1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semakin bertambahnya aktivitas manusia di perkotaan membawa dampak semakin sulitnya pemenuhan tuntutan masyarakat kota akan
kesejahteraan, ketentraman, ketertiban dan kenyamanan. Pemerintah kota harus menyadari bahwa kota yang menjadi hunian dan tempat mencari
kehidupan sehari-hari harus bisa memenuhi setiap kepentingan warganya dan memenuhi tuntutan masyarakat perkotaan akan perkembangan dan kemajuan
kota. Perkembangan kota dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat jika kebutuhan masyarakat tidak seimbang dengan daya dukung
dan daya tampung lingkungan sehingga muncul masalah, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat akibat pencemaran atau polusi udara, serta menurunnya
kualitas lingkungan hidup karena pencemaran air, pencemaran udara dan lain- lain.
Di dalam masyarakat terdapat tiga subsistem yang saling interaktif yakni sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem fisik atau lingkungan fisik Hadi,
1995:2. Masyarakat dipandang sebagai suatu bagian dari subsistem dari ekosistem. Perubahan dari salah satu subsistem akan mempengaruhi subsistem
yang lain. Daerah yang terkena dampak atau impacted area merupakan suatu ekosistem dengan bermacam-macam komponen yang saling berhubungan.
Yang menjadi pusat perhatian adalah fungsi ekosistem tersebut, bagaimana
saling keterkaitan antar subsistem, dampak yang akan terjadi dan untuk berapa lama.
UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi dengan UU No 32 tahun 2004 dalam derajat tertentu memberi harapan baru
terhadap perkembangan desentralisasi dan diharapkan akan meningkatkan akuntabilitas para pejabat daerah pada publiknya. Adalah suatu hal yang tidak
dapat dipungkiri bahwa telah terjadi pergeseran tuntutan tugas-tugas pemerintah. Sejalan dengan desentralisasi maka sebagian tugas pemerintahan
pusat kini telah memungkinkan dilaksanakan oleh daerah, dengan harapan bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat akan dapat lebih cepat diwujudkan
mengingat lebih dekatnya pemerintah daerah kepada masyarakat. Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah yang
mempunyai luas 373,73 km2 dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat. Dengan bertambahnya jumlah penduduk berarti semakin meningkat
pula kebutuhan karena aktifitas masyarakat juga semakin meningkat. Hal ini menyebabkan jumlah perjalanan bertambah, yang berakibat meningkatnya
kebutuhan akan alat transportasi. Didukung oleh kemajuan teknologi yang semakin pesat dan pasar bebas AFTA 2003 menyebabkan banyaknya
produsen yang menawarkan produk kendaraan bermotor dengan harga kompetitif dan relatif terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah sehingga
menjadi alternatif transportasi yang semakin populer di kalangan masyarakat. Demikian pula yang terjadi di kota Semarang. Pertambahan
jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan hidup sehingga
jumlah perjalanan di ruas-ruas jalan kota Semarang semakin bertambah, yang berakibat jumlah kendaraan bermotor yang turun ke jalan semakin banyak.
Perkembangan kota-kota besar di negara berkembang tidak terlepas dari kemacetan arus lalu lintas, karena pertumbuhan kendaraan yang pesat dan
kurangnya penambahan ruas-ruas jalan. Seperti halnya kota-kota besar lainnya kemacetan lalu lintas di Semarang dari tahun ke tahun semakin terasa bagi
pengguna jalan raya dan angkutan trasportasi. Kota Semarang termasuk kota metropolitan atau kota raya yang
berpenduduk lebih dari satu juta jiwa yaitu sebanyak 1.608.800 jiwa BPS, 2005 dan menempati urutan ke enam setelah Jakarta, Surabaya, Bandung,
Medan, dan Palembang Ruktiningsih et al, 2005. Permasalahan yang dihadapi kota raya sebagian besar adalah akibat dari transportasi darat, yaitu
salah satunya pencemaran udara BSLLAK,1998. Penerapan kebijakan dan penanganan yang kurang hati-hati dan kurang terpadu tidak akan dapat
memecahkan masalah secara tepat dan baik, bahkan dapat menimbulkan permasalahan baru yang lebih kompleks dan rumit. Kota Semarang sendiri
dibandingkan kota besar lain di Indonesia dalam hal pencemaran udara menduduki peringkat ke empat setelah Jakarta, Surabaya, Bandung kemudian
Semarang dan Medan Pirngadi, 2001. Sebagai ilustrasi kualitas udara ambeien pada beberapa ruas jalan di
Kota Semarang disajikan pada tabel 1.1 berikut:
Tabel 1.1 Kualitas Udara Ambeien pada beberapa Ruas Jalan di Kota Semarang 2003
No Ruas Jalan
Kisaran Kadar CO
ugNm3 PM10
ugNm3 SO2
ugNm3 NO
ugNm3 NO2
ugNm3 NOx
ppb
1
Jl Ahmad Yani
2,24 s.d11,34 80 sd 166
5,72 s.d 36,68 151,29 s.d 392,37
31,96 s.d 78,96 148 s.d 361
2
Jl.Brig Sudiarto
2,94 s.d 8,54 15,72 sd 131
15,72 s.d 220 495,69 s.d 739,23
65,8 s.d 124,08 438 s.d 660
3
Jl. Majapahit
5,74 s.d 12,04 99 sd 177
13,1 s.d 23,58 75,03 s.d 180,81
37,6 s.d 62,04 85 s.d 180
4
J l. Pa n da na ra n
7,7 s.d. 14,42 98 sd 165
13,1 s.d 44,54 125,46 s.d 282,9
50,76 s.d.77,08 183 s.d 278
5
Jl.Siliwangi
10,36 s.d 12,32 147 sd 187
20,96 s.d 31,44 147,6 s.d 168,51
54,52 s.d 62,04 153 s.d 166
Sumber : Ruktiningsih et al, 2005
Sektor transportasi meskipun bukan satu-satunya, merupakan kontributor besar dalam pencemaran yang terjadi khususnya di kota–kota besar. Bahkan
di negara-negara berkembang sektor transportasi merupakan kontributor utama pencemaran udara. Menurut Undang-Undang No.4 tahun 1982
Sihhono, 1995 yang direvisi dengan UU No.23 tahun 1997 dijelaskan bahwa pencemaran adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan
atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Pencemaran udara secara umum
diakibatkan tiga jenis kegiatan yaitu industri, transportasi dan kegiatan rumah tangga. Pencemaran udara akibat aktivitas sektor tranportasi yang utama
adalah akibat kendaraan bermotor di darat. Transportasi jalan raya memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pencemaran di perkotaan.
Menurut World Bank, 70 sumber pencemar berasal daeri emisi gas buang kendaraan bermotor. WHO memperkirakan setiap tahun sekitar 0,5 juta
penduduk perkotaan meninggal akibat partikel udara kotor. World Bank, 2003 dalam Ruktiningsih et al, 2005. Adapun kajian JICA Japan
International Cooperation Agency tahun 1996 menyebutkan bahwa penyumbang zat-zat pencemar terbesar di kota besar di Indonesia hádala
kendaraan pribadi. Menurut Poerwadiyono 2001 sumber pencemaran transportasi yang berasal dari kendaraan bermotor dapat diklasifikasikan
menjadi: a. Sepeda motor, meliputi sepeda motor, skuter, kendaraan roda tiga
b. Kendaraan bermotor ringan, meliputi sedan, oplet, pick-up, mini bus dan mini truk
c. Kendaraan bermotor berat : bus besar, truk dengan as lebih dari 2. Emisi atau gas buang kendaraan bermotor diyakini mengakibatkan atau
menjadi kontributor terhadap kesehatan masyarakat. Gangguan yang lazim dikenal akibat emisi kendaraan bermotor adalah gangguan saluran pernafasan,
sakit kepala, iritasi mata, mendorong terjadinya serangan asma, penyakit jantung dan penurunan kualitas intelegensia pada anak-anak.
Masalah pencemaran udara dari sektor transportasi sudah saatnya mendapat perhatian serius, seperti keseriusan untuk juga mendapatkan sistem
transportasi yang lebih baik efisien, murah dan nyaman. Sektor transportasi di Indonesia telah menjadi kontributor utama pencemaran udara, khususnya
untuk jenis-jenis pencemar : karbon monoksisa CO, nitrogen oksida Nox,
hidrokarbon HC, timah hitam Pb dan karbondioksida CO2, yang semuanya bukan hanya berbahaya bagi kesehatan manusia tetapi juga
mengancam lingkungan, bahkan lingkungan global Pirngadie, 2001. Senyawa-senyawa karbón monoksida dan timah hitam seluruhnya bersifat
merugikan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan.
Karbon monoksida CO merupakan senyawa yang sangat beracun. Karbon monoksida adalah jenis gas tidak berwarna, tidak berbau, tak berasa
dapat terbakar dan mudah meledak, gas ini lebih ringan dari udara Umar, 2001:28. Sumber potensi gas karbon monoksida CO adalah apabila ada
pembakaran tidak sempurna bahan organik seperti mesin pembakar internal bertenaga minyak dan diesel, tungku pembakaran, pekerjaan peledakan dan
api. CO yang diabsorbsi hanya melalui paru-paru dan di dalam darah akan berikatan dengan haemoglobin membentuk karboksihemoglobin dan dalam
jeringan, gas ini akan berikatan dengan zat-zat yang mengandung besi lainnya seperti mioglobin, sitokrom, sitokrom oksidase dan katalase Munarto, 2004.
Karbon monoksida juga terbentuk secara alami di dalam tubuh, demikian juga karboksihemoglobin. Kadar normal karboksihemoglobin dalam darah adalah
sampai 1 COHb pada bukan perokok dan 2-10 COHb pada perokok Encyclopedia of Occupattional Health Safety dalam Munarto, 2004:1.
Dari hasil pemeriksaan kadar karbon monoksida CO dalam darah yang dilakukan oleh Balai Pengembangan Keselamatan Kerja dan Hiperkes
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah pada 30 sampel
darah petugas Polisi Lalu Lintas di Kota Semarang pada bulan Februari 2004 dibandingkan dengan standar yang ada, didapatkan pada 18 sampel bukan
perokok semuanya di atas batas normal 0-1 COHb dan pada 12 sampel perokok didapatkan 9 sampel masih dalam batas normal 10 COHb,
sedangkan 3 sampel sudah di atas batas normal 10 COHb. Dari kasus tersebut maka penanggulangan pencemaran udara sangat perlu dilakukan.
Senyawa lainnya adalah nitrogen oksida NO
2
yang merupakan prekursor terjadinya hujan asam, prekusor terbentuknya senyawa ozone dan
penyebab masalah gangguan pernafasan. Kadar NO2 antara 0,063 – 0,083 ppm selama 6 bulan terus-menerus akan mengakibatkan terjadinya masalah
kesehatan berupa gangguan saluran pernafasan Pirngadie, 2001. Demikian juga sulphur dioksida dan hidrokarbon juga dapat menyebabkan gangguan
saluran pernafasan. Adapun timah hitam adalah senyawa yang ditambahkan pada bahan bakar untuk lebih menyempurnakan performa mesin, dan bahaya
senyawa ini adalah dapat mengakibatkan penurunan kualitas intelegensia pada anak-anak.
Pada penelitian lain, menurut Umar 2001:29, faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi polutan yang diakibatkan oleh kendaraan
bermotor antara lain adalah: a.
Kendaraan bermotor itu sendiri b.
Kemacetan lalu lintas, sehingga pada daerah tertentu terjadi akumulasi polutan yang tinggi
c. Pengemudi yang tidak mengemudikan kendaraan dengan benar dan
baik serta perawatan yang tidak baik dari mesin kendaraan itu sendiri
d. Kondisi lingkungan geografis yang relatif tertutup, sehingga
menyulitkan pergerakan bebas udara yang telah terpolusi. Pada kadar CO dalam darah COHb 7 sudah memberikan pengaruh
pusing-pusing, 45 mual dan kemungkinan hilang kesadaran. Kadar 60 menyebabkan koma dan 95 menyebabkan kematian Early Detection of
Occupational Diseases dalam Munarto 2004:1. Hasil survai Bapedalda Kota Semarang pada akhir tahun 2002
menunjukkan bahwa pencemaran udara 41, 56 kandungan CO di udara, namun pada tahun 2003 hasil pengukuran menunjukkan 53,26 kandungan
CO di udara, yang menunjukkan terjadi penurunan kualitas udara Kota Semaran
g . Hal ini dipicu oleh peningkatan jumlah kendaraan bermotor di
Semarang. Adapun menurut Ymt Kepala Dinas Perhubungan Kota Semarang, peningkatan jumlah kendaraan pribadi yang beroperasi di kota Semarang
ternyata berlangsung cukup cepat, khususnya untuk kendaraan roda 4 atau lebih. Dalam tiga tahun sepeda motor yang beroperasi di jalan meningkat
15 dan kendaraan roda empat meningkat 20 Suara Merdeka, 16 Januari 2006. Hal ini akan semakin menyebabkan kemacetan karena kapasitas jalan
cenderung tetap dan meningkatnya pencemaran udara di Kota Semarang Melihat perkembangan dan kenyataan yang dihadapi tersebut, sudah
saatnya kebijakan uji emisi untuk pengendalian udara dari emisi kendaraan
bermotor yang telah dicanangkan pemerintah dalam Program Langit Biru. Untuk mengatasi masalah pencemaran ini telah banyak peraturan yang
dikeluarkan pemerintah yang dapat dijadikan landasan dalam melaksanakan kebijakan penanggulangan pencemaran udara khususnya dari sektor
transportasi. Mulai dari tahun 1992 hingga sekarang peraturan-peraturan tersebut antara lain :
Tabel 1.2 Peraturan-peraturan untuk Menanggulangi Pencemaran Udara
No Peraturan
Isi
1 UU No.14 Tahun 1992
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 2
UU No.23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup
3 PP No.44 tahun 1993
Kendaraan dan Pengemudi 4
Kep-35MENLH101993 Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor. 5
Kep-15MENLH41996 Program Langit Biru.
6 Kep-45MENLH1997
Indeks Standar Pencemaran Udara. 7
Kep-141MENLH2003 Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Tipe baru dan Kendaraan Bermotor yang sedang
diproduksi..
8 Kep-08MENHUB1989
Uji Petik Kendaraan Bermotor 9
SK Gubernur Jateng No.08 Tahun 2001
Baku Mutu Kualitas Udara Ambien Propinsi Jawa Tengah
10 SK Gubernur Jateng No.05
Tahun 2004 Ambang batas Emisi Gas buang
Kendaraan Bermotor di Propinsi Jawa Tengah
11 SK
Walikota Semarang
No. 660.305672005 tanggal 4 Maret 2005.
Pembentukan Tim Pelaksana Program Perbaikan Kualitas Udara Di Kota
Semarang.
Peraturan-peraturan tersebut dapat dijadikan dasar Pemerintah Kota Semarang dalam menentukan kebijakan-kebijakan untuk penanggulangan
pencemaran udara dari sektor transportasi, dan sampai saat ini telah banyak kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan di Kota Semarang dalam rangka
penanggulangan pencemaran udara dari sektor transportasi tersebut, namun sejauh ini hasilnya belum memuaskan.
Kebijakan-kebijakan tersebut belum tentu efektif dan efisien diimplementasikan serta berpihak kepada publik. Suatu mekanisme
pelaksanaan yang dianggap efektif dan berdampak luas antara lain adalah melalui uji emisi kendaraan bermotor yang dilaksanakan pada saat uji petik
kendaraan bermotor umum dan barang dan dilaksanakan oleh tim penguji emisi yang terdiri dari Bapedalda, Dinas Perhubungan dan Kepolisian pada
kendaraan bermotor pribadi. Oleh karena itu atas dasar latar belakang di atas maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian dengan judul: Analisis Implementasi Kebijakan Uji Emisi dalam Penanggulangan Pencemaran Udara Dari
Sektor Transportasi di Kota Semarang .
1.2. Perumusan Masalah