. Adapun kandungan protein
14% di dalam ramsum dinilai kurang cukup untuk mempertahankan produksi telur yang
tinggi, bobot telur serta efisiensi penggunaan ransum. Produksi telur pada ayam
dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu kondisi awal ayam pada saat mulai bertelur dan
potensi tumbuh ayam dari awal bertelur sampai puncak produksi (Isapoultry, 2006).
Tercukupinya kebutuhan protein ayam dapat mengindikasikan tercukupinya kebutuhan
asam-asam amino di dalamnya. Ketersediaan berbagai asam amino dalam jumlah yang
cukup di dalam ransum ayam mampu mengoptimalkan produksi telur yang dihasilkan
(Zimmerman dan Snetsinger, 1976). Produksi telur sangat tergantung pada jumlah
konsumsi protein dan asam amino perhari. Kira-kira 80-85% konsumsi asam amino
langsung digunakan untuk produksi telur. Defisiensi asam amino akan mempengaruhi
produksi telur (% hen-day), ukuran telur, dan peningkatan konversi ransum (Charoen
Pokphand, 2000). Produksi telur dipengaruhi oleh kandungan protein dan fosfor dalam

7

ransum. Perbedaan kandungan protein ransum yang lebih tinggi menghasilkan produksi
telur yang lebih tinggi disebabkan oleh kandungan asam amino yang lebih lengkap
daripada yang terdapat dalam ransum yang proteinnya lebih rendah (Onwudike dan
Oke, 1986).
Summers (1995) menyatakan bahwa kandungan fosfor sebesar 0,2% nyata
mempengaruhi produksi telur yang lebih rendah dibandingkan dengan kandungan fosfor
sebesar 0,4%.
Bobot Telur
Ukuran telur dapat diartikan sebagai besar kecilnya telur yang dinyatakan dalam
bobot. Standar Nasional Indonesia (1995) menyatakan bahwa kriteria dan bobot telur
ayam ras untuk telur konsumsi adalah ekstra besar (lebih dari 60 gram), besar (55–60
gram), sedang (51–55 gram), kecil (46–50 gram) dan ekstra kecil (kurang dari 46 gram).
Menurut Rose (1997), telur ayam umumnya terdiri atas 64% albumen, 27%
kuning telur dan 9% kerabang. Kandungan masing-masing komponen tersebut
mempengaruhi bobot telur yang dihasilkan ayam petelur, ukuran kuning yang besar
akan menghasilkan ukuran telur yang besar. Menurut Nort dan Bell (1990), bobot telur
berkaitan erat dengan komponen penyusunnya yang terdiri atas putih telur (58%),
kuning telur (31%) dan kerabang (11%). Ukuran telur sangat bervariasi, hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain variasi individu, spesies, umur dan variasi
hereditas (Sirait, 1986).
Bobot telur ayam ras yang baik umumnya berkisar sekitar 58,0 g/butir,
sedangkan pada ayam kampung bobot telurnya biasanya lebih kecil (Sirait, 1986).
Setiap strain ayam petelur akan mengalami peningkatan bobot telur per butir pada umur
26–50 minggu, akan tetapi setelah ayam berumur lebih dari 50 minggu, bobot telur
tidak akan berubah lagi (Togatorop et al., 1977).
Bobot telur setiap bangsa ayam berbeda. Ayam Leghorn mempunyai bobot
rataan 58,10 g/butir dan Rhode Island Red 59,30 g/butir, sedangkan bangsa Plymouth
Rock mempunyai rataan bobot telur 63,90 g/butir (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Secara normal telur ayam mempunyai bobot antara 40-80 g/butir (Campbell et al.,
2003). Menurut Sirait (1986) bahwa bobot telur ayam ras yang baik umumnya berkisar
antara 58,0 g/butir, sedangkan pada ayam kampung bobot telur biasanya lebih kecil dari
58,0 g/butir.

8

Menurut North dan Bell (1990) faktor-faktor yang mempengaruhi bobot telur
adalah strain, umur pertama bertelur, temperatur lingkungan, ukuran pullet pada suatu
kelompok. Ukuran ovum, intensitas bertelur dan nutrisi dalam ransum juga
mempengaruhi ukuran telur (Campbell et al., 2003). Ukuran telur merupakan faktor
genetik, hal ini berhubungan dengan kemampuan ayam untuk menghasilkan telur besar,
medium atau kecil (North dan Bell, 1990). Bobot telur tidak dipengaruhi oleh
peningkatan energi metabolis, tetapi peningkatan kandungan protein 12-18% di dalam
ransum dapat meningkatkan bobot telur (Gardner dan Young, 1972). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Shafer et al. (1992), pemberian metionin ransum pada
taraf 0,38; 0,46 dan 0,53% menunjukkan bahwa peningkatan bobot telur terjadi pada
taraf pemberian metionin yang lebih tinggi.
Umur dewasa kelamin juga mempengaruhi bobot telur. Ayam dara (pullet) yang
ketika bertelur pertama telurnya besar maka akan besar selama periode produksi telur
(North dan Bell, 1990). Ayam petelur yang mengalami masak kelamin dini memiliki
ukuran telur yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan ayam petelur yang
mencapai masak kelamin lebih lambat (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut
Amrullah (2004) bahwa ayam pada awal periode bertelur cenderung menghasilkan telur
yang ukurannya lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah sejalan dengan makin
tuanya umur ayam, tetapi kenaikan ini tidak seragam. Awalnya meningkat sangat jelas
ukurannya untuk kemudian hanya sedikit berubah dan konstan.
Intensitas bertelur juga mempengaruhi bobot telur. Telur yang kecil sangat
mungkin dihasilkan selama periode peneluran untuk produksi telur yang tinggi. Selama
tahun pertama bertelur, bobot dan produksi telur meningkat secara simultan. (Romanoff
dan Romanoff, 1963). Telur mempunyai ukuran yang besar pada intensitas bertelur
yang rendah (Campbell et al., 2003).
Temperatur lingkungan yang tinggi akan menyebabkan ukuran telur menurun
sebagai hasil menurunnya konsumsi nutrien pada kelompok ayam, terutama energi dan
protein. (North dan Bell, 1990).
Ukuran ayam dalam satu kelompok yang besar akan menghasilkan telur dengan
rataan yang besar. Bagaimanapun juga ayam dalam satu kelompok bobotnya selalu
seragam sehingga akan menghasilkan telur yang seragam pula (North dan Bell, 1990).

9

Bobot badan mempunyai korelasi yang tinggi terhadap bobot telur. Bobot yang besar
akan menghasilkan telur yang besar pula (North dan Bell, 1990; Campbell et al., 2003).
Defisiensi nutrisi dalam ransum akan mengurangi bobot telur. Salah satunya
defisiensi vitamin D. Vitamin D berhubungan dengan metabolisme kalsium, sehingga
penting dalam pembentukan kerabang (Campbell et al., 2003).
Ukuran telur dapat meningkat dengan meningkatnya protein ransum.
Peningkatan kandungan protein ransum dari 17-21% atau dengan penambahan lemak
4% dapat meningkatkan bobot telur ayam (Nakajima dan Keshaverz, 1995). Menurut
Romanoff dan Romanoff (1963), bahwa pengaruh penurunan protein ransum dari 2112% akan mengurangi bobot telur dari 53,8 menjadi 52,9 gram.
Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa waktu telur dikeluarkan
juga berpengaruh terhadap bobot telur. Telur yang dikeluarkan sebelum jam 9 pagi lebih
besar 2,5% dibandingkan dengan telur yang dikeluarkan lebih dari jam 2 siang.
Bobot telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya genetik, umur saat
dewasa kelamin, suhu lingkungan, tipe kandang, pakan, air dan penyakit (Ensminger,
1992). Menurut Anggorodi (1995), faktor yang mempengaruhi besar telur adalah tingkat
dewasa kelamin, protein dan asam amino yang cukup dalam ransum. Faktor lain yang
mempengaruhi besar telur adalah kandungan kalsium dan fosfor dalam ransum.
Konsumsi Ransum
Ransum adalah pakan yang diberikan kepada ternak tertentu selama 24 jam,
dengan waktu pemberian sekali atau beberapa kali (Parakkasi, 1985). Ransum dikatakan
seimbang bila mengandung zat-zat nutrisi yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang
cukup untuk pertumbuhan, produksi, dan kesehatan ternak (Anggorodi, 1995)
Konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu besar dan umur ayam,
temperatur lingkungan, periode produksi serta kandungan energi ransum (Wahyu,
1985). Ayam petelur tipe berat akan mengkonsumsi ransum lebih banyak jika
dibandingkan dengan ayam petelur tipe ringan. Hal ini dikarenakan ayam yang lebih
besar membutuhkan energi yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok
dan produksinya (Scott et al., 1982).
Konsumsi ransum harian dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu kandungan
energi ransum dan temperatur lingkungan. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi
ransum adalah strain ayam, bobot badan, bobot telur, penutupan bulu, derajat cekaman

10

serta aktivitas ayam (Amrullah, 2003). Isapoultry (2006), menyatakan bahwa konsumsi
ransum ayam petelur strain ISA-brown adalah 118,10 g/ekor/hari. Menurut North dan
Bell (1990), konsumsi ransum ayam petelur tipe medium berkisar antara 105-116
g/ekor/hari
Menurut Scott et al. (1982), energi yang tinggi menyebabkan konsumsi ransum
cenderung menurun. Menurut Mc Donald et al. (2002), konsumsi ransum akan
mengalami penurunan 1–2% untuk setiap kenaikan temperatur 1 oC dalam kisaran
temperatur 10–30 oC. Kisaran temperatur 26-32 oC sudah melebihi kisaran temperatur
ideal untuk ayam petelur, pada kisaran temperatur tersebut ayam sudah mengalami
sedikit penurunan konsumsi ransum masih cukup untuk efisiensi produksi dan
kebutuhan zat makanan. Penurunan konsumsi ransum yang nyata pada ayam petelur
akan mengakibatkan defisiensi zat-zat makanan seperti asam amino, vitamin dan
mineral yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga performa yang dihasilkan kurang
maksimal. Apabila terjadi penurunan konsumsi ransum akibat naiknya temperatur
lingkungan maka dilakukan upaya peningkatan kualitas ransum yang diberikan, caranya
yaitu dengan suplementasi beberapa asam amino kritis dan zat makanan lainnya untuk
mengatasi defisiensi zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh (NRC, 1994).
Konsumsi ransum dipengaruhi oleh bobot badan ayam (Bish et al., 1985), Menurut
Sterling et al. (2003), kandungan energi yang tinggi dalam ransum menyebabkan
konsumsi ransum rendah.
Konversi Ransum
North dan Bell (1990) menyatakan, bahwa adanya peningkatan mutu genetik
ternak mampu meningkatkan efisiensi ransum, karena adanya peningkatan terhadap
pertumbuhan dan produksi ternak terhadap ransum yang dikonsumsinya. Faktor-faktor
lain yang mempengaruhi konversi ransum adalah kecepatan pertumbuhan atau produksi
telur, kandungan energi dalam ransum, besar ayam, terpenuhinya zat nutrisi dalam
ransum, temperatur lingkunan dan kesehatan ayam (Card dan Neisheim, 1979).
Konversi ransum juga dipengaruhi oleh bentuk ransum. Ransum yang berbentuk mash
memiliki konversi yang lebih rendah dibandingkan dengan ransum yang berbentuk
butiran. Menurut Anggorodi (1995), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konversi
ransum adalah temperatur lingkungan, daya cerna ransum, bentuk fisik dan konsumsi
ransum. Menurut Siregar (2003), konversi ransum sebesar 2,72 dan 2,33 pada ayam

11

petelur selama 12 minggu produksi yang diberi ransum bentuk mash dengan kandungan
protein kasar 15% dan 18%, serta energi metabolis sebesar 2.655 kkal/kg. Berdasarkan
Isapoultry (2006), menyatakan bahwa konversi ransum ayam petelur strain ISA-brown
adalah 2,13. Menurut Sterling et al.,(2003), konversi ransum ayam petelur tipe medium
sebesar 2,08.
Hormon Estrogen
Hormon adalah zat kimia yang disintesis oleh bagian tubuh yang jelas batasbatasnya, umumnya kelenjar buntu khusus yang dibawa oleh pembuluh darah ke bagian
tubuh lain tempat zat-zat itu menimbulkan penyetelan-penyetelan sistemik dengan
aksinya terhadap jaringan-jaringan dan organ-organ khusus. Aksi-aksi hormon
seluruhnya tergantung kepada kemampuan sel-sel sasaran untuk menanggapinya.
Hormon tidak menciptakan kemampuan baru di dalam sel sasaran tetapi hanya memicu
mesin-mesin metabolisme yang sudah dimilikinya. Apabila lokasi reseptor (protein atau
lipoprotein) pada sel-sel sasaran tidak ada atau sudah diduduki hormon tidak
menghasilkan pengaruh. (Turner dan Bagnara, 1976).
Estrogen adalah hormon tipe steroid yang dihasilkan oleh ovari (Ensminger,
1992). Seluruh estrogen mengandung atom 18 karbon. Estrogen yang biasa dikenal
adalah estradiol, estron dan estriol. Estrogen terdapat diberbagai jaringan hewan seperti
testis, adrenal dan plesenta serta dalam jumlah kecil ditemukan juga dalam
spermatozoa. Estrogen dapat merangsang pertumbuhan dan diferensiasi saluran
reproduksi betina serta struktur-struktur yang terkait yang menimbulkan berbagai
macam pengaruh sistemik (Turner dan Bagnara, 1976).
Menurut
perkembangan

McDonald

dan

Pineda

(1989)

bahwa

estrogen

merangsang

dan perubahan siklus saluran genital tubular pada hewan betina,

perkembangan kelenjar mamae dan uterus, karakteristik seks sekunder serta
meningkatkan metabolisme kalsium dan lemak pada burung atau unggas. Penyuntikan
estrogen dengan dosis rendah dapat merangsang ovulasi pada sapi, domba, kelinci dan
tikus.
Hormon estrogen pada unggas berfungsi untuk merangsang perkembangan sifat
seks sekunder, mempengaruhi pertumbuhan dan deposisi lemak, berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan folikel dan penting untuk sintesis albumin telur
(Ensminger, 1992). Menurut Turner dan Bagnara (1976) bahwa banyak hormon-hormon

12

steroid diperlukan untuk perkembangan fungsional aves. Setijanto (1998) menyatakan
bahwa pada saat mendekati dewasa kelamin, ovarium akan mengeluarkan lebih banyak
hormon estrogen. Hal ini menyebabkan perkembangan oviduct yang cepat menjadi
suatu alat yang panjangnya 50-60 cm dan siap mengeluarkan albumin, selaput-selaput
telur dan kerabang untuk melengkapi telur. Perkembangan penuh magnum, yakni
daerah yang mensekresikan albumin dapat dihasilkan dengan memberikan estrogen
yang diikuti dengan androgen atau progesteron. Estrogen berfungsi menginduksi
diferensiasi sel yang mensintesis protein putih telur, seperti ovalbumin dam lisozim.
Untuk dapat menghasilkan 365 butir telur per tahun, diperlukan metabolisme kalsium
yang hebat. Kelenjar cangkang berbeda dari bagian lain oviduct karena estrogen saja
cukup untuk memacu perkembangannya. Tulang medula burung-burung yang bertelur
mengalami rentetan deposisi dan destruksi yang berkorelasi dengan penyimpanan dan
pengeluaran kalsium. Tidak diketahui bagaimana estrogen bereaksi menggiatkan
deposisi kalsium pada tulang dan pengambilannya dari tulang, namun ini merupakan
bukti bahwa estrogen berfungsi dalam membantu metabolisme kalsium (Turner dan
Bagnara, 1976).
Menurut Setijanto (1998), bahwa sistem genitalia embrio betina terdiri atas
sepasang ovarium dan oviduct. Segera setelah menetas ovarium dan oviduct kanan
mengalami degenerasi (rudimenter). Sehingga pada sebagian besar unggas hanya
oviduct kiri saja yang berkembang dan berfungsi dalam produksi telur.
Turner dan Bagnara (1976) menyatakan bahwa oviduct unggas berukuran cukup
besar membentang dari ovari sampai kloaka. Daerah-daerah utamanya adalah
infundibulum, magnum, isthmus, uterus dan vagina. Telur yang diovulasikan jatuh ke
rongga tubuh dan dibuahi di daerah infundibulum yang berbentuk corong. Telur ayam
tetap bertahan dalam infundibulum selama kira-kira 15 menit, disana telur memperoleh
kalaza, yakni tali seperti per yang merentang melintasi albumin dari kuning telur ke
kutub telur. Magnum merupakan bagian terpanjang dari oviduct dan banyak
mengandung kelenjar-kelenjar besar yang mensekresikan albumin. Daerah berikutnya
adalah isthmus, di dalam isthmus telur tinggal kira-kira satu jam dan memperoleh
membran cangkang. Telur tertahan paling lama di dalam uterus (kelenjar cangkang)
kira-kira 20 jam dan di dalam saluran tersebut terjadi pembentukan cangkang berpori
dengan deposisi kalsium karbonat. Setelah cangkang terbentuk telur memasuki vagina

13

dan tinggal di dalamnya kira-kira satu menit. Di dalam vagina, telur mendapatkan
selubung tipis mukus yang mungkin berguna untuk menutup pori sehingga mencegah
evaporasi air yang cepat dan untuk melindungi telur dari infeksi bakteri. Interval normal
antara ovulasi dan keluarnya telur berkisar antara 25-26 jam.

14

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas
(kandang C), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada pertengahan bulan Juli
sampai dengan Oktober 2005.
Materi
Penelitian menggunakan 90 ekor ayam ras petelur coklat komersial tipe medium
strain ISA-brown umur 20 minggu yang diperoleh dari Hejo Farm, Sukabumi. Bobot
badan awal berkisar antara 1400-2150 gram dengan rataan 1790±143,2, rataan produksi
telur awal sebesar (Hen day) 26,94 %.
Kandang yang digunakan berupa kandang baterai kelompok (coloni cage)
dengan ukuran 40x91x45 cm. Masing-masing cage dilengkapi dengan penyekat dan
setiap sekat diisi dua ekor. Jumlah cage yang digunakan adalah 23 buah dengan
kapasitas 90 ekor ayam.
Peralatan yang digunakan adalah tempat ransum memanjang (bentuk trough),
tempat air minum dari bambu, timbangan ransum merek Berkell (kapasitas 10 kg),
timbangan digital O-hauss dengan kapasitas 100 g dan kepekaan 0,1 g.
Ransum yang digunakan adalah ransum komersial untuk ayam petelur, bentuk
mash yang mengandung zat makanan seperti ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Komersial
Komposisi

Jumlah

Kadar Air (%)

12,47

Protein kasar (%)

16,72

Serat kasar (%)

4,84

Lemak (%)

3,53

Beta-N (%)

52,61

Abu (%)

9,73

Phosphor (%)

0,46

Kalsium (%)

4,04

Gross Energi (kkal/kg)

4054

Keterangan : Hasil Analisis Laboratoruim Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan IPB, Januari 2005.

15

Tepung jangkrik yang digunakan diproduksi oleh Asosiasi Peternak Jangkrik
(ASTRIK), Yogyakarta. Kandungan estrogen pada tepung jangkrik sebesar 259,535
ppm yang diperoleh dari ekstrasi campuran jangkrik jantan dan betina pada umur diatas
35 hari (Prayitno, 2000). Tepung jangkrik mengandung zat makanan seperti ditampilkan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Proksimat Tepung Jangkrik
Kandungan

Jumlah

Bahan kering (%)

86,00

Protein kasar (%)

55,96

Lemak kasar (%)

12,45

Beta-N (%)

5,26

Serat kasar (%)

7,94

Abu (%)

4,39

Keterangan : Hasil Analisis Laboratoruim Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan IPB, Januari 2006.

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Perlakuan penelitian yaitu suplementasi tepung jangkrik yang terdiri atas lima taraf
perlakuan yaitu 0 (P1); 0,25 (P2); 0,5 (P3); 0,75 (P4) dan 1 % (P5). Setiap perlakuan
diulang tiga kali. Model matematis sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya, 2002) :
Yij = μ + τi + εij
Keterangan:
Yij

= Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ

= Nilai rata-rata sesungguhnya.

τ

= Pengaruh perlakuan ransum ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5)

εij

= Pengaruh galat dari ransum percobaan ke-i pada ulangan ke-j
(j = 1, 2, 3)

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan ragam. (Matjik dan Sumertajaya, 2002).
Sebelum dianalisis data penelitian ditransformasi dengan Johnson transformation
(Minitab 14). Peubah yang diamati ialah produksi telur, bobot telur, konsumsi ransum
dan konversi ransum.

16

Prosedur
Pembuatan Tepung Jangkrik
Tepung jangkrik yang digunakan dalam penelitian dibuat oleh Asosiasi Peternak
Jangkrik (ASTRIK) Yogyakarta.
Persiapan Kandang
Selama kurang lebih dua minggu sebelum ayam datang dilakukan persiapan
kandang. Persiapan kandang meliputi pembersihan bangunan kandang dan lingkungan
sekitar kandang, penyusunan cage, pengadaan dan pembersihan tempat ransum dan
tempat air minum, dan pengadaan alat-alat penunjang yang digunakan dalam penelitian.
Pembersihan bangunan kandang dilakukan dengan cara disapu, kemudian dipel dan
untuk memastikan kandang bebas dari bibit penyakit perlu dilakukan desinfeksi
(disemprot desinfektan). Pembersihan bangunan kandang berguna untuk mengurangi
resiko serangan bibit penyakit pada ayam yang dipelihara. Alat-alat yang digunakan
untuk pembersihan kandang dan sanitasi kandang antara lain alat penyemprot (sprayer),
ember, sapu lidi dan sekop. Bahan yang digunakan adalah kapur, rodalon (desinfektan)
dan air bersih. Pembersihan lingkungan sekitar kandang yang dilakukan adalah
pemotongan rumput dengan menggunakan golok.
Sistem pemeliharaan ayam dalam kandang cage berkelompok (coloni cage)
setiap cage berisi 2 ekor pullet. Cage disusun dengan dua tingkat.
Lantai kandang diberi sekam padi yang diganti secara insidental jika sudah
terlihat basah dengan tujuan untuk mengurangi pengaruh negatif amoniak terhadap
kesehatan dan produksi telur ayam.
Pencampuran Ransum
Ransum dicampur dengan tepung jangkrik hingga homogen dengan taraf yang
telah ditentukan sebelumnya. Taraf penambahan tepung jangkrik dalam ransum adalah
0; 0,25; 0,5; 0,75 dan 1%. Pencampuran ransum dilakukan sedikit demi sedikit agar
tepung jangkrik dapat tercampur dengan baik. Ransum kemudian diberikan kepada
ayam sesuai dengan level perlakuan. Pencampuran ransum dilakukan setiap minggu .
hal ini bertujuan untuk mencegah agar ransum yang sudah dicampur tidak berjamur.

17

Pemeliharaan
Ketika ayam datang terlebih dahulu diberikan air gula. Pemberian air gula
bertujuan untuk mengganti energi yang telah hilang waktu dalam perjalanan. Setelah
pemberian air gula diharapkan ayam akan lebih segar. Cara pemberian air gula dengan
dicampurkan pada air minum, demikian pula dengan pemberian vitastress.
Selama tiga hari sejak kedatangan ayam, dilakukan penyesuaian. Ransum yang
diberikan adalah ransum komersial (tanpa perlakuan). Sebelum diberikan ransum
perlakuan, sisa ransum standar yang diberikan ditimbang. Tujuan dilakukannya hal ini
adalah untuk mengetahui jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ayam, sehingga saat
perlakuan pemberian ransum akan lebih efisien atau tidak banyak terbuang.
Sebelum diberikan ransum perlakuan, ayam ditimbang terlebih dahulu. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui bobot badan awal ayam. Penimbangan ayam dilakukan
pada malam hari dengan tujuan untuk menghindari stress. Sebelum penelitian,
dilakukan pengacakan ayam dan perlakuan pada setiap kandang.
Ransum yang diberikan sebanyak 90 g/ekor/hari dengan intensitas pemberian
dua kali sehari (pagi dan sore hari pada jam yang sama) dan setiap kali pemberian
sebanyak 45 g/ekor/hari. Jumlah ransum kemudian ditingkatkan menjadi 100
g/ekor/hari hingga maksimum 120 g/ekor/hari. Hal ini terjadi karena meningkatnya
konsumsi ransum pada ayam, yang ditandai dengan sisa ransum yang semakin sedikit,
bahkan tidak bersisa. Air minum diberikan ad libitum.
Ayam dari kelima level perlakuan mendapat pencahayaan selama 12 jam per
hari (12-L dan 12-D) yaitu antara pukul 06.00-18.00 WIB (12 jam) dengan cahaya
matahari.
Selama penelitian dilakukan pembersihan kandang untuk mencegah adanya bibit
penyakit yang dapat menyerang ayam. Pembersihan alas kandang meliputi penggantian
sekam yang dilakukan secara insidental berdasarkan kebasahan sekam. Pembasmian
ektoparasit seperti lalat juga dilakukan yakni dengan cara menyemprotkan obat lalat.
Tempat air minum dibersihkan secara insidental.
Pengumpulan Data
Koleksi telur dilakukan mulai satu minggu setelah ayam mendapatkan perlakuan
sampai penelitian berakhir (10 minggu). Koleksi telur dan penimbangan dilakukan
secara rutin setiap hari. Koleksi telur digunakan untuk menghitung produksi telur

18

perhari, sedangkan data penimbangan telur digunakan untuk menghitung rataan bobot
telur. Setiap seminggu sekali dilakukan penimbangan sisa pakan sehingga dapat
diketahui jumlah yang dikonsumsi oleh ayam. Data yang diperoleh digunakan untuk
men