22 perilaku heteroseksual. Sebagai contoh, seseorang bisa saja memiliki
hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya,
orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa
dewasa, beberapa pria dan wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesama jenis jika mereka mengalami hubungan
heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang menyenangkan Masters Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005.
3. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan sosial menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep
seperti homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari imajinasi masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat
mendefenisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita Carroll, 2005.
Penggunaan istilah ”homoseksual” yang mengacu pada perilaku sesama jenis berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan orang-
orang secara ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya hidup yang baru di perkotaan Adam, 1987. Oleh karena itu, pendapat bahwa
apakah seseorang ”homoseksual” atau ”heteroseksual” bukanlah fakta biologis tetapi hanya cara berpikir yang berubah seiring dengan keadaan sosial.
Universitas Sumatera Utara
23
4. Pendekatan Interaksional : Biologi dan Sosiologi
Bem 1996 berpendapat bahwa variabel biologis seperti genetik, hormon, dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu,
tetapi lebih berkontribusi pada tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai dengan jenis
kelaminnya atau tidak. Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem 1996
mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman jender sejenis sebagai lebih eksotis, atau berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis.
Ia menyatakan bahwa anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan jenis ketika tumbuh, dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih ”eksotis”
dan menarik.
II.A.3.Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual
Vivienne Cass 1984 mengemukakan model enam tahapan dalam pembentukan identitas gay dan lesbian. Tidak semua gay dan lesbian mencapai
tahap keenam; tergantung, di dalam masing-masing tahapan, pada seberapa nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya.
Tahapan 1: Identitiy confusion.
Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa didefinisikan sebagai gay atau lesbian. Mungkin saja timbul keinginan untuk mendefinisikan kembali konsep
orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan segala bias dan informasi salah yang dimiliki sebagian besar orang. Orang tersebut bisa menerima
Universitas Sumatera Utara
24 peran tersebut dan mencari informasi, menekan dan menghalangi semua perilaku
gay dan lesbian, atau menyangkal kemiripan dengan semua identitasnya seperti pria yang memiliki hubungan sesama jenis di penjara namun tidak percaya bahwa
dia adalah gay ”yang sebenarnya”.
Tahapan 2: Identity comparison.
Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model heteroseksual tetapi tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin merasa berbeda
dan bahkan kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini masih menyangkal homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang heteroseksual.
Tahapan 3: Identity tolerance.
Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin gay atau lesbian dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan
sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun, tapi identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya, individu masih tidak
membeberkan identitas barunya pada dunia heteroseksual dan tetap menjalankan gaya hidup ganda.
Tahapan 4: Identity acceptance.
Pandangan positif tentang identitas diri mulai dibentuk, hubungan dan jaringan gay dan lesbian mulai berkembang. Pembukaan jati diri selektif kepada teman dan
keluarga mulai dibuat, dan individu sering membenamkan dirinya sendiri dalam budaya homoseksual.
Universitas Sumatera Utara
25
Tahapan 5: Identity pride
Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan kemarahan terhadap pengobatan bisa mengakibatkan penolakan heteroseksual karena dianggap sebagai
sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok dengan gaya hidupnya.
Tahapan 6: Identity synthesis
Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya hidupnya dan ketika kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang menyadari
ketidakbenaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam ”gay dan lesbian yang baik” dan ”heteroseksual yang buruk.” Individu menjalani gaya
hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi
seksual hanya salah satu aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah selesai.
II.B. Makna Hidup II.B.1. Pengertian Makna Hidup
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan
dalam kehidupan purpose of living. Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan
penderitaan. Bila hasrat ini dapat dipenuhi, maka kehidupan yang dirasakan berguna, berharga, dan berarti meaningful akan dialami. Sebaliknya bila hasrat
Universitas Sumatera Utara
26 ini tak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna
meaningless. Di dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni hal- hal yang perlu dicapai dan dipenuhi Bastaman, 2007.
Dalam teorinya, Victor Frankl menjelaskan tentang tiga aspek dasar mengenai kebermaknaan hidup yaitu :
a. Manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak freedom to will
b. Ada kehendak untuk hidup bermakna will to meaning
c. Menentukan serta menemukan makna hidup meaning of life
Kebebasan berkehendak adalah kebebasan untuk menentukan sikap freedom to take a stand terhadap kondisi-kondisi biologis, psikologis dan
sosiokultural serta sejarah hidupnya. Manusia bukan saja mampu mengambil jarak to detach terhadap berbagai kondisi di luar dirinya, melainkan juga terhadap
kondisi di dalam dirinya sendiri self-detachment. Kemampuan inilah yang menyebakan manusia disebut “the self determining being” yag menunjukkan
bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya yang harus diimbangi dengan tanggung jawab
Bastaman, 1996.
II.B.2. Karakteristik Makna Hidup
Menurut Frankl dalam Bastaman, 2007, makna hidup memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
a. Makna hidup itu sifatnya unik, pribadi, dan temporer, sehingga tidak
dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus ditemukan sendiri.
Universitas Sumatera Utara
27 Apa yang dianggap penting dan berharga bagi seseorang belum tentu
penting dan berharga bagi orang lain. b.
Makna hidup itu spesifik dan nyata, hanya dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari, serta tidak selalu harus
dikaitkan dengan tujuan idealistis, renungan filosofis dan prestasi akademik yang menakjubkan..
c. Makna hidup memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan
yang kita lakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang kita untuk memenuhinya. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup
ditentukan, kita seakan-akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan kita pun menjadi lebih terarah kepada
pemenuhan itu.
II.B.3. Sumber Makna Hidup
Frankl dalam Bastaman, 2007 menyatakan tiga kelompok nilai yang dapat menjadi sumber makna bagi hidup dalam diri manusia, yaitu :
a. Nilai-nilai kreatif Creative Values
Dengan “apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini what we give to live”. Maksudnya melalui tindakan-tindakan kreatif atau menciptakan
suatu karya seni atau bahkan dengan melayani orang lain dapat dikatakan sebagai ungkapan rasa seseorang. Melalui karya dan kerja
seseorang dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna
Universitas Sumatera Utara
28 b.
Nilai-nilai Pengalaman Experiental Values Dengan “apa yang dapat kita ambil dari dunia ini” what we take from
the world. Maksudnya dengan mengalami sesuatu misalnya melalui kebaikan, kebenaran dan keindahan, dengan menikmati alam alam dan
budaya, atau dengan mengenal manusia lain dengan segala keunikannya, dengan mencintainya.
c. Nilai-nilai bersikap Attitudinal Values
Dengan “sikap yang diambil untuk tetap bertahan terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari” the attitude we take toward unavoidable
suffering. Ketika manusia menghadapi nasib buruk atau situasi menghambat yang tidak bisa diubahnya, dengan kata lain ketika
menderita, dia tetap bisa merealisasikan nilai yang bisa mengantarkannya kepada makna.
Bastaman menambahkan satu komponen lain yang dapat menjadikan hidup ini menjadi lebih bermakna, yaitu :
d. Nilai-nilai Harapan Hopeful Values
Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Harapan, sekalipun
belum tentu menjadi kenyataan, dapat memberikan sebuah peluang dan solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan
semangat dan optimisme.
Universitas Sumatera Utara
29
II.B.4 Makna dalam Penderitaan
Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan, dalam keadaan bahagia maupun derita, karena
manusia selama hidup di dunia ini tidak selalu dalam keadaan menyenangkan Bastaman, 1996.
II.B.4.a Penderitaan
Penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, kerena eksisstensi manusia senantiasa berkisar antara senang dan susah, tawa dan air
mata, derita dan bahagia. Terlepas dari berat-ringannya, setiap orang dalam hidupnya pasti pernah mengalami penderitaan Bastaman, 1996.
Bastaman 1996 menggambarkan penderitaan sebagai perasaan tidak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan
kesulitan yang dialami seseorang. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Bastaman 1996 digambarkan penderitaan sebagai proses,
perbuatan, cara menderita, dan penanggungan yang terkait dengan sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti sakit, cacat, kesengsaraan dan kesusahan.
Frankl dalam Bastaman, 1996 menyatakan tiga hal yang dapat menimbulkan penderitaan. Tiga ragam penderitaan yang sering ditemukan dalam
kehidupan manusia atau ”the three tragic triads of human existence” antara lain: 1.
Rasa sakit pain, suatu keadaan mental atau fisik yang kurang baik atau kegelisahan mental dan fisik. Intensitas rasa sakit berkisar mulai
dari setengah gelisah atau perasaan ayng membosankan, hingga penderitaan yang akut, barangkali rasa sakit yang tidak terperikan dan
Universitas Sumatera Utara
30 dapat dirasakan secara menyeluruh atau hanya pada beberapa bagian,
sebagai akibat dari korban kecelakaan atau luka secara fisik atau luka secara mental, dan biasanya menimbulkan reaksi menghindari,
melarikan diri, atau menghancurka faktor penyebabnya. 2.
Rasa bersalah guilt, merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak sesuai hati nurani. Hati nurani adalah
unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang sesuai dengan tolak ukur tertentu.
3. Kematian death, baik kematian itu sendiri maupun kematian orang
lain merupakan tragdi alami yang pasti terjadi dan dialami oleh setiap orang.
II.B.4.b Tahap-Tahap Penemuan Makna dalam Penderitaan
Bastaman 1996 memaparkan beberapa tahap yang harus dilalui seseorang dalam menemukan dan memenuhi makna hidupnya dalam suatu
penderitaan, yaitu: 1.
Tahap derita, yaitu pengalaman tragis dan penghayatan hidup tanpa makna. Suatu peristiwa tragis dalam hidup seseorang dapat menimbulkan
penghayatan hidup tanpa makna yang ditandai dengan perasaan hampa, gersang, apatis, bosan, dan merasa tidak lagi memiliki tujuan hidup.
Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis adalah ketidakmampuan seseorang untuk
mengambil prakarsa.
Universitas Sumatera Utara
31 2.
Tahap penerimaan diri, individu mulai menerima apa yang terjadi pada hidupnya, pemahaman diri, dan terjadinya perubahan sikap. Munculnya
kesadaran diri biasanya didorong oleh beraneka ragam sebab. Misalnya, karena perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pendangan
dari seseorang, hasil do’a dan ibadah, belajar dari orang lain, dan lain-lain. 3.
Tahap penemuan makna hidup. Tahap ini ditandai dengan penyadaran individu akan nilai-nilai berharga yang sangat penting dalam hidupnya.
Hal-hal yang dianggap berharga dan penting itu mungkin saja berupa nilai- nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap.
4. Tahap realisasi keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna
hidup. Pada tahap ini, individu akan mengalami semangat dan gairah dalam hidupnya, kemudian secara sadar melakukan keikatan diri self
commitment untuk melakukan kegiatan nyata yang lebih terarah guna memenuhi makna hidupnya.
5. Tahap kehidupan bermakan penghayatan bermakna, kebahagiaan.
Keberhasilan dalam menemukan dan memenuhi makna hidup akan menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan pada
akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
II.B.5. Kelompok Orang yang Mencari Makna
Frankl membagi dua kelompok orang yang mencari makna : a.
People in Doubt
Universitas Sumatera Utara
32 Bagi orang yang dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negatif dan
dipertanyakan. Mereka mencari tujuan untuk dikejar, ide untuk dipercayai, tugas untuk dipenuhi, karena mereka menemukan diri mereka berada dalam kekosongan
yang diistilahkan dengan existential vacuum. Mereka tidak melihat adanya tujuan dalam hidup mereka dan sedang mencari makna.
Jika pencarian makna ini tersangkut dalam suatu kondisi pemanen keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis
serius, psikotis,atau bahkan depresi. b.
People in Despair Adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup yang bermakna, tapi
kemudian kehilangan makna itu baik melalui hilangnya rasa percaya atau menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu
yang tidak memiliki kelanjutan , dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat mengarah pada kemunduran, perasaan tak bermakna, bahkan pemikiran untuk
bunuh diri.
Universitas Sumatera Utara
33
BAB III METODE PENELITIAN
III.A. Pendekatan Kualitatif
Mengingat masalah yang hendak diungkap dalam penelitian ini, maka pendekatan kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana makna
hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Karena makna hidup adalah sesuatu yang bersifat unik dan personal sehingga apa yang dirasakan
berharga dan penting untuk seseorang, belum tentu berharga dan penting bagi orang lain sehingga makna hidup antara seseorang akan berbeda dengan orang
lain. Selain itu, makna hidup itu ada dalam kehidupan itu sendiri, sehingga walaupun pengalaman sebagai homoseksual dirasakan oleh beberapa orang,
namun, makna hidup mereka akan berbeda satu sama lain, karena pengalaman dan kehidupan mereka berbeda satu sama lain. Sehingga dengan penelitian kualitatif,
dapat dilihat manusia dengan subyektifitasnya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari 2001 bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia
dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif. Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti akan dapat melihat
permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi
partisipan penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari 2001 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah
diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang
Universitas Sumatera Utara